*CARA ISLAM MENCEGAH LAHIRNYA PARA PEJABAT KORUP DAN KHIANAT*
Buletin Kaffah No. 351 (06 Muharram 1446 H/12 Juli 2024 M)
Dalam sepuluh tahun terakhir ini kasus pejabat bermasalah makin banyak. Setidaknya lima pejabat di era Jokowi terjerat kasus hukum. Mentan SYL menjadi tersangka korupsi. Mantan Menkominfo Johny G Plate tersangkut kasus serupa. Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri, yang seharusnya menjadi teladan pemberantasan korupsi, justru terjerat kasus suap. Ada pula pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Tak ketinggalan, yang terbaru adalah kasus asusila (perzinaan) yang menjerat Ketua KPU Hasyim Asy’ari.
Sebelum ini sebetulnya sudah banyak para pejabat terjerat kasus korupsi. Selain itu, di era Jokowi banyak lahir berbagai UU dan peraturan yang mengkhianati amanah dan kepentingan rakyat. Ada Perpu Ormas, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan revisi UU KPK. Sebelumnya ada UU Migas, UU Minerba, dll. Semuanya lebih untuk kepentingan penguasa, para pemilik modal dan oligarki. Bukan untuk kepentingan rakyat kebanyakan.
*Akar Penyebab*
Secara garis besar akar penyebab dari semua penyimpangan dan pengkhianatan para pejabat negara di atas sesungguhnya ada dua. Pertama: Faktor personal/individual. Tidak lain adalah mental khianat, korup dan tidak amanah yang melekat pada pribadi-pribadi penguasa dan para pejabat yang diangkat. Sudah jamak diketahui, pemilihan dan pengangkatan para pejabat seperti para menteri dan para pembantunya, misalnya, sering tidak didasarkan pada faktor keimanan dan ketakwaan atau kebaikan moral mereka. Bahkan faktor profesionalitas juga sering diabaikan. Yang sering terjadi, pejabat dipilih dan diangkat karena faktor kedekatan atau karena motif balas jasa, misalnya para relawan yang dipandang telah berjasa oleh penguasa terpilih dalam ajang Pilpres/Pemilu.
Kedua: Faktor sistemik. Tidak lain adalah penggunaan sistem pemerintahan demokrasi yang terbukti rusak dan merusak. Di negeri ini khususnya, sistem demokrasi terbukti menjadi pintu yang amat terbuka bagi ragam pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa dan para pejabat negara. Sudah bukan rahasia lagi bahwa suara rakyat dalam setiap Pemilu/Pilpres/Pilkada acapkali “dijual” oleh penguasa dan elit parpol kepada para oligarki. Tidak aneh jika kemudian banyak UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR lebih banyak berpihak kepada oligarki daripada untuk kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan UU Migas, UU Minerba dan UU Cipta Kerja, misalnya, sumber daya alam (seperti minyak dan gas, batubara, hutan, emas, nikel, fll) yang hakikatnya milik rakyat banyak dikuasai oleh pihak swasta dan asing. Dengan revisi UU KPK, tak ada lagi “tangkap tangan” terhadap para koruptor. Akibatnya, para koruptor makin leluasa untuk melakukan ragam korupsi. Wajar jika di era ini kasus korupsi bukan lagi di angka miliaran, puluhan miliar atau ratusan miliar rupiah; tetapi sudah menyentuh angka triliunan, puluhan triliun bahkan ratusan triliun rupiah (seperti kasus korupsi timah, dll).
*Solusi Islam*
Untuk mengatasi persoalan di atas maka solusinya bisa dikembalikan pada dua akar penyebabnya. Pertama: Solusi personal/individual. Tidak lain dengan memilih dan mengangkat penguasa dan para pejabat negara yang memiliki keimanan yang kuat dan ketakwaan paripurna. Sayangnya, dalam sistem demokrasi, penguasa (termasuk para kepala daerah) acapkali dipilih semata-mata karena faktor popularitas dan elektabilitas belaka. Demikian pula dalam hal pengangkatan para pejabat negara. Yang dijadikan patokan hanya kedekatan (nepotisme). Urusan moral—apalagi keimanan dan ketakwaan—acapkali tak dipandang penting. Padahal dulu Rasulullah saw., sebagai kepala Negara Islam, senantiasa memilih dan mengangkat para pejabat yang paling istimewa dalam hal keimanan dan ketakwaannya, selain tentu yang dipandang paling mumpuni dalam hal profesionalitasnya. Contohnya Abu Bakar ra. dan Umar bin al-Khaththab ra. Kedua Sahabat ini jelas tak diragukan lagi dalam hal keimanan dan ketakwaannya. Keduanya diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai pembantu beliau dalam urusan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda:
وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
Pembantuku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail. Adapun pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR at-Tirmidzi).
Dalam Islam, meski penguasa dan pejabat adalah orang-orang pilihan, mereka tetap perlu senantiasa dibimbing dan diarahkan. Tentu agar mereka tidak melenceng dari syariah Islam. Tidak ada yang meragukan keimanan dan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra., misalnya. Namun demikian, saat Rasulullah saw. memilih dan mengangkat Muadz ra. sebagai gubernur di Yaman, beliau tetap menasihati dirinya. Saat Muadz ra. sudah berangkat dan dalam perjalanan ke Yaman, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz ra. agar kembali. Saat Muadz ra. sudah kembali, beliau bersabda, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena itu adalah ghulûl (khianat). (Allah SWT berfirman): Siapa saja yang berbuat ghulûl, maka pada Hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dia khianatkan itu (TQS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi).
Pasca Rasulullah saw. wafat, generasi Muslim awal (yakni generasi para Sahabat) lalu memilih dan mengangkat penguasa/pemimpin terbaik di antara mereka. Terutama dalam hal dan keimanan dan ketakwaannya. Mereka berturut-turut adalah Abu Bakar ra. Umar bin al-Khaththab ra., Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Mereka adalah para khalifah terbaik yang disebut sebagai Khulafaur-Rasyidin. Para khalifah ini juga memilih dan mengangkat para pejabat negara di bawahnya dari kalangan orang-orang terbaik dalam hal keimanan dan ketakwaan mereka.
Kedua: Solusi sistemik. Tidak lain dengan menegakkan sistem pemerintahan Islam yang di dalamnya ditegakkan dan diterapkan syariah Islam secara kâffah. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) di Madinah pasca beliau hijrah. Pasca Rasulullah saw. wafat, Negara Islam ini dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah setelahnya yang kemudian disebutkan dengan Khilafah Islamiyah. Sistem pemerintahan Islam ini pernah berlangsung dengan segala kecemerlangannya tidak kurang dari 13 abad, yaitu sejak era Khulafaur Rasyidin, era Khilafah Umayah, era Khilafah Abasiyah dan terakhir era Khilafah Utsmaniyah.
*Pentingnya Keteladanan*
Selain keimanan dan ketakwaan personal serta kebaikan sistem (yakni sistem Islam), keteladanan penguasa atau pemimpin juga amat penting. Selaku kepala negara, Rasulullah saw., misalnya, walaupun memegang banyak harta negara, beliau biasa hidup sederhana. Beliau biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata:
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia ini. Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Demikian pula pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat, yakni Khalifah Abu Bakar ra. Beliau hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari beliau dan keluarga beliau. Saat wafat, ternyata tidak ada yang bertambah dari harta beliau kecuali unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham. Tambahan harta inilah yang kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Umar ra., pengganti beliau (Ibnu Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, 1/139).
Khalifah Umar ra. meneladani dengan sangat baik kesederhanaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. Pada saat menjadi khalifah, Umar ra. juga hidup sederhana. Beliau pernah minta masukan kepada Salman al Farisi, apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar ra. mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada anggota masyarakat yang membicarakan Khalifah Umar ra. yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan. Sejak saat itu, Khalifah Umar ra. tidak pernah makan dengan dua macam lauk (Al-Ghazali, Ihy Ihyâ’ ’Ulûm ad-Dîn, 3/64).
*Anti Nepotisme*
Tak hanya hidup sederhana dan tentu tidak pernah korupsi, para penguasa Muslim pada masa lalu juga sangat anti nepotisme. Mereka biasa menjaga agar keluarga dan kerabat mereka tidak memanfaatkan jabatan mereka. Suatu ketika Khalifah Umar ra., misalnya, melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta putranya, maka beliau segera menyuruh putranya itu untuk menjual untanya tersebut. Lalu modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada putranya. Adapun laba penjualannya dimasukkan ke Baitul Mal (Kas Negara) (Sayyid bin Husain al-’Affani, Shalâh al-Ummah fii ‘Uluww al-Himmah, 6/4).
*Hukuman yang Tegas*
Selain keteladanan, hukuman yang tegas juga diberlakukan, khususnya terhadap para pejabat yang telah berani berkhianat. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar ra., misalnya. Jika beliau mendapati kekayaan seorang wali (gubernur) atau 'amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, maka beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal (kas Negara). Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan dan Amr bin al-‘Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47). Ini untuk kasus yang syubhat.
Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, maka hukumannya adalah ta’zîr. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara atau bahkan dihukum mati. Bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.
*Amanah Menjaga Harta Rakyat*
Penguasa/pejabat juga dituntut untuk amanah dalam menjaga harta rakyat. Tidak boleh sedikit pun harta rakyat hilang atau tersia-siakan. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas. Lalu beliau ditegur oleh Imam Ali ra. Khalifah Umar ra. menjawab,"Jangan engkau mencela aku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi Sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Sebabnya, tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim." (As-Samarkandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).
Bandingkan dengan para penguasa saat ini, khususnya di negeri ini. Mereka dengan entengnya membuat aneka UU yang memberikan peluang kepada pihak swasta dan asing untuk menguasai berbagai sumber daya alam yang hakikatnya adalah milik rakyat.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
---*---
*Hikmah:*
Rasulullah saw. bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl (haram). (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim). []
No comments:
Post a Comment