ISLAM SEBAGAI MABDA’ (IDEOLOGI)
Pendahuluan
Disadari atau tidak, pengertian “agama” yang dipahami masyarakat luas saat ini adalah “agama” dalam pengertian Barat yang sekularistik. Agama dalam kamus Barat, hanya menyangkut hubungan privat antara manusia dengan Tuhan, dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Kalaupun mengatur hubungan antar manusia, agama hanya mengatur pada aspek yang terbatas, misalnya ibadah ritual (worship) dan akhlak (moral), tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan menyeluruh (Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : GIP, hal. 33).
Para intelektual Barat, dalam mendefinisikan agama, kadang dipengaruhi oleh latar belakang mereka yang beragama Kristen, di samping tentunya terpengaruh paham sekularisme. Misalnya, Emile Durkheim dalam bukunya Les Formes Elementaries de La Vie Religiese [Bentuk-Bentuk Elementer dalam Kehidupan Beragama], mengatakan :
“Religion is an interdependant whole composed of belief and rites (faith and practices) related to sacred thing, unites adherents in a single community known as Church.”
(Agama adalah suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bersandar yang satu pada yang lain, terdiri dari kepercayaan dan ritus-ritus (keimanan dan ibadat) yang dihubungkan dengan hal yang suci, dan mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat yang disebut gereja) (Lihat HM. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hal. 49)
Definisi Durkheim ini di samping mengartikan unsur agama secara sempit dan sekularistik, yakni hanya terdiri dari aqidah dan ibadah, juga ternyata sangat dipengaruhi oleh tempat di mana dia hidup, yaitu masyarakat Kristen.
Ketika umat Islam lalu mengambil makna “agama” yang sekularistik itu, lalu diterapkan pada Islam, yang terjadi adalah reduksi dan distorsi yang luar biasa menyimpang dari Islam. Akhirnya Islam dipahami seperti agama-agama lainnya yang a-politis dan impoten dalam mengatur kehidupan manusia. Padahal, sebagai agama sempurna, sesungguhnya Islam telah mengatur seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Tak ada satupun persoalan hidup yang terjadi pada manusia, kecuali Islam telah menjelaskan tata aturannya. Allah SWT berfirman :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian...” (QS Al-Maa`idah : 3)
“Dan telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Kitab (Al Qur`an) menjelaskan segala sesuatu.” (QS An Nahl : 89)
Karenanya, jika kita membuka Al-Qur`an, akan kita dapati banyak ayat Al Qur`an menerangkan tentang berbagai aspek kehidupan manusia, tidak hanya ibadah dan akhlaq. Dalam bidang ekonomi, misalnya terdapat ayat :
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS Al Baqarah : 275).
Dalam aspek politik/pemerintahan, misalnya terdapat ayat berikut :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (QS An Nisa : 59).
Dalam masalah sosial kemasyarakatan, misalnya terdapat ayat berikut :
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..." (QS An Nisa : 11).
Tentang strategi militer, misalnya ada ayat :
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan (untuk berperang) yang dengan persiapan itu kamu menngentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengenalnya; sedang Allah mengetahuinya" (QS Al Anfal : 60)
Mengenai masalah pendidikan/ilmu pengetahuan, misalnya ada ayat berbunyi :
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS Al-Mujaadilah : 11).
Mengenai sanksi dan hukuman pidana, misalnya ada ayat :
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS Al Maidah : 38).
Itulah sebagian ayat-ayat Al Qur`an yang membuktikan bahwa Islam membahas dan mengatur segala aspek kehidupan manusia.
Walhasil, menganggap Islam sebagai “agama” dalam pengertian sekuler, akan menjadikan Islam tereduksi dan terdistorsi itu sendiri. Di sinilah, maka diperlukan upaya untuk mengembalikan Islam pada posisinya yang sebenarnya sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Digunakanlah kemudian istilah “ideologi” yang memiliki makna yang lebih luas daripada istilah “agama” menurut versi kaum sekuler yang kafir.
Oleh sebab itu, kata “ideologi” yang dirangkaikan dengan “Islam” ¾sehingga menjadi istilah “ideologi Islam”¾ sungguh bukanlah sekedar menarik secara leksikal dan gramatikal, namun memiliki substansi makna yang dalam dan fundamental. Dengan kata “ideologi Islam”, sebenarnya telah terjadi proses penghancuran (dekonstruksi) terhadap paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang telah membelenggu otak umat, sekaligus proses purifikasi dan revitalisasi terhadap Islam, yang dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (QS Al Baqarah : 208)
“Apakah kalian akan beriman dengan sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian (yang lainnya). Maka tidaklah balasan bagi orang yang mengerjakan yang demikian itu dari kalian, kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)
Definisi Ideologi
a. Berbagai Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:366), ideologi ialah : (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, (2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan, (3) paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan suatu kesatuan program sosial politik. Menurut Steven Vago dalam Social Change (1989:90), ideologi ialah “a complex belief system that explains social arrangements and relationship.” (suatu sistem kepercayaan/keyakinans yang menerangkan pengaturan dan hubungan sosial). Dalam Collins Dictionary of Sociology (Jary, 1991:295), ideologi ialah “any system of ideas underlying and informing social and political action.” (suatu sistem pemikiran yang mengatur dan menginformasikan aksi sosial dan politik) (Haedar Nashir, 2001:30). Definisi-definisi ini menjelaskan pengertian umum ideologi.
Secara agak lebih jelas dan dalam, J. Riberu dkk dalam Menguak Mitos-Mitos Pembangunan : Telaah Kritis dan Etis (1986:4) menyatakan, ideologi adalah sistem paham atau seperangkat pemikiran yang menyeluruh, yang bercita-cita menjelaskan dunia dan sekaligus mengubahnya. J. Riberu dkk (1986:5) lalu menjelaskan lebih jauh unsur-unsur ideologi : (1) pandangan yang komprehensif tentang manusia, dunia, dan alam semesta dalam kehidupan, (2) rencana penataan sosial politik berdasarkan paham tersebut, (3) kesadaran dan pencanangan dalam bentuk perjuangan melakukan perubahan-perubahan berdasarkan paham dan rencana dari ideologi tersebut, (4) usaha mengarahkan masyarakat untuk menerima ideologi tersebut yang menuntut loyalitas dan keterlibatan para pengikutnya, dan (5) usaha memobilisasi seluas mungkin kader dan massa yang akan menjadi pendukung ideologi tersebut (Haedar Nashir, 2001:31).
b. Definisi Terpilih
Sebenarnya berbagai definisi di atas saling melengkapi. Dalam pengertian umumnya, akan ditemukan 2 (dua) unsur dasar sebuah ideologi, yaitu : (1) gagasan dasar, dan (2) gagasan cabang. Misalnya dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada “kumpulan konsep bersistem”, yang menjadikan gagasan dasar. Sedang gagasan cabangnya, adalah pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam definisi Steven Vago, ada system of belief (sistem keyakinan) sebagai gagasan dasar, dan social arrangements and relationship” (pengaturan dan hubungan sosial), sebagai gagasan cabangnya. Dalam definisi J. Riberu dkk, ada gagasan dasarnya, yaitu “pandangan yang komprehensif tentang manusia, dunia, dan alam semesta dalam kehidupan”, sedang unusr-unsur lainnya, merupakan gagasan-gagasan cabang yang berasal dari gagasan dasar tadi.
Dua unsur dasar ideologi itu sejalan dengan penjelasan M.M. Ismail dalam Al-Fikr Al-Islami (1958) tentang definisi ideologi. Menurutnya, ideologi (Arab : mabda`) adalah “al-fikru al-asasy tubna alaihi afkaar”, yakni pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini disebutnya aqidah, yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun atas dasar aqidah tadi, merupakan peraturan hidup manusia (nizham) dalam segala aspeknya : politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Gambar berikut menjelaskan pengertian ideologi secara umum menurut M.M. Ismail.
Gb. 1. Bagan Ideologi Dalam Pengertian Umum
Agar aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat aqliyah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir. Bukan diperoleh melalui jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut aqidah aqliyah, yang darinya dapat dibangun pemikiran cabang tentang kehidupan.
Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, Taqiyuddin An-Nabhani (2001) mendefinisikan ideologi sebagai “aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha nizham”, atau aqidah aqliyah yang melahirkan nizham (peraturan hidup) bagi manusia.
Gb.2. Bagan Ideologi Dalam Pengertian Spesifik
Definisi ideologi sebagai “aqidah aqliyah yang melahirkan nizham” ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan sosialisme, dan dapat pula berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam mempunyai sebuah aqidah aqliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu Syariat Islam.
Taqiyuddin An-Nabhani (2001) menerangkan definisi ideologi ini dari sisi lain, yakni ideologi tersusun dari fikrah (ideas, thoughts) dan thariqah (method). Ideologi dari sisi ini ditinjau dari segi: Pertama, konsep/pemikiran murni --yang semata-mata merupakan penjelasan konseptual tanpa disertai penjelasan bagaimana metode menerapkan konsep itu dalam kenyataan— dan Kedua, metodologi yang menjelaskan bagaimana pemikiran/konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi sebagai kesatuan fikrah-thariqah ini dimaksudkan untuk menerangkan bahwa thariqah adalah suatu keharusan agar fikrah dapat terwujud. Di samping itu, juga untuk menerangkan bahwa fikrah dan thariqah suatu ideologi adalah unik. Artinya, setiap ada fikrah dalam sebuah ideologi, pasti ada thariqah yang khas untuk menerapkan fikrah tersebut, yang berasal dari ideologi itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain.
Menurut An-Nabhani, fikrah merupakan sekumpulan konsep/pemikiran yang terdiri dari dari dua unsur : (1) aqidah, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semsta, manusia, dan kehidupan, dan (2) solusi terhadap masalah manusia. Sedang thariqah –yang merupakan metodologi penerapan ideologi secara operasional-praktis— terdiri dari : (1) penjelasan cara melaksanakan solusi terhadap masalah, (2) cara penyebarluasan ideologi, dan (3) cara pemeliharan aqidah. Jadi, ideologi ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari fikrah dan thariqah, sebagai satu kesatuan. (Taqiyyudin An Nabhani, 2001, Nizham Al Islam, hlm. 22-23). Bagan berikut menggambarkannya :
Gb. 3. Ideologi Tersusun Dari Fikrah dan Thariqah
Definisi ideologi yang telah diterangkan di atas bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam memang mempunyai sebuah aqidah aqliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu Syariat Islam.
Dengan demikian, tatkala kita menyebutkan istilah “ideologi Islam” sesungguhnya kita telah memelihara substansi Islam itu sendiri –yaitu Aqidah dan Syariah— tanpa mengurangi atau menambahinya sedikitpun. Aqidah dan Syariah-nya tetap itu-itu juga. Hanya saja, kita meletakkan keduanya dalam kerangka berpikir ideologis, untuk menghadapi situasi kontekstual umat saat ini, yang menganggap Islam sebagai “agama” dalam pengertian Barat yang sekuler.
Ideologi Islam, Ancaman?
Mungkin ada yang khawatir ketika Islam dijadikan ideologi, sehingga muncul pertanyaan,”Apakah ideologi Islam adalah sebuah ancaman ?” Jawabannya sangat tergantung dari cara pandang ideologis yang digunakan. Cara pandang ideologis, adalah cara pandang terhadap suatu fakta berdasarkan keyakinan tertentu pada sebuah ideologi.
Menurut cara pandang ideologi kapitalisme, Islam ideologi jelas merupakan ancaman baginya. Sebab ideologi kapitalisme bertumpu pada ide dasar sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan (fashl al din ‘an al hayah). Maka bagi ideologi kapitalisme, agama adalah masalah pribadi antara individu dengan tuhannya. Agama tidak dibenarkan turut campur dalam pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Karenanya, Islam dalam bentuk ideologi jelas merupakan ancaman terhadap eksistensi sekulerisme, dasar kapitalisme. Sebab Islam dalam bentuk ideologi berarti mengharuskan adanya peran agama (Islam) dalam seluruh tatanan aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanpa kecuali.
