Wednesday, September 11, 2024

METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH

 METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH


Lagi ramai tentang metode ilmiah. Guru Gembul memuja metode ilmiah Barat yang ukuran kebenaran harus empiris yang harus membatalkan banyak sekali silsilah dan status para habaib yang sudah established dalam catatan mereka ratusan tahun. Tulisan ini  tidak akan masuk ke kontroversi nasabnya, melainkan mengkritik metode ilmiah Barat.


Bila Pak Guru sedang memujanya, saya pernah menulis makalah menggugat dan mengkritik metode ilmiah Barat itu 25 tahun lalu alias ¼ abad lalu ketika dosen dan sejarawan UNPAD, Nina Herlina Lubis, dalam makalah Seminar tentang Sunan Gunung Djati di Cirebon tahun 2001, melalui metode ilmiah, dia harus meragukan keberadaan Sunan Gunung Djati karena keberadaan tentang Sultan Cirebon pertama itu sumbernya tak ilmiah atau lemah secara ilmiah. Ilmiah mana yang dimaksud? Dalam pengertian Barat!!


Soal ini, Nina (dulu) tampaknya kurang kritis dan Guru Gembul sekarang tampaknya kurang bacaannya. Selain usia masih muda, mungkin tak mendalami soal metode ilmiah yang di masyarakat Muslim atau tradisi keilmuan Islam, problematik itu.


Ini makalah saya 25 tahun lalu, sebagiannya pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Tulisan ini, konteksnya menanggapi Nina saat itu, tapi masih relevan dan akan terus relevan. Sekarang pun menemukan relevansinya dengan kasus Guru Gembul itu. Mudah²an bermanfaat. Terima kasih kepada Facebook, makalah panjang bisa masuk semua di status. Keren dah 👍☕🚬

________


HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN KRITIK ATAS METODE SEJARAH ILMIAH


Oleh Moeflich Hasbullah


Sejarah ilmiah mengenal adanya teori yang disebut teori sejarah kritis (critical theory of history). Teori ini mengkritik kecenderungan karya-karya sejarah yang ditulis tidak berdasarkan sumber-sumber primer yang kuat seperti subur dalam historiografi tradisional yang mengandalkan sumber-sumber lokal yang umumnya berupa sastra sejarah yaitu babad, cerita, kisah, dongeng dan riwayat yang diwarnai legenda dan mitos. Teori sejarah kritis sangat penting dalam menyaring tingkat validitas atau kebenaran suatu informasi sejarah karena prosesnya sangat ketat. 


Namun, kelemahannya metode ini sangat positivistik dimana sejarah mutlak bergantung pada fakta empirik (hardfact). Sejarah tanpa fakta kuat dan teruji secara teori adalah dusta. Pendekatan ini menjadi problematis terutama ketika diterapkan ke dalam medan historis negara-negara berkembang atau masyarakat tradisional atau kurun sejarah abad-18 ke belakang yang tidak meninggalkan sumber-sumber yang “ilmiah” dalam pengertian Barat. 


Syarif Hidayatullah misalnya, yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati, secara keagamaan sosoknya sangat dihormati dan dipercaya sebagai seorang waliyullah yang kedudukan ruhaninya tinggi sebagai wali qutub. Diantara walisongo, hanya Sunan Gunung Djati yang memiliki posisi sebagai ulama dan raja, wali sekaligus sultan. Dialah sultan pertama kerajaan Islam Cirebon yang menyebarkan Islam di tatar Sunda secara intensif melalui kekuasaannya, mendirikan kesultanan Banten, menaklukan Sunda Kalapa, kerajaan Sunda Pajajaran dan mengakhiri kekuasaan politik Hindu di Jawa Barat. Tak seorang pun meragukan keberadaannya dan tak satu pun fakta keras yang tidak mendukung keberadaannya. 


Tetapi, melalui teori sejarah kritis (menurut Nina dulu), keberadaan Sunan Gunung Djati harus masih mempertanyakan karena analisis historis yang kuat dari berbagai fakta yang saling mendukung menyimpulkan bahwa ia tidak bisa begitu saja dipercaya benar-benar ada.


Metode Sejarah Kritis


Menurut Garraghan (1946), peristiwa sejarah yang benar-benar dapat dipercaya atau diakui kebenarannya (valid) hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyandarkan pada strictly primary sources (sumber-sumber primer yang kuat). Mereka adalah sumber atau penulis sumber yang menyaksikan sendiri (eye-witness), mendengar sendiri (ear-witness) atau mengalami sendiri (the actor) sebuah peristiwa yang dituliskan dalam sebuah sumber. Inilah sumber yang paling terpercaya. Dibawahnya adalah less/contemporary strictly primary sources (masih sumber primer tapi kurang kuat). Bila strictly primary sources merujuk pada saksi mata dan pelaku, less/contemporary strictly primary sources adalah penulis sumber yang bukan saksi atau pelaku tapi hidup sezaman dengan peristiwa. 


Ketika unsur strictly primary source ini sudah terpenuhi, dalam memberikan keterangan sejarah atau menuliskan sumber sejarah, saksi mata yang pernah bertemu, hidup sezaman, mendengar langsung dan sebagai pelaku pun harus benar-benar teruji kejujurannya dalam menggambarkan sebuah peristiwa dan menyampaikan kebenaran. Selain itu, bila ditemukan satu sumber primer yang kuat juga belum cukup. Sumber primer tersebut harus didukung oleh sumber-sumber lain yang “bebas” dan tidak saling mempengaruhi untuk menemukan dukungan penuh kuatnya sebuah fakta. Metode ini disebut metode korborasi.


Selama ini, semua sumber sejarah tentang adanya Sunan Gunung Djati, pendiri kesultanan Islam Cirebon, bersumber dari historiografi tradisional. Sumber-sumber itu adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Tanah Djawi, Babab Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang dan sebagainya. Dari penelitian Dadan Wildan (2001), ditemukan bahwa semua naskah-naskah itu ditulis sejak awal abad ke-18 atau 150 tahun lebih dari masa hidup Sunan Gunung Djati. 


Selama ini, berarti, sejarah Sunan Gunung Djati ditulis hanya berdasarkan naskah-naskah sekunder. Dengan demikian, tingkat kebenarannya lemah. Belum ditemukan sumber-sumber primer yang kuat seperti diharapkan stricly primary resources tentang Sunan Gunung Djati dari naskah-naskah pribumi (lokal) yaitu karya-karya sejarah yang ditulis oleh Sunan Gunung Djati sendiri, oleh keluarganya, oleh sahabatnya atau orang lain yang hidup dekat (serumah, sekeluarga, sekerajaan, sedaerah) atau sezaman yang melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri. 


Dengan demikian, dari perspektif metodologi kritis, kesimpulan yang mesti ditarik adalah sosok dan keberadaan Sunan Gunung Djati hingga saat ini masih diragukan dan perlu dipertanyakan. Analisis ilmiah-akademis belum menunjukkan kebenaran adanya sosok Sunan Gunung Djati pernah hidup di masa silam.


Beberapa Pertanyaan


Metode ketat seperti ini tentu saja penting. Sejarah memang harus dikritisi seradikal mungkin. Sejarah harus dibersihkan dari unsur-unsur mitos dan legenda, agar masyarakat membaca sejarah yang “benar.” Tetapi, pendekatan ini bukan tanpa masalah. Sejarah dan kehidupan tidak sesederhana ilmu pengetahuan modern menganalisisnya. 


Jawablah ini:


Bagaimana membuktikan ribuan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara common sense dipercaya keberadaannya oleh masyarakat tapi tidak memenuhi standar metodologi sejarah kritis apalagi korborasi?


Metode ini bisa dengan mudah menjawab pertanyaan di atas dengan menyerukan untuk tidak lagi menganggap yang selama ini sesungguhnya mitos, legenda dan dongeng sebagai sejarah. Tetapi, bagaimana ketika “penghapusan” memori kolektif masyarakat tersebut sedang diusahakan, sementara mitos, legenda dan dongeng tidak pernah hilang, tetap hidup dan dipercaya masyarakat serta lebih fungsional untuk konstruksi dan peneguhan nilai-nilai kehidupan masyarakat?


Bagaimana kita akan menyebut bahwa sebuah peristiwa atau sejarah hidup seseorang —atas nama metode sejarah kritis— tidak bisa dipercaya karena tidak ditemukan sumber-sumber yang kuat sementara puluhan fakta-fakta lain mendukungnya seperti adanya keturunan, artifact (bangunan, candi, kuburan, keraton), mentifact (kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat sesuai tradisi berfikir) dan seterusnya? 


Islam mengharuskan keimanan kepada adanya nabi-nabi yang tidak pernah meninggalkan sumber-sumber yang kuat. Kalau kita konsisten dengan metode sejarah kritis, kita mesti meragukan bahwa Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SAW pernah hidup selama belum ditemukannya sumber-sumber primer yang kuat.


Selama ini belum ada sumber primer yang kuat dalam tradisi ilmiah Barat tentang keberadaan Nabi Adam, Nuh, Hud, Luth, Sulaeman, Daud, Ibrahim, Yusuf dan yang lainnya selain keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan sedikit penemuan arkeologis. Makam Nabi Muhammad harus diragukan karena tidak ada tulisan di nisannya bahwa itu benar-benar kuburan Nabi yang dicatat saat itu, kalau pun ada bisa saja dibuat orang beberapa abad setelahnya. Kemudian, naskah asli dan teruji tulisan tangan Zaid bin Tsabit (penulis turunnya wahyu kepada Rasulullah) tentang turunnya ayat-ayat Qur’an juga tidak ditemukan. Demikian juga naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan Aisyah, Khadijah dll yang pernah menjadi istri-istri Nabi, naskah asli dan teruji dari Fatimah Az-Zahra (anak perempuan Nabi), naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan sendiri para sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. 


Saat itu, tradisi pengetahuan di kalangan bangsa Arab adalah tradisi lisan, ingatan dan hafalan yang kuat bukan tradisi tulisan. Kita bisa mengatakan, Tuhanlah dan kitab suci bisa dipercaya karena Tuhan adalah kesaksian langsung sejarah atas diutusnya nabi-nabi. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah diakui kehadirannya dalam konvensi ilmiah?Tradisi ilmiah akan mencibir dan tertawa bila seseorang bersaksi lewat pertemuannya dengan hal-hal yan ghaib. Dalam tradisi berpikir modern, ghaib itu tidak ilmiah yang selama ribuan tahun dianut orang-orang Islam sebagai ajaran agamanya, sementara ayat Allah mengatakan:


“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah 2 -5).


Tuhan menyatakan “la rayba” (tidak ada keraguan) pada kitab suci Al-Qur’an sebagai firman-Nya, tapi metode sejarah kritis harus meragukan keberadaan nabi-nabi sebagai pelaku sejarah karena tidak adanya sumber-sumber primer yang kuat tentang mereka. Kitab suci Al-Qur’an tidak bisa menjadi sumber sejarah karena tidak pernah menyebutkan waktu dan tempat sebuah peristiwa. 


Persoalan hadits lebih rumit lagi. Berdasarkan derajat validitas, hadits telah diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan: maudhu’ (palsu), hasan (bisa diterima), marfu (bohong), maqtu (terputus sanadnya), shahih (kuat/valid), muttafaq ‘alaih (disepakati oleh ahli-ahli hadits), dan mutawatir (valid berdasarkan kesaksian banyak orang). Hadist-hadist Bukhari-Muslim yang dulu dipercaya keshahihannya, belakangan sudah banyak yang diragukan. Ribuan hadits telah dipalsukan. 


Naskah-naskah asli tulisan zaman Nabi berupa kesaksian dan tulisan langsung mereka terhadap peristiwa turunnya ayat-ayat Qur’an, pengakuan hidup Nabi dari tulisan Nabi sendiri atau pengakuan para sahabatanya, selama ini semuanya belum ada. Bagaimana kita mengakui adanya Nabi Muhammad karena fisiknya sendiri tidak boleh digambarkan? 


Peristiwa Isra Mi’raj tidak ada satu pun saksi sejarahnya. Abu Bakar membenarkannya, yang membuatnya digelari Ash-Siddiq, bukan dari kesaksiannya melihat fisik Nabi terbang melesat ke langit, tetapi karena iman. Pembuktian semua peristiwa ini lemah secara sejarah kritis. Bagaimana semua ini harus dipercaya? 


Semua peristiwa sejarah yang diceritakan dalam kitab suci, yang “tak ada keraguan padanya” menjadi persoalan dalam metode sejarah kritis. Tentu ini masalah besar karena kita dihadapkan pada dua pilihan mendasar. Mana yang harus lebih dipercaya: kitab suci firman Tuhan atau kitab metode ilmiah pikiran manusia? Bila kitab suci tidak memenuhi standar ilmiah, apakah fakta juga benar-benar ilmiah? 


Sejarah adalah peristiwa masa lampau yang memiliki kaitan dengan kehidupan manusia. Sebuah fakta akan selalu terkait dengan sistem nilai, kesadaran, ideologi, subyektifitas dan kepentingan manusia. Dengan demikian, fakta selalu merupakan produk mental sejarawan dan “fakta adalah hasil konstruksi subyek” (Sartono, 1992: 17). Maka sesungguhnya tidak ada sebuah fakta pun yang obyektif dan “bebas kepentingan” yang diandaikan oleh metode koroborasi. Bila semua fakta adalah subyektif dan “bebas kepentingan” adalah tidak mungkin, bukankah metode kritis dan korborasi hanya sebuah khayalan belaka?


Problematika Sumber-sumber Barat


Sejak para sejarawan Barat menaruh perhatian pada sejarah Islam Asia Tenggara dengan segala aspeknya, mereka menemukan bahwa sejarah Asia Tenggara, khususnya di masa awal, sangat kompleks, rumit dan membingungkan. Hingga kini para sejarawan belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama (Azra, 1989). Para pengkaji Islam Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan tentang konsep dasar yang menyebabkan mereka sulit untuk menyamakan pandangan satu sama lain.


Salah satu problem dan kesulitan itu adalah bahwa sumber-sumber pribumi lokal untuk studi-studi klasik (abad XIX ke belakang) di Asia Tenggara lebih bersifat sastra sejarah ketimbang karya sejarah “ilmiah” dalam pengertian Barat. Historiografi yang terdapat di Asia Tenggara sesungguhnya melimpah tetapi “sayang” karena “hanya” berbentuk hikayat, babad, silsilah, cerita, syair dan lain-lain. Seperti diungkapkan Anthony John, kebanyakan literatur tersebut memiliki citra rendah dan tidak menguntungkan sebagai sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber pribumi berupa roman, balada, dongeng, kronik dan risalah, semua itu tidak memenuhi kategori-kategori Barat tentang sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah, “para peneliti atau sejarawan kemudian berpaling kepada sumber-sumber asing, khususnya yang ditulis oleh orang-orang Eropa yang datang ke Asia Tenggara sebagai pengembara, wartawan, misionaris dan kemudian juga sebagai kolonialis-imperialis” (Azyumardi (1989: vii). 


Karena historiografi tradisional merupakan sumber-sumber sekunder yang kredibilitas infomasinya diragukan, banyak sejarawan kemudian berpaling pada sumber-sumber Portugis dan Belanda. Sumber-sumber Portugis (yang sezaman dengan Sunan Gunung Djati) misalnya adalah Suma Oriental karya Tome Pires, Da Asia karya De Barros, Perigrinacoes karya Mendez Pinto dan 

dari sumber Belanda karangan Frederick de Haan.


Namun demikian, penggunaan catatan-catatan atau sumber-sumber asing juga bukan tanpa masalah. Sumber-sumber itu juga problematis. Bagi kalangan sejarawan Muslim apalagi. Alam dan tradisi berpikir Eropa, istilah-istilah yang lahir dari nomenklatur masyarakat dan sistem nilai dan budaya Eropa, struktur sosial-politik Eropa sering begitu saja diproyeksikan ke dalam kehidupan Asia Tenggara dan masyarakat Islam. Akhirnya bias budaya tak terhindarkan. Muncullah miskonsepsi dan distorsi dalam memandang Islam. Azyumardi menjelaskan gamblang persoalan ini. 


"Bias historis Barat sejak dari waktu yang paling awal, melihat Islam di Timur Tengah tidak urung lagi juga sangat mewarnai pandangan Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan di Asia Tenggara. Von Mehden baru-baru ini dalam sebuah studinya tentang agama dan modernisasi di Asia Tenggara, misalnya menyatakan bahwa bias para penulis Barat awal dalam melihat agama (Islam khususya yang merupakan agama yang dianut oleh sebagian terbesar penduduk kawasan ini) dilatarbelakangi oleh kebodohan, rasa superioritas rasial, perbedaan agama, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kolonial. Para pengembara atau wartawan Barat yang menulis tentang Asia Tenggara khususnya, bukanlah para ahli, dan mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan kunjungan singkat dan kebanyakannya mengamati dari daerah perkotaan, sehingga mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan, pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya. Di pihak lain, para misionaris Kristen pada umumnya menggambarkan agama-agama yang mereka temukan di Asia Tenggara sebagai kepercayaan sesat belaka, karena itu para penganutnya ialah orang-orang bodoh dan terkutuk. Meskipun terdapat penulis-penulis dari kalangan misionaris yang cukup “obyektif,” pada umumnya nada tulisan mereka adalah negatif, disebabkan perbedaan agama yang memang sulit disembunyikan. Sejauh menyangkut penggambaran Islam di Asia Tenggara, datangnya kekuasaan kolonial tidaklah membuat keadaan pengkajian Islam menjadi lebih baik. Pengkajian-pengkajian Islam dilihat dari sudut kepentingan pengukuhan status quo kolonialisme. Karenanya peneliti yang menggunakan sumber-sumber kolonial ini harus selalu mawas diri terhadap bias kolonial dalam sumber yang ia kaji, sehingga tidak tersesat pula mengikuti pandangan kolonialis." (hal. viii)


Kutipan tersebut jelas sekali memesankan dua hal secara eksplisit: (1) sumber-sumber Barat bukan alternatif dan tidak bisa dipercaya karena penuh dengan subyektifitas dan prasangka, (2) para sejarawan harus hati-hati atau mawas diri agar tidak terjebak ke dalam pandangan kolonial yang menyesatkan. Atas kenyataan itu Azyumardi berkesimpulan bahwa bagi sejarawan yang ingin menemukan obyektifitas, sumber-sumber asing ternyata tidak lebih reliable ketimbang sumber-sumber pribumi.


Inilah juga yang dirasakan De Graaf. Dalam tulisannya ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ (The Cambridge History of Islam, 1987), ia memulai tulisannya dengan kegamangan atas sumber-sumber pribumi. “Secara keseluruhan,” kata De Graaf, “catatan-catatan tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi Melayu dan Indonesia tidak dapat dipercaya, betapa pun banyaknya catatan-catatan itu. Terdapat semacam keseragaman tentang catatan-catatan itu, yang tidak benar bunyinya.” 


Tapi, bagi De Graaf, bersandar pada sumber-sumber Barat juga bukan menjadi lebih baik. Dan, Graaf harus mengkingkari pernyataannya sendiri karena sebuah “ketakberdayaan historis.” Bersama dengan Pigeaud, Graaf menulis buku yang terkenal De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien over de Staatkundige Gesschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16). Buku ini mengulas pengaruh Hindu – Budha dan masuknya agama Islam ke Nusantara dengan menggunakan seluruh sumber-sumber tardisional yang ada yaitu sejarah Jawa asli seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Babad Mataram dan Babad Sangkala sambil di sana-sini kritis terhadap sumber-sumber Barat atau modern. 


Misalnya ada dua contoh. Pertama, ketika Graaf-Pigeaud mengikuti pemberitaan Portugis yaitu Mendez Pinto tentang Sunan Gunung Djati, mereka menyelipkan sebuah kalimat “yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya” (hal. 142). Kedua, ketika Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunung Djati di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan “para ulama” Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan 17. Graaf-Pigeaud mengkritik pernyataan itu dengan mengatakan Hoesein tidak mempertimbangkan bahwa sejak awal abad ke-16, tradisi Islam sudah lebih awal tumbuh dan berkembang di Jawa Timur dan itu menjadi basis penghormatan masyarakat terhadap Sunan Giri/Gresik. (Hal. 144). Dan kini, pendapat Hoesein itu juga digugurkan oleh kenyataan bahwa ziarah ke makam Sunan Gunung Djati di Cirebon paling ramai dibandingkan dengan makam-makam lainnya. 


Buku Graaf-Pigeaud ini telah diangggap mengoreksi wajah sejarah Jawa yang telah ditulis para sejarawan Eropa yang hanya berdasarkan sumber-sumber asing. Dua sejarawan Belanda kawakan ini mempelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Berbeda dengan perspektif asing, pembahasan dalam buku itu bersifat menyeluruh menyangkut soal-soal keagamaan, sosial, dan ekonomi.

Tentu saja ini bukan sebuah ironi Graaf-Pigeaud, melainkan sebuah sikap, sebuah ketegasan memilih. 


Sumber-sumber tradisional kurang bisa dipercaya, banyak hikayat, mitos dan legenda. Tapi sumber Barat juga sama tidak bisa dipercayanya, banyak kepentingan dan prasangka. Akhirnya, keputusan harus dijatuhkan dan Graaf-Pigeaud lebih memilih sumber-sumber tradisional, karena mereka lebih dekat dengan obyektifitas, merekalah pelaku sejarah Asia Tenggara, orang-orang Eropa itu orang asing yang mengamati, tidak bisa obyektifitas diharapkan dari mereka. Strictly primary source disini tidak berlaku. Sejarah mesti memakai sumber “yang paling ada” bukan yang “harus ada.” 


Bukan hanya Graaf-Pigeaud, sejarawan Barat yang menegaskan pilihannya kepada sumber-sumber tradisional. Anthony Reid menggunakan Babad ing Sangkala 1738 bahkan yang sudah yang diterjemahkan terlebih dahulu oleh Ricklefs. Juga Babad Lombok dan Babad Tanah Djawi ketika menuliskan karya magnum opus-nya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993). Selain babad, dia juga menggunakan sekitar delapan buah hikayat (Hikayat Banjar, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Patani, Hikayat Pocut Muhammat, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Ranto dan hikayat Teungku de Meuke) dan sumber-sumber tradisional lainnya, selebihnya adalah buku-buku modern-sekunder. 


Sebagai sejarawan ahli Jawa, Ricklefs juga tak bisa menghindari sumber-sumber tradisional. Ia menggunakan Carita Purwaka Caruban Nagari dalam bukunya A History of Modern Indonesia (1981), dan banyak sumber-sumber tradisional Jawa kuno dalam bukunya tentang pemerintahan Mangku Bumi, The Seen and Unseen World in Java (1997). 


Buku klasik penting tentang Asia Tenggara, Sejarah Melayu (The Malay Annal) yang hanya sebuah cerita dan “tidak ilmiah” hampir menjadi acuan semua sejarawan yang mengkaji Asia Tenggara. Rata-rata, buku-buku sejarah “ilmiah” karya-karya penulis asing, selain sedikit menggunakan sumber-sumber pribumi, ratusan lainnya adalah sumber-sumber sekunder karya-karya penulis asing atau pribumi periode-priode modern (lihat Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya (1994); A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993); Keith Buchanan, The Southeast Asian World (1967); D.G.E. Hall, A History of Southeasi Asia (1970); juga John Bastin (1967), van Leur (1955), Schrieke (1960) dll. Mereka semua memakai sumber-sumber tradisional dan sumber primer yang ada yang ditulis bahkan pada abad ke-20, padahal mereka menulis sejarah klasik, tanpa harus menyatakan kesimpulan bahwa sejarah Asia Tenggara masa-masa awal tidak usah dipercaya, bahwa keberadaan tokoh-tokoh sejarah abad-abad lalu hanya sekedar legenda dan mitos dan susah pembuktian historisnya.


Semua sejarawan di atas, Barat maupun pribumi, yang telah menghasilkan ratusan karya-karya berharga tidak ada yang bisa menghindari penggunaan sumber-sumber tradisional, yang tidak memenuhi standar ilmiah Barat itu. Tetapi, bukan berarti sejarah tidak harus direkonstruksi, tidak harus dituliskan dan tidak harus dipercaya hanya karena argumen tidak tersedianya strictly primary sources. 


Strictly primary sources dengan demikian hanya sebuah utopia yang sesungguhnya tidak menemukan juntrungannya dalam studi sejarah klasik. Ia hanya mungkin bagi studi-studi sejarah kontemporer dimana manusia sudah memiliki tradisi menuliskan apa yang dijalaninya. Strictly primary sources bahkan bisa menjadi a-historis ketika diterapkan sebab ia mengharuskan “penghapusan” dan “penghilangan” periode sejarah klasik. 


Makalah Nina (bagi saya dalam Seminar Sunan Gunung Djati di Cirebon 2001), yang menggunakan metode sejarah kritis yang ketat dalam seminar di Cirebon, tidak sama sekali memberikan perspektif baru, penemuan baru, data baru dan penguatan baru atas sejarah Sunan Gunung Djati. Ia tak lebih hanya sekadar intellectual game dan intellectual exoticism yang menarik tapi sesungguhnya kurang bermanfaat.


Bias Barat Sejarawan Pribumi


Kembali ke persoalan bias sejarawan seperti diungkap Azyumardi di atas, penulis tidak berpretensi mengatakan bahwa Nina “telah tersesat,” tidak juga pandangannya telah menyimpang, karena ia juga menemukan pandangan biasnya Tome Pires ketika mengisahkan “Lebe Uca” yang –mengikuti rekaan Atja– diduga adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodin” adalah “Raden Patah.” Tetapi bahwa pandangan Nina yang mengatakan bahwa “soal pertemuannya [Sunan Gunung Djati] dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris [kesaktian para wali] tidak bisa dibuktikan secara historis,” adalah sebuah persoalan, terutama karena Nina adalah sejarawan Muslim. Pandangan ini sangat bias kolonial, empiris-materialis dan menafikkan nilai-nilai kepercayaan yang hidup dalam masyarakat sebagai fakta sejarah.


Dari pernyataannya di atas muncul dua persoalan: 


Pertama, “tidak bisa dibuktikan secara historis.” Apa yang ia maksud dengan “historis”? Disini, Nina sama sekali tidak memakai perspektif Islam dalam memahami sejarah Islam. Pendekatan multidisipliner –yang diprakarsai Sartono– hanya sebatas ilmu-ilmu “umum” (filologi, semiotika, ekonomi, sosiologi, politik dll) dan tidak memasukkan khazanah “ilmu-ilmu Islam.” Padahal, dalam mengkaji sejarah Islam pendekatan ilmu dan tradisi Islam adalah sebuah kemutlakan. 


Bagaimana seseorang akan mempelajari struktur, ideologi dan gerakan tarekat tanpa faham ilmu tasawuf? Dalam ilmu dan tradisi tasawuf (sufisme), pertemuan dengan ruh yang sudah meninggal adalah hal biasa dan bisa dibuktikan oleh orang yang ingin membuktikan. Bila mesti ada saksi lain yang membenarkan peristiwa itu (korborasi), dalam tasawuf, orang tersebut harus menjalani (terlibat) dalam apa yang diamalkan dan dikembangkan dalam tasawuf (melalui taqarrub, taubat, dzikir, hadharah, riyadhah dll). Dengan kata lain, dia harus menjadi murid, darwis atau sufi melalui sejumlah amalan. Bila ini dijalani, atas izin Allah, seseorang akan dengan mudah berhubungan dan berkomunikasi dengan hal-hal ghaib. Dalam tasawuf, pertemuan dengan ruh Muhammad adalah dambaan dan impian para sufi, dan tidak akan mengalaminya kecuali sudah mencapai maqam tertentu. Oleh Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pengalaman bertemu dengan ruh Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat mungkin dan biasa, apalagi Sunan Gunung Djati diyakini orang dari dulu sampai sekarang sebagai wali bahkan disebut wali qutb (pemimpin para wali dari walisanga) karena mungkin selain “paling wali,” secara geneologis, beliau adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad sendiri. 


Kedua, walaupun maksud “historis” disitu ukurannya adalah empiris dan materialis, sesungguhnya hal-hal ghaib terdapat pembuktian empirisnya. Bukankah sihir dan teluh ada fakta empirisnya? Bukankah ketika Nabi Musa berdialog dengan Tuhan (Musa ingin melihat wajah Tuhan) ada fakta empirisnya berupa gunung yang meledak? Bukankah ketika Nabi Muhammad menerima ajaran-ajaran dari yang Maha Ghaib (Allah) ada fakta historis-empirisnya berupa tubuh Nabi yang bergetar, peluh keringat dan catatan Al-Qur’an yang dijamin kemurniannya? 


Dalam tradisi tasawuf, seseorang berjalan di atas air tanpa basah, shalat jum’at seorang kyai sufi di dua tempat dalam satu waktu yaitu Mekkah dan di pesantrennya, merubah batu jadi emas, bertemu dan dialog dengan jin dan ruh yang sudah meninggal adalah biasa dan bisa dibuktikan. Dan al-Qur’an sendiri (surat 2: 154) menyatakan “wala taqûlû liman yuqtalu fí sabilillahi amwátun, bal ahyá-un, wa lá killa tasy'urûn” (Janganlah kalian menganggap mati mereka yang telah meninggal karena berjuang di jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hidup, kamu saja yang tidak mengetahui). 


Ketiga, “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja.” Benar kata Nina, persoalannya adalah kepercayaan alias keimanan. Dan benar pula, sepanjang seseorang tidak percaya berarti baginya itu bukan fakta tapi hanya ilusi atau mimpi. Mudah-mudahan milyaran umat Islam tidak sedang mimpi dengan keyakinan agamanya, tentang nabi-nabinya, tentang Tuhan, malaikat dan akhirat dsb karena bagi strictly primary resources, semua itu hanya ilusi dan mimpi.


Ditempat lain, pernyataan bahwa “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja” adalah tergolong kepada mentifact yang tidak kuat. Karena kategorinya tidak kuat, nampaknya Nina tidak menempatkan diri disitu. Ia meragukan mentifact. Pernyataannya ini ironis dengan beberapa kesimpulannya. Misalnya ia mengatakan bahwa Sunan Gunung Djati adalah “seorang wali dari walisanga.” Dari mana Nina mengetahui dan meyakini bahwa Sunan Gunung Djati adalah seorang wali? Tentang keberadaan sejarah dan sosok Sunan Gunung Djati saja ia tidak percaya karena selama ini hanya bersumber dari historiografi tradisional yang ditulis tidak sezaman dengan masa hidup pendiri kesultanan Cirebon itu, apalagi anggapan bahwa dirinya adalah seorang wali.


Metode Ilmiah Barat Sudah Runtuh


Ilmu pengetahuan modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri (not for the sake of human being), dengan kata lain, ilmu hanya untuk ilmu, ilmu demi eksplanasi (for the sake of explanation), dan ilmu demi pengukuhan supremasi rasionalisme, bahkan ilmu demi kekuasaan (science for power). Akibatnya, perkembangan ilmu pengetahuan sering terlepas dari subyeknya yaitu manusianya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan semakin berkembang cepat tapi tidak membawa kebahagiaan sejati manusia modern. Ilmu pengetahuan semakin complicated dan teknologi semakin canggih tetapi manusia modern malah mengalami dislokasi, disorientasi dan krisis dalam kehidupannya.


Menurut kesaksian Arnold (1992), hal itu terjadi karena wajah sains modern sesungguhnya adalah korup. Kepalsuan teori dan kerancuan prakteknya adalah karakeristik dari modernitas. Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold berujar: 


“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.” 


Lebih jauh, Arnold menyebutkan terdapat DELAPAN DOSA BESAR sains modern yang berkaitan erat satu sama lain: Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif; Kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work); Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; Keempat, mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; Kelima, melayani vested-interest dan mode; Keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; Ketujuh, kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai; Kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia (hal. 16).


Bila dikritisi secara cermat, delapan poin kritik pedas Arnold di atas bukan melulu dominasi sains alam dan fisika saja, enam kritik terakhir dari poin-poin tersebut adalah watak khas ilmu-ilmu sosial juga, termasuk ilmu sejarah. Dalam tradisi ilmu sosial, seorang peneliti dan penstudi peristiwa sosial baru sah disebut sebagai “ilmuwan” bila memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan Arnold. Dalam studi sosial, subyek disyaratkan menjaga jarak dari obyek studi. “Obyektifitas” diukur oleh ketidakterlibatan. Tugas ilmuwan adalah hanya menjelaskan (to explain) di atas dogma-dogma obyektifitas dan netralitas, dan bukan terlibat (to involve). Bila sang subyek terlibat dengan nilai-nilai dan ideologi obyek maka ia kita pandang telah meruntuhkan otoritas keilmuwanannya. Ilmuwan demikian, kita klaim sebagai ideolog, mubaligh, demagog atau bahkan ”provokator.”


Analisis historis Nina tentang Sunan Gunung Djati sangat spesialis-teoritis ilmu sejarah, sangat only for the sake of explanation dan “objectivity is everything.” Nina, tampaknya, merasa naif bila ia harus berpihak pada sumber-sumber tradisional. Analisis Nina dalam tulisannya, hemat penulis, adalah manifestasi dari poin ke tiga sampai delapan dari ciri-ciri yang disebutkan Arnold di atas: sangat menekankan spesialisasi ilmu sejarah dan lepas dari pertimbangan makna, dampak sosial dan nilai-nilai religius-kultural masyarakat Jawa Barat, mengasumsikan hanya terdapat satu jenis pengetahuan (metode ilmiah Barat), kepura-puraan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai (value- free), dan tidak berpusat pada manusia (scientific-oriented). 


Padahal, para pemikir belakangan membuktikan bahwa doktrin obyektifitas dan netralitas ilmu pengetahuan itu non-sense adanya. Habermas, salah satu juru bicara Frankfurt School yang paling menonjol, berhasil membuktikan bahwa sains modern telah lama berkolaborasi dengan imperium kapitalisme. Demikian juga Foucault. Seperti ia bongkar dalam Madness and Civilization (1965), ketika Foucault menggambarkan sejarah “kegilaan,” dengan terpana penuh kekagetan ia menyaksikan ternyata ilmu pengetahuan adalah hasil konstruksi kekuasaan selama berabad-abad. Sedangkan menurut Anthony Gidden, modernitas —sains adalah penopangnya— tak lebih dari sekadar sebuah proyek Barat. Bagi para pemikir posmodern, netralitas dan obyektifitas yang dipropagandakan modernitas tak lain kecuali ‘dagelan ilmu.’ Klaim “obyektifitas” dan “netralitas” sebagai doktrin ilmu pengetahuan Barat modern, hanya mengukuhkan tesisnya Foucault tentang “knowledge is power” atau tesisnya Habermas tentang “knowledge and interest,” bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak zaman Fajar Budi pasca renaissance Eropa abad ke-18, yang menjadi basis dari hegemoni modernitas, merupakan konstruksi yang dibangun dalam rangka mempertahankan imperium narasi besar modernisme dan status quo yang bertengger di pusat kekuasaan kapitalisme dan peradaban Barat modern.[]


Moeflich Hasbullah, Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati. Alumni Southeast Asian Studies ANU Canberra, Australia.


Daftar Pustaka


Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press, 1994. 


Arnold Arnold, The Corrupted Sciences. Challenging the Myths of Modern Science, Paladin, 1992.


Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1989.


Bastin, Jhon and Harry J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall, 1967.


De Graaf, H.J., ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ dalam The Cambridge History of Islam, 1987.


De Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta, Grafitti, 1984.  


Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970.


Keith Buchanan, The Southeast Asian World. An Introductory Essay, London: G. Bell and Sons. Ltd, 1967. 


Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, New York: Random House, 1965.


Nina H. Lubis, Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati, Makalah pada Seminar Sunan Gunung Djati, 2001.


Reid, Anthony, 1993, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London.


Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. Asian Histories Series: MacMillan.


Ricklefs, M.C. The Seen and Unseen World in Java, Allen&Unwin, 1997.


Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1992.


Schrieke, B, Indonesian Sociological Studies, Sumur Bandung, 2nd Edition, 1960.

No comments: