Saturday, November 13, 2021

Kritik hizbut tahrir terhadap sistem khilafah

 Kritik hizbut tahrir terhadap sistem khilafah


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang ulama dan pemikir yang revolusioner. Pemikirannya telah mengkritik berbagai pemikiran yang selama ini banyak dianut orang sebagai akibat dari sistem kapitalis yang selama ini ditancapkan di seluruh dunia. Mulai dari pemikiran tentang persoalan politik, ekonomi, sosial, fikih, bahkan pemikiran secara umum. Tidak cukup di situ, setelah melakukan kritik yang tajam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan pandangan atau pendapatnya dengan argumentasi yang kokoh. Hal itu bisa dilihat dari berbagai karya atau buku-buku yang dihasilkannya.


Namun, agaknya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memang kurang begitu dikenal dari buku-bukunya (pemikiran-pemikirannya) kecuali setelah mengenalnya sebagai sosok aktivis pergerakan perjuangan Islam. Beliau adalah pendiri atau muasis kelompok Islam Hizbut Tahrir yang sangat getol menyuarakan khilafah. Seperti kebiasaan orang atau kelompok yang memperjuangkan sesuatu, terkadang justru melakukan "pengkultusan" terhadap apa yang diperjuangkannya. Di sebagian kasus, kelompok Hizbut Tahrir dituduh sering melakukan pembelaan terhadap sistem khilafah yang diperjuangkannya. Padahal siapa pun bisa melihat, bahwa perjalanan sistem khilafah tidak selalu berjalan mulus sebagaimana mestinya. Begitulah realitas sejarah.


Namun, siapa pun yang berhati bersih dan memiliki akal yang jernih, maka akan melihat bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan jamaah dakwah yang didirikannya telah memberikan kritik terhadap sejarah penerapan syariat Islam pada masa dulu. Dalam banyak buku yang ditulis atau diterbitkan, sangat jelas terlihat bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir telah mengkritik berbagai macam kesalahan penerapan syariat Islam pada masa dulu, yaitu pada masa diterapkannya sistem Khilafah.


Dan perlu diketahui, kritik ini bukan hanya kritik atas kesalahan-kesalahan yang selama ini kasat mata di hadapan kebanyakan orang, seperti: kelompok Muktazilah yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah selama beberapa waktu, perjalanan sejarah kekhalifahan bani Umayyah yang berdarah-darah, peristiwa Karbala yang menumpahkan darah cucu Rasulullah, kezaliman dan kefasikan Yazid bin Muawiyah (Yazid I), pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah yang menjadi cikal bakal sistem dinasti (wilayatul 'ahdi), dan lain-lain. Ini semua adalah cacat sejarah dalam sistem Khilafah yang "kasat mata", siapa pun bisa melihatnya.


Tetapi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir juga telah mengkritisi berbagai kesalahan penerapan langkah-langkah yang ditempuh para khalifah itu dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir memahami bahwa kesalahan-kesalahan tersebut agar tidak lagi terulang di masa yang akan datang saat Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah kembali ada.


Di antara kritik tersebut adalah pengangkatan Yazid bin Muawiyah (Yazid I). Hal ini bisa dijumpai dalam buku Nizhamul Hukmi fil Islam karangan pemimpin Hizbut Tahrir kedua, Syaikh Abdul Qadim Zallum. Tentang hal ini bahwa Syaikh Zallum menyebutnya sebagai "bid'ah" dan kemungkaran yang belum pernah dilakukan para sahabat Rasulullah saw. Padahal, sebagaimana dipahami Hizbut Tahrir, kekhilafahan itu adalah hak kaum muslim, bukan hak bagi keluarga khalifah sebelumnya.


Dalam konteks itu juga, Hizbut Tahrir mengkritik Muawiyah yang mengancam kaum muslim, termasuk dua sahabat yang mulia yaitu Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, dengan uang dan pedang, agar mereka memilih Yazid, anaknya. Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir, khilafah adalah aqad, antara kaum muslim (atau wakilnya) dan calon khalifah. Lantas, bagaimana bisa ada ancaman di sana? Tentu ini adalah sebuah kesalahan.


Kritik yang lain. Dalam buku Ajhizah Daulah al-khilafah disebutkan pada pembahasan tentang wali. Hizbut Tahrir telah mengkritik pandangan tentang pengangkatan wali dengan kepemimpinan umum, agar melakukan pengangkatan wali dengan kepemimpinan khusus. Ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau wali dengan kepemimpinan umum itu memiliki ketakwaan yang lemah. Jika lemah, maka kepemimpinan wali tersebut akan berpotensi memisahkan diri dari khalifah dan memunculkan penguasa-penguasa kecil (di daerah) dalam negara khilafah, sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah. Padahal, kepemimpinan dalam Islam itu bersifat tunggal, dan sistem politik khilafah adalah kesatuan (sentralisasi). Inilah juga yang dulu pernah dijadikan dasar bagi Hizbut Tahrir Indonesia untuk mengkritik dilahirkannya UU Otonomi Daerah di Indonesia, sebab dalam pandangan Hizbut Tahrir (secara teori politik) hal itu bisa berpotensi memecah kesatuan Indonesia.


Hizbut Tahrir juga mengkritik pandangan yang menginginkan khilafah menjadi negara mazhab. Misalnya khilafah berdiri atas dasar Mazhab Hambali, Mazhab Wahabi, Mazhab Asy'ari, Mazhab Muktazilah, atau Mazhab Syiah, dan sebagainya. Sebab, jika khilafah yang berdiri adalah khilafah mazhabiyah, maka secara politik hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai macam konflik horizontal dan menimbulkan kemadharatan sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Bani Abbasiyah. Walau secara hukum syara' diperbolehkan sebuah negara khilafah menganut suatu mazhab tertentu, tetapi Hizbut Tahrir mengkritik hal tersebut dan memilih untuk mengadopsi pandangan bahwa negara hendaknya tidak berdiri atas dasar mazhab tertentu.


Kritik lain yang juga dilontarkan terkait syarat bagi seorang khalifah, yaitu harus seorang ulama (atau bahkan mujtahid) dan juga harus keturunan Quraisy. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, kedua jenis syarat tersebut bukanlah syarat in'iqad (syarat pengangkatan), melainkan hanyalah syarat afdhaliyah (keutamaan). Sehingga, kalau pun seorang khalifah itu bukan merupakan seorang mujtahid atau dari keturunan Quraisy, hal itu tidaklah mengapa. Sebab, itu hanyalah syarat keutamaan (lebih utama), dan bukan syarat pengangkatan (sah diangkat). Dalil-dalil yang mewajibkan seorang khalifah harus Quraisy dinyatakan oleh Hizbut Tahrir 'hanyalah' dalil yang bersifat ikhbar (berita), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Pembahasan tentang hal ini, bisa dirujuk di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ulama Hizbut Tahrir semisal an-Nizham al-Hukm fil Islam, atau Ajhizatu Daulah al-Khilafah, atau buku-buku yang lain.


Dalam kritik yang terakhir tersebut, memang Hizbut Tahrir agak bertentangan dengan banyak ulama yang mengharuskan khalifah adalah keturunan Quraisy. Hanya saja, berdasarkan hasil penggalian hukumnya, Hizbut Tahrir meyakini bahwa syarat tersebut adalah syarat keutamaan. Sehingga pendapat ini tetap dipegang oleh Hizbut Tahrir sekalipun bertentangan dengan pendapat banyak ulama. Dan Hizbut Tahrir tidak sendiri dalam hal ini. Syaikh Dr. Muhammad Yusuf Musa dari kalangan ulama kontemporer pun menyatakan hal yang sama. Dalam buku al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami (terjemahannya Pengantar Studi Fikih Islam) beliau mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa ketika orang-orang Quraisy sudah mulai melemah kecakapannya dalam kepemimpinan, sudah mulai bercerai berai (saling bertikai) dan terbuai dengan dunia, maka syarat ini sudah tidak lagi relevan. Juga karena Asy-Syari' (Allah swt) tidak mengkhususkan hukum pada suatu generasi tertentu. Ketika mengutip ini, Dr. Muhammad Yusuf Musa pun menyetujuinya.


Ini adalah sekian dari berbagai kritik Hizbut Tahrir terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam sistem Khilafah pada masa dulu. Hanya orang-orang yang berhati bersih lah yang akan mampu mencerna itu semua. Namun bagi orang yang di dalam hatinya bersembunyi rasa dengki, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun selain rasa dengki yang terus tumbuh. Para pendengki itu mengkaji sejarah khilafah, bukan untuk diambil pelajaran darinya. Melainkan untuk dijelek-jelekkan, karena hanya membongkar keburukannya. Jika ini dilakukan oleh orang kafir yang memusuhi Islam, barangkali kita bisa memakluminya. Tapi mungkinkah orang Islam melakukan hal semacam itu?


[Rijal Ghazali]

No comments: