Saturday, July 27, 2019

K
Pada topik Lingkungan Masyarakat Ideal, Idrus Ramli berkata:
“Ada asumsi di sebagian kalangan, terutama kalangan Hizbut Tahrir
, bahwa pemimpin yang baik dapat merubah keadaan masyarakatnya menjadi lebih baik dan menanamkan nilai-nilai kesalehan dalam ranah individu dan social. Asumsi ini dapat dibenarkan apabila yang dimaksud dengan pemimpin tersebut adalah seorang nabi atau rasul. Akan tetapi apabila yang dimaksudkan dengan pemimpin tersebut adalah seorang kepala pemerintahan seperti presiden, raja dan khalifah, maka asumsi tersebut tidak benar. Sebab lahirnya pemimpin yang baik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak akan dapat menerapkan berlakunya hukum-hukum syariat terhadap rakyatnya tanpa dukungan masyarakat yang dipimpinnya.”

Lalu Idrus Ramli mengemukakan hadits Imam Bukhari terkait kronologi Kaisar Romawi Heraclius dengan rakyatnya setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Lalu Idrus Ramli berkomentar:

“Hadits di atas menggambarkan, bagaimana seorang pemimpin yang bermaksud membawa rakyatnya ke jalan yang benar, namun tidak di dukung oleh situasi yang kondusif, di mana rakyatnya tidak dapat menerima ajakannya dengan senang hati. Alih-alih akan diikuti oleh mereka, justru dia sendiri yang pada akhirnya mengikuti kemauan rakyatnya yang membangkang terhadap ajakan baik raja itu. Dalam al-Qur’an, Allah SWT juga menceritakan sebab kokohnya kerajaan Fir’aun terhadap kaumnya. Dalam hal tersebut Allah SWT berfirman:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” QS al-Zukhruf : 54…………………………

Berdasarkan kenyataan di atas, para ulama kita berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh baik secara individual maupun secara social. Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 29-33).

MEMBONGKAR PAT:
Pembongkaran ini paling tidak terdiri dari tiga bagian:

Pertama: Idrus Ramli tidak memahami bahwa lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik itu tidak serta-merta terwujud tanpa adanya pemimpin yang telah berusaha mewujudkannya. Ia sama sekali tidak memahami hukum sabab-musabbab, sebab-akibat, atau sunnatullah, atau ia memahaminya tapi bertujuan jahat, yaitu sengaja menghantam Hizbut Tahrir. Sejarah Nabi SAW dari Mekah sampai Madinah itu sudah lebih dari cukup bagi siapa saja yang mempelajarinya. Juga sejarah Wali Songo di pulau Jawa ini. Di mana masyarakat Arab dan masyarakat Jawa sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali adalah masyarakat jahiliyah yang terdiri dari kaum kafir dan musyrik.

Apakah kedua macam masyarakat itu sudah kondusif dan baik sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali? Tentu tidak. Jadi pemimpin yang salehlah yang telah membentuk masyarakat sehingga menjadi baik. Dan pemimpin itu tidak harus nabi dan rasul. Saya juga tidak mengingkari bahwa ada di antara para pemimpin yang telah gagal mewujudkan masyarakat yang baik walaupun ia nabi dan rasul. Tetapi juga tidak boleh diingkari bahwa di sana banyak para pemimpin yang berhasil mewujudkan masyarakat yang baik meskipun bukan nabi dan rasul. Dan perlu diketahui bahwa kegagalan dan keberhasilan itu adalah hak Allah. Sedangkan kewajiban kita hanyalah beriman, beramal saleh dan berusaha. Ini yang akan dihisab di akhirat kelak, bukan berhasil dan gagalnya.

Kedua : Idrus Ramli salah membuat contoh. Ia menganggap Kaisar Romawi Hiraclius sebagai pemimpin yang baik yang tidak bisa membawa rakyatnya ke jalan yang benar. Padahal Hiraclius sendiri berkata: “Kembali semua kesini! Sebenarnya aku barusan mengatakan begitu hanya karena ingin membuktikan militansi dan kesetiaan kalian terhadap agama kalian. Sekarang aku telah yakin terhadap hal itu.” Jadi Hiraclius mengajak rakyatnya untuk menerima dakwah Nabi SAW itu hanya pura-pura, tidak sungguh-sungguh. Dengan demikian Hiraclius itu bukan tipe pemimpin yang baik. Jadi Idrus Ramli keliru. Apalagi mencontohkan dengan Fir’aun, sangat tidak nyambung.

Ketiga : Idrus Ramli tidak memahami, atau berpura-pura tidak paham karena tujuan jahat, bahwa Hizbut Tahrir sekarang sedang berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh, baik secara individual maupun secara social. Tapi Hizbut Tahrir tidak mengatakan: “Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan, baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh.” Karena kata “maka dengan sendirinya” harus disesuaikan dengan hukum kausalitas (sebab-akibat, sabab-musabbab, atau sunnatullah), tidak dimakan mentah-mentah.

Kemudian sebagai indikasi dan bukti bahwa masyarakat itu sudah saleh adalah ketika mereka mau memilih dan mengangkat pemimpin yang saleh, dan akan golput dan menolak ketika diajak untuk memilih pemimpin yang tidak saleh. Sedang indikasi dan bukti bahwa pemimpin itu saleh adalah ketundukannya terhadap kewajiban menerapkan syariat Islam secara sempurna, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pemerintahannya. Dan kondisi ini telah terbukti pada masyarakat yang telah dididik dan dibina oleh Hizbut Tahrir. Dan ini adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir telah berhasil dalam mendidik dan membina masyarakat.

Tidak seperti kelompoknya Idrus Ramli yang mengklaim paling Aswaja dan sedang mendidik dan membina masyarakat agar menjadi saleh, tetapi mereka malah disuruh dan dipaksa untuk memilih pemimpin yang nyata-nyata tidak mau menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam pemerintahannya, dan diajak untuk menolak penegakkan khalifah yang akan menerapkan syariat secara sempurna. Karena kelompoknya Idrus Ramli itu memiliki akidah yang nyeleneh yaitu bahwa ketika masyarakat sudah saleh, maka dengan sendirinya Allah akan mengangkat pemimpin yang saleh bagi mereka. Jadi dalil-dalilnya itu dimakan mentah-mentah, tidak dipahami secara tasyri’ dan secara hukum kausalitas. Jadi sampai kiamatpun mereka tidak akan memiliki pemimpin yang saleh, ketika mereka tidak mau berjuang untuk mewujudkannya. Padahal Nabi SAW dan para sahabat saja harus berjuang untuk menjadi dan memiliki pemimpin yang saleh. Mereka tidak menunggu pemimpin saleh yang diangkat langsung oleh Allah.
(Abulwafa Romli)

Hizbut Tahrir Hanya Prihatin Terhadap Hilangnya Khilafah?

Hizbut Tahrir Hanya Prihatin Terhadap Hilangnya Khilafah?

Kemudian imajinasi Idrus Ramli berikutnya tertuang dalam topik yang berjudul ‘Keprihatinan Setiap Muslim’. Idrus Ramli berkata:
“Beberapa aliran revivalisme dalam Islam juga mengekspresikan keprihatinan yang mendalam melihat kondisi umat Islam dewasa ini menghadapi aneka problem yang tidak berkesudahan. Namun sayang sekali keprihatinan mereka terkadang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Kelompok Hizbut Tahrir merasa prihatin dan meratapi hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslimin, sistem yang menjadi simbol persatuan dan kejayaan umat pada masa-masa silam, sejak Mushthafa Kamal Attaturk menghapus sistem khilafah di Negara Turki dan kemudian menyulap Turki menjadi Negara sekular pertama dalam dunia Islam.

Abdul Qadim Zallum, pemimpin Hizbut Tahrir dan pengganti Taqiyyuddin al-Nabhani, telah menulis buku berjudul Hakadza Hudimat al-Khilafah (Demikianlah Khilafah Telah Dirobohkan). Dalam buku ini, Zallum sangat bagus dalam memaparkan sejarah dan kronologi runtuhnya khilafah dalam Islam dengan cermat, teliti dan mendetil. Namun sayang, Zallum tidak melakukan kajian dan analisa yang jitu mengenai sebab-sebab hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslimin dalam perspektif agama. Hasilnya, Zallum mampu membangkitkan emosi kaum muslimin dalam meratapi hilangnya khilafah, namun tidak mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum muslimin keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka…..

Tentu saja keprihatinan dan ratapan kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir tersebut, salah alamat dan bagaikan berperang tanpa menghadapi musuh. Bukannya musuh yang didapat, namun justru mereka telah berperang dengan perasaannya sendiri. Dalam sekian banyak hadis yang ada, belum pernah didapati bahwa Nabi SAW memprihatinkan umatnya akan kehilangan khilafah. Hadis-hadis yang ada hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW menghawatirkan umatnya akan tergoda dunia, mengikuti hawa nafsu, terjerumus dalam syirik kecil, dirusak oleh orang munafik yang pandai bicara dan para pemimpin yang menyesatkan.”
Lalu Idrus Ramli mendatangkan sejumlah hadis yang di antaranya:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان. رواه أحمد
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku adalah setiap orang munafiq yang pandai bicara”.

عن طلحة بن مصرف رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أتخوفه على أمتي آخر الزمان ثلاثا: إيمانا بالنجوم وتكذيبا بالقدر وحيف السلطان. رواه أبو عمرو الدوي
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku pada akhir zaman adalah tiga perkara: Percaya kepada bintang, mendustakan qadar Allah dan penyelewengan seorang pemimpin.”

عن ثوبان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين. رواه أحمد
“Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan pada umatku akan dirusak oleh para pemimpin yang menyesatkan.”

Lalu Idrus Ramli berkata:
“Rasulullah SAW tidak pernah menghawatirkan, umatnya akan kehilangan khilafah sebagaimana dalam ratapan Hizbut Tahrir.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa keprihatinan Hizbut Tahrir tidak sesuai dengan apa yang menjadi keprihatinan Rasulullah SAW. Justru keprihatinan Hizbut Tahrir tersebut menjadi problem di kalangan umat Islam yang sangat memprihatinkan, dengan banyaknya perpecahan dan penyesatan terhadap ajaran-ajaran agama yang ditimbulkannya.”(Lihat; M Idrus Ramli, Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 44-52.).

MEMBONGKAR PAT:

Sesungguhnya imajinasi Idrus Ramli di atas dengan sendirinya telah menunjukkan kekacauan pemikiran dan keterbatasan ilmiahnya. Sedangkan teks (manthuq) dan konteks (mafhum) hadis-hadis yang disampaikannya telah mencukupi sebagai bantahannya. Jadi ketika Idrus Ramli menggunakan hadis-hadis tersebut untuk menghantam Hizbut Tahrir, maka hadis-hadis itu justru berbalik menghantam Idrus Ramli sendiri. Inilah yang disebut senjata makan tuan. Dan untuk lebih jelasnya pembongkaran ini terbagi menjadi dua bagian:

Pertama:
Terkait Hizbut Tahrir yang merasa prihatin terhadap hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslim. Di mana kata Idrus Ramli kondisi ini tidak sesuai dengan tuntunan agama. Padahal keprihatinan Hizbut Tahrir terhadap hilangnya khilafah adalah majaz, karena yang dimaksud itu bukan khilafahnya, tetapi substansi dari keberadaan khilafahnya, yaitu penerapan hukum-hukum Islam secara sempurna dalam kehidupan, masyarakat dan Negara. Karena hukum-hukum Islam itu tidak akan dapat diterapkan secara sempurna, kecuali oleh khilafah. Memang ada sebagian pihak yang menganggap bahwa kerajaan Arab Saudi itu bisa menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna meskipun bukan khilafah. Anggapan ini sangat keliru, karena kerajaan Arab Saudi itu tidak bisa melindungi kaum muslim yang terzalimi seperti di Palestina padahal dekat, tidak bisa mengomando kaum muslim untuk berjihad. Padahal keduanya adalah hukum syara’ yang harus diterapkan oleh kepala Negara yang bernama Imam atau Khalifah. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

إنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به. متفق عليه
“Sesungguhnya Imam (khalifah) adalah perisai yang dibuat berperang dari belakangnya dan dibuat perlindungan”. HR Bukhari dan Muslim.

Dan risalah Islam juga tidak dapat diemban keseluruh dunia kecuali dengan dakwah dan jihad. Jihad tetap berlaku sampai hari kiamat. Dan hadis tentang jihad itu telah mencapai derajat mutawatir. Kerena dakwah dan jihad adalah metode (thariqah) untuk menyampaikan risalah Islam keseluruh peloksok dunia, agar kerahmatan Islam benar-benar menjadi kenyataan.

Keprihatinan Hizbut Tahrir terhadap hilangnya khilafah itu seperti keprihatinan jamaah haji terhadap hilangnya pesawat. Padahal yang dimaksud bukan pesawatnya, tetapi substansi dari keberadaan pesawatnya, yaitu bisa menunaikan ibadah haji dengan sempurna. Seperti keprihatinan seseorang terhadap hilangnya sejumlah uang. Padahal yang dimaksud bukan uangnya, tetapi substansi dari keberadaan uangnya, yaitu dapat membeli ini dan itu. Dan seperti keprihatinan masyarakat dengan robohnya bangunan masjid. Padahal yang dimaksud bukan masjidnya, tetapi bisa shalat di masjidnya. Apakah keprihatinan seperti itu melanggar tuntunan agama? Apakah keprihatinan seperti itu dilarang oleh Nabi SAW? Hanya orang dungu yang berkata; Ya!

Apalagi keprihatinan dan kegembiraan itu termasuk indikasi dari adanya cinta dan benci terhadap segala sesuatu dan amal perbuatan. Keprihatinan Hizbut Tahrir dengan hilangnya khilafah adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir cinta dengan wujudnya khilafah. Sedangkan nama (ismun) dan substansi (musamma) khilafah itu telah diakui keberadaannya oleh Nabi SAW dan menjadi ijmak sahabatnya. Berarti khilafah adalah kebaikan, dan para khalifah serta orang-orang yang terkait dengan khilafah adalah orang-orang baik. Sedangkan mencintai kebaikan dan orang-orang baik adalah kebaikan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

المرء مع من أحب. رواه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترميذي والنسائي عن أنس وابن مسعود رضي الله عنهما.
“Seseorang itu bersama orang yang dicintainya.”
Dan dalam riwayat lain:

المرء مع من أحب وله ما اكتسب. رواه الترميذي عن أنس رضي الله عنه.
“Seseorang itu bersama orang yang dicintainya dan baginya apa yang telah diusahakannya.”

Berbeda dengan orang yang cinta terhadap hilangnya khilafah. Ini mengindikasikan bahwa dia benci terhadap wujudnya khilafah, baik nama maupun substansinya, dan benci terhadap para khalifah dan orang-orang yang terkait dengan khilafah, padahal semuanya adalah kebaikan dan orang-orang yang baik. Berarti dia cinta kepada keburukan dan orang-orang yang buruk. Berarti dia adalah orang yang buruk, maka dia bersama orang-orang yang buruk. Ingat, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang baik (berbakti) benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang buruk (durhaka) benar-benar berada dalam neraka”. QS al-Infithar [82]: 13-14.

Lebih-lebih kitab Hakadza Hudimat al-Khilafah (Demikianlah Khilafah Telah Dirobohkan) yang diklaim oleh Idrus Ramli sebagai karya Abdul Qadim Zallum yang tidak melakukan kajian dan analisa yang jitu mengenai sebab-sebab hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslimin dalam perspektif agama, dan tidak mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum muslimin keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka, kitab itu tidak dimiliki oleh Hizbut Tahrir, dan tidak pula oleh Zallum. Sedangkan kitab yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir dan hasil karya Zallum (sebenarnya kitab ini karya Syaikh Taqiyyuddin dengan mengatas namakan Abdul Qadim Zallum) adalah kitab Kaifa Hudlimat al-Khilafah (bagaimana khilafah dirobohkan). Kitab ini penuh dengan kajian dan analisa yang jitu mengenai sebab-sebab hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslim dalam perspektif agama, dan mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum muslim keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka. Karena kitab ini diakhiri dengan pembahasan qadliyyah mashiriyyah (problem utama) yang sangat luas dan mendetil.

Jadi bagaimana Idrus Ramli menyalahkan Hizbut Tahrir dan Zallum wong kitabnya saja keliru. Jangan-jangan yang dibacanya itu adalah kitab yang lain.

Kedua:
Terkait hadis-hadis yang disampaikan oleh Idrus Ramli untuk menghantam Hizbut Tahrir. Sesungguhnya hadis-hadis tersebut justru menghantam Idrus Ramli sendiri. Di antaranya adalah:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان. رواه أحمد
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku adalah setiap orang munafiq yang pandai bicara”.

Pada hadis ini Nabi SAW menghawatirkan umatnya dirusak oleh setiap orang munafik yang pandai berbicara, bukan oleh orang munafik yang tidak pandai berbicara. Jadi yang dikhawatirkan merusak umat Islam adalah perkataan yang mengandung unsur nifak (hipokrit), atau terdapat indikasi nifak pada perkataan itu. Sebab kalau orang munafik yang tidak pandai berbicara itu bahayanya hanya terhadap dirinya sendiri. Berbeda dengan orang munafik yang pandai bicara, maka bahayanya juga terhadap orang lain, karena ia termasuk orang yang sesat dan menyesatkan (dlaallun-mudlillun).

Sedangkan cirri-ciri (indikasi) orang munafik dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 8-16 adalah:

1. Lahirnya mengaku beriman padahal batinnya kafir.
2. Menipu Alloh dan orang-orang beriman.
3. Pada hatinya ada penyakit (seperti riya, dendam, dengki, sombong, ujub dll).
4. Berbuat kerusakan padahal ia mengaku berbuat baik.
5. Menganggap orang beriman dan beramal saleh sebagai orang bodoh.
6. Berteman dengan orang kafir sebagaimana berteman dengan orang mukmin.
7. Mengolok-olok orang yang beriman dan beramal saleh.
8. Membeli kesesatan dengan petunjuk.

Sedangkan cirri-ciri orang munafik miturut hadis adalah:

1. Kalau berkata berbohong.
2. Kalau berjanji menyalahi.
3. Kalau dipercaya berkhianat.

Rasulullah SAW mengkhawatirkan umatnya dirusak oleh setiap orang munafik yang pandai berkata itu karena tidak adanya sangsi hukuman yang pasti yang harus dijatuhkan kepadanya, karena lahirnya menampakkan keimanan, bahkan kebaikan. Lalu kalaupun ia berbuat buruk dan keburukannya terbongkar, maka bisa saja ia mengeluarkan seribu alasannya. Berbeda dengan orang kafir, musyrik (yang keduanya berkhianat atau memerangi Islam dan kaum muslim), menghina Rasulullah SAW, menolak pengangkatan khalifah, menolak mengerjakan shalat dan membayar zakat, berzina, mencuri, dll., karena sangsi hukuman terhadap semuanya sudah ditetapkan oleh Islam dan sudah sangat jelas, maka Nabi SAW tidak menghawatirkannya.

Sikap Rasulullah SAW terhadap orang munafik di antaranya terekam dalam kitab Nurul Yaqin:

“Ketika Rasulullah SAW membagi harta rampasan perang di mana orang yang berjalan kaki mendapat empat unta dan empat puluh kambing, dan orang yang naik kuda mendapat tiga kali lipatnya (dua belas unta dan seratus dua puluh kambing). Maka laki-laki munafik berkata: “Pembagian ini tidak karena Allah!” Maka Nabi SAW marah sampai mukanya memerah dan barsabda: “Cilaka kamu. Siapa yang bisa adil kalau aku tidak adil?!” Kemarahan Nabi tidak sampai menjatuhkan sangsi karena dirinya. Maha suci beliau dari hal itu. Akan tetapi tidak lebih dari menasihati dan memperingati. Umar dan Khalid bin Walid berkata kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, biarkan kami memenggal lehernya!” Lalu Nabi bersabda: “Jangan, barangkali ia mengerjakan shalat.” Lalu Khalid berkata: “Banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya terhadap sesuatu yang tidak ada pada hatinya!” Lalu Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk melubangi hati manusia dan tidak pula untuk membelah perut mereka.”( Muhammad Hadlari Bika, Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin, hal. 236-237, Maktabah Daru Ihyail Kutubil Arobiyyah, Indonesia).

وعن عبد الله بن عتبة بن مسعود قال: سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: إن ناسا كانوا يؤخذون بالوحي فى عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وإن الوحي قد انقطع، وإنما نأخذكم الآن بما ظهر لنا من أعمالكم، فمن أظهر لنا خيرا أمناه وقربناه، وليس لنا من سريرته شيئ، الله يحاسبه فى سريرته، ومن أظهر لنا سوءاً لم نأمنه ولم نصدّقه وإن قال أن سريرته حسنة. رواه البخاري.

“Dari Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud berkata: “Aku pernah mendengar ‘Uman Ibn al-Khaththab RA berkata: “Sesungguhnya orang-orang pada periode Rasulullah SAW telah diambil tindakan melalui wahyu, dan benar-benar telah terputus. Sekarang kami hanya bisa mengambil tindakan terhadap kalian melalui amal perbuatan kalian yang nampak kepada kami. Maka siapa saja yang menampakkan kebaikan kepada kami, maka kami mempercayainya dan mendekatkannya, dan tidak ada urusan bagi kami terkait isi hatinya, Allah yang akan menghisab isi hatinya. Dan siapa saja yang menampakkan keburukan kepada kami, maka kami tidak mempercayainya dan tidak membenarkannya, meskipun ia mengatakan bahwa isi hatinya baik.” HR Bukhari ( Lihat Riyadlush Shalihin, bab Ijrou Ahkamin Nasi ‘ala al-Zhahiri, hal. 89-91,Daarul Fikri, Berut).

Dari pemaparan di atas dapat difahami bahwa inti dari sikap nifak (hipokrit) adalah penggembosan, penolakan, atau pengingkaran terhadap diterapkannya syariat Islam secara sempurna, baik secara langsung maupun dengan memakai dalil-dalil syara’ yang diselewengkan dari makna dan tujuannya. Dengan bahasa kasarnya, menggunakan dalil-dalil halalnya kambing untuk menghalalkan babi, atau menggunakan dalil-dalil haramnya babi untuk mengharamkan kambing. Dan indikasi sikap nifak juga dapat terdeteksi dari kecerdikan dalam merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi yang selama ini diperankan oleh Idrus Ramli CS. Sebagai bukti kongkritnya adalah tulisannya dalam majalah Ijtihad Sidogiri dan dalam buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan, di mana semuanya telah dan sedang saya bongkar. Jadi bukan hanya Rsulullah SAW, Hizbut Tahrir juga mengkhawatirkan dakwahnya digembosi oleh setiap orang munafik yang pandai berkata, baik secara langsung maupun melalui tulisan.

Dan hadis yang disampaikan Idrus Ramli berikutnya:

عن طلحة بن مصرف، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أتخوفه على أمتي آخر الزمان ثلاثا: إيمانا بالنجوم وتكذيبا بالقدر وحيف السلطان. رواه أبو عمرو الدوي

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku pada akhir zaman adalah tiga perkara: Percaya kepada bintang, mendustakan qadar Allah dan penyelewengan seorang pemimpin.”

Pada hadis ini Nabi SAW mengkhawatirkan umatnya dirusak oleh pemimpin yang menyeleweng, yaitu pemimpin suatu Negara (sultan) yang menyelewengkan sistem Islam dalam pemerintahannya, baik dengan menyelewengkan makna dan tujuannya atau dengan membuangnya dan menggantikannya dengan sistem dari luar Islam. Ini juga bukan hanya Nabi SAW yang menghawatirkannya, tetapi juga Hizbut Tahrir. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir berjuang untuk menegakkan khalifah yang tidak menyelewengkan atau membuang sistem Islam. Justru yang nyeleneh adalah Idrus Ramli CS yang menggunakan hadis itu untuk menolak penegakkan khalifah, tapi justru menganggap presiden yang menyeleweng sebagai ulil amri yang sah dan wajib ditaati. Seharusnya menggunakan hadis itu untuk menolak presiden dan untuk mendukung khalifah.

Dan hadis yang disampaikan Idrus Ramli berikutnya:
عن ثوبان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين. رواه أحمد
“Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan pada umatku akan dirusak oleh para pemimpin yang menyesatkan.”

Pada hadis ini Nabi SAW mengkhawatirkan umatnya dirusak oleh para imam yang menyesatkan. Yang dimaksud dengan para imam pada hadis ini adalah para kepala pemerintahan (umara), bukan imam madzhab atau organisasi, sebagaimana sabda Nabi SAW:

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم. رواه مسلم عن عوف بن مالك.

“Sebaik-baik para imam kalian adalah mereka yang kalian menyintainya dan mereka menyintai kalian dan kalian mendoakannya dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk para imam kalian adalah mereka yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian dan kalian melaknatnya dan mereka melaknat kalian”. HR Muslim dari ‘Auf bin Malik. (As-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 2, hal. 8, Maktabah Daaru Ihyail Kutubil ‘Arabiyyah, Indonesia).

Dan beliau bersabda:

الأئمة من قريش. أخرجه البيهقي عن علي رضي الله عنه
“Para imam itu dari suku Quraisy.” HR Baihaqi dari Ali RA.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأمراء من قريش، الأمراء من قريش، الأمراء من قريش، ولي عليهم حق، ولكم عليهم حق، ما عملوا فيكم بثلاث: ما إذا استرْحِموا رَحِمُوْا، وقسطوا إذا قسموا، وعدلوا إذا حكموا. أخرجه البيهقي واللفظ له والحاكم وقال: صحيح على شرط الشيخين ووافقه الذهبي.

“Dan dari Anas bin Malik RA berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Para amir itu dari suku Quraisy, Para amir itu dari suku Quraisy, Para amir itu dari suku Quraisy. Dan aku memiliki hak atas mereka, dan kalian memiliki hak atas mereka, selama mereka melaksanakan tiga perkara pada kalian: Ketika diminta belas kasih, mereka belas kasih; ketika membagi, mereka adil; dan ketika memutuskan perkara, mereka adil.”

Faktanya, saat ini kaum muslim di seluruh dunia sedang dirusak dan disesatkan oleh para imam berupa para kepala negara nasional yang menerapkan ideologi kufur. Jadi justru karena kekhawatiran terhadap umat Islam dirusak oleh para imam yang menyesatkan, Hizbut Tahrir terus berjuang untuk mengangkat imam yang saleh dan adil terhadap seluruh kaum muslim di seluruh dunia. Perjuangan Hizbut Tahrir ini adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir benar-benar khawatir dan prihatian terhadap umat Islam. Sebagaimana orang tua khawatir terhadap anaknya dirusak oleh temannya yang buruk, maka orang tua itu berjuang untuk menggantikan teman baik bagi anaknya. Tidak seperti Idrus Ramli yang keblinger yang khawatir terhadap umat Islam dirusak dan disesatkan oleh para imam yang menyesatkan, tetapi justru membiarkan para imam itu dan menghalangi Hizbut Tahrir untuk mengangkat para imam yang saleh dan adil, yaitu khalifah. Sebab tidak ada keadilan kecuali pada sistem Islam, dan tidak ada yang bisa menerapkan sistem Islam kecuali khilafah, di mana khalifah adalah kepala negaranya. Idrus Ramli laksana orang tua yang buruk, yang mengkhawatirkan anaknya dirusak oleh temannya yang buruk, tetapi membiarkannya dan tidak berusaha menggantikannya dengan teman yang baik. Ini adalah dusta yang nyata. Atau klaim kosong tanpa fakta. Bahkan termasuk orang tua yang dungu, yang menganggap baik teman buruk anaknya, dan menganggap buruk teman baik anaknya.

(Abulwafa Romli).

Hizbut Tahrir Tidak Mau Menengok Sejarah Islam Masa Silam?

Hizbut Tahrir Tidak Mau Menengok Sejarah Islam Masa Silam?

Imajinasi Idrus Ramli berikutnya tertuang dalam topik ‘Balajar dari Sejarah’:
“Para aktipis Hizbut Tahrir biasanya merasa enggan apabila diajak bediskusi dengan menengok kesejarah Islam masa silam. Mungkin karena terbawa oleh semangat yang berlebihan dalam memperjuangkan tegaknya khilafah tunggal di muka bumi. Hizbut Tahrir merasa akan mudah dipatahkan ketika dihadapkan dengan realita sejarah bahwa sebagian khalifah masa silam tidak konsisten dengan ajaran agama. Menurut mereka, “Kelompok yang anti HT selalu berargumen dengan sejarah, padahal sejarah bukanlah dalil dalam beragama. Para ulama telah menetapkan bahwa dalil dalam agama adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi). Dan tak seorangpun dari ulama menganggap sejarah sebagai dalil.” Demikian argumen mereka.

Pada dasarnya sejarah memang bukan dalil dalam pengambilan keputusan hukum dalam agama. Tetapi sejarah masa silam tetap harus kita jadikan pelajaran yang berharga sebagai pertimbangan dalam menghadapi ranah kehidupan yang sedang dan akan kita jalani. Rasulullah SAW bersabda:

لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ. متفق عليه عن أبي هريرة رضي الله عنه.

“Janganlah seorang mukmin terperosok kedalam jurang yang sama sampai dua kali”. HR Bukhari dan Muslim.”…..

Kemudian Idrus Ramli mengemukakan sejumlah tokoh dan peristiwa yang dianggap menyimpang dan menyesatkan termasuk Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrirnya. Dan Idrus Ramli mengulangi kekeliruannya dengan mengatakan: “Hadis di atas (tentang para imam yang menyesatkan) dan hadis-hadis lain yang serupa menjelaskan kepada kita tentang apa sebenarnya yang menjadi keprihatinan Nabi SAW terhadap umatnya. Sepertinya kita kesulitan menemukan hadis yang menjelaskan keprihatinan Nabi SAW terhadap hilangnya khilafah dari tangan kaum muslimin seperti dalam ratapan Hizbut Tahrir”. [Seperti sudah saya jelaskan pada pemikiran Aswaja topeng ke 33]. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 52-57).

MEMBONGKAR PAT:

Sesungguhnya Hizbut Tahrir tidak mengabaikan fakta sejarah umat Islam masa silam. Hizbut Tahrir mempelajari sejarah itu untuk menjadi ibrah (pelajaran), tidak menjadi dalil, kecuali sejarah Nabi SAW sejak beliau diutus menjadi Rasul serta sejarah para sahabatnya (al-Khulafa’ al-Rasyidin), karena termasuk Sunnah dan ijmak di mana keduanya sebagai dalil syara’. Dalam hal ini Hizbut Tahrir berkata:

وحزب التحرير لم يكتف بأن يقوم على الفكرة الإسلامية بشكل إجمالي، بل إنه بعد الدراسة والبحث والفكر لواقع الأمة وما وصلت إليه، وواقع المجتمع في البلاد الإسلامية، ولواقع عصر الرسول - صلى الله عليه وسلم - وعصر الخلفاء الراشدين وعصر التابعين من بعده، وبالرجوع إلى سيره وكيفية حمله للدعوة منذ بدأت الرسالة حتى وصل إلى إقامة الدولة في المدينة، ثم دراسة كيفية سيره في المدينة. وبالرجوع إلى كتاب الله وسنة رسوله وإلى ما أرشدا إليه من إجماع الصحابة والقياس، وبالإستنارة بأقوال الصحابة والتابعين وأقوال الأئمة المجتهدين.

“Hizbut Tahrir tidak mencukupkan diri berdiri di atas fikrah Islam secara global, tetapi setelah melakukan kajian, penelitian dan pemikiran terhadap realita umat beserta capaiannya, relita masyarakat di negeri-negeri Islam, realita masa Rasulullah SAW, masa al-Khulafa’ al-Rasyidin, masa tabi’in dan setelahnya, dan dengan merujuk kepada perjalanan dan cara beliau dalam mengemban dakwah sejak menjadi rasul sampai mendirikan negara di Madinah, kemudian mempelajari cara perjalanan beliau di Madinah, dan merujuk kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya, dan kepada sesuatu yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijmak sahabat dan qiyas, dan mencari penerangan dari perkataan para sahabat dan tabi’in, juga perkataan para imam mujtahid…..” (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 31).

Juga sebagai bukti kongkrit bahwa Hizbut Tahrir tidak mengabaikan fakta sejarah adalah kitab Kaifa Hudlimat al-Khilafah (Bagaimana Khilafah Dirobohkan) karya Abdul Qadim Zallum. Kitab ini memuat enam puluh delapan pasal pembahasan yang sangat mendetil sejak khilafah berdiri sampai khilafah ditumbangkan oleh Mustafa Kemal. Kitab ini juga membicarakan sebab-sebab robohnya khilafah serta solusi bagaimana menegakkannya kembali di kemudian hari. Dan kitab-kitab Hizbut Tahrir yang lain seperti kitab Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam) dan Nizhamul Islam (Sistem Islam) dll, di mana semuanya menjadi bukti tertulis bahwa Hizbut Tahrir tidak mengabaikan sejarah.

Hizbut Tahrir tidak ngawur seperti kaum liberal dan kelompok Aswaja Topeng dalam membagi dan memposisikan sejarah. Mana sejarah yang menjadi dalil dan mana sejarah yang menjadi ibrah, mana sejarah yang harus diterima dan mana yang harus ditolak, di mana semuanya harus diposisikan sesuai kondisinya, tidak dibalik posisinya. Karena termasuk kezaliman ketika kita salah dalam memposisikan sejarah atau membalik posisi sejarah, seperti menjadikan sejarah Rasulullah SAW dan al-Khulafa al-Rasyidin sebagai ibrah, dan menjadikan sejarah umat Islam pasca sahabat sebagai dalil, atau menjadikan sejarah yang ditulis oleh ulama yang saleh sebagai ibrah dan menjadikan sejarah yang ditulis oleh ulama suu’ (ulama liberal) atau ulama salathin (ulama pro penguasa zalim) sebagai dalil, karena yang dinamakan zalim adalah wadh’u al-syaii fi ghairi maudhi’ihi (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya). (Al-Jurjani, al-ta’rifat, hal. 144).

Dari kajiannya yang mendalam terhadap fakta sejarah, Hizbut Tahrir dapat memilah sebuah fakta secara tepat, mana yang ideologi Islam dan mana yang ideologi kufur, mana yang sistem Islam dan mana yang sistem kufur, mana yang pemikiran Islam dan mana yang pemikiran kufur, dan mana yang konsepsi Islam dan mana yang konsepsi kufur. Hizbut Tahrir berkata:

بعد كل ذلك تبنى حزب التحرير أفكاراً وآراء وأحكاماً تفصيلية تتعلق بالفكرة الإسلامية وبطريقة تنفيذها، وهي أفكار وآراء وأحكام إسلامية ليس غير، وليس فيها أي شيء غير إسلامي، ولا تتأثر بأي شيء غير إسلامي، بل هي إسلامية فحسب، لا تعتمد إلا على أصول الإسلام ونصوصه، وقد تبنّاها بناء على قوة الدليل، حسب إجتهاده وفهمه، لذلك فإنه يعتبرها صحيحة وفيها قابلية الخطأ.

“Setelah melakukan semua itu (pengkajian terhadap fakta sejarah), Hizbut Tahrir mengadopsi pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan hukum-hukum secara mendetil yang berkaitan dengan fikrah Islam serta thariqah penerapannya, yaitu pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan hukum-hukum Islam, tidak selain Islam, tidak ada padanya sedikitpun yang bukan Islam, dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan selain Islam, akan tetapi semuanya adalah Islam, cukup Islam. Semuanya tidak bersandar kecuali pada ushul dan nushush Islam. Dan Hizbut Tahrir telah mengadopsi semuanya berdasarkan kuatnya dalil, sesuai ijtihad dan pemahamannya. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menganggap semuanya adalah benar, dan padanya ada kemungkinan salah”. (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 31-32).

Dan dari kajiannya terhadap fakta sejarah, Hizbut Tahrir dapat mengetahui sebab-sebab kegagalan bergagai gerakan dalam membangkitkan kaum muslim dengan Islam. Paling tidak kembali kepada tiga sebab:

1. Tidak adanya pemahaman fikrah Islam secara mendetil dari orang-orang yang berjuang untuk kebangkitan kaum muslim.
2. Tidak adanya kejelasan thariqah (metode) Islam pada mereka dalam menerapkan fikrah Islam.
3. Mereka tidak mengikat fikrah Islam dengan thariqah Islam dengan ikatan yang kokoh yang tidak bisa terlepas. (Taqiyyuddin al-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, hal. 4, cet. ke 6, 2001, dan al-Takattul al-Hizbi, hal. 3-4, cet. Ke 4, 2001).

Sedangkan cara yang benar dan yang (Insya Allah) tidak akan menemui kegagalan dalam membangkitkan kaum muslim dengan Islam adalah dengan memahami dan mewujudkan qadliyyah mashiriyyah, yaitu mengembalikan pemerintahan sesuai sistem (hukum) yang telah diturunkan oleh Allah melalui penegakkan daulah khilafah dan pengangkatan seorang khalifah bagi kaum muslim, yang dibai’at atas dasar kitabullah dan sunnah rasul-Nya, untuk merobohkan sistem kufur dan menggantikannya dengan penerapan sistem Islam, mengintegrasikan negeri-negeri Islam kepangkuan negara Islam, dan masyarakat di negeri-negeri Islam kepada masyarakat Islam, dan mengemban risalah Islam keseluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. (Lihat, Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 3-4, dan Abdul Qadim Zalum, Kaifa Hudlimat al-Khilafah, hal. 183-201). Dengan kata lain, mewujudkan fikrah Islam dengan thariqah penerapannya dalam kehidupan, masyarakat dan negara. (Lihat, Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 33-40).

Memang hingga saat ini bagi orang-orang yang selama ini berseberangan dengan Hizbut Tahrir, belum ada bukti bahwa Hizbut Tahrir telah berhasil membangkitkan kaum muslim dengan Islam, karena Hizbut Tahrir belum dapat menegakkan daulah khilafah dan belum bisa mengangkat dan membaiat seorang khalifah. Akan tetapi bagi saya dan orang-orang yang telah melakukan kajian yang mendalam terhadap fikrah dan thariqah Hizbut Tahrir, terhadap aktifitas Hizbut Tahrir, dan terhadap perkembangan Hizbut Tahrir di seluruh dunia, dari Timur sampai Barat, maka kami berkata bahwa Hizbut Tahrir telah mampu membangkitkan kaum muslim, dengan kebangkitan kecil (nahdlah shughra), dengan (ideologi) Islam, tidak dengan (ideologi) selain Islam. Dan kami sangat yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Hizbut Tahrir akan dapat membangkitan kaum muslim, dengan kebangkitan besar (nahdlah kubra), dengan Islam, yaitu ketika khilafah telah berdiri dan khalifah telah diangkat dan dibai’at. Dan Hizbut Tahrir telah berhasil menggaungkan kalimat: “Khilafah, khilafah, khilafah…. “ keseluruh atmosfer dunia. Jadi khilafah adalah kunci bagi kebangkitan besar kaum muslim, dan khilafah adalah rahasia Allah, hanya hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya yang mengerti kapan dan dimana khilafah akan berdiri nanti.

Juga terkait sabda Nabi SAW;
لا يلدغ المؤمن من جحر واحد مرتين.
“Orang mukmin tidak akan dipatuk ular dua kali dari lobang yang sama”.

Hizbut Tahrir sangat memahami hadis ini, dan telah mengaitkannya dengan fakta sejarah kegagalan berbagai gerakan Islam dalam membangkitkan kaum muslim dengan (ideologi) Islam. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir telah golput dari memilih calon pemimpin eksekutif dan legislatif yang tidak mau menerapkan dan memperjuangkan ideologi Islam dalam pemerintahan dan perwakilannya, dan Hizbut Tahrir meskipun sebagai partai politik praktis, tidak mau terjebak dalam kubangan politik praktis ala demokrasi, meskipun dengan mengatas namakan Islam dan memperjuangkan Islam lewat parlemen. Karena fakta sejarah telah membuktikan bahwa perjuangan membangkitkan kaum muslim dengan Islam melalui politik praktis ala demokrasi selalu menemui jalan buntu dan berujung pada kegagalan. Lebih-lebih perjuangan membangkitkan kaum muslim lewat jalur parlemen termasuk menghabiskan energi kaum muslim tanpa faidah yang berarti, dan termasuk memalingkan kaum muslim dari perjuangan yang lurus, yaitu membangkitkan kaum muslim melalui jalur qadliyyah mashiriyyah tersebut di atas.

Kondisi ini adalah bukti dan indikasi bahwa Hizbut Tahrir tidak mengabaikan sejarah, dan Hizbut Tahrir sangat memahami sejarah. Hizbut Tahrir telah melihat dengan jelas bahwa di sana, bahkan dihadapannya ada orang yang dipatuk ular sekali, ada yang dua kali, ada yang tiga kali, ada yang empat kali, sampai ada yang berkali-kali dari lobang yang sama, meskipun dalam waktu yang berbeda. Dan karena Hizbut Tahrir telah mengerti, maka jangankan terpatuk, mendekat pada lobangnya saja tidak mau, bahkan haram. Inilah tujuan dan substansi dari hadis di atas.

Tidak seperti Idrus Ramli c.s. yang mengklaim memahami sejarah dan menuduh Hizbut Tahrir tidak memahami sejarah, akan tetapi berkali-kali terpatuk ular dari lobang yang sama, bahkan mengajak dan menjebak orang lain agar sama-sama dipatuk ular dari lobang itu. Mereka hampir tidak pernah absen pada setiap kali pesta demokrasi digelar, bahkan di antara mereka tidak sedikit yang rela menjual akidahnya dengan harga murah demi menjadi badut-badut demokrasi. Padahal mereka mengerti bahwa di antara para badut itu tidak ada seorangpun yang akan menerapkan atau memperjuangkan penerapan syariat Islam secara sempurna dalam pemerintahan atau perwakilannya.

Bahkan mereka mewajibkan memilih para badut itu, dan mengharamkan golput dengan seharam-haramnya. Padahal sudah berapa kali pemilu digelar toh hasilnya tetap sama, tidak ada perubahan mendasar yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslim, selain menghinakan Islam dan memurtadkan kaum muslim, yaitu dengan melepas akidah Islam dan memakai akidah sekular, bahkan materialis-komunis, dalam kehidupan, masyarakat dan negara. Sesungguhnya Idrus Ramli c.s. tidak memahami konotasi dan substansi hadis di atas. Sesungguhnya hadis tersebut justru menghantam dirinya sendiri. Dan sesungguhnya sangat jauh panggang dari api menggunakan hadis tersebut untuk menghantam Hizbut Tahrir. Sadarlah wahai saudara-saudaraku!

(Abulwafa Romli, alumnus ’94, Pon Pes Lirboyo, Kediri, Jatim).

Wacana Penegakkan Khilafah Bisa Menimbulkan Konplik Besar Dan Pertumpahan Darah?


Wacana Penegakkan Khilafah Bisa Menimbulkan Konplik Besar Dan Pertumpahan Darah?

Khairus Subhan (saya menduga penulis sebenarnya adalah M Idrus Ramli) mengatakan;
"Disamping itu, wacana ini justu ditengarai akan menimbulkan konplik besar dan pertumpahan darah. Sejarah mencatat tragedi memilukan di Karbala berupa tewasnya Sayidina Husain ra dan para pengikutnya serta perselisihan yang terjadi antara Abdullah bin Zubair bin Awam ra versus Abdullah bin Malik bin Marwan ra yang berakhir dengan pembunuhan Abdullah bin Zubair ra di kota Mekah. Demikian juga, peristiwa yang terjadi di Al-Jazair dan Sudan yang telah menimbulkan genangan darah dan perpecahan penduduknya. Peristiwa-peristiwa tersebut dipicu oleh sebuah wacana yang menuntut tegaknya sistem pemerintahan ideal seperti pada masa Nabi SAW dan Khulafa' ur-Rasyidin.

Memang dalam Islam, sejarah tidak menjadi sumber hukum. Tetapi, sejarah dapat menjadi pijakan dan tolok ukur dalam menentukan dan mengambil keputusan yang lebih bermanfaat dan berupaya menampik segala keburukan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang telah dirumuskan ulama "Kemudaratan sedapat mungkin ditolak" [baik sebelum terjadinya maupun sesudahnya].
Karenanya, sistem pemerintahan Indonesia saat ini, sedapat mungkin terus dipertahankan untuk mencegah terjadinya perpecahan seperti peristiwa di atas. Bukankah dalam kaidah fikih telah diungkapkan menampik sesuatu keburukan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan?.

Disamping itu, mempertahankan persatuan dan kedaulatan NKRI merupakan tuntutan Negara terhadap warganya sebagai wujud rasa cinta dan pengabdiannya pada Negara. Mencintai Negara adalah cermin dari seorang yang beriman sesuai dengan bunyi sebuah hadis: "Mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman".
(Majalah Ijtihad, Pondok Pesantren Sidogiri, edisi 31, hal 13-14)

MEMBONGKAR PAT :

Wacana penegakan daulah khilafah bisa menimbulkan konplik besar dan pertumpahan darah?

Khairus Subhan sangat picik dan pengecut bahkan cenderung hipokrit dalam menilai sejarah, sehingga sejarah pergolakan, gejolak dan pertumpahan daran di antara umat manusia dijadikan dalil untuk menolak gagasan mulia berupa penegakan Daulah Khilafah Rasyidah sebagai sarana syar'iy untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna, dan ia terlalu su-uzh-zhan [buruk sangka] terhadap gagasan mulia itu. Ia tidak dapat memisahkan antara sejarah ke-manusia-an dan kewajiban melaksanakan syariat Islam secara sempurna. Pergolakan, gejolak dan pertumpahan darah adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari di antara umat manusia, karena pertarungan antara hak dan batil adalah keniscayaan yang harus terjadi. Hanya saja waktu dan tempatnya bisa berbeda dan berganti, juga dengan manusianya terus berganti dari generasi ke generasi sampai datang hari kiamat. Dalam hal ini Allah SWT berfirman;

فهزموهم بإذن الله وقتل داودُ جالوتَ وآتاه اللهُ الملكَ والحكمةَ وعلَّمَهُ مما يشاء، ولولا دفعُ الله الناسَ بعضَهم ببعض لفسدت الأرضُ ولكنَ اللهَ ذو فضل على العالمين.
"Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam". QS Al-Baqaroh [2]: 251.

الذين أخرجوا من ديارهم بغير حق إلا أن يقولوا ربنا الله، لولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامعُ وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا، ولينصرن الله من ينصره، إن الله قوي عزيز.
"(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa". QS Al-Hajji [22]: 40.

Kalau perkataan Khairus Subhan dibenarkan secara syara', maka para Rasul, para Sahabat, para Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in, para Ulama, dan para Wali, semuanya tidak akan berdakwah menyebarkan agama Allah termasuk agam Islam, karena mereka telah mengerti dan lebih mengerti dengan sejarah ke-manusia-an. Sebab, di mana saja ada pertarungan antara hak dan batil, maka di sana dapat dipastikan akan terjadinya gejolak yang bisa menumpahkan darah manusia dengan tidak membeda-bedakan manusianya.
Gejolak dan pertumpahan darah adalah hukum alam yang harus ada di muka bumi ini, dan menjadi keseimbangan alam, sebagaimana terjadinya pembantaian yang terjadi di antara binatang di tengah hutan belantara. Kita tidak perlu menengok sejarah para nabi terdahulu. Karena pada masa Nabi Muhammad SAW saja telah terjadi gejolak dan pertumpahan darah, tetapi kondisi ini tidak mengurangi sedikitpun semangat beliau beserta para sahabatnya dalam mendakwahkan agama Islam. Sampai-sampai selama 10 tahun Nabi SAW tinggal di Madinah telah terjadi berpuluh-puluh perang yang menumpahkan darah manusia tidak sedikit.
Juga setelah kepergian beliau, para sahabat dalam melakukan penaklukan ke sejumlah negeri tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah, juga pada masa-masa setelahnya sampai kemudian datangnya para ulama termasuk wali songo ke Nusantara ini juga tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Tengok saja dengan jujur sejarah berdiri dan berkembangnya puluhan kesultanan di Nusantara ini semuanya juga tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Sampai Indonesia merdekapun juga tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Sampai terkait Ahmadiyah pun yang baru-baru ini terjadi tidak terlepas dari gejolak dan pertumpahan darah. Dan fakta-fakta yang lain.

Seandainya tidak terjadi pergolakan, gejolak, dan pertumpahan darah, maka Indonesia tidak akan pernah merdeka, dan NKRI tidak akan pernah terbentuk, bahkan Islam tidak mudah sampai ke Indonesia, dan kemungkinan kita masih menjadi orang Budha atau Hindu penyembah patung. Tetapi pada pergolakan, gejolak dan pertumpahan darah itu terdapat karunia dan pertolongan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, dan bagi alam semesta, berupa kehidupan yang mulia di dunia atau mati syahid sebagai tiket mendapat rahmat Allah di surga, juga keseimbangan alam semesta. Maka yang harus ditanamkan, dipupuk dan dipelihara di dalam dada setiap muslim adalah "MATI SYAHID ATAU HIDUP MULIA ! ALLAH AKBAR !".

Terlepas dari sejumlah fakta di atas, khairus Subhan lebih memilih dan mengutamakan dugaan [zhann] dan keraguan [syakk] dari pada kepastian [yakin, 'ilmu], karena perpecahan, konplik besar dan pertumpahan darah ketika khilafah tegak di Indonesia adalah dugaan dan keraguan, sedangkan penegakan khilafah dan penerapan syariat secara sempurna adalah kewajiban yang memiliki dalil yang pasti [qath'iy] yang berfaidah 'ilmu atau yakin. Seharusnya Khairus Subhan memakai kaidah ashul fikih berupa;

اليقين لا يزال بالظن، أو اليقين لا يزال بالشك
"Yakin itu tidak boleh dihilangkan dengan dugaan" atau
"Yakin itu tidak boleh dihilangkan dengan keraguan"
(As-Suyuthi [w. 911 H], al-Asybahu wa al-Nazhairu fi al-Furu', hal 37, al-Hidayah, Surabaya)

Dan hadis;
دَعْ ما يُرِيْبُكَ إلى ما لا يريبك
"Tinggalkanlah perkara yang meragukan kamu,
[dan] ambilah perkara yang tidak meragukan kamu".
(HR Turmudzi dan Nasai dari Ali Ibn Abi Thalib RA.)

Bukan kaidah, "Adh-Dharoru Yuzalu" [kemudaratan itu harus dihilangkan], atau miturut terjemahan Khairus Subhan, [Kemudaratan sedapat mungkin harus ditolak], baik sebelum terjadinya maupun sesudahnya. Dan bukan kaidah, "Dar-ul Mafasidi Muqaddamun 'Ala Jalbil Mashalihi" [Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada meraih target kepentingan], atau miturut terjemahan Khairus Subhan, [Menampik sesuatu keburukan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan], untuk menolak tegaknya Daulah Khilafah dan penerapan syariat Islam secara sempurna, karena bisa termasuk ke dalam kaidah, "Kalimatul Haqq Yurodul Bathil" [Perkataan yang benar ditujukan untuk kebatilan], yakni untuk menolak hak, berupa penegakan Daulah Khilafah dan penerapan syariat Islam secara sempurna.

Padahal yang tepat adalah memakai dua kaidah tersebut untuk mendukung tegaknya Daulah Khilafah dan penerapan syariat Islam secara total. Kaidah pertama, "Adh-Dharoru Yuzalu" [kemudaratan itu harus dihilangkan], dipakai untuk menyelamatkan Indonesia dari barbagai kemudaratan akibat dominasi peradaban Barat yang kapitalis-liberal, dan peradaban Timur yang sosialis-komunis, dengan menggantikannya dengan peradaban Islam yang Islami, tidak yang terkontaminasi oleh virus liberal dan komunis. Sedang kaidah kedua, "Dar-ul Mafasidi Muqaddamun 'Ala Jalbil Mashalihi" [Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada meraih target kepentingan], dipakai untuk menyelamatkan Indonesia dari berbagai kerusakan, juga akibat dominasi peradaban Barat yang kapitalis-liberal, dan peradaban Timur yang sosialis-komunis, dengan menggantikannya dengan peradaban Islam yang Islami, tidak yang terkontaminasi oleh virus liberal dan komunis, daripada meraih kepentingan pinansial dari lembaga donor Barat yang kapitalis-liberal atau lembaga donor Timur yang sosialis-komunis, yang juga memiliki kepentingan terhadap kehancuran Islam dan kaum muslim di Indonesia ini.

Terakhir, terkait hadis, "Hubbul Wathan Minal Iman" [Mencintai tanah air itu bagian dari iman], terlepas dari status hadis ini, sesungguhnya mencintai tanah air adalah cabang dari mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kita sebagai Aswaja wajib mengimani [meng-akidah-hi] bahwa langit dan bumi juga semua yang ada di dalamnya termasuk bumi Indonesia yang kita cintai ini, semuanya adalah milik Allah SWT, dan Dia telah menciptakan manusia sebagai khalifah untuk mengatur bumi ini dengan syariatnya yang telah dibawa oleh Rasul-Nya. Kemudian pada hari kiamat Allah akan menghisab kita terkait pengaturan tanah air itu. Apakah kita telah mengaturnya dengan syariat-Nya, atau justru kita menolak syariat-Nya. Jadi mencintai tanah air itu tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai cabang dari mencintai Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, sebagai bukti bahwa kita mencintai tanah air adalah dengan menjadikan syariat-Nya untuk mengatur tanah air. Kalau tidak, maka tidak ada bedanya antara kita sebagai Aswaja dan kaum kufar dan atheis, yang kecintaannya terhadap tanah air itu mengalahkan kita.
(abulwafa romli).

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Selanjutnya Abdurrohim Arief (Idrus Ramli) dan yang seideologi dengannya dari golongan salafi salathin mengatakan ;
"An-Nabhani hanya merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. Atau seperti yang saya katakan di muka bahwa an-Nabhani sebenarnya minim akan pengetahuan sejarah.
Bukti lain dari hal tersebut ialah tulisan an-Nabhani tentang sejarah qadha dan qadar yang menurutnya tidak pernah dibahas pada masa tabi'in, sahabat atau bahkan masa nubuwah. Yang membawa dan menjadikannya topik pembahasan adalah para ahli kalam, tepatnya setelah filsafat masuk ke dalam peradaban Islam. Pemakaian nama qadha dan qadar sendiri tidak dikenal pada abad pertama hijriyah (nubuwah, sahabat dan tabi'in). Dan tidak ada nash shahih dengan menggunakan nama tersebut.

Tampak sekali kekacauan an-Nabhani di sini. Dalam al-I'tiqad 'alal-Madzhab as-Salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, al-Hafidz al-Kabir Abi Bakar Muhammad bin al-Husain al-Baihaqi setidaknya telah mencatat lebih dari 20 hadis Nabi SAW mengenai pembahasan qadha dan qadar, baik itu yang muncul dari pertanyaan sahabat atau berupa bantahan terhadap perdebatan orang-orang musyrik. Begitu pula pembahasan permasalahan ini pada masa sahabat dan tabi'in. Kita ambil contoh perdebatan Sayidina Umar ketika gagal memasuki Syam untuk menghindari virus (wabah) yang menyebar luas di negeri tersebut [HR al-Bukhari-Muslim].

Lebih naïf lagi pernyataan an-Nabhani tentang kedua kalimat tersebut yang menurutnya tidak pernah digunakan pada abad pertama hijriyah. Padahal, di samping melalui berbagai riwayat Imam al-Baihaqi tadi, hadis Jibril telah dianggap cukup untuk menjawab klaim an-Nabhani. Tidak seorangpun mengingkari kashahihan hadis Jiblil riwayat Muslim ini. Meskipun riwayat tersebut ditengarai ahad dari segi sanad, namun para muhadditsin sepakat bahwa hadis Jibril merupakan bagian dari hadis yang mutawatir fil-ma'na. Kehadirannya sebagai landasan akidah bersifat qath'i. Berbeda dengan an-Nabhani yang menyatakan hadis ini ahad secara muthlak hingga ia meragukan qadha dan qadar sebagai bagian dari rukun iman".
(Majalah Ijtihad, PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31).

MEMBONGKAR PAT :

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Apakah Abdurrohim Arief tidak malu mengatakan; "An-Nabhani hanya merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. Atau seperti yang saya katakan di muka bahwa an-Nabhani sebenarnya minim akan pengetahuan sejarah".
Bagaiman dia bisa menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah merevisi akidah Muktazilah, mendistorsi sejarah dan minim pengetahuan sejarah!? Sedangkan dia sendiri (Abdurrohim Arief) sama sekali tidak memahami pembahasan kitab asy-Syakhshiyyah-nya, terutama pada pembahasan masalah qadha dan qadar, qadha, dan qadar di mana ketiga pembahasan tersebut harus dipisahkan, tidak boleh dicampur-aduk.

Abdurrohim Arief dengan perkataannya itu laksana orang gila yang menertawakan orang waras, atau laksana orang bodoh yang membodoh-bodoh orang alim. Kalau dia termasuk ahlil-ilmi, seharusnya mengerti bahwa semua pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani meskipun tidak sama dengan pandangan ulama lain adalah pandangan islami dan tidak keluar dari Islam, karena semua pandangannya berdasarkan dalil-dalil yang mujma' 'alaih, yaitu; al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijmak dan Qiyas Syar'iy. Apalagi beliau terkenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap peradaban Barat yang kapitalis dan peradaban Timur yang komunis. Karena perbedaan pandangan yang terjadi di antara para ulama, lebih-lebih para mujtahid, adalah fithriy. Maka yang harus dilihat dan diteliti adalah argument dan dalil-dalil yang melatar belakangi terjadinya pandangan tersebut, bukan pandangannya yang berbeda dengan pandangan ulama lain.

Kalau kita mau meneliti cara istinbath (penggalian hukum) yang dipakai oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, maka kita harus membaca dulu usul fikih sebagai alat istinbath yang dipakai oleh beliau, yaitu as-Syakhshiyyah juz 3 secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong dan tidak direkayasa. Pertanyaannya, sudahkah Abdurrohman Arief [M Idrus Ramli] melakukannya, sehingga ia berani mengatakan dengan sangat provokatif dan ngawur; "Meskipun bersalaman termasuk masalah furu'iyah dan masih dalam lingkaran madzhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulam empat tidak sama dengan proses penggalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum ngawur seperti yang telah terjadi pada madzhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syari'ah di tubuh organisasi ini" [Ijtihad edisi 31 hal 8].

Selanjutnya ada kesalahan yang sangat patal pada perkataan Abdurrohim Arief berikutnya. Atau memang benar seperti yang telah saya katakan di atas bahwa M Idrus Ramli yang menjelma menjadi Abdurrohim Arief adalah sosok muslim yang paling jago dalam hal 'Merekayasa, Berdusta, Memitnah dan Memprovokasi' seperti idolanya, yaitu Abdullah Harori yang di Hijaz kata sebagian sumber yang bertemu saya telah dijuluki 'Syaikhul Fattan'. Dan beberapa waktu yang lalu M Idrus Ramli telah jalan-jalan dan wira-wiri bersama orang kepercayaan Abdullah Harori dalam rangka menyebarkan fitnah dengan berkedok menjaga akidah Aswaja.

Padahal yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang tidak pernah dibahas pada masa Nabi SAW dan sahabat (bukan masa tabi'in, karena mutakallimin itu telah muncul pada masa tabi'in) adalah masalah qadha dan qadar dengan nama (ismun) serta substansi(musamma)nya yang datang dari peradaban [filsafat] Yunani, di mana asas pembahasannya adalah pekerjaan hamba (af'alul 'ibad), apakah hamba dipaksa (majbur) dalam pekerjaannya atau diberi pilihan (mukhtar). Bukan qadha dan qadar yang datang dari peradaban Islam, yang telah diperbincangkan pada qurun pertama hijriyah di mana asas pembahasannya adalah ilmu, irodah dan masyiah Allah SWT. Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya telah memisahkan pembahasan qadha dan qadar menjadi tiga bab, yaitu bab qadha dan qadar, bab qadha, dan bab qadar, dimana ketiganya dibahas dengan sangat mendetail dan akurat, dan dengan redaksi yang mudah dipahami. Dan ini adalah bukti bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sangat memahami dan mengerti sejarah.

Karena perkataan Abdurrohim Arief telah dibangun berdasarkan asumsi yang salah, atau sengaja merekayasa, atau (dalam istilah manthiqnya) bardasarkan muqaddimah shughro atau kubro yang salah, atau yang direkayasa, maka dapat dipastikan natijahnya juga salah, atau rekayasa. Padahal fakta yang terjadi bukan hanya salah atau rekayasa, tetapi ia telah menjadikan kesalahan atau rekayasanya sebagai alat untuk memitnah dan memprovokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan HIzbut Tahrir. Bahkan ia telah menggunakan keberhasilan Imam Baihaki mencatat lebih dari 20 hadis terkait qadha dan qadar, perdebatan Sayyidina 'Umar ketika gagal memasuki Syam karena ada wabah Tha'un di sana dan hadis Jibril yang keduanya juga terkait qadar, untuk mendukung natijahnya yang salah, dengan menambahkan kebohongan perkataannya; "Berbeda dengan an-Nabhani yang menyatakan hadis ini ahad secara muthlak hingga ia meragukan qadha dan qadar sebagai bagian dari rukun iman".

Padahal di kitabnya beliau tidak mengatakan khabar ahad muthlaqan (hadis ahad secara mutlak), seperti halnya term Mujtahid dan Mujtahid Muthlaq, tetapi hanya mengatakan khabar ahad dan tidak menyinggung mutawatir bilmakna sama sekali. Juga beliau tidak pernah meragukan qadha dan qadar bagian dari akidah, karena menurut pandangan beliau akidah itu tidak boleh diambil dari sesuatu yang meragukan. Padahal di semua kitabnya beliau benar-benar telah menjadikan qadha dan qadar bagian dari akidah islamiyah. Ini berarti beliau tidak meragukannya.

Sejatinya tuduhan tersebut hanyalah kesimpulan Abdurrohim Arief sendiri. Lalu semuanya dipakai untuk menghantam Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir. Maka tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa tuduhan miring tersebut adalah bentuk rekayasa, dusta, fitnah dan provokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir. (Abulwafa Romli).

Hizbut Tahrir Mengingkari Siksa Kubur?


Hizbut Tahrir Mengingkari Siksa Kubur?

Idrus Ramli berkata :
“Di antara keyakinan mendasar setiap Muslim adalah meyakini adanya siksa kubur. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam
‘Aqidah al-Thahawiyyah berikut ini:

ونؤمن بملك الموت الموكل بقبض أرواح العالمين، وبعذاب القبر لمن كان له أهلا.
“Kami beriman kepada Malaikat maut yang diserahi mencabut roh semesta alam, dan beriman kepada siksa kubur bagi orang yang berhak menerimanya”.

Berdasarkan keyakinan ini, Rasulullah SAW menganjurkan agar umatnya selalu memohon kepada Allah agar diselamatkan dari siksa kubur. Namun tidak demikian halnya dengan Hizbut Tahrir yang mengingkari adanya siksa kubur, mengingkari kebolehan tawassul dengan para nabi dan orang saleh serta peringatan maulid Nabi SAW. Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram, karena hadisnya berupa hadis ahad, akan tetapi boleh membenarkannya. Dalam diskusi di dunia maya, kalangan Hizbut Tahrir membela mati-matian pandangan mereka yang tidak meyakini adanya siksa kubur. Bahkan seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syakih Umar Bakri pernah mengatakan: “Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa.”

Kemudian sebagaimana biasanya, Idrus Ramli menyampaikan berbagai pernyataan ulama untuk mengokohkan perkataannya dan di sini terkait siksa kubur. (Lihat: Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 92-99).

MEMBONGKAR PAT :

Sebagaimana telah saya sampaikan bantahannya pada buku “Ketika Virus Liberal Menggerogoti Pondok Pesantren, Sebagai Bantahan Atas Majalah Ijtihad Pondok Pesantren Sidogiri”, maka di sini juga tidak ada salahnya kalau saya sampaikan lagi dengan tambahan secukupnya:علو

Hizbut Tahrir Mengingkari Siksa Kubur?

Na'udzu billahi min dzalik! Ini adalah dusta dan fitnah yang nyata dari orang yang punya niat buruk terhadap Hizbut Tahrir, tujuannya adalah untuk menjauhkan umat dari Hizbut Tahrir. Syaikh Taqiyyuddin, Hizbut Tahrir dan para syababnya tidak pernah mengeluarkan pendapat mengingkari siksa kubur. Kesimpulan ini diambil dari beberapa poin berikut;

Pertama; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh. dalam sejumlah kitabnya hanya membicarakan persoalan akidah yang harus dibangun berdasarkan dalil yang qath'iy, baik dari al-Qur'an maupun hadis. Lalu ketika dalil akidah itu datang dari hadis, maka hadis yang qath'iy itu harus hadis mutawatir kerena berfaidah ilmu [yakin], bukan hadis ahad yang faidahnya zhanni. Coba perhatikan beberapa pernyataan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh di antaranya dalam kitab Ta'rif Hizbut Tahrir ;

العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر والإيمان بالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. والإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، فإذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيمانا لأنه لا جزم فيه، ولا يكون التصديق جازما إلا إذا ثبت عن دليل قطعي، لذلك لا بد أن يكون دليل العقيدة قطعيا ولا يجوز أن يكون ظنيا.

"Akidah Islamiyah ialah iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya dan hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar di mana baik dan buruknya dari Allah swt.
Sedangkan iman ialah pembenaran yang teguh, yang sesuai dengan realita, dari dalil. Lalu ketika pembenaran itu tidak dari dalil, maka tidak ada iman, karena tidak ada keteguhan padanya. Dan tidak ada pembenaran itu teguh, kecuali ketika pembenaran itu telah tetap dari dalil yang qath'iy. Oleh karena itu, dalil akidah harus qath'iy, tidak boleh zhanniy". (Ta'rif Hizb al-Tahrir, hal.27-28).

Dan pernyataannya dalam kitab as-Syakhshiyyah juz 1 hal. 29;
العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيمانا. إذ لا يكون تصديقا جازما إلا إذا كان ناجما عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقا فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيمانا...

"Akidah Islamiyah ialah iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya dan hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar di mana baik dan buruknya dari Allah swt. Sedangkan makna iman ialah pembenaran yang teguh, yang sesuai dengan realita, dari dalil, karena ketika pembenaran itu tidak dari dalil, maka tidak ada iman, karena tidak ada pembenaran yang teguh kecuali ketika lahir dari dalil. Lalu ketika pembenaran itu tidak memiliki dalil, maka tidak akan datang keteguhan padanya, maka hanya menjadi pembenaran kepada berita dari sejumlah berita, maka tidak dianggap iman……". (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 29).

Dan dalam bagian lain,Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh. menegaskan;
"... ولذلك لا يصلح خبر الآحاد دليلا على العقيدة، لأنه ظني، والعقيدة يجب أن تكون يقينية .
"……. Oleh karena itu, tidak layak khabar ahad menjadi dalil akidah, karena berfaidah zhanni. Sedangkan akidah itu wajib bersifat yakin " (Ibid, juz 1, hal. 191, bab Khabarul Aahad Laisa Bihujjatin Fil Aqaaid).

Dan pada halaman 193 beliau menegaskan;
"..... وعلى هذا فلا بد من أن يكون دليل العقيدة يقينيا أي دليلا قطعيا، لأن العقيدة قطع ويقين وجزم، ولا يفيد القطع والجزم واليقين إلا الدليل القطعي. ولهذا لا بد أن يكون قرآنا أو حديثا متواترا على أن يكون كل منهما قطعي الدلالة ...".

"… Atas dasar penjelasan ini, meniscayakan bahwa dalil akidah itu harus bersifat yakin, yakni dalil yang qath'iy, karena akidah itu pasti, yakin dan teguh, dan tidak berfaidah pasti, yakin dan teguh kecuali dalil yang qath'iy. Oleh karena ini, meniscayakan bahwa dalil tersebut harus al-Qur'an atau hadis mutawatir, dengan catatan setiap satu dari keduanya itu qath'iy dilalah [yang pasti maknanya]…". (Ibid, hal. 193).

Sedang alasan Syaikh Taqiyyuddin tidak menjadikan khabar ahad sebagai dalil dalam akidah adalah sebagai berikut:

ولذلك لا يصلح خبر الآحاد دليلاً على العقيدة لأنه ظني، والعقيدة يجب أن تكون يقينية. وقد ذم الله تعالى في القرآن الكريم اتباع الظن، فقال { مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ } وقال { وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنّاً إِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئاً } وقال { وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ } وقال { إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأَنْفُسُ } وقال { وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنْ الْحَقِّ شَيْئاً } فهذه الآيات وغيرها صريح في ذم من يتبع الظن في العقائد، وذمهم والتنديد بهم دليل على النهي عن اتباع الظن. وخبر الآحاد ظني، فالاستدلال به على العقيدة اتباع للظن في العقائد.

“Oleh karena itu, khabar ahad tidak layak menjadi dalil dalam persoalan akidah, karena bersifat zhanni (prasangka), sedang akidah wajib bersifat yakin. Dalam al-Qur’an Allah SWT benar-benar telah mencela mengikuti prasangka (dalam akidah), Allah berfirman: “Mereka tidak memiliki ilmu dengannya kecuali mengikuti prasangka”, dan berfirman: “Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka, sesungguhnya prasangka itu tidak mencukupi sedikitpun dari kebenaran”, dan berfirman: “Dan apabila kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, maka mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah, mereka tidak mengikuti kecuali prasangka”, dan berfirman: “Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka dan hawa nafsu”, dan berfirman: “Dan mereka tidak memiliki ilmu dengannya, mereka tidak mengikuti kecuali prasangka, sesungguhnya prasangka itu tidak mencukupi dari kebenaran sedikitpun”. Ayat-ayat tersebut dan yang lainnya sangat jelas dalam mencela orang yang mengikuti prasangka dalam persoalan akidah. Sedang celaan serta kecaman terhadap mereka adalah dalil atas larangan mengikuti prasangka, dan khabar ahad itu bersifat prasangka, maka istidlal dengannya atas akidah adalah mengikuti prasangka dalam persoalan akidah”. (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 191, cetakan ke 6, mu’tamadah, 2003).

Kedua;Di berbagai kitabnya, yang telah diadopsi oleh Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani hanya membicarakan, memahamkan dan memantapkan Akidah Islam, yaitu rukun iman yang enam, karena cita-cita besar beliau hanya satu, yaitu mendirikan partai politik Islam, untuk mendirikan Daulah Khilafah Rasyidah, untuk menerapkan syariat Islam secara total, untuk menggapai ridha Allah swt. Akidah Islam sudah lebih dari cukup untuk menjadi asas sebuah partai politik, menjadi asas Negara dll. Dalam kitab Ta'rif Hizbut Tahrir tertulis;

"Akidah Islam adalah asas Islam, dan asas sudut pandang Islam dalam kehidupan. Dan akidah Islam adalah asas Negara, asas undang-undang dasar dan undang-undang yang lain, dan asas bagi setiap perkara yang memancar darinya atau dibangun di atasnya, dari pemikiran Islam, hukum-hukum Islam dan konsepsi Islam. Maka akidah Islam adalah kepemimpinan ideologis, adalah landasan ideologis, adalah akidah politik, karena semua pemikiran, hukum, ide dan konsep yang memancar darinya atau dibangun di atasnya semuanya berhubungan dengan urusan dunia serta pengaturannya, sebagaimana berhubungan dengan urusan akhirat…". ( Ta’rif Hizb al-Tahrir, hal.28).

Juga akidah Islam telah mencukupi untuk menjadi ikatan di antara kaum muslim yang di antara mereka adalah para syabab Hizbut Tahrir, dan menjadi energi yang dahsat yang menggerakkan mereka beramal shaleh dan berdakwah tanpa lelah. Rasulullah saw. sendiri ketika mendorong para sahabat untuk beramal saleh cukup dengan bersabda;

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أوليصمت، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه. رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة.

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya mengatakan kebaikan atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya."

Al-Qur'an-pun juga demikian, coba perhatikan ayat-ayat berikut;

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui". QS al-Baqaroh [2]: 232. Dan Allah SWT berfirman;

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian". QS al-Baqaroh [2]: 264. Dan Allah SWT berfirman;

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian". QS al-Baqaroh [2]: 126. Dan Allah SWT berfirman;

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan ar-Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". QS an-Nisa' [4]:59. Dan ayat-ayat yang lain, yaitu Ali 'Imron: 114, An-Nisa: 162, Al-Maidah: 69, At-Taubah: 18, 19, 29, 44, 45 dan 99.

Jadi akidah Islam itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi asas sebuah partai politik, asas sebuah Negara, dan menjadi ikatan dan mesin penggerak bagi kaum muslim dan para syabab. Asalkan akidah yang benar-benar menjadi akidah, yaitu akidah yang berada di dalam dada, bukan akidah rumusan atau rumusan akidah yang tertulis pada lembaran-lembaran kitab dan tertumpuk di atas rak, karena akidah rumusan atau rumusan akidah ini tidak akan bisa menjadi ikatan dan mesin penggerak di antara kaum muslim dan para syabab, apalagi bisa membangkitkan. Dan pakta seperti ini dapat kita pahami dari memahami siroh Rasulullah saw dan para sahabatnya beserta sejumlah dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Inilah jawaban kenapa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani hanya pokus dengan menanamkan, memantapkan dan mengkristalkan akidah Islam dalam mengkader para syababnya.

Meskipun demikian Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani tidak menolak adanya rumusan akidah selain akidah Islam asalkan digali dari dalil-dalil yang qath'iy. Ini telah diisyaratkan oleh beliau dalam kitab Syakhshiyyah-nya:

فالإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله وباليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى هو العقيدة الإسلامية. والإيمان بالجنة والنار والملائكة والشياطين وما شاكل ذلك هو من العقيدة الإسلامية. والأفكار وما يتعلق بها والأخبار وما يتعلق بها من المغيبات التي لا يقع عليها الحس يعتبر من العقيدة.

"Maka iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, dan kepada hari akhir, dan kepada qadha’ dan qadar dimana baik dan buruknya dari Allah swt. adalah akidah Islam. Dan iman kepada surga, neraka, malaikat, setan dan sejenisnya adalah akidah Islam. Dan [iman kepada] pemikiran-pemikiran dan yang terkait dengannya, berita-berita dan yang terkait dengannya dari perkara-perkara ghaib yang tidak dapat tersentuh oleh indra semuanya termasuk akidah". (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal. 195) .

Ketiga; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh telah mengisyaratkan terkait hadis mutawatir, yaitu hadis yang telah diriwayatkan minimal oleh lima orang sahabat, lima orang tabi'in dan lima orang tabi'it-tabi'in, dengan catatan lima orang tersebut adalah orang-orang yang ketsiqahannya tidak diragukan lagi. Ini juga telah beliau isyaratkan dalam kitabSyakhshiyyah-nya:

اختلف في أقل عدد يحصل معه العلم، فقال بعضهم خمسة، وقال آخرون إن أقل ذلك اثنا عشر، ومنهم من قال أقله عشرون، ومنهم من قال أقله أربعون، ومنهم من قال سبعون، ومنهم من قال ثلاثمائة وثلاثة عشر...الخ.

"Telah diperselisihkan terkait bilangan minimal yang dapat menghasilkan ilmu [yakin], maka sebagian ulama berkata; "lima orang", ulama yang lain berkata; "Minimalnya adalah dua belas orang", dari mereka ada yang berkata; "Minimalnya adalah dua puluh orang", dari mereka ada yang berkata; "Minimalnya adalah empat puluh orang", dari mereka ada yang berkata; "Tujuh puluh orang", dan dari mereka ada yang berkata; "tiga ratus tiga belas",……….". (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3, hal 82).

Demikian juga dalam matan Jam'ul Jawami' milik as-Subukiy dengan menambah bilangan sepuluh orang.Dan dalam bagian lain, beliau memberi isyarat;

أن تحيل العادة تواطأهم على الكذب. وتختلف باختلاف الأشخاص والأمكنة. فخمسة من مثل علي بن أبي طالب تكفي لاعتبار الخبر متواترا، وربما كان من غيره لا تكفي. وخمسة من بلدان مختلفة لم يجتمعوا قد تكفي لاعتبار الخبر متواترا، إذ لم يجتمعوا في مكان حتى يتأتى تواطؤهم، وربما كان إخبار مثلهم في بلد واحد لا يكفي.

"Apabila adat memustahilkan kesepakatan mereka melakukan kebohongan. Adat itu berbeda-beda sesuai perbedaan orang-orang dan tempatnya. Maka lima orang yang seperti Ali Ibn Abi Thalib itu mencukupi untuk menilai khabar menjadi mutawatir, padahal kalau dari orang selain dia tidak mencukupi. Dan lima orang dari sejumlah negeri yang berbeda-beda di mana mereka tidak berkumpul itu bisa mencukupi untuk menilai khabar menjadi mutawatir, karena mereka tidak berkumpul dalam satu tempat sehingga memudahkan kesepakatan mereka, padahal penyampaian berita dari semisal mereka dalam satu negeri itu tidak mencukupi " (Ibid, juz I, hal. 332).

Dari tiga poin pernyataan di atas, saya memahami bahwa sebenarnya Syaikh Taqiyyuddin telah menyerahkan sepenuhnya kepada para syabab Hizbut Tahrir untuk menjadikan siksa kubur sebagai bagian dari akidah atau bukan, dan beliau telah memberikan batas paling minimal terkait bilangan yang dapat menghasilkan yakin untuk menilai hadis sebagai hadis mutawatir, yaitu cukup lima orang dari generasi pertama, lima orang dari generasi kedua dan lima orang dari generasi ketiga, dari sanad hadis. Ini telah membuka pintu lebar-lebar untuk memasukkan siksa kubur sebagai bagian dari akidah Islam. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa beliau sebenarnya telah menjadikannya sebagai akidah Islam, tetapi beliau tidak mengungkapkannya, karena siksa kubur itu termasuk akidah cabang dari akidah Islam, yang tidak wajib dikeluarkan melalui lisan, artinya cukup tersimpan di dalam qalbu. Sebagaimana ibadah sunnah adalah cabang dari ibadah fardhu, maka ibadah sunnah itu sunnah disembunyikan, sedang abadah fardhu sunnah ditampakkan. Dan kita juga tidak berdosa meninggalkan ibadah sunnah asalkan kita tetap membenarkannya dan tidak mengingkarinya ketika dalilnya shahih. Begitu pula dengan siksa kubur, kita boleh tidak menjadikannya bagian dari akidah, yaitu ketika kita telah memutuskan bahwa hadis siksa kubur belum mencapai derajat mutawatir, karena kita mengambil bilangan empat puluh sanad dari genarasi pertama, empat puluh dari generasi kedua dan empat puluh dari generasi ketiga, karena jumlah minimal bilangan ini termasuk masalah khilafiyah. Namun, karena hadis siksa kubur [meskipun termasuk hadis ahad] adalah hadis yang shahih, kita wajib membenarkannya dan tidak boleh mengingkarinya. Jadi mengimani dan membenarkan adalah dua perkara yang berbeda sebagaimana perkataan Syaikh Taqiyyuddin di atas, yaitu pada poin pertama, yaitu"Lalu ketika pembenaran itu tidak memiliki dalil [atau dalilnya zhanni], maka tidak akan datang keteguhan padanya, maka hanya menjadi pembenaran kepada berita dari sejumlah berita, maka tidak dianggap iman……"

Oleh karena itu, adalah dusta dan fitnah tuduhan bahwa Hizbut Tahrir tidak membenarkan [mempercayai] atau mengingkari siksa kubur. Karena yang sesungguhnya terjadi adalah ada oknum syabab Hizbut Tahrir yang tidak menjadikan siksa kubur sebagai akidah, karena menganggap dalilnya masih dzanni, yaitu hadis ahad, tetapi tetap membenarkannya dan tidak mengingkarinya, karena hadisnya shahih. Jadi tidak ada satu syababpun yang tidak membenarkan, yang menolak dan yang mengingkari siksa kubur, termasuk Ustadz Syamsuddin Ramadhon dalam bukunya yang telah diplintir dan direkayasa oleh banyak pihak. Sekali lagi saya katakan; Semua syabab Hizbut Tahrir termasuk Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, semuanya membenarkan [mempercayai] siksa kubur, dan mereka tidak mengingkarinya, karena hadisnya shahih. Dan mengimani [menjadikan akidah] itu tidak sama dengan membenarkan [mempercayai].

Adapun kitab al-Dausiyyah dan Syaikh Umar Bakri yang keduanya telah dikemukakan oleh Idrus Ramli, maka keduanya tidak mewakili Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir. Dan kalaupun pernyataan Syaikh Umar Bakri itu benar, maka hanyalah pernyataan individu sebagaimana di sini saya juga menyatakan agar para syabab menjadikan Siksa Kubur sebagai akidah Islam, karena bagi saya hadisnya telah mutawatir. Juga kitab al-Dausiyyah sepengetahuan saya tidak ditabanni oleh Hizbut Tahrir, maka kalaupun benar, kitab itu hanyalah kreatif pribadi oknum syabab Hizbut Tahrir.
(Abulwafa Romli)

Hizbut Tahrir Mengkafirkan Kaum Muslim?

Hizbut Tahrir Mengkafirkan Kaum Muslim?

Idrus Ramli berkata:
“Sikap yang paling baik dalam mengahadapi suatu persoalan adalah sikap moderat, netral dan tidak berlebih-lebihan. Sikap demikian ini akan dapat
mengantarkan seseorang untuk mengambil keputusan secara bijak, adil, berimbang dan tidak memihak. Agama kita juga melarang bersikap ekstrem (ghuluw) dalam menghadapi persoalan, meskipun berkaitan dengan soal-soal agama. Karena tidak jarang sikap ekstrem menjerumuskan seseorang kedalam keputusan yang fatal dan merugikan diri sendiri. Nabi SAW bersabda:

عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين.

Ibn Abbas berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah sikap ekstrem (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kamu adalah sikap ekstrem dalam agama”. (HR al-Nasai, (hadis no. 3007), Ibn Majah, (hadis no. 3020), Ahmad, (hadis no. 1754), dan dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, (hadis no. 1664).

Tegaknya khilafah Islamiyyah, sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan kaum muslim pada masa silam, memang diwajibkan dalam agama apabila kita mampu melakukannya. Namun berlebih-lebihan dan terlalu bersemangat dalam menyikapi khilafah, juga kurang baik dan dapat menjerumuskan kita pada sikap yang keliru. Tidak sedikit sikap ekstrem seseorang justru menjerumuskannya ke dalam jurang kesalahan yang sangat fatal. Seperti yang terjadi pada Taqiyyuddin al-Nabhani dalam pernyataannya berikut ini:

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، بل و يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah”.

Tentu saja pernyataan al-Nabhani di atas sangat berlebih-lebihan. Dalam pernyataan di atas, al-Nabhani menganggap orang yang tidak ikut memperjuangkan visi dan misi Hizbut Tahrir tentang khilafah, berdosa besar. Menurutnya pula, ketika khilafah tidak ada, maka Islam pun tidak ada di muka bumi ini. Hal ini, berarti menurut al-Nabhani, ketika khilafah tidak ada, maka semua orang di muka bumi ini menjadi kafir, karena Islam mereka anggap tidak ada. Ini merupakan statemen al-Nabhani yang sangat ekstrem dan ceroboh.

Dalam bukunya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah dan al-Nizham al-Ijtimai fi al-Islam, al-Nabhani tidak pernah menyinggung kewajiban-kewajiban utama dalam Islam seperti membaca syahadat, menunaikan shalat, zakat, puasa dan haji. Al-Nabhani juga tidak pernah menyinggung dosa-dosa besar dan terbesar dalam Islam seperti kekufuran dan kesyirikan, membunuh orang dan lain-lain. Namun di bagian akhir bukunya al-Nabhani berlebih-lebihan dalam menyikapi khilafah, seakan tidak ada kewajiban lain yang lebih penting dari pada khilafah, dan tidak ada dosa lain selain berpangku tangan dari memperjuangkan tegaknya khilafah.

Urgensi khilafah dalam ranah politik Islam sebagai simbol pemersatu kaum muslimin dan lambang kejayaan umat Islam memang benar. Para ulama telah memaparkan pentingnya khilafah serta segala hal yang terkait dengannya dalam kitab-kitab mereka. Tetapi lebih penting dari itu, harus dijelaskan pula bahwa khilafah bukan termasuk rukun iman dan bukan pula rukun Islam.

Sedangkan pernyataan al-Nabhani di atas bahwa, “wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah,” jelas keliru fatal dan tidak benar. Pernyataan tersebut memberikan makna bahwa, Islam itu ada kalau ada khalifah, dan Islam tidak ada ketika tidak ada khalifah. Pernyataan tersebut bermakna pula terhadap pengkafiran kaum muslimin di muka bumi sejak satu abad yang lalu, setelah sistem khilafah dihapus dari negara Turki. Demikian pula, pernyataan sebagian aktivis Hizbut Tahrir, la syari’ata illa bidaulah al-khilafah (Tidak ada syariat kecuali ada negara khilafah) dan pernyataan Hizbut Tahrir, la islama bila khilafatin (Tidak ada Islam tanpa khilafah).
Makna pernyataan di atas adalah pengkafiran terhadap seluruh kaum muslimin sejak satu abad yang silam, setelah khilafah tidak ada. Tentu saja pernyataan tersebut sangat ekstrem dan berlebih-lebihan… Bahkan menurut al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, kajian tentang khilafah itu tidak terlalu penting. Dalam hal ini Hujjatul Islam al-Ghazali berkata:

النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ.

“Kajian tentang imamah/khilafah bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fiqih. Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 99-104).

Kemudian sebagaimana biasanya, Idrus Ramli menyampaikan dalil-dalil dari hadis dan al-Qur’an terkait iman dan Islam yang mengokohkan kesimpulannya lalu berkomentar:

“Dalam hadis-hadis diatas, Islam didefinisikan dengan amaliah-amaliah pokok dalam agama seperti mengesakan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan puasa. Terkadang Islam didefinisikan dengan keimanan, dan terkadang pula dengan budi pekerti yang luhur seperti perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain. Agaknya kita kesulitan menemukan teks al-Qur’an dan sunnah atau perkataan ulama yang mendefinisikan Islam dengan khilafah yang memang bukan ajaran pokok dalam agama. Oleh karena wujudnya khilafah dalam Islam bukan termasuk kewajiban pokok, para ulama mengatakan bahwa mengangkat seorang khalifah itu wajib ketika umat Islam mampu melakukannya. Dalam konteks ini al-Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini yang menyandang gelar Imam al-Haramain berkata:

فنصب الإمام عند الإمكان واجب.
“Mengangkat seorang imam adalah wajib ketika mampu melakukan”.
Dewasa ini kaum muslimin tidak memiliki khalifah, karena memang tidak mampu melakukannya. Suatu kewajiban akan menjadi gugur ketika tidak mampu dilakukan…” (Ibid, hal. 108-110).

MEMBONGKAR PAT :

Untuk memudahkan para pembaca, bantahan ini akan terbagi menjadi lima bagian:

Pertama, terkait pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang dipermasalahkan oleh Idrus Ramli;

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ، بل و يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah”.

Di situ ada redaksi yang dibuang dan terjemahan yang dikorupsi. Padahal redaksi dan terjemahan yang tepat adalah sebagai berikut;

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ويتوقف عليه إقامة أحكام الدين، بل يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling penting dan tergantung padanya penegakkan hukum-hukum agama, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada kewajiban itu”.

Sehingga dengan redaksi dan terjemah seperti ini kesimpulannya sangat berbeda dengan kesimpulan Idrus Ramli. Kesimpulannya adalah: 1) Berpangku tangan dari menegakkan khalifah adalah maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar. Berarti masih banyak maksiat yang paling besar selain dari padanya seperti syirik, sihir, zina, membunuh dll. 2) Karena termasuk berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling besar. Berarti masih banyak kewajiban Islam yang paling besar selain dari padanya seperti shalat, puasa, zakat dll. 3) Penegakkan hukum-hukum agama bergantung pada kewajiban itu, yaitu hukum-hukum yang terkait kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini dapat dipahami dari redaksi setelahnya. Jadi menegakkan khilafah termasuk kewajiban yang paling besar karena kewajiban yang paling besar yang lain bergantung kepadanya, yaitu kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah dalam realita kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti hudud dll. Dan 4) Wujudnya Islam dalam kancah kehidupan bergantung pada kewajiban itu, yaitu wujudnya hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi arti kehidupan dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir adalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau kehidupan politik dan berpolitik, bukan hanya kehidupan pribadi atau individu.

Sedangkan kenapa Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir dalam sejumlah kitabnya tidak menuturkan kewajiban-kewajiban besar yang lain dan tidak pula menuturkan dosa-dosa besar yang lain? Jawabannya karena, 1) Mencukupkan diri dengan kitab-kitab terkait yang telah ditulis oleh para ulama yang lain. 2) Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam ideologis dan Syaikh Taqiyyuddin adalah pendirinya, maka kitab-kitabnya pun harus yang dibutuhkan dan terkait dengan politik dan ideologi Islam.

Akan tetapi secara pribadi, para syabab Hizbut Tahrir termasuk Syaikh Taqiyyuddin juga telah menulis kitab-kitab yang lain yang menjelaskan kewajiban-kewajiban besar dan dosa-dosa besar yang lain, dan saya juga telah menulis kitab Iqadzul Himah litaqwiyah al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah yang di antara isinya menjelaskan kewajiban-kewajiban dan dosa-dosa besar yang lain. Dan perlu diketahui bahwa dalam dunia tashnif dan ta’lif, penulisan isi kitab adalah hak pribadi penulis dan sesuai kebutuhan yang menjadi motifnya. Dan juga perlu diketahui bahwa para mushannif dan muallif itu saling melengkapi antara satu sama lainnya. Maka kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir juga oleh para syababnya pada dasarnya adalah melengkapi hazanah tsaqafah Islam yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu. Jadi bukan kesalahan yang harus dipermasalahkan apalagi dosa yang harus dikritik, dibenci dan dicaci-maki, ketika seorang mushannif atau muallif dalam kitabnya tidak menjelaskan ini dan itu.
Dengan demikian, dapat kita pastikan bahwa redaksi pernyataan Syaikh Taqiyyuddin dan terjemahnya yang telah disampaikan, dikurangi dan dikorupsi oleh Idrus Ramli seperti di atas adalah kesalahan dari Idrus Ramli. Maka semua kesimpulan pokok, kesimpulan cabang dan kesimpulan rantingnya pun ikut salah, karena semuanya hanyalah pengikut dari yang diikuti yang juga salah. Apalagi Idrus Ramli terlalu ekstrem dan berlebih-lebihan dalam membuat semua kesimpulannya.

Kedua, terkait fardhu kifayah serta karakternya. Bukan hal yang asing bagi para ulama Ahlussunnah Waljamaah dan para aktivis Hizbut Tahrir bahwa menegakkan khilafah dan mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah, fardhu ‘alal kifayah atau fardhu ‘alal muslimin atau ‘ala jami’il muslimin. Dalam hal ini Imam Nawawi berkata:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت: تولي الإمامة فرض كفاية...

“Umat Islam harus memiliki Imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, menyempurnakan serta meletakkan sejumlah hak pada tempatnya. Aku berkata: “Mengatur imamah adalah fardhu kifayah…..” (Al-Nawawi, Raudhatut Thalibiin wa 'Umdatul Muftiin, juz III, hal. 433, al-Maktabah al-Syamilah).

Abu Yahya Zakaria al-Anshari berkata:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء...
“(Fasal) Syarat-syarat Imam Agung (khalifah) dan menjelaskan metode legalitas imamah. Imamah adalah fardhu kifayah seperti pengadilan…..” (Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahhab, juz II, hal. 268, al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani berkata:
وإقامة خليفة فرضٌ على كافة المسلمين في جميع أقطار العالم. والقيام به -كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين...
“Menegakkan khalifah adalah fardhu atas semua kaum muslim (fardhu kifayah) di semua penjuru dunia. Sedang melaksanakannya itu seperti halnya melaksanakan fardhu yang lain dari sejumlah fardhu yang telah difardhukan oleh Allah atas kaum muslim…..” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz II, hal. 15, cetakan ke III, 1994 M. Daar al-Ummah, Berut).

Dan terkait karakter fardhu kifayah, Syarif Ali bin Muhammad al-Jarjani dalam kitab al-Ta’rifat-nya berkata:

وفرض الكفاية: ما يلزم جميع المسلمين إقامته ويسقط بإقامة البعض عن الباقين كالجهاد وصلاة الجنازة.
“Fardhu kifayah ialah perkara dimana semua kaum muslim berkewajiban menegakkannya, dan dengan ditegakkan oleh sebagian kaum muslim,dosanya gugur dari kaum muslim yang lainnya, seperti jihad dan shalat janazah”.

Dan komunitas ulama al-Azhar berkata:
فرض كفاية متى قام به البعض سقط عن الباقين وإذا تركه الجميع أثموا....
“Fardhu kifayah kapan saja ada sebagian (dari kaum muslim) yang telah melaksanakannya, maka (dosanya) gugur dari sebagian yang lainnya,dan apabila mereka semua meninggalannya, maka semuanya berdosa…..” (Fatawa al-Azhar, jus I, hal. 185, al-Maktabah al-Syamilah).

Dan komunitas ulama Hijaz berkata:
صلاة العيدين فرض كفاية؛ إذا قام بها من يكفي سقط الإثم عن الباقين...
“Shalat ‘idul fitri dan ‘idul adhha adalah fardhu kifayah dimana ketika telah dilaksanakan oleh orang-orang yang mencukupi, maka dosanya gugur dari orang-orang yang lain… ” (Fatawa al-Lajnah al-Daaimah lil buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta', juz X, hal. 289,al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Sayyid Abu Bakar al-Bakri bin Sayyid Muhammad Shatha al-Dimyathi berkata:
وقولهم فرض الكفاية يسقط بفعل واحد: معناه يسقط الاثم به.
“Pernyataan ulama “Fardhu kifayah gugur dengan pekerjaan satu orang (seperti mengurus janazah)”, maknanya dosanya gugur denga pekerjannya… ”. (I’anatuh al-Thalibiin, juz II, hal. 150,al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Imam Nawawi berkata:
وان فرض الكفاية إذا فعله من حصل به المطلوب سقط الحرج عن الباقين والا اثموا كلهم...
“Dan bahwa fardhu kifayah ketika telah dikerjakan oleh orang yang bisa menghasilkan tuntutan, maka dosa itu gugur dari orang-orang yang lain, dan apabila tidak ada yang mengerjakan (sampai selesai), maka semua kaum muslim berdosa...” (Al-Majmu’, juz I, hal. 32,al-Maktabah al-Syamilah).

Dalam bagian lain Imam Nawawi berkata:
لان فرض الكفاية واجب علي جميعهم ولكن يسقط الحرج بفعل البعض ولهذا لو تركوه كلهم عصوا...
“Karena fardhu kifayah itu wajib atas semua kaum muslim, tetapi dosanya gugur dengan pekerjaan sebagian mereka, oleh karena ini, apabila mereka semua meninggalkannya, maka semuanya maksiat... (Ibid, juz V, hal. 3).

Dan pada bagian lain Imam Nawawi berkata:
ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا ...
“Konotasi fardhu kifayah ialah apabila telah dikerjakan oleh orang yang mencukupi, maka dosanya gugur dari orang-orang yang lain, dan apabila meraka semua meninggalkannya, maka semuanya berdosa…..” (Ibid, juz V, hal. 128).

Dan al-‘Allamah Zainuddin al-Malaibari berkata:
وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين، ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا،.....
“Hukum fardhu kifayah ialah ketika telah dikerjakan oleh orang-orang yang bisa mencukupi, maka dosanya gugur darinya juga dari orang-rang yang lain, dan setiap orang muslim yang tidak memiliki udzur itu berdosa ketika mereka meninggalkannya meskipun mereka bodoh,…..” (Lihat; Fathul Mu’in, juz IV, hal. 206, al-Maktabah al-Syamilah.

Dengan mengutif sejumlah pernyataan ulama di atas terkait fardhu kifayah serta karakternya, maka pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang dipermasalahkan oleh Idrus Ramli di atas adalah pernyataan yang sesuai dengan realita dan karakter fardhu kifayah yang sebenarnya, yang padanya tidak terselip sedikitpun sikap ekstrem dan berlebih-lebihan, sebagaimana kesimpulan Idrus Ramli yang sangat ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi sebenarnya yang sangat ekstrem dan berlebiha-lebihan adalah Idrus Ramli sendiri, bukan Syaikh Taqiyyuddin atau Hizbut Tahrir.