Monday, January 5, 2015

Berikut ini adalah diskusi
bantahan
oleh Ustadz al Fadhil Abu Yahya Badrussalam, Lc [Tokoh Salafy]
atas artikel yang berjudul Kritik Atas Pendapat Yang
MenyatakanMengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata)
oleh Ustadz Syamsudin Ramadhan An-Nawiy [Tokoh Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) ]
Yang kemudian dijawab balik bantahan tersebut oleh penulisnya
dengan judul BANTAHAN TANGGUH ATAS BANTAHAN RAPUH
YANG DIKLAIM TANGGUH oleh Al Faqir Ila Allah, Fathiy
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
-------Semoga Allah swt memberikan hidayah bagi kita semua!!-------
Sebuah bantahan terhadap artikel berjudul “Mengoreksi Penguasa
Harus Dengan GAYA TUKUL…??”
Judul asli artikel Kritik Atas Pendapat Yang
MenyatakanMengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata)
karya tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Syamsudin
Ramadhan An-Nawiy hadahullah
Oleh al Ustadz al Fadhil Abu Yahya Badrussalam, Lc. hafizhahullah
Berkata Syamsuddin Ramadlan (HTI):
Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??
Tanggapan: Tukulkah yang menjadi panutanmu ??
Tanggapan Balik:
Perkataan seperti ini tidak pernah keluar dari seorang ustadz faqih-
sholih dan berakhlaqul karimah; tapi, hanya akan keluar dari lisan
orang-orang yang hatinya dipenuhi kenistaan dan kekotoran. Ana
berdoa dengan sepenuh hati, agar Allah membersihkan hati antum
dari semua kenistaan dan kekotoran.
HTI: Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi
mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak
boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan
perilaku generasi salafus sholeh.
Tanggapan: Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa
hukum asal menasehati adalah dengan rahasia. Ibnu Hibban
berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya.. akan tetapi
wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati
saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan
siapa yang menasehatinya secara rahasia, maka ia telah
menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala hal 196).
Imam Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan
jauhi nasehat di depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia
adalah salah satu macam mencaci maki yang aku tidak suka
mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).

Tanggapan Balik:
Pertama, perkataan Ibnu Hibban maupun Asy Syafi’iy bukanlah dalil
syariat, dan sama sekali tidak boleh dijadikan dalil syariat.
Menjadikan pendapat Ibnu Hibban dan Asy Syafi’iy sebagai dalil
syariat sama dengan telah menyepadankan keduanya dengan Asy
Syaari’. Kedua, perkataan Al-Hafidz Ibnu Hibban rahimahullah tidak
menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan
terang2an, yang beliau larang adalah menasehati penguasa yang
disertai niat mencela dan menghina.. Begitu pula perkataan Imamul
Jalil Imam Syafi'iy rahimahullah juga tidak menunjukkan bahwa
beliau melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan, tapi
itu hanya sikap beliau sendiri yang tidak suka dinasehati dengan
terang-terangan di depan umum. Ketiga, ulama-ulama salafush
sholeh dari kalangan shahabat telah berijma’ mengenai masyru'nya
muhasabah lil hukkam 'alanan (mengoreksi penguasa dengan
terang-terangan), bahkan kadang-kadang harus dilakukan dengan
khuruj dari penguasa. Ijma’ shahabat telah menunjukkan dengan
sangat jelas masalah ini (keharusan mengoreksi penguasa dengan
terang-terangan). Misalnya, khurujnya Ummul Mukminin ‘Aisyah ra
dan Mu’awiyyah ra terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Baik
shahabat yang mengoreksi dan yang dikoreksi tidak pernah
mempersoalkan aktivitas mengoreksi dengan terang-terangan.
Pasalnya, Al-Quran dan Sunnah telah menetapkan kewajiban amar
makruf kepada mereka baik dengan tangan, lisan, dan hati, dan
tidak ada takhshish harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Nash-nash seperti inilah yang harusnya dijadikan sebagai hukum
asal, bukan hadits dla'if riwayat Imam Ahmad dari 'Iyadl bin
Ghanm..
Ana juga perlu ingatkan bahwa judul tulisan yang ana tulis bukan
Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??”. Dengan
membuat judul seperti itu, sama artinya akh Abu Yahya telah
menyetarakan muhasabah al-hukkam generasi salafush sholeh dari
kalangan shahabat –yang telah mengoreksi penguasa dengan terang-
terangan— dengan apa yang dilakukan oleh Akh Tukul Arwana.
Ghafarallahu lakum.
HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa
menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-
sembunyi (empat mata).
Tanggapan: Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang
bodoh?? Ya.. menuduh memang mudah.. namun Allah yang maha
tahu siapa yang sebenarnya bodoh..
Tanggapan Balik:
Ghafarallahu lakum... Semoga Allah mengampuni antum!
HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati
mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau
mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan
umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.
Tanggapan: Bila yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka
mereka berdasarkan dalil dan perbuatan para shahabat dan para
ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺼَﺢَ ﻟِﺴُﻠْﻄَﺎﻥٍ ﺑِﺄَﻣْﺮٍ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺒْﺪِ ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﺎﻧِﻴَﺔً ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻟِﻴَﺄْﺧُﺬْ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻴَﺨْﻠُﻮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ
ﻗَﺒِﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺪْ ﺃَﺩَّﻯ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻟَﻪُ
“Barang siapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu
perkara, maka janganlah terang-terangan , namun ambillah
tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia
menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah
melaksanakan tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).
Adapun perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para
pembesar kami dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang kami, (mereka berkata): “Janganlah kamu mencaci maki
umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati mereka”.(Al Hujjah
fii bayanil Mahajjah 2/435).
Ziyad bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah
dibawah mimbar ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai
pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata: “Lihatlah kepada
pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu Bakrah
berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di
bumi, Allah akan hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan
lainnya).
Dikatakan kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan
(maksudnya Utsman bin Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah
berkata: “Sesungguhnya kamu memandang bahwa bila aku
mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu,
sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa
membuka pintu, dan aku tidak ingin menjadi orang yang pertama
kali membukanya”. (HR Bukhari no 3267 dan Muslim no 2989).
Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku telah
mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.
Al Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau
menjauhi berbicara di hadapan manusia, demikianlah yang wajib
dalam menegur pembesar dan umara, hendaknya mereka dihormati
di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka, dan
menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban
menasehati mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah
mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja”. Maksudnya
berbicara langsung dengan ucapan yang lemah lembut, sebab yang
demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan terang-
terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar
fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara
terang-terangan”. (Al Mufhim 6/619).
Tanggapan Balik:
Yang dilarang adalah mengoreksi penguasa yang ditujukan atau
diniatkan untuk menghina penguasa, bukan mengoreksi penguasa
dengan terang-terangan. Jika mengoreksi penguasa dengan terang-
terangan diniatkan untuk menjaga umat dari kejahatan penguasa,
maka mengoreksi penguasa secara terang-terangan dalam keadaan
seperti itu (untuk menjaga umat dari kejahatan dan kedzaliman
penguasa) bukanlah sesuatu yang haram, bahkan fardlu. Sebaliknya,
jika mengoreksi penguasa, baik dengan sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan diniatkan untuk menghina penguasa, maka
perbuatan itu haram.
Ana perlu tegaskan bahwa perkataan ulama bukanlah dalil syariat.
Selain itu, hadits riwayat Imam Ahmad adalah hadits dla'if.
Cukuplah bagi kita apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para
shahabat yang juga melakukan muhasabah lil hukkam dengan cara
terang-terangan. Selain itu, tidak ada satupun ucapan sharih dari
ulama-ulama salafush shalih yang menunjukkan bahwa mengoreksi
penguasa dengan terang-terangan adalah haram. Larangan yang
mereka ucapkan tidak selalu berimplikasi pada hukum haram.
Sebab, bentuk kalimat larangan (sighat an-nahyu) tidaklah selalu
berimplikasi hukum haram, bisa saja untuk tahdzir, wa'id, taubih,
dan lain-lain. Tampaknya hal ini yang antum lupakan, atau sengaja
antum sembunyikan. Ghafarallahu lakum.
HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan
bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang
dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi
salafus shaleh sesudah mereka.
Tanggapan: Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang
antum fahami itu ternyata bertentangan dengan apa yang difahami
oleh para ulama..
Tanggapan Balik:
Ulama yang mana? Sedangkan para shahabat mengoreksi penguasa
dengan terang-terangan,, dan telah terjadi ijma' sukutiy atas
masalah ini? Ana khawatir yang antum ikuti itu adalah ulama jahat
yang ingin membungkam dakwah Islam atas penguasa-penguasa
fajir dan dzalim yang telah mengubah sendi-sendi ajaran Islam, dan
tidak memerintahkan manusia menegakkan sholat; atau sengaja
untuk menjaga para penguasa bughat yang telah menyebabkan
hancurnya Khilafah Islamiyyah dan berusaha menghalang-halangi
pejuang-pejuang mukhlish yang berusaha menegakkannya kembali.
HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi
pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point
berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang
diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau
saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang
dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan
tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain
tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim
menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy
bahwasanya ia berkata:
ﺍﺳْﺘَﻌْﻤَﻞَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺻَﺪَﻗَﺎﺕِ ﺑَﻨِﻲ ﺳُﻠَﻴْﻢٍ ﻳُﺪْﻋَﻰ ﺍﺑْﻦَ
ﺍﻟْﻠَّﺘَﺒِﻴَّﺔِ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَ ﺣَﺎﺳَﺒَﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎﻟُﻜُﻢْ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻫَﺪِﻳَّﺔٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻬَﻠَّﺎ ﺟَﻠَﺴْﺖَ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺖِ ﺃَﺑِﻴﻚَ ﻭَﺃُﻣِّﻚَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺄْﺗِﻴَﻚَ ﻫَﺪِﻳَّﺘُﻚَ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺖَ ﺻَﺎﺩِﻗًﺎ ﺛُﻢَّ
ﺧَﻄَﺒَﻨَﺎ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﺛْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺃَﺳْﺘَﻌْﻤِﻞُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﻤَﻞِ
ﻣِﻤَّﺎ ﻭَﻟَّﺎﻧِﻲ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻴَﺄْﺗِﻲ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎﻟُﻜُﻢْ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻫَﺪِﻳَّﺔٌ ﺃُﻫْﺪِﻳَﺖْ ﻟِﻲ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﺟَﻠَﺲَ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺖِ
ﺃَﺑِﻴﻪِ ﻭَﺃُﻣِّﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺄْﺗِﻴَﻪُ ﻫَﺪِﻳَّﺘُﻪُ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟَﺎ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺣَﻘِّﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﻟَﻘِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪَ
ﻳَﺤْﻤِﻠُﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻓَﻠَﺄَﻋْﺮِﻓَﻦَّ ﺃَﺣَﺪًﺍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻟَﻘِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺤْﻤِﻞُ ﺑَﻌِﻴﺮًﺍ ﻟَﻪُ ﺭُﻏَﺎﺀٌ ﺃَﻭْ ﺑَﻘَﺮَﺓً ﻟَﻬَﺎ
ﺧُﻮَﺍﺭٌ ﺃَﻭْ ﺷَﺎﺓً ﺗَﻴْﻌَﺮُ ﺛُﻢَّ ﺭَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ ﺣَﺘَّﻰ ﺭُﺋِﻲَ ﺑَﻴَﺎﺽُ ﺇِﺑْﻄِﻪِ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻫَﻞْ ﺑَﻠَّﻐْﺖُ ﺑَﺼْﺮَ
ﻋَﻴْﻨِﻲ ﻭَﺳَﻤْﻊَ ﺃُﺫُﻧِﻲ
“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil
untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil
dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia
bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw
menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya.
Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda,
sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-
orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika
engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-
duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang
sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di
hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah
swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat
seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai
urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata,
”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah
milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak
sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai
hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-
benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak
akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan
menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah,
aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap
Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang
melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw
mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt,
hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam
Bukhari dan Muslim]
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan
bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang
pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara
terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak
hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi,
akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim.
Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa
haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan
Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru
menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan
terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Tanggapan: Itu karena antum kurang memahami hakikat qiyas,
karena di sini antum menyamakan apa yang dilakukan oleh Nabi
sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati penguasa
yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil
karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas
antum ini bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati
penguasa secara terang-terangan..
Tanggapan Balik:
Apa yang diucapkan, dikerjakan, dan disetujui Nabi adalah hujjah
yang wajib diikuti. Ibnu Luthbiyyah adalah seorang penguasa. Nabi
saw dalam hal ini berkedudukan sebagai Nabi sekaligus Rais ad
Daulah. Dalam konteks asal, apa yang beliau lakukan adalah hujjah
bagi kaum Muslim, baik rakyat maupun penguasa; dan tidak
dikhususkan hanya untuk penguasa saja. Memang dalam konteks
tertentu apa yang dilakukan Nabi saw hanya boleh ditiru oleh
penguasa saja, semisal memotong tangan pencuri, rajam bagi pezina
dan lain-lain. Namun, dalam hal mengoreksi penguasa dengan
terang-terangan tidak harus dilakukan oleh penguasa yang lebih atas
kepada penguasa yang lebih bawah, tapi bisa dilakukan oleh semua
orang. Pasalnya, dalil-dalil umum telah menunjukkan masyru'nya
mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Dengan demikian
kisah koreksi Nabi saw atas Ibnu Luthbiyyah adalah hujjah jaliyah
atas masyru'nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,
HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi
nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak.
Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari
Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
ﺳﻴﺪ ﺍﻟﺸﻬﺪﺍﺀ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺣﻤﺰﺓ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ ﻭﺭﺟﻞ ﻗﺎﻡ ﺇﻟﻰ ﺇﻣﺎﻡ ﺟﺎﺋﺮ
ﻓﺄﻣﺮﻩ ﻭﻧﻬﺎﻩ ﻓﻘﺘﻠﻪ
“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat
adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang
berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia
memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu
membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak
menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa;
apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan
terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan
menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-
sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan
hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam
(mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-
hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan
empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya lihat di point
berikutnya).
Tanggapan: Itu karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya
hasan atau shahih yaitu hadits yang menjelaskan tata cara
menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara terangan-terangan,
karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari jalan-jalan
lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan
diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis..
sebab perbuatan itu sama saja membongkar kebodohan antum
sendiri..
Tanggapan Balik:
Hadits di atas adalah dalil umum untuk muhasabah lil hukkam, dan
tidak ada dalil yang mentakhshishnya. Seandainya riwayat Imam
Ahmad itu shahih –seperti pendapat antum, walaupun padahal
dla'if--, maka hadits itu juga tidak bisa mentakhshish keumuman
hadits yang berbicara tentang mengoreksi penguasa dengan terang-
terangan. Sebab, tidak semua kalimat yang berbentuk larangan (di
dalam al Quran dan Sunnah) pasti berimplikasi hukum haram.
Sighat nahyu bisa saja berimplikasi tahrim, karahah, tahqiir, bayaan
al-'aqibah, ad-du'a, al-ya'su, al-irsyad, dan lain-lain, Larangan yang
tersebut di dalam hadits Imam Ahmad hanya menunjukkan makna
al-irsyad dan rukhshah belaka. Indikasinya adalah kalimat yang
disebut dalam hadits tersebut:: (1) frase , "wa illa qad aday al-ladziy
'alaihi lahu" (dan jika tidak, maka dia telah menunaikan apa yang
telah diwajibkan kepadanya bagi penguasa itu). Frase ini justru
menunjukkan kewajiban mengoreksi penguasa dengan terang-
terangan. Maksudnya, jika seseorang tidak mampu mengoreksi
penguasa dengan terang-terangan, maka, menasehatinya dengan
sembunyi-sembunyi sudah dianggap cukup dan bisa menghapus
dosa "berdiam diri terhadap kemaksiyatan yang dilakukan oleh
penguasa". Dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan
haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. (2)
perkataan 'Iyadl bin Ghanm, "Sesungguhnya, engkau ya Hisyam,
kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya
Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah,
dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah
tabaaraka wa ta’aala", menunjukkan bahwa beliau sedang
mengingatkan saudaranya Hisyam bin Hakim tentang bahaya atau
resiko yang akan diterimanya jika menasehati penguasa dengan
terang-terangan, bukan mengingatkan atas kemaksiyatan yang
dilakukan oleh Hisyam bin Hakim. Ini menunjukkan bahwa 'Iyadl
bin Ghanm pun tahu bahwa menasehati penguasa dengan
sembunyi-sembunyi adalah rukhshah (keringanan), sedangkan yang
wajib dan paling asal adalah mengoreksi penguasa dengan terang-
terangan.
Walhasil, hukum bolehnya mengoreksi penguasa dengan terang-
terangan tidak bisa dikhususkan oleh hadits itu. Sebab, ada kalanya
mengoreksi penguasa dengan diam2 itu baik dalam satu kondisi,
namun tidak baik untuk kondisi yang lain; begitu juga sebaliknya.
Ana harus nyatakan bahwa semua jalur, termasuk jalur yang antum
ketengahkah di bagian akhir bantahan ini juga terbukti lemahnya.
Insya Allah, ana akan jelaskan kelemahannya.
HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi
(muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang
melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw
memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa
dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari
meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit,
bahwasanya dia berkata:
ﺩَﻋَﺎﻧَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺒَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺧَﺬَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺃَﻥْ ﺑَﺎﻳَﻌَﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ
ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻓِﻲ ﻣَﻨْﺸَﻄِﻨَﺎ ﻭَﻣَﻜْﺮَﻫِﻨَﺎ ﻭَﻋُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﻳُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﺃَﺛَﺮَﺓً ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻧُﻨَﺎﺯِﻉَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﺃَﻫْﻠَﻪُ
ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ
“ Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada
beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa
kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat
[kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian
kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan
kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali
jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti
yang kuat dari Allah. ”[ HR. Imam Bukhari ]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
ﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀُ ﻓَﺘَﻌْﺮِﻓُﻮﻥَ ﻭَﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻥَ ﻓَﻤَﻦْ ﻋَﺮَﻑَ ﺑَﺮِﺉَ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻧْﻜَﺮَ ﺳَﻠِﻢَ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣَﻦْ ﺭَﺿِﻲَ
ﻭَﺗَﺎﺑَﻊَ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻘَﺎﺗِﻠُﻬُﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺻَﻠَّﻮْﺍ
“ Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui
kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang
membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang
mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan
mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah
kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih
menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim ]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam
Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini
terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi
di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah
dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari
fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda,
“Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul;
adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika
mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan
selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar
Islam.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi
tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan
terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya
melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga
menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari
penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata.
Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati
penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa
tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu,
bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak
boleh dilakukan dengan terang-terangan?
Tanggapan: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang
telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara
menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An
Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan
kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari
penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-
terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah
perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara
mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena
itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas
bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang
antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..
Tanggapan Balik:
Kesimpulan antum itu dikarenakan antum tidak melihat
keseluruhan 2 hadits yang ana ketengahkan. Pada hadits kedua yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan kata "wa man ankara
salima.." Mengingkari penguasa yang tersebut dalam hadits di atas
bisa saja dilakukan dengan hati, perbuatan, dan perkataan. Hadits di
atas berlaku untuk para penguasa yang masih menegakkan system
Islam, dan menjalankan syariat Islam sebagai aturan yang
Ana juga setuju bahwa kita tidak boleh menghukumi kafir orang
yang menyimpang dari syariat, atau menerapkan hukum kufur.
Semua harus dikembalikan kepada i'tiqadnya atas perbuatan
menyimpang itu. Jika ia menerapkan hukum kufur itu atas
pengetahuannya dan disertai dengan keyakinan, maka ia telah kafir.
Sebaliknya, jika tidak disertai i'tiqad maka dia tidak boleh dihukumi
kafir. Ya akh, tolong antum jawab, apa hukum penguasa yang
berkata dengan terang-terangan bahwa mereka menyakini
kebenaran demokrasi, sekulerisme, dan nasionalisme, bahkan
bersumpah untuk membela dan mempertahankan system taghut,
bekerjasama dengan orang-orang kafir bahkan rela membunuhi
saudara-saudara Mukminnya?
HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra
terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan
mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh
shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan
muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara
saja.
Tanggapan: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil
kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan
sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan
suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat
memahaminya dengan benar..
Tanggapan Balik:
Berdasarkan hawa nafsu? Lalu apakah antum tidak melihat
bagaimana tatacara shahabat mengoreksi penguasa saat itu, dan juga
yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih?
HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita
bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217,
disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra,
pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari
penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra
dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga
mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil
bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu
orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun
menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada
saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah
wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam
Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah)
kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Tanggapan: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga
pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal
ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-
shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al
Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga
pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin
Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah
dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa
Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar
Husain datang kepada mereka..
Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan
bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau
melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu
namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang
berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang
seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah
dalam masalah-masalah besar seperti ini..
Tanggapan Balik:
Tanggapan antum itu jelas menunjukkan bahwa antum tidak
konsisten dalam berdalil. Di satu sisi antum mencela mengoreksi
penguasa dengan terang2an, tapi, pada saat ana ketengahkan hujjah
jaliyyah bagaimana shahabat besar mengoreksi khalifahnya dengan
terang-terangan, namun antum malah membela perbuatan mereka
dengan alasan ijtihadnya boleh salah ? Namun giliran ikhwan-
ikhwan Hizbut Tahrir yang mengoreksi penguasa secara terang-
terangan sama persis seperti yang dilakukan oleh shahabat-shahabat
besar itu, antum bilangnya berdasarkan hawa nafsu! Padahal, apa
yang dilakukan ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir adalah mencontoh
perbuatan shahabat dan juga berdasarkan hujjah qawwiyah, bukan
berdasarkan hawa nafsu seperti yang antum tuduhkan. Semoga
Allah menunjukki antum dan membersihkan hati antum dari sifat-
sifat keji seperti itu. . Pengingkaran Ibnu 'Abbas, dan lain-lain
terhadap Husein bin Ali bukan karena apa yang dilakukan oleh
Husein bin Ali itu berhukum haram –seperti pandangan antum yang
mengharamkan muhasabah lil hukkam dengan terang2an)— namun
dikarenakan Ibnu Abbas khawatir akan pengkhianatan penduduk
Kufah. Seandainya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan
haram, niscaya Husein bin Ali rahmatullahi wa baarakatuhu 'alaih
tidak akan keluar menuju Kufah. Jelas sudah, bahwa mengoreksi
penguasa itu hukum asalnya disampaikan dengan terang-terangan!
HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga
menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum
Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah
cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin
Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang
sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang
Jamal.
Tanggapan: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena
kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir
adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan
kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan:
“mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang
bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya,
maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya:
“Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah
memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata:
“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka
berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:
ﺃَﻳَّﺘُﻜُﻦَّ ﺗَﻨْﺒَﺢُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻛِﻠَﺎﺏُ ﺍﻟْﺤَﻮْﺃَﺏِ
“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-
ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar
duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi
Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al
Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).
Tanggapan Balik:
Wahai akhi, itulah yang disebut dengan muhasabah lil hukkam!
Jelas bahwa 'Aisyah ra melakukan muhasabah dengan terang-
terangan! Meminta agar penguasa menerapkan hukuman qishash
atas pembunuh Utsman jelas-jelas merupakan tindakan mengoreksi
penguasa. Pasalnya, 'Ali bin Abi Thalib ra menunda pelaksanaannya.
Selain itu, jika perbuatan 'Aisyah ra tersebut bukan ditujukan untuk
mengoreksi penguasa, niscaya ia tidak akan disertai oleh pasukan
perang, hingga akhirnya meletus perang Jamal.
HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan
kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul
Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian
melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”.
Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai
Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan
meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
Tanggapan: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah
tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak.
Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah,
karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk
Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata:
“Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar
boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah
menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak
membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam
kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul
Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula
menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan
oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari
orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).
Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih
sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.
Tanggapan Balik:
Antum bilang hal ini waqi'ul hayaan dan bertentangan dengan
petunjuk Nabi dalam menasehati penguasa? Antum berkesimpulan
seperti itu disebabkan karena antum punya pandangan bahwa
muhasabah lil hukkam itu harus rahasia karena ada hadits yang
menunjukkan. Padahal hadits itu lemah. Seandainya antum tidak
berpandangan seperti itu, niscaya antum tidak akan
mengetengahkan kesimpulan premature tersebut. Yang benar,
hukum asal muhasabah lil hukkam itu dilakukan dengan terang-
terangan, dan boleh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Ketentuan seperti ini didasarkan pada dalil-dalil umum yang
berbicara tentang menasehati penguasa. Adapun riwayat Imam
Bukhari yang antum ketengahkan itu sama sekali tidak
berhubungan dengan haramnya mengoreksi penguasa dengan
terang-terangan. Sebab, bolehnya melakukan muhasabah lil hukkam
baik dengan terang-terangan maupun sembunyi ditetapkan
berdasarkan nash-nash umum. Contohnya adalah; perhatikan hadits
dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi bersabda, "Sesungguhnya
Allah meridloi kalian tiga hal, dan membenci kepada kalian tiga hal.
Allah swt meridloi kalian beribadah kepadaNya semata dan tidak
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun; kalian berpegang teguh
dengan tali Allah secara bersama-sama; dan kalian menasehati
orang yang mengatur urusan kalian (penguasa). Dan Allah
membenci untuk kalian, qiila wa qaala, terlalu banyak bertanya, dan
menyia-nyiakan harta".[HR. Imam Bukhari dalam Adab al-Mufrad,
dan Imam Muslim], dan masih banyak lagi.
Ana perlu terangkan lagi, bahwa perkataan dan perbuatan shahabat
bukanlah dalil syariat. Yang wajib dijadikan dalil syariat adalah al-
Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Kisah itu menunjukkan
para shahabat memahami bahwa mengoreksi penguasa itu boleh
dilakukan secara terang-terangan atau rahasia, berdasarkan nash-
nash umum, bukan karena yang lain. Dan kita diperkenankan taqlid
kepada mereka dalam masalah hukum syariat yang mereka
istinbathkan dari dalil umum. Apa yang dilakukan oleh Umar bin
Khaththab ra tentu saja berdasarkan dalil, bukan karena hawa
nafsu.
HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari
kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra
kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju
itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…”
Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya
berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan
mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman
menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan
kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh
tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau
memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun
menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin
Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”.
Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang
aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi
Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka
kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-
Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama
dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
Tanggapan: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat
diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan
pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai
dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah
kisah itu shahih atau tidak..
Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena
perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat
diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja
mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang
pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena
ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati
penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini
hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan
dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung
banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-
lebih bila bertentangan dengan dalil.
Tanggapan Balik:
Perbuatan shahabat di atas, baik Salman maupun Umar tentu saja
tidak bertentangan dengan dalil. Pasalnya ada dalil umum yang
menunjukkan bolehnya mengoreksi penguasa baik dengan terang-
terangan maupun sembunyi-sembunyi. Memang benar, apa yang
dilakukan oleh Salman dan Umar bukanlah dalil syariat. Tetapi,
perbuatan yang mereka lakukan tentu saja berdasarkan dalil yang
mereka pahami, baik dari al-Quran maupun sunnah. Bisa jadi
keduanya menyandarkan perbuatannya itu berdasarkan nash-nash
umum yang berbicara tentang menasehati penguasa, misalnya
hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Abdillah Thariq bin Syihab al-
Bailiy al-Ahmasy ra, bahwasanya ada seorang laki2 bertanya kepada
Nabi saw, "Jihad apa yang paling utama? Nabi menjawab, "Kalimat
haq yang disampaikan di hadapan penguasa jahat". [Imam An
Nasaaiy, isnadnya shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Baihaqiy]. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir ra,
".....Nabi bersabda, "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk selalu
mendengar dan taat baik dalam keadaan lapang maupun malas,
berinfaq dalam keadaan susah maupun mudah, dan agar melakukan
amar makruf nahi 'anil mungkar, dan kalian kalian selalu berkata
karena Allah: Tidak pernah takut celaan manusia [dalam
menyampaikan kebenaran]". [Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu
Hibban dan Al-Hakim]
Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad, maka ia boleh
taqlid kepada ulama yang faqih, seperti Umar dan Salman al-Farisi.
HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar
setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia
berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim
Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan
mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata,
“Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai
Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah
itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu
bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya
berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia
menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan
dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu
Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang
membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan
dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah
seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”.
Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata
benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan
pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits
ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan
diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya',
juz 7, hal. 70]
Tanggapan: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
(2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah
bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah
karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan
Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata:
“Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan,
suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar
dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”.
(Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias
dijadikan hujjah.
HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik
sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang
telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan
memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang
Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di
depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az
Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa',
Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya
Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk
mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya
bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz
Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata,
“Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling
dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan
semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan
langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”.
[Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]
• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja
Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa
Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar
ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan
Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk
Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat
fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus
Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As
Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Tanggapan: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan
hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila
bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah,
terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak
disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.
HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para
ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya.
Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-
kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para
penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan,
mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun
fatwa-fatwanya.
Tanggapan: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh
ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah
yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati
mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada
penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin
hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha
Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu
‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini
telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an
itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan
kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.
Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau
berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan
jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum
muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin
bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan
bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan
dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini
(pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]
Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah
ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa
oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan
firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh
imam Ahmad dan para fuqaha??!
Tanggapan Balik:
Semoga Allah menunjuki antum. Wahai akhiy, perkataan Imam
Ahmad di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau
mengharamkan menasehati penguasa dengan terang-terangan, atau
mengharamkan khuruj diri dari penguasa dalam keadaan tertentu.
Sebab, perkataan dengan menggunakan shighat nahyi belum tentu
bermakna keharaman. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits-
hadits yang berbicara tentang menasehati penguasa secara umum
[kalimat 'adl 'inda sulthan jaair), dan beliau juga mengetahui hadits-
hadits yang menuturkan wajibnya memisahkan diri dari penguasa-
penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata (kufran
bawahan). Beliau juga memahami kisah-kisah khurujnya para
shahabat dan bagaimana tata cara mereka menasehati penguasa.
Jadi, kesimpulan yang menyatakan bahwa Imam Ahmad sepaham
dengan antum adalah keinginan antum untuk membenarkan
pendapat ringkih antum!
Hizbut Tahrir pun menyakini dan membenarkan bahwa
memisahkan diri dari Khalifah tanpa alasan yang haq, memecah
belah persatuan kaum Muslim, dan membunuh kaum Muslim tanpa
alasan yang jelas adalah haram dan harus dijauhi, sebagaimana
maqalah Imam Ahmad rahimahullah. Kami juga berpandangan
bahwa mentaati Khalifah yang fasiq dan dzalim adalah kewajiban.
Bahkan seorang Muslim dilarang memisahkan diri dari Khalifah
yang sah, meski dzalim dan fasiq. Namun, jika Khalifah telah
menampakkan kekufuran yang nyata maka tidak ada ketaatan
kepadanya, bahkan jika memungkinkan harus dikoreksi dengan
pedang. Inilah pandangan lurus yang dipegang oleh ikhwan-ikhwan
Hizbut Tahrir (rahmatullahi 'alaihim wa baarakatuhu), sebagaimana
pandangan Imam Ahmad.
Sedangkan nasehat Imam Ahmad -- yang antum catut untuk
membenarkan pandangan antum yang keliru itu--, sebenarnya
ditujukan agar kaum Muslim pada saat itu tidak tertimpa resiko
yang besar akibat menasehati penguasa yang dzalim dan fasiq,
Perkataan beliau ra sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau
melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan. Pasalnya,
beliau meriwayatkan hadits-hadits umum tentang amar makruf
dengan tangan, lisan, dan hati.
Dan perlu ana sampaikan, maqalah Imam Ahmad tersebut ditujukan
untuk Khalifah yang masih menerapkan sistem Khilafah dan
menerapkan syariat Islam, dan sama sekali tidak ditujukan untuk
para penguasa sekarang yang jelas-jelas telah mengubah sendi-sendi
Islam dan suka bersekongkol dengan penguasa-penguasa kafir.
Waqi' al-hadiitsahnya (realitas kejadiaannya) berbeda. Jika
realitasnya berbeda berarti antum tidak bisa menganalogkannya
dengan penguasa sekarang. Wallahu al-musta'an wahuwa waliyu at-
taufiq.
HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati
penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-
ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih
melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran
sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti
kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu..
sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam
menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui
orang awam.
Tanggapan Balik:
Berkali-kali harus ana sampaikan bahwa hukum asal menasehati
penguasa adalah dilakukan dengan terang-terangan, berdasarkan
keumuman nash-nash Al-Quran dan Sunnah yang berbicara tentang
amar makruf nahi 'anil mungkar. Pendapat ini dipegang oleh para
shahabat, dan juga dipahami oleh para ulama mu'tabar, melalui
riwayat-riwayat yang mereka tuturkan. Jadi sebuah tuduhan dan
kebohongan jka antum menuduh HT mengikuti ulama yang tidak
bersanad ilmu! Malah, kami meragukan apa guru-guru antum itu
punya sanad ilmu; atau jangan-jangan hanya belajar kitab-kitab
doing! Ini terlihat betapa seringnya guru-guru antum memberi fatwa
hukum yang justru memperkuat penguasa-penguasa sekarang,
dengan cara menukil secara keliru pendapat ulama mu'tabar!
HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy
telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu
harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh
sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut
masalah ini dengan sangat jelas.
Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang
laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan
kelemahannya dalam memahaminya..
Tanggapan Balik:
Pendapat antum itulah yang ringkih dan lapuk seperti rumah anai-
anai! Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi
penguasa itu secara terang-terangan, berdasarkan nash-nash Quran.
Ana tidak menyebutkan semua tapi hanya sebagian kecil saja.
Misalnya firman Allah swt
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik".[TQS Ali Imron
(3):110]
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[TQS At
Taubah (9):71]
"Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul)".[TQS An Nahl (16):36]
"Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud
dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu
tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan
orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa
yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya
mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa
yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan
mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong,
tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. .[TQS
Al Maidah (5):78-81]
Pastilah antum akan mengatakan bahwa ayat-ayat ini hanya
berbicara tentang amar makruf nahi 'anil mungkar dan tidak
menerangkan tatacara menasehati penguasa. Ana jawab, wahai
akhiy, ayat-ayat di atas adalah ayat umum yang memerintahkan
kaum Muslim untuk menyampaikan kebenaran kepada siapa saja
tanpa ada batasan, baik penguasa, rakyat, laki-laki maupun wanita.
Ayat di atas juga tidak membatasi cara untuk menyampaikan
kebenaran itu, baik dengan terang-terangan maupun sembunyi.
Dalam sunnah, ana akan sampaikan beberapa hadits saja –meskipun
sebenarnya banyak hadits--,
"Siapa saja melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, jika tidak
mampu dengan hatinya.."[HR.Imam Muslim, Tirmidziy, Ibnu Majah,
dan An Nasaaiy]
"Seutama-utama jihad adalah kalimat haq yang disampaikan di
depan penguasa fajir". [HR. Imam Ahmad, dalam Musnad Imam
Ahmad]
"Tidaklah seorang Nabi yang Allah swt utus untuk umat sebelumku,
kecuali ia memiliki hawariyyun dan shahabat-shahabat yang
mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Setelah itu,
mereka diganti oleh orang-orang sesudah mereka mengatakan apa
yang tidak mereka lakukan, melakukan apa yang tidak
diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang jaahadahum
(bersungguh-sungguh mencegah mereka) dengan tangannya, maka
ia Mukmin. Siapa yang bersungguh-sungguh mencegahnya dengan
lisannya, maka ia Mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh
mencegahnya dengan hatinya, maka ia Mukmin; dan tidak ada lagi
iman seberat biji sawipun di balik itu". [HR. Imam Muslim] Imam
Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dengan syahid makna]
"Kami membai'at Rasulullah saw agar selalu mendengar dan
mentaati baik dalam keadaan susah maupun ringan, dalam keadaan
senang maupun benci, dan agar kami tidak mencabut kekuasaan
dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekufuran nyata yang
ada bukti bagi kamu di sisi Allah; dan agar kami mengatakan
kebenaran di mana pun kami berada, tanpa kami takut celaan dalam
menyampaikan kebenaran dari Allah"[HR. Imam Bukhari dan
Muslim]
Inilah dalil-dalil jaliy yang menunjukkan bahwa hukum asal
mengoreksi penguasa itu disampaikan dengan sungguh-sungguh dan
terang-terangan, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.
Keumuman hadits-hadits ini tidak bisa ditakhshish oleh riwayat
'Iyadl bin Ghanm Pasalnya, selain hadits itu dla'if, makna hadits
Iyadl bin Ghanm hanya menunjukkan rukhshash dan al-irsyad.
Tidak lebih.
Sesudah penjelasan ini, masihkah ada orang yang mengatakan
bahwa mengoreksi penguasa itu harus sembunyi-sembunyi?
HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang
mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa
mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata,
karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan
hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara
mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam
Ahmad.
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓِ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺻَﻔْﻮَﺍﻥُ ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺷُﺮَﻳْﺢُ ﺑْﻦُ ﻋُﺒَﻴْﺪٍ ﺍﻟْﺤَﻀْﺮَﻣِﻲُّ ﻭَﻏَﻴْﺮُﻩُ ﻗَﺎﻝَ ﺟَﻠَﺪَ
ﻋِﻴَﺎﺽُ ﺑْﻦُ ﻏَﻨْﻢٍ ﺻَﺎﺣِﺐَ ﺩَﺍﺭِﻳَﺎ ﺣِﻴﻦَ ﻓُﺘِﺤَﺖْ ﻓَﺄَﻏْﻠَﻆَ ﻟَﻪُ ﻫِﺸَﺎﻡُ ﺑْﻦُ ﺣَﻜِﻴﻢٍ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝَ
ﺣَﺘَّﻯﻐَﻀِﺐَ ﻋِﻴَﺎﺽٌ ﺛُﻢَّ ﻣَﻜَﺚَ ﻟَﻴَﺎﻟِﻲَ ﻓَﺄَﺗَﺎﻩُ ﻫِﺸَﺎﻡُ ﺑْﻦُ ﺣَﻜِﻴﻢٍ ﻓَﺎﻋْﺘَﺬَﺭَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻫِﺸَﺎﻡٌ
ﻟِﻌِﻴَﺎﺽٍ ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺴْﻤَﻊْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻥَّ ﻣِﻦْ ﺃَﺷَﺪِّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ ﺃَﺷَﺪَّﻫُﻢْ
ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋِﻴَﺎﺽُ ﺑْﻦُ ﻏَﻨْﻢٍ ﻳَﺎ ﻫِﺸَﺎﻡُ ﺑْﻦَ ﺣَﻜِﻴﻢٍ ﻗَﺪْ ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ ﻣَﺎ ﺳَﻤِﻌْﺖَ
ﻭَﺭَﺃَﻳْﻨَﺎ ﻣَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺃَﻭَﻟَﻢْ ﺗَﺴْﻤَﻊْ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ
ﻳَﻨْﺼَﺢَ ﻟِﺴُﻠْﻄَﺎﻥٍ ﺑِﺄَﻣْﺮٍ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺒْﺪِ ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﺎﻧِﻴَﺔً ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻟِﻴَﺄْﺧُﺬْ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻴَﺨْﻠُﻮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺒِﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺬَﺍﻙَ
ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺪْ ﺃَﺩَّﻯ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻟَﻪُ ﻭَﺇِﻧَّﻚَ ﻳَﺎ ﻫِﺸَﺎﻡُ ﻟَﺄَﻧْﺖَ ﺍﻟْﺠَﺮِﻱﺀُ ﺇِﺫْ ﺗَﺠْﺘَﺮِﺉُ ﻋَﻠَﻰ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥِ
ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬَﻠَّﺎ ﺧَﺸِﻴﺖَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘْﺘُﻠَﻚَ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥُ ﻓَﺘَﻜُﻮﻥَ ﻗَﺘِﻴﻞَ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
“ Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia
berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata,
“Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan
lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya,
ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl
bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika
malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta
maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah
engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang
mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras
menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata,
“Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau
dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan;
tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa
hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk
memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan,
tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia
menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia
telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu.
Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena
engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau
takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang
yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala ”.[ HR.
Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-
Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan.
Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat
pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy
adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera
dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa
kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga
bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di
dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar
tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat
sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan
An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan
dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan
darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih
bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in
tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal,
sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf
ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari
Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga
ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari
seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab,
ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia
adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia
tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara
mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al
Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin
‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin
Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar
bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu
Malik Al Asy’ariy secara mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah
Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan
Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka
bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu
dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan
Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada
tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan
ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak
ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah
itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut.
Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits
munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara
ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As
Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan
kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah
meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah
meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin
‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada
Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah
saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa
janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi
hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia
menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka
ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam
Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan
hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi,
tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah
perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis
qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu
‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya
dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam
Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin
‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan
Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya
tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung
dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.
Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan
ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak
ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu,
maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut.
Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits
munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir,
maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin
Ismail bin ‘Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits
riwayat Imam Ahmad di atas.
Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu
yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul
Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H)
haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin
Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin
Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari
Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya
kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa
‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan
oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun
jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy,
sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan
sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al
Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami
Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih
bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin
Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun
permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak
bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair
bin Nufair.
Tanggapan Balik:
Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits
'Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun
mutaba'ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan
antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan
hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus.
Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan
jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya
hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:
Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah,
Shofwan, Syuraih bin 'Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena
Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-
lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi
sebagai hadits munqathi', sehingga gugur sebagai hujjah.
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan
sebagai "wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin
Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah
menyambungkan "keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan
Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui
bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut
dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair
adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam
Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, ".Beliau (Jubair bin Nufair) adalah
seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits
seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena
kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia
melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar". Atas dasar itu,
hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa
menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan
'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair
sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau
mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad
bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang
antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari
keterputusan (inqitha'). Dengan demikian, hadits itu harus
dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan
sandaran hujjah.
Adapun hadits dari jalur Mohammad bin 'Ayyasy, maka antum juga
harus tahu Mohammad bin 'Ayyasy adalah dla'ifu al-hadits (dla'if
haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta'diil, Abu Hatim berkata,
"Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya". Al Hafidz Ibnu Hajar
dalam At-Taqriib berkata, "Mereka mencela dirinya karena ia
menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya". Dalam
hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih
menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia
adalah dla'if, tidak tsiqqah".
Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H)
haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin
Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin
Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari
Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya
kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa
‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq
adalah waah (lemah)". Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang
dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi
banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa
dia itu berdusta". Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la
ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya
bin Ma'in memujinya dengan baik". Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan
juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy
berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin
Harits". Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru
bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam
Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits". Namun, Imam
Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-
riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang
namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya".
Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin
Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul.
Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan
Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam
Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak
'illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-
Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'ifnya Ishaq bin
Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru
bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4)
keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5)
terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya
Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari
'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu 'anhumaa.
Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.
Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma' az Zawaid,
"Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil", maka harus dinyatakan
bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di
atas.
Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah
sanad dari Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah
dijelaskan bahwa Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair
meriwayatkan dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak
ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam
kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan
'Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang
menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin
Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi
munqathi' (terputus).
Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin 'Ubaid
diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat
terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal
dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal
darinya dihukumi inqitha' (terputus).
Adapun riwayat mu'an'anah dari 'Iyadl bin Ghanm, maka sudah
dimaklumi bahwa 'Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada
masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair
tidak pernah mendengar dari 'Iyadl bin Ghanm, sebagaimana
disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-
Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin
Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-
shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus
(inqitha').
Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-
hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin
Hakim tetap mengoreksi 'Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan
ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah
hadits dari 'Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim
mendapati 'Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh,
menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam
masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, "Apa ini
wahai 'Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda,
"Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa
manusia di dunia". Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan
dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi'ahnya. Selain itu,
riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim
juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia
mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau
terhadap ;Umair bin Sa'ad pada saat ia berada di Palestina atau di
Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya
dengan 'Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa
diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam.
Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl
bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan
hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap
mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya
gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin 'Iyasy),
maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan 'Iyadl bin Ghanm
dan Hisyam bin Hakim.
Demikianlah, Allah telah memudahkan kita untuk menunjukkan
kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad tentang "sirriyat al-
nashihah". Oleh karena itu, argumentasi antum telah gugur di
hadapan hujjah yang lurus dan benar. Semoga antum tertunjukki
dan terentaskan dari kesalahan. Allahummasyhad, qad balaghtu
al-haqq. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwamith Thariiq.
[ Al Faqir ila Al-Allah Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]

No comments: