Sunday, June 27, 2021

MENJAWAB CELOTEH SINIS YAHYA STAQUF TERHADAP PARA HABAIB DI INDONESIA

 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=105037771837817&id=100069947821226


*MENJAWAB CELOTEH SINIS YAHYA STAQUF TERHADAP PARA HABAIB DI INDONESIA*


_Oleh: Tim AMAL (Aswaja Menangkal Aliran Liberal)_


Yahya Staquf, namanya pernah mencuat ketika dia mempermalukan Umat Islam Indonesia dengan menghadiri undangan Israel kemudian berpidato mempromosikan Islam Rahmatal Lil Alamin kepada Zionis Israel yang setiap harinya membantai wanita, anak-anak, orang tua, muda-mudi Islam di Palestina. 


Kini  dalam sebuah video Youtube berdurasi 13 menit Yaya kembali berulah, dengan begitu sombongnya Yahya merendahkan martabat para Habaib yang berdakwah di Nusantara dengan berlandaskan setitik sejarah yang dia ketahui dari jasa orang dahulu. 


Untuk lebih lengkapnya silahkan simak videonya di link ini https://youtu.be/ov8OgtGGrEQ


Dari seluruh celoteh Yahya, di sini Tim Amal menggaris bawahi poin-poin yang perlu diluruskan agar semua umat mengerti kebenaran yang sesungguhnya. 


Pertama Yahya mengungkapkan bahwa Sayid (Keturunan Nabi ﷺ) yang datang ke Indonesia terbagi menjadi dua, yakni Al-Asyraf Al-Ula dan Al-Asyraf Ats-Tsani. 


Asyraf ula ia sebut sebagai pendakwah yang mana sebagiannya adalah para Wali Songo, sedangkan Asyraf tsani ia sebut sebagai “Pengungsi” _(dengan nada melecehkan)_ yang “lari” ke Indonesia karena kejaran Wahabi pasca revormasi Hijaz oleh raja Saud pada abad ke 18. 


Berdasarkan asumsi tersebut, Yahya mengatakan bahwa para habaib “Jangan berlagak memimpin orang Jawa”


Untuk menjawab celoteh Yahya di atas, perlu kami jelaskan bahwa benang merah utamanya adalah *kedatangan para habaib ke Indonesia bukan dalam rangka “mengungsi”, melainkan karena hijrah untuk berdakwah*. 


Berdasarkan catatan sejarah riwayat para Habaib di Indonesia, mayoritas beliau semua datang dari Hadramaut, seperti Habib Shaleh Tanggul, Habib Abdul Qadir Bil Faqih, Habib Ja’far bin Syaikhan As-segaf dan lain-lain, yang mana tujuan beliau semua itu datang ke Nusantara untuk berdakwah “bukan karena lari dari kejaran Wahabi”. 


Memang benar ada sebagian Habaib yang mengalami pengejaran Wahabi, seperti Al-Habib As-Sayid Hamzah Syatha, namun jumlahnya sangat sedikit, dan itupun bukan dari Makkah ke Nusantara, melainkan terlebih dahulu beliau singgah ke Hadramaut, lantas setelah beberapa lama beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya ke Nusantara dalam rangka berdakwah. 


Selanjutnya istilah “Pengungsi” yang digunakan Yahya sungguh sangat merendahkan. Pengungsi (Musta’jirun) adalah istilah bagi para pencari suaka, istilah ini digunakan Al-Qur’an untuk orang-orang kafir yang meminta perlindungan Nabi Muhammad ﷺ. 


Selain istilah tersebut merendahkan, istilah tersebut juga tidak sesuai dengan sejarah yang sebenarnya. Sekali lagi para Habaib datang ke Indonesia adalah untuk berdakwah bukan “mengungsi”.


Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ juga mengalami perpindahan dari Makkah ke Madinah, namun apakah beliau disebut “musta’jirun”?, 


Tentu saja bukan, tetapi Al-Qur’an menyebut beliau sebagai para “Muhajirun” yakni orang yang berpindah dari Makkah ke Madinah untuk Berdakwah, bukan mencari suaka. 


Berikutnya celoteh Yahya dengan begitu jumawa menyatakan “para Habaib jangan berlagak memimpin orang Jawa” disertai pandangannya bahwa para Habaib harus tahu diri dengan tidak mengambil peran serta dalam berdakwah.  


Terasa sekali dalam statemen Yahya ini terdapat rasa iri, dengki dan hasud terhadap para da'i yang berasal dari kalangan para habaib. Padahal di sisi lain, masih banyak dari kalangan para Kyai dan Da'i asli Nusantara yang dapat bersinergi dan bergandengan tangan dengan para habaib di dalam berdakwah menyampaikan kewajiban amar ma'ruf & nahi munkar.


Perlu juga mengingat sejarah, ketika Nabi ﷺ berhijrah ke Madinah, kira-kira siapakah dari penduduk asli Madinah yang paling ketakutan terkait kedudukan dan posisinya yang merasa terancam oleh keberadaan Nabi ﷺ ? 


Tiada lain adalah Abdullah Ibnu Ubay Bin Salul, pimpinan kaum Munafiqun, yang akhirnya menjadi duri dalam daging di kalangan umat Islam. 


Saat itu, tidak ada satupun dari para shahabat Anshar yang berpikir seperti ketakutan Abdullah bin Ubay bin Salul, dan tidak ada satupun dari shahabat Anshar yang menuduh Nabi ﷺ berlagak memimpin pribumi Madinah. 


Sejatinya seperti itu pula kedatangan para Habaib ke Indonesia untuk berdakwah, bukan untuk “berlagak memimpin orang Jawa” tak ada kamus itu dalam benak para pendakwah.


Semestinya kita sebagai masyarakat Jawa, sangat bahagia dan berucap syukur kepada Allah, karena Negara kita tercinta didatangi oleh para pakwah dari kalangan para habaib, kita dapat berkumpul bersama para keturunan Nabi ﷺ yang kita cintai, dan yang kita ikuti serta kita harapkan syafaatnya. 


Bukan menjadi penerus Abdullah bin Ubay bin Salul yang berasumsi negatif hanya karena kepentingan harta dan tahta semata.


Kami tak tahu bahwa ada seorang Gus keturunan Kyai, yang berpenampilan layaknya Kyai, namun berpandangan sangat picik dan tak memiliki rasa terima kasih pada keturunan Nabinya, yang telah berjuang dan berdakwah untuk mengislamkan nenek moyang sang 'Gus', sehingga sekarang Yahya tidak lagi menyembah batu pahatan seperti nenek moyangnya sebelum diislamkan.


Keturunan Nabi ﷺ adalah salah satu peninggalan Nabi ﷺ, dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan : 


أنا تاركٌ فِيكم ثَقلينِ: أوَّلهما: كتابُ الله، فيه الهُدى والنُور؛ فخُذوا بكتاب الله، واستمسِكوا به، فحثَّ على كِتاب الله ورغَّب فيه، ثم قال: وأهلُ بَيْتي، أُذكِّركم اللهَ في أهلِ بيتي، أُذكِّركم اللهَ في أهل بيتي، أُذكِّركم الله في أهلِ بَيتي ( صحيح المسلم )


“Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua peninggalan yang besar kepada kalian, yaitu: 


Pertama, Al-Qur 'an yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur'an dan peganglah”. 


Maka Rasulullah ﷺ sangat mendorong untuk pengamalan Al Qur'an seutuhnyq.


Lalu Rasulullah ﷺ melanjutkan, “Dan keluargaku. Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (dengan baik)." 


Para pendakwah dari kalangan Habaib itu telah melakukan dakwah keseluruh penjuru tanah air, dalam rangka melaksanakan kewajiban bersyariat, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin


«إحياء علوم الدين» (2/ 342):

«فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَبْدَأَ بِنَفْسِهِ فَيُصْلِحَهَا بِالْمُوَاظَبَةِ عَلَى الْفَرَائِضِ وَتَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ ثُمَّ يُعَلِّمُ ذَلِكَ أَهْلَ بَيْتِهِ ثُمَّ يَتَعَدَّى بَعْدَ الفراغ منهم إلى جِيرَانِهِ ثُمَّ إِلَى أَهْلِ مَحَلَّتِهِ ثُمَّ إِلَى أهل بلده ثم إلى أهل السوادى المكتنف ببلده ثم إلى أهل البوادي من الأكراد والعرب وغيرهم ‌وَهَكَذَا ‌إِلَى ‌أَقْصَى ‌الْعَالَمِ »


"Kewajiban bagi seorang muslim adalah memulai dakwah pada diri sendiri, maka dia harus memperbaiki dirinya dengan konsisten terhadap kewajiban agama dan meninggalkan keharaman-keharaman dalan agama. 


Setelah itu mengajarkannya kepada keluarganya, begitu selesai dia harus bersiap-siap untuk mendakwahi tetangganya, lalu ke penduduk daerahnya, lalu ke penduduk negaranya, petani sekitar negaranya, kemudian ke penduduk pedalaman, mulai orang-orang kmKurdi, orang Arab dan selainnya, demikian seterusnya sampai ujung dunia."


Demikian penjelasan kami, mudah-mudahan dapat menjadi pencerahan bagi bangsa yang penuh anugerah karena ditaqdirkan oleh Allah sebagai umat Islam penghamba dan penyembah Allah, bukan penyembah batu ukir, pohon besar, tiang salib dan lain-lain, ini semua berkat para pendakwah yang telah berhasil dan sukses dalam menaburkan Islam di Nusantara, terutama para pendakwah dari kalangan keturunan Nabi Muhammad ﷺ.

No comments: