Sunday, November 28, 2021

Contoh Terpeliharanya Alquran

 Ketika Buya Hamka melakukan perjalanan ke Amerika tahun 1952, beliau diundang oleh Profesor Hendon untuk melihat-lihat pameran Bible (Injil) di Universitas Yale. 


Buya Hamka berkeliling sambil melihat-lihat manuskrip Bible dari abad ke abad. Bahkan ada yang berasal dari 800 tahun lalu. 


Ternyata Universitas Yale telah memimpin penelitian menyalin Bible King James yang berasal dari tahun 1612 M. Penelitian ini berjalan selama 15 tahun yang panitianya terdiri dari 40 gereja.


Mengapa penelitiannya memakan waktu selama itu? 


Sebab perkembangan Bahasa Inggris sejak 1612 M sampai saat itu (1952 M) telah mengalami banyak perubahan. Ini membuat proses transliterasi dan penerjemahan menjadi sangat sulit. 


Profesor Hendon menjelaskan kalau perdebatan antar peneliti tentang sebuah kata di Bible seringkali panas dan memakan waktu berbulan-bulan. Kalau tidak sepakat juga, mereka akan mengambil voting untuk menentukan kata tersebut. 


Sambil berbincang-bincang Profesor Hendon lalu berhenti dan berkata memuji Hamka :


"Beruntunglah Tuan jadi orang Islam?"


"Sebab tuan mempunyai Al Qur'an yang tidak usah diperkomitmenkan dan dipanitiakan. Sebab tuan mempunyai bahasa suci yang asli dan tetap."


"Bahkan Bahasa Arab yang terpakai setiap hari lah yang harus disesuaikan dengan Al Qur'an. Bukan Al Qur'an yang harus disesuaikan kepada perkembangan bahasa."

tambahnya... 


Orisinilitas ayat-ayat Al Qur'an bahkan terjaga hingga kini. Kita bisa uji mushaf tertua dengan usia 1.370 tahun yang ditemukan di Universitas Birmingham pada 2015.


Isinya sama dengan mushaf saat ini. Hal ini dikatakan sendiri oleh Profesor Universitas Birmingham yang ahli dalam Kristen dan Islam, David Thomas. 


"Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."

(QS. al-Hijr : 9)


Sumber : Zarkasy, Hamid Fahmi dkk 2021. Rasional tanpa Liberal.

Menjawab tantangan Liberalisasi Pemikiran Islam. 


#MasyaAllah

#AllahuAkbar

Thursday, November 25, 2021

Jawab Soal Zakat Fitrah

 بسم الله الرحمن الرحيم


*Jawab Soal Zakat Fitrah*


_*Syaikh Atho Bin Kholil Abu Rasytah*_ 


Terdapat hadits-hadits shahih mengenai zakat fithrah. Kami tidak mentabanni rinciannya. Di sini saya menyebutkan kepada Anda beberapa pandangan para fuqaha yang mu’tabar dalam masalah ini. Anda sendiri bisa mengikuti (bertaqlid) kepada siapa pun yang Anda inginkan dari mereka, selama perbuatan Anda sebelumnya belum terikat dengan pandangan-pandangan (mengenai zakat fithrah) tersebut. Namun, jika perbuatan Anda sebelumnya sudah terikat dengan tata cara (pendapat) salah seorang mujtahid yang mu’tabar, maka teruskanlah apa yang Anda lakukan itu.


Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan zakat fithrah dari benda-benda yang telah disebutkan di dalam berbagai hadits. Contohnya adalah hadits dari Abi Sa’id al-Khudri yang berkata:


«كنا نخرج زكاة الفطر إذا كان فينا رسول الله ( صاعاً من طعام أو صاعاً من تمر أو صاعاً من شعير أو صاعاً من زبيب أو صاعاً من أقط فلا أزال أخرجه كما كنت أخرجه ما عشت»


_Kami telah mengeluarkan zakat fithrah pada saat Rasulullah (masih) berada di tengah-tengah kami satu sha’ dari makanan, atau satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari gandum, atau satu sha’ dari kismis, atau satu sha aqith. Aku tetap melakukan hal itu (dengan mengeluarkan benda-benda tersebut) sebagaimana aku telah mengeluarkannya selama ini._ *(HR. Bukhari dan Muslim dengan lafadz berdasarkan riwayat Muslim)*.


(Aqith atau keju adalah sari pati susu yang dimasak, kemudian dibiarkan hingga kering).


Jadi Boleh mengeluarkan zakat fithrah dengan benda-benda tersebut di atas. Boleh juga mengeluarkan zaklat fithrah dengan benda-benda lain selain benda-benda tersebut di atas. Misalnya beras dan biji adas. Banyaknya beras diukur setara dengan takaran satu sha’ kurma, kemudian dikeluarkan dalam bentuk beras. Atau juga dalam bentuk uang (nuqud) yang nilainya setara dengan nilai (harga) satu sha’ kurma, kemudian dikeluarkan dalam bentuk uang. Begitulah. Pendapat mereka ini terdapat di dalam kitab Tuhfatu al-Fuqaha.


Madzhab Imam Malik membolehkan apa yang jadi bahan makanan penduduk negeri sebagaimana yang disebutkan (dalam hadits) tadi atau yang biasa dimakan oleh masyarakat. Contohnya beras dan biji adas, kacang-kacangan dan lain-lain. Pendapatnya ini terdapat di dalam kitab Balighatu as-Salik.


Madzhab Imam Syafi’i membolehkan untuk mengeluarkan zakat fithrah dari jenis apa yang bisa dizakatkan, yaitu dari hasil pertanian, buah-buahan. Dan yang paling utama adalah apa yang biasa menjadi makanan penduduk negerinya atau apa yang biasa menjadi makanannya . Pendapat ini terdapat di dalam kitab Mughni al-Muhtaj. Dengan ukuran (takaran-pen) yang telah dijelaskan di dalam berbagai hadits.


Madzhab Imam Hambali membolehkan mengeluarkan zakat fithrah hanya dari benda- benda yang telah disebutkan (di dalam hadits). Beliau tidak membolehkan selain dari benda-benda tersebut. Namun demikian, jika tidak dijumpai salah satu jenis dari beberapa jenis benda-benda tersebut, maka dibolehkan mengeluarkan zakat fithrah dengan sejenis bahan makanan yang layak, berupa biji-bijian jagung/shorgum, beras … Pendapat ini terdapat di dalam kitab al-Mughni.


Sha’ adalah takaran, yaitu ukuran volume tertentu.  Berat isi timbangannya berbeda-beda  tergantung biji apa yang memenuhi volumenya. Satu sha’ gandum setara dengan 2,25 kg gandum, atau lebih detail lagi setara dengan 2.176 gram gandum. 


Di kalangan para mujtahid yang disebutkan tadi, seluruhnya tidak membolehkan zakat fithrah dikeluarkan dalam bentuk nilai tertentu dari mata uang, kecuali pendapat Abu Hanifah.


Kami tidak mentabanni rincian dari benda-benda yang harus dikeluarkan sebagai zakat fithrah; apakah dibolehkan zakat fithrah dikeluarkan dalam bentuk uang atau tidak? Anda boleh bertaklid (mengikuti pendapat) berdasarkan keinginan Anda yang dianggap memuaskan. Apabila apa yang telah Anda lakukan itu terkait dengan pendapat salah seorang mujtahid, maka teruskanlah apa yang telah Anda lakukan itu. Zakat fithrah harus dikeluarkan sebelum shalat Ied. Boleh juga zakat fithrah dikeluarkan satu atau dua hari sebelum Ied, dan disalurkan kepada fakir miskin.


Anda boleh menyerahkan zakat fithrah langsung, demi menenteramkan diri anda, kepada orang-orang yang berhak (yaitu fakir miskin-pen), juga boleh mewakilkannya kepada seseorang –yang anda percayai-- untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang berhak.


20 Nopember 2003

Wednesday, November 24, 2021

Kritik khilmus edisi 21

 (Kritik Khilmus | Edisi 21)

"TIDAK ADA CONTOHNYA ORANG BERIMAN HIDUP DI LUAR KEPEMIMPINAN NABI ATAU KHALIFAH"


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/11/tidak-ada-contohnya-orang-beriman-hidup.html?m=1


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Sudah puluhan kali saya mendengar pernyataan dan membaca tulisan dari Khalifah palsu dan warga Khilmus ; "Tidak ada contohnya orang / orang-orang beriman hidup diluar kepemimpinan Nabi atau khalifah".


Kali ini diwakili oleh Abu Jiddan :


======mulai=====

Abu Jiddan :

Tidak ada contohnya orang beriman hidup diluar kepemimpinan Nabi atau kholifah

=====selesai=====


JAWABAN SAYA :


Apa mereka tidak ngerti fase mulkan jabriyyah (fase tidak ada khilafah) 

atau fase tidak ada jamaatul muslimin dan tidak pula ada imamnya, dimana keduanya terdapat di dua hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah. Di fase itu orang-orang beriman dalam bernegaranya tidak dipimpin oleh khalifah, tapi oleh raja dan presiden. 


Rata-rata warga khilmus itu pas-pasan dalam ilmu agama terkait sistem khilafah, maka mereka mudah sekali dibohongi oleh khalifah palsunya. 


Somoga link di bawah bisa menambah pemahaman agama terkait khilafah dan jamaatul muslimin bagi warga Khilmus :


1. Makna hadits Hudzaifah terkait fase kepimpinan umat Islam; 

https://abulwafaromli.blogspot.com/2016/02/makna-hadits-hudzaifah-terkait-fase.html?m=1


2. Mendudukkan makna hadits Hudzaifah terkait kebaikan dan keburukan atau fase tidak ada Jamaatul Muslimin dan tidak pula ada Imam Jamaatul Muslimin:

https://abulwafaromli.blogspot.com/2016/03/mendudukan-makna-hadits-hudzaifah-bin.html?m=1


3. Khilafah ala minhajin nubuwwah pada hadits Hudzaifah adalah Umar bin Abdul Aziz?! 

https://abulwafaromli.blogspot.com/2016/05/khilafah-minhajin-nubuwwah-pada-hadis.html?m=1


MENGKLAIM KHILAFAH ALA MINHAJIN NUBUWWAH, TAPI TIDAK MENGIKUTI SUNNAH NABI DAN SUNNAH KHULAFA ROSYIDIN


Ini juga logika ngawur Khilmus :


=====mulai=====

Abu Jiddan :

Bagaimana bisa muncul yang palsu lalu yang asli muncul sesudahnya?

Bukankah secara akal sehat yang kedua pasti mencontoh yang pertama. Tolong anda jangan terlalu ambisius untuk membenarkan pendapat anda sendiri tanpa menggunakan akal anda. 

=====mulai=====


JAWABAN SAYA :


Khilmus itu benar-benar telah mengklaim khilafah ala minhajin nubuwwah. Sedang khilafah ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Nabi adalah khilafahnya Alkhulafa Arrosyidin. Ini berarti khilafah pertama karena diikuti oleh khilmus. Berarti juga khilmus itu yang terakhir karena mengikuti yang peetama. Berbeda ketika khilmus mengaku khilafah ala minhajil baraja, maka khilmus yang pertama dan yanh asli. Lalu ketika ada khilafah ala minhajil baraja yang kedua yang tidak sama dengan yang pertama, maka itu yang palsu. Semoga bisa dipahami. Karena kalau tidak mengikuti khilafah rosyidah atau alkhulafa arrosyidin sebagai pemilik khilafah ala minhajin nubuwah, maka sebenarnya khilmus itu ikut khilafah siapa?


Sungguh, bukan khilafah palsu kalau tidak dusta dan menipu. Khilmus mengklaim mengikuti Nabi atau nubuwwah sejak baru diutusnya, sejak belum mendapat kekuasaannya. Tapi Khilmus tidak mengikuti sunnah Nabi, karena sudah berani mengambil bai'at dari orang-orang yang sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan hakiki atau otonomi. Ini adalah berdusta atas nama Nabi. Nabi tidak pernah mengambil bai'at in'iqod dari sahabat yang tidak memiliki wilayah kekuasaan hakiki seperti sahabat muhajirin di fase Mekkah. Juga Nabi tidak pernah mengambil bai'at ta'at sebelum punya kekuasaan hakiki. 


Khilmus mengklaim sebagai khilafah ala minhajin nubuwwah. Tapi khilmus tidak mengikuti sunnah Alkhulafa Arrosyidin sebagai pemilik khilafah ala minhajin nubuwwah dalam mengambi bai'at in'iqod maupun bai'at ta'at setelah memiliki kekuasaan hakiki, dalam menerapkan Islam secara kaffah dan dalam melakukan futuhat guna menambah wilayah kekuasaannya. 


Dengan dua dusta di atas, Khilmus terus menerus mengajak ummat untuk berbaiat, mendengar dan ta'at kepada khalifah palsunya, bahkan menarik berbagai infak dari warganya. Khilmus juga telah memakai simbol-simbol atau nama-nama struktur khilafah dalam struktur administrasinya.


Selanjutnya Khilmus khilafah palsu itu benar-benar sedang mempraktekkan kepalsuannya, yaitu dengan menganggap salah, sesat sampai syirik kepada umat Islam yang menolak bergabung kepadanya. Sungguh terlalu! Bersegeralah bertaubat wahai saudara-saudaraku! 


TERAKHIR :


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al harrani rh berkata :

بل الواجب خلافة النبوة، لقوله صلى الله عليه وسلم : عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فكل بدعة ضلة، بعد قوله : من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا. وهذا أمر وتحضيض على لزوم سنة الخلفاء، وأمر بالاستمساك بها، وتحذير من المحدثات المخالفة لها، وهذا الأمر منه والنهي دليل بين في الوجوب. 

"Tetapi yang wajib adalah Khilafah Nubuwwah ('alâ minhâjin nubuwwah), berdasarkan sabda Rasulullah saw: "Beepegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin setelahku, pegang teguh dan genggam erat-eratlah ia. Dan jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena setiap bid'ah itu sesat", yaitu setelah beliau bersabda: "Barang siapa dari kalian yang hidup sepeninggalku nanti akan menjumpai perselisihan yang banyak". Ini merupakan perintah dan anjuran keras untuk menetapi sunnah para khalifah tersebut (khulafa' rasyidin), dan perintah untuk berpegang teguh padanya, serta peringatan atas perkara-perkara bid'ah yang menyalahinya (menyalahi sunnah khulafa rasyidin). Adanya perintah sekaligus larangan dari beliau ini merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa khilafah itu wajib." (Ibnu Taimiyyah, Alkhilafah Walmulk, hlm 28).


Walhasil, berkhilafah itu harus jujur, tidak dusta dan tidak menipu. Berkhilafah ala minhajin nubiwwah harus benar-benar mengikuti sunnah Nabi saw dan sunnah Alkhulafa' Arrosyidin. Semoga bermanfaat. Aamiin. 


#KhilafahAjaranIslam

#KhilafahAjaranAhlussunnah

#KhilafahAjaranAswaja

#KhilafahWarisanRasulullah

#IslamRahmatanLilAlamin

#IndonesiaBerkahDenganSyariah

#SyariahDiterapkanDenganKhilafah

#tintasiyasi

https://t.me/abulwafaromli

abulwafaromli.blogspot.com

Tuesday, November 23, 2021

MENEGUHKAN SYAIKH TAQIYYUDDIN ANNABHANI SEBAGAI MUJTAJID MUTLAK

 MENEGUHKAN SYAIKH TAQIYYUDDIN ANNABHANI SEBAGAI MUJTAJID MUTLAK

(Edisi 03)


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/11/meneguhkan-syaikh-taqiyyuddin-annabhani_52.html?m=1


Kelima: Daftar kitab-karyakitab karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani.

Di bawah adalah karya-karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang sangat cemerlang:

 

1. Nizham al-Islam (sistem Islam)

2. Al-Takattul al-Hizbi (pembentukan partai politik)

3. Mafahimu Hizb al-Tahrir (konsepsi Hizbut Tahrir)

4. Al-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam (sistem ekonomi Islam)

5. Al-Nizham al-Ijtima’iy fi al-Islam (sistem pergaulan Islam)

6. Nizham al-Hukmi fi al-Islam (sistem pemerintahan Islam)

7. Al-Dustur (undang-undang dasar)

8. Muqaddimah al-Dustur (pengantar undang-undang dasar) 

9. Al-Daulah al-Islamiyyah (negara Islam)

10. Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, tsalatsata ajza’in (kepribadian Islam, tiga juz)

11. Mafahim Siyasiyyah li Hizb al-Tahrir (konsepsi politik Hizbut Tahrir)

12. Nazharat siyasiyyah (pandangan politik)

13. Nidaun Haar (panggilan hangat)

14. Al-Khilafah (khilafah)

15. Al-Tafkir (berpikir)

16. Al-Kurrasah (buku catatan)

17. Sur’atul Badihah (secepat kilat)

18. Nuqthatul Inthilaq (titik permulaan)

19. Dukhulul Mujtama’ (memasuki masyarakat)

20. Inqazhu Falesthin (menyelamatkan Palestina)

21. Risalatu ‘Arab (risalah Arab)

22. Tasalluhu Mishra ( mempersenjatai Mesir)

23. Al-Ittifaqiyat al-Tsunaiyyah al-Mishriyyah al-Suriyyah wa al-Yamaniyyah

24. Hallu Qadhiyyati Falesthina ‘ala Thariqati al-Amriqiyyah wa al-Inkiliziyyah 

25. Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (politik ekonomi ideal)

26. Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah (bantahan terhadap sosialisme marxisme)

27. Kaifa Hudhimat al-Khilafah (bagaimana khilafah dihancurkan)

28. Nizham al-‘Uqubat (sistem persanksian)

29. Ahkam al-Bayyinat (hukum pembuktian)

30. Ahkam al-Shalat (hukum-hukum shalat)

31. Naqdh al-Qanun al-Madani (bantahan terhadap undang-undang sipil)

32. Al-Fikru al-Islami (pemikiran Islam), dll.

 

Dan untuk mempermudah penyebarannya kitab Kaifa Hudhimat al-Khilafah, Nizham al-‘Uqubat, Ahkam al-Bayyinat, Ahkam al-Shalat, al-Fikru al-Islami Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah, dan Naqdhu al-Qanun al-Madani, ditulis atas nama syabab Hizbut Tahrir. Dan masih ada ribuan nasyrah pemikiran, politik dan ekonomi yang telah ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani RH. (Lihat: Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dgn pengawasan Prof. Dr. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 28, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006).

 

Daftar kitab-kitab karya Syaiklh Taqiyyuddin an-Nabhani diatas sudah cukup untuk membuktikan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, dan karya-karya tersebut juga sudah cukup untuk menjadi rujukan sebuah madzhab fikih. Sedang terkait mujtahid mutlak ghairu muntasib atau mujtahid mutlak muntasib, maka hanya Alloh dan beliau yang mengerti, karena beliau tidak menjelaskan bahwa kaidah-kaidah istinbathnya itu hasil istinbathnya sendiri atau hasil tabanni dari guru-gurunya. Sebagaimana empat imam besar juga yang disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak tidak menjelaskannya.

 

Keenam: Terkait pernyataan M Idrus Ramli:

“Seorang alim bisa dikatagorikan sebagai mujtahid apabila telah diakui oleh para ulama dan telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Sementara tidak seorangpun dari kalangan ulama yang mengakui Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah memenuhi syarat-syarat ijtihad sebagai mujtahid atau bahkan hanya mendekati saja derajat seorang mujtahid tidak ada yang mengakui. Sehingga ketika keilmuan seseorang tidak diakui oleh para ulama, maka keilmuannya sama dengan tidak ada. Dan ini berarti Syaikh al-Nabhani bukanlah seorang mujtahid atau mendekatinya”. (Lihat; Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 111-116).

 

M Idrus Ramli sebagaimana Syaikh Abdullah Harori dalam kitab al-Gharah-nya, dalam pernyataannya sama sekali tidak menjelaskan kriteria ulama yang pengakuan atau kesaksiannya terhadap seseorang sehingga bisa disebut sebagai mujtahid dapat diterima, juga berapa jumlah ulama tersebut. Sedang yang dapat ditangkap dari pernyataan itu hanyalah buruk sangka yang berlebihan terhadap Syaikh Taqiyyuddin. Kalau yang dimaksud oleh Idrus Ramli adalah para ulama seperti al-Hafizh al-Dzahabi serta para ulama sebelum dan sesudahnya yang telah wafat sebelum lahirnya Syaikh Taqiyyuddin, maka betapa bodohnya Idrus Ramli, karena bagaimana mungkin para ulama yang telah wafat bersaksi bahwa Syaikh Taqiyyuddin adalah Mujtahid.

 

Kalau yang dimaksud adalah para ulama salathin seperti Abdullah al-Harori al-Ahbasy dan sesamanya atau seperti ulama wahabi yang kontra Hizbut Tahrir, maka juga sangat keliru, karena aktivitas Syaikh Taqiyyuddin yang selalu mengkritik dan mengkoreksi pemerintahan (salathin) yang zalim itu menjadi pemicu bagi kemarahan mereka, sehingga mereka berani membayar para ulama salathin untuk menjatuhkan kewibawaan serta merusak nama baik Syaikh Taqiyyuddin, maka mengharap pengakuan dan kesaksian atas kemujtahidan Syaikh Taqiyyuddin dari mereka, itu sama halnya dengan mengharap anak sapi keluar dari batu.

 

Kalau yang dimaksud adalah para ulama yang saleh yang semasa dengan Syaikh Taqiyyuddin, maka Idrus Ramli juga sangat keliru, karena di antara mereka tidak sedikit yang belum membaca kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin yang sangat cemerlang dan penuh dengan solusi kebangkitan dan kejayaan Islam dan kaum muslim, dan tidak sedikit pula yang telah termakan oleh fitnah terhadap Syaikh Taqiyyuddin dari ulama salathin. Dan kalau yang dimaksud adalah para ulama saleh yang belum termakan fitnah yang semasa dengan Syaikh Taqiyyuddin dan yang setelahnya, maka Idrus Ramli juga sangat keliru, karena ash-hab Syiakh Taqiyyuddin dan mayoritas aktivis Hizbut Tahrir dari berbagai belahan dunia yang jumlahnya ribuan adalah para ulama yang saleh dan mukhlish, dan mereka telah mengakui dan menyaksikan bahwa Syaikh Taqiyyuddin adalah mujtahid, bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, bahkan sebagai mujaddid (pembaharu). Di antara pengakuan dan kesaksian mereka adalah sebagai berikut:


Muhammad Muhsin Radhi dalam tesisnya menyatakan:

“Derajat keilmuan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dapat dilihat dari sejumlah karya ilmiahnya yang tidak sedikit yang mencakup semua tuntutan kehidupan (pribadi, masyarakat dan negara) yang dibutuhkan oleh umat untuk mencapai kebangkitan serta mengembalikan derajat hakikinya (sebagai sebaik-baik umat) di antara umat-umat yang lain. Sungguh pada semua karya ilmiahnya telah nampak pembaharuan (tajdid) dalam lapangan pemikiran, fiqih dan politik. Oleh karena itu, produk pemikirannya adalah usaha terdepan dari seorang pemikir muslim pada masa ini. Sehingga beliau adalah pemimpin bagi para pemimpin pemikiran dan politik pada abad 20 ini, sehingga setelah itu tidak asing lagi kami menemukan orang-orang yang menjadikan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berada di barisan para ulama mujtahid dan mujaddid.

 

Ustadz Ghanim Abduh sebagai syabab qudama terkemuka Hizbut Tahrir menuturkan, bahwa Sayyid Quthub RH dalam kesempatan ilmiahnya pernah menyanjung Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dan membantah seseorang yang melempar tuduhan miring terhadap beliau. Dan di antara pernyataan Sayyid Quthub adalah: “Sesungguhnya Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani ini dengan karya-karya ilmiahnya telah sampai ke derajat para ulama terdahulu kami”.

 

Dan Prof. Dr. Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari telah menyifati Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani seraya berkata: “Beliau adalah mujaddid abad ini, panutan ulama dunia, seorang alim yang berjihad, imam rabbani (orang yang telah mencapai derajat makrifat), Abu Ibrahim Taqiyyuddin al-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), yang telah meletakkan batu pondamen bagi pemikiran Islam kontemporer yang tinggi, dan bagi pergerakan yang ikhlas dan sadar, semoga Allah meninggikan derajatnya bersama anbiya’, shiddiqin, syuhada’ dan ulama shalihin”. (Lihat: Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dgn pengawasan Prof. Dr. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 33, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006). 

 

Jadi kalau kita mau jujur dan obyektif, semua kitab di atas dan yang lainnya sebagai karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, sudah cukup untuk menjadi saksi dan bukti konkrit bahwa beliau benar-benar seorang mujtahid dan mujaddid, karena semuanya langsung digali dari sumber syari’at Islam melalui dalil-dalil yang telah disepakati oleh semua ulama Ahlussunnah Waljama’ah ala Rasulullah SAW, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas al-Syar’iy, dan berdasarkan pemahaman terhadap fakta dan realita yang sangat mengkristal. Dan kalau kita mau jujur, obyektif dan tidak fanatik, kalau setandar mujtahid muthlaq adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad, maka karya-karya ilmiyyah yang dimiliki Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani itu melebihi dari karya-karya ilmiah salah satu dari empat imam besar tersebut, karena banyak karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani yang baru dan belum ada yang mendahului.

 

Maka daripada kita berdosa karena buruk sangka kepada Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, lebih baik kita meraih pahala dengan baik sangka kepada beliau, karena baik sangka kepada sesama muslim adalah karakter Ahlussunnah Waljama’ah, sedang baik sangka kepada orang kafir adalah karakter kaum liberal yang munafik. Kerena kita semua akan bertanggung jawab dihadapan Allah, sebagaimana Syaikh Taqiyyuddin juga akan bertanggung jawab dihadapan-Nya. Dan kita semua berharap bisa datang kepada Allah dengan hati yang selamat (bi qalbin salim).

 

Akhir Kalam:

Sesungguhnya sudah sangat jelas bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak atau mujaddid. Akan tetapi justru karya ilmiah belaiulah yang membuktikan atau menunjukkan bahwa beliau layak mendapat gelar sebagai mujtahid mutlak atau mujaddid. Sedangkan tuduhan bahwa beliau banyak menganjurkan ijtihad kepada ash-hab atau murid-muridnya, kalaupun ini benar, maka juga tidak ada yang salah selagi memenuhi syarat-syaratnya. Kerena empat imam besar juga telah melakukan hal yang sama terhadap ash-habnya. Dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal ra berkata:

 

خذوا علمكم من حيث أخذه الأئمة ولا تقنعوا بالتقليد فإن ذلك عمي في البصيرة.

“Ambilah ilmu kalian dari mana para imam telah mengambil ilmunya, dan janganlah kalian merasa puas dengan taqlid, karena hal itu dapat membutakan mata hati”. (Lihat: Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, juz I, hal. 12, Maktabah Daaru Ihyaa’ al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia).

 

Dan Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni sendiri berkata:

وقد كان الأئمة المجتهدون كلهم يحثون أصحابهم على العمل بظاهر الكتاب والسنة ويقولون: إذا رأيتم كلامنا يخالف ظاهر الكتاب والسنة فاعملوا بالكتاب والسنة واضربوا بكلامنا الحائط...

“Sesungguhnya para imam mujtahid semuanya mendorong ash-habnya agar mengamalkan zhahir al-Kitab dan Sunnah, dan mereka sama berkata: “Ketika kalian mengetahui perkataan kami menyalahi zhahir al-Kitab dan Sunnah, maka amalkanlah zhahir al-Kitab dan Sunnah, dan hantamkan (buanglah) perkataan kami ke pagar…”.(Lihat: Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, juz I, hal. 55, Maktabah Daaru Ihyaa’ al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia).

 

Keberadaan mujathid mutlak di masa sekarang juga sangat dibutuhkan, karena berbagai bid’ah dan khurofat yang datang dan memancar dari akidah materialisme dan sekularisme, dan dari ideologi komunisme dan kapitalisme, telah memporak porandakan tatanan pemikiran, perasaan dan sistem yang datang dan memancar dari akidah Islam dan ideologi Islam.

 

Faktanya juga membuktikan bahwa orang-orang atau kelompok yang menolak mujtahid mutlak yang datang pada masanya dan pada masa ini, mereka justru mengangkat orang-orang atau ulama liberal sebagai mujtahid dimana pendapatnya diambil dan ditaklidi untuk mengesahkan tatanan pemikiran, perasaan dan sistem yang datang dan memancar dari akidah materialisme dan sekularisme, dan dari ideologi komunisme dan kapitalisme.

 

Dengan demikian datangnya mujtahid mutlak pada setiap masa adalah hak dan keadilan Alloh SWT untuk menjaga kemurnian syariat-Nya, hingga menjelang datangnya kiamat. Wallohu A’lamu bi ash-Shawwab.

 

(Abulwafa Romli, Alumnus ’94, Pon Pes Lirboyo Kediri JATIM).


#KhilafahAjaranIslam

#KhilafahAjaranAhlussunnah

#KhilafahAjaranAswaja

#KhilafahWarisanRasulullah

#IslamRahmatanLilAlamin

#IndonesiaBerkahDenganSyariah

#SyariahDiterapkanDenganKhilafah

#tintasiyasi

https://t.me/abulwafaromli

abulwafaromli.blogspot.com

Monday, November 22, 2021

Bukti Alquran bukan karangan Muhammad SAW

 JIKA ORANG NON MUSLIM BERTANYA, KEPADAMU :

*"APA BUKTINYA BAHWA "AL-QUR'AN" ITU MEMANG DARI ALLAH SWT. PENCIPTA JAGAD RAYA INI DAN BUKAN SEKEDAR KARANGAN MUHAMMAD SAW..."*


Maka, dengan tersenyum Ramah Jawablah...!!!


Insya ALLAH, saya akan Jawab, secara Ilmiah...

Semoga Anda pun memikirkan Jawaban saya ini, dengan Pikiran yang Jernih tanpa dipengaruhi Subyektivitas dan Fanatisme Kelompok...


*Bukti Pertama :*


Dari Analisa Sejarawan, terbukti bahwa memang Muhammad SAW. Ummi : Buta-Huruf dan tidak pernah Sekolah, karena memang pada Masa itu Belum ada Sekolah...


Masyarakat Arab belum mengenal ILMU, seperti :

Ilmu Politik, Ekonomi, Matematika, Sosiologi, Kenegaraan, Ilmu Etika dll.


Mungkinkah Orang yang Buta-Huruf dan Tidak Mengenal ILMU, bisa bicara : Masalah Hukum, Tata-Negara, Sistem Ekonomi, Etika dll. yang semua Pembicaraan tsb. ada didalam *"AL-QUR'AN"* ?


Tentu saja Jawabannya : "Tidak-Mungkin..."


Artinya, bahwa : *"AL-QUR'AN"* bukan Karangan : Muhammad SAW.

Tidak mungkin menurut Akal-Sehat Orang Buta-Huruf yang tidak mengenal ILMU sama sekali bisa bicara Hukum, Kenegaraan, Undang-Undang Kemasyarakatan, Akhlaq, Sosiologi dan Ratusan Kalimat-kalimat Bijak Secara Spontan dengan Bahasa yang memukau para Ahli Bahasa Arab...


*Bukti Ke-2 :*


*"AL-QUR'AN,"* banyak bicara tentang Sejarah, Sejak Zaman ADAM AS. hingga ISA AS. Padahal Muhammad SAW, tidak pernah dapat Informasi tentang Sejarah Hidup mereka...


Cerita tentang Musa AS. dan ISA AS. sangat lengkap. Bahkan Seorang Pendeta sangat ber-Syukur, ternyata didalam *"AL-QUR'AN"* ada Pembelaan terhadap Kesucian Bunda MARIA yang oleh Orang Yahudi dituduh telah ber-Zina sehingga melahirkan ISA A.S. Dari mana Muhammad SAW. dapat Cerita Seluruh Kisah Para Nabi tsb. padahal di Mekah dan Madinah hampir2 tidak ada Orang Kristen...


Jelas Akal-Sehat kita akan menolak jika dikatakan *"AL-QUR'AN,"* karangan : Muhammad SAW.


Begitu juga Cerita tentang Musa AS. sangat lengkap, padahal Orang Yahudi tidak ada yang mengajarkan *TAURAT,* kepada Nabi yang tinggal di Mekah. Bahkan di Mekah hampir-hampir tidak ada Orang Yahudi...


*Bukti Ke-3 :*


Dulu ada Seorang Pelaut Eropa. Kebetulan diatas Kapalnya ada *"AL-QUR'AN"* terjemah.


Sekedar mengisi kekosongan selama dalam Pelayaran, beliau iseng membaca-baca *"AL-QUR'AN,"* terjemah tsb. Beliau sangat terpesona dengan pembicaraan *"AL-QUR'AN"* tentang Lautan, Badai dan Sterpeson yang terkait. Bahasanya pun sangat Dalam dan Puitis.

Ketika beliau berlabuh di India dia bertanya-tanya kepada Muslim disana tentang Muhammad SAW, dari Muslim India tsb. dia memperoleh Keterangan bahwa Muhammad SAW, Hidup ditengah Gurun-Pasir dan tidak pernah melihat Lautan...

Maka dia sangat yakin, bahwa Mustahil *"AL-QUR'AN,"* karangan : Muhammad SAW, yang bisa dengan sangat Indah Melukiskan Lautan, padahal Beliau tidak pernah melihat Laut. Sehingga ia pun segera memutuskan masuk Islam.


*Bukti Ke-4 :*


Didalam Surah Al Furqan Ayat 53, ALLAH SWT, berfirman : 

_"Dan Dialah (ALLAH) yang membiarkan 2(dua) Laut yang mengalir berdampingan yang satu Tawar dan Segar, yang lainnya Asin dan Pahit. Dan Dia jadikan diantara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus._

_Haha... dari mana Muhammad SAW, Lelaki Gurun Pasir itu tahu, padahal Beliau tidak mengerti sedikit pun tentang Lautan dan bahkan dua Laut yang beda Rasa dan Warna itu pada Masa Hidup Beliau, belum ditemukan Orang..."_


Jadi sekali lagi, tidak mungkin *"AL-QUR'AN"* tsb. Karangan : Muhammad SAW.


*Bukti Ke-5 :*


Pada masa Muhammad SAW.y hidup, ada dua Negara Imperium yaitu Imperium Romawi dan Persia.

Dua Imperium ini sering berperang. Ketika dimasa Hidup Beliau, Persia berhasil mengalahkan Romawi. Hal ini membuat Masyarakat Musyrik, Mekah menjadi gembira karena Orang Persia juga Penyembah Berhala. Sebaliknya Orang Islam bersedih karena Romawi menganut Agama Nasrani yang seakar dengan Islam. Kemudian turun Ayat menghibur Orang Islam, Surah Ar Rum- Ayat 2,  3  &  4, menjelas bahwa beberapa tahun lagi akan kembali terjadi Peperangan dan Peperangan tsb akan  dimenangkan oleh Romawi sehingga Umat Islam yang Pro Romawi pun menjadi gembira. 

Ayat ini pun ditertawai oleh Kaum Musyrik Qurais dianggap sebagai Bualan, Muhammad saja karena waktu itu Romawi terlihat sudah sangat lemah...


Maka Abu Bakar menantang Orang Musyrik untuk bertaruh dengan taruhan Belasan Ekor Unta. Tantangan diterima oleh Musyrik Qurais dan tujuh Tahun kemudian apa yang diramalkan *"AL-QUR'AN"* pun terjadi :

Romawi kembali Perang dengan Persia dan Peperangan dimenangkan Orang Romawi.

Jika *"AL-QUR'AN"* bukan dari ALLAH  SWT. dan hanya sekedar karangan : Muhammad SAW. tentu saja Beliau tidak akan bisa meramal sesuatu yang akan terjadi dimasa depan...


*Bukti Ke-6 :*


Seluruh Ahli Bahasa dan Ahli Syair dari kalangan Musyrik Qurais mengakui secara Jujur bahwa Kalimat- kalimat *"AL-QUR'AN"* sangat tinggi kandungannya, sangat Indah susunan kata-katanya dan sangat memukau. Tidak ada sebelumnya kalimat-kalimat Cerita, Nasehat dan kalimat Berita yang ditulis, Manusia yang sebagus *"AL-QUR'AN"* sampai sampai Orang Qurais pun menjuluki Muhammad SAW, sebagai Tukang Sihir, yang kata-katanya bisa memukau semua Orang. Dan bukti yang lebih mencengangkan lagi dari Jutaan Kitab yang pernah ada di Dunia ini hanya *"AL-QUR'AN"* lah satu satunya Kitab yang bisa dihapal secara Pas, kata demi kata oleh Jutaan Orang. Bahkan Orang yang tidak mengerti Bahasa-Arab, seperti Ribuan Anak-Anak Indonesia mampu menghapal *"AL-QUR'AN"* yang lebih dari 600 Halaman...


Adapun Pastur dan Pendeta, tidak akan mampu menghapal *INJIL* (Bibel) kata demi kata secara Pas, walau hanya 100 Halaman...?


Hal ini menunjukkan bahwa ALLAH SWT. sebagai yang menurunkan *"AL-QUR'AN."* telah mengatur sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi semua Orang untuk menghapalnya.


*Bukti Ke-7 :*


Dalam Surah Yunus ayat 92, diceritakan, bahwa : Jasad FIR'AUN musuhnya MUSA AS. akan diselamatkan ALLAH SWT. 


Padahal Peristiwa Sejarah MUSA AS. dan FIR'AUN tsb terjadi 1.200 Tahun sebelum Masehi.

Pada awal Abad ke-19 Tahun 1896, seorang Ahli Purbakala : *"Loret,"* menemukan dilembah Raja-Raja Luxor Mesir satu Mumi yang dari Data-data Sejarah terbukti bahwa ia adalah, *FIR'AUN* yang bernama : *MANIPLAH...*


Pada tanggal 8 Juli 1908 Elliot Smith, mendapat Izin untuk membuka Pembalut Fir'aun & ternyata Jasadnya masih Utuh seperti yang diberitakan *"AL-QUR'AN."*


Nah, mungkinkah Muhammad SAW. yang buta huruf tsb bisa mengetahui hal tsb. padahal didalam *TAURAT* dan *INJIL* pun tidak ada diceritakan ?


Tidak dapat tidak, Akal Sehat yang Jujur akan berkata, bahwa *"AL-QUR-AN"* bukan karangan : Muhammad SAW.


*Bukti Ke-8 :*


Dalam *"AL-QUR'AN,"* Surat Yunus 10 : 15, ALLAH SWT. menjelaskan, bahwa Cahaya Matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan Cahaya Bulan adalah Pantulan.


Dari mana Muhammad SAW. bisa tahu, padahal dia Buta-Huruf dan Ilmu Alam Zaman itupun belum sampai kesitu, bahkan belum ada Kajian Keilmuan...


*Bukti Ke-9 :*


*"AL-QUR'AN"* turun secara acak. Kadang kala turun karena ada suatu Peristiwa atau Pertanyaan, Sahabat maupun Orang Kafir. Jadi tidak ada upaya penyusunan kalimat. Kebanyakan Ayat turun secara Spontan dan disampaikan Muhammad SAW. secara Lisan.

Namun yang terjadi sangat mencengangkan. Banyak terdapat Keharmonisan yang diluar Nalar Manusia.

Dari hasil studi bertahun-tahun Syeikh Abdul Razzak Naufal menemukan Hal-hal yang menakjubkan yang kemudian ia paparkan dalam Kitab yang ia tulis : *"MUKJIJAT AL-QUR-AN AL KARIEM."* 


*Satu :*

Terdapat keseimbangan kata dengan lawan katanya :

Alhaya' ( hidup ) dan Al-Maut ( mati ) disebut sama sama 145 kali.


Annaf ( manfaat ) dan Mudorat disebut dalam jumlah yang sama 50 kali.


Panas dan Dingin 4 kali


Kebaikan dan Keburukan : 167 kali.


Kufur dan Iman, dalam bentuk kata Indifinite masing-masing 17 kali ... dll


*Dua :*

Kata hari dalam bentuk tunggal berjumlah 365 ( jumlah 1 Tahun )

Kata hari dalam bentuk Jamak berjumlah 30 kali penyebutan (Angka satu Bulan)

Kata yang berarti Bulan hanya disebut 12 kali, menunjukkan jumlah Setahun. Dll...


Apakah semua ini kebetulan ?


Mudah mudahan dengan keterangan sedehana ini bisa meningkatkan Kualitas Iman kita dari Haqqul Yaqin menjadi Ainul Yaqin : Keyakinan yang sudah terbukti dan tidak bisa dibantah..


Dan dengan Anda membagikan ilmu yang sangat penting ini untuk diketahui banyak orang, Anda pun terhitung telah melakukan Amal-Jariah yang sangat penting dalam urusan Syiar Islam.


Barakallah li wa lakum

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

_______________________Semoga Bermanfaat n Share k Saudara2 anda 😊

Saturday, November 13, 2021

Kritik hizbut tahrir terhadap sistem khilafah

 Kritik hizbut tahrir terhadap sistem khilafah


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang ulama dan pemikir yang revolusioner. Pemikirannya telah mengkritik berbagai pemikiran yang selama ini banyak dianut orang sebagai akibat dari sistem kapitalis yang selama ini ditancapkan di seluruh dunia. Mulai dari pemikiran tentang persoalan politik, ekonomi, sosial, fikih, bahkan pemikiran secara umum. Tidak cukup di situ, setelah melakukan kritik yang tajam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan pandangan atau pendapatnya dengan argumentasi yang kokoh. Hal itu bisa dilihat dari berbagai karya atau buku-buku yang dihasilkannya.


Namun, agaknya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memang kurang begitu dikenal dari buku-bukunya (pemikiran-pemikirannya) kecuali setelah mengenalnya sebagai sosok aktivis pergerakan perjuangan Islam. Beliau adalah pendiri atau muasis kelompok Islam Hizbut Tahrir yang sangat getol menyuarakan khilafah. Seperti kebiasaan orang atau kelompok yang memperjuangkan sesuatu, terkadang justru melakukan "pengkultusan" terhadap apa yang diperjuangkannya. Di sebagian kasus, kelompok Hizbut Tahrir dituduh sering melakukan pembelaan terhadap sistem khilafah yang diperjuangkannya. Padahal siapa pun bisa melihat, bahwa perjalanan sistem khilafah tidak selalu berjalan mulus sebagaimana mestinya. Begitulah realitas sejarah.


Namun, siapa pun yang berhati bersih dan memiliki akal yang jernih, maka akan melihat bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan jamaah dakwah yang didirikannya telah memberikan kritik terhadap sejarah penerapan syariat Islam pada masa dulu. Dalam banyak buku yang ditulis atau diterbitkan, sangat jelas terlihat bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir telah mengkritik berbagai macam kesalahan penerapan syariat Islam pada masa dulu, yaitu pada masa diterapkannya sistem Khilafah.


Dan perlu diketahui, kritik ini bukan hanya kritik atas kesalahan-kesalahan yang selama ini kasat mata di hadapan kebanyakan orang, seperti: kelompok Muktazilah yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah selama beberapa waktu, perjalanan sejarah kekhalifahan bani Umayyah yang berdarah-darah, peristiwa Karbala yang menumpahkan darah cucu Rasulullah, kezaliman dan kefasikan Yazid bin Muawiyah (Yazid I), pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah yang menjadi cikal bakal sistem dinasti (wilayatul 'ahdi), dan lain-lain. Ini semua adalah cacat sejarah dalam sistem Khilafah yang "kasat mata", siapa pun bisa melihatnya.


Tetapi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir juga telah mengkritisi berbagai kesalahan penerapan langkah-langkah yang ditempuh para khalifah itu dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir memahami bahwa kesalahan-kesalahan tersebut agar tidak lagi terulang di masa yang akan datang saat Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah kembali ada.


Di antara kritik tersebut adalah pengangkatan Yazid bin Muawiyah (Yazid I). Hal ini bisa dijumpai dalam buku Nizhamul Hukmi fil Islam karangan pemimpin Hizbut Tahrir kedua, Syaikh Abdul Qadim Zallum. Tentang hal ini bahwa Syaikh Zallum menyebutnya sebagai "bid'ah" dan kemungkaran yang belum pernah dilakukan para sahabat Rasulullah saw. Padahal, sebagaimana dipahami Hizbut Tahrir, kekhilafahan itu adalah hak kaum muslim, bukan hak bagi keluarga khalifah sebelumnya.


Dalam konteks itu juga, Hizbut Tahrir mengkritik Muawiyah yang mengancam kaum muslim, termasuk dua sahabat yang mulia yaitu Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, dengan uang dan pedang, agar mereka memilih Yazid, anaknya. Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir, khilafah adalah aqad, antara kaum muslim (atau wakilnya) dan calon khalifah. Lantas, bagaimana bisa ada ancaman di sana? Tentu ini adalah sebuah kesalahan.


Kritik yang lain. Dalam buku Ajhizah Daulah al-khilafah disebutkan pada pembahasan tentang wali. Hizbut Tahrir telah mengkritik pandangan tentang pengangkatan wali dengan kepemimpinan umum, agar melakukan pengangkatan wali dengan kepemimpinan khusus. Ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau wali dengan kepemimpinan umum itu memiliki ketakwaan yang lemah. Jika lemah, maka kepemimpinan wali tersebut akan berpotensi memisahkan diri dari khalifah dan memunculkan penguasa-penguasa kecil (di daerah) dalam negara khilafah, sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah. Padahal, kepemimpinan dalam Islam itu bersifat tunggal, dan sistem politik khilafah adalah kesatuan (sentralisasi). Inilah juga yang dulu pernah dijadikan dasar bagi Hizbut Tahrir Indonesia untuk mengkritik dilahirkannya UU Otonomi Daerah di Indonesia, sebab dalam pandangan Hizbut Tahrir (secara teori politik) hal itu bisa berpotensi memecah kesatuan Indonesia.


Hizbut Tahrir juga mengkritik pandangan yang menginginkan khilafah menjadi negara mazhab. Misalnya khilafah berdiri atas dasar Mazhab Hambali, Mazhab Wahabi, Mazhab Asy'ari, Mazhab Muktazilah, atau Mazhab Syiah, dan sebagainya. Sebab, jika khilafah yang berdiri adalah khilafah mazhabiyah, maka secara politik hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai macam konflik horizontal dan menimbulkan kemadharatan sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Bani Abbasiyah. Walau secara hukum syara' diperbolehkan sebuah negara khilafah menganut suatu mazhab tertentu, tetapi Hizbut Tahrir mengkritik hal tersebut dan memilih untuk mengadopsi pandangan bahwa negara hendaknya tidak berdiri atas dasar mazhab tertentu.


Kritik lain yang juga dilontarkan terkait syarat bagi seorang khalifah, yaitu harus seorang ulama (atau bahkan mujtahid) dan juga harus keturunan Quraisy. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, kedua jenis syarat tersebut bukanlah syarat in'iqad (syarat pengangkatan), melainkan hanyalah syarat afdhaliyah (keutamaan). Sehingga, kalau pun seorang khalifah itu bukan merupakan seorang mujtahid atau dari keturunan Quraisy, hal itu tidaklah mengapa. Sebab, itu hanyalah syarat keutamaan (lebih utama), dan bukan syarat pengangkatan (sah diangkat). Dalil-dalil yang mewajibkan seorang khalifah harus Quraisy dinyatakan oleh Hizbut Tahrir 'hanyalah' dalil yang bersifat ikhbar (berita), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Pembahasan tentang hal ini, bisa dirujuk di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ulama Hizbut Tahrir semisal an-Nizham al-Hukm fil Islam, atau Ajhizatu Daulah al-Khilafah, atau buku-buku yang lain.


Dalam kritik yang terakhir tersebut, memang Hizbut Tahrir agak bertentangan dengan banyak ulama yang mengharuskan khalifah adalah keturunan Quraisy. Hanya saja, berdasarkan hasil penggalian hukumnya, Hizbut Tahrir meyakini bahwa syarat tersebut adalah syarat keutamaan. Sehingga pendapat ini tetap dipegang oleh Hizbut Tahrir sekalipun bertentangan dengan pendapat banyak ulama. Dan Hizbut Tahrir tidak sendiri dalam hal ini. Syaikh Dr. Muhammad Yusuf Musa dari kalangan ulama kontemporer pun menyatakan hal yang sama. Dalam buku al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami (terjemahannya Pengantar Studi Fikih Islam) beliau mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa ketika orang-orang Quraisy sudah mulai melemah kecakapannya dalam kepemimpinan, sudah mulai bercerai berai (saling bertikai) dan terbuai dengan dunia, maka syarat ini sudah tidak lagi relevan. Juga karena Asy-Syari' (Allah swt) tidak mengkhususkan hukum pada suatu generasi tertentu. Ketika mengutip ini, Dr. Muhammad Yusuf Musa pun menyetujuinya.


Ini adalah sekian dari berbagai kritik Hizbut Tahrir terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam sistem Khilafah pada masa dulu. Hanya orang-orang yang berhati bersih lah yang akan mampu mencerna itu semua. Namun bagi orang yang di dalam hatinya bersembunyi rasa dengki, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun selain rasa dengki yang terus tumbuh. Para pendengki itu mengkaji sejarah khilafah, bukan untuk diambil pelajaran darinya. Melainkan untuk dijelek-jelekkan, karena hanya membongkar keburukannya. Jika ini dilakukan oleh orang kafir yang memusuhi Islam, barangkali kita bisa memakluminya. Tapi mungkinkah orang Islam melakukan hal semacam itu?


[Rijal Ghazali]

Tabanni dan Qiyas di dalam Ushul Fikih

 بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Tabanni dan Qiyas di dalam Ushul Fikih

Kepada Yahya Abu Zakariya


Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah menjaga Anda syaikhuna dan menolong Anda dalam mengemban amanah dan menguatkan Anda dengan pertolongan-Nya dalam waktu dekat dengan izin-Nya SWT.

Perkenankan saya syaikhuna dengan pertanyaan ini, semoga Allah menjaga Anda dan menambah Anda kekuatan dalam ilmu dan kesehatan.

Pertanyaan tentang ushul fikih.

Dinyatakan di buku asy-Syakhishiyyah al-Islâmiyyah juz I dalam topik al-Ijtihâd: “dan termasuk ijtihad adalah ucapan Ali ra tentang had minum khamr “siapa yang meminum, dia mabuk, dan siapa yang mabuk dia mengigau bicara tidak karuan, dan siapa yang mengigau bicara tidak karuan maka dia membuat kebohongan, maka saya berpandangan baginya had orang yang membuat kebohongan (al-muftarî)”. Dan ia mengqiyaskan minum khamr kepada qadzaf sebab minum khamr itu dapat mengantarkan kepada qadzaf, sebagai bentuk perhatian kepada bahwa syara’ menempatkan apa yang mengantarkan kepada sesuatu pada posisi sesuatu itu sendiri, sebagaimana syara’ menempatkan tidur pada posisi hadats, dan sebagaimana syara’ menempakan hubungan badan dalam mewajibkan iddah  pada posisi hakikat sibuknya rahim. Semua ini merupakan ijtihad dari shahabat ridhawnullâh ‘alayhim dan merupakan ijmak mereka atas ijthad”, selesai kutipan.

Pertanyaan: kita mengadopsi bahwa hudud, kafarah, rukhshah dan ibadah, di dalamnya tidak berlaku qiyas.

Lalu bagaimana kita menqiyaskan had minum khamr terhadap had qadzaf dengan ‘illat bahwa minum khamr dapat mengantarkan kepada qadzaf?

Dan jika syara’ telah menjadikan tidur membatalkan wudhu dan menempatkan pada posisi hadats sebab dapat mengantarkan kepada hadats. Apakah mungkin mengqiyaskan tertutupnya akal, mabuk dan gila, karena itu dapat mengantarkan kepada hadats? Padahal ini termasuk ibadah. Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda .


Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama: benar ada perkara-perkara yang tidak kita adopsi:

1- Dinyatakan di buku Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr halaman 36-41 file word:

[Sistem-sistem Islam merupakan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah dan uqubat.

Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak disertai ‘illat. Rasul saw bersabda:

«حُرِّمَتِ الْخَمْرَةُ لِعَيْنِهَا»

“Khamr diharamkan karena zatnya”.

Adapun hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan muamalah dan uqubat maka disertai ‘illat. Sebab hukum syara’ di situ dibangun di atas ‘illat yang merupakan sesuatu yang membangkitkan pensyariatan hukum ... Maka nas yang di dalamnya dinyatakan hukum disertai ‘illat maka hukum itu memiliki ‘ilat dan dapat dilakukan qiyas terhadapnya. Dan nas yang di dalamnya dinyatakan hukum tidak disertai ‘illat maka tidak mengandung ‘illat sama sekali dan berikutnya terhadapnya tidak bisa diqiyaskan], selesai.

2- Dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii bab Syurûth Hukmi al-Ashli” halaman 346-347 file word:

[Yang kelima: hukum asal itu harus tidak dialihkan dari norma qiyas. Adapun apa yang dialihkan dari norma qiyas ada dua bagian:

Pertama: apa yang maknanya tidak dipahami, dan itu ada kalanya dikecualikan dari kaedah umum atau diawali dengannya. Apa yang dikecualikan dari kaedah umum semisal penerimaan kesaksikan Khuzaimah seorang diri, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Meski keberadaannya tidak dapat dipikirkan maknanya, dia dikecualikan dari kaedah umum. Sedangkan yang diawali dengannya, seperti jumlah rakaat, penentuan nishab zakat, kadar hudud dan kafarah. Seiring dengan keberadaannya tidak dapat dipikirkan maknanya, hanya saja dia dikecualikan dari kaedah umum. Di atas kedua penetapan itu, maka qiyas terhalang di dalamnya ...) selesai.

Kedua: adapun bagaimana tabanni (pengadopsian), maka untuk menjelaskannya kami sebutkan perkara-perkara berikut:

1- Dinyatakan di dalam penjelasan Pasal 3 Muqadimah ad-Dustûr:

( ... yang demikian itu bahwa hukum syara’ dan itu adalah seruan asy-Syari’ berkaitan dengan perbuatan hamba yang ada di dalam al-Quran dan hadits. Di situ ada banyak yang mengandung makna-makna menurut bahasa arab dan menurut syara’. Oleh karena itu, adalah wajar dan niscaya, orang berbeda dalam memahaminya ...

Olehnya itu merupakana hal yang wajib bagi seorang muslim untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu ketika dia mengambil hukum untuk perbuatan baik dia seorang mujtahid ataupun muqallid, khalifah atau bukan khalifah ...).

2- Dinyatakan di penjelasan Pasal 4 Muqaddimah ad-Dustûr sebagai berikut:

[Hanya saja, dari kejadian al-Ma’mun tentang fitnah kemakhlukan al-Quran tampak bahwa tabanni (pengadopsian) dalam pemikiran berkaitan dengan akidah telah menimbbulkan persoalan-persoalan untuk khalifah dan menimbulkan fitnah di antara kaum Muslim. Karena itu, khalifah berpandangan untuk tidak melakukan tabanni (pengadopsian) dalam akidah dan ibadah untuk menjauhkan dari persoalan dan perhatian terhadap keridhaan dan ketenteraman kaum Muslim. Tetapi tidak adanya pengadopsian (tabanni) dalam akidah dan ibadah itu tidak bermakna bahwa haram bagi khalifah mengadopsi dalam akidah dan ibadah itu. Tetapi maknanya adalah bahwa khalifah memilih untuk tidak mengadopsi dalam akidah dan ibadah. Sebab khalifah boleh mengadopsi dan juga boleh tidak mengadopsi, lalu khalifah memilih tidak mengadopsi. Olehnya itu di dalam Pasal tersebut digunakan ungkapan “tidak mengadopsi -lâ yatabannâ-”, dan tidak digunakan ungkapan “tidak boleh mengadopsi -lâ yajuzu an yatabannâ-”, yang menunjukkan bahwa khalifah memilih untuk tidak mengadopsi].

3- Dinyatakan di dalam Nasyarah Tabanni yang dikeluarkan pada 14/7/1998 sebagai berikut:

(... Tegaknya partai di atas ide dengan semua perbedaaan pendapat padanya dalam ushul dan furu’ merupakan perkara yang tidak mungkin, dan tidak sesuai dengan sebutan partai secara bahasa. Hizbu ar-rajuli, mereka adalah teman-teman orang itu yang berada di atas pendapatnya. Dari sini maka ide tabanni menjadi keharusan untuk Hizb. Karena itulah, di antara sifat terdepan Hizbut Tahrir sebagai partai ideologis adalah tabanni. Tabanni ini lah yang menjadikan Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai. Sebab Hizb tidak menjadi sebuah partai sampai memiliki pandangan yang satu pada setiap pemikiran, pandangan atau hukum syara’ yang mengikatnya. Sebab jika tidak ada pada Hizb kesatuan pemikiran maka tidak akan ada kesatuan entitas yang padu... (20 Rabi’ul Awwal 1419 H/14 Juli 1998 M).

Ketiga: sebagaimana yang Anda lihat dari apa yang telah disebutkan di atas, seorang muslim harus mengadopsi pada setiap apa yang dia perlukan baik dia seorang khalifah, ketua partai atau individu. Ini dari sisi asal pada setiap perkara. Hal itu sesuai hukum syara’ berkaitan dengan kewenangannya dan batas-batas tabanni yang diizinkan untuknya ... Tetapi, Hizb berpandangan setelah kejadian al-Ma’mun, untuk tidak mengadopsi dalam akidah dan ibadah dengan pengecualian beberapa keadaan ... Kemudian Hizb menjadikan tabanni pada perkara-perkara dan tidak mengadopsi dalam perkara-perkara  karena sebab-sebab yang telah disebutkannya ...

Keempat: dan pertanyaan Anda tentang ijtihad Ali pada topik had peminum khamr, hal itu terjadi pada masa para shahabat. Mereka berijtihad dengan ijtihad yang syar’iy pada segala perkara.  Ketika Umar meminta pendapat mereka tentang had tertinggi pada kasus minum khamr, dinyatakan ijtihad-ijtihad ini dan di antaranya ijtihad Ali yang disebutkan ... Dan masalah tersebut telah kami jelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I. Di situ dinyatakan: ( ... dan ini yang tawatur kepada kita dari mereka secara tawatur tidak ada keraguan di dalamnya. Di antara hal itu, ucapan Abu Bakar ketika ditanya tentang al-kalâlah. Abu Bakar berkata: “saya katakan tentangnya dengan pendapatku. Jika benar maka itu berasal dari Allah, dan jika keliru maka itu berasal dariku dan dari setan, sementara Allah bebas darinya. Al-kalâlah adalah orang yang tidak punya anak dan bapak”. Dan ucapan Abu Bakar “aku katakan tentangnya dengan pandanganku” bukan bermakna bahwa pendapat ini berasal dari dirinya sendiri. Tetapi maknanya, saya katakan apa yang saya pahami dari lafal kalâlah di dalam ayat tersebut ...

Dan di antara ijtihad itu, dikatakan kepada Umar bahwa Samurah mengambil khamr dari para pedagang Yahudi pada ‘usyur dan menjadikannya cuka dan dia jual. Maka Umar berkata: “semoga Allah membinasakan Samurah,  Tidak kah dia tahu bahwa Nabi sw bersabda:

«لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمُ فَجَمَلُوْهَا فَبَاعُوْهَا» رواه مسلم من طريق ابن عباس

“Allah melaknat Yahudi, telah diharamkan bagi mereka lemak (gajih) lalu mereka cairkan dan mereka jual” (HR Muslim dari jalur Ibnu Abbas). 

Jadi Umar mengqiyaskan khamr terhadap lemak (gajih) dan bahwa pengharamannya adalah pengharaman harganya.

Di antara ijtihad itu adalah ucapan Ali ra tentang had minum khamr.

«مَنْ شَرِبَ هَذَى وَمَنْ هَذَى اِفْتَرَى فَأَرَى عَلَيْهِ حَدُّ الْمُفْتَرِيْ»

“Siapa yang minum (khamr) dia mengigau bicara tidak karuan dan siapa yang mengigau bicara tidak karuan maka dia membuat kebohongan, maka saya berpandangan terhadapnya (dijatuhkan) had orang yang membuat kebohongan”.


Ali mengqiyaskan minum khamr terhadap qadzaf sebab minum khamr dapat mengantarkan kepada qadzaf. Hal itu memperhatikan bahwa syara’ menjadikan hal yang dapat mengantarkan kepada sesuatu pada posisi sesuatu itu sendiri, sebagaimana syara’ menempatkan tidur pada posisi hadats, dan sebagaimana syara’ menempatkan hubungan badan dalam mewajibkan ‘iddah pada posisi hakikat sibuknya rahim. Semua ini merupakan ijtihad dari para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim dan merupakan ijmak dari para shahabat atas ijtihad ...) selesai.

Seperti yang Anda lihat, seseorang harus mengadopsi pada setiap yang dia perlukan ... Tetapi, berdasarkan pemahaman kami terhadap kejadian pada masa al-Ma’mun, kami berpandangan untuk tidak mengadopsi dalam perkara-perkara dan kami mengadopsi dalam perkara-perkara lainnya ... dan topik ijtihad Ali ra yang Anda tanyakan, adalah terjadi pada masa para shahabat, yakni sebelum kejadian al-Ma’mun.

Adapun masalah had orang yang minum khamr, maka di situ ada dalil-dalil dari as-Sunnah dan Ijmak bahwa hadnya 40 kali dera atau 80 kali dera, dan itu ditetapkan dengan dalil-dalil yang shahih hingga bahwa telah shahih dari Ali ra sebagaimana yang ada di riwayat Ibnu Abiy Syaibah dari Abu Abdurrahman as-Sulami dari Ali, ia berkata:

شَرِبَ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ اْلْخَمْرَ وَتَأَوَّلُوْا اْلآيَةَ الْكَرِيْمَةَ، فَاِسْتَشَارَ فِيْهِمْ (يَعْنِي عُمَرٌ) فَقُلْتُ: أَرَىْ أَنْ تَسْتَتِيْبَهُمْ، فَإِنَّ تَابُوْا ضَرَبْتَهُمْ ثَمَانِيْنَ، وَإِلَّا ضَرَبْتَ أَعْنَاقَهُمْ لِأَنَّهُمْ اِسْتَحَلُّوْا مَا حُرِّمَ، فَاِسْتَتَابَهُمْ فَتَابُوْا، فَضَرَبَهُمْ ثَمَانِيْنَ ثَمَانِيْنَ

“Sekelompok orang dari penduduk Syam minum khamr dan mereka menakwilkan ayat yang mulia, lalu Umar meminta pendapat tentang mereka, maka aku katakan: “saya berpandangan, engkau minta mereka bertaubat, jika mereka bertaubat maka engkau dera mereka 80 kali dan jika tidak (bertaubat) maka engkau penggal leher mereka sebab mereka telah menghalalkan apa yang telah diharamkan. Maka Umar meminta mereka bertaubat dan mereka pun bertaubat dan Umar mendera mereka (masing-masing) 80 kali, 80 kali”.


Demikian juga, imam Muslim telah mengeluarkan di dalam hadits Hudhayn bin al-Mundzir tentang jilid al-Walid bahwa Ali bin Abiy Thalib ra berkata:

جَلَدَ النَّبِيُّ ﷺ أَرْبَعِيْنَ، وَأَبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وَعُمَرٌ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ

Nabi saw mendera 40 kali, dan Abu Bakar mendera 40 kali dan Umar mendera 80 kali, dan semuanya adalah sunnah.

Kedua had ini merupakan had orang yang minum khamr. Dan tidak boleh selain kedua had ini secara mutlak. Sebab tidak ada dari Nabi saw dan tidak pula dari para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim bahwa beliau mendera selain 40 kali dan 80 kali ... Namun, bahwa boleh bagi khalifah untuk mewajibkan salah satunya. Yakni khalifah boleh memerintahkan salah satunya secara mengikat dan menjadikannya wajib. Sebab jika dia mewajibkan 80 kali maka yang 40 kali yang ditetapkan degan as-sunnah tercakup di dalamnya dan tambahan itu boleh dengan penilaian apa yang disepakati para shahabat adalah 80 kali. Dan jika khalifah mewajibkan 40 kali dera maka itu telah ditetapkan dengan as-Sunnah. Dan tambahan atas hal itu adalah boleh untuk imam, dan bukan wajib baginya. Maka tidak ada masalah baginya mewajibkan 40 kali dera saja.

Kelima: adapun pertanyaan Anda yang lain: (dan jika syara’ telah menjadikan tidur membatalkan wudhu dan menempatkannya pada posisi hadats karena dapat mengantarkan kepada hadats ... Lalu apakah mungkin kita qiyaskan atasnya, tertutup akal, mabuk dan gila karena semuanya itu mengantarkan kepada hadats, padahal ini semua termasuk bagian dari ibadah? ...). Jawabannya, bahwa di sini kita tidak mengqiyaskan, tetapi kita jawab sebagaimana yang ada di Ahkâm ash-Shalâh: (dan juga membatalkan wudhu adalah tidur, dan tertutup akal dengan selain tidur ... Adapun hilangnya akal dengan selain tidur maka itu adalah gila, tertutup akalnya, mabuk, atau sakit sehingga hilang akalnya sehingga wudhunya batal ... Dalil atas hal itu adalah Ijmak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir) selesai.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah-masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.


Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


27 Rabi’ul Awwal 1443 H

03 November 2021 M


https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/78530.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/3054830578096279


Thursday, November 11, 2021

Kritik Terhadap Fatwa MUI, Republik Bertentangan 180 Derajat dengan Model Kepemimpinan dalam Islam

 Kritik Terhadap Fatwa MUI, Republik Bertentangan 180 Derajat dengan Model Kepemimpinan dalam Islam

.

.

Ijtimak Komisi Fatwa MUI yang menegaskan khilafah sebagai model kepemimpinan dalam Islam patut diapresiasi karena memang itu benar adanya. Tetapi kesimpulan Ijtimak Komisi Fatwa MUI yang menyebut republik di Indonesia termasuk model kepemimpinan dalam Islam tentu saja keliru dan wajib dikritisi. 

.

Setidaknya ada tujuh alasan yang menegaskan sistem pemerintahan republik yang diterapkan di Indonesia bukanlah mencakup model kepemimpinan dalam Islam. Justru bisa dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sedangkan khilafah, memang benar merupakan model kepemimpinan dalam Islam. 

.

Alasan tersebut tentu saja berdasarkan timbangan Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana Allah SWT berfirman:

.

_“Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits)”_ (QS An-Nisa' [4]: 59).

.

.

Pertama, republik di Indonesia identik dengan demokrasi yang secara konsep meniscayakan kedaulatan di tangan rakyat (apalagi secara de facto kedaulatan ada di tangan kafir penjajah dan oligarki). Sedangkan dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan di tangan As-Syaari' (Allah SWT).

.

Timbangan: 

.

Allah SWT berfirman, yang artinya: "Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah" (TQS Yusuf [12]: 40).

.

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI menafsirkan ayat tersebut dengan, "Keputusan yang adil tentang akidah, ibadah, dan ketentuan dalam muamalah yang benar itu hanyalah milik Allah, karena Dialah pencipta segalanya sehingga mengetahui segala sesuatu tentang ciptaan-Nya."

.

Maka tak aneh, meski Indonesia mengakui Ketuhanan yang Maha Esa dan kemerdekaan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa tetapi aturan dari Tuhan yang Maha Esa alias Allah yang Mahakuasa tidak diterapkan secara kaffah baik dalam bidang akidah, ibadah maupun  muamalah. Karena kedaulatannya secara de jure ada di tangan rakyat dan secara de facto ada di kafir penjajah dan oligarki.

.

Sedangkan dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan di tangan As-Syaari' (Allah SWT). Sangat sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Yusuf [12]: 40 tersebut.

.

.

Kedua, sumber hukum republik/demokrasi di Indonesia campur aduk antara yang hak dan batil. Bahkan bisa dikatakan terlalu banyak batilnya.

.

Dalam republik/demokrasi di Indonesia syariat Islam bisa jadi sebagai salah satu bukan sebagai satu-satunya sumber hukum sehingga tercampurlah antara yang hak (syariat Islam) dan yang batil (bukan syariat Islam). Sedangkan dalam khilafah, syariat Islam sebagai satu-satunya sumber hukum.

.

Timbangan:

.

“Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 42).

.

.

Ketiga, tugas kepala negara republik/demokrasi di Indonesia menerapkan aturan buatan manusia.

.

Dalam negara republik/demokrasi di Indonesia, kepala negara (presiden) secara de jure bertugas untuk menerapkan aturan buatan manusia (DPR) secara de facto bertugas menerapkan aturan buatan kafir penjajah dan oligarki. Sedangkan dalam khilafah kepala negara (khalifah/imam/amirul mukminin) bertugas untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.

.

Timbangan:

.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS Al Maidah [5]: 44).

.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS Al Maidah [5]: 45).

.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah [5]:47).

.

.

Keempat, masa jabatan kepala negara republik/demokrasi di Indonesia priodik.

.

Dalam sistem republik/demokrasi di Indonesia masa jabatan presiden periodik 5 tahun sekali. Sedangkan dalam khilafah tidak ada periodeisasi, diganti hanya ketika melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat.

.

Timbangan:

.

“Dengar dan taatilah pemimpin kalian sekali pun yang memimpin adalah seorang budak hitam, yang kepalanya seperti dipenuhi bisul”_ (HR al-Bukhari). Dalam riwayat lain, yakni riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan: _“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah”_ (HR Muslim).

.

.

Kelima, republik/demokrasi memecah belah kaum Muslim Indonesia dengan kaum Muslim di belahan dunia lainnya. 

.

Kepala negara dalam demokrasi merupakan pemimpin negara bangsa, sehingga kaum Muslim saat ini terpecah ke dalam lebih dari 57 negara bangsa (baik kerajaan maupun republik). Kepala negara dalam khilafah merupakan kepemimpinan umum kaum Muslim sedunia dan menyatukan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia.

.

Timbangan:

.

“Jika dibai'at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim dari Abu Sa’id al Khudri). Maknanya, kaum Muslim haram dipimpin oleh lebih dari satu pemimpin.

.

.

Keenam, demokrasi tidak sesuai dengan misi penciptaan manusia.*

.

Dalam demokrasi taat kepada presiden tidak termasuk ibadah malah terkategori maksiat. Alasannya sudah disebutkan pada poin pertama, kedua dan ketiga. "Tidak boleh taat kepada makhluk untuk maksiat kepada Khalik (Pencipta)” (HR Muslim dan Tirmidzi). Sedangkan dalam khilafah, taat kepada khalifah termasuk ibadah. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits)" (QS an-Nisa' [4]: 59).

.

Timbangan:

.

“Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS adz-Dzariyyat [51]: 56).

.

.

Ketujuh, sanad demokrasi tidak nyambung ke Nabi dan Khulafaur Rasyidin.

.

Penerapan republik/demokrasi dicontohkan kaum kafir yang pasti masuk neraka. Sedangkan penerapan khilafah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahuanhum) yang dijamin masuk surga.

.

Timbangan:

.

“Wajib atasmu memegang teguh Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara-perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).[]

.

.

Depok, 6 Rabiul Akhir 1443 H | 11 November 2021 M

.

.

Joko Prasetyo

Jurnalis

Sunday, November 7, 2021

Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban

 Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban?


Soal:


Dengan keberhasilan Taliban menguasai kembali Afganistan, setelah 20 tahun berperang melawan AS dan pasukan koalisi, istilah “Imarat Islamiyyah” yang pernah digunakan dan diterapkan Taliban kembali menguat. Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban? Apakah sama dengan Khilafah?


 


Jawab:


Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa aspek politik yang harus dikemukakan, agar pertanyaan ini bisa dijawab dengan tepat.


Pertama: Taliban pernah berkuasa di Afganistan selama 1996 sampai 2001, atau 5 tahun. Ketika itu mereka sudah menerapkan apa yang disebut “Imarat Islamiyyah”, dengan menerapkan syariah Islam. Namun, dalam praktiknya, banyak penerapan hukum-hukum syariah yang tidak tepat, seperti melarang wanita bekerja, pergi ke sekolah, dan sebagainya.


Kedua: Saat berkuasa, Taliban pernah ditawari oleh Hizbut Tahrir, untuk mendirikan Khilafah dengan konsepnya yang sudah sangat jelas dan siap diterapkan dalam kehidupan, tetapi dengan tegas tawaran itu ditolak.


Ketiga: Taliban, sebelum diserang oleh Amerika dan koalisinya, pasca serangan WTC, 11 September 2001, telah melakukan penghancuran terhadap patung Budha, yang sempat dikritik oleh para ulama, termasuk Hizbut Tahrir. Pasalnya, ini merupakan perkara mubah, yang bisa dieksploitasi oleh negara-negara kafir penjajah untuk menyerang Afganistan, dengan alasan melindungi situs purbakala internasional. Akhirnya, terbukti. Serangan itu terjadi, tepat setelah Peristiwa 11/09/2001. Ini membuktikan kesadaran politik Taliban sebagai gerakan jihad dan politik sangat lemah.


Keempat: Setelah AS dan Koalisi menduduki Afganistan, selama 20 tahun, dan berperang melawan Taliban, mereka kalah. Lebih dari 4500 tentara AS mati sia-sia. Belum lagi tentara koalisi. Karena itu AS mencari cara agar bisa keluar dari Afganistan tanpa kehilangan muka. Sejak George W. Bush Junior lengser, digantikan Obama, keputusan penarikan pasukan AS dari Afganistan dan Irak dilakukan secara bertahap.


Keputusan final akhirnya dilakukan oleh Donald Trump, setelah menandatangi Perjanjian 29/02/2020 yang lalu. Namun, AS tidak ingin terlihat kalah. Karena itu AS sebelumnya meminta bantuan Inggris. Melalui tangan Qatar, Taliban diberi fasilitas membuka Kantor Perwakilan Politiknya di Qatar. Dari sini, Taliban mulai bisa keluar melakukan hubungan dengan berbagai pihak, termasuk ke Indonesia, dengan menemui sejumlah kalangan.


Isi perjanjian itu, antara lain, AS bersedia menarik pasukannya dari Afganistan. Karena itu rezim boneka yang dibentuk AS di Afganistan kehilangan sandaran kekuasaan, karena tidak didukung umat, dan pasukan AS. Karena itu dengan mudah Taliban, yang sudah menguasai 85% wilayah, akhirnya berhasil menguasai Kabul dan Istana Presiden Asyraf Ghani. Sang Presiden pun kabur dari sana.


Kelima: Setelah Taliban berkuasa, pada masa transisi ini, Taliban telah mengumumkan bentuk pemerintahannya, yaitu “Imarat Islamiyyah”, sebagaimana dulu pernah mereka terapkan selama 5 tahun. Namun, karena pengalaman buruk pada masa lalu, banyak muncul kekhawatiran. Karena itu Taliban melakukan berbagai kunjungan ke sejumlah instansi pemerintahan, termasuk menemui bekas Presiden sebelumnya, Hamid Karzai, yang notabene adalah antek Amerika.


Taliban saat ini memang melunak. Tidak seperti Taliban yang dulu. Karena itu “Imarat Islamiyyah” yang saat ini hendak diterapkan kemungkinan akan berbeda wajahnya dengan “Imarat Islamiyyah” yang dulu pernah mereka terapkan. Hanya saja, ada satu hal yang sama, lemahnya kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan.


Keenam: Masuknya Cina, Rusia dan tekanan dunia internasional kepada Taliban, ditambah dengan lemahnya kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan, dikhawatirkan akan membelokkan Taliban dari visi dan misi perjuangannya, memenangkan Islam dan kaum Muslim. Bukan sekadar berkuasa kembali. Apalagi melakukan Sinkretisme Islam dengan Sekularisme.


Tentu kita tetap berharap dan berdoa kepada Allah agar Allah menyelamatkan mereka dari berbagai jebakan setan yang terkutuk, baik dari kalangan jin maupun manusia. Dengan demikian kemenangan yang mereka raih tidak berujung pada kesia-siaan.


Karena itu berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menyimpulkan:


Pertama, “Imarat Islamiyyah” yang pernah diterapkan 5 tahun, antara 1996-2001, ketika Taliban berkuasa, jelas berbeda dengan Khilafah. Perbedaannya:


Khilafah adalah Negara Islam untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Sebaliknya, “Imarat Islamiyyah” adalah negara yang diklaim menerapkan Islam, hanya untuk wilayah tertentu, yaitu Afganistan.

Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah, yang dipilih oleh seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Sebaliknya, “Imarat Islamiyyah” dipimpin oleh seorang Amir, yang dipilih oleh rakyat di wilayah tertentu. Bahkan lebih spesifik lagi, dipilih oleh kalangan tertentu di kalangan mereka, baik yang disebut Ahlul Halli wa al-‘Aqdi, maupun yang lain.

Dalam praktiknya, “Imarat Islamiyyah” telah menerapkan syariah Islam meski tidak sempurna. Termasuk adanya sejumlah kesalahan dalam penerapannya, seperti larangan perempuan bekerja dan pergi ke sekolah. Berbeda dengan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah, yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dan sempurna. Karena itu kesalahan-kesalahan dalam penerapan syariah Islam seperti ini, insya Allah, tidak akan terjadi.

 


Kedua, adapun “Imarat Islamiyyah” yang akan mereka terapkan saat ini, jika faktor kelemahan kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan masih ada, ditambah tingginya tekanan dunia internasional, dan agen-agen mereka di dalam negeri, maka tidak menutup kemungkinan kompromi politik akan dilakukan, meski hasilnya, tetap dengan menggunakan nama “Imarat Islamiyyah”.


Jika ini sampai terjadi maka bentuk “Imarat Islamiyyah” Taliban ke depan justru semakin jauh dari Islam. Fa al-‘iyadzu billah. Kalau begitu, di mana masalahnya?


Sinkretisme Islam dengan Sekularisme. Apalagi dengan melabelinya dengan label Islam. Ini jelas haram. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢

Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan serta menutupi kebenaran, sementara kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 42).

 


Islam wajib diterapkan secara kaffah, tidak boleh setengah-tengah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh kalian yang nyata  (QS al-Baqarah [2]: 208).

 


Selebihnya, apakah kelak “Imarat Islamiyyah” Taliban akan menerapkan Islam secara kaffah, hingga menjadi tonggak tegaknya Khilafah, atau tidak, kembali kepada para pejuang yang ikhlas. Jika mereka berjuang karena Allah, dan benar-benar ingin menerapkan Islam secara kaffah, maka dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya serba mungkin. Dengan catatan, mereka harus mempunyai kesadaran politik dan pemahaman terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan dengan benar, jelas dan jernih. Jika semuanya itu ada, dengan izin dan pertolongan Allah, mereka akan menemukan Islam yang hendak mereka terapkan.


Namun, jika tidak, mereka akan kembali kalah, setelah mendapatkan kemenangan dalam perang 20 tahun. Kekalahan yang mungkin tidak mereka sadari. Sebaliknya, kaum kafir penjajah akan meraih kemenangan yang tidak bisa mereka raih melalui peperangan panjang.


WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Sunday, October 31, 2021

"HUBBUL WATHON MINAL IMAN” HADITS PALSU

 "HUBBUL WATHON MINAL IMAN” HADITS PALSU


Oleh : Muhammad Shiddiq al-Jawi


Ungkapan “hubbul wathon minal iman” memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits. Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.


Namun sayang, sebenarnya ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.


Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :


1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan


2.. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.


Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :


1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);


2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);


3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).


Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits “hubbul wathon minal iman”.


Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul wathon minal iman” adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.


Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.


Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.


Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :


1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;


2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;


3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.


(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)


Ringkasnya, ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’) alias bukanlah hadits Nabi SAW.


Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i,Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).


Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).


Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan “hubbul wathon minal iman”sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :


“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (Hadits Mutawatir).


Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit, mencekik, dan membelenggu.


Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan Allah ini telah dekat kepada kita semua. Aamiin. [ ]