Friday, July 30, 2021

APAKAH HIZBUT TAHRIR ASY'ARIY ?

 APAKAH HIZBUT TAHRIR ASY'ARIY?

 

Soal: 

Semoga Allah memberkati dan menganugerahi Anda ilmu dan kebaikan wahai Syekh. Saya ada pertanyaan jika Anda berkenan, apakah Hizbut Tahrir itu Asy'ariy dalam masalah akidah atau ia mempunyai pemahaman tersendiri yang khas dalam masalah akidah? Terima kasih. Selesai. (Riyadh Abu Malik) 


Jawab: 

Assalamualaikum wrwb 

Sebelum menjawab secara langsung pertanyaan Anda, saya ingin menegaskan terlebih dulu beberapa hal berikut: 


Pertama, Realitas Hizbut Tahrir 


1. Hizbut Tahrir telah mendefinisikan dirinya sebagai berikut: (Hizb adalah sebuah partai politik berideologi Islam, politik adalah aktivitasnya dan Islam adalah ideologinya. Hizb beraktivitas di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat agar umat menjadikan Islam sebagai persoalan utamanya dan agar Hizb memimpin umat dalam rangka menegakkan kembali Khilafah dan pemerintahan yang berdasarkan apa-apa yang diturunkan oleh Allah dalam realitas kehidupan. Hizb merupakan organisasi yang bersifat politis, bukan organisasi yang sifatnya ruhiyah, ilmiah, taklimiah, maupun khairiah. 


Pemikiran Islam adalah ruh bagi tubuh Hizb sekaligus sebagai rahasia kehidupannya dan substansi keberadaannya. Jadi mengacu pada definisi ini, Hizbut Tahrir bukanlah kelompok pemikiran, bukanlah golongan ilmu kalam dan bukan pula mazhab fiqh. Melainkan ia adalah sebuah partai politik yang mengadopsi persoalan-persoalan umat yang berjuang demi umat dan beraktivitas untuk mengembalikan Islam dalam realitas kehidupan dan akan menjaganya ketika kehidupan Islamy tsb telah tegak. Hizb mengimani akidah Islamiyah dan menganggap bahwa setiap orang yang mengimani akidah Islamiyah sebagai sesama saudara Muslim, sesuai firman Allah SWT: 


 إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةࣱ 


"Hanyalah sesungguhnya orang-orang Mukmin itu  bersaudara" (Al-Hujurat: 10)


Hizb senantiasa mengedepankan diskusi dengan cara-cara yang baik terhadap poin-poin persoalan yang diperselisihkan. 


2. Sesungguhnya Hizbut Tahrir telah mengadopsi sejumlah pemikiran-pemikiran, hukum-hukum dan pendapat-pendapat yang mesti diadopsi dalam rangka perjuangan Hizb termasuk kitab-kitab dan publikasi-publikasi yang dikeluarkannya. Akan tetapi Hizb tidak membahas setiap persoalan serta setiap pemikiran. Dalam perkara-perkara yang terkait akidah dan ibadah Hizb tidak begitu banyak mengadopsinya. Karena hal tsb tidak mengharuskan untuk diadopsi terkait aktivitas Hizb sebagai sebuah partai politik, yang berupaya membangkitkan umat dan mendirikan negara Khilafah dan bergerak atas dasar pemikiran dan perasaan umat. 


Sebagai contoh, Hizb mengadopsi pendapat dalam masalah kema'shuman para nabi dan para rasul. Juga mengadopsi masalah tentang boleh-tidaknya Nabi Saw berijtihad. Karena kedua hal ini berpengaruh dalam pemahaman yang bersifat tasyri'iy. Namun demikian Hizb tak mengadopsi banyak perkara yang telah dimasuki oleh para ulama ahli kalam. 


3. Sesungguhnya Hizb terikat pada kekuatan dalil. Hal ini nampak jelas dalam keinginannya yang berkesinambungan untuk terus menelaah tsaqafah-tsaqafahnya, hal-hal yang diadopsinya dan sikapnya yang selalu bertumpu pada kuatnya dalil. 


Atas dasar ini, Hizb telah merevisi dan memperbaiki kitab-kitabnya secara berkelanjutan. Hizb sama sekali tidak akan bersikukuh pada pendapat apapun yang terbukti bagi Hizb kelemahan dalilnya, lalu mengambil pendapat yang dalilnya lebih rajih. Bahkan Hizb telah meninggalkan pendapat yang terbukti kelemahannya seraya mengambil pendapat yang terbukti lebih kuat dalilnya. Ini sangat gamblang dalam semua perbaikan dan pengubahan yang terjadi dalam kitab-kitab Hizb. Demikian pula halnya dalam telaah menyeluruh atas seluruh kitab-kitab Hizb yang berlangsung dari waktu ke waktu. 


Kedua, sebagian kaum Muslimin menamai kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab yang berselisih pendapat dalam pembahasan masalah-masalah yang berkait dengan cabang-cabang dalam akidah dan persoalan ilmu kalam, misalnya Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam al-Asy'ari rahimahullah, Maturidiyah yang dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi rahimahullah, Salafiyah dll.


Mereka juga menamakan dengan menyematkan lafazh akidah. Mereka katakan, akidah Asy'ariyah, akidah Maturidiyah, akidah Salafiyah dsb. Bahkan mereka menamakan kitab-kitab matan maupun kitab-kitab ulama tertentu dengan nama akidah. Mereka katakan, akidah ath-Thahawiyah yang dinisbatkan kepada Imam ath-Thahawi rahimahullah, akidah al-Wasathiyah yang dinisbatkan kepada sebuah risalah yang ditulis oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dst.


Penyematan lafazh akidah terhadap semua hal ini, sebetulnya tidak akurat, tidak pada tempatnya, serta terdapat kesamaran dan pertentangan pendapat di antara kaum Muslimin. Karena posisi mazhab-mazhab terhadap permasalahan-permasalahan yang berkait dengan pembahasan-pembahasan akidah, bukanlah akidah. Tapi yang dimaksud akidah adalah akidah Islamiyah yang ditetapkan dalam syariat berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya qath'iy, yang mana tidak boleh terjadi perselisihan pendapat tentangnya. 


Karena itu sebenarnya tidak ada sesuatu yang dinamakan akidah Asy'ariyah atau akidah Salafiyah atau akidah Thahawiyah. Yang ada hanyalah akidah Islamiyah yang menghimpun semua kaum Muslimin di berbagai penjuru meskipun ada perbedaan dalam mazhab-mazhab mereka dan pendapat-pendapat mereka. Juga walaupun terdapat perbedaan pendapat antara berbagai mazhab, kelompok-kelompok pemikiran semacam Asy'ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan selainnya dalam pembahasan-pembahasan berkait masalah-masalah cabang di luar pembahasan akidah Islamiyah. Dan masing-masing kelompok memiliki pendapat yang tidak sampai mengeluarkannya dari akidah Islamiyah. 


Ketiga, sesungguhnya metode yang digunakan Hizb dalam mengadopsi pemikiran-pemikiran, hukum-hukum dan pendapat-pendapat yaitu mengambil pendapat berdasarkan kekuatan dalil. Baik yang dalilnya aqli maupun yang dalilnya naqli, tanpa memperhatikan soal siapa yang menyatakannya. 


Oleh karena itu, Hizbut Tahrir telah mengadopsi beberapa pendapat dalam persoalan-persoalan cabang akidah yang sejalan dengan pendapat kelompok Asy'ariyah. Juga Hizb mengadopsi beberapa perkara-perkara lain yang selaras dengan pendapat selain kelompok Asy'ariyah ini. Lalu dalam persoalan-persoalan syariat, Hizb mengadopsi pendapat yang sesuai dengan mazhab-mazhab fiqh yang masyhur maupun mazhab yang lain tanpa terikat dengan suatu mazhab tertentu. 


Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa Hizbut Tahrir itu Syafi'iyah atau Hanafiyah misalnya. Juga tidak bisa dikatakan bahwa Hizb itu Asy'ary atau Salafy atau Maturidy atau Muktazily. Begitupun, tidak bisa dikatakan bahwa Hizb itu termasuk madrasah ahli ra'yi atau termasuk madrasah ahli hadits dst. 


Sebab Hizb bukanlah bagian dari semua kelompok tsb. Melainkan ia adalah partai politik yang berideologi Islam dan senantiasa mengambil pendapat-pendapat berdasarkan kekuatan dalil semata, sesuai dengan metode yang kokoh yang diadopsi oleh Hizb - sebagaimana tertera di dalam berbagai kitabnya - terlepas soal siapa ulama yang menyatakannya. 


Maka dalam pendapat-pendapat Hizb sebagiannya adalah seperti yang diungkapkan kelompok Asy'ariyah, dan sebagiannya lagi sesuai yang dikatakan kelompok Salafiyah serta sebagiannya lagi selaras dengan pendapat kelompok-kelompok yang lain. Hal ini seluruhnya berlandaskan kekuatan dalil. Bukan karena terikat dengan pendapat-pendapat salah satu kelompok, juga bukan karena mengikuti kelompok tsb dalam hal metode, pemikiran maupun pendapatnya. Hizb tidak mengakui perselisihan-perselisihan (yang berdampak keterpecah-belahan) yang terjadi di tengah kaum Muslimin pada masa lalu. Bahkan Hizb menganggap kaum Muslimin seluruhnya adalah umat yang satu, meskipun terdapat perbedaan mazhab dan kelompok antara mereka. Dan Hizb menyeru mereka agar menyambut seruan dakwahnya dan berjuang bersama-sama dalam rangka penegakan Islam, pengembanan dakwah serta penyatuan umat di bawah naungan panji Khilafah Islamiyah. 


Saya berharap penjelasan ini bisa memberi jawaban yang memadai. 


Wallahu a'lam wa ahkam 


Saudaramu, 

Atha bin Khalil Abu Ar-Rasytah 


Amir Hizbut Tahrir 


17 Dzulhijjah 1442 /

27 Juli 2021


@satuabadtanpakhilafah

Monday, July 26, 2021

Betulkah Satu Khilafah Hanya Pendapat HT?

 Betulkah Satu Khilafah Hanya Pendapat HT?

 

Soal:


Benarkah satu Khilafah untuk umat di seluruh dunia hanya merupakan pendapat Hizbut Tahrir? Ataukah ini merupakan pendapat ulama kaum Muslim? Ataukah sebaliknya, tidak ada satu pun kitab fikih yang menyatakan bahwa Khilafah wajib satu?


 


Jawab:


Pendapat bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib mempunyai satu Negara Khilafah sesungguhnya merupakan pendapat para ulama mu’tabar. Imam an-Nawawi, misalnya, dalam Syarh Shahîh Muslim, menyatakan:


إذا بويع لخليفتين بعد خليفة، فبيعة الأول، صحيحة، ويجب الوفاء وبيعة الثاني باطلة، ويحرم الوفاء بِهَا، ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول، أم جاهلين، وسواء كانا في بلدين، أو بلد، أو أحدهما في بلد الإمام المنفصل، والآخر في غيره.. واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا..


Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah sebelumnya ada khalifah yang dibaiat, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan, sementara baiat yang kedua batil dan haram ditunaikan. Haram bagi orang yang kedua untuk menuntut baiat, baik mereka yang telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak; baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah Imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.1


Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bâri, juga menyatakan:


والمعنى: إذا بويع الخليفة بعد الخليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، وقال القرطبي: في هذا الحديث – أي حديث: (أوفوا ببيعة الأول..) حكم بيعة الأول، وأنه يجب الوفاء بها، وسكت عن بيعة الثاني، ونص عليه حديث  عرفجة في صحيح مسلم، حيث قال: فاضربوا عنق الآخر..


Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah setelah sebelumnya telah ada khalifah yang dibaiat, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan, sementara baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadis ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah baiat yang pertama,”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadis Arfajah, dalam Shahîh Muslim, telah menyatakan hal ini ketika menyatakan, “…maka penggalah leher yang terakhir (dari keduanya)…”2


Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, juga menyatakan:


فصل: وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما، لأنه لايجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد


Pasal: Jika Imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka Imamah [Khilafah]  keduanya tidak sah. Alasannya, karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.3


Imam al-Farra’, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, menyatakan:


ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين..


Tidak boleh [haram] mengangkat Imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.4


Inilah pendapat berbagai ulama tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi juga pendapat para ulama mu’tabar di kalangan Ahlus Sunnah.


Memang, Imam al-Haramain al-Juwaini menyatakan:


قال أصحابنا: لا يجوز عقدها لشخصين، قال: وعندي: أنه لا يجوز عقدها لاثنين في صقع واحد، وهذا مجمع عليه، قال: فإن بعد ما بين الإمامين، وتخللت بينهما شسوع فللاحتمال فيه مجال، وهو خارج من القواطع.


Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh Imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”5


Namun demikian, Imam an-Nawawi tidak sependapat dengan Imam al-Haramain al-Juwaini, bahkan dengan tegas menyanggah pendapat beliau:


وهو قول فاسد، لما عليه السلف والخلف، ولظواهر الأحاديث.


Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadis.6


Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolehan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan Imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.7


 


Dalil Kesatuan Khilafah


Khilafah Islam wajib satu bagi umat Islam di seluruh dunia telah dinyatakan dalam banyak hadis, di antaranya:


وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِه بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَة جَاهِلِيَّةً


Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah (HR Muslim).


Nabi saw. juga bersabda:


إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا


Jika dibaiat dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).


Beliau pun bersabda:


كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِي خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَ إِنَّهُ لاَ نَبي بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَمَا تأمرنا؟ قَالَ: أُوْفُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلُ، أُعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، وَاسْأَلُوْا اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ…


“Dulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya setelah aku tidak akan ada seorang nabi pun. Yang akan adalah para khalifah sehingga jumlah  mereka banyak.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Baginda saw. menjawab, “Tunaikanlah baiat yang pertama, maka yang pertama [itu yang sah]. Berikanlah kepada mereka hak mereka, dan memintalah kepada Allah, apa yang menjadi hak kalian.” (HR Muttafaq ‘Alaih).


Berdasarkan hadis-hadis di atas jelas bahwa: Pertama, di pundak setiap leher kaum Muslim wajib ada baiat, yaitu ketaatan kepada Imam [Khalifah] yang telah dibaiat oleh kaum Muslim, baik semua kaum Muslim yang ada di dunia terlibat dalam pembaiatannya, atau tidak, kecuali mayoritas, atau yang merepresentasikan suara mayoritas. Pasalnya, begitu baiat tersebut telah sah diberikan kepada seorang imam [khalifah], maka baiat tersebut telah mengikat leher setiap kaum Muslim sekalipun individu ini, atau kelompok itu, tidak terlibat langsung dalam proses pembaiatannya. Ini sebagaimana baiat terhadap Abu Bakar, yang diberikan oleh mayori-tas sahabat, telah mengikat leher Ali bin Abi Thalib ra, meski untuk beberapa saat beliau belum membaiatnya. Baiat tersebut juga mengikat leher Saad bin Ubadah meski belum sempat sama sekali membaiatnya hingga meninggal dunia. Semua ini membuktikan bahwa adanya baiat  kepada seorang khalifah yang sah menjadikan baiat tersebut mengikat leher setiap kaum Muslim.


Kedua, baiat yang mengikat leher tiap kaum Muslim tak lain adalah baiat kepada seorang imam (khalifah) sebagaimana yang ditunjukkan dua hadis di atas. Menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, “Ini merupakan seruan kepada seluruh kaum Muslim agar mereka tidak mempunyai dua khalifah, baik adanya khalifah yang kedua dengan sukarela dan persetujuan kaum Muslim, dengan pembaiatan mereka kepadanya, ketika yang pertama sudah ada, atau adanya khalifah melalui kekerasan dan perampasan kekuasaan khalifah yang pertama.” 8


Ketiga, hanya boleh ada seorang khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia merupakan kinayah, tentang adanya satu instruksi, satu kekuasaan dan kepemimpinan. Itulah yang dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitabnya, Fath al-Bâri.9


Itulah pendapat para ulama mu’tabar tentang kedudukan satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Dengan begitu pendapat yang menyatakan bahwa Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia hanya satu adalah bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama kaum Muslim.


Jika ada orang yang mengatakan bahwa ini hanya pendapat Hizbut Tahrir jelas dia telah menjatuhkan kredibilitasnya, apalagi jika dia diklaim sebagai orang alim dan ahli fikih. Orang seperti ini tidak layak disebut orang yang alim, apalagi ahli fikih. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]


 


Catatan kaki:


1      Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40.


2      Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Syarh Shahîh al-Bukhâri, VI/497.


3      Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 9.


4      Imam al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 9.


5      Lihat: Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40-41.


6      Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40-41.


7      Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, I/336.


8      Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, I/330.


9      Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Syarh Shahîh al-Bukhâri, XIII/8.

Thursday, July 22, 2021

Pengaruh Filsafat terhadap kemunduran Islam

 PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.


Pengantar


Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah  (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.


Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.


Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.


Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).


Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.


Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.


Adakah Filsafat dalam Islam?


Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),  penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.


Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.


Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).


Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).


Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).


Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.


Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.


Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam


Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.


Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.


Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.


Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).


Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.


Seiring dengan kekalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-‘Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.


Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a'lam

Monday, July 12, 2021

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Jenderal Glubb Pasha

 *Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Jenderal Glubb Pasha*


oleh Abdul Khaaliq ‘Abdoun


Abu Ghazi (Fathi Salim), semoga rahmat Allah SWT tercurah kepada beliau, menyampaikan kepada saya tentang sebuah diskusi yang berlangsung antara beliau dengan seorang perantara yang dikirimkan oleh Jendral Inggris Glubb kepada Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani (rh) untuk membujuk beliau demi kepentingan Inggris.


Perantara tersebut menyampaikan kepada Abu Ghazi: “Ketika Inggris menyadari akan bahaya keberadaan Syeikh Taqiyuddin (rh) Glubb mengirim saya kepadanya dengan membawa pesan secara lisan di mana Glubb memuji beliau atas upayanya memperjuangkan kondisi kaum muslimin dan Glubb mengajak beliau untuk bekerja sama. Sebagai imbalannya Syeikh akan mendapatkan sejumlah materi sesuai keinginannya.”


Sang perantara kemudian menyampaikan: “Syeikh bertanya kepada saya: “Itu saja pesannya?” Saya jawab: Ya. Kemudian ia meminta saya untuk menyampaikan jawaban beliau: “Inggris adalah pihak yang telah membuat kaum muslimin berada dalam kondisi terpuruk seperti sekarang ini, Inggrislah yang telah memecah belah dan mengerat-ngerat negara yang dahulunya satu. Dan Inggris jugalah yang telah mengangkat para pemimpin, agen Inggris, menjadi berkuasa dan menjaga penerapan sistem dan hukum-hukum buatan Inggris.”


Di tempat ini syeikh Taqiyudin an Nabhani pernah tinggal pada waktu itu


Perantara itu menyampaikan: “Dan Syeikh berbicara panjang lebar yang membuat saya kagum dan yakin dan saya belum pernah mendengarkan penjelasan seperti apa yang beliau jelaskan sepanjang hidup saya.”


Kemudian Syeikh Taqiyuddin menyimpulkan apa yang beliau utarakan dengan mengatakan: “Ya akhi, sampaikanlah kepada pihak yang mengirimmu kepada saya: Biji jeruk dan remahan roti lebih dari cukup bagi saya dibandingkan dengan semua kekayaan yang dimiliki oleh Inggris bahkan jika dikumpulkan sekalipun.”


Sang perantara kemudian menyampaikan: “Ucapan ini memberikan pengaruh yang sangat besar kepada saya dan saya melihat kemuliaan beliau, ilmunya dan keikhlasan serta kesungguhannya memperjuangkan perubahan kondisi kaum muslimin.”


Saya kembali kepada Glubb dan menginformasikan penolakan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani atas tawarannya. Mendengar hal ini, Glubb ingin menghabisi dan menyingkirkan Syeikh, maka ia mengutus saya untuk menemui Menteri Luar Negeri saat itu (Hasyim Al-Juyusy) untuk mengatur makan malam yang mengundang kehadiran Syeikh Taqiyuddin (rh). Mereka menunjuk saya untuk mengundang Syeikh datang pada makan malam tersebut dan saya pun menyadari bahwa mereka bermaksud membunuh beliau. Maka, ketika saya datang menemui Syeikh dan menyampaikan undangan tersebut, ia pun menolaknya.


Kemudian saya pergi kepada Glubb dan menyampaikan bahwa Syeikh Taqiyuddin menolak untuk hadir. Glubb pun mengeluarkan perintah untuk menjadikan Syeikh tahanan rumah di tempat tinggalnya di Al Quds. Ketika saya mencium kepastian untuk menyingkirkan beliau berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari kedekatan saya dengan para konspirator, saya pergi menemui Syeikh dan menyampaikan “orang-orang berkonspirasi melawan anda dan akan membunuh anda, saya sarankan anda untuk meninggalkan negara ini dan saya sendiri yang akan mengantarkan anda ke perbatasan. Maka saya mengantarkan beliau dengan mobil saya sendiri ke perbatasan Suriah.”


Abu Ghazi (rh) menyampaikan bahwa pria ini (si perantara) meminta beliau untuk tidak menyebutkan namanya tapi ia adalah orang yang dapat dipercaya dan saya tidak meragukan atas semua yang ia sampaikan.


Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, bagaimana ia benar-benar hanya merasa takut kepada Allah SWT.


sumber: http://islamicsystem.blogspot.com.au/2014/01/sheikh-taqiuddin-nabhani-general-glubb.html

_____________


Jendral John Glubb (kanan) 👇👇👇

Sunday, July 4, 2021

PENGHANCURAN BERHALA

 PENGHANCURAN BERHALA. 

@Abi Qostantin


Setiap berhala mesti dihancurkan. 

Berhala fisik yang terlihat ataupun yang tak terlihat. 


Rasulullah saw datang dengan 10.000 pasukan ke Mekkah untuk menghancurkan berhala. 

Mekkah penuh berhala saat itu. 

Dan berhala itulah yang menjadi institusi setan (alat),  yang selama ini menciptakan penolakan dakwah dan peperangan terhadap risalah nabi saw. 


Saat itu Abu Sofyan (Pemimpin Mekkah) berdiri tegak dengan 2 pedang yang terangkat,  siap menghadapi Rasulullah saw.


Rasulullah saw lalu mendekati Abu Sofyan,  dan berseru :

" Siapa saja yang masuk Mesjidil Haram,  maka dia kan selamat.  Dan yang masuk rumahnya menutup pintunya, dia  aman. Dan siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sofyan, dia pasti aman".


Abu Sofyan seketika itu langsung menelan ludahnya sendiri. 

Kedua pedangnya diturunkan perlahan-lahan. 

Jiwanya yang gersang penuh buruk sangka kepada Rasulullah saw, seolah ditampar untuk bisa mempercayai realitas. 

Bahwa Rasulullah saw dan risalahnya tidak datang untuk mencuri posisinya. 


Duhai Muhammad saw... 

Betapa mulai akhlakmu,  akulah yang kejam selama ini kepadamu.

Abu Sofyan tertunduk lalu pulang ke rumahnya mencoba mempercayai posisinya yang baru saja disahkan oleh orang yang paling dimusuhinya. 


Penaklukan Mekkah adalah penghancuran berhala. Bukan pembasmian nyawa dan martabat. 


Martabat dicapai karena prestise ditengah masyarakat sebagai penanggung jawab sosial. 

Selama bukan untuk berhalamu, maka martabatmu akan tetap engkau yang punya. 


Setan bersemayam pada setiap berhala. Sejak dari jaman Raja Namrud hingga di jaman ini. 

Berhala jaman sekarang adalah berhala pemikiran. 

Demokrasi, sekularisme,  kapitalisme, nasionalisme dan komunisme adalah berhala model baru,  tempat setan memanggil-manggil. 


Dan banyak umat islam saat ini yang menggadaikan martabatnya pada berhala ini. 


Berhala pemikian kufur inilah yang akan dihancurkan ketika Kh1lafh Islam tegak.

Sedangkan martabat manusia tetap pada posisinya selama mau tunduk bertahkim pada hukum Allah swt.

Friday, July 2, 2021

KHILAFAH, MASA DEPAN UMAT ISLAM INDONESIA DAN DUNIA

 *KHILAFAH, MASA DEPAN UMAT ISLAM INDONESIA DAN DUNIA*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik


Dalam sistem Khilafah, pemerintahan benar-benar akan dijalankan di atas manhaj 'akal sehat', yakni :


*Pertama,* akal yang sehat akan menyerahkan segala hal yang berkaitan dengan perintah dan larangan berdasarkan Wahyu, yang digali dari al Qur'an dan as Sunnah. Tidak boleh ada hukum Negara yang diadopsi menyelisihi al Qur'an dan as Sunnah.


Sumber hukum Islam yang akan dijadikan dasar legislasi hukum dan perundangan adalah :


1. Al Qur'an

2. Al Hadits

3. Ijma' Sahabat

4. Qiyas Syar'i


Inilah, sumber hukum yang diakui dalam sistem Khilafah. Setiap produk legislasi yang diadopsi Khalifah, wajib terikat dengan empat sumber hukum ini.


Haramnya riba, mubahnya jual beli, wajibnya zakat, haramnya tambang dengan deposit berlimpah dikuasai swasta, adalah hukum yang diadopsi berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah. Dalam sistem Khilafah, hudud akan ditegakkan, qisos akan diberlakukan, Ta'jier akan diterapkan, dan Khalifah diberikan wewenang untuk mengatur kemaslahatan umum masyarakat melalui kewenangan yang ada ditangannya.


Akal sehat memahami manusia penuh dengan keterbatasan, karenanya manusia butuh petunjuk dari Allah SWT. Manusia butuh aturan yang sahih, yang bersumber dari Wahyu Allah SWT.


Dalam hal ini, suara mayoritas tidak bernilai. Andaikan mayoritas menginginkan zina, tetap saja zina haram. Mayoritas menghendaki riba, tetap saja riba haram.


*Kedua,* akal sehat akan mengambil keputusan yang berkaitan dengan saintis sesuai otoritas ilmu. Para ahli, akan menjadi rujukan utama untuk menetapkan keputusan yang berkaitan dengan aspek saintis.


Mengatasi pendemi itu harus merujuk pada sains, meningkatkan produksi pangan itu wajib terkait dengan sains, meningkatkan teknis industrialisasi juga terikat dengan sains, mengatur tata kota, mengatur ekosistem alam, semuanya tunduk pada sains. Khalifah akan melegalisasi aturan yang berbasis sains pada bidang kemaslahatan umum yang objek pengaturannya bersifat saintis.

KEZALIMAN MEMBAWA KEHANCURAN

 KEZALIMAN MEMBAWA KEHANCURAN 


Buletin Kaffah No. 199 (21 Dzulqa'dah 1442 H/2 Juli 2021 M)


Saat ini ketidakadilan alias kezaliman makin nyata terasa. Terjadi di mana-mana. Terjadi hampir dalam semua perkara. Dari mulai ketidakadilan/kezaliman di bidang ekonomi hingga ketidakadilan/kezaliman di bidang hukum. 


Di bidang ekonomi, misalnya, selama ini sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat dikuasai oleh segelintir orang. Terutama aseng dan asing. Tentu karena dilegalkan oleh UU yang dibuat oleh rezim berkuasa. Sebaliknya, sebagian besar rakyat hanya menikmati sebagian kecilnya. 


Orang-orang kaya diberi pengampunan pajak. Sebaliknya, orang-orang kecil terus dikejar-kejar tagihan pajak. Orang-orang kaya diistimewakan dengan pembebasan pajak atas mobil mewah. Sebaliknya, orang-orang kecil malah makin dibebani oleh ragam dan jenis pungutan pajak. Termasuk rencana pajak sembako. Padahal jelas, sembako adalah kebutuhan dasar rakyat. Saat ini saja, ketika daya beli masyarakat makin menurun, banyak yang kesulitan membeli sembako. Apalagi jika harga sembako naik sebagai konsekuensi pemberlakuan pajak sembako.


Yang paling kasatmata adalah ketidakadilan atau kezaliman di bidang hukum. Di dalam sistem sekular yang menerapkan hukum-hukum buatan manusia, termasuk di negeri ini, keadilan hukum menjadi semacam barang mewah. Sulit dirasakan oleh rakyat kecil dan lemah. Keadilan hukum seolah hanya milik para pejabat dan mereka yang punya duit. 


Di negeri ini rakyat kecil yang mencuri benda senilai beberapa rupiah saja bisa dijerat hukuman berat. Sebaliknya, para pejabat yang punya kuasa atau mereka yang punya duit, meski mengkorupsi miliaran hingga triliunan uang rakyat, bisa bebas melenggang dari jeratan hukuman. 


Hari ini mereka yang pro rezim tetap aman. Tak tersentuh hukum. Padahal mereka berkali-kali melakukan tindakan kriminal: menghina Islam, menista ulama dan santri, dan sebagainya. Sebaliknya, hanya karena kesalahan kecil, asal dari pihak yang sering kritis terhadap rezim, mereka dijerat dengan hukuman berat. Itulah yang—antara lain—menimpa HRS. 


Itulah pengadilan di dunia. Sebuah pengadilan semu. Bahkan palsu. Pengadilan dunia sering menjadi alat untuk sekadar menghukum rakyat kecil. Hukumannya pun tidak akan mampu menghapus dosa-dosa para kriminal. Para penegak hukumnya acapkali bermental bobrok. Tidak memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Mudah dibeli. Mereka gampang tergoda oleh rayuan uang, harta, wanita dan kenikmatan dunia lainnya. 


Membawa Kehancuran


Ketidakadilan atau kezaliman adalah dosa besar. Kezaliman adalah musuh agama dan musuh umat. Bahkan Allah SWT telah mengharamkan kezaliman bagi Diri-Nya. Karena itu Allah pun mengharamkan kezaliman antar sesama hamba-Nya. Di dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman:


يَا عِبَادِيْ، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوْا


Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun telah mengharamkan kezaliman itu di antara kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi (HR Muslim).


Rasulullah saw. mengingatkan kaum Muslim akan besarnya bahaya kezaliman yang kelak akan dihadapi pelakunya pada Hari Kiamat:


الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari dan Muslim).


Di antara kezaliman yang termasuk dosa besar adalah tidak memberlakukan hukum-hukum Allah SWT seraya memberlakukan hukum-hukum buatan manusia. Allah SWT berfirman:


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah orang-orang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).


Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’âlim at-Tanzîl, mengutip Ikrimah, menjelaskan maksud ayat tersebut, “Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan karena mengingkarinya maka dia sungguh telah kafir. Siapa saja yang mengakui hukum Allah, namun tidak menjalankannya, maka dia zalim dan fasik.”


Kezaliman akibat mencampakkan hukum Allah telah menimbulkan ragam kezaliman yang lain kepada sesama manusia. Pengambilalihan sumberdaya alam milik umum, misalnya—tambang migas, hutan, jalan tol, dll yang seharusnya menjadi milik umum—menjadi milik swasta/asing merupakan salah satu kezaliman yang menimpa umat. Ini adalah akibat hukum-hukum Islam tentang kepemilikan tidak diterapkan.


Demikian pula rusaknya kehormatan. Hilangnya harta dan tumpahnya darah kaum Muslim tanpa ada peradilan yang adil dan sanksi hukum yang tegas. Ragam kezaliman ini adalah akibat hukum Islam terkait hudud tidak dijalankan. Yang diberlakukan adalah hukum-hukum buatan manusia. Sudah begitu, diterapkan secara suka-suka. Hukum berlaku bak pisau. Tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. 


Ketidakadilan atau kezaliman semacam ini pasti membawa kehancuran. Demikian sabda Rasulullah saw. Sebagaimana dituturkan Aisyah ra., pernah orang-orang Quraisy membicarakan perkara seorang perempuan dari suku Makhzumiyah yang mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang bisa menegosiasikan hal ini kepada Rasulullah saw.?” Mereka berkata, “Siapa lagi yang bisa melakukan itu selain dari Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah.” Lalu Usamah berbicara kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian bersabda, “Apakah engkau meminta keringanan dalam pelaksanaan had (hukum) di antara hukum-hukum Allah?” Beliau lalu berdiri dan berkhutbah seraya berkata:


إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا


Sungguh telah binasa orang-orang sebelum kalian. Pasalnya, jika di tengah-tengah mereka ada orang terkemuka mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Sebaliknya, jika di tengah-tengah mereka ada orang lemah mencuri, mereka tegakkan (hukum) atas dirinya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya (HR al-Bukhari).


Secara tersurat, sabda Baginda Rasulullah saw. di atas menegaskan, bahwa saat hukum diberlakukan secara tidak adil, hanya berpihak kepada yang kuat dan cenderung menzalimi yang lemah, maka kehancuran masyarakat pasti akan terjadi.


Pentingnya Institusi Penegak Keadilan


Keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Islam hanya mungkin bisa tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting. Tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman.


Pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh Rasulullah saw. Inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:


وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا


Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).


Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan frasa “waj’allii min ladunka sulthân[an] nashîrâ” dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam ayat ini jelas Rasulullah saw. menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudûd Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Tafsîr Ibn Katsîr, 5/111).


Karena itu tepat ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya Islam berdampingan dengan kekuasaan:


اَلدِّيْنُ وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ


Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).


Imam al-Ghazali juga menjelaskan:


اَلدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ مِثْلُ أَخَوَيْنِ وَلَدَا مِنْ بَطْنٍ وَاحِدٍ


Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulk, 1/19).


Apa yang dinyatakan oleh Imam al-Ghazali setidaknya menegaskan apa yang pernah dinyatakan sebelumnya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di dalam surat yang beliau tujukan kepada salah seorang ‘amil-nya. Di dalam surat tersebut antara lain beliau mengungkapkan:


وَ الدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ فَلاَ يَسْتَغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ اْلآخَرِ


Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib al-Idâriyah [Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah], 1/395).


Alhasil, meraih kekuasaan sangatlah penting. Namun, yang lebih penting, kekuasaan itu harus diorientasikan untuk menegakkan, memelihara dan mengemban Islam. Dengan kata lain, penting dan wajib menjadikan orang Muslim berkuasa, tetapi lebih penting dan lebih wajib lagi menjadikan Islam berkuasa, yakni dengan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur negara, bukan yang lain. Hanya dengan syariah Islamlah akan tercipta keadilan di tengah-tengah manusia. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna. 


WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []


---*---


Hikmah:


Allah SWT pun berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ


Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan, sebagai para saksi Allah, walaupun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabat kalian. (TQS an-Nisa’ [4]: 135). []


---*---


Download file PDF versi mobile:

http://bit.ly/kaffah199m


Download file PDF versi cetak:

http://bit.ly/kaffah199

Tuesday, June 29, 2021

SDA dalam pandangan Islam

 SDA KITA  ,BAGAIMANA KABARNYA ? 


Oleh : Asma' [Pembelajar] 


Ketika riuh ramai dari berbagai media tentang beberapa berita terjual nya sejumlah pulau pulau kecil di negri kita , tak kalah ramai pula dari berita pertambangan di daerah yang kaya akan hasil tambang nya. 


Dari sekian lama pengelolaan hasil tambang di negri ini adakah SDA ini bisa dikelola negri sendiri dengan bijak ? jika demikian lantas kenapa semakin lama semakin habis dan nampaknya pedih mata menengoknya , Kenapa ? Apa yang salah ? 


Kesalahan nya berasal dari cara pengelolaan sistem nya yang bermasalah , bagaimana mungkin SDA seperti hasil tambang dapat di miliki individu untuk suatu perusahaan ? kenapa bukan beratas nama negara yang mengelola ? 

ya inilah kapitalisme. Sangat jauh berbeda dengan Islam.


Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman:


“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (TQS an-Nahl [16]: 89)


Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.


Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.: Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah). Kemudian,Rasul saw juga bersabda:Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah).


Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi)


Jadi, menurut  aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar  baik  garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.


Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka,”


Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:


Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir  (TQS an-Nisa [4]: 59).


Sesungguhnya, apa saja yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, termasuk ketentuan dalam pengelolaan sumbedaya alam sebagaimana dipaparkan di atas, wajib dilaksanakan. Tak boleh dibantah apalagi diingkari sedikit pun. Allah SWT berfirman:


Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Demikianlah, untuk mengakhiri kekisruh pengelolaan sumberdaya alam seperti yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya.


Terbukti kan ya, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan. Betapa mirisnya negri ini. Dan tak sadarkah kita telah dibodohi begitu lamanya ? 


#UmatButuhKhilafah 

#SocmedForDakwah

Monday, June 28, 2021

Dusta dusta kaum liberalisme

 #Dusta_Dusta_Kaum_Liberal


Siapaun seseorang, jika berada dalam jalan yang bathil, akan tetapi tidak mengakui kesalahan kesalahan nya, maka wajib baginya melakukan kedustaan kedustaan demi menutupi kedustaan yang telah lalu. 


Mau bukti?? Okelah kalau begitu gaees. 


1. Kaum liberal saking bingung nya menghadapi para pejuang Syariah Dan Khilafah, membuat mereka memeras otak agar mampu membujuk umat untuk tidak ikut memperjuangkan tegaknya syari'ah dan Khilafah. Berawal dari doktrin utopis, lalu tidak berdalil, kemudian nunggu Imam Mahdi, eeehh sekarang mulai buat isu isu baru yakni berdarah darah.. Serasa berbicara dengan anak anak kecil kalau melihat statemen demi statemen kaum liberal nih mah. 


Gaeesss gini loh ya.. 

Kalian ntu sudah kalah telak lawan pejuang Syariah dan Khilafah, gimana gak kalah telak?, alibi alibi mu menunjukkan ketidak fahaman mu tentang Khilafah itu sendiri, akhirnya asbun, alibi mu pontang panting,terlebih lagi bicara Methode nya.. Hmmm Hmmm kagak nyambung sama sekali. Oke jika saja kaum liberal itu berada di jalan yang  benar maka mustahil alibinya berubah ubah demi membodohi umat. Itu artinya apa? Artinya kaum liberal sama sekali tidak jujur. 


2. Bergeser nya alibi alibi liberal dalam memframing buruk dakwah syari'ah dan  Khilafah telah mengkonfirmasi telak bahwa mereka sebenarnya bukan Anti Khilafah, namun hakikatnya anti Syari'at ISLAM. Sangatlah mudah untuk membuktikan point 2 ini. Cukup dengan menguji kejujuran kaum liberal dengan pertanyaan berikut ini: 


A. Jika benar kalian menolak Khilafah dengan dalih menunggu Almahdi, maka pertanyaan nya apakah Almahdi kelak menggunakan demokerasi?. 


B. Jika benar Alibi liberal menolak Khilafah karena akan melakukan kudeta dalam dakwah, maka pertanyaan nya adalah apakah kaum liberal faham thoriqoh yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (sebagai kelompok yang berjuang melanjutkan kehidupan ISLAM?). Jika merasa sudah faham lantas tau tidak kaum liberal artinya laa madiyah?. Justru Hizbut Tahrir dari awal menyatakan bahwa kudeta bukan jalan menegakkan Khilafah. 


C. Jika benar alibi kaum liberal menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Mutazilah lantas harus ditolak pula dakwah nya termasuk Khilafah, maka cukup di tanya balik dengan kalimat Apakah mu'tazilah mengedepankan akal ataukah wahyu?, jika mu'tazilah lebih mengedapankan akal maka justru kaum liberal lah penerus Mu'taz, sebab diseru berhukum menggunakan wahyu justru mereka menolak dengan akal akalan. 


D. Ketika pun tuduhan liberal bahwa Hizbut Tahrir adalah mu'tazilah tidak terbukti, maka mereka mencoba dengan tuduhan lain dengan menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah khowarij, justru ini lebih lucu lagi, sebab hakikatnya khowarij adalah kelompok yang tidak mengikuti kebijakan kholifah, lagi lagi justru tuduhan ini menampar muka gerombolan liberal itu sendiri karena menolak Khilafah. 


E. Tak malu juga berkali-kali tuduhan terhadap pejuang syariah dan Khilafah terbantahkan seluruh nya, alih alih instropeksi diri agar berubah, justru kaum liberal semakin terjebak dengan kubangan kebohongan kebohongan baru yang dibuat nya sendiri. Misalnya saja menolak Khilafah ala Hizbut Tahrir, eehh giliran di tanya Khilafah versi liberal gimana sih?, ulama liberal yang mewajibkan Khilafah siapa sih(itupun jika ada), kok langsung klekep gak mampu jawab?. Intinya semakin di fitnah maka semakin banyak yang mencari tau kebenarannya, nah saat itulah kaum liberal agan terlibas dengan kebenaran. Duh kasihan sekali kaum liberal ini, semakin hari semakin berkurang teman temannya karena merasa dibohongi mulu. He he he he. 


Cukup lah bagi kami menyatakan dan meyakini firman ALLAH SWT ini


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Nuur: 63)


Wallahu A'lam Bi Showab

Semoga bermanfaat

Alfaqir Sultan Alp Arslan

280621


#KhilafahAjaranIslam

#IslamRahmatanLilAlamin

#IndonesiaBerkahDenganSyariah

Sunday, June 27, 2021

MENJAWAB CELOTEH SINIS YAHYA STAQUF TERHADAP PARA HABAIB DI INDONESIA

 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=105037771837817&id=100069947821226


*MENJAWAB CELOTEH SINIS YAHYA STAQUF TERHADAP PARA HABAIB DI INDONESIA*


_Oleh: Tim AMAL (Aswaja Menangkal Aliran Liberal)_


Yahya Staquf, namanya pernah mencuat ketika dia mempermalukan Umat Islam Indonesia dengan menghadiri undangan Israel kemudian berpidato mempromosikan Islam Rahmatal Lil Alamin kepada Zionis Israel yang setiap harinya membantai wanita, anak-anak, orang tua, muda-mudi Islam di Palestina. 


Kini  dalam sebuah video Youtube berdurasi 13 menit Yaya kembali berulah, dengan begitu sombongnya Yahya merendahkan martabat para Habaib yang berdakwah di Nusantara dengan berlandaskan setitik sejarah yang dia ketahui dari jasa orang dahulu. 


Untuk lebih lengkapnya silahkan simak videonya di link ini https://youtu.be/ov8OgtGGrEQ


Dari seluruh celoteh Yahya, di sini Tim Amal menggaris bawahi poin-poin yang perlu diluruskan agar semua umat mengerti kebenaran yang sesungguhnya. 


Pertama Yahya mengungkapkan bahwa Sayid (Keturunan Nabi ﷺ) yang datang ke Indonesia terbagi menjadi dua, yakni Al-Asyraf Al-Ula dan Al-Asyraf Ats-Tsani. 


Asyraf ula ia sebut sebagai pendakwah yang mana sebagiannya adalah para Wali Songo, sedangkan Asyraf tsani ia sebut sebagai “Pengungsi” _(dengan nada melecehkan)_ yang “lari” ke Indonesia karena kejaran Wahabi pasca revormasi Hijaz oleh raja Saud pada abad ke 18. 


Berdasarkan asumsi tersebut, Yahya mengatakan bahwa para habaib “Jangan berlagak memimpin orang Jawa”


Untuk menjawab celoteh Yahya di atas, perlu kami jelaskan bahwa benang merah utamanya adalah *kedatangan para habaib ke Indonesia bukan dalam rangka “mengungsi”, melainkan karena hijrah untuk berdakwah*. 


Berdasarkan catatan sejarah riwayat para Habaib di Indonesia, mayoritas beliau semua datang dari Hadramaut, seperti Habib Shaleh Tanggul, Habib Abdul Qadir Bil Faqih, Habib Ja’far bin Syaikhan As-segaf dan lain-lain, yang mana tujuan beliau semua itu datang ke Nusantara untuk berdakwah “bukan karena lari dari kejaran Wahabi”. 


Memang benar ada sebagian Habaib yang mengalami pengejaran Wahabi, seperti Al-Habib As-Sayid Hamzah Syatha, namun jumlahnya sangat sedikit, dan itupun bukan dari Makkah ke Nusantara, melainkan terlebih dahulu beliau singgah ke Hadramaut, lantas setelah beberapa lama beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya ke Nusantara dalam rangka berdakwah. 


Selanjutnya istilah “Pengungsi” yang digunakan Yahya sungguh sangat merendahkan. Pengungsi (Musta’jirun) adalah istilah bagi para pencari suaka, istilah ini digunakan Al-Qur’an untuk orang-orang kafir yang meminta perlindungan Nabi Muhammad ﷺ. 


Selain istilah tersebut merendahkan, istilah tersebut juga tidak sesuai dengan sejarah yang sebenarnya. Sekali lagi para Habaib datang ke Indonesia adalah untuk berdakwah bukan “mengungsi”.


Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ juga mengalami perpindahan dari Makkah ke Madinah, namun apakah beliau disebut “musta’jirun”?, 


Tentu saja bukan, tetapi Al-Qur’an menyebut beliau sebagai para “Muhajirun” yakni orang yang berpindah dari Makkah ke Madinah untuk Berdakwah, bukan mencari suaka. 


Berikutnya celoteh Yahya dengan begitu jumawa menyatakan “para Habaib jangan berlagak memimpin orang Jawa” disertai pandangannya bahwa para Habaib harus tahu diri dengan tidak mengambil peran serta dalam berdakwah.  


Terasa sekali dalam statemen Yahya ini terdapat rasa iri, dengki dan hasud terhadap para da'i yang berasal dari kalangan para habaib. Padahal di sisi lain, masih banyak dari kalangan para Kyai dan Da'i asli Nusantara yang dapat bersinergi dan bergandengan tangan dengan para habaib di dalam berdakwah menyampaikan kewajiban amar ma'ruf & nahi munkar.


Perlu juga mengingat sejarah, ketika Nabi ﷺ berhijrah ke Madinah, kira-kira siapakah dari penduduk asli Madinah yang paling ketakutan terkait kedudukan dan posisinya yang merasa terancam oleh keberadaan Nabi ﷺ ? 


Tiada lain adalah Abdullah Ibnu Ubay Bin Salul, pimpinan kaum Munafiqun, yang akhirnya menjadi duri dalam daging di kalangan umat Islam. 


Saat itu, tidak ada satupun dari para shahabat Anshar yang berpikir seperti ketakutan Abdullah bin Ubay bin Salul, dan tidak ada satupun dari shahabat Anshar yang menuduh Nabi ﷺ berlagak memimpin pribumi Madinah. 


Sejatinya seperti itu pula kedatangan para Habaib ke Indonesia untuk berdakwah, bukan untuk “berlagak memimpin orang Jawa” tak ada kamus itu dalam benak para pendakwah.


Semestinya kita sebagai masyarakat Jawa, sangat bahagia dan berucap syukur kepada Allah, karena Negara kita tercinta didatangi oleh para pakwah dari kalangan para habaib, kita dapat berkumpul bersama para keturunan Nabi ﷺ yang kita cintai, dan yang kita ikuti serta kita harapkan syafaatnya. 


Bukan menjadi penerus Abdullah bin Ubay bin Salul yang berasumsi negatif hanya karena kepentingan harta dan tahta semata.


Kami tak tahu bahwa ada seorang Gus keturunan Kyai, yang berpenampilan layaknya Kyai, namun berpandangan sangat picik dan tak memiliki rasa terima kasih pada keturunan Nabinya, yang telah berjuang dan berdakwah untuk mengislamkan nenek moyang sang 'Gus', sehingga sekarang Yahya tidak lagi menyembah batu pahatan seperti nenek moyangnya sebelum diislamkan.


Keturunan Nabi ﷺ adalah salah satu peninggalan Nabi ﷺ, dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan : 


أنا تاركٌ فِيكم ثَقلينِ: أوَّلهما: كتابُ الله، فيه الهُدى والنُور؛ فخُذوا بكتاب الله، واستمسِكوا به، فحثَّ على كِتاب الله ورغَّب فيه، ثم قال: وأهلُ بَيْتي، أُذكِّركم اللهَ في أهلِ بيتي، أُذكِّركم اللهَ في أهل بيتي، أُذكِّركم الله في أهلِ بَيتي ( صحيح المسلم )


“Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua peninggalan yang besar kepada kalian, yaitu: 


Pertama, Al-Qur 'an yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur'an dan peganglah”. 


Maka Rasulullah ﷺ sangat mendorong untuk pengamalan Al Qur'an seutuhnyq.


Lalu Rasulullah ﷺ melanjutkan, “Dan keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (dengan baik)." 


Para pendakwah dari kalangan Habaib itu telah melakukan dakwah keseluruh penjuru tanah air, dalam rangka melaksanakan kewajiban bersyariat, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin


«إحياء علوم الدين» (2/ 342):

«فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَبْدَأَ بِنَفْسِهِ فَيُصْلِحَهَا بِالْمُوَاظَبَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ ثُمَّ يُعَلِّمُ ذَلِكَ أَهْلَ بَيْتِهِ ثُمَّ يَتَعَدَّى بَعْدَ الفراغ منهم إلى جِيرَانِهِ ثُمَّ إِلَى أَهْلِ مَحَلَّتِهِ ثُمَّ إِلَى أهل بلده ثم إلى أهل السوادى المكتنف ببلده ثم إلى أهل البوادي من الأكراد والعرب وغيرهم ‌وَهَكَذَا ‌إِلَى ‌أَقْصَى ‌الْعَالَمِ »


"Kewajiban bagi seorang muslim adalah memulai dakwah pada diri sendiri, maka dia harus memperbaiki dirinya dengan konsisten terhadap kewajiban agama dan meninggalkan keharaman-keharaman dalan agama. 


Setelah itu mengajarkannya kepada keluarganya, begitu selesai dia harus bersiap-siap untuk mendakwahi tetangganya, lalu ke penduduk daerahnya, lalu ke penduduk negaranya, petani sekitar negaranya, kemudian ke penduduk pedalaman, mulai orang-orang kmKurdi, orang Arab dan selainnya, demikian seterusnya sampai ujung dunia."


Demikian penjelasan kami, mudah-mudahan dapat menjadi pencerahan bagi bangsa yang penuh anugerah karena ditaqdirkan oleh Allah sebagai umat Islam penghamba dan penyembah Allah, bukan penyembah batu ukir, pohon besar, tiang salib dan lain-lain, ini semua berkat para pendakwah yang telah berhasil dan sukses dalam menaburkan Islam di Nusantara, terutama para pendakwah dari kalangan keturunan Nabi Muhammad ﷺ.