Wednesday, September 11, 2024

METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH

 METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH


Lagi ramai tentang metode ilmiah. Guru Gembul memuja metode ilmiah Barat yang ukuran kebenaran harus empiris yang harus membatalkan banyak sekali silsilah dan status para habaib yang sudah established dalam catatan mereka ratusan tahun. Tulisan ini  tidak akan masuk ke kontroversi nasabnya, melainkan mengkritik metode ilmiah Barat.


Bila Pak Guru sedang memujanya, saya pernah menulis makalah menggugat dan mengkritik metode ilmiah Barat itu 25 tahun lalu alias ¼ abad lalu ketika dosen dan sejarawan UNPAD, Nina Herlina Lubis, dalam makalah Seminar tentang Sunan Gunung Djati di Cirebon tahun 2001, melalui metode ilmiah, dia harus meragukan keberadaan Sunan Gunung Djati karena keberadaan tentang Sultan Cirebon pertama itu sumbernya tak ilmiah atau lemah secara ilmiah. Ilmiah mana yang dimaksud? Dalam pengertian Barat!!


Soal ini, Nina (dulu) tampaknya kurang kritis dan Guru Gembul sekarang tampaknya kurang bacaannya. Selain usia masih muda, mungkin tak mendalami soal metode ilmiah yang di masyarakat Muslim atau tradisi keilmuan Islam, problematik itu.


Ini makalah saya 25 tahun lalu, sebagiannya pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Tulisan ini, konteksnya menanggapi Nina saat itu, tapi masih relevan dan akan terus relevan. Sekarang pun menemukan relevansinya dengan kasus Guru Gembul itu. Mudah²an bermanfaat. Terima kasih kepada Facebook, makalah panjang bisa masuk semua di status. Keren dah 👍☕🚬

________


HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN KRITIK ATAS METODE SEJARAH ILMIAH


Oleh Moeflich Hasbullah


Sejarah ilmiah mengenal adanya teori yang disebut teori sejarah kritis (critical theory of history). Teori ini mengkritik kecenderungan karya-karya sejarah yang ditulis tidak berdasarkan sumber-sumber primer yang kuat seperti subur dalam historiografi tradisional yang mengandalkan sumber-sumber lokal yang umumnya berupa sastra sejarah yaitu babad, cerita, kisah, dongeng dan riwayat yang diwarnai legenda dan mitos. Teori sejarah kritis sangat penting dalam menyaring tingkat validitas atau kebenaran suatu informasi sejarah karena prosesnya sangat ketat. 


Namun, kelemahannya metode ini sangat positivistik dimana sejarah mutlak bergantung pada fakta empirik (hardfact). Sejarah tanpa fakta kuat dan teruji secara teori adalah dusta. Pendekatan ini menjadi problematis terutama ketika diterapkan ke dalam medan historis negara-negara berkembang atau masyarakat tradisional atau kurun sejarah abad-18 ke belakang yang tidak meninggalkan sumber-sumber yang “ilmiah” dalam pengertian Barat. 


Syarif Hidayatullah misalnya, yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati, secara keagamaan sosoknya sangat dihormati dan dipercaya sebagai seorang waliyullah yang kedudukan ruhaninya tinggi sebagai wali qutub. Diantara walisongo, hanya Sunan Gunung Djati yang memiliki posisi sebagai ulama dan raja, wali sekaligus sultan. Dialah sultan pertama kerajaan Islam Cirebon yang menyebarkan Islam di tatar Sunda secara intensif melalui kekuasaannya, mendirikan kesultanan Banten, menaklukan Sunda Kalapa, kerajaan Sunda Pajajaran dan mengakhiri kekuasaan politik Hindu di Jawa Barat. Tak seorang pun meragukan keberadaannya dan tak satu pun fakta keras yang tidak mendukung keberadaannya. 


Tetapi, melalui teori sejarah kritis (menurut Nina dulu), keberadaan Sunan Gunung Djati harus masih mempertanyakan karena analisis historis yang kuat dari berbagai fakta yang saling mendukung menyimpulkan bahwa ia tidak bisa begitu saja dipercaya benar-benar ada.


Metode Sejarah Kritis


Menurut Garraghan (1946), peristiwa sejarah yang benar-benar dapat dipercaya atau diakui kebenarannya (valid) hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyandarkan pada strictly primary sources (sumber-sumber primer yang kuat). Mereka adalah sumber atau penulis sumber yang menyaksikan sendiri (eye-witness), mendengar sendiri (ear-witness) atau mengalami sendiri (the actor) sebuah peristiwa yang dituliskan dalam sebuah sumber. Inilah sumber yang paling terpercaya. Dibawahnya adalah less/contemporary strictly primary sources (masih sumber primer tapi kurang kuat). Bila strictly primary sources merujuk pada saksi mata dan pelaku, less/contemporary strictly primary sources adalah penulis sumber yang bukan saksi atau pelaku tapi hidup sezaman dengan peristiwa. 


Ketika unsur strictly primary source ini sudah terpenuhi, dalam memberikan keterangan sejarah atau menuliskan sumber sejarah, saksi mata yang pernah bertemu, hidup sezaman, mendengar langsung dan sebagai pelaku pun harus benar-benar teruji kejujurannya dalam menggambarkan sebuah peristiwa dan menyampaikan kebenaran. Selain itu, bila ditemukan satu sumber primer yang kuat juga belum cukup. Sumber primer tersebut harus didukung oleh sumber-sumber lain yang “bebas” dan tidak saling mempengaruhi untuk menemukan dukungan penuh kuatnya sebuah fakta. Metode ini disebut metode korborasi.


Selama ini, semua sumber sejarah tentang adanya Sunan Gunung Djati, pendiri kesultanan Islam Cirebon, bersumber dari historiografi tradisional. Sumber-sumber itu adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Tanah Djawi, Babab Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang dan sebagainya. Dari penelitian Dadan Wildan (2001), ditemukan bahwa semua naskah-naskah itu ditulis sejak awal abad ke-18 atau 150 tahun lebih dari masa hidup Sunan Gunung Djati. 


Selama ini, berarti, sejarah Sunan Gunung Djati ditulis hanya berdasarkan naskah-naskah sekunder. Dengan demikian, tingkat kebenarannya lemah. Belum ditemukan sumber-sumber primer yang kuat seperti diharapkan stricly primary resources tentang Sunan Gunung Djati dari naskah-naskah pribumi (lokal) yaitu karya-karya sejarah yang ditulis oleh Sunan Gunung Djati sendiri, oleh keluarganya, oleh sahabatnya atau orang lain yang hidup dekat (serumah, sekeluarga, sekerajaan, sedaerah) atau sezaman yang melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri. 


Dengan demikian, dari perspektif metodologi kritis, kesimpulan yang mesti ditarik adalah sosok dan keberadaan Sunan Gunung Djati hingga saat ini masih diragukan dan perlu dipertanyakan. Analisis ilmiah-akademis belum menunjukkan kebenaran adanya sosok Sunan Gunung Djati pernah hidup di masa silam.


Beberapa Pertanyaan


Metode ketat seperti ini tentu saja penting. Sejarah memang harus dikritisi seradikal mungkin. Sejarah harus dibersihkan dari unsur-unsur mitos dan legenda, agar masyarakat membaca sejarah yang “benar.” Tetapi, pendekatan ini bukan tanpa masalah. Sejarah dan kehidupan tidak sesederhana ilmu pengetahuan modern menganalisisnya. 


Jawablah ini:


Bagaimana membuktikan ribuan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara common sense dipercaya keberadaannya oleh masyarakat tapi tidak memenuhi standar metodologi sejarah kritis apalagi korborasi?


Metode ini bisa dengan mudah menjawab pertanyaan di atas dengan menyerukan untuk tidak lagi menganggap yang selama ini sesungguhnya mitos, legenda dan dongeng sebagai sejarah. Tetapi, bagaimana ketika “penghapusan” memori kolektif masyarakat tersebut sedang diusahakan, sementara mitos, legenda dan dongeng tidak pernah hilang, tetap hidup dan dipercaya masyarakat serta lebih fungsional untuk konstruksi dan peneguhan nilai-nilai kehidupan masyarakat?


Bagaimana kita akan menyebut bahwa sebuah peristiwa atau sejarah hidup seseorang —atas nama metode sejarah kritis— tidak bisa dipercaya karena tidak ditemukan sumber-sumber yang kuat sementara puluhan fakta-fakta lain mendukungnya seperti adanya keturunan, artifact (bangunan, candi, kuburan, keraton), mentifact (kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat sesuai tradisi berfikir) dan seterusnya? 


Islam mengharuskan keimanan kepada adanya nabi-nabi yang tidak pernah meninggalkan sumber-sumber yang kuat. Kalau kita konsisten dengan metode sejarah kritis, kita mesti meragukan bahwa Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SAW pernah hidup selama belum ditemukannya sumber-sumber primer yang kuat.


Selama ini belum ada sumber primer yang kuat dalam tradisi ilmiah Barat tentang keberadaan Nabi Adam, Nuh, Hud, Luth, Sulaeman, Daud, Ibrahim, Yusuf dan yang lainnya selain keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan sedikit penemuan arkeologis. Makam Nabi Muhammad harus diragukan karena tidak ada tulisan di nisannya bahwa itu benar-benar kuburan Nabi yang dicatat saat itu, kalau pun ada bisa saja dibuat orang beberapa abad setelahnya. Kemudian, naskah asli dan teruji tulisan tangan Zaid bin Tsabit (penulis turunnya wahyu kepada Rasulullah) tentang turunnya ayat-ayat Qur’an juga tidak ditemukan. Demikian juga naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan Aisyah, Khadijah dll yang pernah menjadi istri-istri Nabi, naskah asli dan teruji dari Fatimah Az-Zahra (anak perempuan Nabi), naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan sendiri para sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. 


Saat itu, tradisi pengetahuan di kalangan bangsa Arab adalah tradisi lisan, ingatan dan hafalan yang kuat bukan tradisi tulisan. Kita bisa mengatakan, Tuhanlah dan kitab suci bisa dipercaya karena Tuhan adalah kesaksian langsung sejarah atas diutusnya nabi-nabi. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah diakui kehadirannya dalam konvensi ilmiah?Tradisi ilmiah akan mencibir dan tertawa bila seseorang bersaksi lewat pertemuannya dengan hal-hal yan ghaib. Dalam tradisi berpikir modern, ghaib itu tidak ilmiah yang selama ribuan tahun dianut orang-orang Islam sebagai ajaran agamanya, sementara ayat Allah mengatakan:


“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah 2 -5).


Tuhan menyatakan “la rayba” (tidak ada keraguan) pada kitab suci Al-Qur’an sebagai firman-Nya, tapi metode sejarah kritis harus meragukan keberadaan nabi-nabi sebagai pelaku sejarah karena tidak adanya sumber-sumber primer yang kuat tentang mereka. Kitab suci Al-Qur’an tidak bisa menjadi sumber sejarah karena tidak pernah menyebutkan waktu dan tempat sebuah peristiwa. 


Persoalan hadits lebih rumit lagi. Berdasarkan derajat validitas, hadits telah diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan: maudhu’ (palsu), hasan (bisa diterima), marfu (bohong), maqtu (terputus sanadnya), shahih (kuat/valid), muttafaq ‘alaih (disepakati oleh ahli-ahli hadits), dan mutawatir (valid berdasarkan kesaksian banyak orang). Hadist-hadist Bukhari-Muslim yang dulu dipercaya keshahihannya, belakangan sudah banyak yang diragukan. Ribuan hadits telah dipalsukan. 


Naskah-naskah asli tulisan zaman Nabi berupa kesaksian dan tulisan langsung mereka terhadap peristiwa turunnya ayat-ayat Qur’an, pengakuan hidup Nabi dari tulisan Nabi sendiri atau pengakuan para sahabatanya, selama ini semuanya belum ada. Bagaimana kita mengakui adanya Nabi Muhammad karena fisiknya sendiri tidak boleh digambarkan? 


Peristiwa Isra Mi’raj tidak ada satu pun saksi sejarahnya. Abu Bakar membenarkannya, yang membuatnya digelari Ash-Siddiq, bukan dari kesaksiannya melihat fisik Nabi terbang melesat ke langit, tetapi karena iman. Pembuktian semua peristiwa ini lemah secara sejarah kritis. Bagaimana semua ini harus dipercaya? 


Semua peristiwa sejarah yang diceritakan dalam kitab suci, yang “tak ada keraguan padanya” menjadi persoalan dalam metode sejarah kritis. Tentu ini masalah besar karena kita dihadapkan pada dua pilihan mendasar. Mana yang harus lebih dipercaya: kitab suci firman Tuhan atau kitab metode ilmiah pikiran manusia? Bila kitab suci tidak memenuhi standar ilmiah, apakah fakta juga benar-benar ilmiah? 


Sejarah adalah peristiwa masa lampau yang memiliki kaitan dengan kehidupan manusia. Sebuah fakta akan selalu terkait dengan sistem nilai, kesadaran, ideologi, subyektifitas dan kepentingan manusia. Dengan demikian, fakta selalu merupakan produk mental sejarawan dan “fakta adalah hasil konstruksi subyek” (Sartono, 1992: 17). Maka sesungguhnya tidak ada sebuah fakta pun yang obyektif dan “bebas kepentingan” yang diandaikan oleh metode koroborasi. Bila semua fakta adalah subyektif dan “bebas kepentingan” adalah tidak mungkin, bukankah metode kritis dan korborasi hanya sebuah khayalan belaka?


Problematika Sumber-sumber Barat


Sejak para sejarawan Barat menaruh perhatian pada sejarah Islam Asia Tenggara dengan segala aspeknya, mereka menemukan bahwa sejarah Asia Tenggara, khususnya di masa awal, sangat kompleks, rumit dan membingungkan. Hingga kini para sejarawan belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama (Azra, 1989). Para pengkaji Islam Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan tentang konsep dasar yang menyebabkan mereka sulit untuk menyamakan pandangan satu sama lain.


Salah satu problem dan kesulitan itu adalah bahwa sumber-sumber pribumi lokal untuk studi-studi klasik (abad XIX ke belakang) di Asia Tenggara lebih bersifat sastra sejarah ketimbang karya sejarah “ilmiah” dalam pengertian Barat. Historiografi yang terdapat di Asia Tenggara sesungguhnya melimpah tetapi “sayang” karena “hanya” berbentuk hikayat, babad, silsilah, cerita, syair dan lain-lain. Seperti diungkapkan Anthony John, kebanyakan literatur tersebut memiliki citra rendah dan tidak menguntungkan sebagai sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber pribumi berupa roman, balada, dongeng, kronik dan risalah, semua itu tidak memenuhi kategori-kategori Barat tentang sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah, “para peneliti atau sejarawan kemudian berpaling kepada sumber-sumber asing, khususnya yang ditulis oleh orang-orang Eropa yang datang ke Asia Tenggara sebagai pengembara, wartawan, misionaris dan kemudian juga sebagai kolonialis-imperialis” (Azyumardi (1989: vii). 


Karena historiografi tradisional merupakan sumber-sumber sekunder yang kredibilitas infomasinya diragukan, banyak sejarawan kemudian berpaling pada sumber-sumber Portugis dan Belanda. Sumber-sumber Portugis (yang sezaman dengan Sunan Gunung Djati) misalnya adalah Suma Oriental karya Tome Pires, Da Asia karya De Barros, Perigrinacoes karya Mendez Pinto dan 

dari sumber Belanda karangan Frederick de Haan.


Namun demikian, penggunaan catatan-catatan atau sumber-sumber asing juga bukan tanpa masalah. Sumber-sumber itu juga problematis. Bagi kalangan sejarawan Muslim apalagi. Alam dan tradisi berpikir Eropa, istilah-istilah yang lahir dari nomenklatur masyarakat dan sistem nilai dan budaya Eropa, struktur sosial-politik Eropa sering begitu saja diproyeksikan ke dalam kehidupan Asia Tenggara dan masyarakat Islam. Akhirnya bias budaya tak terhindarkan. Muncullah miskonsepsi dan distorsi dalam memandang Islam. Azyumardi menjelaskan gamblang persoalan ini. 


"Bias historis Barat sejak dari waktu yang paling awal, melihat Islam di Timur Tengah tidak urung lagi juga sangat mewarnai pandangan Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan di Asia Tenggara. Von Mehden baru-baru ini dalam sebuah studinya tentang agama dan modernisasi di Asia Tenggara, misalnya menyatakan bahwa bias para penulis Barat awal dalam melihat agama (Islam khususya yang merupakan agama yang dianut oleh sebagian terbesar penduduk kawasan ini) dilatarbelakangi oleh kebodohan, rasa superioritas rasial, perbedaan agama, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kolonial. Para pengembara atau wartawan Barat yang menulis tentang Asia Tenggara khususnya, bukanlah para ahli, dan mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan kunjungan singkat dan kebanyakannya mengamati dari daerah perkotaan, sehingga mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan, pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya. Di pihak lain, para misionaris Kristen pada umumnya menggambarkan agama-agama yang mereka temukan di Asia Tenggara sebagai kepercayaan sesat belaka, karena itu para penganutnya ialah orang-orang bodoh dan terkutuk. Meskipun terdapat penulis-penulis dari kalangan misionaris yang cukup “obyektif,” pada umumnya nada tulisan mereka adalah negatif, disebabkan perbedaan agama yang memang sulit disembunyikan. Sejauh menyangkut penggambaran Islam di Asia Tenggara, datangnya kekuasaan kolonial tidaklah membuat keadaan pengkajian Islam menjadi lebih baik. Pengkajian-pengkajian Islam dilihat dari sudut kepentingan pengukuhan status quo kolonialisme. Karenanya peneliti yang menggunakan sumber-sumber kolonial ini harus selalu mawas diri terhadap bias kolonial dalam sumber yang ia kaji, sehingga tidak tersesat pula mengikuti pandangan kolonialis." (hal. viii)


Kutipan tersebut jelas sekali memesankan dua hal secara eksplisit: (1) sumber-sumber Barat bukan alternatif dan tidak bisa dipercaya karena penuh dengan subyektifitas dan prasangka, (2) para sejarawan harus hati-hati atau mawas diri agar tidak terjebak ke dalam pandangan kolonial yang menyesatkan. Atas kenyataan itu Azyumardi berkesimpulan bahwa bagi sejarawan yang ingin menemukan obyektifitas, sumber-sumber asing ternyata tidak lebih reliable ketimbang sumber-sumber pribumi.


Inilah juga yang dirasakan De Graaf. Dalam tulisannya ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ (The Cambridge History of Islam, 1987), ia memulai tulisannya dengan kegamangan atas sumber-sumber pribumi. “Secara keseluruhan,” kata De Graaf, “catatan-catatan tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi Melayu dan Indonesia tidak dapat dipercaya, betapa pun banyaknya catatan-catatan itu. Terdapat semacam keseragaman tentang catatan-catatan itu, yang tidak benar bunyinya.” 


Tapi, bagi De Graaf, bersandar pada sumber-sumber Barat juga bukan menjadi lebih baik. Dan, Graaf harus mengkingkari pernyataannya sendiri karena sebuah “ketakberdayaan historis.” Bersama dengan Pigeaud, Graaf menulis buku yang terkenal De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien over de Staatkundige Gesschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16). Buku ini mengulas pengaruh Hindu – Budha dan masuknya agama Islam ke Nusantara dengan menggunakan seluruh sumber-sumber tardisional yang ada yaitu sejarah Jawa asli seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Babad Mataram dan Babad Sangkala sambil di sana-sini kritis terhadap sumber-sumber Barat atau modern. 


Misalnya ada dua contoh. Pertama, ketika Graaf-Pigeaud mengikuti pemberitaan Portugis yaitu Mendez Pinto tentang Sunan Gunung Djati, mereka menyelipkan sebuah kalimat “yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya” (hal. 142). Kedua, ketika Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunung Djati di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan “para ulama” Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan 17. Graaf-Pigeaud mengkritik pernyataan itu dengan mengatakan Hoesein tidak mempertimbangkan bahwa sejak awal abad ke-16, tradisi Islam sudah lebih awal tumbuh dan berkembang di Jawa Timur dan itu menjadi basis penghormatan masyarakat terhadap Sunan Giri/Gresik. (Hal. 144). Dan kini, pendapat Hoesein itu juga digugurkan oleh kenyataan bahwa ziarah ke makam Sunan Gunung Djati di Cirebon paling ramai dibandingkan dengan makam-makam lainnya. 


Buku Graaf-Pigeaud ini telah diangggap mengoreksi wajah sejarah Jawa yang telah ditulis para sejarawan Eropa yang hanya berdasarkan sumber-sumber asing. Dua sejarawan Belanda kawakan ini mempelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Berbeda dengan perspektif asing, pembahasan dalam buku itu bersifat menyeluruh menyangkut soal-soal keagamaan, sosial, dan ekonomi.

Tentu saja ini bukan sebuah ironi Graaf-Pigeaud, melainkan sebuah sikap, sebuah ketegasan memilih. 


Sumber-sumber tradisional kurang bisa dipercaya, banyak hikayat, mitos dan legenda. Tapi sumber Barat juga sama tidak bisa dipercayanya, banyak kepentingan dan prasangka. Akhirnya, keputusan harus dijatuhkan dan Graaf-Pigeaud lebih memilih sumber-sumber tradisional, karena mereka lebih dekat dengan obyektifitas, merekalah pelaku sejarah Asia Tenggara, orang-orang Eropa itu orang asing yang mengamati, tidak bisa obyektifitas diharapkan dari mereka. Strictly primary source disini tidak berlaku. Sejarah mesti memakai sumber “yang paling ada” bukan yang “harus ada.” 


Bukan hanya Graaf-Pigeaud, sejarawan Barat yang menegaskan pilihannya kepada sumber-sumber tradisional. Anthony Reid menggunakan Babad ing Sangkala 1738 bahkan yang sudah yang diterjemahkan terlebih dahulu oleh Ricklefs. Juga Babad Lombok dan Babad Tanah Djawi ketika menuliskan karya magnum opus-nya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993). Selain babad, dia juga menggunakan sekitar delapan buah hikayat (Hikayat Banjar, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Patani, Hikayat Pocut Muhammat, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Ranto dan hikayat Teungku de Meuke) dan sumber-sumber tradisional lainnya, selebihnya adalah buku-buku modern-sekunder. 


Sebagai sejarawan ahli Jawa, Ricklefs juga tak bisa menghindari sumber-sumber tradisional. Ia menggunakan Carita Purwaka Caruban Nagari dalam bukunya A History of Modern Indonesia (1981), dan banyak sumber-sumber tradisional Jawa kuno dalam bukunya tentang pemerintahan Mangku Bumi, The Seen and Unseen World in Java (1997). 


Buku klasik penting tentang Asia Tenggara, Sejarah Melayu (The Malay Annal) yang hanya sebuah cerita dan “tidak ilmiah” hampir menjadi acuan semua sejarawan yang mengkaji Asia Tenggara. Rata-rata, buku-buku sejarah “ilmiah” karya-karya penulis asing, selain sedikit menggunakan sumber-sumber pribumi, ratusan lainnya adalah sumber-sumber sekunder karya-karya penulis asing atau pribumi periode-priode modern (lihat Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya (1994); A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993); Keith Buchanan, The Southeast Asian World (1967); D.G.E. Hall, A History of Southeasi Asia (1970); juga John Bastin (1967), van Leur (1955), Schrieke (1960) dll. Mereka semua memakai sumber-sumber tradisional dan sumber primer yang ada yang ditulis bahkan pada abad ke-20, padahal mereka menulis sejarah klasik, tanpa harus menyatakan kesimpulan bahwa sejarah Asia Tenggara masa-masa awal tidak usah dipercaya, bahwa keberadaan tokoh-tokoh sejarah abad-abad lalu hanya sekedar legenda dan mitos dan susah pembuktian historisnya.


Semua sejarawan di atas, Barat maupun pribumi, yang telah menghasilkan ratusan karya-karya berharga tidak ada yang bisa menghindari penggunaan sumber-sumber tradisional, yang tidak memenuhi standar ilmiah Barat itu. Tetapi, bukan berarti sejarah tidak harus direkonstruksi, tidak harus dituliskan dan tidak harus dipercaya hanya karena argumen tidak tersedianya strictly primary sources. 


Strictly primary sources dengan demikian hanya sebuah utopia yang sesungguhnya tidak menemukan juntrungannya dalam studi sejarah klasik. Ia hanya mungkin bagi studi-studi sejarah kontemporer dimana manusia sudah memiliki tradisi menuliskan apa yang dijalaninya. Strictly primary sources bahkan bisa menjadi a-historis ketika diterapkan sebab ia mengharuskan “penghapusan” dan “penghilangan” periode sejarah klasik. 


Makalah Nina (bagi saya dalam Seminar Sunan Gunung Djati di Cirebon 2001), yang menggunakan metode sejarah kritis yang ketat dalam seminar di Cirebon, tidak sama sekali memberikan perspektif baru, penemuan baru, data baru dan penguatan baru atas sejarah Sunan Gunung Djati. Ia tak lebih hanya sekadar intellectual game dan intellectual exoticism yang menarik tapi sesungguhnya kurang bermanfaat.


Bias Barat Sejarawan Pribumi


Kembali ke persoalan bias sejarawan seperti diungkap Azyumardi di atas, penulis tidak berpretensi mengatakan bahwa Nina “telah tersesat,” tidak juga pandangannya telah menyimpang, karena ia juga menemukan pandangan biasnya Tome Pires ketika mengisahkan “Lebe Uca” yang –mengikuti rekaan Atja– diduga adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodin” adalah “Raden Patah.” Tetapi bahwa pandangan Nina yang mengatakan bahwa “soal pertemuannya [Sunan Gunung Djati] dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris [kesaktian para wali] tidak bisa dibuktikan secara historis,” adalah sebuah persoalan, terutama karena Nina adalah sejarawan Muslim. Pandangan ini sangat bias kolonial, empiris-materialis dan menafikkan nilai-nilai kepercayaan yang hidup dalam masyarakat sebagai fakta sejarah.


Dari pernyataannya di atas muncul dua persoalan: 


Pertama, “tidak bisa dibuktikan secara historis.” Apa yang ia maksud dengan “historis”? Disini, Nina sama sekali tidak memakai perspektif Islam dalam memahami sejarah Islam. Pendekatan multidisipliner –yang diprakarsai Sartono– hanya sebatas ilmu-ilmu “umum” (filologi, semiotika, ekonomi, sosiologi, politik dll) dan tidak memasukkan khazanah “ilmu-ilmu Islam.” Padahal, dalam mengkaji sejarah Islam pendekatan ilmu dan tradisi Islam adalah sebuah kemutlakan. 


Bagaimana seseorang akan mempelajari struktur, ideologi dan gerakan tarekat tanpa faham ilmu tasawuf? Dalam ilmu dan tradisi tasawuf (sufisme), pertemuan dengan ruh yang sudah meninggal adalah hal biasa dan bisa dibuktikan oleh orang yang ingin membuktikan. Bila mesti ada saksi lain yang membenarkan peristiwa itu (korborasi), dalam tasawuf, orang tersebut harus menjalani (terlibat) dalam apa yang diamalkan dan dikembangkan dalam tasawuf (melalui taqarrub, taubat, dzikir, hadharah, riyadhah dll). Dengan kata lain, dia harus menjadi murid, darwis atau sufi melalui sejumlah amalan. Bila ini dijalani, atas izin Allah, seseorang akan dengan mudah berhubungan dan berkomunikasi dengan hal-hal ghaib. Dalam tasawuf, pertemuan dengan ruh Muhammad adalah dambaan dan impian para sufi, dan tidak akan mengalaminya kecuali sudah mencapai maqam tertentu. Oleh Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pengalaman bertemu dengan ruh Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat mungkin dan biasa, apalagi Sunan Gunung Djati diyakini orang dari dulu sampai sekarang sebagai wali bahkan disebut wali qutb (pemimpin para wali dari walisanga) karena mungkin selain “paling wali,” secara geneologis, beliau adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad sendiri. 


Kedua, walaupun maksud “historis” disitu ukurannya adalah empiris dan materialis, sesungguhnya hal-hal ghaib terdapat pembuktian empirisnya. Bukankah sihir dan teluh ada fakta empirisnya? Bukankah ketika Nabi Musa berdialog dengan Tuhan (Musa ingin melihat wajah Tuhan) ada fakta empirisnya berupa gunung yang meledak? Bukankah ketika Nabi Muhammad menerima ajaran-ajaran dari yang Maha Ghaib (Allah) ada fakta historis-empirisnya berupa tubuh Nabi yang bergetar, peluh keringat dan catatan Al-Qur’an yang dijamin kemurniannya? 


Dalam tradisi tasawuf, seseorang berjalan di atas air tanpa basah, shalat jum’at seorang kyai sufi di dua tempat dalam satu waktu yaitu Mekkah dan di pesantrennya, merubah batu jadi emas, bertemu dan dialog dengan jin dan ruh yang sudah meninggal adalah biasa dan bisa dibuktikan. Dan al-Qur’an sendiri (surat 2: 154) menyatakan “wala taqûlû liman yuqtalu fí sabilillahi amwátun, bal ahyá-un, wa lá killa tasy'urûn” (Janganlah kalian menganggap mati mereka yang telah meninggal karena berjuang di jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hidup, kamu saja yang tidak mengetahui). 


Ketiga, “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja.” Benar kata Nina, persoalannya adalah kepercayaan alias keimanan. Dan benar pula, sepanjang seseorang tidak percaya berarti baginya itu bukan fakta tapi hanya ilusi atau mimpi. Mudah-mudahan milyaran umat Islam tidak sedang mimpi dengan keyakinan agamanya, tentang nabi-nabinya, tentang Tuhan, malaikat dan akhirat dsb karena bagi strictly primary resources, semua itu hanya ilusi dan mimpi.


Ditempat lain, pernyataan bahwa “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja” adalah tergolong kepada mentifact yang tidak kuat. Karena kategorinya tidak kuat, nampaknya Nina tidak menempatkan diri disitu. Ia meragukan mentifact. Pernyataannya ini ironis dengan beberapa kesimpulannya. Misalnya ia mengatakan bahwa Sunan Gunung Djati adalah “seorang wali dari walisanga.” Dari mana Nina mengetahui dan meyakini bahwa Sunan Gunung Djati adalah seorang wali? Tentang keberadaan sejarah dan sosok Sunan Gunung Djati saja ia tidak percaya karena selama ini hanya bersumber dari historiografi tradisional yang ditulis tidak sezaman dengan masa hidup pendiri kesultanan Cirebon itu, apalagi anggapan bahwa dirinya adalah seorang wali.


Metode Ilmiah Barat Sudah Runtuh


Ilmu pengetahuan modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri (not for the sake of human being), dengan kata lain, ilmu hanya untuk ilmu, ilmu demi eksplanasi (for the sake of explanation), dan ilmu demi pengukuhan supremasi rasionalisme, bahkan ilmu demi kekuasaan (science for power). Akibatnya, perkembangan ilmu pengetahuan sering terlepas dari subyeknya yaitu manusianya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan semakin berkembang cepat tapi tidak membawa kebahagiaan sejati manusia modern. Ilmu pengetahuan semakin complicated dan teknologi semakin canggih tetapi manusia modern malah mengalami dislokasi, disorientasi dan krisis dalam kehidupannya.


Menurut kesaksian Arnold (1992), hal itu terjadi karena wajah sains modern sesungguhnya adalah korup. Kepalsuan teori dan kerancuan prakteknya adalah karakeristik dari modernitas. Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold berujar: 


“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.” 


Lebih jauh, Arnold menyebutkan terdapat DELAPAN DOSA BESAR sains modern yang berkaitan erat satu sama lain: Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif; Kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work); Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; Keempat, mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; Kelima, melayani vested-interest dan mode; Keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; Ketujuh, kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai; Kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia (hal. 16).


Bila dikritisi secara cermat, delapan poin kritik pedas Arnold di atas bukan melulu dominasi sains alam dan fisika saja, enam kritik terakhir dari poin-poin tersebut adalah watak khas ilmu-ilmu sosial juga, termasuk ilmu sejarah. Dalam tradisi ilmu sosial, seorang peneliti dan penstudi peristiwa sosial baru sah disebut sebagai “ilmuwan” bila memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan Arnold. Dalam studi sosial, subyek disyaratkan menjaga jarak dari obyek studi. “Obyektifitas” diukur oleh ketidakterlibatan. Tugas ilmuwan adalah hanya menjelaskan (to explain) di atas dogma-dogma obyektifitas dan netralitas, dan bukan terlibat (to involve). Bila sang subyek terlibat dengan nilai-nilai dan ideologi obyek maka ia kita pandang telah meruntuhkan otoritas keilmuwanannya. Ilmuwan demikian, kita klaim sebagai ideolog, mubaligh, demagog atau bahkan ”provokator.”


Analisis historis Nina tentang Sunan Gunung Djati sangat spesialis-teoritis ilmu sejarah, sangat only for the sake of explanation dan “objectivity is everything.” Nina, tampaknya, merasa naif bila ia harus berpihak pada sumber-sumber tradisional. Analisis Nina dalam tulisannya, hemat penulis, adalah manifestasi dari poin ke tiga sampai delapan dari ciri-ciri yang disebutkan Arnold di atas: sangat menekankan spesialisasi ilmu sejarah dan lepas dari pertimbangan makna, dampak sosial dan nilai-nilai religius-kultural masyarakat Jawa Barat, mengasumsikan hanya terdapat satu jenis pengetahuan (metode ilmiah Barat), kepura-puraan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai (value- free), dan tidak berpusat pada manusia (scientific-oriented). 


Padahal, para pemikir belakangan membuktikan bahwa doktrin obyektifitas dan netralitas ilmu pengetahuan itu non-sense adanya. Habermas, salah satu juru bicara Frankfurt School yang paling menonjol, berhasil membuktikan bahwa sains modern telah lama berkolaborasi dengan imperium kapitalisme. Demikian juga Foucault. Seperti ia bongkar dalam Madness and Civilization (1965), ketika Foucault menggambarkan sejarah “kegilaan,” dengan terpana penuh kekagetan ia menyaksikan ternyata ilmu pengetahuan adalah hasil konstruksi kekuasaan selama berabad-abad. Sedangkan menurut Anthony Gidden, modernitas —sains adalah penopangnya— tak lebih dari sekadar sebuah proyek Barat. Bagi para pemikir posmodern, netralitas dan obyektifitas yang dipropagandakan modernitas tak lain kecuali ‘dagelan ilmu.’ Klaim “obyektifitas” dan “netralitas” sebagai doktrin ilmu pengetahuan Barat modern, hanya mengukuhkan tesisnya Foucault tentang “knowledge is power” atau tesisnya Habermas tentang “knowledge and interest,” bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak zaman Fajar Budi pasca renaissance Eropa abad ke-18, yang menjadi basis dari hegemoni modernitas, merupakan konstruksi yang dibangun dalam rangka mempertahankan imperium narasi besar modernisme dan status quo yang bertengger di pusat kekuasaan kapitalisme dan peradaban Barat modern.[]


Moeflich Hasbullah, Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati. Alumni Southeast Asian Studies ANU Canberra, Australia.


Daftar Pustaka


Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press, 1994. 


Arnold Arnold, The Corrupted Sciences. Challenging the Myths of Modern Science, Paladin, 1992.


Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1989.


Bastin, Jhon and Harry J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall, 1967.


De Graaf, H.J., ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ dalam The Cambridge History of Islam, 1987.


De Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta, Grafitti, 1984.  


Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970.


Keith Buchanan, The Southeast Asian World. An Introductory Essay, London: G. Bell and Sons. Ltd, 1967. 


Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, New York: Random House, 1965.


Nina H. Lubis, Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati, Makalah pada Seminar Sunan Gunung Djati, 2001.


Reid, Anthony, 1993, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London.


Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. Asian Histories Series: MacMillan.


Ricklefs, M.C. The Seen and Unseen World in Java, Allen&Unwin, 1997.


Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1992.


Schrieke, B, Indonesian Sociological Studies, Sumur Bandung, 2nd Edition, 1960.

Friday, September 6, 2024

UMAT BUTUH PARPOL ISLAM SEJATI

 *UMAT BUTUH PARPOL ISLAM SEJATI*


Buletin Kaffah No. 359 (2 Rabi’ul Awwal 1446 H/6 September 2024 M)


Riuh kompetisi partai politik di Tanah Air pasca Pilpres 2024 masih berlanjut. Kini parpol-parpol berebut kemenangan dan jabatan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada November tahun ini. Ada 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota yang menyelenggarakan Pilkada serentak.


Sejumlah parpol semula saling berseberangan dalam Pilpres 2024. Namun, mereka kemudian berkoalisi dalam Pilkada. Tentu demi memenangkan jabatan kepala daerah. Koalisi besar itu sampai memunculkan calon tunggal di 42 daerah. Marak pula politik dinasti yang juga didukung oleh parpol-parpol peserta Pilkada. 


Sepatutnya umat bertanya: Benarkah partai-partai politik yang ada sekarang ini berjuang untuk kepentingan umat? Ataukah mereka hanya mencari kekuasaan semata dengan memanfaatkan suara umat?


*Dua Kepentingan*


Dalam sistem demokrasi, salah satu peran parpol adalah memilihkan untuk warga calon wakil mereka di badan legislatif. Parpol juga yang menentukan calon pemimpin dalam proses Pilpres dan Pilkada untuk dipilih rakyat. Pada titik ini demokrasi sering disebut sebagai sistem politik dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


Kenyataannya, baik pemerintah (eksekutif) maupun wakil rakyat (legislatif) yang berasal dari parpol pilihan rakyat malah sering membuat kebijakan yang merugikan rakyat. Parpol hari ini justru hanya memperjuangkan kepentingan dua pihak: kepentingan kelompoknya dan kepentingan para kapitalis-oligarki. Misalnya, DPR mengesahkan UU Cipta Kerja yang merugikan kepentingan buruh, petani, nelayan dan masyarakat. DPR juga mengesahkan UU Minerba yang hanya menguntungkan pengusaha tambang batubara raksasa. Pemerintah bersama DPR pun menyetujui pembangunan IKN yang bukan menjadi kebutuhan vital untuk rakyat. Sebaliknya, sejumlah rancangan undang-undang yang penting untuk rakyat, semisal RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk menindak para pelaku korupsi, malah tak kunjung disahkan. 


Pemerintah pilihan rakyat juga sering membuat sejumlah kebijakan yang bukan saja tidak berfaedah, tetapi juga merugikan rakyat. Contohnya pembangunan Kereta Cepat Whoosh. Kereta cepat ini tidak bisa dinikmati rakyat banyak. Ia justru menanggung utang sangat besar yang menjadi beban rakyat. Contoh lain adalah Program Food Estate yang gagal total. Padahal program ini sudah menghabiskan uang rakyat hingga Rp 108 triliun. Berikutnya, di tengah kehidupan ekonomi rakyat yang makin terpuruk, Pemerintah malah menaikkan PPN menjadi 12 persen. 


Karena itu peran parpol sebagai pembawa dan pembela aspirasi rakyat pada sistem demokrasi amat minim. Parpol hanya membutuhkan suara rakyat untuk mengantarkan mereka memenangkan kontestasi politik. Setelah mereka menang, rakyat ditinggalkan.


Parpol juga kerap bersikap pragmatis, oportunis dan mencla-mencle. Mudah berubah haluan. Di satu Pilkada ikut menyerukan tolak pemimpin kafir penista agama. Di Pilkada lain malah mengusung calon non-Muslim dan berkoalisi dengan parpol pendukung penista agama. Kemarin mengutuk politik dinasti. Hari ini, secepat angin, mereka bergabung dengan rezim pengusung politik dinasti. Tak ada integritas terhadap nilai perjuangan apalagi ideologi. Yang adanya hanyalah mencari dan mempertahankan kekuasaan.


Sistem demokrasi juga membuat parpol bergantung pada suara rakyat. Akibatnya, parpol Islam sering bersikap ambigu dalam perjuangan Islam. Mereka takut—jika konsisten memperjuangkan Islam—mendapat label sebagai kelompok radikal, lalu ditinggalkan pemilihnya. Padahal Nabi saw. mengingatkan:


مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ 


Siapa saja yang mencari ridha Allah meski harus menghadapi kemarahan manusia, Allah pasti akan mencukupi dia sehingga bebas dari ketergantungan pada manusia. Sebaliknya, siapa saja yang mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, Allah pasti akan membiarkan dia bergantung pada manusia (HR at-Tirmidzi).


*Dikuasai Oligarki*


Hal lain yang membuat parpol hari ini berat memperjuangkan Islam dan umat adalah karena sistem demokrasi berbiaya besar. KPK pernah menyebutkan untuk Pilkada tingkat gubernur bisa menelan ongkos Rp 60-100 miliar. Akibatnya, banyak parpol menerima sumbangan resmi maupun tidak resmi dari kaum kapitalis agar tetap bisa maju ke Pilkada. Prof. Mahfud MD pernah mengatakan 84 persen calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada dibiayai para cukong. 


Akibatnya, setelah terpilih, mereka terikat kontrak politik dengan para bohir politik tersebut. Kekuasaan pun tidak lagi jadi milik rakyat, tetapi milik oligarki. Parpol, eksekutif dan legislatif hanya menjadi perpanjangan tangan para kapitalis. Wajar jika kemudian muncul berbagai aturan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi malah berpihak kepada para oligarki asing maupun aseng. Mereka seperti lupa dengan firman Allah SWT:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), juga jangan kalian mengkhianati amanat-amanat yang telah dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Anfal [8]: 27).


Tragisnya, tidak sedikit kepala daerah yang juga kader parpol terjerat skandal korupsi akibat biaya demokrasi yang sangat mahal. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum pada tahun 2021 hingga 2023. Juga ada 586 anggota DPR dan DPRD sepanjang 2010 sampai 2019 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Semuanya adalah kader-kader partai politik.


Meski sudah demikian rusak, tetap saja mereka ngotot menyatakan bahwa semua itu demi kebaikan bangsa. Inilah yang Allah SWT peringatkan:


وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ


Jika dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi!" Mereka menjawab, "Sungguh kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan." (TQS al-Baqarah [2]: 11).


*Parpol dalam Islam*


Mendirikan partai politik guna menyerukan Islam dan menegakkan amar maruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah. Allah SWT berfirman:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (TQS Ali Imran [3]: 104).


Maksud kata ummah dalam ayat di atas adalah kelompok/jamaah/partai di tengah-tengah kaum Muslim. As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, ”Hendaklah di antara kalian, wahai kaum Mukmin yang telah Allah kokohkan dengan iman dan terikat dengan tali (agama)-Nya, ada satu ummah, yakni jamaah yang menyerukan al-khayr (Islam)...” (As-Sa’adi, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, 1/42).”


Islam membolehkan jumlah kelompok/jamaah/partai ini boleh lebih dari satu. Hanya saja, kelompok/jamaah/partai ini haruslah berlandaskan aqidah Islam. Pasalnya, mereka memiliki dua fungsi politik yakni: mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.


Sebagaimana diketahui, politik (siyâsah) dalam Islam bermakna ri’âyah syu’ûn al-ummah bi ahkâm al-Islâm, yakni pengaturan urusan umat dengan hukum-hukum Islam. Dengan demikian partai politik dalam Islam adalah partai yang bergerak untuk memastikan urusan umat selalu diatur sesuai dengan ketentuan syariah Islam. 


Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh, partai politik Islam harus berasas akidah Islam. Para anggotanya wajib terikat dengan syariah Islam. Tujuannya adalah untuk menegakkan Islam. Karena itu kegiatan dan cara-cara yang digunakan tidak bertentangan dengan Islam.


Berdasarkan QS Ali Imran ayat 104 di atas, partai politik Islam harus hadir di tengah umat untuk mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Di antaranya dengan menjelaskan keunggulan Islam dibandingkan dengan ideologi dan ajaran-ajaran selain Islam. Dengan itu umat yakin bahwa hanya Islam satu-satunya sistem kehidupan yang layak diterapkan.


Parpol Islam juga wajib membongkar kebatilan paham dan ideologi selain Islam seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme dan komunisme. Partai ini harus beraktivitas memperingatkan umat, misalnya, tentang bahaya liberalisasi ekonomi pada sektor SDA, atau liberalisasi perdagangan yang akan menghancurkan ekonomi dalam negeri dan menguntungkan pihak asing.


Parpol Islam juga wajib membongkar siasat jahat negara-negara adidaya kafir dan konspirasi mereka dengan para penguasa Muslim. Contohnya adalah bahaya jerat utang luar negeri, ancaman dari pangkalan militer asing terhadap kedaulatan negeri kaum Muslim, konspirasi negara-negara adidaya kafir dengan memanfaatkan PBB untuk kepentingan mereka, dsb.


Aktivitas dakwah ini wajib dilakukan oleh partai politik Islam secara terus-menerus. Dengan itu akan terbentuk opini umum dan kesadaran umum yang menguat pada umat. Selanjutnya umat akan bergerak menuntut penegakan kehidupan Islam, yakni dengan penerapan syariah Islam dalam naungan institusi pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah).


Inilah karakter partai politik Islam yang dibutuhkan umat. Partai ini hanya berkhidmat pada Islam dan melayani umat. Tidak akan bersikap pragmatis apalagi mencari muka agar mendapatkan kekuasaan. Fokus mereka hanyalah mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Inilah yang juga dilakukan oleh Rasulullah saw. Beliau terus menyampaikan Islam secara utuh tanpa mempedulikan para penentangnya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:


فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ


Sampaikanlah oleh kamu (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepada kamu) dan berpalinglah kamu dari kaum musyrik (TQS al-Hijr [15]: 94). 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Nabi saw. bersabda:


يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ القَابِضُ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْر


Akan datang kepada manusia suatu zaman. Saat itu orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api. (HR at-Tirmidzi). []

Sunday, September 1, 2024

SAAT KHILAFAH TEGAK DI INDONESIA, BAGAIMANA NASIB & MASA DEPAN NON MUSLIM?*

 *SAAT KHILAFAH TEGAK DI INDONESIA, BAGAIMANA NASIB & MASA DEPAN NON MUSLIM?*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik 


Diantara kesalahan pemahaman atas penerapan Islam oleh Khilafah, adalah asumsi bahkan tuduhan yang diedarkan, seolah-olah Khilafah adalah Negara satu agama (Islam), semua warga negara harus memeluk Islam, non muslim tidak boleh hidup, non muslim menjadi warga kelas dua, non muslim terancam, non muslim terzalimi, dll. Narasi seperti ini diedarkan biasanya berangkat dari dua motif, yaitu motif ketidaktahuan dan motif kedengkian.


Untuk motif yang pertama, mengedarkan ketakutan dikalangan non muslim karena ketidaktahuan, cukuplah diberi tahu dan dipahamkan. Adapun yang bermotif kebencian terhadap Islam, cukup dikesampingkan. Kelak kebencian itu akan hilang, manakala Islam diterapkan dan terbukti memberikan keadilan kepada seluruh umat manusia.


Dalam Negara Khilafah, seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim, mendapatkan hak kewarganegaraan yang sama. Semua memikul tanggungjawab yang sama. Tidak ada perbedaan perlakuan.


Non muslim, baik beragama Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan hingga aliran kepercayaan (Kejawen, Sunda Wiwitan) dan penyembah api (Majusi), semuanya disebut Ahludz Dzimmah. Mereka semua, dilindungi oleh Khilafah.


Setiap Ahludz Dzimmah, mendapatkan hak-hak sebagai berikut:


1. Hak atas kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinannya, mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.


2. Hak atas pelayanan Negara untuk kemaslahatan mereka. Mereka berhak atas jaminan pemenuhan kebutuhan hidup dari Khilafah, baik berupa sandang, pangan dan papan, juga mendapatkan layanan dan fasilitas keamanan, pendidikan dan kesehatan.


3. Hak untuk terlibat dalam membela dan memajukan Negara, dalam ruang lingkup yang tidak mewajibkan syarat harus Muslim. Seperti, terlibat menjadi Polisi, Tentara, ASN, dan jabatan lainnya dengan akad Ijaroh (bekerja) kepada Negara.


4. Hak atas perlindungan dan jaminan atas diri, harta dan kehormatannya, baik atas gangguan orang Islam, sesama ahludz Dzimmah, maupun dari musuh.


Adapun kewajiban Ahludz Dzimmah adalah mentaati Khilafah, mentaati konstitusi Khilafah. Jika Ahludz Dzimmah berkhianat, maka seluruh hak dan jaminan atas dirinya akan hilang.


Praktik pemberian hak, jaminan dan perlindungan kepada Ahludz Dzimmah itu telah dilakukan sejak era Daulah Islam pertama di Madinah, yang dipimpin oleh Rasulullah Saw. Saat itu, kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi, hidup damai dibawah kepemimpinan Islam. Hanya saja, orang Yahudi berkhianat (Bani Nadir, Quraidzah dan Qoinuqa), maka jaminan itu dicabut dari mereka.


Selanjutnya, di era Kekhilafahan Islam. Saat Islam meluas hingga Palestina, Khalifah Umar bin Khattab telah menjadikan bumi Palestina sebagai bumi yang nyaman dan tentram untuk umat Islam, umat Kristiani dan Yahudi.


Jadi, referensi jaminan Islam kepada non muslim harus merujuk pada era Rasulullah dan para Khalifah setelahnya. Bukan merujuk pada ISIS, atau opini buruk barat dan para pendengki Islam.


Bagaimana saat Khilafah tegak di Indonesia? Apa perlakuan Khilafah pada orang Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha dan yang lainnya? Jawabnya, Khilafah akan memberikan jaminan dan perlindungan yang baik kepada mereka semua, jauh lebih baik daripada jaminan rezim Demokrasi sekuler kapitalis yang selalu menyengsarakan seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non muslim. [].

Tuesday, August 27, 2024

JUAL 5.000 SUMUR MINYAK IDLE WELL KEPADA KONTRAKTOR ASING

 JUAL 5.000 SUMUR MINYAK IDLE WELL KEPADA KONTRAKTOR ASING


Baru lebih seminggu dilantik jadi menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memberi terobosan fenomenal demi menggenjot produksi minyak nasional dalam rangka mengurangi impor dan beban keuangan negara. 


Berkaca pada target produksi minyak dalam asumsi dasar makro ekonomi APBN 2024, memang sangat tragis, hanya 630.000 barel/hari. 


Bahkan lebih tragis lagi ketika melihat kenyataan realisasi produksi lapangan. SKK Migas menyebut, produksi harian (crude + oil) hanya bergerak di angka 610.000-613.000 barel/hari, lebih rendah dari target yg ditetapkan. 


Rendahnya target produksi minyak ini sejalan dengan laporan SKK Migas di Akhir tahun 2023 lalu. Dalam setahun produksi lapangan minyak nasional hanya mencapai 221 juta barel/tahun : 360 hari = 613.000 barel/hari. 


Rendahnya produksi minyak nasional tidak sebanding dengan tingginya angka konsumsi. SKK Migas mencatat, konsumsi minyak nasional 505 juta barel/tahun. Paling banyak terserap ke sektor transportasi 248 juta barel/tahun, industri 171 juta barel/tahun dan ketanagalistrikan 38,5 juta barel/tahun. 


Kalau total produksi dalam setahun 221 juta barel secara aple to aple dipakai untuk membayar konsumsi 505 juta barel, maka ada selisih kurang sebesar 284 juta barel. 


Satu-satunya cara yg dipakai pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut adalah IMPOR. 


Kementrian ESDM mencatat, impor indonesia sepanjang 2023 capai 297 juta barel. Terdiri 129 juta barel untuk crude dan 124 juta barel untuk oil atau produk. 


Bayangkan seberapa buruk status net importer oil Indonesia. Impor 297 juta barel/tahun, jauh lebih tinggi dari produksi yg hanya 221 juta barel/tahun 


Untuk mendatangkan minyak impor, pemerintah harus melepaskan cadangan devisa sebesar Rp 396 triliun dalam setahun. 


Maka menurut Bahlil ini adalah bentuk pemborosan yg nyata. Harus ada upaya alternatif tingkatkan produksi nasional untuk mengeluarkan Indonesia dari jurang net importir oil dengan tanggungan biaya yg sangat besar. 


Bahlil mengusung terobosan fenomenal untuk menjual 5.000 sumur minyak kategori "idle well" (nganggur-tidak lagi produksi) kepada swasta, terutama asing untuk reaktivasi kembali produktifitasnya untuk genjot produksi. 


Saat ini, secara nasional ada sekitar 44.985 sumur minyak. Hanya 16.990 yg produksi. Sementara 16.250 sumur masuk kategori menganggur atau berhenti produksi. 


Tidak semua sumur nganggur bisa direaktivasi kembali mengingat tidak adanya potensi subsurface, keekonomian yg tidak terpenuhi karena high cost rectivation, serta faktor HSE dan non teknikal lainnya. 


Setelah diverifikasi kementrian ESDM, Bahlil menyatakan ada sekitar 5.000 sumur yg bisa direaktivasi kembali, dilepas ke sawsta. 


Jadi untuk genjot produksi, cara Bahlil adalah reaktivasi kembali produktifitas sumur nganggur dengan cara dijual-dilepas kepada swasat, mayoritasnya asing. 


Otak dangkal, malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power an Glory !!! 


Ada seribu satu cara yg bisa dilakukan tanpa harus melepas sumur-sumur idle well kepada kontraktor swasta asing. 


Saya kasih contoh salah satu cara yg bisa dipakai. Kalau memang masalah pemerintah adalah soal teknologi yg butuh banyak anggaran di luar kesanggupan produksi, cara mengatasinya sederhana sekali: Bahlil harus berani melenyapkan inefisiensi dan korupsi di sektor hulu migas yg marak dilakukan para elit dan kontraktor swasta. 


Salah satunya adalah indikasi inefisiensi, murk-up, perampokan cost recovery atau biaya pengganti produksi dari pemerintah ke kontraktor swasta. 


Contohnya sederhana: 


Pada 2018 lalu, biaya produksi atau cost recovery ditetapkan US$ 10,1 miliar. Naik jadi US$ 13,9 miliar di 2024. Artinya kenaikannya hampir mencapai 38% ((US$ 13,9 miliar - US$ 10,1 miliar) / US$ 10,1 miliar x 100 = 37,6%, dibulatkan jadi 38%) 


Di saat yg sama produksi nasional justru menurun tajam dari dari 808.000 barel/hari di 2018 jadi 610.000-615.000 per/hari di 2024. Artinya penurunannya mencapai 24% ((615.000 barel - 808.000 barel)/808.000 barel x 100 = 23,8%, dibulatkan jadi 24%. 


Bayangkan biaya produksi pada APBN naik ugal-ugalan capai 38% tapi produksinya justru turun 24%. 


Kenyataan ini sesungguhnga membuktikan, tingginya inefiesni sektor hulu migas, menjadi "benalu" utama turunnya produksi dan Indonesia harus bergantung tinggi terhadap minyak impor. 


Pertanyaannya, kenapa bisa, biaya produksi naik sangat tinggi tapi produskinya malah turun tajam ? 


Salah satu penyebabnya adalah maraknya praktik korupsi dan murk-up antara pejabat pemerintahan, komisi VII DPR RI, pihak SKK Migas dan kontraktor swasta. Tidak perlu saya bicara panjang lebar untuk buktikan, lihat saja kasus OTT nya Rudy Rubiandini, Kepala SKK Migas, Jero Wacik Mantan Men ESDM dan Sutan Batogana fraksi Demokrat di komisi VII. 


Bagaimana praktik korupsi dan murk-up itu bisa terjadi. Peluangnya muncul di SKK Migas mulai dari perancangan, pengajuan hingga pelaksanaan Work Program and Budget (WP&B). Katakanlah di 2024 ini, biaya produksi diajukan dan realisasinya berpotensi lebih dari US$ 13,9 miliar. 


Anggaran sebesar itu, sepenuhnya dikelolah oleh SKK Migas tanpa ada pengawasan majelis wali amanat. 


Status SKK Migas selaku BHMN itu derajatnya seperti kampus-kampus negeri milik negara. Diatas rektor ada majelis wali amanat yg mengontrol rektor kelolah uang kampus. Setahun kampus kelola uang tidak lebih besar dibandingka  tanggungan APBN untuk biaya pengganti produksi minyak ke kontraktor. 


Sementara SKK Migas, kelola uang negara US$ 13,9 miliar, tidak ada yg mengontrol, mengawasi. Ini keadaan nyaman yg memberi peluang bagi pejabat pemerintahan, politisi dan kontraktor murk-up, bergerombol merampok uang negara. 


Perkara kotor ini, masih berlangsung subur sampai saat ini !!! 


Seandainya perkara kotor inefisiensi ini di lenyapkan, maka negara bisa menghemat sekitar Rp 60,8 triliun/ tahun (CR 2024 US$ 13,9 miliar - CR 2018 US$ 10,1 miliar = US$ 3,8 miliar x kurs 16.000 = 60,8 triliun. 


Hasil pengematan tentu saja bisa digunakan pemerintah menghidupkan kembali beberapa sumur idle well untuk mengurangi ketergantungan terhadap kontraktor asing. 


Penghematan ini juga lebih dari cukup untuk menggenjot produksi dengan cara membangun kilang. Cukup dengan biaya US$ 50 juta sampai US$150 juta, pemerintah bisa bangun kilang kapasitas 6.000 sampai 18.000 barel per hari. Dengan membangun 10 kilang mini misalnya, bisa mendapatkan kapasitas hampir 100.000 sampai 200.000 barrel per hari. 


Ingat, ini baru salah satu model penghematan inefisiensi di sektor migas. Masih banyak celah inefisiensi yg perlu dilenyapkan. Jika semua berjalan baik, maka kebocoran anggaran negara bisa teratasi. Indonesia pelan-pelan bisa membangun ketahanan migas tanpa perlu bergantung terhadap modal asing. 


Tapi apa punya niat dan berani bahlil lenyapkan perkara kotor yg jadi ladang perampokan uang negara para elit dan kolega oligarki ? 


Seperti kalimat Bahlil di hadapan Komisi VII DPR RI kemarin terkait janjinya basmi tambang ilegal: "Saya ini juru gas, jadi jangan ragukan tentang nyali saya lah pak, saya dari Papua datang ke sini melewati darat, laut dan udara,". Avatar kali....


Boro-boro. Ini malah usung terobosan jual, lepas 5.000 sumur minyak idle well keapa swasta, terutama asing. Kenapa ga sekalian aja dijual semuanya, 16.250 sumur idle well. Otak dangkal, mental penjajah. Maka mampuslah rakyat Indonesia.

Tuesday, August 20, 2024

BAHAYA ULAMA DI PINTU PENGUASA

 *BAHAYA ULAMA DI PINTU PENGUASA*


Buletin Kaffah No. 348 (15 Dzulhijjah 1445 H/21 Juni 2024 M)


Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berencana untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mendatangkan protes. Alasan Pemerintah memberikan konsesi pertambangan pada ormas karena mereka berjasa pada bangsa dan negara. Selain itu, juga agar izin usaha pertambangan jangan hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa.


Sejumlah ormas keagamaan secara terbuka menolak. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP) termasuk yang menolak. Dari ormas Islam baru PBNU yang menyatakan menerima tawaran konsesi tersebut dengan alasan mereka membutuhkan. 


*Fitnah untuk Ulama*


Selain soal kerusakan lingkungan, pemberian konsesi pertambangan dikhawatirkan menjadi alat untuk mengambil hati ormas Islam dan tokoh-tokohnya. Akibatnya, para ulama akan berada di barisan kekuasaan. Saat demikian penguasa mendapatkan legitimasi atas berbagai kebijakannya yang bisa merugikan masyarakat dan bertentangan dengan syariah Islam. Bisa juga fatwa ulama dipakai untuk menutupi berbagai borok-borok kekuasaan.


Ini tentu mencemaskan. Pasalnya banyak kebijakan rezim yang merugikan masyarakat dan menguntungkan oligarki. Misalnya saja politik dinasti, bancakan berbagai jabatan dan kekuasaan untuk kalangan penguasa, pelemahan pemberantasan korupsi, kenaikan PPN menjadi 12,5%, pungutan Tapera, krisis rupiah terhadap dolar, utang luar negeri yang makin bengkak, judi dan pinjaman online yang makin merajalela, dll. Semua itu disebabkan oleh buruk pengelolaan negara dan masyarakat serta menyalahi syariat Islam. 


Dalam kondisi demikian, tentu bencana bagi umat jika para ulama malah menjadi stempel kebijakan zalim penguasa atau malah menjadi bemper penguasa untuk menghadapi umat. Baginda Nabi saw. mengingatkan bahwa golongan yang menjadi penyebab terbesar kerusakan umat adalah para ulama yang menjadi fasik. Sabda beliau:


هَلَاكُ ‌أُمَّتِي ‌عَالِمٌ ‌فَاجِرٌ وَعَابِدٌ جَاهِلٌ، وَشَرُّ الشِّرَارِ أَشْرَارُ الْعُلَمَاءِ،


Kerusakan umatku adalah oleh ulama yang jahat dan orang bodoh yang beribadah (tanpa ilmu). Seburuk-buruknya kejahatan adalah kejahatan ulama (HR Ahmad).


Sebab itulah Rasulullah saw. mengingatkan para ulama agar berhati-hati dalam berinteraksi dengan penguasa. Bahkan sekadar mendekati penguasa saja bakal mendatangkan fitnah. Sabda Nabi saw.:


وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنْ السُّلْطَانِ قُرْبًا إِلَّا ازْدَادَ مِنْ اللَّهِ بُعْدًا


Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu penguasa niscaya terkena fitnah. Tidaklah seorang hamba makin dekat dengan penguasa kecuali makin jauh dari Allah (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, Ibnu ‘Adi dan al-Bukhari dalam Târîkh al-Kabîr).


Kedekatan dengan penguasa bisa membuat para ulama makin jauh dari Allah. Dalam riwayat lain ada perintah untuk menjauhi pintu-pintu penguasa. Rasul saw. bersabda: 


إيَّاكُمْ ‌وَأبْوَابَ ‌السُّلطَانَ، فَإِنَّهُ قَدْ أَصبَحَ صَعْبًا هبُوطًا


Waspadalah kalian terhadap pintu-pintu penguasa karena sesungguhnya hal itu akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan (HR ath-Thabarani dan ad-Dailami).


Al-Munawi dalam kitab Faydh al-Qadîr menjelaskan hadis di atas bahwa pintu-pintu penguasa akan menyebabkan kesulitan besar bagi ulama serta mendatangkan kedudukan yang hina di dunia dan akhirat (Al-Munawi, Faydh al-Qadîr, 3/120, Maktabah Syamilah).


Ulama lain, Syaikh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Akhwadzi menerangkan sabda Rasul saw. uftutina; maknanya adalah waqa’a fî al-fitnah (terjatuh ke dalam fitnah). Sebabnya, jika ulama telah menyetujui penguasa atas kebijakannya (yang menyimpang dari syariah islam, red.) dan memuji-muji penguasa itu maka sungguh dia membahayakan agamanya. Sebaliknya, jika dia menyalahi penguasa (yang menyimpang) itu maka boleh jadi dia membahayakan dunianya.


Para ulama salafus-shâlih memberikan teladan dengan tidak gegabah mendatangi istana-istana para penguasa. Imam Malik, misalnya, pernah menolak permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid agar datang ke istana beliau untuk mengajarkan agama kepada keluarganya. Imam Malik mengeluarkan pernyataan yang masyhur yang ditujukan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid: “Al-‘Ilmu yu’ta wa lâ ya’ti (Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi).”


Bahkan para ulama terdahulu tidak suka mendatangi para penguasa, apalagi untuk mendapatkan jabatan dan kekayaan. Mereka menggolongkan perbuatan itu sebagai perilaku yang menjijikkan. Muhammad bin Maslamah rahimahulLâh berkata, “Lalat di atas kotoran lebih baik daripada ulama yang berada di pintu penguasa.”


Meski begitu, bukan berarti tidak ada ulama yang mendatangi para penguasa. Namun, kedatangan mereka bukan untuk mencari harta dan jabatan, tetapi untuk melakukan amar makruf nahi mungkar serta mengoreksi sikap keliru dan zalim para penguasa. Mereka melakukan apa yang diperintahkan Baginda Rasulullah saw.:


سَيِّدُ ‌الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ، فَنَهَاهُ وَأَمَرَهُ، فَقَتَلَهُ


Pemimpin para syuhada pada Hari Kiamat adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang jahat, lalu dia melarang penguasa jahat tersebut dari kemungkaran dan menyuruh dia berbuat kemakrufan, namun kemudian penguasa itu membunuh dirinya (HR ath-Thabarani).


Namun, jika para ulama datang kepada para penguasa sekadar menjadi stempel mereka dan menjustifikasi kebijakan zalim mereka, maka Allah SWT mengingatkan:


وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ


Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang bisa menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]: 113).


*Butuh Ulama Pejuang*


Dalam kondisi yang rusak saat ini para ulama justru harus hadir melakukan amar makruf nahi mungkar; mengoreksi penguasa dan menyerukan Islam sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk negeri. Para ulama harus mengingatkan para penguasa bahwa penyebab krisis multidimensi yang melanda negeri adalah karena syariah Islam tidak diterapkan untuk mengatur negeri ini.


Terkait kebijakan pertambangan, misalnya, ada tiga persoalan yang mestinya disampaikan oleh para ulama. Pertama: Mengoreksi rezim atas kebijakan pertambangan yang hanya menguntungkan oligarki, tidak menyejahterakan rakyat, tetapi justru menciptakan berbagai bencana dan kesusahan. Fakta menunjukkan pertambangan batubara, misalnya, baik legal maupun ilegal, telah membahayakan dan merugikan warga sekitar. Ribuan lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka menyebabkan banyak jatuh korban meninggal karena terperosok atau tenggelam. Ketersediaan air bersih juga terancam akibat pencemaran pertambangan yang mengancam manusia, ternak dan tanaman. 


Sebaliknya, warga sekitar justru jauh dari sejahtera. Bahkan hidup mereka semakin berat karena terdampak kerusakan lingkungan. Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan. Hanya para pemilik pertambangan yang diuntungkan dengan bisnis mereka.


Para penguasa harus diajari bahwa Islam mengharamkan tindak kemadaratan bagi lingkungan, apalagi bagi manusia. Sabda Nabi saw.:


لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ


Tidak boleh ada kemadaratan, juga tidak boleh menimpakan kemadaratan (kepada orang lain) (HR Ibnu Majah).

Kedua: Para ulama harus menyampaikan kepada para penguasa hukum Islam terkait pengelolaan tambang yang semestinya dipegang oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Nabi saw. pernah menarik kembali konsesi tambang garam yang sempat diberikan kepada Abyadh bin Hammal setelah tahu depositnya berjumlah besar. Hal ini menjadi dasar hukum bahwa tambang-tambang yang memiliki deposit yang besar adalah milik umum, haram hukumnya diserahkan kepada swasta, baik perusahaan maupun ormas.


Para ulama saatnya menyerukan pencabutan berbagai undang-undang yang mengizinkan swastanisasi berbagai sumber daya alam. Sebabnya, semua itu bertentangan dengan syariah Islam. Menurut syariah Islam, semua sumber daya alam yang menjadi hajat hidup publik adalah milik umum yang harus dikelola sebaik-baiknya oleh negara. Nabi saw. bersabda:


اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار


Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Ketiga: Para ulama berkewajiban menyadarkan umat dan menjelaskan kepada mereka bahwa pangkal kerusakan hari ini adalah ketiadaan penerapan syariah Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Allah SWT telah mengingatkan:


وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain). Sebabnya, jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa (TQS al-An’am [6]: 153).


Semoga para ulama tidak terjebak fitnah penguasa, lalu berpaling membenarkan kedustaan dan kezaliman mereka. Sungguh betapa keras ancaman Allah SWT terhadap para ulama yang bersekutu dengan para penguasa yang zalim.


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahulLâh berkata:


رُبَمَا دَخَلَ اَلْعَالِمُ عَلَى الْمَلِكِ وَمَعَهُ شَىْءٌ مِن دِيْنِهِ فَيَخْرُجُ وَلَيْسَ مَعَهُ شَىْءٌ. قِيْلَ لَهُ: وَ كَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: يُصَدِّقُهُ فِى كَذِبِهِ، وَيَمْدَحُهُ فِى وَجْهِهِ


“Boleh jadi seorang ulama yang mendatangi penguasa sambil membawa agamanya, ketika dia pulang, agamanya hilang.” Beliau ditanya, “Bagaimana bisa agamanya hilang?” Beliau menjawab, “Saat dia membenarkan kebohongan penguasa tersebut dan memuji-muji penguasa tersebut di hadapannya.” (Ibnu Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, 1/131, Maktabah Syamilah). []

BENAR, SALAM LINTAS AGAMA HARAM

 *BENAR, SALAM LINTAS AGAMA HARAM*


Buletin Kaffah No. 349 (22 Dzulhijjah 1445 H/28 Juni 2024 M)


Pada 28-31 Mei 2024 yang lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Tema yang diangkat adalah, "Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat". Kegiatan tersebut diikuti oleh 654 peserta dari berbagai unsur dalam MUI, ormas-ormas Islam, para peneliti dari berbagai universitas, dan lain sebagainya.


Di antara hal yang diputuskan dalam pertemuan tersebut adalah larangan (pengharaman, red.) penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam lintas agama, dengan menyertakan salam berbagai agama. Hal demikian karena mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ibadah. Penggabungan salam lintas agama yang dilakukan sementara ini bukan merupakan toleransi yang dibenarkan (Mui.or.id, 04/06/2024).

 

*Alasan MUI*


MUI tentu punya alasan dan dalil. Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Arif Fahrudin menjelaskan soal proporsionalitas toleransi di balik fatwa salam lintas agama tersebut. "Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan atau sinkretisme atau talfîq al-adyân sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," kata Arif seperti dikutip dari situs MUI, Minggu (2/6). Karena itu MUI menganjurkan agar pejabat seyogyanya bisa menjalankan fatwa hasil Ijtimak Ulama tersebut (Detik.com, 4/6/2024).


Sebenarnya, apa yang diputuskan oleh MUI pada pertemuan tersebut bukan hal yang baru. Pada tahun 2019 yang silam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur juga pernah mengeluarkan tausiyah atau himbauan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar tidak melakukan salam lintas agama karena dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari akidah umat Islam. 


Larangan atas salam lintas agama ini tentu tak ada kaitannya dengan persoalan toleransi antar pemeluk agama. Dalam hal keharusan bertoleransi dengan non-Muslim jelas umat Islam sudah paham. Bahkan karena sikap toleran umat Islamlah kehidupan antar pemeluk agama-agama bisa hidup berdampingan secara harmoni di negeri ini. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. 


*Salam Lintas Agama Haram*


Salam lintas agama, sebagaimana juga doa lintas agama, jelas haram. Pasalnya, selain mencampuradukkan ajaran Islam dengan agama-agama lain (sinkretisme), salam lintas agama juga mengandung unsur tasyabbuh bi al-kuffâr (menyerupai kaum kafir). Bagi seorang Muslim, menyerupai kaum kafir—baik dalam ibadah maupun perilaku mereka—jelas haram. Sebabnya, jika kita menyerupai mereka (kaum kafir), maka kita termasuk ke dalam barisan mereka. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah saw.:


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka (Abu Dawud, Sunan Abî Dâwûd, 11/48).


Rasulullah saw. juga bersabda:


لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ


Bukan termasuk golongan kita (umat Islam) siapa saja yang menyerupai kaum selain kita. Janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi maupun Nasrani. Sungguh salam kaum Yahudi adalah isyarat dengan jari-jemarinya, sementara salam orang Nasrani adalah isyarat dengan telapak tangannya (An-Nasa’i, As-Sunan al-Kubrâ, 6/92).


Di sisi lain, kaum kafir, terutama Yahudi dan Nasrani, sebetulnya iri dengan salam umat Islam. Karena itu tentu aneh jika kita malah meniru-niru salam mereka. Rasulullah saw. bersabda:


مَا حَسَدَتْكُمْ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ


Tidaklah kaum Yahudi iri kepada kalian seperti mereka iri atas ucapan ‘salam’ dan ucapan ‘amin’ kalian (Ibnu Majah, Sunan Ibni Mâjah, 3/92).


Karena itu sudah selayaknya umat Islam bangga dengan salam khas mereka sendiri, yakni ucapan: Assalâmu’alaykum wa rahmatulLâhi wa barakâtuh. Ini karena salam tersebut merupakan salah satu keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat Islam. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:


إِنَّ اللهَ أَعْطَانِي ثَلاَثَ خِصَالٍ لَمْ يُعْطِهَا أَحَدًا قَبْلِي: الصَّلاَةُ فِي الصُّفُوْفِ، وَالتَّحِيَّةُ مِنْ تَحِيَّةِ أَهْلِ اْلجَنَّةِ، وَآمِيْنَ... 


Sungguh Allah telah memberi aku tiga perkara yang tidak diberikan kepada salah seorang pun sebelum aku, yakni: shalat dalam shaf-shaf (shalat berjamaah); ucapan salam yang merupakan ucapan salam penduduk surga (yakni: assalâmu’alaykum, red.); dan ucapan ‘âmîn’…” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, 6/482). 


Karena itulah para ulama generasi salaf, saat berjumpa dengan Muslim yang lain, tidak suka mengganti salam khas umat Islam sekaligus salam penduduk surga ini dengan ucapan lain (meski ucapan tersebut mengandung doa). Dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah berjumpa dengan seorang ulama besar, Imam Ibnu Sirin rahimahulLâh. Lalu orang itu berkata, “HayyâkalLâhu (Semoga Allah memberikan kehidupan kepada Anda).” Segera Imam Ibnu Sirin berkata:


إِنَّ أَفْضَلَ التَّحِيَّةِ تَحِيَّةُ أَهْلِ اْلجَنَّةِ :السَّلاَمُ


Sungguh ucapan salam terbaik adalah ucapan salam penduduk surga, yakni: Assalâmu’alaykum (Tafsîr Ibni Abî Hâtim, 47/500).


*Toleransi yang Kebablasan*


Jelas, salam lintas agama adalah wujud dari toleransi yang kebablasan. Sebabnya, selain haram dan tak ada urgensinya, salam lintas agama—sebagaimana doa lintas agama—adalah wujud dari toleransi ala pluralisme agama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak aneh jika MUI dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas menyebutkan bahwa pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. 


Keharaman pluralisme agama antara lain karena paham ini menyatakan bahwa semua agama benar. Karena itu tidak boleh ada monopoli atas klaim kebenaran (truth claim), termasuk oleh kaum Muslim. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Allah SWT tegas berfirman:


إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ


Sungguh agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).

Allah SWT juga berfirman:


وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ


Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari dirinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi (TQS Ali Imran [3]: 85).


Di sisi lain Allah SWT tegas menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 165; QS at-Taubah [9]: 30; QS at-Taubah [9]: 31; QS al-Maidah [5]: 72). Karena itulah Rasulullah saw bersabda, “Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi maupun Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak mengimani apa yang telah diturunkan kepada diriku, kecuali dia menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim dan Ahmad).


*Mengatasi Intoleransi*


Perbedaan keyakinan dan klaim kebenaran (truth claim) di antara para pemeluk agama memang bisa saja memunculkan sikap intoleransi yang bisa mengarah pada konflik (benturan) antar mereka. Namun demikian, selama tidak mengarah pada benturan (konflik) secara fisik, sebetulnya tidak ada masalah. Karena itu benturan (konflik) itu harus diwadahi dalam batas-batas non-fisik, yakni hanya dalam wadah pemikiran dan intelektual semata. Tidak boleh mengarah pada benturan (konflik) fisik. Dengan cara seperti itulah pluralitas (kemajemukan) dalam keyakinan bisa diselesaikan dengan baik. 


Inilah yang sesungguhnya diajarkan oleh Islam. Islam tidak memaksa orang non-Muslim untuk memeluk dan meyakini Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Orang non-Muslim, baik Ahlul Kitab (seperti Yahudi dan Nasrani) maupun musyrik (seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya) tetap bisa hidup di dalam Negara Islam. Tentu saja mereka bebas memeluk keyakinan mereka dan mengklaim kebenaran atas keyakinan mereka.


Hanya saja, melalui proses dakwah yang dilakukan secara argumentatif (bi al-hikmah), dan debat terbuka dengan menampilkan argumen yang lebih unggul (wa jadilhum billati hiya ahsan) (QS an-Nahl [16]: 125), ditopang dengan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka orang-orang non-Muslim itu pun akhirnya bisa meyakini bahwa Islamlah satu-satunya agama dan ideologi yang benar. Lalu pada akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam, bukan karena terpaksa, tetapi dengan sukarela. Dengan begitu, kebenaran yang sebelumnya mereka klaim pun akhirnya mereka tinggalkan setelah menyaksikan kebenaran Islam. Semuanya itu ditampilkan oleh Islam secara elegan dan rasional. Kisah masuk Islamnya ribuan orang Kristen di Irak di tangan Abu Hudzail al-'Allaf setelah melalui debat intelektual, misalnya, adalah sedikit bukti yang bisa disebutkan di sini. 


*Menolak Pluralisme*


Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non-Muslim. Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka (Lihat: QS al-Mumtahanah [60]: 8). Islam pun mengajarkan untuk tetap bermuamalah baik dengan orangtua walaupun tidak beragama Islam (Lihat: QS Luqman [31]: 15).


Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, praktik toleransi demikian nyata. Hal ini berlangsung selama ribuan tahun sejak masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sepanjang masa Kekhalifahan Islam. Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization. Dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayah. Mereka hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M. 


T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarahwan Kristen, juga memuji toleransi beragama dalam Negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith (hlm. 134), dia antara lain berkata, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” 


Alhasil, umat Islam tak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah akidah dan syariah Islam yang menjadi pegangan hidup mereka. Keduanya adalah sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.


WalLâhu’alam. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Jangan pula kalian menyembunyikan kebenaran itu, sedangkan kalian mengetahui. (TQS al-Baqarah [2]: 42). []

CARA ISLAM MENCEGAH LAHIRNYA PARA PEJABAT KORUP DAN KHIANAT

 *CARA ISLAM MENCEGAH LAHIRNYA PARA PEJABAT KORUP DAN KHIANAT*


Buletin Kaffah No. 351 (06 Muharram 1446 H/12 Juli 2024 M)


Dalam sepuluh tahun terakhir ini kasus pejabat bermasalah makin banyak. Setidaknya lima pejabat di era Jokowi terjerat kasus hukum. Mentan SYL menjadi tersangka korupsi. Mantan Menkominfo Johny G Plate tersangkut kasus serupa. Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri, yang seharusnya menjadi teladan pemberantasan korupsi, justru terjerat kasus suap. Ada pula pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Tak ketinggalan, yang terbaru adalah kasus asusila (perzinaan) yang menjerat Ketua KPU Hasyim Asy’ari.


Sebelum ini sebetulnya sudah banyak para pejabat terjerat kasus korupsi. Selain itu, di era Jokowi banyak lahir berbagai UU dan peraturan yang mengkhianati amanah dan kepentingan rakyat. Ada Perpu Ormas, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan revisi UU KPK. Sebelumnya ada UU Migas, UU Minerba, dll. Semuanya lebih untuk kepentingan penguasa, para pemilik modal dan oligarki. Bukan untuk kepentingan rakyat kebanyakan. 


*Akar Penyebab*


Secara garis besar akar penyebab dari semua penyimpangan dan pengkhianatan para pejabat negara di atas sesungguhnya ada dua. Pertama: Faktor personal/individual. Tidak lain adalah mental khianat, korup dan tidak amanah yang melekat pada pribadi-pribadi penguasa dan para pejabat yang diangkat. Sudah jamak diketahui, pemilihan dan pengangkatan para pejabat seperti para menteri dan para pembantunya, misalnya, sering tidak didasarkan pada faktor keimanan dan ketakwaan atau kebaikan moral mereka. Bahkan faktor profesionalitas juga sering diabaikan. Yang sering terjadi, pejabat dipilih dan diangkat karena faktor kedekatan atau karena motif balas jasa, misalnya para relawan yang dipandang telah berjasa oleh penguasa terpilih dalam ajang Pilpres/Pemilu.

 

Kedua: Faktor sistemik. Tidak lain adalah penggunaan sistem pemerintahan demokrasi yang terbukti rusak dan merusak. Di negeri ini khususnya, sistem demokrasi terbukti menjadi pintu yang amat terbuka bagi ragam pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa dan para pejabat negara. Sudah bukan rahasia lagi bahwa suara rakyat dalam setiap Pemilu/Pilpres/Pilkada acapkali “dijual” oleh penguasa dan elit parpol kepada para oligarki. Tidak aneh jika kemudian banyak UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR lebih banyak berpihak kepada oligarki daripada untuk kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan UU Migas, UU Minerba dan UU Cipta Kerja, misalnya, sumber daya alam (seperti minyak dan gas, batubara, hutan, emas, nikel, fll) yang hakikatnya milik rakyat banyak dikuasai oleh pihak swasta dan asing. Dengan revisi UU KPK, tak ada lagi “tangkap tangan” terhadap para koruptor. Akibatnya, para koruptor makin leluasa untuk melakukan ragam korupsi. Wajar jika di era ini kasus korupsi bukan lagi di angka miliaran, puluhan miliar atau ratusan miliar rupiah; tetapi sudah menyentuh angka triliunan, puluhan triliun bahkan ratusan triliun rupiah (seperti kasus korupsi timah, dll). 

*Solusi Islam*


Untuk mengatasi persoalan di atas maka solusinya bisa dikembalikan pada dua akar penyebabnya. Pertama: Solusi personal/individual. Tidak lain dengan memilih dan mengangkat penguasa dan para pejabat negara yang memiliki keimanan yang kuat dan ketakwaan paripurna. Sayangnya, dalam sistem demokrasi, penguasa (termasuk para kepala daerah) acapkali dipilih semata-mata karena faktor popularitas dan elektabilitas belaka. Demikian pula dalam hal pengangkatan para pejabat negara. Yang dijadikan patokan hanya kedekatan (nepotisme). Urusan moral—apalagi keimanan dan ketakwaan—acapkali tak dipandang penting. Padahal dulu Rasulullah saw., sebagai kepala Negara Islam, senantiasa memilih dan mengangkat para pejabat yang paling istimewa dalam hal keimanan dan ketakwaannya, selain tentu yang dipandang paling mumpuni dalam hal profesionalitasnya. Contohnya Abu Bakar ra. dan Umar bin al-Khaththab ra. Kedua Sahabat ini jelas tak diragukan lagi dalam hal keimanan dan ketakwaannya. Keduanya diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai pembantu beliau dalam urusan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda:


وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ


Pembantuku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail. Adapun pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR at-Tirmidzi).


Dalam Islam, meski penguasa dan pejabat adalah orang-orang pilihan, mereka tetap perlu senantiasa dibimbing dan diarahkan. Tentu agar mereka tidak melenceng dari syariah Islam. Tidak ada yang meragukan keimanan dan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra., misalnya. Namun demikian, saat Rasulullah saw. memilih dan mengangkat Muadz ra. sebagai gubernur di Yaman, beliau tetap menasihati dirinya. Saat Muadz ra. sudah berangkat dan dalam perjalanan ke Yaman, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz ra. agar kembali. Saat Muadz ra. sudah kembali, beliau bersabda, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena itu adalah ghulûl (khianat). (Allah SWT berfirman): Siapa saja yang berbuat ghulûl, maka pada Hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dia khianatkan itu (TQS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi).


Pasca Rasulullah saw. wafat, generasi Muslim awal (yakni generasi para Sahabat) lalu memilih dan mengangkat penguasa/pemimpin terbaik di antara mereka. Terutama dalam hal dan keimanan dan ketakwaannya. Mereka berturut-turut adalah Abu Bakar ra. Umar bin al-Khaththab ra., Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Mereka adalah para khalifah terbaik yang disebut sebagai Khulafaur-Rasyidin. Para khalifah ini juga memilih dan mengangkat para pejabat negara di bawahnya dari kalangan orang-orang terbaik dalam hal keimanan dan ketakwaan mereka.


Kedua: Solusi sistemik. Tidak lain dengan menegakkan sistem pemerintahan Islam yang di dalamnya ditegakkan dan diterapkan syariah Islam secara kâffah. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) di Madinah pasca beliau hijrah. Pasca Rasulullah saw. wafat, Negara Islam ini dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah setelahnya yang kemudian disebutkan dengan Khilafah Islamiyah. Sistem pemerintahan Islam ini pernah berlangsung dengan segala kecemerlangannya tidak kurang dari 13 abad, yaitu sejak era Khulafaur Rasyidin, era Khilafah Umayah, era Khilafah Abasiyah dan terakhir era Khilafah Utsmaniyah.


*Pentingnya Keteladanan*


Selain keimanan dan ketakwaan personal serta kebaikan sistem (yakni sistem Islam), keteladanan penguasa atau pemimpin juga amat penting. Selaku kepala negara, Rasulullah saw., misalnya, walaupun memegang banyak harta negara, beliau biasa hidup sederhana. Beliau biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata:


مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا


“Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia ini. Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). 


Demikian pula pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat, yakni Khalifah Abu Bakar ra. Beliau hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari beliau dan keluarga beliau. Saat wafat, ternyata tidak ada yang bertambah dari harta beliau kecuali unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham. Tambahan harta inilah yang kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Umar ra., pengganti beliau (Ibnu Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, 1/139).


Khalifah Umar ra. meneladani dengan sangat baik kesederhanaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. Pada saat menjadi khalifah, Umar ra. juga hidup sederhana. Beliau pernah minta masukan kepada Salman al Farisi, apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar ra. mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada anggota masyarakat yang membicarakan Khalifah Umar ra. yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan. Sejak saat itu, Khalifah Umar ra. tidak pernah makan dengan dua macam lauk (Al-Ghazali, Ihy Ihyâ’ ’Ulûm ad-Dîn, 3/64).


*Anti Nepotisme*


Tak hanya hidup sederhana dan tentu tidak pernah korupsi, para penguasa Muslim pada masa lalu juga sangat anti nepotisme. Mereka biasa menjaga agar keluarga dan kerabat mereka tidak memanfaatkan jabatan mereka. Suatu ketika Khalifah Umar ra., misalnya, melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta putranya, maka beliau segera menyuruh putranya itu untuk menjual untanya tersebut. Lalu modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada putranya. Adapun laba penjualannya dimasukkan ke Baitul Mal (Kas Negara) (Sayyid bin Husain al-’Affani, Shalâh al-Ummah fii ‘Uluww al-Himmah, 6/4).


*Hukuman yang Tegas*


Selain keteladanan, hukuman yang tegas juga diberlakukan, khususnya terhadap para pejabat yang telah berani berkhianat. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar ra., misalnya. Jika beliau mendapati kekayaan seorang wali (gubernur) atau 'amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, maka beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal (kas Negara). Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan dan Amr bin al-‘Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47). Ini untuk kasus yang syubhat. 


Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, maka hukumannya adalah ta’zîr. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara atau bahkan dihukum mati. Bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut. 


*Amanah Menjaga Harta Rakyat*


Penguasa/pejabat juga dituntut untuk amanah dalam menjaga harta rakyat. Tidak boleh sedikit pun harta rakyat hilang atau tersia-siakan. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas. Lalu beliau ditegur oleh Imam Ali ra. Khalifah Umar ra. menjawab,"Jangan engkau mencela aku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi Sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Sebabnya, tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim." (As-Samarkandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).


Bandingkan dengan para penguasa saat ini, khususnya di negeri ini. Mereka dengan entengnya membuat aneka UU yang memberikan peluang kepada pihak swasta dan asing untuk menguasai berbagai sumber daya alam yang hakikatnya adalah milik rakyat. 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Rasulullah saw. bersabda:


مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ


Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl (haram). (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim). []

PENGUASAAN LAHAN OLEH SWASTA DAN ASING HARAM DAN BERBAHAYA

 *PENGUASAAN LAHAN OLEH SWASTA DAN ASING HARAM DAN BERBAHAYA*


Buletin Kaffah No. 352 (13 Muharram 1446 H/19 Juli 2024 M)


Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 11 Juli 2024. Perpres tersebut mengatur rentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) di IKN untuk para investor adalah sampai 95 tahun dan bisa diperpanjang sampai 95 tahun lagi. Total 190 tahun. Harapannya, aturan tersebut akan mengundang kehadiran investor asing di IKN yang masih nihil.


Perpres ini jelas bertabrakan dengan sejumlah aturan, mengancam kedaulatan negara, dan lebih buruk daripada aturan agraria yang dibuat oleh penjajah Belanda, VOC. Sebagaimana diketahui, UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) saja hanya memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun.


*Sejumlah Bahaya*


Salah satu alasan Pemerintah memberikan HGU yang begitu panjang bagi investor adalah untuk memberikan kepastian dalam berinvestasi. Hal ini disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Agus Harimurti Yudhoyono. 


Sebagaimana diketahui, Pemerintah akhirnya mengakui bahwa IKN sampai hari ini masih gagal mengundang investor asing. Ini bertolak belakang dengan gembar-gembor Presiden Jokowi yang pernah menyatakan investor sudah antri masuk IKN. 


Penyebab investor belum mau masuk ke IKN bukan semata persoalan HGU, namun karena kondisinya yang masih jauh dari selesai. Bahkan diakui oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, klaster pertama IKN saja belum selesai 100 persen. Klaster pertama ini mencakup kawasan inti pemerintahan, seperti presiden dan wakil presiden, lembaga tinggi negara. Sebab itu pula Presiden Jokowi tidak jadi berkantor di IKN pada Juli ini karena kondisinya jauh dari layak; minim air, listrik, dsb. Padahal awalnya Pemerintah begitu percaya diri kalau Presiden akan pindah kantor ke IKN pada bulan Juli tahun ini.


Pemberian HGU sepanjang 190 tahun yang ditujukan untuk mengundang investor tentu mengandung sejumlah persoalan dan ancaman untuk negeri ini. Pertama: Perpres ini sudah melanggar Konstitusi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan Perpres 75/2024 Pemerintah telah melanggar dua dasar hukum; yakni UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pemberian hak tanah kepada investor. UU Agraria mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun jika memenuhi syarat.


Kedua: Peraturan ini lebih buruk dari aturan kolonial. Pada era penjajahan di tanah air saja, UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) hanya memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun. Sebaliknya, kini di era kemerdekaan pemberian HGU kepada investor asing malah nyaris dua abad.


Pemerintah berdalih, dengan pemberian HGU 190 tahun, lahan tetap menjadi milik negara. Namun, pemberian HGU dalam jangka panjang ini membahayakan kedaulatan negeri. Tentu karena sepanjang 190 tahun itu pihak asinglah yang berkuasa di atas lahan tersebut. Akibatnya, segala kekayaan alam yang berada di lahan tersebut tidak bisa dimanfaatkan rakyat. Sudah sering terjadi rakyat, seperti nelayan, dilarang mendekati kawasan yang dikuasai asing meski hanya sekadar berlayar atau mencari ikan.


*Lahan Menurut Islam*


Islam memiliki hukum tersendiri mengenai lahan. Pertama: Tanah termasuk ke dalam harta yang dapat menjadi milik pribadi (milkiyyah fardiyyah). Hukum Islam mengizinkan individu memiliki lahan baik untuk hunian, tempat usaha, sawah, ladang, juga perikanan dan peternakan. Setiap warga negara  Muslim ataupun kafir berhak memiliki lahan baik secara zatnya maupun sekadar hak guna usahanya. 


Kedua: Negara Islam punya otoritas untuk membagikan lahan kepada rakyat, baik menjadi hak milik pribadi maupun hanya berupa HGU. Selanjutnya Negara Islam akan mengawasi pengelolaan lahan yang dimiliki warga. Penelantaran lahan selama tiga tahun oleh pemiliknya secara otomatis menjadikan status kepemilikannya batal atas lahan tersebut. Hal ini ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. (Lihat: Hadis riwayat Imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ, hadis nomor 11825).


Ketiga: Nabi saw. telah melarang lahan pertanian untuk disewakan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. dari Tsabit bin al-Hajjaj ra., dari Zaid bin Tsabit ra., yang berkata:


نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُخَابَرَةِ، قُلْتُ: وَمَا الْمُخَابَرَةُ، قَالَ: أَنْ تَأْخُذَ الْأَرْضَ بِنِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبْعٍ


Rasulullah saw. telah melarang al-mukhâbarah. Aku (Tsabit bin al-Hajjaj) berkata, “Apakah al-mukhâbarah itu?” Dia (Zaid bin Tsabit) berkata, “Engkau mengambil tanah dengan (mengambil bagian/keuntungan) separuh, sepertiga atau seperempat.” (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).


Keempat: Lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat karena mengandung bahan tambang atau mata air berlimpah yang menjadi kebutuhan publik statusnya menjadi milik umum (milkiyyah ’ammah). Lahan semacam ini dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan pada swasta dan asing. Ini berdasarkan sabda Nabi saw.:


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِيَ


Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram. Abu Sa'id berkata, ”Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).


Lahan yang menjadi jalan umum, atau aliran sungai, pantai dan laut yang menjadi hajat bersama/publik statusnya juga milik umum. Setiap orang boleh memanfaatkan lahan tersebut. Lahan tersebut wajib dijaga dan dipelihara oleh negara.


Kelima: Islam memerintahkan negara untuk mencegah praktik imperialisme oleh asing melalui jalan penguasaan lahan, baik secara perorangan, korporasi maupun negara. Penguasaan lahan selama hampir dua abad oleh pihak asing yang berpotensi besar menghilangkan kedaulatan negara  adalah haram. Allah SWT berfirman:


وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا


Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum  kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).


*Buah Pahit Kapitalisme*


Kebijakan Pemerintah memberikan HGU kepada pengusaha asing selama 190 tahun adalah kebijakan khas ideologi Kapitalisme. Negara penganut ideologi ini gencar membuat kebijakan privatisasi atau swastanisasi berbagai sektor, seperti SDA dan lahan secara luas. 


Dalam sistem Kapitalisme, negara juga lebih berpihak kepada kaum kapitalis, bukan kepada rakyat. Ketika Pemerintah mengobral HGU ratusan tahun kepada investor asing, penduduk setempat di kawasan IKN justru terancam kehilangan lahan dan tempat tinggal mereka. Warga Pemaluan, Kalimantan Timur, terancam digusur oleh Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN). Warga Sepaku mendapat peringatan agar tidak melakukan kegiatan apa pun di atas lahan yang dianggap milik Badan Bank Tanah.


Pembangunan IKN juga mengancam lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. Ada ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar yang terancam rusak dan mengancam keberadaan berbagai satwa di sana. Kerusakan alam akibat pembangunan IKN juga mengancam penghidupan hampir sepuluh ribu nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, lima Kelurahan Maridan, Mentawir, Pantai Lango, Jenebora, Gresik dari Kabupaten Penajam Paser Utara, juga para nelayan di Balikpapan. 


Lebih dari itu, ketika negara menggadaikan lahan di IKN kepada para investor asing untuk dikuasai selama 190 tahun, ada jutaan rakyat di tanah air yang tidak memiliki sertifikat lahan. Presiden sendiri mengatakan pada tahun 2015 bahwa dari 126 juta bidang tanah milik masyarakat, ada 80 juta masyarakat yang tidak memiliki sertifikat.


Ironisnya, dalam banyak kasus sengketa lahan, Pemerintah menggunakan mekanisme hukum domein verklaring. Warisan hukum kolonial ini menyatakan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dengan surat (sertifikat) otomatis akan menjadi tanah negara. Karena itu jutaan warga terancam kehilangan lahan dan tempat tinggal karena mereka tidak memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik). Belum lagi warga juga terancam oleh mafia tanah yang bisa menggandakan SHM untuk mereka perjualbelikan.


*Khatimah*


Wahai kaum Muslim, terbukti aturan selain Islam telah gagal melindungi hak masyarakat dan kedaulatan negeri. Para pengusaha terutama asing-aseng justru diberi karpet merah untuk mengokohkan kedudukan mereka di negeri ini selama hampir dua abad. Sebaliknya, kehidupan rakyat bukannya kian sejahtera. Mereka justru makin dipersulit oleh kebijakan yang mengancam lahan dan penghidupan mereka.


Apakah sistem Kapitalisme yang rusak dan merusak ini akan terus dipertahankan? Padahal Allah SWT sudah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus dan menyelamatkan. Itulah Islam yang sempurna dengan seluruh hukumnya. Lalu mengapa kita berpaling? 


Allah SWT berfirman:


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا 


Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku telah mengimani apa yang telah diturunkan kepada kamu (al-Quran) dan apa yang telah diturunkan (kepada para rasul) sebelum kamu? Mereka malah ingin berhukum pada thaghut. Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa' [4]: 60).


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

---*---


*Hikmah:*


Rasulullah saw. bersabda:


مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ


Siapa saja yang pernah berbuat aniaya (dengan merampas) sejengkal tanah saja maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi. (HR al-Bukhari). []

HANYA NEGARA YANG BERHAK DAN WAJIB MENGELOLA TAMBANG

 *HANYA NEGARA YANG BERHAK DAN WAJIB MENGELOLA TAMBANG*


Buletin Kaffah No. 354 (27 Muharram 1446 H/02 Agustus 2024 M)


“Setelah PBNU dan Muhammadiyah, Giliran Persis Nyatakan Terima Konsesi Tambang.” Demikian salah satu judul berita di Republika.id., 29 Juli 2024.


“Alasan PP Persis Terima Kelola Tambang: Untuk Menjadi Contoh yang Benar.” Demikian judul berita di Detik.com, 30 Juli 2024.


Sebagaimana diketahui, sebelum Persis, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah lebih dulu menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang. Alasan ketiga ormas Islam tersebut tak jauh beda. Sebagaimana Persis, Muhammadiyah, misalnya, berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang yang sesuai dengan ajaran Islam (Republika.id., 29/7/2024).


Seolah tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengaku tengah mengkaji kemungkinan untuk turut mengelola usaha pertambangan dari Pemerintah (Lihat: Kompas.com, 25/7/2024).


*Tiga Macam Kepemilikan dalam Islam*


Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam: (1) kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah); (2) kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah); (3) kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-dawlah) (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 69-70).


Terkait kepemilikan umum, menurut Syaikh Muhammad Husain Abdillah, ada tiga macam: Pertama, apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak. Contoh: air, padang rumput, api, dll. Kedua, benda-benda yang dari segi bentuknya tidak boleh dikuasai oleh individu. Contoh: jalan, jembatan, sungai, danau, dll. Ketiga, barang tambang yang depositnya besar. Contoh: tambang emas dan tembaga, dll (Lihat: M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, hlm. 56).


*Hakikat Kepemilikan Umum*


Dalam pandangan Islam, barang tambang dalam jumlah besar hakikatnya adalah bagian dari milik umum/rakyat (al-milkiyyah ‘âmmah). Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan: 


اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ: فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ


Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Para ulama hadis menilai para perawi hadis ini tsiqah (terpercaya). Dengan demikian hadis ini absah untuk dijadikan hujjah.


Dalam riwayat lain, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Sarkhasi, digunakan lafal: “An-Nâs syurakâ’ [un] (Umat manusia berserikat [memiliki hak yang sama])...” Menurut Imam as-Sarkhasi, “Di dalam hadis-hadis tersebut terdapat penetapan bahwa manusia, baik Muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal itu.” (Lihat: As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, 3/355).


Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang. 


Di sisi lain, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Ini berarti berserikatnya manusia atas air itu bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya, yakni dibutuhkan oleh orang banyak. Ini juga berlaku bagi padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi). Dengan kata lain berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâth[an] atas perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.


Dengan demikian apa saja (air, padang rumput, api, sarana irigasi, jalan raya, jalan tol, pantai dan lautnya, dll) yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum adalah milik umum dan manusia berserikat di dalamnya. Perserikatan di sini bermakna kebersamaan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua itu harus dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat. Tidak boleh dikuasai dan dirasakan manfaatnya oleh seseorang atau sebagian saja. 


Tegasnya, semua yang dibutuhkan oleh masyarakat atau merupakan fasilitas publik (marâfiq al-jamâ’ah)—tak hanya air, padang rumput dan api—adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Dari sini lahirlah kaidah kulliyyah:


كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ الْجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً


Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat adalah milik umum.


Selain itu ada kaidah:


اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْمَعْلُوْلِ وُجُوْداً وَعَدَماً 


Hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat-nya. 


Berdasarkan kaidah ini, apa saja yang dibutuhkan oleh publik (marâfiq al-jamâ’ah) terkategori sebagai milik umum. Sebaliknya, jika bukan marâfiq al-jamâ’ah, meskipun tercantum dalam hadis tersebut, tidak terkategori sebagai milik umum sehingga boleh dimiliki oleh individu.


Contoh barang yang termasuk dalam kepemilikan umum—selain air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dll)—adalah semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll. Semua yang termasuk milik umum ini haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, swasta apalagi asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas.


Dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda: 


عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.


Dari Abyadh bin Hammal: Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Beliau lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh bin Hammal ra. telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mâ’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Timidzi).


Hadis ini maqbûl dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thurûq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, 4/9). Hadis tersebut merupakan dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 54-56).


Alasannya, dalam hadis tersebut Rasulullah saw.—yang sekaligus sebagai kepala Negara Islam di Madinah saat itu—menarik kembali tambang garam yang sempat beliau berikan kepada Abyadh bin Hammal ra. Hal itu beliau lakukan setelah beliau tahu bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah. Dengan demikian Rasulullah saw. ingin menegaskan bahwa tambang garam yang depositnya melimpah tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.


Ketentuan ini berlaku bukan hanya untuk tambang garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut didasarkan pada adanya ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Dengan demikian semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) tidak boleh dimiliki oleh individu; termasuk oleh swasta dan asing.


Imam Ibnu Qudamah berkata:


وَأَمَّا الْمَعَادِنُ الْجَارِيَةُ كَالْقَارِ، وَالنِّفْطِ، وَالْمَاءِ، فَهَلْ يَمْلِكُهَا مَنْ ظَهَرَتْ فِي مِلْكِهِ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ أَظْهَرُهُمَا، لَا يَمْلِكُهَا


Adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi dan air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Dalam hal ini ada dua riwayat. Namun, yang lebih kuat adalah tidak boleh seseorang memiliki barang tambang yang melimpah tersebut (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131).


*Wajib Dikelola oleh Negara*


Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa semua tambang yang depositnya besar haram dikuasai oleh pribadi-pribadi, swasta dan asing. Termasuk tidak boleh dikuasai oleh ormas. Semua tambang tersebut wajib dikelola oleh Negara. Seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Kalaupun dalam pengelolaannya Negara melibatkan pribadi-pribadi, swasta dan asing, termasuk ormas, mereka semua hanya boleh menjadi mitra pelaksana (operator) yang dikontrak. Bukan diberi konsesi, penguasaan atau hak kepemilikan atas tambang-tambang tersebut. 


Dengan demikian, yang semestinya dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI dll adalah mendorong Negara untuk mengambil-alih kembali semua tambang yang selama ini diberikan kepada oligarki swasta dan asing, yang terbukti sebagian besar hasilnya hanya dinikmati oleh mereka saja. Ormas-ormas Islam seperti NU, Muhamadiyah, Persis, MUI dll wajib memaksa Negara untuk mengelola semua tambang yang depositnya besar semata-mata demi kepentingan dan kemaslahatan seluruh rakyat. Bukan malah terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang tersebut, yang hasilnya pun tentu hanya bisa dinikmati oleh organisasi dan jamaahnya saja. 


Alhasil, ormas-ormas Islam seharusnya tidak tergoda untuk terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang apapun. Apalagi ke depan pengelolaan tambang oleh ormas-ormas Islam berpotensi menjadi jebakan dan perangkap politik bagi mereka. Sebaliknya, ormas-ormas Islam seharusnya tetap fokus, tegak lurus dan istiqamah di jalan amar makruf nahi mungkar, terutama mengoreksi berbagai kebijakan Negara yang melenceng dari syariah Islam, termasuk dalam pengelolaan tambang yang selama ini sangat kapitalistik, liberal dan ugal-ugalan. Kebijakan Negara yang melenceng dari syariah dalam pengelolaan tambang tersebut terbukti hanya memperkaya oligarki, aseng dan asing. Akibatnya, di tengah kekayaan barang tambang yang amat berlimpah-ruah di negeri ini, rakyat kebanyakan tetap miskin. Padahal rakyatlah sesungguhnya pemilik semua tambang yang ada, termasuk sumber daya alam lainnya, yang menguasai hajat hidup orang banyak.


WalLâhu a’lam. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 


Hendaknya ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104). []


---------------------------------------------

*BEBASKAN PALESTINA, HANCURKAN ENTITAS YAHUDI!*

---------------------------------------------

Saturday, August 17, 2024

MERDEKA: LEPAS DARI KOLONIALISME MAUPUN NEO-KOLONIALISME

 *MERDEKA: LEPAS DARI KOLONIALISME MAUPUN NEO-KOLONIALISME*


Buletin Kaffah No. 356 (11 Safar 1446 H/16 Agustus 2024 M)


MESKI konteksnya adalah membandingkan Istana Negara di Jakarta dan Bogor dengan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim), tentu menarik pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini. Jokowi menyebut Istana Negara di Jakarta dan Bogor pernah dihuni pemerintah kolonial Belanda. "Jadi bau-bau kolonial selalu saya rasakan, setiap hari dibayang-bayangi," kata Jokowi dalam video yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden (Cnnindonesia.com, 13/8/2024) .


Boleh jadi, pernyataan Jokowi ini sekadar ingin menambah daftar “argumentasi” tentang pentingnya memindahkan ibukota negara dari Jakarta dan Bogor—yang dianggap sebagai warisan kolonial—ke IKN di Kalimantan Timur yang merupakan hasil produk anak bangsa. Dengan pernyataannya itu, Jokowi seolah ingin memberikan kesan bahwa pembangunan IKN di Kaltim merupakan simbol untuk melepaskan bangsa ini dari belenggu kolonialisme. 


Padahal jelas, IKN lebih merupakan simbol kolonialisme itu sendiri. Tepatnya, neo-kolonialisme. Ironisnya, neo-kolonialisme itu dilakukan oleh rezim penguasa terhadap rakyatnya sendiri, terutama rakyat Kaltim di sekitar IKN. Mereka tergusur lahannya dan terancam kehidupannya. Belum lagi adanya izin kepada para investor untuk menguasai lahan IKN hingga 190 tahun yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2023. PP yang kental dengan aroma busuk kolonialisme ini seolah melengkapi aturan Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). UU yang juga ada bau-bau kolonialnya ini memberikan izin penguasaan lahan oleh para investor, terutama melalui skema Hak Pengelolaan (HPL), hingga 90 tahun. 


*Neo-Kolonialisme Mencengkeram Negeri Ini*


Kolonialisme identik dengan imperialisme (penjajahan). Sejumlah negara seperti Inggris, AS, Prancis, Spanyol, Portugal dan Belanda pernah menjadi kekuatan kolonial pada masa lalu. Bangsa dan negeri ini adalah di antara yang pernah merasakan penderitaan di bawah kolonialisme Barat selama ratusan tahun sebelum akhirnya meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. 


Namun demikian, tanpa banyak disadari, kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sesungguhnya menandai era neo-kolonialisme di negeri ini. Neo-kolonialisme atau neo-imperialisme (penjajahan gaya baru) adalah upaya negara-negara maju atau kekuatan global untuk melakukan kontrol terhadap negara-negara berkembang atau bekas koloni, meskipun secara formal negara-negara tersebut telah merdeka. Neo-kolonialisme dilakukan tanpa kekuatan militer, tetapi melalui dominasi ekonomi, politik, budaya dan ideologi. 


Jelas, Indonesia saat ini masih dicengkeram oleh neo-kolonialisme atau neo-imperialisme meskipun secara resmi negara ini telah merdeka sejak 79 tahun lalu. Beberapa indikatornya antara lain: 


Pertama, ketergantungan ekonomi. Indonesia memiliki ketergantungan pada investasi asing dan perdagangan internasional. Buktinya, banyak perusahaan multinasional (seperti Freeport, ExxonMobil, BP, Shell, Chevron, dll) yang beroperasi di Indonesia, terutama di sektor sumber daya alam seperti pertambangan, energi dan perkebunan. Freeport, misalnya, selama puluhan tahun hingga saat ini telah menguasai dan menguras jutaan ton emas di Papua. Chevron pernah menguasai dan menguras Blok Rokan, lapangan minyak terbesar di Indonesia. BP menguasai dan menguras LNG Tangguh di Papua. Banyak perusahaan swasta nasional maupun asing juga mengeksploitasi hutan dan lahan perkebunan yang sering lebih memberikan keuntungan besar kepada mereka dan merugikan rakyat. Ditambah lagi kerusakan akibat eksploitasi SDA yang menciptakan bencana ekologis.


Kedua, ketergantungan pada utang luar negeri. Indonesia memiliki utang luar negeri yang cukup besar, ribuan triliun rupiah, baik kepada negara-negara lain maupun ke lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Beberapa program bantuan atau pinjaman dari lembaga-lembaga ini sering datang dengan syarat-syarat yang dapat memengaruhi kebijakan ekonomi domestik, seperti keharusan liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor publik (SDA seperti tambang, energi, migas, dll).


Ketiga, dipengaruhi kebijakan politik asing. Pengaruh asing di negeri ini dalam pengambilan kebijakan sesungguhnya nyata. Agenda liberalisasi ekonomi dan privatisasi di Indonesia, misalnya, telah lama disinyalir berada dalam pengaruh asing.

 

Keempat, dominasi gaya hidup dan budaya. Indonesia juga menghadapi dominasi gaya hidup dan budaya asing, terutama melalui media, film, musik dan produk-produk konsumtif. Pengaruh gaya hidup dan budaya Barat sering memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini sering menciptakan dekadensi moral. Di antaranya perilaku seks bebas. Menurut data BKBBN terakhir, 60% remaja usia 16-17 tahun pernah melakukan hubungan seks. Kebanyakan tentu saja hubungan seks di luar nikah.


*Agar Lepas dari Neo-Kolonialisme*


Untuk melepaskan diri dari neo-kolonialisme, Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya perlu mengambil langkah-langkah strategis yang berakar pada prinsip-prinsip syariah Islam, juga didasarkan pada keyakinan bahwa kemandirian sejati hanya bisa dicapai dengan menegakkan kembali ideologi Islam.


Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil berdasarkan ketetapan Islam. Pertama: Menerapkan syariah Islam secara kâffah di semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti meninggalkan ideologi dan sistem asing, seperti kapitalisme dan sekularisme, yang jelas-jelas menciptakan kolonialisme. 


Berikutnya adalah menerapkan ideologi dan sistem Islam yang didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah. Di bawah naungan sistem Islam, sumber daya alam, kekayaan negara dan kebijakan ekonomi akan dikelola sesuai dengan hukum syariah, yang mengutamakan keadilan dan kesejahteraan umat. Allah SWT telah berfirman:


فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ 


Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).


Kedua: Membangun ekonomi mandiri berbasis Islam dengan menghindari ketergantungan pada utang luar negeri atau investasi asing yang bersyarat. Sistem ekonomi Islam menekankan keadilan, distribusi kekayaan yang merata, larangan riba dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Karena itu pengelolaan sumber daya alam wajib dilakukan oleh Negara—haram diserahkan kepada pihak swasta (termasuk ormas) dan asing—untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau perusahaan swasta dan asing. Rasulullah saw. bersabda:


اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ 


Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: hutan, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama, antara lain Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa sumber daya alam—tak hanya ketiga jenis yang disebutkan dalam hadis tersebut—seperti tambang, yang menguasai hajat hidup orang banyak, adalah bagian dari kepemilikan umum (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 218). 


Ketiga: Menegakkan keadilan ekonomi dan sosial. Negara harus memastikan bahwa kebijakan ekonomi dan sosial yang diambil tidak menguntungkan satu kelompok tertentu, apalagi pihak asing, tetapi harus diarahkan untuk kemaslahatan seluruh lapisan masyarakat. Allah SWT berfirman:


كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ 


Agar harta-kekayaan itu tak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Keempat: Mengusir pengaruh pemikiran, ideologi dan budaya asing. Caranya dengan memperkuat identitas Islam sekaligus menolak pemikiran, ideologi dan budaya asing yang merusak dan bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat harus dididik untuk bangga dengan identitas Islam mereka dan menolak pengaruh asing yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah saw. bersabda:


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka (HR Abu Dawud).


Kelima: Membangun kesadaran politik Islam. Umat Islam harus memahami bahwa politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan mengelola urusan umat sesuai dengan syariah Islam. Oleh karena itu, umat harus aktif berjuang untuk menegakkan kembali syariah Islam dalam semua aspek kehidupan.


Keenam: Menegakkan kembali institusi pemerintahan Islam. Ini adalah kunci untuk mengakhiri neo-kolonialisme di negara-negara Muslim. Institusi pemerintahan Islam (Khilafah) akan menyatukan umat Islam di bawah satu pemerintahan yang berlandaskan aqidah Islam. Khilafah akan melindungi umat dari eksploitasi asing sekaligus memulihkan kedaulatan politik, ekonomi dan budaya. Rasulullah saw. bersabda:


ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَة عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ


…Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian… (HR Ahmad).


Ketujuh: Mengusir pengaruh dan intervensi asing. Ini termasuk menolak campur tangan politik, bantuan yang bersyarat dan perjanjian internasional yang merugikan kepentingan umat Islam. Allah SWT berfirman:


وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا 


Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa' [4]: 141).


*Khatimah*


Di tengah Perayaan Hari Kemerdekaan yang ke-79 pada Bulan Agustus pada tahun ini, selayaknya bangsa yang mayoritas Muslim ini segera menyadari: Pertama, negeri ini telah lama berada dalam cengkeraman neo-kolonialisme. Kedua, bangsa ini tentu wajib sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman neo-kolonialisme ini. Ketiga, satu-satunya cara untuk melepaskan bangsa dan negeri ini dari cengkeraman neo-kolonialisme adalah dengan menerapkan kembali ideologi Islam dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah.


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ... 


Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian.... (TQS al-Anfal [8]: 24). []