Sunday, July 28, 2019

*RAHASIA MENGAPA HTI DITEMBAK

*RAHASIA MENGAPA HTI DITEMBAK?*

*Oleh: Hafid Karmi Al Julaniy*

_Pengkaji di Forum Kajian Kitab Kuning Aswaja (FK3A) Jawa Barat, Peneliti di Muntada al-Tsaqafah al-Islamiyyah Wil. Jawa Barat, dan Cucu dari Ulama NU di Jampang Tengah Sukabumi yang Juga Merupakan Pejuang Kemerdekaan_
===============

Orang menyangka saya ini pendatang baru di jagat media sosial (medsos), padahal saya adalah pengamat yang setia mengikuti perkembangan dunia Islam. Saya ini dari kampung, “ndeso” kalau kata Kaesang. Tapi cara pandang-ku “ngota” insyaAllah. Meski tak punya TV, tapi saya punya akun medsos. Ba’da memanjatkan syukur kepada Allah yang Maha Ghafur, mari bershalawat kepada Habibana wa Nabiyana Kangjeng Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak lupa mohon perkenannya mengirimkan al-Fatihah untuk Mbah-ku rahimahullahu ta’ala yang telah mengajarkan saya ngaji Tafsir Jalalain di Masjid Kecil di Pelosok Kampung Sana. Mbah-ku itu bukan hanya tokoh di lingkungan NU, tapi juga salah satu pejuang kemerdekaan dan merasakan perlawanan terhadap penjajah. *Al-Fatihah…*

Kembali ke judul; Rahasia Mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ditembak? Judulnya serem karena saya lihat judul-judul tulisan sebelumnya yang saya baca juga serem-serem; “Obituari HTI”, “Syahidnya HTI”, HTI Dibunuh”, Kader HTI Dihabisi”, dll pokoknya tema kematian semua. Saya juga buat judul yang kekinian-lah, tapi tidak beraroma kematian, sebab
*boleh jadi HTI itu mati suri, atau tiba-tiba bangkit dari kubur* seperti kisah di salah satu majalah yang yangan populer waktu sama sekolah dulu.

Sebelumnya, saya ini kutip dulu pendapat salah satu pejabat negara ini,
_"Kami meminta kepada seluruh pihak, agar bisa menyampaikan dan mengingatkan saudara-saudara kita yang sebelumnya telah terasuki ajaran dari HTI ini agar dapat kembali ke ajaran Islam yang benar,"_ ujar Soedarmo Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di salah satu media online terpercaya.

Saya benar-benar terkejut, apa gerangan dengan ajaran HTI? Jangan-jangan ajaran setan yang bisa merasuki tubuh manusia dan membuat kesurupan. Setelah saya membaca buku-buku HT(I) mulai Nizham al-Islam sampai dengan al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz III dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, *kok tidak ditemukan ajaran setan ya.* Semuanya adalah ajaran Islam. Semuanya ada dalam kitab-kitab klasik masa lampau. Ini saya yang bodoh atau bapak itu yang kurang belajar?

Saat saya membaca Ilmu Tafsirnya HT, kok rasanya Aswaja banget, apalagi ketika bahas ta’wil ayat mutasyabihat, Asy’ari banget. Ketika baca ilmu haditsnya, seakan saya sedang muraja’ah Muqaddimah Ibnu Shalah atau Tadrib al-Rawi-nya al-Suyuthi. Saat saya tengok ushul fiqihnya, kok rasa al-Ghazali dalam al-Mustasfa dan al-Amidi dalam al-Ihkam ya. Ketika menyelami kitab tashawwufnya, Min Muqawwimat al-Nafsiyyah al-Islamiyyah serasa baca kitab Riyadh al-Shalihin dengan tambahan aroma pergerakan. Kitab al-Daulah al-Islamiyyah juga rasa Tarikh al-Khulafa-nya al-Suyuthi dengan tambahan motivasi untuk mendirikan kembali. Sistem ekonomi, politik, pemerintahan hingga pidana, rasa-rasanya saya tidak menemukan ajaran yang menyimpang. Selaras dengan pendapat ulama masa lalu atau bahkan melengkapinya. *Baca dan rasakan saja, karena rasa tak pernah bohong, bukan?*

Lantas apa itu ajaran HTI yang dianggap membahayakan hingga akhirnya HTI ditembak? Tak lain adalah Khilafah. Lah khilafah kan ajaran Islam, bukan ajaran setan. Saya tidak habis pikir mengapa begitu takut dengan khilafah? Dari sinilah jawaban atas pertanyaan diatas mulai terjawab. HTI ditembak karena membuat kesalahan yang sangat fatal menurut penguasa. *"Kesalahan" HTI itu satu, yaitu karena mendakwahkan Islam yang apa adanya dari A sampai Z, mulai aqidah, syariah hingga khilafah.* Itu saja.

Mengapa khilafah dianggap berbahaya bagi mereka yang tak menghendaki Islam bangkit? Karena *khilafah akan menjadi simpul yang merekatkan simpul lainnya yang sekarang sudah terurai.* Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ngadauh,
لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ.
Artinya: _"Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat"_

Hadits ini diriwayatkan dalam kitab Musnad Ahmad (21655); Shahih Ibnu Hibban (6715), al-Mustadrak al-Hakim (Juz 4, hlm 92); al-Mu’jam al-Kabir al-Thabarani (7486); Musnad Syamiyyin al-Thabarani (1602); Syu’abul Iman Al-Baihaqi (5277); al-Sunnah li Abi Bakrin al-Khalali (1349); al-Sunnah li Abdillah bin Ahmad (juz 1, hlm 356).

*Terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu* sebagaimana dinyatakan Imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’ bahwa ia berkata: dengan i'rab nashab karena sebagai haal (keadaan), perkiraan maknanya: terurai secara berurutan, yang awal sebagaimana perkataan mereka (org arab): masuklah yang awal dan yang awal, maksudnya satu demi satu (al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir juz 5 hlm. 263).

*Ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya lenyap.* Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan fase kekusaan di dunia ini: digantinya hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum thaghut (al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9 hlm. 33).

Adapun yang lepas terakhir adalah shalat, *yaitu ketika orang sudah menyepelekan shalat dan kalaupun ada yang shalat mereka tidak ikhlas.* Sebagaimana disebutkan al-Imam al-Munawi: hingga orang-orang desa dan juga banyak dari orang-orang kota yang tidak segera shalat (hingga keluar waktu shalat), dan diantara mereka shalat dengan riya’ dan pura-pura (al-Munawi, Faidhul Qadir, juz 5 hlm. 263).

Sekarang saya makin mengerti mengapa HTI ditembak, karena HTI inginkan khilafah tegak kembali. Padahal khilafah itu (sebagai ajaran Islam) sudah dilepaskan sejak lama. Mereka ingin semua simpul ajaran Islam lepas tak terkecuali termasuk shalat. *Kalau sampai khilafah hadir kembali, maka ia akan merajut kembali simpul-simpul ajaran Islam yang lain.* Hari ini kita sedang ditimpa musibah besar ketika simpul-simpul Islam telah terlepas oleh kaum muslimin karena usaha orang kafir yang tidak ridha terhadap dinul Islam. Usaha HTI untuk mengembalikan simpul pertama yang dilepas yaitu al-hukm (pemerintahan) akan menjadi sebab terikat kembali simpul lainnya.

*Bersabar dan istiqamahlah saudaraku.* Mari kita bershalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam…

26 Juli 2017
_Di Tatar Pasundan, saat kesedihan sedang melanda._

KHILAFAH TERMASUK ‘URAL ISLAM (BANTAHAN ATAS TUDUHAN SESAT “TIDAK BOLEH BOMBASTISASI KHILAFAH”)

KHILAFAH TERMASUK ‘URAL ISLAM (BANTAHAN ATAS TUDUHAN SESAT “TIDAK BOLEH BOMBASTISASI KHILAFAH”)

Oleh Irfan Abu Naveed | Dosen, peneliti & penulis kajian balaghah dan hadits nabawi
Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)
a. Ungkapan ’Urâ Al-Islâm Yakni Ikatan-Ikatan Islam: Al-Hukm wa Al-Shalât
Ungkapan ’urâ al-Islâm, termasuk di antaranya shalat, Menunjukkan bahwa yang dimaksud ’urâ al-Islâm adalah perkara yang sangat penting, terlebih ikatan tersebut ditautkan (al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan bahwa perkara pemerintahan ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi penyokong Islam.
Maka tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi lalu menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين
Dan bahwa ia (al-Imâmah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini dimana dengannya tegak fondasi kaum Muslim, dan segala puji bagi Allah.
Istilah rukn[un] dalam kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai pilar, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuturkan:
الركن: ج أركان وأركن، الجانب الاقوى من الشئ (pillar) أركان الكعبة: ملتقى كل جدارين فيها
Al-Rukn: jamaknya adalah arkân dan arkan, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu (pilar atau fondasi). Misalnya arkân al-ka’bah:  yakni tempat pertemuan antara dua dinding di dalamnya (yakni fondasinya).
Hal ini senada digambarkan para ulama, yang juga menegaskan kekhilafahan sebagai Tâj al-Furûdh (mahkota kefardhuan) dalam Islam, manakala di bawahnya dinaungi banyak penegakkan ajaran-ajaran Islam secara sempurna (kâffah), dimana takkan sempurna penegakkan Islam dalam kehidupan kecuali dengannya, semisal penegakkan sistem persanksian dalam Islam (nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.
b. Penyandingan Ikatan Al-Hukm dengan Al-Shalât
Shalat adalah rukun di antara rukun Islam yang agung yang status hukumnya fardhu, ketika pemerintahan disandingkan dengan urusan shalat, menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud termasuk perkara yang fardhu untuk ditegakkan sebagaimana ibadah shalat.
Menguatkan pendalilan di atas, Syaikh Abdullah al-Dumaiji lalu menguatkannya dengan hadits yang mengandung perintah berpegang teguh pada sunnah Rasulullah ﷺ dan al-khulafâ’ al-râsyidîn, dari Al-’Irbadh bin Sariyah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Pesan mendalam yang mulia Rasulullah ﷺ dalam hadits yang agung ini, digambarkan dalam bentuk kalimat balaghiyyah: al-isti’ârah al-tamtsîliyyah, dimana Rasulullah ﷺ meminjam ungkapan “عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”, gigitlah dengan gigi geraham yang kuat, untuk menggambarkan konsistensi berpegang teguh terhadap sunnah, yakni jalan hidupnya Rasulullah ﷺ dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn, sebagaimana digambarkan oleh Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H).
Lafal al-khulafâ’ adalah jamak dari kata khalifah, menunjukkan cakupan sunnah dalam membangun kehidupan umat di atas landasan Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah). Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menguraikan:
إنما وصف الخلفاء بـ “الراشدين”؛ لأنهم عرفوا الحقّ، وقَضَوا به، فالراشد ضد الغاوي، والغاوي من عرف الحق وعمل بخلافه، وقوله: “المهديين” يعني أن الله يَهديهم للحق، ولا يُضلهم عنه
Penyifatan al-khulafâ’ dengan sifat al-râsyidîn, karena mereka mengetahui kebenaran, dan menghukumi manusia dengannya, karena lafal al-rasyid adalah antonim dari al-ghâwi. Istilah al-ghâwi yakni orang yang mengetahui kebenaran namun amal perbuatannya bertolak belakang dengannya. Sabda baginda ﷺ al-mahdiyyîn, yakni bahwa Allah Swt menunjuki mereka pada jalan kebenaran, tidak tersesat darinya.
Dalam hal ini, Ibn Rajab, mencirikan kaum yang disebut al-rasyidin adalah mereka yang mendapatkan petunjuk dan mampu mengamalkannya -wa biLlâhi al-taufîq-.  Salah satu sunnah (jalan) para al-khulafâ’ al-râsyidûn, digambarkan oleh Syaikh Abdullah al-Dumaiji: Telah diriwayatkan secara mutawatir dari sikap para sahabat, bahwa mereka membai’at Abu Bakar r.a. memegang kekhilafahan setelah baginda Rasulullah ﷺ kembali keharibaan-Nya, kemudian Abu Bakar mengangkat Umar bin al-Khaththab r.a. sebagai penggantinya, kemudian ’Umar mengangkat penggantinya satu dari enam orang yang terpilih (menjadi bakal calon khalifah) yakni ’Utsman bin ’Affan r.a., kemudian pasca syahidnya ’Utsman r.a., para sahabat membai’at ’Ali r.a. pemegang tampuk kekhilafahan. Ini merupakan sunnah mereka –radhiyaLlâhu ’anhum- dalam menegakkan kekhilafahan, dan tidak ada (dari mereka) sikap mengabaikan pengangkatan Khalifah, maka wajib hukumnya meniti jalan mereka dalam perkara tersebut, berdasarkan perintah Nabi ﷺ.
Diperjelas hadits-hadits lainnya yang menunjukkan wajibnya keta’atan kepada penguasa dalam perkara yang tidak ada kemaksiatan di dalamnya; hadits-hadits bai’at berikut perintah Rasulullah ﷺ untuk mencukupkan diri dengan bai’at pertama dan pertama; keharaman memisahkan diri dari para penguasa Muslim; dan anjuran untuk memenggal kepada orang yang datang menyelisihi Imam yang haq (sah secara syar’i). Seluruh hadits-hadits ini, berkonsekuensi pada wajibnya keberadaan penguasa muslim, hal ini menunjukkan pada kewajiban mengangkat Khalifah, waLlâhu a’lam bi al-shawâb.

DIALOG HIZBUT TAHRIR INDONESIA DENGAN KEDUBES JERMAN

DIALOG HIZBUT TAHRIR INDONESIA
DENGAN KEDUBES JERMAN

(Sebuah diskusi yang menarik dan sangat inspiratif antara Ust Ismail Yusanto dengan Kedubes Jerman. Pernah dimuat di majalah Al-waie).

Kedutaan Besar Jerman baru-baru mengundang Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia untuk sebuah dialog. Hadir dalam acara yang diadakan pada hari Rabu, 4 Juni 2003 jam 16.30 sampai 18.00 di Hotel Mandarin Jakarta itu Duta Besar Jerman untuk RI, Dr. Gerhard Fulda, Dr. Gunter Mulack (Botschafter Beauftragter fur Islam – Dialog, Dialog der Kulturen), Irja Berg (First Secretary Political Affair,) dan Lantip Prakoso Kusmanhadji yang menjabat sebagai Seksi Politik dan Protokoler Kedubes Jerman. Sementara itu, dalam dialog tersebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) diwakili oleh juru bicaranya, Islamil Yusanto, yang didampingi oleh Farid Wajdi. Berikut petikan dialog kedua belah pihak.
Gerhard Fulda: Apa arti dari Hizbut Tahrir? Mengapa Anda menamakan ini?
Jubir HTI: Tahrîr artinya pembebasan. Jadi, Hizbut Tahrir artinya Partai Pembebasan. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, Dunia Islam dewasa ini dalam keadaan terjajah baik secara langsung seperti yang tengah dialami oleh Irak saat ini maupun secara tidak langsung oleh negara-negara besar Barat. Hizbut Tahrir datang untuk membebaskan umat Islam dari penjajahan itu dengan cara menegakkan kehidupan Islam melalui Khilafah Islamiyah.
(Dialog selanjutnya lebih banyak terjadi antara Dr. Gunter Mulack yang ternyata sangat fasih berbahasa Arab dengan Jubir HTI. Gunter Mulack diperkenalkan sebagai ahli Islam yang diutus secara khusus untuk melakukan dialog dengan sejumlah tokoh dan kelompok Islam di Indonesia. Sebelumnya, Lantip Prakoso menjelaskan bahwa pertemuan yang sama akan dilakukan dengan beberapa kelompok lainnya. Sebelum ini mereka sudah bertemu dengan Muhammadiyah, NU, dan juga kelompok Ulil [Jaringan Islam Liberal]. Selanjutnya mereka berencana akan bertemu dengan Majelis Mujahidin di Solo. Berikut ini transkrip dialog yang terjadi, terutama antara Jubir HTI dan Gunter Mulack, ditambah dengan penjelasan Pak Lantip).
Gunter Mulack: Saya tahu, Hizbut Tahrir bersifat internasional; selain di Timur Tengah juga terdapat di Eropa, terutama London. Kami melarang Hizbut Tahrir (langsung ditukas oleh Jubir untuk minta penjelasan) karena mereka melanggar hukum. Hizbut Tahrir diketahui telah menyerukan peperangan terhadap Israel dan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi. Menurut konstitusi Jerman, tindakan ini termasuk melanggar hukum.
Jubir HTI: Tapi itu yang dimaksud kan di Palestina, bukan Jerman; untuk konteks Palestina dimana di sana Israel memang terus membunuhi rakyat Paletina. Lagi pula, katakanlah Hizbut Tahrir Jerman benar menyerukan seperti itu, itu kan hanya seruan, ucapan; sementara Anda lihat sendiri, di Palestina, Israel bukan hanya ngomong tapi benar-benar secara nyata membunuhi rakyat Palestina.
Gunter Mulack: Ya, tetap saja di negara kami ucapan itu melanggar hukum.
Jubir: Apakah itu sifatnya sementara atau permanen?
(Gunter Mulack tidak menjawab. Gunter Mulack hanya memaparakan pengetahuannya tentang Hizbut Tahrir yang bertujuan menegakkan kembali Daulah Khilafah Islam. Gunter Mulack mengkritik gagasan ini).
Gunter Mulack: Dengan ide itu Anda berarti ingin mengajak masyarakat mundur ke belakang. Bukankah seharusnya Anda mengajak ke depan? Juga, apakah sistem ini, di tengah arus globalisasi, tetap relevan?
Jubir HTI: Gagasan penerapan syariah dan penegakan Khilafah berlandaskan al-Quran dan al-Hadits. Keduanya memang berasal dari masa lampau. Tapi tidak berarti kita hendak mengajak masyarakat kembali hidup seperti di masa lalu. Yang kami serukan adalah ide yang landasannya berupa wahyu yang diturunkan kepada Nabi di masa lalu. Kami yakin ide ini tetap relevan di sepanjang masa. Lagi pula, ide ini sesungguhnya tidaklah baru, karena pernah ada di masa lalu. Apalagi dengan adanya kecenderungan globalisasi. Ke depan, negara-bangsa, sebagaimana dirasakan oleh negara-negara Eropa yang kemudian membentuk Uni Eropa, makin tidak mampu menghadapi tantangan perkembangan. Justru Khilafahlah yang akan mampu menjawab tantangan global. Jadi, ide ini juga relevan secara empirik.
(Ditambahkan oleh Farid Wajdi): Lagi pula, menurut kami, baik buruknya sebuah gagasan bukanlah dilihat dari apakah itu berasal di masa lalu atau tidak, tapi dari kemampuannya menyelesaikan problematika kehidupan. Demokrasi yang Anda anut, sebagai contoh, bahkan berasal dari pemikiran yang lebih lampau di banding Islam. Mengapa Anda anut?
(Dijelaskan pula bahwa Islam membedakan antara sains teknologi dengan pem ikiran [tsaqaâfah]. Berkaitan dengan sains/teknologi Islam tidak melarang kaum Muslim untuk mengambilnya dari manapun, bahkan Islam menekankan kepada umatnya untuk menguasai ilmu dan teknologi semaksimal mungkin. Kembali ke Islam bukan berarti kembali menggunakan unta. Boleh saja menggunakan pesawat canggih. Beda dengan tsaqâfah, karena memuat pandangan hidup tertentu; Islam hanya membolehkan tsaqofah Islam. Penjelasan terakhir ini kelihatannya benar-benar jitu, sehingga mereka tidak lagi memasalahkan tentang “masa lampau”- nya Islam).
(Mr. Fulda ikut nimbrung): Sekarang tentang syariah. Apakah dalam syariah yang Anda maksud, orang-orang non-Muslim juga harus tunduk?
Jubir HTI: Syariah bisa dibagi menjadi dua, privat dan publik. Untuk masalah privat, non-Muslim tidak wajib mengikuti syariah. Mereka tidak dipaksa masuk Islam. Mereka bebas makan, minum, beribadah, dan berpakaian yang menurut mereka baik. Sementara dalam masalah publik; menyangkut ekonomi, politik pemerintahan, sosial budaya, pendidikan, dan hukuman, mereka harus tunduk pada syariah.
(Ditambahkan Farid): Sudah merupakan sifat alami dari sebuah negara untuk menerapkan hukum yang satu (sama) bagi setiap warganya dalam sektor publik.
Gunter Mulack: Kalau mereka berzina, apakah akan dihukum rajam?
Jubir HTI: Ya. Di masa lampau, Nabi juga pernah merajam orang Yahudi.
Gunter Mulack: Ya, tapi itu kan hanya sekali. Cukupkah itu menjadi dasar? Kalau Anda ingin menerapkan syariah, syariah yang mana; mengingat Islam itu banyak versi, banyak mazhab dan sebagainya.
Jubir HTI: Itu tidak menjadi soal. Yang penting Islam. Betul, memang ada banyak versi pemahaman mengenai hukum syariah dalam Islam. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menetapkan bahwa kesatuan hukum itu hanya untuk masalah publik dan yang menyangkut kemaslahatan bersama. Ketika di tengah masyarakat terdapat banyak pendapat tentang hukum, Khalifah, sesuai kaidah amr al-imâm yarfa‘u al-khilâf, akan menetapkan hukum mana yang akan ditetapkan sebagai hukum negara. Sementara, dalam masalah privat, misalnya dalam masalah shalat, Hizbut Tahrir tidak mewajibkan umat harus satu cara. Umat boleh berbeda-beda, yang penting shalat.
Gunter Mulack: Bagaimana syariat Islam bisa diterapkan di Indonesia yang plural, heterogen, terdiri dari berbagai agama dan suku?
Jubir HTI: Secara statistik, Indonesia dengan sekitar 85% Muslim adalah homogen, bukan heterogen. Jadi, tidak ada alasan menolak syariah dengan alasan pluralitas. Bahkan sebaliknya, syariah itu sesuai dengan agama mayoritas penduduk negeri ini.
Gunter Mulack: Ya, tapi kan tidak semua mereka beragama, maksudnya pemahaman Islamnya seperti Anda?
Jubir HTI: Ya, justru itulah, menjadi tugas kami untuk meningkatkan pemahaman Islam mereka, termasuk meningkatkan pengertiannya tentang syariah. Lebih dari 30 tahun, kami di sini tidak boleh berbicara tentang syariah. Baru sekaranglah, setelah era reformasi, peluang itu terbuka. Sejauh saya berbicara di berbagi forum di berbagai tempat, mereka bisa menerima, tuh?
Gunter Mulack: Apakah Anda akan melarang wanita bekerja, belajar, dan mengendarai mobil?
Jubir HTI: Kami tidak melarang wanita bekerja, meski kami mengingatkan bahwa tugas utama mereka adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kami juga tidak melarang wanita belajar, karena itu kewajiban setiap Muslim. Secara syar‘î, wanita juga boleh menyetir mobil sendiri.
(Terhadap jawaban terakhir, mereka semua tampak terperanjat, kaget, lalu berseru): Wah, Anda berpandangan lebih maju dari Saudi dan Taliban.
(Selanjutnya mereka bertanya tentang pandangan Hizbut Tahrir di seputar demokrasi, pemilu, dan sistem sekulr. Berkaitan dengan pemilu, Gunter Mulack menanyakan apakah benar Hizbut Tahrir tidak ikut pemilu karena sistem sekarang adalah sekular?)
Gunter Mulack: Jadi, Anda hanya ikut pemilu dalam sistem ideal Anda?
Jubir HTI (menjawab dengan diplomatis): Bukan Hizbut Tahrir yang mencegah ikut pemilu, tapi sistem sekular itu sendiri. Seandainya sistem sekular itu membolehkan secara bebas Hizbut Tahrir mengkritik sistem sekular dan bebas untuk mengganti sistem sekular lewat pemilu, Hizbut Tahrir boleh saja mengikuti pemilu. Tapi, apakah demokrasi membolehkan hal tersebut.
(Jubir HTI juga secara retoris mempertanyakan kejujuran dan ke-‘fair’-an sistem demokrasi yang diterapkan Barat sekarang. Jubir HTI mengatakan, kalau jujur dan fair, dalam demokrasi yang katanya mengikuti suara mayoritas seharusnya tidak ada larangan-larangan bagi kelompok Islam yang secara damai menyampaikan pendapatnya dan mengajak masyarakat secara terbuka kepada Islam. Jubir HTI bertanya, “Mengapa yang terjadi tidak seperti itu?” “Terbukti di beberapa negara seperti di Turki dan Aljazair, gerakan Islam dilarang. FIS yang menang dalam pemilu, diberangus secara tidak fair,” lanjut Jubir HTI. Jubir HTI juga menjelaskan apa yang diderita Hizbut Tahrir di beberapa negara: Di Timur Tengah, Asia Tengah, dan di sejumlah negara lain, Hizbut Tahrir dilarang berjuang dengan damai, tanpa kekerasaan. Bila ketidakjujuran dan ketidakfairan terus berlanjut, maka jangan salahkan bila dunia Islam semakin tidak menyukai Barat. Jubir HTI meminta Mulack untuk menyampaikan soal ini kepada pemimpin negara Barat.
Sementara itu, Farid menambahkan, mengapa di Jerman dilarang, bukankah Hizbut Tahrir telah menjelaskan bahwa perjuangannya tanpa kekerasaan. Hizbut Tahrir tidak pernah menyerukan pembunuhan terhadap orang Yahudi. Hizbut Tahrir juga bukan rasialis [anti semit]. Hizbut Tahrir hanya menyerukan perlawanan terhadap penjajahan Israel di Palestina yang memang harus dilawan dengan senjata. Sebab, Israel juga menggunakan senjata untuk menghancurkan rakyat Palestina.
Pembicaraan juga menyinggung tentang sikap Hizbut Tahrir terhadap investasi asing. Mereka juga mengkhawatirkan, investor asing bakal keluar bila syariat Islam diterapkan).
Gunter Mulack: Apakah Anda akan mengusir investasi asing?
Jubir HTI: Mengapa Anda mengatakan bahwa kami akan mengusir investasi asing? Sepanjang sesuai dengan syariah, kami tidak keberatan dengan investasi asing. Ingat, investasi asing sangat ditentukan oleh penegakan hukum yang baik, minimnya korupsi, ketersediaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia yang mencukupi, keamanan dan regulasi yang bagus, serta iklim yang kondusif. Dengan syariah, kami yakin semua itu bisa dipenuhi. Oleh karena itu, tidak ada sama sekali yang perlu dikhawatirkan dari penerapan syariah karena justru dengan syariah korupsi bisa dihapuskan, keamanan terjamin, regulasi terjaga, sumberdaya manusia bagus, dan iklim juga akhirnya kondusif untuk investasi termasuk investasi asing.
(Pembicaraan kembali ke topik di dalam negeri Indonesia. Menurut Gunter Mulack, kondisi Indonesia dengan sistem yang ada adalah yang terbaik. Masyarakat di sini dari berbagai agama bisa hidup dengan penuh toleransi. Ia mempertanyakan, apa perlunya Hizbut Tahrir berjuang untuk penerapan syariah?)
(Dijawab oleh Jubir HTI): Itu kan menurut Anda, bahwa sistem yang ada di Indonesia sudah baik. Kalau benar sudah baik, pasti kami di sini tidak akan mengalami krisis dan berbagai persoalan yang ada. Dalam pandangan Islam, banyak sekali hal di sini yang tidak sesuai dengan syariah. Misalnya, terakhir kita menghadapi kontroversi menyangkut pornografi. Tidak bisa diselesaikan karena tidak ditemukan definisi yang definit tentang apa itu pornografi. Bila kembali pada syariah, dengan mudah pornografi itu didefinisikan, yakni bahwa setiap penampakan aurat adalah pornografi. Kalau hanya toleransi, Islam juga bisa memberikan. Dalam sejarah, ketika Islam berkuasa, misalnya di Spanyol hidup damai pemeluk agama selain Islam hingga Spanyol disebut Espanol in Three Religions.
Gunter Mulack: Tapi, dengan begitu kan Anda akan memaksa orang non-Muslim mengikuti syariah?
Jubir HTI: Ya, mengapa tidak. Dalam sektor publik, negara manapun pasti akan memaksa masyarakat yang hidup di dalamnya mengikuti sistem yang ada. Tadi Anda bilang, bahwa sistem yang ada sekarang sudah cukup toleran. Toleran bagaimana? Sekarang ini, kami dipaksa mengikuti sistem sekular yang bertentangan dengan Islam dan kami dipaksa pula untuk meninggalkan syariah. Bagaimana disebut toleran? Kami juga tidak pernah ditanya, apakah setuju dengan sistem ini atau tidak.
(Pembicaraan lantas melompat ke persoalan mungkin tidaknya sistem Khilafah kembali ditegakkan. Gunter Mulack mengatakan bahwa sistem itu utopis).
Jubir HTI: Utopis tidak, sulit iya. Kami menyadari bahwa perlu waktu, tenaga, dan upaya yang sangat besar untuk menegakkan kembalil Khilafah. Sulit, tapi bukan utopis, karena utopis itu artinya impossible (mustahil).
(Jubir kemudian menceritakan bagaimana dulu orang mengira tidak mungkin Uni Soviet jatuh atau Jerman akan bersatu kembali. Tapi ternyata, Soviet bisa jatuh dan Jerman bisa bersatu).
Jubir HTI: Pernahkan Anda membayangkan dua Jerman bakal bersatu?
Gunter Mulack: Ya, dan sejak dulu saya percaya dan yakin bahwa Jerman akan bersatu kembali.
Jubir HTI: Ya, apa bedanya dengan kami? Kami juga yakin dan percaya, Khilafah Islam akan tegak kembali.
Gunter Mulack (sambil tertawa): Yes, yes, yes….

(Dialog diakhiri. Mereka menyatakan senang bisa berdialog dengan Hizbut Tahrir Indonesia).

Saturday, July 27, 2019

Konsep khilafah Hizbut Tahrir lebih kaku dari konsep Aswaja?


Konsep khilafah Hizbut Tahrir lebih kaku dari konsep Aswaja?

Terakhir A.Biyadi pada majalah Ijtihad PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31 pada hal 11 mengatakan ;
Walhasil, konsep khilafah Hizbut Tahrir memang lebih kaku dari konsep Ahlussunah. Ahlussunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi lebih longgar. Dengan khilafiyah furu'iyah yang beragam dapat menjadi solusi jika memang realita yang ada tidak memungkinkan.
Terlepas dari itu semua, coba anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan namun dengan akidah mereka. Maka bisa jadi setelah khilafah tegak, mereka akan menekan umat yang tidak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Ahlussunah hakekatnya adalah jabariyah [asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, 53-54]. Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk merealisasikan ajaran Islam secara sempurna. Namun yang jelas kita berusaha untuk syariat Islam ala Ahlussunah. Dengan akidah Ahlussunah dan tentu saja dengan cara yang sesuai dengan Ahlussunah. Wallahu A'lam". A.Biyadi

MEMBONGKAR PAT :

Konsep khilafah Hizbut Tahrir lebih kaku dari konsep Aswaja?

Dari gaya kesimpulannya yang provokatif seperti itu, saya bisa mengasumsikan bahwa A.Biyadi telah terkontaminasi oleh virus liberal dari seniornya, yaitu M Idrus Ramli atau dari seseorang yang namanya saya rahasiakan, karena ia lebih memilih beraksi di balik layar. Atau seperti sebelumnya, yaitu bahwa penulis sebenarnya adalah M Idrus Ramli.

Terkait konsep khilafah Hizbut Tahrir yang katanya kaku, dan konsep Ahlussunah yang katanya longgar. Ini adalah dikotomi yang menyesatkan. Karena konsep khilafah Hizbut Tahrir adalah konsep yang lurus sesuai doanya yang terus menerus dipanjatkan kepada-Nya, yaitu;

اهدنا الصراط المستقيم، صراط الذين أنعمت عليهم، غير المغضوب عليهم ولا الضالين.
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".

Dalam at-Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi Banten, jalan yang lurus adalah agama Islam, sedang orang-orang yang diberi nikmat adalah nabiyun [para nabi], shidiqun [orang-orang yang jujur dalam keimanannya], syuhada [orang-orang yang mati syahid] dan shalihun [orang-orang saleh].

Dan dalam Tafsir Jalalain, mereka yang dimurkai adalah orang Yahudi, dan mereka yang sesat adalah orang Nasrani. Dan dalam at-Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi Banten, mereka yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi atau orang-orang kafir, sedang mereka yang sesat adalah orang-orang Nasrani atau orang-orang munafik.

Dan sesuai firman-Nya;
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون. {فصلت: 30}.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka lurus, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". TQS Fushilat ayat 30.

Dan sesuai perintah Rasul-Nya;
قل آمنت بالله ثم استقم. رواه مسلم عن أبي عمرو وقيل أبي عمرة سفيان بن عبد الله.
"Berkatalah; "Aku beriman kepada Allah", kemudian luruslah".

Jadi konsep khilafah Hizbut Tahrir adalah konsep [Islam] yang lurus, yang diambil dari konsep Nabi SAW dan para sahabatnya, karena shidiqun, syuhada dan shalihun, semuanya itu ada pada shahabat. Bukan konsep yang bengkong dan berbelok-belok atau berliku-liku. Karena konsep yang bengkong dan berbelok-belok atau berliku-liku itu diambil dari kaum Yahudi dan Nasrani atau dari kaum kuffar dan munafiqun.

Paktanya juga demikian, kelompok yang diklaim oleh A.Biyadi sebagai Aswaja, mereka mengambil konsep demokrasi, HAM dan seterusnya dari peradaban Barat yang nota bene adalah kaum Yahudi dan Nasrani, juga mengambilnya dari kaum nasionalis sekular yang munafik.

A.Biyadi belum menyadari, atau pura-pura bodoh, atau sengaja merekayasa, berbohong, memitnah dan memprovokasi, bahwa akidah Hizbut Tahrir adalah Akidah Islam, yaitu Rukun Iman yang enam, bukan lima. Bukan akidah Muktazilah seperti tertulis di tengah-tengah tulisannya (pada majalah Ijtihad). Hukum menolak dan mengingkari akidah Hizbut Tahrir itu sama dengan menolak dan mengingkari Akidah Islam, yaitu murtad atau kafir. Maka hendaknya orang seperti A.Biyadi jangan mau dijerumuskan oleh orang seperti M Idrus Ramli.

Sedangkan terkait kritik Syaikh Taqiyyuddin terhadap Ahlussunah, seperti telah saya kemukakan di atas, adalah kritik terhadap Ahlussunah Mutakallimin, bukan Ahlussunah secara keseluruhan atau Ahlussunnah ala Rasulullah saw. Dan kritik tersebut hanya menyangkut masalah yang sangat sepele yang tidak layak disebut sebagai akidah, karena tidak memiliki dalil yang qath'iy, yaitu kritik terkait teori kasbu sebagai solusi mutakallimin terkait masalah qadha dan qadar yang datang dari peradaban Yunani, maka saya katakan tidak layak menjadi akidah. Bukan masalah qadha atau qadar yang tersebut dalam hadis Jibril atau yang datang dari Islam.

A.Biyadi juga belum menyadari bahwa kita kaum muslim di seluruh negeri-negeri Islam, termasuk yang mengklaim atau diklaim sebagai Aswaja, sedang dipaksa untuk meyakini akidah sekularisme dan mempraktekkan syariat yang memancar dari ideologi kapitalisme, yaitu syariat demokrasi dan HAM, bukan syariat Aswaja yang katanya longgar.

Terakhir, A.Biyadi juga belum menyadari bahwa usaha merealisasikan ajaran Islam secara sempurna itu mustahil bisa terwujud tanpa lebih dahulu menegakkan Daulah Khilafah Ala Minhajin Nubuwah atau Daulah Khilafah Rasyidah Mahdiyyah.
(Abulwafa Romli)

Definisi Daarul Islam Hizbut Tahrih Tidak Tepat?

Definisi Daarul Islam Hizbut Tahrih Tidak Tepat?

A.Biyadi (Idrus Ramli) dan orang-orang yang seideologi dengannya mengatakan ;

"Ketiga, tentang Darul Islam. Mereka menyebutkan dalam Hizbut Tahrir, hal 5, "Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam". Juga pada hal 29 dan Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5 dan 8, "Dan di neger
i-negeri kaum muslimin sakarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin".

Menurut Imam ar-Rafi'I dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan syafi'iyyah, darul-Islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukim para muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukkan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Memang mayoritas ulama Sunni menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir daerah itu tetap disebut darul-Islam".
(Majalah Ijtihad PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31, hal 12).

MEMBONGKAR PAT :

Definisi Negara Islam yang mengambang mengakibatkan langkah dakwah yang tidak jelas.

Terdapat kesalahan yang patal pada perkataan A.Biyadi ketika mengutip dan menerjemahkan redaksi dari kitab Hizbut Tahrir hal 5. Padahal redaksi dan terjemahannya yang tepat demikian;

والمسلمون مند أن قضي على دولة الخلافة في الحرب العالمية الأولى يعيشون بدون دولة إسلامية وبدون الحكم بالإسلام .......
"Kaum muslim sejak Daulah Khilafah dihancurkan pada Perang Dunia II, mereka hidup dengan tanpa Negara Islam, dan dengan tanpa pemerintahan Islam…..".
Lalu oleh A.Biyadi disimpulkan menjadi; "Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam". Negara Islam menjadi Daerah Islam, dan Pemerintahan Islam menjadi Hukum Islam. Sehingga pembaca Majalah Ijtihad menuduh Hizbut Tahrir itu ngawur, karena Pasuruan adalah daerah Islam dan hukum-hukum Islam terkait ubudiyah mahdhah juga diterapkan oleh masyarakatnya. Mungkin ini tujuan dari rekayasa A.Biyadi.

Juga kesalahan seperti itu dalam menyimpulkan redaksi dari kitab Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5 dan 8 sehingga menerjemahnya juga keliru. Padahal redaksi aslinya demikian;

وبهذا يتضح أن جميع البلاد الإسلامية اليوم لا يتحقق فيها شرط حكم الإسلام، وإن كان أمان غالبيتها العظمى بأمان المسلمين وسلطانهم. لذلك فإنها مع الأسف لا تعتبر دار الإسلام، بالرغم من أنها بلاد إسلامية، وبالرغم من أن أهلها مسلمون. إذ العبرة في الدار بالأحكام والأمان، ليس بالبلد والسكان.
"Dengan ini menjadi jelas bahwa semua negeri Islam, saat ini, tidak terwujud padanya syarat pemerintahan Islam, meskipun keamanan mayoritasnya adalah dengan keamanan dan kekuasaan kaum muslim. Oleh karena itu, dengan sangat mengecewakan, tidak dinilai Negara Islam, meskipun termasuk negeri-negeri Islam, dan meskipun penduduknya terdiri dari kaum muslim. Karena penilaian terkait status Negara itu dengan hukum dan keamanan, bukan dengan negeri dan penduduk". [Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5].

ومن جميع ما تقدم يتضح أن المسلمين في جميع البلاد الإسلامية، بالرغم من كونهم مسلمين فإنهم يعيشون في مجتمع غير إسلامي، وإن بلاد الإسلام التي يعيشون فيها ليست دار إسلام.
"Dan dari semua keterangan di atas, menjadi jelas bahwa kaum muslim di semua negeri-negeri Islam, meskipun status mereka adalah kaum muslim, maka mereka hidup di dalam masyarakat yang tidak Islam. Dan bahwa negeri-negeri Islam di mana mereka hidup di dalamnya itu bukan Negara Islam". [Manhaj Hizbit Tahrir, hal 8].

Lalu disimpulkan oleh A.Biyadi menjadi ; "Dan di negeri-negeri kaum muslimin sakarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin".

Jadi bagaimana A.Biyadi bisa menyalahkan Hizbut Tahrir, sedang ia sendiri tidak dapat memahami istilah dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir.

Sesungguhnya Hizbut Tahrir telah membedakan konotasi dari term ad-Dar [Negara] dan al-Balad [negeri], dan konotasi al-Hukm [hukum] dalam bab shalat dll. dan al-Hukm [pemerintahan] dalam pembahasan politik. Sebagai contohnya adalah Indonesia, dalam pandangan Hizbut Tahrir termasuk Negara Kufur [Darul Kufri], tetapi termasuk Negeri Islam [Min Biladil Islamiyyah]. Jadi negara itu tidak sama dengan negeri.

Terkait dengan definisi Negara sebenarnya Hizbut Tahrir telah mengadopsi definisi unggul yang tidak memiliki kelemahan dibanding definisi yang lain. Karena di samping hasil kajian yang mendalam dari pakta Negara Islam pada masa Nabi SAW dan masa al-Khulafa ar-Rasyidin, juga didukung dalil-dalil syar'iy yang sangat kuat dan akurat. Juga sebagai penyempurna bagi semua definisi yang telah dikemukakan oleh berbagai lapisan ulama mujtahid dan muqallid, bahkan bisa dikatakan sebagai gabungan dari semua definisi tersebut. Inilah kehebatan Hizbut Tahrir. Bagi yang berminat untuk mengecek kebenaran pendapat saya, monggo membaca secara keseluruhan kitab-kitab Hizbut Tahrir yang terkait dengan pembahasan ini, seperti kitab Manhaj Hizbit Tahrir yang disebut di atas dll. Lebih sempurna lagi monggo membaca al-Wa'ie, edisi 34, Juni 2003, dan kitab al-Jihad Wa al-Qital, karya M. Khair Haikal. Karena terlalu panjang ketika saya membahasnya di sini, kecuali definisi Negara bagi Hizbut Tahrir yang harus diketahui oleh pembaca sebagai berikut;

أما دار الإسلام في الإصطلاح الشرعي، فهي الدار التي يحكم فيها بأحكام الإسلام، ويكون أمانها بأمان الإسلام، أي بسلطان المسلمين وأمانهم، في الداخل والخارج، ولو كان أكثر أهلها من غير المسلمين.
وأما دار الكفر في الإصطلاح الشرعي، فهي الدار التي يحكم فيها بأحكام الكفر، ويكون أمانها بغير أمان الإسلام، أي بغير سلطان المسلمين وأمانهم، في الداخل والخارج، ولو كان أكثر أهلها من المسلمين.
فالعبرة في الدار من كونها دار إسلام أو دار كفر ليس بالبلد ولا بالسكان، وإنما بالأحكام وبالأمان. فإن كانت أحكامها أحكام الإسلام، وأمانها بأمان المسلمين فهي دار إسلام، وإن كانت أحكامها أحكام كفر، وأمانها بغير أمان المسلمين فهي دار كفر أو دار حرب. {منهج حزب التحرير في التغيير}.
Adapun Negara Islam dalam terminologi syara' ialah Negara yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, dan keamanannya adalah dengan keamanan Islam, yakni dengan kekuasaan dan keamanan kaum muslim, di dalam dan di luar negeri, meskipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang non muslim.
Adapun Negara kufur dalam terminologi syara' ialah Negara yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum kufur, dan keamanannya adalah dengan selain keamanan Islam, yakni dengan selain kekuasaan dan keamanan kaum muslim, di dalam dan di luar negeri, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslim.
Jadi penilaian terkait status Negara sebagai Negara Islam atau negara kufur itu bukan dengan negeri dan bukan pula dengan penduduk[nya], tetapi hanya dengan hukum-hukum dan keamanan[nya]. Maka apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum Islam, dan keamanannya dengan keamanan kaum muslim, maka ia adalah Negara Islam. Dan apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum kufur, dan keamanannya dengan selain keamanan kaum muslim, maka ia adalah Negara kufur atau Negara perang. [Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir].

Jadi definisi sebuah Negara itu harus jami' dan mani', atau kamil dan syamil, tidak mengambang dan asal-asalan, karena untuk menentukan langkah dakwah kedepan, tidak kebelakang. Definisi Negara yang mengambang dan asal-asalan akan menjadikan dakwah yang mengambang dan asal-asalan juga, bahkan dapat menjadikan dakwah mundur kebelakang, yakni menuju kekondisi jahiliyah, tidak maju kedepan, yakni kekondisi islami. Sebagai contohnya adalah definisi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam.

Akibat definisi ini, terjadi penolakan terhadap dakwah menuju tegaknya Negara Islam yang benar, yaitu Khilafah. Alasannya, karena dianggap sebagai tahshilul hashil atau mematangkan perkara yang sudah matang, maka akibatnya menjadi rusak atau hangus. Padahal penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum muslim, keadaan mereka semakin hari semakin rusak, akibat tidak diterapkannya hukum-hukum syariat Islam yang berhubungan dengan kehidupan, bermasyarakat dan bernegara.

Sedangkan hukum-hukum syariat Islam itu mustahil dapat diterapkan secara kaffah, kecuali oleh Negara Islam yang benar, yaitu Negara Islam yang tabiatnya adalah untuk menampung menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan tabiat ini adalah indikasi untuk menentukan bahwa Negara itu adalah Negara Islam.

Sedangkan fakta Negara Indonesia sama sekali tidak memiliki indikasi sedikitpun sebagai Negara Islam, karena tidak ada kesediaan menampung penerapan hukum-hukum Islam secara total. Dengan kata lain, Islam itu rahmatan lil alamin, yakni hukum-hukum Islam itu diperuntukkan untuk mengatur seluruh alam semesta. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah institusi yang bisa menampung hukum-hukum Islam yang kaffah itu. Laksana kompetisi sepak bola dunia. Ini membutuhkan lapangan yang bisa menampungnya, yaitu lapangan sepak bola yang bertarap Internasional. Bukan yang bertarap nasional atau lapangan poli.

Dengan demikian, sistem pemerintahan yang ada didunia saat ini, baik monarki Arab Saudi atau demokrasi dengan segala macamnya, semuanya tidak dapat menampung penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah. Sedangkan sebagian hukum Islam yang diterapkan seperti hukum perkawinan Islam bagi orang Islam, maka di Amerika juga diterapkan. Maka satu-satunya jalan untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara total di Indonesia ini adalah dengan merobah bentuk negaranya menjadi Negara Islam, Khilafah Rasyidah. Dan ini harus dimulai dari pendefinisian Negara Islam yang jami' dan mani', atau yang kamil dan syamil, tidak yang mengambang dan asal-asalan. Maka definisi Negara Islam oleh Hizbut Tahrir benar-benar telah memenuhi criteria tersebut.
(Abulwafa Romli).

Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

KH Masduqi Mahfudz sebagai Dewan Syura PWNU Jawa Timur, ketika ditanya wartawan Ijtihad;
"Bagaimana pandangan kiai tentang Hizbut Tahrir?".
Beliau
menjawab ;
"Hizbut Tahrir ini kan pecahan dari Muktazilah yang sangat mendewakan akal. Orang NU yang ikut Hizbut Tahrir itu namanya kesasar".
(Majalah Ijtihad, PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31, hal 17).

MEMBONGKAR PAT:
Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

Terkait Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang mendewakan akal, ini adalah tuduhan miring yang jauh panggang dari api. Andai saja KH Masduqi Mahfudz membaca kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, terkait akidah secara keseluruhan, maka di sana justru Syakh Taqiyyuddin an-Nabhani mengkritik dengan sangat pedas terhadap kesalahan manhaj mutakallimin yang sangat mendewakan akal. Berikut adalah sebagian perkataan beliau;

"Kekeliruan manhaj mutakallimin yang;
Ketiga; Sesungguhnya manhaj mutakallimin itu memberikan kepada akal kebebasan meneliti pada segala sesuatu, baik yang tersentuh indra maupun yang tidak tersentuh indra. Secara otomatis manhaj ini mendorong akal meneliti suatu perkara yang tidak dapat dihukumi, meneliti pada sejumlah hipotesa dan imajinasi, dan menegakkan burhan atas gambaran perkara semata, yang bisa ada dan bisa pula tidak ada.
Ini dapat memungkinkan pengingkaran terhadap perkara yang ada secara pasti, ketika ada seseorang yang kami meyakini kebenaran khabarnya menyampaikan khabar kepada kami terkait perkara itu, tetapi akal tidak dapat memahaminya.
Dan dapat memungkinkan pengimanan kepada perkara Khayalan yang tidak memiliki eksistensi, tetapi akal mengimajinasikan keberadaannya. Sebagai contohnya, mereka membahas zat dan shifat Allah. Lalu di antara mereka ada yang berkata; "Shifat itu intinya maushuf", dan di antara mereka ada yang berkata; "Shifat itu bukan maushuf". Dan mereka berkata; "'Ilmu Allah adalah tersingkapnya ma'lum [perkara yang diketahui] sesuai keadaan sebenarnya. Sedangkan ma'lum itu berubah dari waktu kewaktu, sebagaimana daun pohoh itu jatuh setelah sebelumnya tidak jatuh. Allah SWT berfirman; wama tasqutu min waroqatin illa ya'lamuha [dan tidaklah sehelai daun jatuh kecuali Dia mengetahuinya].
Ilmu Allah itu tersingkap dengannya sesuatu sesuai kondisi sebenarnya. Maka Allah mengetahui sesuatu sebelum ia ada sesuai kondisinya yang ia akan ada, mengetahui sesuatu ketika telah ada sesuai kondisinya yang ia telah ada, dan mengetahui sesuatu ketika tidak ada sesuai kondisinya yang ia tidak ada". Bagaimana bisa, 'ilmu Allah berubah mengikuti perubahan perkara yang maujud? Dan ilmu yang berubah mengikuti perubahan perkara yang baru adalah ilmu yang baru. Sedangkan Allah itu tidak berdiri dengan-Nya perkara baru, karena sesuatu yang berkaitan dengannya perkara baru adalah baru………".

Kemudian Syaikh Taqiyyuddin berkata;
"Perkataan ini telah digambarkan oleh para peneliti dan mereka memperkirakannya padahal tidak memiliki realita yang terindra. Akan tetapi mereka memberikan kepada akal kebebasan meneliti, lalu akal meneliti perkara ini dan menemukan gambar dihadapannya. Lalu mereka mewajibkan iman kepada perkara yang telah digambarkannya, dan mengucapkan kepadanya nama kasb dan ikhtiyar. Andaikan saja mereka menjadikan akal hanya membahas pada perkara yang tersentuh oleh indra, niscaya mereka menemukan bahwa penciptaan perbuatan dari sisi pengadaan semua materinya itu hanya dari Allah, karena penciptaan dari tidak ada itu tidak mudah kecuali dari al-Khaliq. Adapun pelaksanaan materi dan pengadaan perbuatan dari padanya, maka itu dari hamba, seperti layaknya pertukangan yang ia kerjakan, contohnya seperti membuat kursi. Dan seandainya mereka menjadikan akal hanya meneliti pada perkara yang tersentuh indra, niscaya mereka tidak mengimani banyak perkara dari imajinasi dan hipotesa".

Kemudian Syaikh Taqiyyuddin berkata;
"Kekeliruan manhaj mutakallimin yang;
Keempat; Sesungguhnya manhaj mutakallimin itu menjadikan akal sebagai asas penelitian pada keimanan semuanya. Maka dampaknya, mereka menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur'an, dan tidak menjadikan al-Qur'an sebagai asas bagi akal………
Memang, sesungguhnya iman dengan adanya al-Qur'an sebagai kalam Allah itu hanya dibangun berdasarkan akal. Akan tetapi al-Qur'an sendiri setelah keimanan dengannya sempurna, menjadi asas bagi keimanan dengan perkara yang telah dibawanya, bukan akal. Oleh karena itu, katika datang ayat-ayat dalam al-Qur'an, wajib tidak menjadikan akal menghukumi pada kebenaran maknanya atau tidak adanya kebenaran, dan hanya ayat itu yang menghukumi dirinya. Sedangkan tugas akal dalam kondisi ini hanyalah memahami. Akan tetapi para mutakallimin tidak melakukannya, tapi mereka menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur'an. Dengan demikian terjadilah bagi mereka takwil pada ayat-ayat al-Qur'an".

Dari petikan perkataan Syaikh Taqiyyuddin di atas, dan perkataan beliau yang lain yang tidak dapat dikemukakan disini, sudah cukup untuk membuktikan bahwa tuduhan miring di atas adalah jauh panggang dari api, dan tidak ada paktanya sama sekali. Bisa saja tuduhan miring tersebut berangkat dari pemikiran Hizbut Tahrir yang cemerlang dan terlalu tinggi, dan sulit dapat dipahami oleh akal kebanyakan orang yang belum halaqah dengan Hizbut Tahrir, sehingga mereka menganggap Hizbut Tahrir mendewakan akal. Atau mereka hanya berdasarkan qila wa qala yang datang dari ulama salafi salathin / wahabi.

Memang, Hizbut Tahrir terkait pemikiran, ide, sistem dan teknis, mereka mendewakan akal untuk memahami sejumlah nash yang terkait dengannya. Akan tetapi dalam urusan akidah terkait dengan perkara yang tidak dapat tersentuh oleh indra, mereka sama sekali tidak mendewakan akal atau akal-akalan sepaerti mutakallimin, dan kutipan perkataan Syaikh Taqiyyuddin diatas adalah sebagian buktinya.
(Abulwafa Romli).

Khalifah Yang Saleh Tidak Dapat Merubah Keadaan Masyarakatnya Menjadi Lebih Baik?

Khalifah Yang Saleh Tidak Dapat Merubah Keadaan Masyarakatnya Menjadi Lebih Baik?

Pada topik Lingkungan Masyarakat Ideal, Idrus Ramli berkata:
“Ada asumsi di sebagian kalangan, terutama kalangan Hizbut Tahrir
, bahwa pemimpin yang baik dapat merubah keadaan masyarakatnya menjadi lebih baik dan menanamkan nilai-nilai kesalehan dalam ranah individu dan social. Asumsi ini dapat dibenarkan apabila yang dimaksud dengan pemimpin tersebut adalah seorang nabi atau rasul. Akan tetapi apabila yang dimaksudkan dengan pemimpin tersebut adalah seorang kepala pemerintahan seperti presiden, raja dan khalifah, maka asumsi tersebut tidak benar. Sebab lahirnya pemimpin yang baik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak akan dapat menerapkan berlakunya hukum-hukum syariat terhadap rakyatnya tanpa dukungan masyarakat yang dipimpinnya.”

Lalu Idrus Ramli mengemukakan hadits Imam Bukhari terkait kronologi Kaisar Romawi Heraclius dengan rakyatnya setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Lalu Idrus Ramli berkomentar:

“Hadits di atas menggambarkan, bagaimana seorang pemimpin yang bermaksud membawa rakyatnya ke jalan yang benar, namun tidak di dukung oleh situasi yang kondusif, di mana rakyatnya tidak dapat menerima ajakannya dengan senang hati. Alih-alih akan diikuti oleh mereka, justru dia sendiri yang pada akhirnya mengikuti kemauan rakyatnya yang membangkang terhadap ajakan baik raja itu. Dalam al-Qur’an, Allah SWT juga menceritakan sebab kokohnya kerajaan Fir’aun terhadap kaumnya. Dalam hal tersebut Allah SWT berfirman:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” QS al-Zukhruf : 54…………………………

Berdasarkan kenyataan di atas, para ulama kita berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh baik secara individual maupun secara social. Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 29-33).

MEMBONGKAR PAT:
Pembongkaran ini paling tidak terdiri dari tiga bagian:

Pertama: Idrus Ramli tidak memahami bahwa lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik itu tidak serta-merta terwujud tanpa adanya pemimpin yang telah berusaha mewujudkannya. Ia sama sekali tidak memahami hukum sabab-musabbab, sebab-akibat, atau sunnatullah, atau ia memahaminya tapi bertujuan jahat, yaitu sengaja menghantam Hizbut Tahrir. Sejarah Nabi SAW dari Mekah sampai Madinah itu sudah lebih dari cukup bagi siapa saja yang mempelajarinya. Juga sejarah Wali Songo di pulau Jawa ini. Di mana masyarakat Arab dan masyarakat Jawa sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali adalah masyarakat jahiliyah yang terdiri dari kaum kafir dan musyrik.

Apakah kedua macam masyarakat itu sudah kondusif dan baik sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali? Tentu tidak. Jadi pemimpin yang salehlah yang telah membentuk masyarakat sehingga menjadi baik. Dan pemimpin itu tidak harus nabi dan rasul. Saya juga tidak mengingkari bahwa ada di antara para pemimpin yang telah gagal mewujudkan masyarakat yang baik walaupun ia nabi dan rasul. Tetapi juga tidak boleh diingkari bahwa di sana banyak para pemimpin yang berhasil mewujudkan masyarakat yang baik meskipun bukan nabi dan rasul. Dan perlu diketahui bahwa kegagalan dan keberhasilan itu adalah hak Allah. Sedangkan kewajiban kita hanyalah beriman, beramal saleh dan berusaha. Ini yang akan dihisab di akhirat kelak, bukan berhasil dan gagalnya.

Kedua : Idrus Ramli salah membuat contoh. Ia menganggap Kaisar Romawi Hiraclius sebagai pemimpin yang baik yang tidak bisa membawa rakyatnya ke jalan yang benar. Padahal Hiraclius sendiri berkata: “Kembali semua kesini! Sebenarnya aku barusan mengatakan begitu hanya karena ingin membuktikan militansi dan kesetiaan kalian terhadap agama kalian. Sekarang aku telah yakin terhadap hal itu.” Jadi Hiraclius mengajak rakyatnya untuk menerima dakwah Nabi SAW itu hanya pura-pura, tidak sungguh-sungguh. Dengan demikian Hiraclius itu bukan tipe pemimpin yang baik. Jadi Idrus Ramli keliru. Apalagi mencontohkan dengan Fir’aun, sangat tidak nyambung.

Ketiga : Idrus Ramli tidak memahami, atau berpura-pura tidak paham karena tujuan jahat, bahwa Hizbut Tahrir sekarang sedang berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh, baik secara individual maupun secara social. Tapi Hizbut Tahrir tidak mengatakan: “Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan, baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh.” Karena kata “maka dengan sendirinya” harus disesuaikan dengan hukum kausalitas (sebab-akibat, sabab-musabbab, atau sunnatullah), tidak dimakan mentah-mentah.

Kemudian sebagai indikasi dan bukti bahwa masyarakat itu sudah saleh adalah ketika mereka mau memilih dan mengangkat pemimpin yang saleh, dan akan golput dan menolak ketika diajak untuk memilih pemimpin yang tidak saleh. Sedang indikasi dan bukti bahwa pemimpin itu saleh adalah ketundukannya terhadap kewajiban menerapkan syariat Islam secara sempurna, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pemerintahannya. Dan kondisi ini telah terbukti pada masyarakat yang telah dididik dan dibina oleh Hizbut Tahrir. Dan ini adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir telah berhasil dalam mendidik dan membina masyarakat.

Tidak seperti kelompoknya Idrus Ramli yang mengklaim paling Aswaja dan sedang mendidik dan membina masyarakat agar menjadi saleh, tetapi mereka malah disuruh dan dipaksa untuk memilih pemimpin yang nyata-nyata tidak mau menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam pemerintahannya, dan diajak untuk menolak penegakkan khalifah yang akan menerapkan syariat secara sempurna. Karena kelompoknya Idrus Ramli itu memiliki akidah yang nyeleneh yaitu bahwa ketika masyarakat sudah saleh, maka dengan sendirinya Allah akan mengangkat pemimpin yang saleh bagi mereka. Jadi dalil-dalilnya itu dimakan mentah-mentah, tidak dipahami secara tasyri’ dan secara hukum kausalitas. Jadi sampai kiamatpun mereka tidak akan memiliki pemimpin yang saleh, ketika mereka tidak mau berjuang untuk mewujudkannya. Padahal Nabi SAW dan para sahabat saja harus berjuang untuk menjadi dan memiliki pemimpin yang saleh. Mereka tidak menunggu pemimpin saleh yang diangkat langsung oleh Allah.
(Abulwafa Romli)