Saturday, July 27, 2019

Wacana Penegakkan Khilafah Bisa Menimbulkan Konplik Besar Dan Pertumpahan Darah?


Wacana Penegakkan Khilafah Bisa Menimbulkan Konplik Besar Dan Pertumpahan Darah?

Khairus Subhan (saya menduga penulis sebenarnya adalah M Idrus Ramli) mengatakan;
"Disamping itu, wacana ini justu ditengarai akan menimbulkan konplik besar dan pertumpahan darah. Sejarah mencatat tragedi memilukan di Karbala berupa tewasnya Sayidina Husain ra dan para pengikutnya serta perselisihan yang terjadi antara Abdullah bin Zubair bin Awam ra versus Abdullah bin Malik bin Marwan ra yang berakhir dengan pembunuhan Abdullah bin Zubair ra di kota Mekah. Demikian juga, peristiwa yang terjadi di Al-Jazair dan Sudan yang telah menimbulkan genangan darah dan perpecahan penduduknya. Peristiwa-peristiwa tersebut dipicu oleh sebuah wacana yang menuntut tegaknya sistem pemerintahan ideal seperti pada masa Nabi SAW dan Khulafa' ur-Rasyidin.

Memang dalam Islam, sejarah tidak menjadi sumber hukum. Tetapi, sejarah dapat menjadi pijakan dan tolok ukur dalam menentukan dan mengambil keputusan yang lebih bermanfaat dan berupaya menampik segala keburukan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang telah dirumuskan ulama "Kemudaratan sedapat mungkin ditolak" [baik sebelum terjadinya maupun sesudahnya].
Karenanya, sistem pemerintahan Indonesia saat ini, sedapat mungkin terus dipertahankan untuk mencegah terjadinya perpecahan seperti peristiwa di atas. Bukankah dalam kaidah fikih telah diungkapkan menampik sesuatu keburukan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan?.

Disamping itu, mempertahankan persatuan dan kedaulatan NKRI merupakan tuntutan Negara terhadap warganya sebagai wujud rasa cinta dan pengabdiannya pada Negara. Mencintai Negara adalah cermin dari seorang yang beriman sesuai dengan bunyi sebuah hadis: "Mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman".
(Majalah Ijtihad, Pondok Pesantren Sidogiri, edisi 31, hal 13-14)

MEMBONGKAR PAT :

Wacana penegakan daulah khilafah bisa menimbulkan konplik besar dan pertumpahan darah?

Khairus Subhan sangat picik dan pengecut bahkan cenderung hipokrit dalam menilai sejarah, sehingga sejarah pergolakan, gejolak dan pertumpahan daran di antara umat manusia dijadikan dalil untuk menolak gagasan mulia berupa penegakan Daulah Khilafah Rasyidah sebagai sarana syar'iy untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna, dan ia terlalu su-uzh-zhan [buruk sangka] terhadap gagasan mulia itu. Ia tidak dapat memisahkan antara sejarah ke-manusia-an dan kewajiban melaksanakan syariat Islam secara sempurna. Pergolakan, gejolak dan pertumpahan darah adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari di antara umat manusia, karena pertarungan antara hak dan batil adalah keniscayaan yang harus terjadi. Hanya saja waktu dan tempatnya bisa berbeda dan berganti, juga dengan manusianya terus berganti dari generasi ke generasi sampai datang hari kiamat. Dalam hal ini Allah SWT berfirman;

فهزموهم بإذن الله وقتل داودُ جالوتَ وآتاه اللهُ الملكَ والحكمةَ وعلَّمَهُ مما يشاء، ولولا دفعُ الله الناسَ بعضَهم ببعض لفسدت الأرضُ ولكنَ اللهَ ذو فضل على العالمين.
"Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam". QS Al-Baqaroh [2]: 251.

الذين أخرجوا من ديارهم بغير حق إلا أن يقولوا ربنا الله، لولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامعُ وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا، ولينصرن الله من ينصره، إن الله قوي عزيز.
"(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa". QS Al-Hajji [22]: 40.

Kalau perkataan Khairus Subhan dibenarkan secara syara', maka para Rasul, para Sahabat, para Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in, para Ulama, dan para Wali, semuanya tidak akan berdakwah menyebarkan agama Allah termasuk agam Islam, karena mereka telah mengerti dan lebih mengerti dengan sejarah ke-manusia-an. Sebab, di mana saja ada pertarungan antara hak dan batil, maka di sana dapat dipastikan akan terjadinya gejolak yang bisa menumpahkan darah manusia dengan tidak membeda-bedakan manusianya.
Gejolak dan pertumpahan darah adalah hukum alam yang harus ada di muka bumi ini, dan menjadi keseimbangan alam, sebagaimana terjadinya pembantaian yang terjadi di antara binatang di tengah hutan belantara. Kita tidak perlu menengok sejarah para nabi terdahulu. Karena pada masa Nabi Muhammad SAW saja telah terjadi gejolak dan pertumpahan darah, tetapi kondisi ini tidak mengurangi sedikitpun semangat beliau beserta para sahabatnya dalam mendakwahkan agama Islam. Sampai-sampai selama 10 tahun Nabi SAW tinggal di Madinah telah terjadi berpuluh-puluh perang yang menumpahkan darah manusia tidak sedikit.
Juga setelah kepergian beliau, para sahabat dalam melakukan penaklukan ke sejumlah negeri tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah, juga pada masa-masa setelahnya sampai kemudian datangnya para ulama termasuk wali songo ke Nusantara ini juga tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Tengok saja dengan jujur sejarah berdiri dan berkembangnya puluhan kesultanan di Nusantara ini semuanya juga tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Sampai Indonesia merdekapun juga tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Sampai terkait Ahmadiyah pun yang baru-baru ini terjadi tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Dan fakta-fakta yang lain.

Seandainya tidak terjadi pergolakan, gejolak, dan pertumpahan darah, maka Indonesia tidak akan pernah merdeka, dan NKRI tidak akan pernah terbentuk, bahkan Islam tidak mudah sampai ke Indonesia, dan kemungkinan kita masih menjadi orang Budha atau Hindu penyembah patung. Tetapi pada pergolakan, gejolak dan pertumpahan darah itu terdapat karunia dan pertolongan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, dan bagi alam semesta, berupa kehidupan yang mulia di dunia atau mati syahid sebagai tiket mendapat rahmat Allah di surga, juga keseimbangan alam semesta. Maka yang harus ditanamkan, dipupuk dan dipelihara di dalam dada setiap muslim adalah "MATI SYAHID ATAU HIDUP MULIA ! ALLAH AKBAR !".

Terlepas dari sejumlah fakta di atas, khairus Subhan lebih memilih dan mengutamakan dugaan [zhann] dan keraguan [syakk] dari pada kepastian [yakin, 'ilmu], karena perpecahan, konplik besar dan pertumpahan darah ketika khilafah tegak di Indonesia adalah dugaan dan keraguan, sedangkan penegakan khilafah dan penerapan syariat secara sempurna adalah kewajiban yang memiliki dalil yang pasti [qath'iy] yang berfaidah 'ilmu atau yakin. Seharusnya Khairus Subhan memakai kaidah ashul fikih berupa;

اليقين لا يزال بالظن، أو اليقين لا يزال بالشك
"Yakin itu tidak boleh dihilangkan dengan dugaan" atau
"Yakin itu tidak boleh dihilangkan dengan keraguan"
(As-Suyuthi [w. 911 H], al-Asybahu wa al-Nazhairu fi al-Furu', hal 37, al-Hidayah, Surabaya)

Dan hadis;
دَعْ ما يُرِيْبُكَ إلى ما لا يريبك
"Tinggalkanlah perkara yang meragukan kamu,
[dan] ambilah perkara yang tidak meragukan kamu".
(HR Turmudzi dan Nasai dari Ali Ibn Abi Thalib RA.)

Bukan kaidah, "Adh-Dharoru Yuzalu" [kemudaratan itu harus dihilangkan], atau miturut terjemahan Khairus Subhan, [Kemudaratan sedapat mungkin harus ditolak], baik sebelum terjadinya maupun sesudahnya. Dan bukan kaidah, "Dar-ul Mafasidi Muqaddamun 'Ala Jalbil Mashalihi" [Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada meraih target kepentingan], atau miturut terjemahan Khairus Subhan, [Menampik sesuatu keburukan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan], untuk menolak tegaknya Daulah Khilafah dan penerapan syariat Islam secara sempurna, karena bisa termasuk ke dalam kaidah, "Kalimatul Haqq Yurodul Bathil" [Perkataan yang benar ditujukan untuk kebatilan], yakni untuk menolak hak, berupa penegakan Daulah Khilafah dan penerapan syariat Islam secara sempurna.

Padahal yang tepat adalah memakai dua kaidah tersebut untuk mendukung tegaknya Daulah Khilafah dan penerapan syariat Islam secara total. Kaidah pertama, "Adh-Dharoru Yuzalu" [kemudaratan itu harus dihilangkan], dipakai untuk menyelamatkan Indonesia dari barbagai kemudaratan akibat dominasi peradaban Barat yang kapitalis-liberal, dan peradaban Timur yang sosialis-komunis, dengan menggantikannya dengan peradaban Islam yang Islami, tidak yang terkontaminasi oleh virus liberal dan komunis. Sedang kaidah kedua, "Dar-ul Mafasidi Muqaddamun 'Ala Jalbil Mashalihi" [Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada meraih target kepentingan], dipakai untuk menyelamatkan Indonesia dari berbagai kerusakan, juga akibat dominasi peradaban Barat yang kapitalis-liberal, dan peradaban Timur yang sosialis-komunis, dengan menggantikannya dengan peradaban Islam yang Islami, tidak yang terkontaminasi oleh virus liberal dan komunis, daripada meraih kepentingan pinansial dari lembaga donor Barat yang kapitalis-liberal atau lembaga donor Timur yang sosialis-komunis, yang juga memiliki kepentingan terhadap kehancuran Islam dan kaum muslim di Indonesia ini.

Terakhir, terkait hadis, "Hubbul Wathan Minal Iman" [Mencintai tanah air itu bagian dari iman], terlepas dari status hadis ini, sesungguhnya mencintai tanah air adalah cabang dari mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kita sebagai Aswaja wajib mengimani [meng-akidah-hi] bahwa langit dan bumi juga semua yang ada di dalamnya termasuk bumi Indonesia yang kita cintai ini, semuanya adalah milik Allah SWT, dan Dia telah menciptakan manusia sebagai khalifah untuk mengatur bumi ini dengan syariatnya yang telah dibawa oleh Rasul-Nya. Kemudian pada hari kiamat Allah akan menghisab kita terkait pengaturan tanah air itu. Apakah kita telah mengaturnya dengan syariat-Nya, atau justru kita menolak syariat-Nya. Jadi mencintai tanah air itu tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai cabang dari mencintai Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, sebagai bukti bahwa kita mencintai tanah air adalah dengan menjadikan syariat-Nya untuk mengatur tanah air. Kalau tidak, maka tidak ada bedanya antara kita sebagai Aswaja dan kaum kufar dan atheis, yang kecintaannya terhadap tanah air itu mengalahkan kita.
(abulwafa romli).

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Selanjutnya Abdurrohim Arief (Idrus Ramli) dan yang seideologi dengannya dari golongan salafi salathin mengatakan ;
"An-Nabhani hanya merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. Atau seperti yang saya katakan di muka bahwa an-Nabhani sebenarnya minim akan pengetahuan sejarah.
Bukti lain dari hal tersebut ialah tulisan an-Nabhani tentang sejarah qadha dan qadar yang menurutnya tidak pernah dibahas pada masa tabi'in, sahabat atau bahkan masa nubuwah. Yang membawa dan menjadikannya topik pembahasan adalah para ahli kalam, tepatnya setelah filsafat masuk ke dalam peradaban Islam. Pemakaian nama qadha dan qadar sendiri tidak dikenal pada abad pertama hijriyah (nubuwah, sahabat dan tabi'in). Dan tidak ada nash shahih dengan menggunakan nama tersebut.

Tampak sekali kekacauan an-Nabhani di sini. Dalam al-I'tiqad 'alal-Madzhab as-Salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, al-Hafidz al-Kabir Abi Bakar Muhammad bin al-Husain al-Baihaqi setidaknya telah mencatat lebih dari 20 hadis Nabi SAW mengenai pembahasan qadha dan qadar, baik itu yang muncul dari pertanyaan sahabat atau berupa bantahan terhadap perdebatan orang-orang musyrik. Begitu pula pembahasan permasalahan ini pada masa sahabat dan tabi'in. Kita ambil contoh perdebatan Sayidina Umar ketika gagal memasuki Syam untuk menghindari virus (wabah) yang menyebar luas di negeri tersebut [HR al-Bukhari-Muslim].

Lebih naïf lagi pernyataan an-Nabhani tentang kedua kalimat tersebut yang menurutnya tidak pernah digunakan pada abad pertama hijriyah. Padahal, di samping melalui berbagai riwayat Imam al-Baihaqi tadi, hadis Jibril telah dianggap cukup untuk menjawab klaim an-Nabhani. Tidak seorangpun mengingkari kashahihan hadis Jiblil riwayat Muslim ini. Meskipun riwayat tersebut ditengarai ahad dari segi sanad, namun para muhadditsin sepakat bahwa hadis Jibril merupakan bagian dari hadis yang mutawatir fil-ma'na. Kehadirannya sebagai landasan akidah bersifat qath'i. Berbeda dengan an-Nabhani yang menyatakan hadis ini ahad secara muthlak hingga ia meragukan qadha dan qadar sebagai bagian dari rukun iman".
(Majalah Ijtihad, PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31).

MEMBONGKAR PAT :

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Apakah Abdurrohim Arief tidak malu mengatakan; "An-Nabhani hanya merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. Atau seperti yang saya katakan di muka bahwa an-Nabhani sebenarnya minim akan pengetahuan sejarah".
Bagaiman dia bisa menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah merevisi akidah Muktazilah, mendistorsi sejarah dan minim pengetahuan sejarah!? Sedangkan dia sendiri (Abdurrohim Arief) sama sekali tidak memahami pembahasan kitab asy-Syakhshiyyah-nya, terutama pada pembahasan masalah qadha dan qadar, qadha, dan qadar di mana ketiga pembahasan tersebut harus dipisahkan, tidak boleh dicampur-aduk.

Abdurrohim Arief dengan perkataannya itu laksana orang gila yang menertawakan orang waras, atau laksana orang bodoh yang membodoh-bodoh orang alim. Kalau dia termasuk ahlil-ilmi, seharusnya mengerti bahwa semua pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani meskipun tidak sama dengan pandangan ulama lain adalah pandangan islami dan tidak keluar dari Islam, karena semua pandangannya berdasarkan dalil-dalil yang mujma' 'alaih, yaitu; al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijmak dan Qiyas Syar'iy. Apalagi beliau terkenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap peradaban Barat yang kapitalis dan peradaban Timur yang komunis. Karena perbedaan pandangan yang terjadi di antara para ulama, lebih-lebih para mujtahid, adalah fithriy. Maka yang harus dilihat dan diteliti adalah argument dan dalil-dalil yang melatar belakangi terjadinya pandangan tersebut, bukan pandangannya yang berbeda dengan pandangan ulama lain.

Kalau kita mau meneliti cara istinbath (penggalian hukum) yang dipakai oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, maka kita harus membaca dulu usul fikih sebagai alat istinbath yang dipakai oleh beliau, yaitu as-Syakhshiyyah juz 3 secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong dan tidak direkayasa. Pertanyaannya, sudahkah Abdurrohman Arief [M Idrus Ramli] melakukannya, sehingga ia berani mengatakan dengan sangat provokatif dan ngawur; "Meskipun bersalaman termasuk masalah furu'iyah dan masih dalam lingkaran madzhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulam empat tidak sama dengan proses penggalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum ngawur seperti yang telah terjadi pada madzhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syari'ah di tubuh organisasi ini" [Ijtihad edisi 31 hal 8].

Selanjutnya ada kesalahan yang sangat patal pada perkataan Abdurrohim Arief berikutnya. Atau memang benar seperti yang telah saya katakan di atas bahwa M Idrus Ramli yang menjelma menjadi Abdurrohim Arief adalah sosok muslim yang paling jago dalam hal 'Merekayasa, Berdusta, Memitnah dan Memprovokasi' seperti idolanya, yaitu Abdullah Harori yang di Hijaz kata sebagian sumber yang bertemu saya telah dijuluki 'Syaikhul Fattan'. Dan beberapa waktu yang lalu M Idrus Ramli telah jalan-jalan dan wira-wiri bersama orang kepercayaan Abdullah Harori dalam rangka menyebarkan fitnah dengan berkedok menjaga akidah Aswaja.

Padahal yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang tidak pernah dibahas pada masa Nabi SAW dan sahabat (bukan masa tabi'in, karena mutakallimin itu telah muncul pada masa tabi'in) adalah masalah qadha dan qadar dengan nama (ismun) serta substansi(musamma)nya yang datang dari peradaban [filsafat] Yunani, di mana asas pembahasannya adalah pekerjaan hamba (af'alul 'ibad), apakah hamba dipaksa (majbur) dalam pekerjaannya atau diberi pilihan (mukhtar). Bukan qadha dan qadar yang datang dari peradaban Islam, yang telah diperbincangkan pada qurun pertama hijriyah di mana asas pembahasannya adalah ilmu, irodah dan masyiah Allah SWT. Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya telah memisahkan pembahasan qadha dan qadar menjadi tiga bab, yaitu bab qadha dan qadar, bab qadha, dan bab qadar, dimana ketiganya dibahas dengan sangat mendetail dan akurat, dan dengan redaksi yang mudah dipahami. Dan ini adalah bukti bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sangat memahami dan mengerti sejarah.

Karena perkataan Abdurrohim Arief telah dibangun berdasarkan asumsi yang salah, atau sengaja merekayasa, atau (dalam istilah manthiqnya) bardasarkan muqaddimah shughro atau kubro yang salah, atau yang direkayasa, maka dapat dipastikan natijahnya juga salah, atau rekayasa. Padahal fakta yang terjadi bukan hanya salah atau rekayasa, tetapi ia telah menjadikan kesalahan atau rekayasanya sebagai alat untuk memitnah dan memprovokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan HIzbut Tahrir. Bahkan ia telah menggunakan keberhasilan Imam Baihaki mencatat lebih dari 20 hadis terkait qadha dan qadar, perdebatan Sayyidina 'Umar ketika gagal memasuki Syam karena ada wabah Tha'un di sana dan hadis Jibril yang keduanya juga terkait qadar, untuk mendukung natijahnya yang salah, dengan menambahkan kebohongan perkataannya; "Berbeda dengan an-Nabhani yang menyatakan hadis ini ahad secara muthlak hingga ia meragukan qadha dan qadar sebagai bagian dari rukun iman".

Padahal di kitabnya beliau tidak mengatakan khabar ahad muthlaqan (hadis ahad secara mutlak), seperti halnya term Mujtahid dan Mujtahid Muthlaq, tetapi hanya mengatakan khabar ahad dan tidak menyinggung mutawatir bilmakna sama sekali. Juga beliau tidak pernah meragukan qadha dan qadar bagian dari akidah, karena menurut pandangan beliau akidah itu tidak boleh diambil dari sesuatu yang meragukan. Padahal di semua kitabnya beliau benar-benar telah menjadikan qadha dan qadar bagian dari akidah islamiyah. Ini berarti beliau tidak meragukannya.

Sejatinya tuduhan tersebut hanyalah kesimpulan Abdurrohim Arief sendiri. Lalu semuanya dipakai untuk menghantam Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir. Maka tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa tuduhan miring tersebut adalah bentuk rekayasa, dusta, fitnah dan provokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir. (Abulwafa Romli).

Hizbut Tahrir Mengingkari Siksa Kubur?


Hizbut Tahrir Mengingkari Siksa Kubur?

Idrus Ramli berkata :
“Di antara keyakinan mendasar setiap Muslim adalah meyakini adanya siksa kubur. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam
‘Aqidah al-Thahawiyyah berikut ini:

ونؤمن بملك الموت الموكل بقبض أرواح العالمين، وبعذاب القبر لمن كان له أهلا.
“Kami beriman kepada Malaikat maut yang diserahi mencabut roh semesta alam, dan beriman kepada siksa kubur bagi orang yang berhak menerimanya”.

Berdasarkan keyakinan ini, Rasulullah SAW menganjurkan agar umatnya selalu memohon kepada Allah agar diselamatkan dari siksa kubur. Namun tidak demikian halnya dengan Hizbut Tahrir yang mengingkari adanya siksa kubur, mengingkari kebolehan tawassul dengan para nabi dan orang saleh serta peringatan maulid Nabi SAW. Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram, karena hadisnya berupa hadis ahad, akan tetapi boleh membenarkannya. Dalam diskusi di dunia maya, kalangan Hizbut Tahrir membela mati-matian pandangan mereka yang tidak meyakini adanya siksa kubur. Bahkan seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syakih Umar Bakri pernah mengatakan: “Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa.”

Kemudian sebagaimana biasanya, Idrus Ramli menyampaikan berbagai pernyataan ulama untuk mengokohkan perkataannya dan di sini terkait siksa kubur. (Lihat: Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 92-99).

MEMBONGKAR PAT :

Sebagaimana telah saya sampaikan bantahannya pada buku “Ketika Virus Liberal Menggerogoti Pondok Pesantren, Sebagai Bantahan Atas Majalah Ijtihad Pondok Pesantren Sidogiri”, maka di sini juga tidak ada salahnya kalau saya sampaikan lagi dengan tambahan secukupnya:علو

Hizbut Tahrir Mengingkari Siksa Kubur?

Na'udzu billahi min dzalik! Ini adalah dusta dan fitnah yang nyata dari orang yang punya niat buruk terhadap Hizbut Tahrir, tujuannya adalah untuk menjauhkan umat dari Hizbut Tahrir. Syaikh Taqiyyuddin, Hizbut Tahrir dan para syababnya tidak pernah mengeluarkan pendapat mengingkari siksa kubur. Kesimpulan ini diambil dari beberapa poin berikut;

Pertama; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh. dalam sejumlah kitabnya hanya membicarakan persoalan akidah yang harus dibangun berdasarkan dalil yang qath'iy, baik dari al-Qur'an maupun hadis. Lalu ketika dalil akidah itu datang dari hadis, maka hadis yang qath'iy itu harus hadis mutawatir kerena berfaidah ilmu [yakin], bukan hadis ahad yang faidahnya zhanni. Coba perhatikan beberapa pernyataan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh di antaranya dalam kitab Ta'rif Hizbut Tahrir ;

العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر والإيمان بالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. والإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، فإذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيمانا لأنه لا جزم فيه، ولا يكون التصديق جازما إلا إذا ثبت عن دليل قطعي، لذلك لا بد أن يكون دليل العقيدة قطعيا ولا يجوز أن يكون ظنيا.

"Akidah Islamiyah ialah iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya dan hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar di mana baik dan buruknya dari Allah swt.
Sedangkan iman ialah pembenaran yang teguh, yang sesuai dengan realita, dari dalil. Lalu ketika pembenaran itu tidak dari dalil, maka tidak ada iman, karena tidak ada keteguhan padanya. Dan tidak ada pembenaran itu teguh, kecuali ketika pembenaran itu telah tetap dari dalil yang qath'iy. Oleh karena itu, dalil akidah harus qath'iy, tidak boleh zhanniy". (Ta'rif Hizb al-Tahrir, hal.27-28).

Dan pernyataannya dalam kitab as-Syakhshiyyah juz 1 hal. 29;
العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيمانا. إذ لا يكون تصديقا جازما إلا إذا كان ناجما عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقا فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيمانا...

"Akidah Islamiyah ialah iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya dan hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar di mana baik dan buruknya dari Allah swt. Sedangkan makna iman ialah pembenaran yang teguh, yang sesuai dengan realita, dari dalil, karena ketika pembenaran itu tidak dari dalil, maka tidak ada iman, karena tidak ada pembenaran yang teguh kecuali ketika lahir dari dalil. Lalu ketika pembenaran itu tidak memiliki dalil, maka tidak akan datang keteguhan padanya, maka hanya menjadi pembenaran kepada berita dari sejumlah berita, maka tidak dianggap iman……". (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 29).

Dan dalam bagian lain,Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh. menegaskan;
"... ولذلك لا يصلح خبر الآحاد دليلا على العقيدة، لأنه ظني، والعقيدة يجب أن تكون يقينية .
"……. Oleh karena itu, tidak layak khabar ahad menjadi dalil akidah, karena berfaidah zhanni. Sedangkan akidah itu wajib bersifat yakin " (Ibid, juz 1, hal. 191, bab Khabarul Aahad Laisa Bihujjatin Fil Aqaaid).

Dan pada halaman 193 beliau menegaskan;
"..... وعلى هذا فلا بد من أن يكون دليل العقيدة يقينيا أي دليلا قطعيا، لأن العقيدة قطع ويقين وجزم، ولا يفيد القطع والجزم واليقين إلا الدليل القطعي. ولهذا لا بد أن يكون قرآنا أو حديثا متواترا على أن يكون كل منهما قطعي الدلالة ...".

"… Atas dasar penjelasan ini, meniscayakan bahwa dalil akidah itu harus bersifat yakin, yakni dalil yang qath'iy, karena akidah itu pasti, yakin dan teguh, dan tidak berfaidah pasti, yakin dan teguh kecuali dalil yang qath'iy. Oleh karena ini, meniscayakan bahwa dalil tersebut harus al-Qur'an atau hadis mutawatir, dengan catatan setiap satu dari keduanya itu qath'iy dilalah [yang pasti maknanya]…". (Ibid, hal. 193).

Sedang alasan Syaikh Taqiyyuddin tidak menjadikan khabar ahad sebagai dalil dalam akidah adalah sebagai berikut:

ولذلك لا يصلح خبر الآحاد دليلاً على العقيدة لأنه ظني، والعقيدة يجب أن تكون يقينية. وقد ذم الله تعالى في القرآن الكريم اتباع الظن، فقال { مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ } وقال { وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنّاً إِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئاً } وقال { وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ } وقال { إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأَنْفُسُ } وقال { وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئاً } فهذه الآيات وغيرها صريح في ذم من يتبع الظن في العقائد، وذمهم والتنديد بهم دليل على النهي عن اتباع الظن. وخبر الآحاد ظني، فالاستدلال به على العقيدة اتباع للظن في العقائد.

“Oleh karena itu, khabar ahad tidak layak menjadi dalil dalam persoalan akidah, karena bersifat zhanni (prasangka), sedang akidah wajib bersifat yakin. Dalam al-Qur’an Allah SWT benar-benar telah mencela mengikuti prasangka (dalam akidah), Allah berfirman: “Mereka tidak memiliki ilmu dengannya kecuali mengikuti prasangka”, dan berfirman: “Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka, sesungguhnya prasangka itu tidak mencukupi sedikitpun dari kebenaran”, dan berfirman: “Dan apabila kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, maka mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah, mereka tidak mengikuti kecuali prasangka”, dan berfirman: “Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka dan hawa nafsu”, dan berfirman: “Dan mereka tidak memiliki ilmu dengannya, mereka tidak mengikuti kecuali prasangka, sesungguhnya prasangka itu tidak mencukupi dari kebenaran sedikitpun”. Ayat-ayat tersebut dan yang lainnya sangat jelas dalam mencela orang yang mengikuti prasangka dalam persoalan akidah. Sedang celaan serta kecaman terhadap mereka adalah dalil atas larangan mengikuti prasangka, dan khabar ahad itu bersifat prasangka, maka istidlal dengannya atas akidah adalah mengikuti prasangka dalam persoalan akidah”. (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 191, cetakan ke 6, mu’tamadah, 2003).

Kedua;Di berbagai kitabnya, yang telah diadopsi oleh Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani hanya membicarakan, memahamkan dan memantapkan Akidah Islam, yaitu rukun iman yang enam, karena cita-cita besar beliau hanya satu, yaitu mendirikan partai politik Islam, untuk mendirikan Daulah Khilafah Rasyidah, untuk menerapkan syariat Islam secara total, untuk menggapai ridha Allah swt. Akidah Islam sudah lebih dari cukup untuk menjadi asas sebuah partai politik, menjadi asas Negara dll. Dalam kitab Ta'rif Hizbut Tahrir tertulis;

"Akidah Islam adalah asas Islam, dan asas sudut pandang Islam dalam kehidupan. Dan akidah Islam adalah asas Negara, asas undang-undang dasar dan undang-undang yang lain, dan asas bagi setiap perkara yang memancar darinya atau dibangun di atasnya, dari pemikiran Islam, hukum-hukum Islam dan konsepsi Islam. Maka akidah Islam adalah kepemimpinan ideologis, adalah landasan ideologis, adalah akidah politik, karena semua pemikiran, hukum, ide dan konsep yang memancar darinya atau dibangun di atasnya semuanya berhubungan dengan urusan dunia serta pengaturannya, sebagaimana berhubungan dengan urusan akhirat…". ( Ta’rif Hizb al-Tahrir, hal.28).

Juga akidah Islam telah mencukupi untuk menjadi ikatan di antara kaum muslim yang di antara mereka adalah para syabab Hizbut Tahrir, dan menjadi energi yang dahsat yang menggerakkan mereka beramal shaleh dan berdakwah tanpa lelah. Rasulullah saw. sendiri ketika mendorong para sahabat untuk beramal saleh cukup dengan bersabda;

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أوليصمت، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه. رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة.

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya mengatakan kebaikan atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya."

Al-Qur'an-pun juga demikian, coba perhatikan ayat-ayat berikut;

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui". QS al-Baqaroh [2]: 232. Dan Allah SWT berfirman;

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian". QS al-Baqaroh [2]: 264. Dan Allah SWT berfirman;

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian". QS al-Baqaroh [2]: 126. Dan Allah SWT berfirman;

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan ar-Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". QS an-Nisa' [4]:59. Dan ayat-ayat yang lain, yaitu Ali 'Imron: 114, An-Nisa: 162, Al-Maidah: 69, At-Taubah: 18, 19, 29, 44, 45 dan 99.

Jadi akidah Islam itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi asas sebuah partai politik, asas sebuah Negara, dan menjadi ikatan dan mesin penggerak bagi kaum muslim dan para syabab. Asalkan akidah yang benar-benar menjadi akidah, yaitu akidah yang berada di dalam dada, bukan akidah rumusan atau rumusan akidah yang tertulis pada lembaran-lembaran kitab dan tertumpuk di atas rak, karena akidah rumusan atau rumusan akidah ini tidak akan bisa menjadi ikatan dan mesin penggerak di antara kaum muslim dan para syabab, apalagi bisa membangkitkan. Dan pakta seperti ini dapat kita pahami dari memahami siroh Rasulullah saw dan para sahabatnya beserta sejumlah dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Inilah jawaban kenapa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani hanya pokus dengan menanamkan, memantapkan dan mengkristalkan akidah Islam dalam mengkader para syababnya.

Meskipun demikian Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani tidak menolak adanya rumusan akidah selain akidah Islam asalkan digali dari dalil-dalil yang qath'iy. Ini telah diisyaratkan oleh beliau dalam kitab Syakhshiyyah-nya:

فالإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله وباليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى هو العقيدة الإسلامية. والإيمان بالجنة والنار والملائكة والشياطين وما شاكل ذلك هو من العقيدة الإسلامية. والأفكار وما يتعلق بها والأخبار وما يتعلق بها من المغيبات التي لا يقع عليها الحس يعتبر من العقيدة.

"Maka iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, dan kepada hari akhir, dan kepada qadha’ dan qadar dimana baik dan buruknya dari Allah swt. adalah akidah Islam. Dan iman kepada surga, neraka, malaikat, setan dan sejenisnya adalah akidah Islam. Dan [iman kepada] pemikiran-pemikiran dan yang terkait dengannya, berita-berita dan yang terkait dengannya dari perkara-perkara ghaib yang tidak dapat tersentuh oleh indra semuanya termasuk akidah". (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 195) .

Ketiga; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh telah mengisyaratkan terkait hadis mutawatir, yaitu hadis yang telah diriwayatkan minimal oleh lima orang sahabat, lima orang tabi'in dan lima orang tabi'it-tabi'in, dengan catatan lima orang tersebut adalah orang-orang yang ketsiqahannya tidak diragukan lagi. Ini juga telah beliau isyaratkan dalam kitabSyakhshiyyah-nya:

اختلف في أقل عدد يحصل معه العلم، فقال بعضهم خمسة، وقال آخرون إن أقل ذلك اثنا عشر، ومنهم من قال أقله عشرون، ومنهم من قال أقله أربعون، ومنهم من قال سبعون، ومنهم من قال ثلاثمائة وثلاثة عشر...الخ.

"Telah diperselisihkan terkait bilangan minimal yang dapat menghasilkan ilmu [yakin], maka sebagian ulama berkata; "lima orang", ulama yang lain berkata; "Minimalnya adalah dua belas orang", dari mereka ada yang berkata; "Minimalnya adalah dua puluh orang", dari mereka ada yang berkata; "Minimalnya adalah empat puluh orang", dari mereka ada yang berkata; "Tujuh puluh orang", dan dari mereka ada yang berkata; "tiga ratus tiga belas",……….". (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3, hal 82).

Demikian juga dalam matan Jam'ul Jawami' milik as-Subukiy dengan menambah bilangan sepuluh orang.Dan dalam bagian lain, beliau memberi isyarat;

أن تحيل العادة تواطأهم على الكذب. وتختلف باختلاف الأشخاص والأمكنة. فخمسة من مثل علي بن أبي طالب تكفي لاعتبار الخبر متواترا، وربما كان من غيره لا تكفي. وخمسة من بلدان مختلفة لم يجتمعوا قد تكفي لاعتبار الخبر متواترا، إذ لم يجتمعوا في مكان حتى يتأتى تواطؤهم، وربما كان إخبار مثلهم في بلد واحد لا يكفي.

"Apabila adat memustahilkan kesepakatan mereka melakukan kebohongan. Adat itu berbeda-beda sesuai perbedaan orang-orang dan tempatnya. Maka lima orang yang seperti Ali Ibn Abi Thalib itu mencukupi untuk menilai khabar menjadi mutawatir, padahal kalau dari orang selain dia tidak mencukupi. Dan lima orang dari sejumlah negeri yang berbeda-beda di mana mereka tidak berkumpul itu bisa mencukupi untuk menilai khabar menjadi mutawatir, karena mereka tidak berkumpul dalam satu tempat sehingga memudahkan kesepakatan mereka, padahal penyampaian berita dari semisal mereka dalam satu negeri itu tidak mencukupi " (Ibid, juz I, hal. 332).

Dari tiga poin pernyataan di atas, saya memahami bahwa sebenarnya Syaikh Taqiyyuddin telah menyerahkan sepenuhnya kepada para syabab Hizbut Tahrir untuk menjadikan siksa kubur sebagai bagian dari akidah atau bukan, dan beliau telah memberikan batas paling minimal terkait bilangan yang dapat menghasilkan yakin untuk menilai hadis sebagai hadis mutawatir, yaitu cukup lima orang dari generasi pertama, lima orang dari generasi kedua dan lima orang dari generasi ketiga, dari sanad hadis. Ini telah membuka pintu lebar-lebar untuk memasukkan siksa kubur sebagai bagian dari akidah Islam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa beliau sebenarnya telah menjadikannya sebagai akidah Islam, tetapi beliau tidak mengungkapkannya, karena siksa kubur itu termasuk akidah cabang dari akidah Islam, yang tidak wajib dikeluarkan melalui lisan, artinya cukup tersimpan di dalam qalbu. Sebagaimana ibadah sunnah adalah cabang dari ibadah fardhu, maka ibadah sunnah itu sunnah disembunyikan, sedang abadah fardhu sunnah ditampakkan. Dan kita juga tidak berdosa meninggalkan ibadah sunnah asalkan kita tetap membenarkannya dan tidak mengingkarinya ketika dalilnya shahih. Begitu pula dengan siksa kubur, kita boleh tidak menjadikannya bagian dari akidah, yaitu ketika kita telah memutuskan bahwa hadis siksa kubur belum mencapai derajat mutawatir, karena kita mengambil bilangan empat puluh sanad dari genarasi pertama, empat puluh dari generasi kedua dan empat puluh dari generasi ketiga, karena jumlah minimal bilangan ini termasuk masalah khilafiyah. Namun, karena hadis siksa kubur [meskipun termasuk hadis ahad] adalah hadis yang shahih, kita wajib membenarkannya dan tidak boleh mengingkarinya. Jadi mengimani dan membenarkan adalah dua perkara yang berbeda sebagaimana perkataan Syaikh Taqiyyuddin di atas, yaitu pada poin pertama, yaitu"Lalu ketika pembenaran itu tidak memiliki dalil [atau dalilnya zhanni], maka tidak akan datang keteguhan padanya, maka hanya menjadi pembenaran kepada berita dari sejumlah berita, maka tidak dianggap iman……"

Oleh karena itu, adalah dusta dan fitnah tuduhan bahwa Hizbut Tahrir tidak membenarkan [mempercayai] atau mengingkari siksa kubur. Karena yang sesungguhnya terjadi adalah ada oknum syabab Hizbut Tahrir yang tidak menjadikan siksa kubur sebagai akidah, karena menganggap dalilnya masih dzanni, yaitu hadis ahad, tetapi tetap membenarkannya dan tidak mengingkarinya, karena hadisnya shahih. Jadi tidak ada satu syababpun yang tidak membenarkan, yang menolak dan yang mengingkari siksa kubur, termasuk Ustadz Syamsuddin Ramadhon dalam bukunya yang telah diplintir dan direkayasa oleh banyak pihak. Sekali lagi saya katakan; Semua syabab Hizbut Tahrir termasuk Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, semuanya membenarkan [mempercayai] siksa kubur, dan mereka tidak mengingkarinya, karena hadisnya shahih. Dan mengimani [menjadikan akidah] itu tidak sama dengan membenarkan [mempercayai].

Adapun kitab al-Dausiyyah dan Syaikh Umar Bakri yang keduanya telah dikemukakan oleh Idrus Ramli, maka keduanya tidak mewakili Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir. Dan kalaupun pernyataan Syaikh Umar Bakri itu benar, maka hanyalah pernyataan individu sebagaimana di sini saya juga menyatakan agar para syabab menjadikan Siksa Kubur sebagai akidah Islam, karena bagi saya hadisnya telah mutawatir. Juga kitab al-Dausiyyah sepengetahuan saya tidak ditabanni oleh Hizbut Tahrir, maka kalaupun benar, kitab itu hanyalah kreatif pribadi oknum syabab Hizbut Tahrir.
(Abulwafa Romli)

Hizbut Tahrir Mengkafirkan Kaum Muslim?

Hizbut Tahrir Mengkafirkan Kaum Muslim?

Idrus Ramli berkata:
“Sikap yang paling baik dalam mengahadapi suatu persoalan adalah sikap moderat, netral dan tidak berlebih-lebihan. Sikap demikian ini akan dapat
mengantarkan seseorang untuk mengambil keputusan secara bijak, adil, berimbang dan tidak memihak. Agama kita juga melarang bersikap ekstrem (ghuluw) dalam menghadapi persoalan, meskipun berkaitan dengan soal-soal agama. Karena tidak jarang sikap ekstrem menjerumuskan seseorang kedalam keputusan yang fatal dan merugikan diri sendiri. Nabi SAW bersabda:

عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين.

Ibn Abbas berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah sikap ekstrem (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kamu adalah sikap ekstrem dalam agama”. (HR al-Nasai, (hadis no. 3007), Ibn Majah, (hadis no. 3020), Ahmad, (hadis no. 1754), dan dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, (hadis no. 1664).

Tegaknya khilafah Islamiyyah, sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan kaum muslim pada masa silam, memang diwajibkan dalam agama apabila kita mampu melakukannya. Namun berlebih-lebihan dan terlalu bersemangat dalam menyikapi khilafah, juga kurang baik dan dapat menjerumuskan kita pada sikap yang keliru. Tidak sedikit sikap ekstrem seseorang justru menjerumuskannya ke dalam jurang kesalahan yang sangat fatal. Seperti yang terjadi pada Taqiyyuddin al-Nabhani dalam pernyataannya berikut ini:

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، بل و يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah”.

Tentu saja pernyataan al-Nabhani di atas sangat berlebih-lebihan. Dalam pernyataan di atas, al-Nabhani menganggap orang yang tidak ikut memperjuangkan visi dan misi Hizbut Tahrir tentang khilafah, berdosa besar. Menurutnya pula, ketika khilafah tidak ada, maka Islam pun tidak ada di muka bumi ini. Hal ini, berarti menurut al-Nabhani, ketika khilafah tidak ada, maka semua orang di muka bumi ini menjadi kafir, karena Islam mereka anggap tidak ada. Ini merupakan statemen al-Nabhani yang sangat ekstrem dan ceroboh.

Dalam bukunya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah dan al-Nizham al-Ijtimai fi al-Islam, al-Nabhani tidak pernah menyinggung kewajiban-kewajiban utama dalam Islam seperti membaca syahadat, menunaikan shalat, zakat, puasa dan haji. Al-Nabhani juga tidak pernah menyinggung dosa-dosa besar dan terbesar dalam Islam seperti kekufuran dan kesyirikan, membunuh orang dan lain-lain. Namun di bagian akhir bukunya al-Nabhani berlebih-lebihan dalam menyikapi khilafah, seakan tidak ada kewajiban lain yang lebih penting dari pada khilafah, dan tidak ada dosa lain selain berpangku tangan dari memperjuangkan tegaknya khilafah.

Urgensi khilafah dalam ranah politik Islam sebagai simbol pemersatu kaum muslimin dan lambang kejayaan umat Islam memang benar. Para ulama telah memaparkan pentingnya khilafah serta segala hal yang terkait dengannya dalam kitab-kitab mereka. Tetapi lebih penting dari itu, harus dijelaskan pula bahwa khilafah bukan termasuk rukun iman dan bukan pula rukun Islam.

Sedangkan pernyataan al-Nabhani di atas bahwa, “wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah,” jelas keliru fatal dan tidak benar. Pernyataan tersebut memberikan makna bahwa, Islam itu ada kalau ada khalifah, dan Islam tidak ada ketika tidak ada khalifah. Pernyataan tersebut bermakna pula terhadap pengkafiran kaum muslimin di muka bumi sejak satu abad yang lalu, setelah sistem khilafah dihapus dari negara Turki. Demikian pula, pernyataan sebagian aktivis Hizbut Tahrir, la syari’ata illa bidaulah al-khilafah (Tidak ada syariat kecuali ada negara khilafah) dan pernyataan Hizbut Tahrir, la islama bila khilafatin (Tidak ada Islam tanpa khilafah).
Makna pernyataan di atas adalah pengkafiran terhadap seluruh kaum muslimin sejak satu abad yang silam, setelah khilafah tidak ada. Tentu saja pernyataan tersebut sangat ekstrem dan berlebih-lebihan… Bahkan menurut al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, kajian tentang khilafah itu tidak terlalu penting. Dalam hal ini Hujjatul Islam al-Ghazali berkata:

النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ.

“Kajian tentang imamah/khilafah bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fiqih. Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 99-104).

Kemudian sebagaimana biasanya, Idrus Ramli menyampaikan dalil-dalil dari hadis dan al-Qur’an terkait iman dan Islam yang mengokohkan kesimpulannya lalu berkomentar:

“Dalam hadis-hadis diatas, Islam didefinisikan dengan amaliah-amaliah pokok dalam agama seperti mengesakan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan puasa. Terkadang Islam didefinisikan dengan keimanan, dan terkadang pula dengan budi pekerti yang luhur seperti perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain. Agaknya kita kesulitan menemukan teks al-Qur’an dan sunnah atau perkataan ulama yang mendefinisikan Islam dengan khilafah yang memang bukan ajaran pokok dalam agama. Oleh karena wujudnya khilafah dalam Islam bukan termasuk kewajiban pokok, para ulama mengatakan bahwa mengangkat seorang khalifah itu wajib ketika umat Islam mampu melakukannya. Dalam konteks ini al-Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini yang menyandang gelar Imam al-Haramain berkata:

فنصب الإمام عند الإمكان واجب.
“Mengangkat seorang imam adalah wajib ketika mampu melakukan”.
Dewasa ini kaum muslimin tidak memiliki khalifah, karena memang tidak mampu melakukannya. Suatu kewajiban akan menjadi gugur ketika tidak mampu dilakukan…” (Ibid, hal. 108-110).

MEMBONGKAR PAT :

Untuk memudahkan para pembaca, bantahan ini akan terbagi menjadi lima bagian:

Pertama, terkait pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang dipermasalahkan oleh Idrus Ramli;

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ، بل و يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah”.

Di situ ada redaksi yang dibuang dan terjemahan yang dikorupsi. Padahal redaksi dan terjemahan yang tepat adalah sebagai berikut;

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ويتوقف عليه إقامة أحكام الدين، بل يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling penting dan tergantung padanya penegakkan hukum-hukum agama, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada kewajiban itu”.

Sehingga dengan redaksi dan terjemah seperti ini kesimpulannya sangat berbeda dengan kesimpulan Idrus Ramli. Kesimpulannya adalah: 1) Berpangku tangan dari menegakkan khalifah adalah maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar. Berarti masih banyak maksiat yang paling besar selain dari padanya seperti syirik, sihir, zina, membunuh dll. 2) Karena termasuk berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling besar. Berarti masih banyak kewajiban Islam yang paling besar selain dari padanya seperti shalat, puasa, zakat dll. 3) Penegakkan hukum-hukum agama bergantung pada kewajiban itu, yaitu hukum-hukum yang terkait kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini dapat dipahami dari redaksi setelahnya. Jadi menegakkan khilafah termasuk kewajiban yang paling besar karena kewajiban yang paling besar yang lain bergantung kepadanya, yaitu kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah dalam realita kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti hudud dll. Dan 4) Wujudnya Islam dalam kancah kehidupan bergantung pada kewajiban itu, yaitu wujudnya hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi arti kehidupan dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir adalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau kehidupan politik dan berpolitik, bukan hanya kehidupan pribadi atau individu.

Sedangkan kenapa Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir dalam sejumlah kitabnya tidak menuturkan kewajiban-kewajiban besar yang lain dan tidak pula menuturkan dosa-dosa besar yang lain? Jawabannya karena, 1) Mencukupkan diri dengan kitab-kitab terkait yang telah ditulis oleh para ulama yang lain. 2) Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam ideologis dan Syaikh Taqiyyuddin adalah pendirinya, maka kitab-kitabnya pun harus yang dibutuhkan dan terkait dengan politik dan ideologi Islam.

Akan tetapi secara pribadi, para syabab Hizbut Tahrir termasuk Syaikh Taqiyyuddin juga telah menulis kitab-kitab yang lain yang menjelaskan kewajiban-kewajiban besar dan dosa-dosa besar yang lain, dan saya juga telah menulis kitab Iqadzul Himah litaqwiyah al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah yang di antara isinya menjelaskan kewajiban-kewajiban dan dosa-dosa besar yang lain. Dan perlu diketahui bahwa dalam dunia tashnif dan ta’lif, penulisan isi kitab adalah hak pribadi penulis dan sesuai kebutuhan yang menjadi motifnya. Dan juga perlu diketahui bahwa para mushannif dan muallif itu saling melengkapi antara satu sama lainnya. Maka kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir juga oleh para syababnya pada dasarnya adalah melengkapi hazanah tsaqafah Islam yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu. Jadi bukan kesalahan yang harus dipermasalahkan apalagi dosa yang harus dikritik, dibenci dan dicaci-maki, ketika seorang mushannif atau muallif dalam kitabnya tidak menjelaskan ini dan itu.
Dengan demikian, dapat kita pastikan bahwa redaksi pernyataan Syaikh Taqiyyuddin dan terjemahnya yang telah disampaikan, dikurangi dan dikorupsi oleh Idrus Ramli seperti di atas adalah kesalahan dari Idrus Ramli. Maka semua kesimpulan pokok, kesimpulan cabang dan kesimpulan rantingnya pun ikut salah, karena semuanya hanyalah pengikut dari yang diikuti yang juga salah. Apalagi Idrus Ramli terlalu ekstrem dan berlebih-lebihan dalam membuat semua kesimpulannya.

Kedua, terkait fardhu kifayah serta karakternya. Bukan hal yang asing bagi para ulama Ahlussunnah Waljamaah dan para aktivis Hizbut Tahrir bahwa menegakkan khilafah dan mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah, fardhu ‘alal kifayah atau fardhu ‘alal muslimin atau ‘ala jami’il muslimin. Dalam hal ini Imam Nawawi berkata:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت: تولي الإمامة فرض كفاية...

“Umat Islam harus memiliki Imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, menyempurnakan serta meletakkan sejumlah hak pada tempatnya. Aku berkata: “Mengatur imamah adalah fardhu kifayah…..” (Al-Nawawi, Raudhatut Thalibiin wa 'Umdatul Muftiin, juz III, hal. 433, al-Maktabah al-Syamilah).

Abu Yahya Zakaria al-Anshari berkata:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء...
“(Fasal) Syarat-syarat Imam Agung (khalifah) dan menjelaskan metode legalitas imamah. Imamah adalah fardhu kifayah seperti pengadilan…..” (Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahhab, juz II, hal. 268, al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani berkata:
وإقامة خليفة فرضٌ على كافة المسلمين في جميع أقطار العالم. والقيام به -كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين...
“Menegakkan khalifah adalah fardhu atas semua kaum muslim (fardhu kifayah) di semua penjuru dunia. Sedang melaksanakannya itu seperti halnya melaksanakan fardhu yang lain dari sejumlah fardhu yang telah difardhukan oleh Allah atas kaum muslim…..” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz II, hal. 15, cetakan ke III, 1994 M. Daar al-Ummah, Berut).

Dan terkait karakter fardhu kifayah, Syarif Ali bin Muhammad al-Jarjani dalam kitab al-Ta’rifat-nya berkata:

وفرض الكفاية: ما يلزم جميع المسلمين إقامته ويسقط بإقامة البعض عن الباقين كالجهاد وصلاة الجنازة.
“Fardhu kifayah ialah perkara dimana semua kaum muslim berkewajiban menegakkannya, dan dengan ditegakkan oleh sebagian kaum muslim,dosanya gugur dari kaum muslim yang lainnya, seperti jihad dan shalat janazah”.

Dan komunitas ulama al-Azhar berkata:
فرض كفاية متى قام به البعض سقط عن الباقين وإذا تركه الجميع أثموا....
“Fardhu kifayah kapan saja ada sebagian (dari kaum muslim) yang telah melaksanakannya, maka (dosanya) gugur dari sebagian yang lainnya,dan apabila mereka semua meninggalannya, maka semuanya berdosa…..” (Fatawa al-Azhar, jus I, hal. 185, al-Maktabah al-Syamilah).

Dan komunitas ulama Hijaz berkata:
صلاة العيدين فرض كفاية؛ إذا قام بها من يكفي سقط الإثم عن الباقين...
“Shalat ‘idul fitri dan ‘idul adhha adalah fardhu kifayah dimana ketika telah dilaksanakan oleh orang-orang yang mencukupi, maka dosanya gugur dari orang-orang yang lain… ” (Fatawa al-Lajnah al-Daaimah lil buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta', juz X, hal. 289,al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Sayyid Abu Bakar al-Bakri bin Sayyid Muhammad Shatha al-Dimyathi berkata:
وقولهم فرض الكفاية يسقط بفعل واحد: معناه يسقط الاثم به.
“Pernyataan ulama “Fardhu kifayah gugur dengan pekerjaan satu orang (seperti mengurus janazah)”, maknanya dosanya gugur denga pekerjannya… ”. (I’anatuh al-Thalibiin, juz II, hal. 150,al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Imam Nawawi berkata:
وان فرض الكفاية إذا فعله من حصل به المطلوب سقط الحرج عن الباقين والا اثموا كلهم...
“Dan bahwa fardhu kifayah ketika telah dikerjakan oleh orang yang bisa menghasilkan tuntutan, maka dosa itu gugur dari orang-orang yang lain, dan apabila tidak ada yang mengerjakan (sampai selesai), maka semua kaum muslim berdosa...” (Al-Majmu’, juz I, hal. 32,al-Maktabah al-Syamilah).

Dalam bagian lain Imam Nawawi berkata:
لان فرض الكفاية واجب علي جميعهم ولكن يسقط الحرج بفعل البعض ولهذا لو تركوه كلهم عصوا...
“Karena fardhu kifayah itu wajib atas semua kaum muslim, tetapi dosanya gugur dengan pekerjaan sebagian mereka, oleh karena ini, apabila mereka semua meninggalkannya, maka semuanya maksiat... (Ibid, juz V, hal. 3).

Dan pada bagian lain Imam Nawawi berkata:
ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا ...
“Konotasi fardhu kifayah ialah apabila telah dikerjakan oleh orang yang mencukupi, maka dosanya gugur dari orang-orang yang lain, dan apabila meraka semua meninggalkannya, maka semuanya berdosa…..” (Ibid, juz V, hal. 128).

Dan al-‘Allamah Zainuddin al-Malaibari berkata:
وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين، ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا،.....
“Hukum fardhu kifayah ialah ketika telah dikerjakan oleh orang-orang yang bisa mencukupi, maka dosanya gugur darinya juga dari orang-rang yang lain, dan setiap orang muslim yang tidak memiliki udzur itu berdosa ketika mereka meninggalkannya meskipun mereka bodoh,…..” (Lihat; Fathul Mu’in, juz IV, hal. 206, al-Maktabah al-Syamilah.

Dengan mengutif sejumlah pernyataan ulama di atas terkait fardhu kifayah serta karakternya, maka pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang dipermasalahkan oleh Idrus Ramli di atas adalah pernyataan yang sesuai dengan realita dan karakter fardhu kifayah yang sebenarnya, yang padanya tidak terselip sedikitpun sikap ekstrem dan berlebih-lebihan, sebagaimana kesimpulan Idrus Ramli yang sangat ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi sebenarnya yang sangat ekstrem dan berlebiha-lebihan adalah Idrus Ramli sendiri, bukan Syaikh Taqiyyuddin atau Hizbut Tahrir.

Tuesday, July 23, 2019

AKIBAT TIDAK BISA MEMBEDAKAN THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH

AKIBAT TIDAK BISA MEMBEDAKAN THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH


Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu “alat” untuk memenuhinya kebutuhan dan “aktivitas” yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel, bisa digantikan yang lain). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi berbagai “alat” dan “aktivitas” yang begitu banyak ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat atau sia-sia.

Contohnya adalah lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari alat dan aktivitas yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Alat di sini tentu maknanya adalah berupa makanan. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya.

Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum seember air atau tidur 10 jam, tetap itu tidak akan bisa menjadi “obat” lapar. Jadi, aktivitas makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain. Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari (sahur dan berbuka), atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju manusia. Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah hilangnya rasa lapar, dan bukan aktivitas makan itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan “memenuhi aktivitas makan”. Misalnya, kita makan siang. Kita makan siang semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena “jam makan siang”. Seandainya saja, kita makan pagi (sarapan) terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan (karena sudah jam makan siang), maka aktivitas makan siang ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah “terwujudnya aktivitas makan”, dalam hal ini aktivitas makan siang adalah bagian dari cara makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam). Tetapi jika kita makan siang, padahal kita masih kenyang karena makan pagi terlalu banyak, itu artinya kita makan siang bukan dalam rangka memenuhi tujuan makan yaitu “hilangnya rasa lapar”, tetapi dalam rangka memenuhi yang lainnya. Bisa saja tujuannya adalah “mewujudkan prinsip makan tiga kali sehari (makan pagi, siang, malam)”, atau bisa juga karena “ingin memenuhi selera makan karena ada menu baru”, dan sebagainya. Padahal, hukum asal makan adalah untuk “menghilangkan rasa lapar”. Ini contoh yang pertama.

Contoh lain adalah berkelompok. Berkelompok adalah indikasi yang menunjukkan adanya naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (bersama kelompoknya). Dari sisi dasar pendiriannya, ada begitu banyak jenis kelompok dalam kehidupan manusia. Ada kelompok yang didirikan atas dasar kepentingan materi, dan ada kelompok atas dasar kepentingan non-materi (atas dasar kepentingan kesamaan ide atau ideologi, kepentingan kesamaan nasib, kesamaan kepentingan perasaan, kepentingan kesamaan nasab, dan sebagainya). Sebuah kelompok didirikan karena manusia merasa nyaman dengan adanya kesatuan atau berbagai kesamaan tadi. Sedangkan dari sisi bentuknya, kelompok juga memiliki beberapa jenis. Ada keluarga, ada ormas, ada partai politik, ada majelis taklim, ada pula negara. Berbagai kelompok tadi didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu. Apa tujuannya? Itu sangat bergantung pada jenis kelompoknya. Jika sebuah negara didirikan, maka tujuan-tujuannya meliputi kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Dengan kata lain, tujuannya adalah menjaga jiwa, akal, dan kehormatan masyarakat. Inilah tujuan dari orang-orang yang mendirikan negara. Tanpa adanya negara (kekuasaan), maka berbagai tujuan tadi akan susah terwujud. Maka negara merupakan “alat” baku untuk tercapainya tujuan-tujuan tadi. Mengapa negara disebut sebagai alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan berbagai tujuan tadi, kecuali dengan adanya negara (kekuasaan, politik). Tidak bisa dengan model pendirian ormas, partai politik, majelis taklim, dan sejenisnya. Kalau pun ada ormas, partai politik, dan majelis taklim yang ingin berbuat nyata untuk masyarakat, aktivitasnya juga pasti sangat terbatas, tidak bisa menjangkau seluruh warga masyarakat. Misalnya dengan menggalang bantuan sosial atau kemanusiaan atau pendidikan atau kesehatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah atau rumah sakit. Hal-hal semacam ini hanya berlaku terbatas, tidak seluruh warga negara bisa dijangkau. Mengapa terbatas? Ya karena tidak memiliki kekuasaan, karena itu tidak kuasa (terbatas) dalam memenuhi seluruh kepentingan warga masyarakat. Berbeda jika hal-hal semacam itu dilakukan oleh negara (kekuasaan). Jika negara sudah berdiri, maka berbagai cara akan ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuan-tujuannya di atas tadi, bukan hanya yang bisa dijangkau ormas, parpol, atau lembaga sosial. Caranya bisa bermacam-macam, bisa mendirikan berbagai macam sekolah, rumah sakit, bandara, membangun berbagai BUMN untuk mengelola sumber daya alam, memberikan permodalan untuk masyarakat, mendirikan lembaga-lembaga penjaga keamanan (baik keamanan dalam/polisi dan keamanan luar negeri/
tentara), mendirikan lembaga peradilan, mendirikan lembaga-lembaga administrasi negara, dan sebagainya. Ini semua adalah cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendirian negara. Karena itu bisa diambil kesimpulan, keberadaan negara, sebenarnya bukanlah tujuan. Karena tujuannya didirikannya negara adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika negara bukan tujuan, lalu negara itu sebagai apa? Jawabannya, negara merupakan “alat” baku untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi. Mengapa disebut alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi selain dengan adanya negara.
Buruknya kondisi suatu negara, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, bisa jadi juga merupakan akibat dari tidak dipahaminya konsep ini secara benar. Misalnya, munculnya jargon NKRI harga mati. Jargon ini secara nyata telah menunjukkan bahwa NKRI adalah tujuan. Pernyataan ‘harga mati’ inilah yang mengindikasikan bahwa negara adalah tujuan. Sebab, istilah harga mati merupakan ungkapan untuk menunjukkan kerasnya usaha dalam hal mempertahankannya, sedangkan tidak ada suatu usaha keras ditempuh selain untuk meraih tujuan. Sehingga diambil kesimpulan bahwa dari pernyataan tersebut, bahwa keberadaan NKRI adalah tujuan. Dan apa yang bisa dilakukan seseorang ketika tujuannya sudah tercapai? Jawabannya, tidak akan ada lagi usaha keras yang dia tempuh, kecuali hanyalah aktivitas-aktiv
itas kecil saja. Maka wajar jika setelah NKRI tegak, maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, hanya dilakukan dengan sekedarnya. Mengapa? Ya, karena tujuan sudah tercapai. Akibatnya, rakyat akan merasakan kerugian yang luar biasa, baik rugi sumber daya alam (sumber daya alam dirampok asing) maupun rugi sumber daya manusianya (akhlak atau moralitas rakyat rusak karena pengaruh paham asing). Ini sebagai akibat dari salah memahami, bahwa keberadaan negara disangka tujuan. Padahal, tidak tepat jika menjadikan negara sebagai tujuan.

Sama halnya juga dengan memahami kekuasaan. Ketika menjelang pemilu, suasana di negara demokrasi begitu semarak, ramai. Partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, atau calon kepala daerah yang akan tampil “bertarung” dalam panggung demokrasi, akan mengeluarkan segala daya dan upaya untuk bisa meraih kekuasaan, memenangkan pertarungan. Biaya miliyaran mereka keluarkan, hanya untuk tercapainya tujuan. Apa tujuannya? Yaitu kekuasaan. Sampai di sini, siapa pun memahami, bahwa kekuasaan memang tujuan dari para peserta pertarungan demokrasi. Padahal, jika kita memahami konsep normal suatu pemikiran asal, kekuasaan seharusnya tidak dianggap sebagai tujuan. Sebab, tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Ini tujuan asalnya, dan bukan meraih kekuasaan. Kekuasaan, hanyalah jalan baku untuk bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kenapa jalan baku? Ya, seperti dijelaskan di atas, karena hanya dengan kekuasaanlah berbagai tujuan bisa terwujud, bukan dengan jalan yang lain. Kesalahan dalam memahami mana tujuan dan mana jalan baku dalam bernegara, akan berakibat pada terbengkalainya kepentingan rakyat. Kita bisa melihat, setelah seseorang jadi penguasa (memenangkan pertarungan demokrasi), apakah kebijakan mereka benar-benar akan berpihak kepada rakyat? Tentu kita bisa melihatnya sendiri. Utang negara yang semakin menggunung. Siapa yang harus membayar? Tentu rakyat. Subsidi energi (listrik dan BBM) dicabut. Siapa yang harus menanggung? Tentu rakyat. Sumber daya alam mengeluarkan hasil yang melimpah. Siapa yang menikmati? Tentu bukan rakyat. Ini terjadi, sebagai akibat dari memahami kekuasaan sebagai tujuan. Padahal, sebagaimana layaknya memahami negara, kekuasaan hanyalah jalan baku untuk mencapai tujuan-tujuan.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri, manusia harus betul-betul memperhatikan aktivitas dan alat yang akan digunakan untuk memenuhinya; mana yang merupakan cara baku, cara tidak baku, alat yang tepat untuk memenuhi, alat yang tidak tepat untuk memenuhi; serta tujuan dari dilakukannya aktivitas tersebut. Jika hal tersebut tidak dipahami dengan baik, maka niscaya kehidupan manusia tidak akan berjalan efektif, efisien, terukur, dan terarah. Bisa dibayangkan, antara yang baku dengan yang tidak baku kebolak balik; mengira alat adalah tujuan padahal alat hanyalah sarana meraih tujuan; aktivitas baku tertukar dengan aktivitas tidak baku dan mengira memenuhi aktivitas baku sebagai tujuan. Ini semua adalah kekacauan hidup sebagai akibat dari tidak dipahaminya “cara-cara menjalani kehidupan”. Akhirnya, tujuan hidup manusia menjadi semakin kabur, tidak jelas mau seperti apa, tidak jelas mau dibawa kemana. Jika ketidakjelasan hidup ini dianut individu, maka hal itu hanya akan berdampak pada dirinya sendiri. Tetapi jika hal semacam ini dianut oleh suatu bangsa, atau pemimpin masyarakat, maka dampaknya akan sangat luas.

KHILAFAH, BUKANLAH TUJUAN

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan penjelasan tentang hal ini. Beliau membedakan mana yang termasuk tujuan, sarana, cara, dan jalan. Tujuan adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau “alat” yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah). Dalam Islam, thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana prasarana atau “alat-alat” yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.

Contohnya adalah Khilafah. Khilafah adalah jalan baku untuk mencapai tujuan perjuangan Islam. Disebut jalan baku, karena tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan, selain dengan Khilafah. Maka, khilafah adalah sebuah thariqah atau metode untuk tercapainya tujuan yang hendak dicapai. Apa tujuan yang hendak dicapai? Tujuan yang hendak dicapai adalah menerapkan syariat Islam secara keseluruhan atau menghadirkan kehidupan Islam. Disebut “menghadirkan kehidupan Islam” sebab, kehidupan yang Islami tidak akan terwujud tanpa penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Inilah tujuan yang (seharusnya) hendak dicapai oleh banyak organisai pergerakan Islam. Jadi, Khilafah bukanlah tujuan. Khilafah adalah sebuah metode (thariqah) atau jalan untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuannya (ghayah), tidak lain adalah menerapkan syariat Islam. Mengapa penerapan syariat Islam dijadikan tujuan? Sebab, menerapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Allah berfirman:
ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ
“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. al-Maidah: 48)
ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….” (QS. al-Maidah: 49)
Apa yang diturunkan Allah? Tidak lain adalah wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunah, dan apa yang ditunjukkan keduanya, yaitu ijma’ sahabat dan qiyas. Wahyu Allah ini meliputi akidah (keyakinan), dan syariah (tata aturan hidup bagi manusia). Syariah meliputi tiga aspek : (1) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, yang tercakup dalam aturan berakidah dan aturan beribadah; (2) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi aturan-aturan tentang makanan-minuman, pakaian, dan akhlak; dan (3) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia, yang meliputi muamalat dan uqubat (sistem sanksi). Muamalat dalam Islam meliputi fiqh muamalah (fikih ekonomi), fiqh munakahah (fikih sosial/
pergaulan pria dan wanita), dan fiqh siyasah (fikih berpolitik, bagaimana mengatur tatanan masyarakat). Sedangkan uqubat (sistem sanksi) adalah dalam rangka menjaga agar penerapan muamalat Islam berjalan baik. Inilah ruang lingkup dari syariat Islam yang wajib untuk diterapkan.
Karena menerapkan syariat Islam adalah wajib, dan kaum muslimlah yang akan menerapkannya, maka kaum muslim harus terbangun kesadarannya (sadar bahwa syariat Islam wajib diterapkan). Jika terbangunnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka berdakwah di tengah-tengah kaum muslim agar terikat dengan syariat Islam, merupakan jalan baku (thariqah) untuk membangun kesadaran kaum muslim.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika Khilafah atau mendirikan Khilafah merupakan tujuan (sesuatu yang ingin dicapai dan ending dari segala usaha), maka jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam tidak perlu melakukan aktivitas dakwah. Organisasi tersebut cukup membentuk laskar-laskar kemiliteran. Jika dirasa sudah cukup kuat, maka tibalah saatnya melakukan kudeta, kepung istana negara, sandera kepala negara, lalu deklarasikan berdirinya Khilafah. Tercapailah tujuan. Tidak perduli, apakah umat siap atau tidak diterapkan syariat Islam. Tidak perduli dalam perjalanan Khilafah apakah terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam atau tidak. Sebab, itu bukanlah tujuan. Karena yang menjadi tujuannya adalah Khilafah. Inilah yang akan terjadi, jika Khilafah dijadikan tujuan (ghayah). Dan dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pemahaman seperti ini adalah salah.
Tetapi jika “menerapkan syariat Islam” atau “menerapkan kehidupan Islam” adalah tujuan dari perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, maka metode (thariqah) yang harus ditempuh tidak lain adalah dengan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat tentang wajib dan pentingnya syariat Islam. Justru penerapan syariat Islam inilah yang merupakan inti dari aktivitas setelah Khilafah berdiri. Maka, tujuan belum dikatakan tercapai (berhasil), jika setelah Khilafah berdiri, justru terjadi banyak pelanggaran syariat Islam. Jadi, bisa diambil kesimpulan, bahwa Khilafah tidak boleh dijadikan tujuan perjuangan jamaah dalam Islam, tetapi yang harus menjadi tujuannya adalah agar umat menerapkan syariat Islam.

Dari pemahaman tersebut, maka kelompok atau jamaah dakwah Islam seperti HTI yang berjuang ingin menegakkan Khilafah, tidak akan menjadikan Khilafah menjadi tujuan perjuangan. Tetapi bagi ormas HTI, Khilafah “sekedar” metode atau thariqah atau jalan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Karena itulah, HTI tidak akan dan tidak akan pernah memiliki atau membentuk laskar atau sayap militer dalam bentuk apa pun. Jika sampai ada aktivitas semacam ini, itu artinya HTI telah keluar (melanggar) prinsip-prinsip dalam seluruh aktivitasnya, dan tentulah akan bertentangan dengan konsep thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah yang digagas pendirinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, pernyataan mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam sidang PTUN yang menyatakan bahwa HTI memiliki sayap milter yang disembunyikan, jelas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta alias dusta. Allah berfirman :
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)

Agar umat terbangun kesadaran akan penting dan wajibnya menerapkan syariat Islam, maka harus ada dakwah. Pembahasan tentang dakwah ini begitu luas, baik dari sisi objek (sasaran), materi dakwah, maupun cara/gaya berdakwah. Dalam konteks objek atau sasarannya, maka sasaran dakwah itu ada dua, yaitu kaum muslim dan nonmuslim. Dakwah untuk orang nonmuslim adalah dakwah untuk mengajak mereka masuk ke dalam Islam. Sedangkan dakwah kepada sesama orang Islam adalah dakwah untuk mengajak mereka agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup dengan aturan agama Islam. Sementara itu dari sisi materi dakwahnya, ini sangat bergantung pada pemahaman da’i terhadap kondisi realitas yang ada. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah masalah akidah maka materi dakwahnya berfokus pada pembinaan akidah. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah kerusakan akhlak, maka dakwahnya berfokus pada pembinaan akhlak. Jika seorang da’i menganggap bahwa akar permasalahan umat adalah politik (ketiadaan Khilafah), maka fokus dakwahnya adalah pada bidang politik Islam. Begitu seterusnya. Semua materi dakwah memang sangat bergantung dari pemahaman seorang da’i tentang realitas kondisi umat.

Sedangkan untuk cara atau gaya dakwah, ini sangat berkaitan dengan cara penyampaiaan materi-materi dakwah. Cara atau gaya dakwah merupakan bentuk dari uslub dalam dakwah. Ada dakwah yang dilakukan dengan cara tatsqif jama’i (pembinaan secara umum) seperti mengadakan pengajian umum di masjid atau aula, seminar di gedung pertemuan, muktamar di lapangan besar; ada pula yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian (halqah). Ada dakwah yang dilakukan dengan penyiaran di media massa (televisi, koran, majalah, radio), ada dakwah yang dilakukan melalui penyampaian syair-syair (nasyid). Ada yang dilakukan di indoor (di dalam ruangan), ada juga yang outdoor (di ruang terbuka). Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang dengan model terbuka. Dan sebagainya. Semua ini masuk dalam ranah (uslub) dalam berdakwah. Tetapi tanpa dibedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah; maka akan muncul keruwetan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas. Karena itu, dalam berdakwah, setiap da’i hendaknya tetap memandang mana thariqah, mana uslub, mana wasilah, dan mana ghayah. Ini penting untuk dipahami, sebagaimana pentingnya memahami bahwa persoalan lapar itu hanya bisa diselesaikan dengan makan, dan bukan minum. Makan pun tidak harus dengan nasi, tetapi bisa juga dengan roti atau singkong. Makan pun tidak harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam), karena bisa juga dengan dua kali sehari (sahur dan berbuka), empat kali sehari (makan pagi, makan siang, makan sore, makan malam), atau seperlunya saja (makan hanya pada saat lapar). Jangan sampai seorang da’i terjebak dalam aktivitas, namun tanpa memahami realitas atau hakikat dari aktivitas tersebut; apakah termasuk thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.

‘DAKWAH BISA TERSELENGGARA DI RUANG PUBLIK’ BUKANLAH TUJUAN

Dakwah secara terbuka di tempat umum, misalnya dengan mengadakan pengajian akbar di lapangan besar dengan alasan bisa menampung banyak orang. Dilihat dari sisi aktivitasnya, ini termasuk uslub berdakwah. Bukan thariqah dakwah yang bersifat baku. Dakwah seperti ini memang menguntungkan, karena bisa mendatangkan banyak peserta dan pesan dakwah bisa tersebar secara meluas. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tujuan (ghayah) dari aktivitas dakwah, adalah untuk membangun kesadaran umat akan Islam, baik akidah maupun syariahnya. Tujuan (ghayah) dari dakwah, bukanlah “terselenggaran
ya acara dakwah”. Sehingga seandainya saja ada penguasa kafir yang melarang penggunaan ruang publik untuk aktivitas dakwah seperti Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno, sesungguhnya itu bukanlah akhir dari dakwah. Kejadian seperti ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dakwah ini telah berakhir, atau merupakan bencana bagi Islam. Kurang pas lagi, jika kemudian diikuti dengan pandangan, misalnya, “Berarti kelak kita harus mendukung calon kepala daerah muslim agar dakwah di ruang publik bisa dilegalkan.” Sikap seperti ini seringkali muncul sebagai ikutan dari adanya kejadian yang menghalangi dakwah. Padahal, jika dipikir lebih mendalam, sikap seperti ini sama artinya dengan menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” (misalnya Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno), adalah thariqah (hal yang baku) yang tidak bisa tidak, harus terlaksana. Atau, menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” adalah ghayah (tujuan, akhir dari segala sesuatu), yang ketika gagal terlaksana maka berakhir sudah segala-galanya. Padahal, ini (dakwah di ruang publik) bukanlah thariqah melainkan ‘sekedar’ uslub dalam berdakwah, yang jika kurang berhasil dalam uslub ini maka harus dipikirkan uslub lain, agar tujuan (ghayah) dari dakwah bisa tercapai. Apa itu? Yaitu tercapainya kesadaran umat akan Islam. Lebih jauh lagi, secara politik, sikap seperti di atas justru akan bisa menyebabkan kekalahan politik umat. Umat akan menjadi mudah dibelokkan dari satu sikap ke sikap lain, umat akan menjadi lebih mudah untuk dibeli kepentingan-kepentingannya hanya karena kondisi-kondisi seperti di atas. Umat akan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik tertentu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, karena memang jumlah suaralah yang menjadi tolok ukur kemenangan di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, jamaah-jamaah dakwah Islam diharapkan dapat membimbing umat menuju sikap berpegang pada prinsip, agar perjuangan umat tidak kehilangan arah, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.
Keberadaan jamaah dakwah dalam rangka mewujudkan tujuan dakwah merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, hal ini merupakan perintahdari Allah:
ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

MASUK JAMAAH DAKWAH, BUKANLAH TUJUAN

Karena itulah, di dunia ini ada begitu banyak jamaah dakwah, entah berbentuk organisasi massa atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dan dakwah, atau juga berbentuk partai politik. Di Indonesia sendiri, jamaah dakwah itu ada NU, Muhammadiyah, Persis, MTA, HTI, FPI, Dewan Dakwah, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut merupakan wasilah dalam rangka mewujudkan ghayah, yaitu kesadaran umat akan pentingnya menjadikan Islam (baik akidah maupun syariahnya) sebagai jalan hidup. Maka, orang boleh-boleh saja mau ngaji di mana pun dia mau jika memang ingin turut berperan dalam rangka aktivitas penyadaran umat. Bisa masuk NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al-Quran), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Dewan Dakwah, atau yang lainnya. Jadi, kalau ada orang yang mengira bahwa orang diajak masuk jamaah dakwah tertentu adalah untuk dicuci otaknya, atau masuk jamaah dakwah tertentu adalah semata-mata demi kepentingan jamaah tersebut, ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah mengira bahwa jamaah dakwah adalah ghayah (tujuan). Orang tersebut mengira, orang diajak ngaji di NU semata-mata untuk kepentingan NU, orang ngaji di Muhammadiyah semata-mata untuk kepentingan Muhammadiyah, orang ngaji bersama FPI semata-mata untuk kepentingan FPI, orang ngaji bersama HTI semata-mata untuk kepentingan HTI, orang ngaji bersama MTA semata-mata untuk kepentingan MTA. Sampai-sampai ditambahi pernyataan “Kelompok-kelom
pok dakwah itu adalah bid’ah, mereka berpecah belah, tidak usah ikut firqah-firqah tersebut.” Dikiranya, ngaji dengan jamaah-jamaah dakwah tersebut tujuannya semata-mata demi besarnya tubuh jamaah tersebut (semoga Allah menghilangkan pikiran-pikiran seperti ini). Ini pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami jamaah dakwah. Bahkan, keliru atau salah kaprah pemahamannya, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah. Ruwet. Padahal, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut di atas, bukanlah ghayah atau tujuan orang ngaji (semoga setiap jamaah tidak menjadikan besarnya jamaah sebagai tujuan). Jamaah dakwah hanyalah wasilah (sarana) untuk tujuan yang sebenarnya. Apa itu? Yaitu agar orang yang ngaji semakin memahami Islam, baik akidah maupun syariahnya. Adapun adanya perbedaan atau keragaman jamaah dakwah (ada banyak jamaah dakwah), itu dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami realitas persoalan-persoalan umat. Perbedaan cara pandang terhadap persoalan umat inilah yang berimbas pada perbedaan fokus aktivitasnya, sebagaimana sudah disinggung di atas. Jadi, kalau mau ngaji bersama jamaah-jamaah dakwah, ya dipersilakan saja. Asal tetap memahami, bahwa masuk ke dalam jamaah tersebut bukanlah tujuan, tetapi jamaah dakwah hanyalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan yang sebenarnya. Mau memilih yang mana? Ya, itu tergantung pada masing-masing orang, sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri terhadap permasalahan umat dan jalan apa yang akan ditempuh oleh masing-masing jamaah dakwah.

Wallahu a’lam.

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN MENURUT IMAM AN-NAWAWI DALAM KITABNYA “AR-RAUDHAH”

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN MENURUT IMAM AN-NAWAWI DALAM KITABNYA “AR-RAUDHAH”*

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Batasan “Ghibah”

“Ghibah” adalah menyebut seseorang di belakang, tentang apa yang tidak disukainya.
[Lihat, al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 304].
Hukum asal “Ghibah” adalah haram.

Keharaman ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﺛْﻢٌ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠَﺴَّﺴُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻐْﺘَﺐ ﺑَّﻌْﻀُﻜُﻢ ﺑَﻌْﻀًﺎ ۚ ﺃَﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥ ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻟَﺤْﻢَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻣَﻴْﺘًﺎ ﻓَﻜَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮﻩُ ۚ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺗَﻮَّﺍﺏٌ ﺭَّﺣِﻴﻢٌ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Q.s. al-Hujurat: 12]

Makna “Ghibah” dinyatakan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ﺃَﺗَﺪْﺭُﻭْﻥَ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻐِﻴْﺒَﺔُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﺍَﻟﻠﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ . ﻗَﺎﻝَ : ﺫِﻛْﺮُﻙَ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﺑِﻤَﺎ ﻳُﻜْﺮِﻩُ . ﻗِﻴْﻞَ : ﺃَﻓَﺮَﺃَﻳْﺖَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﺃَﺧِﻲْ ﻣَﺎ ﺃَﻗُﻮْﻝُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮْﻝُ ﻓَﻘَﺪْ ﺍِﻏْﺘَﺒْﺘَﻪُ، ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻓِﻴْﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﻬَﺘَّﻪُ .
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka [para sahabat] menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Baginda saw. bersabda, “Ketika kamu menyebut saudaramu apa yang tidak dia sukai.” Ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika apa yang aku katakan itu memang ada pada saudaraku.” Baginda saw. menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu memang ada padanya, maka kamu benar-benar telah melakukan ghibah kepadanya. Jika apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, maka kamu benar-benar telah memfitnahnya.” [Hr. Muslim]

Menurut al-Hasan, sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi,

“Ghibah” itu ada tiga bentuk. Semuanya disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu “Ghibah”, “Ifk” dan “Buhtan”. “Ghibah” adalah membicarakan saudaramu, yang memang faktanya seperti itu. Sedangkan “Ifk” adalah membicarakannya, sebagaimana informasi yang sampai kepadamu tentang dirinya. Adapun “Buhtan” adalah membicarakannya yang tidak sesuai dengan faktanya. [Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, hal. Juz II/2878-2879]

“Ghibah” yang Dibolehkan
Dalam kitab, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, dan al-Adzkar, Imam an-Nawawi menyatakan,

“Ghibah” itudibolehkan karena ada enam alasan. Saya telah menjelaskannya dengan berbagai bukti, apa yang terkait dengannya, dan beberapa jalan keluarnya dalam bagian akhir kitab al-Adzkar:

Pertama, mengadukan kezaliman. Boleh bagi orang yang dizalimi untuk mengadukan kezaliman kepada Sultan [Khalifah], Qadhi [hakim] dan yang lain, yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menegakkan keadilan dari pelaku yang telah mezaliminya. Maka, dia bisa mengatakan, “Saya telah dizalimi Si Fulan. Dia telah melakukan begini kepada saya.”

Kedua, meminta bantuan untuk mengubah kemunkaran, mengembalikan orang yang maksiat agar kembali ke jalan yang benar. Maka dia bisa mengatakan kepada siapa saja yang diharapkan, dengan kemampuannya, bisa menghilangkan kemunkaran. “Si Fulan telah melakukan perbuatan begini, maka cegahlah dia dari perbuatan itu.” Atau sejenisnya.
Ketiga, meminta fatwa. Misalnya, mengatakan kepada Mufti, “Saya telah dizalimi Si Fulan, atau ayahku, atau saudaraku begini. Apakah dia berhak melakukan itu, atau tidak?

Lalu, bagaimana caranya saya bisa melepaskan diri dari kezalimannya, dan mengelakkan kezalimannya terhadap diriku?” dan sejenisnya.
Begitu juga, dia mengatakan, “Isteriku telah melakukan begini denganku.” Atau, “Suamiku telah memukulku, dan mengatakan kepadaku begini.”
Semuanya ini boleh, karena dibutuhkan. Untuk lebih berhati-hati, hendaknya dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang, suami, atau orang tua dengan tindakannya begini?” Meski demikian, jika dinyatakan secara definitif juga boleh. Berdasarkan hadits Hindun, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, “Abu Sufyan itu orang yang pelit..” [al-Hadits].
Keempat, memberi peringatan kepada kaum Muslim akan keburukannya. Itu antara lain tampak pada beberapa aspek:

Antara lain, menyatakan cacat orang yang memang cacat, baik perawi, saksi maupun pengarang. Itu boleh berdasarkan ijmak, bahwa wajib, karena untuk melindungi syariah.

Antara lain, jika Anda diminta pendapat seseorang tentang keluarganya, syarikah, titipannya, atau titipan orang padanya, atau mu’amalahnya dengan pihak lain, maka Anda wajib menyebutkan kepadanya apa yang Anda tahu tentangnya sebagai nasihat.
Jika tujuan tersebut tercapai dengan Anda mengatakan, “Kamu tidak pantas bermu’amalah dengannya, atau berkeluarga dengannya, atau jangan melakukan ini, atau sejenisnya.” Jika menambah dengan menyebut keburukannya tidak cukup, jika tujuannya tidak tercapai, kecuali dengan terus terang secara definitif, maka sebutkanlah sebagai bentuk nasihat.
Antara lain, jika Anda melihat seseorang membeli barang yang cacat, atau budak yang tukang mencuri, pezina, atau pemabuk, lalu Anda mengingatkan pembelinya, jika dia belum mengetahuinya, sebagai bentuk nasihat, bukan untuk tujuan menyusahkan atau merusaknya.

Antara lain, Anda melihat orang yang belajar fiqih, bolak-balik mendatangi orang fasik dan ahli bid’ah untuk menjadikannya rujukan ilmu, Anda mengkhawatirkan bahaya orang itu, maka Anda wajib memberi nasihat kepadanya, dengan menjelaskan keadaannya dengan tujuan untuk memberi nasihat.

Antara lain, orang yang mempunyai kekuasaan, yang tidak menunaikannya sebagaimana mestinya, karena memang tidak mampu, atau fasik. Anda mengingatkannya kepada orang yang mempunyai kemampuan menjadi penguasa, agar bisa menggantikannya, atau dia mengetahui keadaannya, tetapi tidak menjadikannya sebagai pelajaran, atau mengharuskannya untuk meluruskannya.
Kelima, orang yang mendemonstrasikan kefasikan, atau bid’ahnya, seperti minum khamer, menyita harta milik masyarakat, menarik pajak, mengendalikan perkara-perkara yang batil, maka boleh disebutkan apa yang dia demonstrasikan itu, sedangkan yang lain tidak boleh, kecuali ada alasan lain.

Keenam, memperkenalkan nama. Jika orang itu dikenal dengan gelar, seperti al-A’masy [rabun], al-A’raj [pincang], al-Arzaq, al-Qashir [pendek], dan sebagainya. Boleh mengenalkannya dengan gelar itu. Tapi, haram menyebut gelar tersebut, jika dimaksud untuk melecehkannya. Jika bisa memperkenalkan dengan gelar lain, tentu lebih baik.

Inilah ringkasan apa yang diperbolehkan tentang “Ghibah”. Wallahu a’lam. [Lihat, Imam an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, juz III/192-193; al-Adzkar, hal. 235]

Khatimah

Ini ketentuan tentang “Ghibah” yang diperbolehkan, menurut Imam an-Nawawi.
Mengenai rincian dalilnya telah beliau uraikan dalam kitab al-Adzkar [Lihat, al-Adzkar, hal. 235-236].

Bahkan, dalam penjelasannya, Imam an-Nawawi juga menyatakan, pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, dan ulama’ lain. Wallahu a’lam.

PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA SUNNI SEPUTAR KESATUAN KHILAFAH

PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA SUNNI SEPUTAR KESATUAN KHILAFAH _(WIHDAT AL-KHILAFAH)_ ATAU BERBILANGNYA IMAM _(TA’ADDUD AL-A`IMMAH)_**
*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi**

*Pendahuluan*

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pendapat-pendapat ulama-ulama Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) seputar kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ atau berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_. Yang dimaksud dengan kesatuan Khilafah adalah adanya Khilafah yang satu (tunggal) bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Sedangkan yang dimaksud berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi adanya lebih dari satu orang imam atau khalifah sebagai kepala negara Khilafah.
Istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ dan berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ sesungguhnya memiliki makna yang sama, ibarat dua sisi mata uang. Karena memang telah terdapat dalil-dalil syar’i yang membicarakan dua sisi tersebut, yaitu dalil yang mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ di satu sisi, dan dalil yang melarang berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ di sisi lain. (Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman Al-Dumaiji, _Al-Imamah Al-’Uzhma ‘Inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah_, hlm. 564-566; Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_, hlm. 313-320; ‘Abdul ‘Aziz Al-Kayyath, _Al-Nizham Al-Siyasi fi Al-Islam_, hlm. 134-136).
Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika para ulama telah menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian satu sama lain untuk makna yang sama. Sebagian ulama dalam kitab-kitabnya menggunakan istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_, seperti Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi dalam kitabnya _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_ (hlm. 313-dst). Semakna dengan istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ ini adalah istilah kesatuan negara _(wihdat al-daulah)_ yang digunakan oleh Syekh Muhammad Ihsan Sammarah dalam kitabnya _Al-Nizham Al-Siyasi fi Al-Islam_ (hlm. 58). Sedang sebagian ulama lainnya menggunakan istilah berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_, seperti Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman Al-Dumaiji dalam kitabnya _Al-Imamah Al-’Uzhma ‘Inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah_ (hlm. 558-dst) dan Shalah al-Shawi dalam kitabnya _Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah_ (hlm. 75-77).
*Jumhur Ulama Sunni Mewajibkan Kesatuan Khilafah (Wihdat Al-Khilafah)*
Jumhur (mayoritas) ulama Sunni baik golongan ulama yang terdahulu (salaf) maupun ulama yang terkemudian (khalaf), telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_. Dengan perkataan lain, jumhur ulama Sunni tersebut telah berpendapat bahwa berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Memang ada sebagian ulama Sunni yang membolehkan berbilangnya imam, namun pendapat ini adalah pendapat yang _syadz_ (nyeleneh, menyempal) alias keluar dari pendapat _mainstream_ (arusutama) sebagai pendapat yang benar (haq). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_, hlm. 314; Shalah al-Shawi, _Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah,_ hlm. 75.).
Berikut ini sebagian ungkapan _(‘ibaarah)_ original dari ulama-ulama Sunni yang telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ atau dengan kata lain yang melarang berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_;
1.Imam Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya _Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah_ berkata :
ﺇﺫﺍ ﻋﻘﺪﺕ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ ﻟﻢ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﺇﻣﺎﻣﺘﻬﻤﺎ ، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻸﻣﺔ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ ، ﻭﺇﻥ ﺷﺬ ﻗﻮﻡ ﻓﺠﻮﺯﻭﻩ
“Jika diadakan akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang Imam (Khalifah) di dua negeri, maka tidaklah sah akad Imamah bagi keduanya, karena tidak boleh ada bagi umat Islam dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama, meskipun ada satu kaum yang berpendapat syadz (menyimpang) lalu membolehkan hal tersebut [adanya dua Imam].” (Imam Mawardi, _Al-Ahkam Al-Sulhaniyyah_, hlm. 9).
Dalam kitabnya yang lain, yaitu _Adab Al-Dunya wa Al-Diin,_ Imam Mawardi berkata :
ﻭﺫﻫﺐ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺷﺮﻋﺎ
“Jumhur ulama berpendapat bahwa mengangkat dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama hukumnya tidak boleh menurut syara’.” (Imam Mawardi, _Adab Al-Dunya wa Al-Diin,_ hlm. 150-151).
2.Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata dalam kitabnya _Al-Muhalla_ :
ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻻ ﺇﻣﺎﻡ ﻭﺍﺣﺪ
“Dan tidak halal ada di dunia ini kecuali satu orang Imam (Khalifah) saja.” (Ibnu Hazm, _Al-Muhalla_, Juz IX, hlm. 360).
Dalam kitabnya yang lain, yaitu _Maratib Al-Ijma’,_ Imam Ibnu Hazm berkata :
ﻭﺍﺗﻔﻘﻮﺍ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ، ﻻ ﻣﺘﻔﻘﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻔﺘﺮﻗﺎﻥ ، ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻧﻴﻦ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﺍﺣﺪ
“Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa tidak boleh ada dua orang Imam (Khalifah) pada kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia, baik keduanya bersepakat maupun bertentangan, baik keduanya berada di dua tempat yang berbeda maupun berada di satu tempat yang sama.” (Ibnu Hazm, _Maratib Al-Ijma’_, hlm. 144).
3. Qadhi As-Simnaani (w. 499 H) dalam kitabnya _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_ berkata :
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺪﺩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺮ
“Tidak boleh ada lebih dari satu orang Imam [Khalifah] pada waktu yang sama.” (Ali bin Muhammad As-Simnani, _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_, Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah, Cet. II, 1984, Juz I, hlm. 29).
4. Imam Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya yang berjudul _Syarah Al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim_ :
ﺍﺗﻔﻖ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻌﻘﺪ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ ...
“Para ulama telah sepakat (ittifaq) bahwa tidak boleh ada akad untuk dua orang khalifah pada waktu yang sama...” (Imam Nawawi, _Syarah Al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim_, Juz XII, hlm. 233).
Dalam kitab _Mughni Al-Muhtaj,_ karya Imam Syamsuddin Al-Khathib Al-Syirbini (w. 977 H), diriwayatkan perkataan Imam Nawawi dari kitab _Minhaj al-Thalibin_ sebagai berikut :
ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻭﻟﻮ ﺑﺄﻗﺎﻟﻴﻢ ﻭﻟﻮ ﺗﺒﺎﻋﺪﺕ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻭﺗﻔﺮﻕ ﺍﻟﺸﻤﻞ
“Tidak boleh akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang Imam (Khalifah) atau lebih meskipun mereka berada di wilayah-wilayah [yang berbeda] atau berada di dua tempat yang berjauhan, sebab yang demikian itu adalah perpecahan pendapat dan terpecahnya kesatuan.” (Imam Syamsuddin Al-Khathib Al-Syirbini, _Mughni Al Muhtaj,_ Juz IV, hlm. 132).
5. Imam Syihabuddin Al-Qaraafi (w. 684 H) dalam kitabnya _Al-Dzakhiirah_ berkata :
ﺇﺫﺍ ﻋﻘﺪﺕ ﻻﺛﻨﻴﻦ ﺑﺒﻠﺪﻳﻦ ﻟﻢ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﺇﻣﺎﻣﺘﻬﻤﺎ ﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﺍ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻨﻬﻤﺎ
“Jika diadakan akad [Imamah/Khilafah] bagi dua orang [Imam] di dua negeri, maka tidak sah akad Imamah [Khilafah] keduanya, karena ada larangan adanya dua orang Imam [Khalifah] pada waktu yang sama, sesuai sabda Rasulullah SAW,’Jika dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Imam Syihaabuddin Al-Qaraafi, _Al-Dzakhiirah_, Dar Al-Gharb Al-Islami, Cet. I, 1994, Juz X, hlm.26).
6. Imam Al-Iiji (w. 756 H) dalam kitabnya _Al-Mawaaqif fi ‘Ilm Al-Kalaam_ berkata :
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻘﻊ ...
“Tidak boleh akad [baiat] bagi dua orang Imam [Khalifah] di satu wilayah yang sama...” (Imam Abdurrahman bin Ahmad Al-Iiji, _Al-Mawaaqif fi ‘Ilm Al-Kalaam,_ Beirut : ‘Aalam Al Kutub, hlm. 400).
7. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya _Tafsir Ibnu Katsir_ berkata :
ﻓﺄﻣﺎ ﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻣﻦ ﺃﺗﺎﻛﻢ ﻭﺃﻣﺮﻛﻢ ﺟﻤﻴﻊ ﻳﺮﻳﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﺮﻕ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ ﻛﺎﺋﻨﺎ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ
“Adapun mengangkat dua orang Imam (Khalifah) atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang datang kepada kamu sedang urusan kamu terhimpun [di bawah satu Imam], sedang yang datang itu hendak memecah belah di antara kamu, maka bunuhlah dia siapapun juga dia itu.” (Imam Ibnu Katsir, _Tafsir Ibnu Katsir [Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim],_ Juz I, hlm. 222).
8. Imam Taftazani (w. 791 H) dalam kitabnya _Syarah Al-‘Aqa`id Al-Nasafiyyah_ berkata :
ﻭﻏﻴﺮ ﺟﺎﺋﺰﻫﻮ ﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻣﺴﺘﻘﻠﻴﻦ ﻳﺠﺐ ﺇﻃﺎﻋﺔ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻧﻔﺮﺍﺩ ﻟﻤﺎ ﻳﻠﺰﻡ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﻣﺘﻀﺎﺩﺓ
“Adalah tidak boleh mengangkat dua orang Imam (Khalifah) yang masing-masing berdiri sendiri (independen) satu sama lain yang masing-masingnya sama-sama wajib ditaati. Karena hal itu akan mengharuskan ketaatan pada hukum-hukum yang bertentangan.” (Imam Taftazani, _Syarah Al-‘Aqa`id Al-Nasafiyyah,_ hlm. 158).
9. Imam Qalqasyandi (w. 821 H) berkata dalam kitabnya yang berjudul _Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya_ :
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ
“Tidak boleh mengangkat dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama.” (Imam Qalqasyandi, _Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya,_ Juz IX, hlm. 288)
10. Imam Al-Sya’rani (w. 973 H) dalam kitabnya _Al-Mizan Al-Kubra_ berkata :
ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻓِﻲْ ﻭَﻗْﺖٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻓِﻲْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻣَﺎﻣَﺎﻥِ ﻻَ ﻣُﺘَّﻔِﻘَﺎﻥِ ﻭَﻻَ ﻣُﻔْﺘَﺮِﻗَﺎﻥِ
“Tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Imam al-Sya’rani, _Al-Mizan Al-Kubra,_ Juz II, hlm. 157).
11. Syekh Muhammad Al-Khudhori (w. 1345 H) dalam kitabnya _Itmam Al-Wafa` fi Sirat Al-Khulafa`_ :
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﺧﻠﻴﻔﺘﺎﻥ
“Demikian pula, kaum muslimin telah bersepakat (ijma’) bahwa tidaklah boleh kaum muslimin mempunyai dua orang Khalifah (Imam) pada waktu yang sama...” (Syekh Muhammad Al-Khudhori, _Itmam Al-Wafa` fi Sirat Al-Khulafa`_, hlm. 20).
12. Syekh Abdurrahman Al-Jaziri (w. 1360 H) dalam kitabnya _Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah_ berkata :
ﺇِﺗَّﻔَﻖَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔُ ﺭَﺣِﻤَﻬُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰَ ﻋَﻠﻰَ ﺃَﻥَّ ﺍْﻹِﻣَﺎﻣَﺔَ ﻓَﺮْﺽٌ ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﺑُﺪَّ ﻟِﻠْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻣِﻦْ ﺇِﻣَﺎﻡٍ ﻳُﻘِﻴْﻢُ ﺷَﻌَﺎﺋِﺮَ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﻳُﻨْﺼِﻒُ ﺍﻟْﻤَﻈْﻠُﻮْﻣِﻲْﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻓِﻲْ ﻭَﻗْﺖٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻓِﻲْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻣَﺎﻣَﺎﻥِ ﻻَ ﻣُﺘَّﻔِﻘَﺎﻥِ ﻭَﻻَ ﻣُﻔْﺘَﺮِﻗَﺎﻥِ
”Telah sepakat para imam [yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad] –semoga Allah merahmati mereka-- bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, _Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah_, Juz V, hlm. 366).
14. Syekh Muhammad Al-Amiin Al-Syanqithi (w. 1393) dalam kitabnya _Adhwa` Al-Bayan fi Iidhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an_ berkata :
ﻗﻮﻝ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻷﻋﻈﻢ ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﻛﻮﻧﻪ ﻭﺍﺣﺪﺍ
“Pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan kaum muslimin, bahwa tidak boleh berbilang Imam [ada lebih dari satu orang Imam/
Khalifah], bahkan wajib Imam itu satu orang saja.” (Muhammad Al-Amiin Al-Syanqithi, _Adhwa` Al-Bayan fi Iidhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an_, Juz I, hlm. 83).
Dari kutipan-kutipan pendapat ulama di atas, jelaslah bahwa jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan ulama Sunni berpendapat bahwa berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Dengan kata lain, jumhur ulama tersebut telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_. Kesimpulan ini dengan tepat dinyatakan oleh Qadhi As-Simnaani (w. 499 H) dalam kitabnya _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_ sebagai berikut :
ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺮ
“Telah terdapat ijma’ (kesepakatan) dari jumhur (mayoritas) ulama bahwa Imam [Khalifah] itu hanya boleh satu orang pada waktu yang sama.” (Ali bin Muhammad As-Simnani, _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_, Beirut : Mu`assasah Ar Risalah, Cet. II, 1984, Juz I, hlm. 62).
*Dalil Pendapat Jumhur Ulama*
Kewajiban kesatuan Khilafah _(wihdat al-Khilafah)_ didasarkan dalil syar’i yang kuat, yaitu As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW). Di antara dalil dari As-Sunnah, adalah sabda Nabi SAW :
ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ، ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﺍ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻨﻬﻤﺎ
“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, _Shahih Muslim_, hadits no 1853).
Imam Nawawi dalam _Syarah Shahih Muslim_ memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :
ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻴﻔﺔ، ﻓﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ ﻭ ﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻃﻠﺔ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ ... ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ
“Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah [sebelumnya], maka baiat untuk khalifah pertama hukumnya sah yang wajib dipenuhi. Sedang baiat untuk khalifah kedua hukumnya batal yang haram untuk dipenuhi...Inilah pendapat yang benar yang menjadi pendapat jumhur ulama.” (Imam Nawawi, _Syarah An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim,_ Juz XII, hlm. 231).
Adapun dalil Ijma’ Shahabat mengenai haramnya lebih dari satu khalifah _(ta’addud al-a`immah)_ bagi umat Islam, terwujud pada saat pertemuan para shahabat di Saqiifah Bani Saa’idah untuk membicarakan pemimpin umat pengganti Rasulullah SAW yang wafat. Pada saat itu, seorang shahabat dari golongan Anshar, yaitu Al-Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan,”Dari kami seorang pemimpin, dari kalian seorang pemimpin.” Abu Bakar Shiddiq RA kemudian membantah perkataan Al-Hubab Ibnul Mundzir tersebut dengan berkata :
ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻣﻴﺮﺍﻥ
“Sesungguhnya tidaklah halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin.” (HR Al Baihaqi, _Sunan Baihaqi_, Juz VIII, hlm. 145).
Perkataan Abu Bakar Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak ada satu orang pun shahabat Nabi SAW yang mengingkarinya, sehingga dengan demikian terwujudlah Ijma’ Shahabat bahwa umat Islam tidak boleh dipimpin kecuali oleh satu orang Imam (Khalifah) saja. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fil Al-Islam,_ hlm. 316; Ihsan Sammaarah, _Al-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam [Nizham Al-Khilafah Al-Rasyidah],_ hlm. 57).
*Pendapat Yang Membolehkan Berbilangnya Imam*
Sebagian ulama ada yang membolehkan berbilangnya Khalifah/Imam _(ta’addud al-a`immah)_. Mereka mengatakan jika kedua Imam berada di dua tempat yang berjauhan, maka boleh mengangkat dua Imam.
Pendapat ini berdalil dengan sejumlah dalil-dalil akli _(hujjah ‘aqliyyah)_, di antaranya sebagai berikut :
*Pertama*, mengangkat dua khalifah boleh jika ada _hajat_ (kebutuhan) untuk mengangkat dua khalifah. Ini merupakan pendapat Abu Ishaq Isfarayini dan Imam Haramain.
*Kedua*, mengangkat dua khalifah boleh jika terdapat _masaafah_ (jarak) yang jauh di antara dua khalifah. Ini pendapat Imam Haramain.
*Ketiga,* mengangkat dua khalifah boleh jika di antara dua Khalifah terdapat pemisah alami _(haajiz thabi’iy)_ seperti laut, atau ada musuh di antara keduanya, yang tidak mampu dikalahkan oleh salah satu dari keduanya. Ini pendapat Abdul Qahir Al-Baghdadi. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fil Al-Islam_, hlm. 313; Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al-Marakbi, _Al-Khilafah Al-Islamiyyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu’ashirah_, hlm. 65-67).
Namun pendapat yang membolehkan berbilangnya Imam _(ta’addud al-a`immah)_ ini tidak dapat diterima dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :
*Pertama,* pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah _(ta’addud al-a`immah),_ hanya didukung oleh dalil akli, bukan dalil syar’i, baik ayat Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Padahal masalah yang dibahas adalah *hukum syar’i* yang dalilnya wajib berupa dalil syar’i, bukan dalil aqli. Dalam pembahasan hukum syar’i, dalilnya wajib dalil syar’i, bukan dalil aqli, sesuai dengan definisi hukum syar’i itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻫﻮ ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺍﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ
“Hukum syar’i adalah khithaab (seruan/firman) dari Allah sebagai Pembuat Syariah yang berkaitan dengan perbuatan para hamba.” (Taqiyuddin Al-Nabhani, _Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah,_ Juz III (Ushul Fiqih), hlm. 37).
Yang dimaksud *Khithaabus Syaari’* adalah dalil syar’i, yaitu apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ dan Qiyas, bukan yang lain. Jadi dalil akli tidaklah dapat dianggap sebagai *Khithaabus Syaari’* yang menjadi dalil syar’i dari suatu hukum syar’i.
*Kedua,* pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah, pada sebagiannya, khususnya pendapat Al-Juwaini, Al-Isfaroyini, dan Al-Baghdadi, sebenarnya menunjukkan hukum dalam kondisi darurat _(rukhsah),_ seperti adanya lautan atau musuh yang memisahkan dua khalifah. Jadi pendapat tersebut bukan menunjukkan hukum asal _(‘aziimah)._
Artinya, sebenarnya pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah itu, mengakui hukum asal _(‘aziimah)_ yang ada, yaitu wajibya kesatuan Khilafah (wihdatul Khilafah) dan haram Khilafah lebih dari satu (berbilang). Syekh Al-Marakby menganalisis pendapat tersebut dengan berkata :
ﻓﺎﻷﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﺳﺘﺪﻋﺖ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺫﻟﻚ ﺟﺎﺯ .. ﻓﺎﻟﺘﻌﺪﺩ ﻣﺤﻈﻮﺭ ﺃﺻﻼ ﺃﺑﺎﺣﺘﻪ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﻓﺈﺫﺍ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺣﺮﻡ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩ
“[Pendapat yang membolehkan berbilangnya Khilafah tersebut] hukum asalnya sebenarnya tak membolehkan berbilangnya Khilafah. Jika kondisi darurat mengharuskan berbilangnya Khilafah, barulah boleh ada lebih dari satu Khilafah. Jadi berbilangnya Khilafah hukum asalnya haram, yang dibolehkan oleh kondisi darurat. Maka jika kondisi darurat ini lenyap, haram hukumnya Khilafah lebih dari satu.” (Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al-Marakbi, _Al Khilafah Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu’ashirah_, hlm. 65-66)
*Ketiga,* pendapat yang mewajibkan kesatuan Khilafah (wihdat al-khilafah), didukung oleh dalil-dalil syar’i yang sangat kuat dari As Sunnah dan Ijma’ Shahabat, seperti telah diuraikan di atas.
*Kesimpulan*
Dari seluruh uraian dia atas dapat diambil 2 (dua) kesimpulan penting :
*Pertama*, jumhur (mayoritas) ulama Sunni baik golongan ulama yang terdahulu (salaf) maupun ulama yang terkemudian (khalaf), telah mewajibkan kesatuan Khilafah (wihdat al-khilafah). Dengan perkataan lain, jumhur ulama Sunni tersebut telah berpendapat bahwa berbilangnya imam (ta’addud al-a`immah) adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam.
*Kedua,* pendapat yang membolehkan berbilangnya imam (ta’addud al-a`immah) adalah pendapat yang lemah dan *syadz*, yang hanya didukung oleh dalil akli, dan tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i yang kuat dan mu’tabar, yaitu Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. _Wallahu a’lam._
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Pengajian Bapak-Bapak, pada hari Senin 26 Maret 2018, di Musholla Al-Husna, Suryodiningratan, Kec. Mantrijeron, Yogyakarta.
**Dosen Ushul Fiqih STEI Hamfara Yogyakarta.