Menghadapi ancaman ini, para penganut kapitalisme melakukan berbagai langkah, antara lain, melakukan manipulasi dengan menyebarkan opini bahwa Islam adalah agama, bukanlah ideologi. Islam diilusikan seperti agama Kristen atau Katolik yang harus terlepas dari kekuasaan dan pemerintahan. Memandang Islam sebagai ideologi, kata mereka, adalah suatu apologi yang muncul karena perasaan inferior di bawah dominasi dan imperialisme Barat. Dikatakan pula bahwa konsep kenegaraan dalam Islam itu sebenarnya tidak ada, karena dalam Al Qur`an tidak ada kata “dawlah” (negara). Jadi dalam persepsi para penganut kapitalisme, Islam ideologi itu mengada-ada dan hanya utopia.
Ancaman Islam ideologi juga dihadapi dengan penyebaran opini Islam “substantif” yang menyatakan bahwa Islam itu yang lebih penting adalah aspek substansinya (seperti keadilan, persamaan, persaudaraan, kesejahteraan) dan bukan aspek simbol atau legal-formalnya (penerapan hukum Islam apa adanya termasuk eksistensi negara Islam). Ide Islam “substantif” ini sebenarnya adalah pemerkosaan terhadap Islam, yakni menempatkan Islam secara paksa dalam kerangka ide pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Jelas ini sangat zalim dan tidak adil.
Mereka juga menyerang para aktivis harakah Islam yang menyerukan Islam ideologi sebagai “teroris”, “fundamentalis”, “ekstremis”, “radikalis”, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kebencian masyarakat kepada para aktivis dakwah, sekaligus sebagai justifikasi atau landasan pengambilan tindakan penumpasan oleh para penguasa sekuler yang kejam. Penguasa
Para penganut kapitalisme juga berusaha berusaha membuktikan ancaman ideologi Islam dengan berbagai data dan bukti sejarah. Mereka sengaja menutupi prinsip bahwa Islam tidaklah bersumber dari peristiwa sejarah, melainkan bersumber dari nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka mereka mengeksploitir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sejarah Islam, untuk membuktikan betapa buruk akibat yang terjadi kalau Islam memegang kekuasaan. Misalnya terbunuhnya tiga khalifah (Umar, Utsman, dan Ali) dari empat Khulafa`ur Rasyidin. Atau perilaku sebagian khalifah yang menyimpang dari Islam, seperti perilaku Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad III, seorang khalifah dalam masa Utsmaniyah, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 9 orang dan menenggalamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. (Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 155)
Benarkah Islam ideologi adalah sebuah ancaman ? Menurut Islam itu sendiri, jelas tidak. Bahkan ia adalah sebuah harapan, ketika saat ini umat Islam berada dalam ketertindasan akibat kapitalisme. Lebih dari itu, ideologi kapitalisme yang diterapkan kini bukan sekedar ancaman, tapi sudah menjadi bahaya nyata yang menyengsarakan umat Islam.
Islam ideologi adalah sebuah penegasan identitas, dan revitalisasi Islam yang mutlak adanya, setelah sebelumnya Islam mengalami reduksi hanya sebagai “agama” dalam pengertian Barat.
Jadi, dengan kata "ideologi islam”, sebenarnya dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai. penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Jelaslah, Islam ideologi adalah penegasan identitas yang justru menjadi tuntutan saat ini. Islam ideologi bukan ancaman bagi umat Islam.
Di samping itu, Islam ideologi justru menjadi harapan tatkala keadaan umat manusia menjadi sangat brengsek akibat pengaruh dan penerapan ideologi kapitalisme. Ideologi inilah yang harus bertanggung jawab terhadap berlangsungnya imperialisme dan kolonialisme terhadap dunia, termasuk Dunia Islam. Perancis misalnya menduduki dan menjajah Aljazair (1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Sementara Inggris menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918). Kapitalisme harus memikul tanggung jawab pula terhadap lahirnya ideologi sosialisme, karena sosialisme adalah by product (efek samping) penerapan kapitalisme yang eksploitatif dan kejam di Eropa pada abad XVIII dan XIX. Kapitalisme pula yang harus bertanggung jawab terhadap korban Perang Dunia I dan II. Perang Dunia I (1914-1918) telah menelan korban jiwa tak kurang dari 21.000.000 orang. Perang Dunia II (1939-1945) menelan korban 35.513.877, di antaranya yang mati terbunuh sebanyak 8.543.515 orang. Pada hari keenam setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, korban yang tewas antara 210.000-240.000, belum terhitung yang luka atau cacat seumur hidup. (Lihat Abul Hasan Ali An Nadwi, Ma Dza Khasir Al ‘Alam bi Inhithat Al Muslimin)
Kapitalisme harus bertanggung jawab terhadap munculnya ketimpangan yang sangat parah antara negara-negara industri yang kapitalistik dengan negara-negara lain di dunia. Data menunjukkan bahwa negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9)
Ringkas kata, yang menjadi ancaman nyata bagi umat manusia adalah ideologi kapitalisme yang sekuleristik itu, bukan ideologi Islam.
Jelaslah, tidak relevan menganggap Islam ideologi sebagai ancaman. Sebab Islam ideologi adalah Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin kita menganggap kita adalah ancaman bagi kita sendiri ? Yang lebih relevan adalah membicarakan bahaya-bahaya kapitalisme. Karena sifatnya nyata, dan bukan lagi sekedar ancaman.
Maka orang yang menolak Islam sebagai ideologi sesungguhnya telah melakukan dua hal sekaligus, Pertama, menolak Islam itu sendiri, yang berarti juga menipu diri sendiri dan menipu umat Islam. Kedua, memberikan justifikasi terhadap berlakunya ideologi kapitalisme sekarang, yang berarti juga turut serta dalam upaya melanggengkan penindasan dan penderitaan umat manusia.
Ideologi Islam dan Konstelasi Politik Internasional
Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa penerapan ideologi Islam secara sempurna merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Masalah yang ada demikian bertumpuk, berjibun, dan seolah tak pernah berhenti mendera umat Islam. Masalah-masalah di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya telah membuat kita terpuruk dan tertindas. Kalaupun diselesaikan, pasti yang diterapkan adalah hukum-hukum yang jauh dari ketentuan wahyu Allah SWT, karena sistem kehidupan yang ada sekarang telah dicengkeram oleh sistem sekuler yang memisahkan agama dari arena kehidupan.
Dan penerapan ideologi Islam, mau tak mau membutuhkan negara sebagai institusi yang berdiri untuk menerapkan hukum-hukum syara’ sebagai solusi berbagai problematika umat. Sebab tanpa negara, sebuah ideologi pasti akan lumpuh dan tidak bermakna signifikan. Tanpa negara, sebuah ideologi hanya akan berupa mitos atau filsafat kosong yang menjadi penghuni otak belaka, tidak bisa diiimplementasikan secara konkret dalam realitas kehidupan manusia.
Dalam ideologi Islam, negara ini disebut dengan Khilafah atau Imamah, yang tak diragukan lagi kewajibannya dalam Islam. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 308 :
“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib...”
Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ¾termasuk juga Khawarij dan Mu’tazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :
“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”
Namun sayang, representasi ideologi Islam dalam bentuk sistem Khilafah ini telah musnah tahun 1924 di Turki. Apakah di tengah situasi kontemporer saat ini ideologi Islam masih punya peluang? Jika kita mencoba meneropong realitas kontemporer saat ini, ideologi Islam cukup berpeluang untuk tampil kembali dalam panggung politik tingkat dunia. Tengoklah, ideologi Sosialisme telah bangkrut pada awal dekade 90-an dengan runtuhnya Uni Soviet. Negara-negara yang mengklaim penganut Sosialisme, seperti RRC, akhirnya harus bertransformasi menjadi negara Kapitalis. Memang, saat ini masih ada segelintir pemuda/mahasiswa (muslim) yang bersemangat —tetapi bodoh terhadap Islam— yang getol dan keranjingan mempelajari Marxisme dan Komunisme, kemudian mempraktekkannya secara nyata dalam gerakan-gerakan yang tujuannya adalah menyulut kontradiksi dan konflik di antara komponen masyarakat, khususnya antara golongan borjuis dengan golongan proletar. Namun Insya Allah usaha mereka akan gagal. Dan kita tentu tidak boleh mendiamkan eksistensi Marxisme dan Komunisme ini, karena Marxisme dan Komunisme adalah suatu kekafiran yang wajib dihapuskan sampai ke akar-akarnya.
Adapun ideologi Kapitalisme, saat ini memang tengah berjaya dan terus berusaha melestarikan hegemoni dan dominasinya atas dunia. Amerika, Inggris, Perancis, dan negara-negara Barat yang kafir terus berusaha mengokohkannya cengkeramannya atas Dunia Islam untuk diinjak-injak, dieksploitir, dihisap kekayaan alamnya yang demikian kaya. Untuk itu mereka telah menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kafir mereka seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan politik pasar bebas (Lihat Abdul Qadim Zallum, Al Hamlah Al Amirikiyyah Lil Qadha` ‘Alal Islam). Mereka pun terus melancarkan fitnahan-fitnahan yang keji seperti tuduhan ekstrem dan fundamentalis terhadap kaum muslimin yang ingin secara tulus mengembalikan Islam ke dalam tahta kekuasaan. Sayang sekali, para penguasa di Dunia Islam telah memposisikan diri mereka sebagai bagian dari pihak Barat ini. Mereka menjadi budak-budak yang selalu tunduk, patuh, bertakbir, dan bersujud kepada majikan-majikan mereka, yakni kaum penjajah yang kafir itu. Lihatlah, alih-alih menentang dan melawan, mereka malah mendatangkan IMF, Bank Dunia, dan lembaga-lembaga internasional lainnya, lalu mengemis-ngemis, meratap, dan menghiba kepada mereka tanpa malu kepada rakyatnya, serta pasrah begitu saja terhadap instruksi-instruksi mereka untuk menjarah atau merampok harta kekayaan umat yang seharusnya dijaga dengan penuh amanah dan tanggung jawab.
Namun demikian, sebenarnya tanda-tanda kelapukan dan kehancuran Kapitalisme sudah mulai nampak. Protes-protes terhadap WTO di Seattle (AS), lalu protes terhadap IMF dan Bank Dunia di Davos (Swiss) dan Washington belakangan ini, menunjukkan bahwa Kapitalisme telah mulai diragukan dan dibenci bahkan oleh para penganutnya sendiri. Geliat Dunia Ketiga untuk menentang dominasi Barat pun nampak semakin mengental tatkala dalam forum negara-negara G-77 di Havana (Kuba) Fidel Castro menyerukan,”Bubarkan IMF !”
Karena itulah, jika Sosialisme telah gagal, demikian pula Kapitalisme ¾yang akan segera hancur, Insya Allah¾ maka kemana lagi umat manusia akan berharap kalau bukan kepada ideologi Islam? Bukankah sudah cukup lama umat manusia menderita dan tersiksa di bawah tindasan ideologi-ideologi kafir seperti Sosialisme dan Kapitalisme? Bukankah ideologi-ideologi kafir tak mampu memberikan apa-apa kepada umat manusia selain penderitaan, kemelaratan, kebejatan moral, dan segala kesulitan hidup yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan ini?
Penutup
Sesungguhnya ideologi Islam harus segera tampil di panggung kehidupan manusia untuk menyelamatkan umat manusia dari jurang penderitaan dan gelimang kesengsaraan yang nyaris tanpa batas. Kemunculannya adalah suatu keniscayaan, karena kemenangan Islam telah menjadi janji Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman dan ikhlas beramal shaleh.
Namun demikian, umat Islam tidak berarti hanya bertopang dagu dan ongkang-ongkang kaki menunggu kemenangan Islam. Justru mereka wajib berjuang bahu membahu satu sama lain, dengan mengerahkan segala daya dan upaya, agar ideologi-ideologi kafir segera punah dari muka bumi dan agar ideologi Islam kembali meraih keunggulan dan kejayaan untuk tampil di tengah kehidupan umat manusia, walau pun orang-orang kafir membencinya.
Allah SWT berfirman :
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash Shaff : 8).