Tuesday, August 20, 2024

CARA ISLAM MENCEGAH LAHIRNYA PARA PEJABAT KORUP DAN KHIANAT

 *CARA ISLAM MENCEGAH LAHIRNYA PARA PEJABAT KORUP DAN KHIANAT*


Buletin Kaffah No. 351 (06 Muharram 1446 H/12 Juli 2024 M)


Dalam sepuluh tahun terakhir ini kasus pejabat bermasalah makin banyak. Setidaknya lima pejabat di era Jokowi terjerat kasus hukum. Mentan SYL menjadi tersangka korupsi. Mantan Menkominfo Johny G Plate tersangkut kasus serupa. Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri, yang seharusnya menjadi teladan pemberantasan korupsi, justru terjerat kasus suap. Ada pula pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Tak ketinggalan, yang terbaru adalah kasus asusila (perzinaan) yang menjerat Ketua KPU Hasyim Asy’ari.


Sebelum ini sebetulnya sudah banyak para pejabat terjerat kasus korupsi. Selain itu, di era Jokowi banyak lahir berbagai UU dan peraturan yang mengkhianati amanah dan kepentingan rakyat. Ada Perpu Ormas, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan revisi UU KPK. Sebelumnya ada UU Migas, UU Minerba, dll. Semuanya lebih untuk kepentingan penguasa, para pemilik modal dan oligarki. Bukan untuk kepentingan rakyat kebanyakan. 


*Akar Penyebab*


Secara garis besar akar penyebab dari semua penyimpangan dan pengkhianatan para pejabat negara di atas sesungguhnya ada dua. Pertama: Faktor personal/individual. Tidak lain adalah mental khianat, korup dan tidak amanah yang melekat pada pribadi-pribadi penguasa dan para pejabat yang diangkat. Sudah jamak diketahui, pemilihan dan pengangkatan para pejabat seperti para menteri dan para pembantunya, misalnya, sering tidak didasarkan pada faktor keimanan dan ketakwaan atau kebaikan moral mereka. Bahkan faktor profesionalitas juga sering diabaikan. Yang sering terjadi, pejabat dipilih dan diangkat karena faktor kedekatan atau karena motif balas jasa, misalnya para relawan yang dipandang telah berjasa oleh penguasa terpilih dalam ajang Pilpres/Pemilu.

 

Kedua: Faktor sistemik. Tidak lain adalah penggunaan sistem pemerintahan demokrasi yang terbukti rusak dan merusak. Di negeri ini khususnya, sistem demokrasi terbukti menjadi pintu yang amat terbuka bagi ragam pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa dan para pejabat negara. Sudah bukan rahasia lagi bahwa suara rakyat dalam setiap Pemilu/Pilpres/Pilkada acapkali “dijual” oleh penguasa dan elit parpol kepada para oligarki. Tidak aneh jika kemudian banyak UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR lebih banyak berpihak kepada oligarki daripada untuk kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan UU Migas, UU Minerba dan UU Cipta Kerja, misalnya, sumber daya alam (seperti minyak dan gas, batubara, hutan, emas, nikel, fll) yang hakikatnya milik rakyat banyak dikuasai oleh pihak swasta dan asing. Dengan revisi UU KPK, tak ada lagi “tangkap tangan” terhadap para koruptor. Akibatnya, para koruptor makin leluasa untuk melakukan ragam korupsi. Wajar jika di era ini kasus korupsi bukan lagi di angka miliaran, puluhan miliar atau ratusan miliar rupiah; tetapi sudah menyentuh angka triliunan, puluhan triliun bahkan ratusan triliun rupiah (seperti kasus korupsi timah, dll). 

*Solusi Islam*


Untuk mengatasi persoalan di atas maka solusinya bisa dikembalikan pada dua akar penyebabnya. Pertama: Solusi personal/individual. Tidak lain dengan memilih dan mengangkat penguasa dan para pejabat negara yang memiliki keimanan yang kuat dan ketakwaan paripurna. Sayangnya, dalam sistem demokrasi, penguasa (termasuk para kepala daerah) acapkali dipilih semata-mata karena faktor popularitas dan elektabilitas belaka. Demikian pula dalam hal pengangkatan para pejabat negara. Yang dijadikan patokan hanya kedekatan (nepotisme). Urusan moral—apalagi keimanan dan ketakwaan—acapkali tak dipandang penting. Padahal dulu Rasulullah saw., sebagai kepala Negara Islam, senantiasa memilih dan mengangkat para pejabat yang paling istimewa dalam hal keimanan dan ketakwaannya, selain tentu yang dipandang paling mumpuni dalam hal profesionalitasnya. Contohnya Abu Bakar ra. dan Umar bin al-Khaththab ra. Kedua Sahabat ini jelas tak diragukan lagi dalam hal keimanan dan ketakwaannya. Keduanya diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai pembantu beliau dalam urusan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda:


وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ


Pembantuku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail. Adapun pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR at-Tirmidzi).


Dalam Islam, meski penguasa dan pejabat adalah orang-orang pilihan, mereka tetap perlu senantiasa dibimbing dan diarahkan. Tentu agar mereka tidak melenceng dari syariah Islam. Tidak ada yang meragukan keimanan dan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra., misalnya. Namun demikian, saat Rasulullah saw. memilih dan mengangkat Muadz ra. sebagai gubernur di Yaman, beliau tetap menasihati dirinya. Saat Muadz ra. sudah berangkat dan dalam perjalanan ke Yaman, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz ra. agar kembali. Saat Muadz ra. sudah kembali, beliau bersabda, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena itu adalah ghulûl (khianat). (Allah SWT berfirman): Siapa saja yang berbuat ghulûl, maka pada Hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dia khianatkan itu (TQS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi).


Pasca Rasulullah saw. wafat, generasi Muslim awal (yakni generasi para Sahabat) lalu memilih dan mengangkat penguasa/pemimpin terbaik di antara mereka. Terutama dalam hal dan keimanan dan ketakwaannya. Mereka berturut-turut adalah Abu Bakar ra. Umar bin al-Khaththab ra., Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Mereka adalah para khalifah terbaik yang disebut sebagai Khulafaur-Rasyidin. Para khalifah ini juga memilih dan mengangkat para pejabat negara di bawahnya dari kalangan orang-orang terbaik dalam hal keimanan dan ketakwaan mereka.


Kedua: Solusi sistemik. Tidak lain dengan menegakkan sistem pemerintahan Islam yang di dalamnya ditegakkan dan diterapkan syariah Islam secara kâffah. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah) di Madinah pasca beliau hijrah. Pasca Rasulullah saw. wafat, Negara Islam ini dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah setelahnya yang kemudian disebutkan dengan Khilafah Islamiyah. Sistem pemerintahan Islam ini pernah berlangsung dengan segala kecemerlangannya tidak kurang dari 13 abad, yaitu sejak era Khulafaur Rasyidin, era Khilafah Umayah, era Khilafah Abasiyah dan terakhir era Khilafah Utsmaniyah.


*Pentingnya Keteladanan*


Selain keimanan dan ketakwaan personal serta kebaikan sistem (yakni sistem Islam), keteladanan penguasa atau pemimpin juga amat penting. Selaku kepala negara, Rasulullah saw., misalnya, walaupun memegang banyak harta negara, beliau biasa hidup sederhana. Beliau biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata:


مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا


“Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia ini. Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). 


Demikian pula pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat, yakni Khalifah Abu Bakar ra. Beliau hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari beliau dan keluarga beliau. Saat wafat, ternyata tidak ada yang bertambah dari harta beliau kecuali unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham. Tambahan harta inilah yang kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Umar ra., pengganti beliau (Ibnu Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, 1/139).


Khalifah Umar ra. meneladani dengan sangat baik kesederhanaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. Pada saat menjadi khalifah, Umar ra. juga hidup sederhana. Beliau pernah minta masukan kepada Salman al Farisi, apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar ra. mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada anggota masyarakat yang membicarakan Khalifah Umar ra. yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan. Sejak saat itu, Khalifah Umar ra. tidak pernah makan dengan dua macam lauk (Al-Ghazali, Ihy Ihyâ’ ’Ulûm ad-Dîn, 3/64).


*Anti Nepotisme*


Tak hanya hidup sederhana dan tentu tidak pernah korupsi, para penguasa Muslim pada masa lalu juga sangat anti nepotisme. Mereka biasa menjaga agar keluarga dan kerabat mereka tidak memanfaatkan jabatan mereka. Suatu ketika Khalifah Umar ra., misalnya, melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta putranya, maka beliau segera menyuruh putranya itu untuk menjual untanya tersebut. Lalu modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada putranya. Adapun laba penjualannya dimasukkan ke Baitul Mal (Kas Negara) (Sayyid bin Husain al-’Affani, Shalâh al-Ummah fii ‘Uluww al-Himmah, 6/4).


*Hukuman yang Tegas*


Selain keteladanan, hukuman yang tegas juga diberlakukan, khususnya terhadap para pejabat yang telah berani berkhianat. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar ra., misalnya. Jika beliau mendapati kekayaan seorang wali (gubernur) atau 'amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, maka beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal (kas Negara). Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan dan Amr bin al-‘Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47). Ini untuk kasus yang syubhat. 


Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, maka hukumannya adalah ta’zîr. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara atau bahkan dihukum mati. Bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut. 


*Amanah Menjaga Harta Rakyat*


Penguasa/pejabat juga dituntut untuk amanah dalam menjaga harta rakyat. Tidak boleh sedikit pun harta rakyat hilang atau tersia-siakan. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas. Lalu beliau ditegur oleh Imam Ali ra. Khalifah Umar ra. menjawab,"Jangan engkau mencela aku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi Sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Sebabnya, tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim." (As-Samarkandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).


Bandingkan dengan para penguasa saat ini, khususnya di negeri ini. Mereka dengan entengnya membuat aneka UU yang memberikan peluang kepada pihak swasta dan asing untuk menguasai berbagai sumber daya alam yang hakikatnya adalah milik rakyat. 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Rasulullah saw. bersabda:


مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ


Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl (haram). (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim). []

PENGUASAAN LAHAN OLEH SWASTA DAN ASING HARAM DAN BERBAHAYA

 *PENGUASAAN LAHAN OLEH SWASTA DAN ASING HARAM DAN BERBAHAYA*


Buletin Kaffah No. 352 (13 Muharram 1446 H/19 Juli 2024 M)


Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 11 Juli 2024. Perpres tersebut mengatur rentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) di IKN untuk para investor adalah sampai 95 tahun dan bisa diperpanjang sampai 95 tahun lagi. Total 190 tahun. Harapannya, aturan tersebut akan mengundang kehadiran investor asing di IKN yang masih nihil.


Perpres ini jelas bertabrakan dengan sejumlah aturan, mengancam kedaulatan negara, dan lebih buruk daripada aturan agraria yang dibuat oleh penjajah Belanda, VOC. Sebagaimana diketahui, UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) saja hanya memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun.


*Sejumlah Bahaya*


Salah satu alasan Pemerintah memberikan HGU yang begitu panjang bagi investor adalah untuk memberikan kepastian dalam berinvestasi. Hal ini disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Agus Harimurti Yudhoyono. 


Sebagaimana diketahui, Pemerintah akhirnya mengakui bahwa IKN sampai hari ini masih gagal mengundang investor asing. Ini bertolak belakang dengan gembar-gembor Presiden Jokowi yang pernah menyatakan investor sudah antri masuk IKN. 


Penyebab investor belum mau masuk ke IKN bukan semata persoalan HGU, namun karena kondisinya yang masih jauh dari selesai. Bahkan diakui oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, klaster pertama IKN saja belum selesai 100 persen. Klaster pertama ini mencakup kawasan inti pemerintahan, seperti presiden dan wakil presiden, lembaga tinggi negara. Sebab itu pula Presiden Jokowi tidak jadi berkantor di IKN pada Juli ini karena kondisinya jauh dari layak; minim air, listrik, dsb. Padahal awalnya Pemerintah begitu percaya diri kalau Presiden akan pindah kantor ke IKN pada bulan Juli tahun ini.


Pemberian HGU sepanjang 190 tahun yang ditujukan untuk mengundang investor tentu mengandung sejumlah persoalan dan ancaman untuk negeri ini. Pertama: Perpres ini sudah melanggar Konstitusi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan Perpres 75/2024 Pemerintah telah melanggar dua dasar hukum; yakni UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pemberian hak tanah kepada investor. UU Agraria mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun jika memenuhi syarat.


Kedua: Peraturan ini lebih buruk dari aturan kolonial. Pada era penjajahan di tanah air saja, UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) hanya memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun. Sebaliknya, kini di era kemerdekaan pemberian HGU kepada investor asing malah nyaris dua abad.


Pemerintah berdalih, dengan pemberian HGU 190 tahun, lahan tetap menjadi milik negara. Namun, pemberian HGU dalam jangka panjang ini membahayakan kedaulatan negeri. Tentu karena sepanjang 190 tahun itu pihak asinglah yang berkuasa di atas lahan tersebut. Akibatnya, segala kekayaan alam yang berada di lahan tersebut tidak bisa dimanfaatkan rakyat. Sudah sering terjadi rakyat, seperti nelayan, dilarang mendekati kawasan yang dikuasai asing meski hanya sekadar berlayar atau mencari ikan.


*Lahan Menurut Islam*


Islam memiliki hukum tersendiri mengenai lahan. Pertama: Tanah termasuk ke dalam harta yang dapat menjadi milik pribadi (milkiyyah fardiyyah). Hukum Islam mengizinkan individu memiliki lahan baik untuk hunian, tempat usaha, sawah, ladang, juga perikanan dan peternakan. Setiap warga negara  Muslim ataupun kafir berhak memiliki lahan baik secara zatnya maupun sekadar hak guna usahanya. 


Kedua: Negara Islam punya otoritas untuk membagikan lahan kepada rakyat, baik menjadi hak milik pribadi maupun hanya berupa HGU. Selanjutnya Negara Islam akan mengawasi pengelolaan lahan yang dimiliki warga. Penelantaran lahan selama tiga tahun oleh pemiliknya secara otomatis menjadikan status kepemilikannya batal atas lahan tersebut. Hal ini ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. (Lihat: Hadis riwayat Imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ, hadis nomor 11825).


Ketiga: Nabi saw. telah melarang lahan pertanian untuk disewakan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. dari Tsabit bin al-Hajjaj ra., dari Zaid bin Tsabit ra., yang berkata:


نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُخَابَرَةِ، قُلْتُ: وَمَا الْمُخَابَرَةُ، قَالَ: أَنْ تَأْخُذَ الْأَرْضَ بِنِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبْعٍ


Rasulullah saw. telah melarang al-mukhâbarah. Aku (Tsabit bin al-Hajjaj) berkata, “Apakah al-mukhâbarah itu?” Dia (Zaid bin Tsabit) berkata, “Engkau mengambil tanah dengan (mengambil bagian/keuntungan) separuh, sepertiga atau seperempat.” (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).


Keempat: Lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat karena mengandung bahan tambang atau mata air berlimpah yang menjadi kebutuhan publik statusnya menjadi milik umum (milkiyyah ’ammah). Lahan semacam ini dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan pada swasta dan asing. Ini berdasarkan sabda Nabi saw.:


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِيَ


Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram. Abu Sa'id berkata, ”Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).


Lahan yang menjadi jalan umum, atau aliran sungai, pantai dan laut yang menjadi hajat bersama/publik statusnya juga milik umum. Setiap orang boleh memanfaatkan lahan tersebut. Lahan tersebut wajib dijaga dan dipelihara oleh negara.


Kelima: Islam memerintahkan negara untuk mencegah praktik imperialisme oleh asing melalui jalan penguasaan lahan, baik secara perorangan, korporasi maupun negara. Penguasaan lahan selama hampir dua abad oleh pihak asing yang berpotensi besar menghilangkan kedaulatan negara  adalah haram. Allah SWT berfirman:


وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا


Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum  kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).


*Buah Pahit Kapitalisme*


Kebijakan Pemerintah memberikan HGU kepada pengusaha asing selama 190 tahun adalah kebijakan khas ideologi Kapitalisme. Negara penganut ideologi ini gencar membuat kebijakan privatisasi atau swastanisasi berbagai sektor, seperti SDA dan lahan secara luas. 


Dalam sistem Kapitalisme, negara juga lebih berpihak kepada kaum kapitalis, bukan kepada rakyat. Ketika Pemerintah mengobral HGU ratusan tahun kepada investor asing, penduduk setempat di kawasan IKN justru terancam kehilangan lahan dan tempat tinggal mereka. Warga Pemaluan, Kalimantan Timur, terancam digusur oleh Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN). Warga Sepaku mendapat peringatan agar tidak melakukan kegiatan apa pun di atas lahan yang dianggap milik Badan Bank Tanah.


Pembangunan IKN juga mengancam lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. Ada ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar yang terancam rusak dan mengancam keberadaan berbagai satwa di sana. Kerusakan alam akibat pembangunan IKN juga mengancam penghidupan hampir sepuluh ribu nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, lima Kelurahan Maridan, Mentawir, Pantai Lango, Jenebora, Gresik dari Kabupaten Penajam Paser Utara, juga para nelayan di Balikpapan. 


Lebih dari itu, ketika negara menggadaikan lahan di IKN kepada para investor asing untuk dikuasai selama 190 tahun, ada jutaan rakyat di tanah air yang tidak memiliki sertifikat lahan. Presiden sendiri mengatakan pada tahun 2015 bahwa dari 126 juta bidang tanah milik masyarakat, ada 80 juta masyarakat yang tidak memiliki sertifikat.


Ironisnya, dalam banyak kasus sengketa lahan, Pemerintah menggunakan mekanisme hukum domein verklaring. Warisan hukum kolonial ini menyatakan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dengan surat (sertifikat) otomatis akan menjadi tanah negara. Karena itu jutaan warga terancam kehilangan lahan dan tempat tinggal karena mereka tidak memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik). Belum lagi warga juga terancam oleh mafia tanah yang bisa menggandakan SHM untuk mereka perjualbelikan.


*Khatimah*


Wahai kaum Muslim, terbukti aturan selain Islam telah gagal melindungi hak masyarakat dan kedaulatan negeri. Para pengusaha terutama asing-aseng justru diberi karpet merah untuk mengokohkan kedudukan mereka di negeri ini selama hampir dua abad. Sebaliknya, kehidupan rakyat bukannya kian sejahtera. Mereka justru makin dipersulit oleh kebijakan yang mengancam lahan dan penghidupan mereka.


Apakah sistem Kapitalisme yang rusak dan merusak ini akan terus dipertahankan? Padahal Allah SWT sudah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus dan menyelamatkan. Itulah Islam yang sempurna dengan seluruh hukumnya. Lalu mengapa kita berpaling? 


Allah SWT berfirman:


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا 


Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku telah mengimani apa yang telah diturunkan kepada kamu (al-Quran) dan apa yang telah diturunkan (kepada para rasul) sebelum kamu? Mereka malah ingin berhukum pada thaghut. Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa' [4]: 60).


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

---*---


*Hikmah:*


Rasulullah saw. bersabda:


مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ


Siapa saja yang pernah berbuat aniaya (dengan merampas) sejengkal tanah saja maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi. (HR al-Bukhari). []

HANYA NEGARA YANG BERHAK DAN WAJIB MENGELOLA TAMBANG

 *HANYA NEGARA YANG BERHAK DAN WAJIB MENGELOLA TAMBANG*


Buletin Kaffah No. 354 (27 Muharram 1446 H/02 Agustus 2024 M)


“Setelah PBNU dan Muhammadiyah, Giliran Persis Nyatakan Terima Konsesi Tambang.” Demikian salah satu judul berita di Republika.id., 29 Juli 2024.


“Alasan PP Persis Terima Kelola Tambang: Untuk Menjadi Contoh yang Benar.” Demikian judul berita di Detik.com, 30 Juli 2024.


Sebagaimana diketahui, sebelum Persis, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah lebih dulu menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang. Alasan ketiga ormas Islam tersebut tak jauh beda. Sebagaimana Persis, Muhammadiyah, misalnya, berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang yang sesuai dengan ajaran Islam (Republika.id., 29/7/2024).


Seolah tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengaku tengah mengkaji kemungkinan untuk turut mengelola usaha pertambangan dari Pemerintah (Lihat: Kompas.com, 25/7/2024).


*Tiga Macam Kepemilikan dalam Islam*


Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam: (1) kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah); (2) kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah); (3) kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-dawlah) (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 69-70).


Terkait kepemilikan umum, menurut Syaikh Muhammad Husain Abdillah, ada tiga macam: Pertama, apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak. Contoh: air, padang rumput, api, dll. Kedua, benda-benda yang dari segi bentuknya tidak boleh dikuasai oleh individu. Contoh: jalan, jembatan, sungai, danau, dll. Ketiga, barang tambang yang depositnya besar. Contoh: tambang emas dan tembaga, dll (Lihat: M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, hlm. 56).


*Hakikat Kepemilikan Umum*


Dalam pandangan Islam, barang tambang dalam jumlah besar hakikatnya adalah bagian dari milik umum/rakyat (al-milkiyyah ‘âmmah). Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan: 


اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ: فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ


Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Para ulama hadis menilai para perawi hadis ini tsiqah (terpercaya). Dengan demikian hadis ini absah untuk dijadikan hujjah.


Dalam riwayat lain, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Sarkhasi, digunakan lafal: “An-Nâs syurakâ’ [un] (Umat manusia berserikat [memiliki hak yang sama])...” Menurut Imam as-Sarkhasi, “Di dalam hadis-hadis tersebut terdapat penetapan bahwa manusia, baik Muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal itu.” (Lihat: As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, 3/355).


Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang. 


Di sisi lain, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Ini berarti berserikatnya manusia atas air itu bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya, yakni dibutuhkan oleh orang banyak. Ini juga berlaku bagi padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi). Dengan kata lain berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâth[an] atas perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.


Dengan demikian apa saja (air, padang rumput, api, sarana irigasi, jalan raya, jalan tol, pantai dan lautnya, dll) yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum adalah milik umum dan manusia berserikat di dalamnya. Perserikatan di sini bermakna kebersamaan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua itu harus dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat. Tidak boleh dikuasai dan dirasakan manfaatnya oleh seseorang atau sebagian saja. 


Tegasnya, semua yang dibutuhkan oleh masyarakat atau merupakan fasilitas publik (marâfiq al-jamâ’ah)—tak hanya air, padang rumput dan api—adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Dari sini lahirlah kaidah kulliyyah:


كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ الْجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً


Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat adalah milik umum.


Selain itu ada kaidah:


اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْمَعْلُوْلِ وُجُوْداً وَعَدَماً 


Hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat-nya. 


Berdasarkan kaidah ini, apa saja yang dibutuhkan oleh publik (marâfiq al-jamâ’ah) terkategori sebagai milik umum. Sebaliknya, jika bukan marâfiq al-jamâ’ah, meskipun tercantum dalam hadis tersebut, tidak terkategori sebagai milik umum sehingga boleh dimiliki oleh individu.


Contoh barang yang termasuk dalam kepemilikan umum—selain air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dll)—adalah semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll. Semua yang termasuk milik umum ini haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, swasta apalagi asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas.


Dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda: 


عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.


Dari Abyadh bin Hammal: Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Beliau lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh bin Hammal ra. telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mâ’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Timidzi).


Hadis ini maqbûl dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thurûq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, 4/9). Hadis tersebut merupakan dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 54-56).


Alasannya, dalam hadis tersebut Rasulullah saw.—yang sekaligus sebagai kepala Negara Islam di Madinah saat itu—menarik kembali tambang garam yang sempat beliau berikan kepada Abyadh bin Hammal ra. Hal itu beliau lakukan setelah beliau tahu bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah. Dengan demikian Rasulullah saw. ingin menegaskan bahwa tambang garam yang depositnya melimpah tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.


Ketentuan ini berlaku bukan hanya untuk tambang garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut didasarkan pada adanya ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Dengan demikian semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) tidak boleh dimiliki oleh individu; termasuk oleh swasta dan asing.


Imam Ibnu Qudamah berkata:


وَأَمَّا الْمَعَادِنُ الْجَارِيَةُ كَالْقَارِ، وَالنِّفْطِ، وَالْمَاءِ، فَهَلْ يَمْلِكُهَا مَنْ ظَهَرَتْ فِي مِلْكِهِ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ أَظْهَرُهُمَا، لَا يَمْلِكُهَا


Adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi dan air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Dalam hal ini ada dua riwayat. Namun, yang lebih kuat adalah tidak boleh seseorang memiliki barang tambang yang melimpah tersebut (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131).


*Wajib Dikelola oleh Negara*


Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa semua tambang yang depositnya besar haram dikuasai oleh pribadi-pribadi, swasta dan asing. Termasuk tidak boleh dikuasai oleh ormas. Semua tambang tersebut wajib dikelola oleh Negara. Seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Kalaupun dalam pengelolaannya Negara melibatkan pribadi-pribadi, swasta dan asing, termasuk ormas, mereka semua hanya boleh menjadi mitra pelaksana (operator) yang dikontrak. Bukan diberi konsesi, penguasaan atau hak kepemilikan atas tambang-tambang tersebut. 


Dengan demikian, yang semestinya dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI dll adalah mendorong Negara untuk mengambil-alih kembali semua tambang yang selama ini diberikan kepada oligarki swasta dan asing, yang terbukti sebagian besar hasilnya hanya dinikmati oleh mereka saja. Ormas-ormas Islam seperti NU, Muhamadiyah, Persis, MUI dll wajib memaksa Negara untuk mengelola semua tambang yang depositnya besar semata-mata demi kepentingan dan kemaslahatan seluruh rakyat. Bukan malah terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang tersebut, yang hasilnya pun tentu hanya bisa dinikmati oleh organisasi dan jamaahnya saja. 


Alhasil, ormas-ormas Islam seharusnya tidak tergoda untuk terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang apapun. Apalagi ke depan pengelolaan tambang oleh ormas-ormas Islam berpotensi menjadi jebakan dan perangkap politik bagi mereka. Sebaliknya, ormas-ormas Islam seharusnya tetap fokus, tegak lurus dan istiqamah di jalan amar makruf nahi mungkar, terutama mengoreksi berbagai kebijakan Negara yang melenceng dari syariah Islam, termasuk dalam pengelolaan tambang yang selama ini sangat kapitalistik, liberal dan ugal-ugalan. Kebijakan Negara yang melenceng dari syariah dalam pengelolaan tambang tersebut terbukti hanya memperkaya oligarki, aseng dan asing. Akibatnya, di tengah kekayaan barang tambang yang amat berlimpah-ruah di negeri ini, rakyat kebanyakan tetap miskin. Padahal rakyatlah sesungguhnya pemilik semua tambang yang ada, termasuk sumber daya alam lainnya, yang menguasai hajat hidup orang banyak.


WalLâhu a’lam. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 


Hendaknya ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104). []


---------------------------------------------

*BEBASKAN PALESTINA, HANCURKAN ENTITAS YAHUDI!*

---------------------------------------------

Saturday, August 17, 2024

MERDEKA: LEPAS DARI KOLONIALISME MAUPUN NEO-KOLONIALISME

 *MERDEKA: LEPAS DARI KOLONIALISME MAUPUN NEO-KOLONIALISME*


Buletin Kaffah No. 356 (11 Safar 1446 H/16 Agustus 2024 M)


MESKI konteksnya adalah membandingkan Istana Negara di Jakarta dan Bogor dengan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim), tentu menarik pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini. Jokowi menyebut Istana Negara di Jakarta dan Bogor pernah dihuni pemerintah kolonial Belanda. "Jadi bau-bau kolonial selalu saya rasakan, setiap hari dibayang-bayangi," kata Jokowi dalam video yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden (Cnnindonesia.com, 13/8/2024) .


Boleh jadi, pernyataan Jokowi ini sekadar ingin menambah daftar “argumentasi” tentang pentingnya memindahkan ibukota negara dari Jakarta dan Bogor—yang dianggap sebagai warisan kolonial—ke IKN di Kalimantan Timur yang merupakan hasil produk anak bangsa. Dengan pernyataannya itu, Jokowi seolah ingin memberikan kesan bahwa pembangunan IKN di Kaltim merupakan simbol untuk melepaskan bangsa ini dari belenggu kolonialisme. 


Padahal jelas, IKN lebih merupakan simbol kolonialisme itu sendiri. Tepatnya, neo-kolonialisme. Ironisnya, neo-kolonialisme itu dilakukan oleh rezim penguasa terhadap rakyatnya sendiri, terutama rakyat Kaltim di sekitar IKN. Mereka tergusur lahannya dan terancam kehidupannya. Belum lagi adanya izin kepada para investor untuk menguasai lahan IKN hingga 190 tahun yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2023. PP yang kental dengan aroma busuk kolonialisme ini seolah melengkapi aturan Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). UU yang juga ada bau-bau kolonialnya ini memberikan izin penguasaan lahan oleh para investor, terutama melalui skema Hak Pengelolaan (HPL), hingga 90 tahun. 


*Neo-Kolonialisme Mencengkeram Negeri Ini*


Kolonialisme identik dengan imperialisme (penjajahan). Sejumlah negara seperti Inggris, AS, Prancis, Spanyol, Portugal dan Belanda pernah menjadi kekuatan kolonial pada masa lalu. Bangsa dan negeri ini adalah di antara yang pernah merasakan penderitaan di bawah kolonialisme Barat selama ratusan tahun sebelum akhirnya meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. 


Namun demikian, tanpa banyak disadari, kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sesungguhnya menandai era neo-kolonialisme di negeri ini. Neo-kolonialisme atau neo-imperialisme (penjajahan gaya baru) adalah upaya negara-negara maju atau kekuatan global untuk melakukan kontrol terhadap negara-negara berkembang atau bekas koloni, meskipun secara formal negara-negara tersebut telah merdeka. Neo-kolonialisme dilakukan tanpa kekuatan militer, tetapi melalui dominasi ekonomi, politik, budaya dan ideologi. 


Jelas, Indonesia saat ini masih dicengkeram oleh neo-kolonialisme atau neo-imperialisme meskipun secara resmi negara ini telah merdeka sejak 79 tahun lalu. Beberapa indikatornya antara lain: 


Pertama, ketergantungan ekonomi. Indonesia memiliki ketergantungan pada investasi asing dan perdagangan internasional. Buktinya, banyak perusahaan multinasional (seperti Freeport, ExxonMobil, BP, Shell, Chevron, dll) yang beroperasi di Indonesia, terutama di sektor sumber daya alam seperti pertambangan, energi dan perkebunan. Freeport, misalnya, selama puluhan tahun hingga saat ini telah menguasai dan menguras jutaan ton emas di Papua. Chevron pernah menguasai dan menguras Blok Rokan, lapangan minyak terbesar di Indonesia. BP menguasai dan menguras LNG Tangguh di Papua. Banyak perusahaan swasta nasional maupun asing juga mengeksploitasi hutan dan lahan perkebunan yang sering lebih memberikan keuntungan besar kepada mereka dan merugikan rakyat. Ditambah lagi kerusakan akibat eksploitasi SDA yang menciptakan bencana ekologis.


Kedua, ketergantungan pada utang luar negeri. Indonesia memiliki utang luar negeri yang cukup besar, ribuan triliun rupiah, baik kepada negara-negara lain maupun ke lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Beberapa program bantuan atau pinjaman dari lembaga-lembaga ini sering datang dengan syarat-syarat yang dapat memengaruhi kebijakan ekonomi domestik, seperti keharusan liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor publik (SDA seperti tambang, energi, migas, dll).


Ketiga, dipengaruhi kebijakan politik asing. Pengaruh asing di negeri ini dalam pengambilan kebijakan sesungguhnya nyata. Agenda liberalisasi ekonomi dan privatisasi di Indonesia, misalnya, telah lama disinyalir berada dalam pengaruh asing.

 

Keempat, dominasi gaya hidup dan budaya. Indonesia juga menghadapi dominasi gaya hidup dan budaya asing, terutama melalui media, film, musik dan produk-produk konsumtif. Pengaruh gaya hidup dan budaya Barat sering memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini sering menciptakan dekadensi moral. Di antaranya perilaku seks bebas. Menurut data BKBBN terakhir, 60% remaja usia 16-17 tahun pernah melakukan hubungan seks. Kebanyakan tentu saja hubungan seks di luar nikah.


*Agar Lepas dari Neo-Kolonialisme*


Untuk melepaskan diri dari neo-kolonialisme, Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya perlu mengambil langkah-langkah strategis yang berakar pada prinsip-prinsip syariah Islam, juga didasarkan pada keyakinan bahwa kemandirian sejati hanya bisa dicapai dengan menegakkan kembali ideologi Islam.


Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil berdasarkan ketetapan Islam. Pertama: Menerapkan syariah Islam secara kâffah di semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti meninggalkan ideologi dan sistem asing, seperti kapitalisme dan sekularisme, yang jelas-jelas menciptakan kolonialisme. 


Berikutnya adalah menerapkan ideologi dan sistem Islam yang didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah. Di bawah naungan sistem Islam, sumber daya alam, kekayaan negara dan kebijakan ekonomi akan dikelola sesuai dengan hukum syariah, yang mengutamakan keadilan dan kesejahteraan umat. Allah SWT telah berfirman:


فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ 


Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).


Kedua: Membangun ekonomi mandiri berbasis Islam dengan menghindari ketergantungan pada utang luar negeri atau investasi asing yang bersyarat. Sistem ekonomi Islam menekankan keadilan, distribusi kekayaan yang merata, larangan riba dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Karena itu pengelolaan sumber daya alam wajib dilakukan oleh Negara—haram diserahkan kepada pihak swasta (termasuk ormas) dan asing—untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau perusahaan swasta dan asing. Rasulullah saw. bersabda:


اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ 


Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: hutan, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama, antara lain Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa sumber daya alam—tak hanya ketiga jenis yang disebutkan dalam hadis tersebut—seperti tambang, yang menguasai hajat hidup orang banyak, adalah bagian dari kepemilikan umum (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 218). 


Ketiga: Menegakkan keadilan ekonomi dan sosial. Negara harus memastikan bahwa kebijakan ekonomi dan sosial yang diambil tidak menguntungkan satu kelompok tertentu, apalagi pihak asing, tetapi harus diarahkan untuk kemaslahatan seluruh lapisan masyarakat. Allah SWT berfirman:


كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ 


Agar harta-kekayaan itu tak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Keempat: Mengusir pengaruh pemikiran, ideologi dan budaya asing. Caranya dengan memperkuat identitas Islam sekaligus menolak pemikiran, ideologi dan budaya asing yang merusak dan bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat harus dididik untuk bangga dengan identitas Islam mereka dan menolak pengaruh asing yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah saw. bersabda:


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka (HR Abu Dawud).


Kelima: Membangun kesadaran politik Islam. Umat Islam harus memahami bahwa politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan mengelola urusan umat sesuai dengan syariah Islam. Oleh karena itu, umat harus aktif berjuang untuk menegakkan kembali syariah Islam dalam semua aspek kehidupan.


Keenam: Menegakkan kembali institusi pemerintahan Islam. Ini adalah kunci untuk mengakhiri neo-kolonialisme di negara-negara Muslim. Institusi pemerintahan Islam (Khilafah) akan menyatukan umat Islam di bawah satu pemerintahan yang berlandaskan aqidah Islam. Khilafah akan melindungi umat dari eksploitasi asing sekaligus memulihkan kedaulatan politik, ekonomi dan budaya. Rasulullah saw. bersabda:


ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَة عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ


…Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian… (HR Ahmad).


Ketujuh: Mengusir pengaruh dan intervensi asing. Ini termasuk menolak campur tangan politik, bantuan yang bersyarat dan perjanjian internasional yang merugikan kepentingan umat Islam. Allah SWT berfirman:


وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا 


Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa' [4]: 141).


*Khatimah*


Di tengah Perayaan Hari Kemerdekaan yang ke-79 pada Bulan Agustus pada tahun ini, selayaknya bangsa yang mayoritas Muslim ini segera menyadari: Pertama, negeri ini telah lama berada dalam cengkeraman neo-kolonialisme. Kedua, bangsa ini tentu wajib sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman neo-kolonialisme ini. Ketiga, satu-satunya cara untuk melepaskan bangsa dan negeri ini dari cengkeraman neo-kolonialisme adalah dengan menerapkan kembali ideologi Islam dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah.


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ... 


Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian.... (TQS al-Anfal [8]: 24). []

BAHAYANYA PAHAM RADIKAL KOMUNIS _MAOISME_ YANG AKAN DITERAPKAN DI INDONESIA

 *BAHAYANYA PAHAM RADIKAL KOMUNIS _MAOISME_ YANG AKAN DITERAPKAN DI INDONESIA*


_China Sangat Berusaha Menghindari Terjadinya Perang di Indonesia Karena Jika Terjadi Perang China Akan GAGAL Untuk Menguasai Indonesia_



*PEMIKIRAN* _"Mao Zedong"_ yang dipakai sebagai falsafah Komunis Rakyat China atau disebut juga Ideologi _"Maoisme"_ adalah Komunis yang telah di "cinakan" dengan kultur rakyat Cina.


_Mao Zedong_ atau _Mao Tse-Tung_ hakekatnya adalah sama satu person. _Mao Zedong_ adalah bapak komunisnya China. Strategi politiknya adalah menguasai dan melumpuhkan negara tanpa PERANG. 


Karena itu China RRC sangat menghindari perang, karena jika perang akan gagal total semua rencana proyek China menguasai untuk negara tersebut.


Karena _Mao Zedong_ yang terkenal kejam ini berkata,

_"Politik adalah sebuah peperangan besar tanpa pertumpahan darah. Sedangkan Perang adalah peperangan dengan pertumparan darah.."_

_(Mao Zedong)_


Ideologi Mao Zedong disebut dengan paham _Maoisme_, yang merupakan varian dari ajaran _Marxisme-Leninisme_ yang berasal dari ajaran-ajaran pemimpin Komunis _Karl Marx_ dan _Lenin._


Bapak Komunis China _Mao Zedong_ telah berhasil meruntuhkan _Monarki Mongolia_ dengan membantai dan memusnahkan seluruh para bangsawan keluarga dan kerabat Kekaisaran _Dinasti Qing_ yang telah berkuasa selama 5 abad diganti dengan negara demokrasi _negara sekuler raya_ kemudian berubah menjadi Ideologi Komunis atau _ideologi Maoisme._ Jadilah Negara Komunis Rakyat China.


Ideologi Komunis _Maoisme_ ini yang akan diterapkan  oleh rezim Komunis RRC _Xi Jinping_ agar dapat dihidupkan pada masyarakat bangsa Indonesia. 


Ideologi _Maoisme_ atau KGB 'Komunis Gaya Baru' adalah bahaya laten merupakan bahaya _disintegrasi_ bangsa karena memiliki 'daya perusak' tinggi terhadap pemikiran yang akan mengancam umat bergama dan kaum pribumi.


Bangsa Indonesia akan di _Maois_ kan dalam waktu kurang dari 10 tahun. Paham _Maoisme Komunis_ akan mengancam _kerukunan dan kearifan agama, mengancam aqidah tauhid Islamiyah, mengancam kearifan budaya dan mengancam tegaknya kaidah Ideologi Pancasila._


Paham _Maoisme_ hakekatnya adalah KGB _'Komunis Gaya Baru'_. Yang sebenarnya Sekulerisme itu sendiri yang telah diterapkan oleh penguasa oligarki dengan berlahan tapi pasti. 


Strategi paham _Maoisme_ yang dilakukan oleh PKC (Partai Komunis Cina) di dilapangan di Indonesia secara _TSM Terstruktur, Sistematis_ dan _Masif_ adalah sbb :


1. Pertama melalui lembaga kaki tangannya yang berada di pemerintah dengan menyerang komponen Islam di Indonesia melalui pemahaman ke masyarakat dengan melabelkan bahwa Islam adalah _arabisasi_ atau _budaya asing_. 

Kedua dengan  memberangus seluruh komponen gerakan Islam dengan mematikan _Tiga Pilar Pusat Peradaban Islam_ di Indonesia yaitu 

1. Masjid

2. Pondok Pesantren

3. Kampus

Dengan di issukan ketiga komponen tersebut telah terpapar _radikalisme dan terorisme_ 


2. Menyerang komponen Kerajaan Kesultanan Nusantara, strategi pertama secara halus dengan merangkul komponen kerajaan setelah itu kerajaan akan dipressure ditekan agar Kerajaan hanya berupa _simbol icon budaya_ dan _pariwisata._

Strategi kedua secara eksterim, terstruktur dan masif peranan komponen Kerajaan Nusantara di issukan sebagai simbol _feodalisme_ dan _kediktatoranisme._


Paham _Maoisme_ telah terafiliasi dengan gerakan _KGB (Komunis Gaya Baru)_ di Indonesia secara terstruktur, sistematis dan masif targetnya operasinya pertama adalah memberangus Dua Komponen Strategis bangsa yaitu _*UMAT ISLAM INDONESIA*_ dan _*KERAJAAN KERATON NUSANTARA.*_


Strategi gerakan pemikiran _Maoisme_ adalah dengan _menyerang pikiran,  memelintir logika, membengkokkan iktikad, membuat fitnah, membenturkan agama dengan budaya, menghasut ideologi melunturkan dan meruntuhkan keyakinan_.


*Hati-hati Dan Waspadalah*‼️



*Oleh Kanjeng Senopati*

_Penulis adalah :_

*_Pengamat Spiritualis Geopolitik Geostrategi Intelijen Militer & Pengamat Budaya Sejarah Peradaban Kerajaan Nusantara_*

_WhatsAuto_

Sunday, July 21, 2024

JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK

 *JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK*


Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf


Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik


Surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 diturunkan terhadap orang kafir yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Hanya saja pada ayat ini terdapat lafazh umum yaitu “man” siapa saja, maka berlaku umum, termasuk bagi kaum muslimin. Memang benar ada kaidah “Syar’u man qablana laisa syar’an lana”, syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Hanya saja Ketika terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa berlaku secara umum seperti pada tiga ayat ini maka berlaku pula bagi kaum muslimin. 


Hanya saja semata tidak menerapkan syariat Allah tidak otomatis menjadikan pelakunya menjadi kafir kecuali disertai I’tiqad (keyakinan). Misalnya meyakini bahwa syarat Islam tidak wajib diterapkan, meyakini bahwa ada aturan yang lebih baik dari syariat Islam. Keyakinan seperti ini dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran. Alasannya adalah sebagai berikut:


Pertama, ketiga ayat ini turun dalam satu peristiwa dan dalam satu konteks yang sama, yaitu tidak berhukum pada syariat Allah. Namun disifati dengan tiga sifat berbeda yaitu kafir, zalim dan fasik. Maka tak diragukan bahwa satu sifat dari tiga sifat ini memiliki kondisi yang berbeda dalam konteks yang sama. Jika meyakini (I’tiqad) bahwa hukum Allah tidak wajib diterapkan maka pelakunya (misalnya penguasa atau hakim) telah jatuh sebagai orang yang kafir. Jika tidak menerapkan hukum Allah namun memutuskan hukum sesuai dengan haknya misalnya pencuri di penjara maka ia telah fasiq. Jika tidak memutus dengan hukum Allah dan tidak memberikan putusan sesuai dengak haknya. Misalnya, bersengaja membebaskan pencuri atau koruptor maka ia telah zalim lagi fasiq. Fasik karena telah melakukan kemaksiatan dengan tidak menerapkan hukum Allah dan zhalim karena telah membebaskan pelaku kriminal. 

Hal ini sama seperti orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak otomatis divonis kafir, kecuali jika disertai keyakinan bahwa shalat tidak wajib. 


Kedua, konteks ayat ini turun terkait orang kafir, yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Mereka menolak hukum rajam dan condong pada hukum cambuk (jilid). Mereka anggap hukum rajam tidak layak dan menolaknya. Jadi konteks terjatuhnya pada kekafiran karena dua sebab: (1) menolak hukum Allah dan menganggapnya tidak layak diterapkan; (2) menerapkan hukum selain hukum Allah. Karena itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: “Karena itu penolakan terhadap hukum yang Allah turunkan menjadi syarat mendasar teranggapnya mereka sebagai kafir jika mereka menerapkan hukum selain hukum yang Allah turunkan”. Jika ada yang menyatakan bukankah ada kaidah yang menyatakan “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab”, sebuah pengertian diambil dari keumuman redaksi bukan dari khususnya sebab turunnya ayat. Jawabannya adalah keumuman redaksi tetap terbatas pada konteks turunnya ayat, tidak berlaku tanpa batasan. Kaidah seperti ini seperti yang dinyatakan oleh beliau dalam kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz tsalits. Beliau menyatakan:

قاعدة العبره بعموم اللفظ لا بخصوص السبب مقيدة في الموضوع الذي نزلت به, لا عموم ما تنطبق عليه

Kaidah “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab” terikat dengan konteks turunnya ayat, tidak umum atas apa yang diterapkan padanya.


Ketiga, hukum adalah fi’il (perbuatan) bukan I’tiqad (keyakinan). Jika ada perbuatan yang menyelisihi hukum Allah statusnya maksiat, bukan kafir kecuali jika ada dalil yang qath’i yang menyatakan bahwa pelanggaran atas hukum tertentu statusnya kafir. Berbakti pada orang tua hukumnya wajib, tidak mengandung perkara i’tiqad. Maka anak yang durhaka para orang tua dianggap maksiat, namun tidak otomatis kafir. Berbeda dengan perbuatan sujud pada Allah. Amal ini diperintahkan disertai dengan adanya I’tiqad bahwa hanya Allah yang layak disujudi (disembah). Jika ada seorang muslim yang sujud pada berhala atau beribadah dengan cara ibadah orang Kristen di gereja maka ia jatuh pada kekafiran. Karena makna dari “Laa ilaha illallah” adalah itsbat (penetapan) bahwa hanya Allah yang hak untuk disembah sekaligus nafyu (penafian) penyembahan pada selain Allah. 

Berhukum dengan  bukan dengan apa yang Allah turunkan adalah menyelisihi perintah Allah dalam perkara amal, bukan perkara I’tiqad. Hal ini karena dua alasan:

a. Syariat tidak menyatakan kafir jika menyelisihi hukum Allah, karena tidak termasuk amal yang dapat menjatuhkan pada kekafiran. Hal yang menguatkan hal ini adalah bahwa Mu’awiyyah telah mengambil ba’iat untuk anaknya Yazid dengan cara paksaan. hal ini termasuk menyelisihi hukum Allah. Hal ini dilihat dan didengar oleh sahabat. Kita tidak mengetahui ada satu orang pun sahabat yang menyatakannya kafir.


b. Berhukum dengan bukan hukum Allah tidak termasuk dalam cabang dari akidah sebagaiamana sujud pada berhala atau beribadah seperti cara orang Nasrani. Maka jika ada seorang hakim yang memutus penjara bagi seorang pencuri, tidak memutus hukum potong tangan. Hakim ini telah menjadi seorang ahli maksiat, bukan orang yang kafir. Berbeda halnya dengan jika dia menolak hukum potong tangan  dengan keyakinan bahwa hukum Islam keliru dan sebaliknya meyakini bahwa yang benar adalah hukum penjara, maka ia telah kafir. 


Kesimpulan seperti ini selaras dengan penafsiran para ahli tafsir, seperti Imam Thabari dan Imam Qurthubi. Imam Thabari dalam kitab tafsirnya menyatakan:

"حدثني المثنى قال : حدثنا عبد الله بن صالح قال : حدثني معاوية بن صالح عن علي بن ابي طلحة عن ابن عباس قوله"ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون"قال : من جحد ما انزل الله فقد كفر، ومن اقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق.... فان قال قائل فان الله تعالى ذكره قد عم بالخبر بذلك عن جميع من لم يحكم بما انزل الله فكيف جعلته خاصا قيل ان الله تعالى عم بالخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم بكتابه جاحدين فاخبر عنهم انهم بتركهم الحكم على سبيل ما تركوه كافرون وكذلك القول في كل من لم يحكم بما انزل الله جاحدا به هو بالله كافر كما قال ابن عباس لانه بجحوده حكم الله بعد علمه انه انزله في كتابه نظير جحوده نبوة نبيه بعد علمه انه نبي

Intinya adalah pada qaul Ibnu Abbas yang menyatakan: “Siapa yang ingkar dengan apa yang Allah telah turunkan maka ia telah kafir. Siapa yang masih membenarkan, namun tidak berhukum dengannya maka ia zalim lagi fasik”. Alasan Ibnu Abbas adalah siapa yang ingkar dengan hukum Allah setelah ia mengetahui bahwa Allah telah menetapkan dalam kitab-Nya, hal tersebut sama saja dengan mengingkari kenabian Nabi Muhammad, padahal ia mengetahui bahwa beliau adalah seorang Nabi.


Imam Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jaami’ li ahkam al-Quran menyatakan:

قوله تعالى"ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون"و"الظالمون"و"الفاسقون"نزلت كلها في الكفار، ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء وقد تقدم وعلى هذا المعظم، فاما المسلم فلا يكفر وان ارتكب كبيرة، وقيل فيه ومن لم يحكم بما انزل الله ردا للقران وجحدا لقول الرسول عليه الصلاة والسلام فهو كافر، قال ابن عباس ومجاهد . فالاية عامة على هذا، قال ابن مسعود والحسن هي عامة في كل من لم يحكم بما انزل الله من المسلمين واليهود والكفار اي معتقدا ذلك ومستحلا له. فاما من فعل ذلك وهو معتقد انه راكب محرم فهو من فساق المسلمين وامره الى الله ان شاء عذبه وان شاء غفر له

Intinya: seorang muslim, Yahudi atau orang kafir yang tidak berhukum dengan hukum Allah diiringi dengan keyakinan penolakannya maka ia kafir. Sedang kaum muslimin yang meyakini bahwa saat ia tidak menerapkan hukum Allah berarti ia melakukan keharaman maka dia dinyatakan sebagai muslim yang fasiq. Maka urusannya ada di tangan Allah. Allah ta’ala bisa menyiksanya atau mengampuninya, sesuai kehendaknya. Ini merupakan pendapat Ibn Mas’ud dan al Hasan.


Selesai ditulis pada hari Senin, 18 Dzulhijjah 1445 H/ 24 Juni 2024

Merujuk dari soal jawab al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta’ala pada 22 Rabi’ul Tsani 1381 H/2 Oktober 1961

Tuesday, July 16, 2024

Apakah Negara Islam Menindas Non Muslim ?

 Apakah Negara Islam Menindas Non Muslim ?


Oleh: Moh. Rizky Nur Hidayat


Wacana penegakan negara Islam sering kali mendapat respon negatif, isu yang berkembang adalah negara Islam dipahami sebagai sistem yang menganut kerakyatan yang tunggal, yaitu penyeragam agama, pada akhirnya non Muslim akan menjadi warga kelas dua, disamping mendapat tekanan untuk berpindah agama. Akibatnya, Formulasi syariat Islam dianggap berkonfrontasi dengan keragaman dan kebinekaan. 


Beragam narasi kebencian adalah bentuk kesalahpahaman atas konsepsi daulah Islam.  Realitasnya dalam sejarah,  Negara Islam memiliki masyarakat yang hetregon dari beragam etnis dan agama, Islam memberikan jaminan istimewa kepada minoritas. Tidak terdapat tindakan menelantarkan dan mendiskriminasi, Eksistensi Non Muslim  tidak hanya digambarkan memiliki kebebasan dan kesejahteraan, namun juga ikut serta dalam institusi pemerintahan dan penelitian yang menjadi sumbangsih Kekhalifahan menuju zaman keemasan.


1. Populasi Majemuk Dalam Negara Islam


Interaksi antara muslim dan non muslim telah terjadi sejak awal berdiri Negara Islam. Konstitusi pertama Islam dalam Piagam Madinah mewakili bentuk masyarakat heterogen, terdapat komunitas Yahudi, Kristen, dan Pagan. Ibn Ishaq  mencatat kesepakatan ini dibuat dengan melibatkan 13 suku berbeda, diantaranya 1.) Islam dari Quraisy 2) Islam dari Yastrib 3) Yahudi dari Suku Aus 4)  Yahudi dari Suku Sa’idah 5) Yahudi dari Suku Harits  6) Yahudi dari Jusyam 7) Yahudi dari suku Tsalabah 8. Yahudi dari suku Jafnah 9)  suku Sutaybah 10) Yahudi dari suku Aus 11) Yahudi dari suku Auf 12) suku Nabit 13) Yahudi dari suku Najar. Secara keseluruhan konstitusi ini memuat tentang asas toleransi, kewenangan warga negara dan implementasi untuk mencapai tujuan konstitusi. Negara dituntut untuk menjaga dan melindungi seluruh keyakinan, harta benda, kehormatan, akal dan kehidupan. Setiap warga negara Dar Islam memiliki hak dan kewajiban setara dimata hukum, struktur beragam ini mendapat pengakuan dari Muhammad.  


Jalinan kerukunan beragama di Madinah sangat dominan, sikap toleransi pasif tumbuh dari kesadaran individual tanpa intervensi pihak manapun, dengan membiarkan aktivitas ibadah dapat diekspresikan oleh semua pihak. Bentuk implementasi pasif adalah Negara Islam melegalkan fasilitas Baitul Midras di Yatsrib yang berfungsi sebagai studi pelajar Yahudi dalam mempelajari tradisi Ibrani dan Torah disamping digunakan menjadi tempat ritual ibadah. Muhammad SAW juga memberikan kewenangan kepada komunitas Yahudi untuk mengimplementasikan hukum Musa dalam perkara Pidana seperti rajam dan qisash. Dalam berbagai bidang, Negara Islam mengembangkan ekonomi, sosial dan politik secara bersama-sama.


Setelah Nabi Muhammad wafat, kepemimpinan bergulir kepada Khalifah Islam yang memiliki otoritas dalam mengatur kewenangan politik dan menjaga agama. Kekhalifahan Arab secara mengejutkan hadir ditengah dua imperium raksasa besar, Majusi Persia dan Kristen Byzantium. Bangsa Arab dan kaum Badui pedalaman, tinggal dipadang gurun yang tidak diperhitungkan, menjelma menjadi pasukan besar yang menaklukan Afrika, Suriah dan Mesir. Selanjutnya, Kekhalifahan Ummayah meneruskan ekspansi militer ke wilayah Transoxiana, India, Maroko, dan Semanjung Iberia (Spanyol). Pada puncak keemasannya, Kekhalifahan Ummayah memiliki luas 11, 100,  000 km dengan populasi masyarakat sekitar 33 juta. Bani Ummayah mengatur masyarakat yang multikultural dan multietnis. Populasi tertinggi, adalah penganut agama Kristen. Tidak jatuh dari Kekhalifahan Ottoman, dengan populasi sekitar 35.350.000  pada tahun 1883. Demografi diatas mencakup kepadatan penduduk, etnis, dan agama. Terdapat beragam etnis yang hidup di negeri Khilafah, mencakup etnis Kurdi, Arab, Turki, Armenia, Yunani, Slavia, Albania, Rusia, Afrika dan lain-lain. Keberagaman ini di apresiasi oleh Lucy Mary Jane  Garnett “Tidak ada negara didunia yang memiliki populasi yang begitu heterogen seperti Turki (Ustmani)”Turkey of the Ottomans, Lucy Mary Garnett (G. P. Putnam’s Sons: 1915), 1


Hak Beragama Dan Jaminan Kelangsungan Hidup


Dalam literatur fiqih, dzimmi memiliki hak istimewa dalam struktur Negara Islam. Minoritas, diberikan kebebasan menjalankan agama tanpa intervensi dari pemerintah. Negara Islam tidak berhak melarang serta memaksa non muslim untuk berpindah keyakinan.  Umar ibn Khattab berhasil menaklukan kota-kota Persia dengan jalur militer dan membuat tatanan pemerintahan,  keadilan Islam dalam memperlakukan wilayah taklukan non muslim dengan bijak, dikenal luas dibelahan dunia. 


Catatan Yohanes dari Niku Crhonicle of John (690 M) Orang-orang Koptik menyambut pasukan Arab untuk menaklukan kota Alexandria, mereka menyerah dengan memberikan jizyah sebagai bentuk ketundukan dengan negoisasi pembebasan 150 tentara dan warga sipil.  Negara Islam tetap mengizinkan komunitas Yahudi tinggal di Alexandria dan tidak menghancurkan Gereja-Gereja Kristen.


April 637 M, Santo. Sophronius sebagai Patriakh Yerusalem mengundang Umar ibn Khattab untuk datang ke Yerusalem, St. Sofrnoius terkagum dengan kesederhanaan Umar yang datang mengenakan pakaian sederhana dan menggunakan satu keledai yang ditunggangi secara berganti dengan pelayannya, tidak terdapat tanda-tanda kemewahan pada raja Arab. St Sofronius memberikan Yerusalem dan kunci gereja makam Kudus dengan Sukarela kepada Umar bin Khattab tanpa terjadinya pertumpahan darah dan menjadikan kiblat komunitas Salib dan Yahudi berada dalam naungan Daulah Islam dengan membayar rutin jizyah. Latar belakang penyerahan Yerusalem bukan tanpa alasan, Simon Monte Montefiore menyebutkan bahwa “orang-orang Kristen Monosifit, yang mayoritas penduduk palestina, membenci orang-orang Byzantium dan tampaknya para pemeluk Islam awal itu senang memberikan kebebasan beribadah kepada sesama penganut monoteisme itu.”  Jerusalem The Biography, Simon Sebag Montefiore (Pustaka Alvabet: Jakarta, 2012), 222. 


Bentuk praktisi spiritual tidak dilarang, Komunitas Kristen dapat menjalankan perayaan Paskah dan Natal sesuai keyakinan yang dianutnya. Umat Islam tidak berhak melarang atau menganggu non muslim. Bentuk toleransi Kekhilafahan Islam menbuat Islam diterima diseluruh belahan dunia, kekuasaan Umat Muhammad membentang dari ujung timur dan barat.


Memahami Negara Islam sebagai bentuk negara yang penduduknya seratus persen Muslim tidak berdasar. Faktanya, Khilafah Islamiyyah tumbuh bersama dengan beragam etnis dan agama. Penuh dengan toleransi dan keragaman, Syariat yang diturunkan Allah merupakan syariat yang adil, tidak mungkin aturan Allah berlaku dzalim terhadap manusia. 


Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)."(QS: Al-Baqarah Ayat 256)

Jangan Salah ! Beda Antara Futuhat dan Penjajahan



Jangan Salah ! Beda Antara Futuhat dan Penjajahan


Dulu waktu saya mempresentasikan mapel sejarah, niat hati mau gaul keminggris make istilah “invansi” untuk kata ganti perluasan wilayah Islam, akhirnya sebagai murid ditegurlah oleh guru saya. Sejak saat itu saya sadar kalau Invansi dan futuhat memang berbeda.


Lalu apa bedanya invansi dengan futuhat ?

Jadi yang pertama-tama futuhat dengan invansi itu berbeda, baik dari segi filosofis, istilah maupun dampaknya. Buku-buku Islam senantiasa make istilah futuhat, yang kalau diterjemahkan artinya pembebasan atau pembukaan, sedangkan penjajahan maupun invansi lebih identik aksi militer terhadap suatu wilayah dengan kekerasan. Lalu emang futuhat tidak ada kekerasan ? 

Perlu dipahami, perang itu beririsan dengan futuhat namun tidak selalu futuhat itu beresensi dengan kekerasan. (Futuhat dilakukan dengan serangkaian aturan ketat, sesuai Syariat seperti dilarang merusak pohon, membunuh wanita, anak-anak dan pendeta, dll) Istilah Futuhat pertama kali digunakan dalam perjanjian Hudaibiyyah, yang itu nggak ada sama sekali kekerasan dan peristiwa paling fenomenal dalam sejarah Islam itu dinamakan Fathul Makkah, dimana 10.000 tentara kaum Muslimin memasuki Makkah dengan damai nyaris tanpa kekerasan, Nabi Muhammad bisa saja saat itu menghabisi semua orang Makkah yang waktu itu kondisinya lagi lemah, tapi Nabi kita nggak seperti Jenghis Khan kok. Padahal 10 tahun lalu Nabi diusir dari tanah kelahirannya dan pengikutnya disiksa. Kebaikan inilah yang membuat orang-orang Makkah tergerak hatinya dan menyerahkan jiwanya kepada Islam. Usai wafatnya Nabi Muhammad, alih-alih orang-orang Makkah murtad, justru mereka melanjutkan dan menyebarkannya keseluruh dunia.


Motif Futuhat tentu berbeda dengan motif Invansi, futuhat dilandasi jihad dan dakwah menyebarkan cahaya Islam keseluruh wilayah, sedangkan invansi lebih cenderung kapitalis, memperkaya pusat kekuasaan dengan menghisap sumber daya alam wilayah yang terjajah. Anda bisa melihat bagaimana ketika Khilafah membebaskan Andalusia, Spanyol. Lalu kemudian apakah harta-harta dan sumber daya orang spanyol dirampas diambil untuk dikirim ke pusat kota Khilafah yang saat itu di Baghdad ? Jelas tidak. Harta-harta masyarakat baik dari Jizyah (pajak non muslim) maupun zakat diolah dan diperdayakan untuk kepentingan negeri Andalusia sendiri. Sampai-sampai Andalusia menjadi peradaban gemilang dengan ilmu pengetahuannya. Beda dengan penjajahan, emas, cengkeh dan rempah-rempah Asia justru digunakan untuk memperindah Pusat Kota Inggris dan Belanda. Sedangkan negeri Asia dan Afrika yang saat itu dijajah justru mengalami kehancuran dan mewariskan kemiskinan pada wilayah yang dijajah. Ideologi kapitalis, penjajahan cenderung ekspolitatif, dan saya kira tidak ada yang mengingkari ini. Bisa dipastikan kok, negara-negara penjajah tentu lebih kaya dan makmur dibanding wilayah yang terjajah.


Negeri-negeri yang difutuhat oleh wilayah Islam, diberikan kekuasaan orang-orang lokal untuk memimpin wilayah secara bebas dengan standart hukum Allah. Berbeda dengan penjajahan yang membatasi kekuasaan raja-raja lokal. Lord Darmounth, misalnya, menteri kolonial Kerajaan Inggris, “Kami tidak akan pernah membiarkan wilayah-wilayah koloni tersebut merintangi sebuah aktivitas perdagangan yang bermanfaat bagi bangsa (Inggris).”


Tidak heran apabila St. Sofronius, Uskup Agung Kristen melepaskan diri dari Romawi dan justru memilih dipimpin oleh Khilafah, dia mengundang Umar bin Kattab dan menyerahkan kunci Palestina secara damai. Futuhat Spanyol juga bukan berupa peperangan antara Muslim dan Kristen, tapi antara Muslim dan rakyat Kristen Moor yang terdzalimi bahu membahu melawan tirani Raja Kristen. Umat Kristen di Spanyol justru mengundang orang Muslim untuk menaklukan wilayahnya karena pajak yang tinggi dan kedzaliman-kedzaliman penguasa. Sebelum Konstantinopel ditaklukan, Gereja Katolik berjanji akan melindungi konstantinopel dari serangan Islam dengan syarat kalau Umat Kristen Ortodox mau satu gereja dan dipaksa mengikuti ritual keagamaan Katolik, makanya muncul ungkapan dari pendeta mereka “lebih baik melihat surban turki daripada topi romawi.” Bebasnya Konstantinopel oleh Turki Ustmani. Justru disambut baik oleh umat Kristen Ortodox karena mereka bisa beribadah bebas kembali. Futuhat tidak hanya membebaskan belenggu mereka dari raja-raja dzalim yang berkuasa tetapi juga membebaskan jiwa mereka akan iman dan Islam.  Selengkapnya tentang non muslim dinegeri Islam

 https://www.facebook.com/share/wDAse8wjh1HtDreA/?mibextid=QwDbR1


Ulama Islam, al-Baladzuri (892 M) menulis kitab Futuhat Buldan, yang menuliskan betapa gemilangnya peradaban Islam selama 100 tahun berhasil menaklukan dari Asia hingga ke Eropa.

Monday, July 8, 2024

Makna politik hijrah Nabi SAW

 Makna politik hijrah Nabi SAW


Apa yang mendorong Rasulullah saw beserta para sahabatnya dakwah ke Madinah?


Setidaknya ada dua hal: Dakwah Islam dan pendirian Daulah Islamiyyah. Keduanya ada di Madinah. Mereka siap untuk menerima dakwah Rasululullah saw dan menjadikan wilayah mereka sebagai negara Islam dengan Rasulullah saw sebagai pemimpinnya. Itulah yang mendorong hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. 


Apakah kedua hal itu tidak dijumpai di Makkah?

Bisa dikatakan tidak ada. Sebagaimana kita ketahui, setelah bertahun-tahun Rasulullah saw mendakwahi mereka, mengajak mereka kepada Islam, dan meninggalkan aqidah beserta tatanan hidup mereka yang rusak, hanya sedikit di antara mereka yang menerima. Sebagian besar menolak. Bahkan mereka melakukan berbagai tindakan jahat untuk menghalangi dakwah. Terlebih setelah kematian paman beliau, Abu Thalib yang senantiasa melindungi dakwah. Sikap mereka semakin keras dan beringas.

Menghadapi kondisi masyarakat yang jumud dan membatu seperti itu, maka harus dicari lahan baru yang bisa menerima dakwah. Maka Rasulullah saw datang ke Thaif untuk menawarkan Islam kepada mereka. Namun mereka menolak beliau dengan sangat kasar dan tidak beradab. 

Beliau kemudian mendatangi kabilah-kabilah lainnya. Di antaranya adalah Bani Kindah, Bani Bani Amir bi Sha’sha’ah, Bani Kilab, dan Bani Hanifah. Mereka juga menolak seruan dakwah.  Bahkan ada yang menolak beliau dengan cara sangat kasar, seperti yang dilakukan oleh Bani Hanifah.


Dan itu ada di Madinah?


 Ya. Setelah mendapatkan penolakan di sana sini, akhirnya beliau bertemu dengan orang-orang Khazraj dari Madinah. Setelah terjadi dialog, mereka pun menyatakan masuk Islam. Mereka akan berjanji menyampaikan Islam kepada keluarga, tetangga, dan orang-orang Madinah. Ternyata mendapatkan sambutan yang luas. Tahun berikutnya ketika Musim Haji, mereka datang dengan rombongan lebih banyak. Terjadilan Bai’ah Aqabah pertama. Setelah mereka pulang, Rasulullah saw mengirim Mush’ab bin Umair untuk mengajarkan Islam di sana.  Tidak ada rumah kecuali membicarakan Islam dan Rasulullah saw. Tak hanya rakyat jelata, banyak tokoh dan pemimpin mereka juga masuk Islam. Penerimaan terhadap dakwah yang besar. Tidak ada penganiayaan terahadap kaum Muslimin. Hanya dalam setahun, dakwah Islam mengalami perkembangan yang amat pesat. Bahkan melebihi Makkah yang sudah didakwahi bertahun-tahun.

 Dengan demikian, Madinah jauh lebih layak dibandingkan Makkah untuk pengembangan dakwah Islam. Masyarakat Madinah lebih berpotensi sebagai tempat terpancarnya cahaya Islam daripada Makkah.

Hingga pada musim haji kedua, terjadilah Bai’ah Aqabah yang kedua. Para pemimpin dan tokoh Kabilah Khajraj dan Aus itu melakukan bai’ah terhadap Rasulullah saw. Di antara hal yang amat penting dalam baiat itu adalah kesediaan mereka untuk mendengar dan taat kepada beliau dalam keadaan apapun. Juga rela berperang untuk menjaga, melindungi, dan membela Nabi saw. Itu berarti telah terjadi penyerahan kepemimpinan dari mereka kepada Rasulullah saw. 

Setelah Rasulullah saw hijrah, maka tampuk kekuasaan langsung dipegang oleh beliau. Dengan begitu, Madinah menjadi Daulah Islamiyyah. Sebuah negara yang menerapkan Islam di kehidupan dan mengembannya ke seluruh dunia. Negara itu pula yang akan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi dakwah dan penerapan Islam.

Itulah yang mendorong hijrahnya Rasulullah ke Madinah: penerimaan terhadap dakwah dan kesiapan bagi pendirian Daulah Islamiyyah. Di sanalah cikal bakal Daulah Islamiyyah berdiri. Islam tegak dan dijalankan dengan sempurna. Dakwah pun berkembang cepat. Bahkan, Makkah yang sebelumnya menghalangi dakwah pun dapat dengan mudah dapat ditaklukkan. Penduduknya masuk Islam berbondong-bondong. Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, seluruh Jazirah Islam berada dalam kekuasaan Islam.


Jadi bukan karena Rasulullah saw takut dan menghindari intimidasi persekusi dari kaum kafir Quraisy?

 Bukan. 


Mengapa?  


Kalau itu yang menjadi sebabnya, niscaya beliau sudah lama meninggalkan kota Makkah. Nyatanya tidak. Bertahun-tahun beliau dan para sahabatnya mendapatkan ancaman, intimidasi, teror, pemboikotan, dan lain-lain. Namun semua itu tidak melemahkan beliau sedikit pun dalam berdakwah. Langkah beliau tidak surut. Beliau sama sekali tidak mempertimbangkan penderitaan dan mengkhawatirkan kematian. Sebaliknya, beliau sangat yakin dengan pertolongan Allah Swt.  

Namun juga harus diingat, melanjutkan dan mempertahankan dakwah kepada masyarakat yang sudah jumud dan membatu, tidak akan membuahkan hasil yang banyak. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah. Bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan.

 

Bukankah malam sebelum beliau hijrah, rumahnya dikepung oleh para pemuda dari berbagai kabilah untuk membunuh beliau? 

Peristiwa itu memang benar. Namun bukan itu yang menyebabkan beliau hijrah. Sebelumnya beliau sudah memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah terlebih dahulu. Sedangkan beliau menunggu perintah dari Allah Swt untuk hijrah. Ini bisa diketahui dari jawaban Rasulullah saw ketika Sayyidina Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk hijrah ke Madinah. Beliau bersabda, “Janganlah kau terburu-buru. Semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.”

Hingga suatu hari beliau diberi tahu oleh Jibril untuk segera hijrah malam itu setelah orang-orang Musyrik bersepakat untuk membunuh beliau. Keputusan mereka itu harus dibaca sebagai ketakutan mereka terhadap hijrahnya Nabi saw. Sebab, setelah banyak umat Islam yang hijrah ke Madinah, mereka amat khawatir jika itu akan mengokohkan dakwah Islam. Terlebih jika Rasulullah saw ikut hijrah dan membangun kekuatan di Madinah. Maka itu akan menjadi kecelakaan besar dan kehancuran bagi kafir Quraisy. 

Atas perhitungan itulah, maka kafir Quraisy memutuskan membunuh beliau agar tidak sempat menyusul kaum Muslim di Madinah.


Jadi, hijrahnya Rasulullah semata-mata hanya menjalankan perintah Allah dalam rangka berlangsungnya dakwah dan menegakkan Daulah Islam di Madinah ya Tadz?

 Ya, benar. 


Mendirikan negara itukan ada kondisi sunnatullah yang perlu dipersiapkan. Apa dilakukan Rasulullah saw sebelum hijrah?


 Pertama, mempersiapkan masyarakat Madinah untuk menerima Islam sepenuhnya. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Untuk itu, beliau mengutus Mush’ab ke Madinah. Tugasnya membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi pemahaman agama kepada mereka. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim

Dalam jangka setahun, Mush’ab mampu  membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan berhala kepada tauhid dan keimanan. Demikian juga perasaan mereka, sehingga membenci kekufuran beserta semua perilakunya. 

Kedua, mengokohkan dukungan dan loyalitas para tokoh dan pemimpin mereka. Ini juga dilakukan oleh Mush’ab. Beliau mampu mendakwahi Usai bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz, dan lain-lain. Mereka adalah para pemimpin di tengah kaumnya. Para pemimpin inilah yang kemudian menyerahkan kepemimpinannya kepada Rasulullah saw pada Bai’ah Aqabah yang kedua. 

Karena kesiapan dua hal tersebut, maka ketika Rasulullah saw sampai di Madinah, langsung diterima sebagai pemimpin mereka. Maka berdirilah sebuah daulah dengan Rasululullah saw sebagai kepala negaranya. 


Jadi Rasulullah SAW secara sunnatullah sudah mempersiapkan kondisi-kondisi politik untuk tegaknya Daulah Islam di Madinah ya Tadz?

 Ya, benar. 


Dalam konteks sekarang, pemahaman dan spirit apa yang harus kaum muslimin lakukan dengan adanya peristiwa hijrah ini?


 Pertama, penerapan syariah secara kaffah membutuhkan negara. Tak mungkin Islam diterapkan secara kaffah tanpa ada daulah. Untuk itu diperlukan adanya penerimaan dari masyarakatnya. Agar bisa diterima, maka dilakukan dakwah terus menerus hingga terjadi perubahan mendasar pada pemikiran dan perasaan mereka. Jika sebelumnya pemikirannya tidak Islami, harus dirombak menjadi Islami. Jika sebelumnya perasaannya menyukai kekufuran, harus diubah menjadi perasaan yang mencintai Islam dan membenci kekufuran.

 Kedua, ketika dakwah di sebuah masyarakat mengalami kejumudan, maka harus dilakukan perluasan dakwah kepada masyarakat lainnya yang lebih berpotensi untuk menerima dakwah dan lebih siap menjadi cikal bakal berdirinya Daulah Islamiyyah. Tidak boleh mematok dakwah hanya di masyarakat tertentu dan mau berpindah kepada masyarakat lainnya. 

 Ketiga, 


Dalam konteks amal, apa yang harus kita perjuangkan saat ini?


 Setelah hijrah, umat Islam memiliki negara. Islam adalah hukum yang diberlakukannya. Kekuasaannya dipegang oleh Rasulullah saw. Sejak itu, perubahan besar terjadi kondisi umat Islam. Jika sebelumnya mereka lemah dan tertindas, umat Islam menjadi umat yang kuat dan mulia. Keunggulan dan kehebatan Islam dapat disaksikan oleh setiap orng lantaran diterapkan dalam kehidupan nyata oleh negara. 

 Keadaan itu terus berlangsung, sekalipun umat ini ditinggal Rasulullah saw. Sebab, setelah beliau wafat, segera kekuasaan dilanjutkan oleh Sayyidina Abu Bakar ra dan para khalifah berikutnya. Itu berlangsung sekitar 13 abad hingga Khilafah Utsmaniyyah diruntuhkan oleh Musthafa Kemal dan negara-negara kafir penjajah. 

 Sejak saat itu, kaum Muslimin nasibnya seperti anak-anak yatim. Lihatlah Palestina, Suriah, Rohingya, Afghanistan, Irak, dan lain-lain. Semuanya menderita karena tidak ada institusi yang melindunginya. 

 Islam juga tidak bisa ditegakkan secara kaffah. Negara-negara yang menaungi mereka bukan saja tidak memberlakukan syariah, namun bahkan memusuhi dan memerangi siapa pun yang berjuang menegakkan. 

 Oleh karena itu, siapa pun yang menginginkan keadaan Islam dan umatnya sebagaimana pasca hijrahnya Rasulullah saw, maka harus mencotonh apa yang dikerjakan oleh beliau.


Bagaimana sikap kita dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam perjuangan saat ini Ust?


 Pertama, harus sabar dalam dakwah. Jika kita bicara tantangan dan hambatan, maka itu juga dialami oleh Rasulullah saw. Bahkan, semua rasul. Dalam menghadapi semua itu, Allah Swt memerintahkan mereka untuk bersabar. Ini disebutkan dalam banyak ayat. Juga mengokohkan sikap istiqamah. Tidak berpaling, bergeser, atau mundur dari dakwah apa pun yang terjadi.

 Sikap tersebut hanya bisa terjadi ketika memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat. Yakin bahwa tidak ada yang bisa menimpakan musibah kepadanya kecuali dengan izin Allah Swt. Yakin bahwa semua orang yang memusuhi agama-Nya pasti akan binasa dalam keadaan hina. Yakin bahwa pertolongan Allah Swt pasti akan tiba. Yakin bahwa amalnya akan mendapatkan pahala yang besar dan balasan surga. Dengan keyakinan tersebut, maka sebesar apa pun ancaman dan intimidasi terhadapnya tidak akan berpengaruh.

 Kedua, tetap terikat kuat dengan thariqah atau metode dakwah Rasulullah saw. Apa pu tantangan dan hambatannya, tidak membuat kita bergeser sedikit pun dari thariqahnya. Sebab, thariqah itulah yang disyariahkan sehingga wajib diikuti dan dicontoh. Thariqah itu pula yang terbukti nyata mengantarkan kepada keberhasilan. Berhasil menegakkan Daulah Islam. Maka siapa pun yang mendapatkan pahala dalam perjuangannya dan memperoleh keberhasilan sebagaimana Rasulullah saw, maka ikutilah thariqahnya.  

 Inilah setidaknya yang harus kita lakukan dalam mendakwahkan agama-Nya dan menghadapi tantangan dan hambatan dakwah.

Sunday, June 16, 2024

PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?

 *PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?*


*Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*


https://romliabulwafa.blogspot.com/2024/06/puasa-arafah-disyariatkan-tahun-ke-2.html?m=1


*Tanya :*

Ustadz, ada yang mengatakan bahwa puasa Arafah itu tidak terkait wukufnya jamaah haji di Arafah. Jadi definisi puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, baik bertepatan atau tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Alasannya, puasa Arafah disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah sedangkan wukuf di Arafah baru disyariatkan tahun ke-9 hijriyah saat Nabi SAW melaksanakan haji wada’. Bagaimana Ustadz, mohon penjelasannya? (Abdurrahman, Yogyakarta).


Ustadz, ada yang bilang bahwa Nabi SAW disebut melakukan puasa Arafah tanpa ada yang wukuf sehingga menjadi dalil puasa Arafah tidak terikat aktivitas (yaitu wukuf) dan tempat (yaitu Padang Arafah). Apakah itu bisa jadi dalil, Ustadz? Afwan Ustadz, saya 'curious' dengan argumentasi yang dibangun oleh sebagian pihak ini karena mungkin saya perlu juga insights dari Ustadz Shiddiq terkait dalil-dalil yang dipakai dalam tulisan mereka. (Ahmad Hanafi Rais, Yogyakarta).


*Jawab :*

Memang ada ulama yang berpendapat demikian, dan ada dalilnya dari hadits Nabi SAW bahwa beliau telah berpuasa Arafah sejak tahun ke-2 Hijriyah, padahal saat itu wukuf di Padang Arafah belum disyariatkan, karena Wukuf di Arafah baru disyariatkan dan dilaksanakan oleh Nabi SAW pada tahun ke-10 Hijriyah saat Nabi SAW melakukan haji Wada’. Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :


عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْن »(85) أخرجه أبو داود في «سننه»، كتاب الصوم، باب في صوم العشر (2/815)، رقم (2437)، وصححه الألباني، انظر: «صحيح أبي داود» (7/196)، رقم (2106).


Dari Hunaidah bin Khalid RA, dari isterinya, dari sebagian isteri-isteri Nabi SAW, dia berkata, "Rasulullah SAW (terbiasa) melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan puasa tiga hari pada tiap bulan dan hari Senin dan hari Kamis setiap awal bulan." (HR. Abu Dawud, dalam _Sunan Abū Dāwud,_ Bab Al-Shaum, Juz II, hlm. 815, nomor hadits 2437. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani, dalam _Shahīh Abū Dāwud,_ (7/196), nomor 2106).


Hadits ini dipahami dengan _wajhul istidlāl_ (cara penarikan kesimpulan hukum dari dalilnya) sebagai berikut : 


وَجْهَ الِاسْتِدْلالِ : أَنَّ زَوْجَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ذَكَرُتْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَصومُ تِسْعَ ذِي الحِجَّةِ ، وَهَذَا بِلَا رَيْبٍ كَانَ قَبْلَ حَجَّةِ الوَدَاعِ ، وَلَفْظَ « كَانَ » يَدُلُّ عَلَى الِاسْتِمْرارِ ، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى وَقْفَةَ النّاسِ بِعَرَفَةَ. (أبو محمد أحمد بن محمد بن خليل، النور الساطع من أفق الطوالع في تحديد يوم عرفة إذا اختلفت المطالع، ص 9)


“*Wajhul Istidlāl* : isteri-isteri Nabi SAW menyebutkan bahwa beliau telah terbiasa berpuasa pada tanggal kesembilan hijriyah pada bulan Dzulhijjah, dan tak ada keraguan lagi ini puasanya Nabi SAW ini terjadi sebelum Haji Wada’ (ketika wukuf baru disyariatkan), dan lafazh (كَانَ) (kāna) menunjukkan terus berlangsungnya puasa yang telah dilakukan Nabi SAW (sebelum haji Wada’), dan tidak sampai kepada kita berita dari Nabi SAW bahwa beliau memantau lebih dulu terjadinya wukuf yang dilakukan oleh jamaah haji di Arafah.” (Lihat : Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 9). 

(Lihat https://ketabpedia.com/تحميل/النور-الساطع-من-أفق-الطوالع-في-تحديد-ي-3/)


Dari dalil semacam inilah, sebagian ulama kemudian menyimpulkan definisi puasa hari Arafah yang tidak dikaitkan dengan terjadinya wukuf di Arafah. Hari Arafah akhirnya didefinisikan sebagai berikut :


يَوْمُ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمَ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ سَواَءٌ واَفَقَ هَذَا الْيَوْمُ وَقْفَةَ الْحاَجِّ بِعَرَفَةَ أَمْ لَمْ يَواَفِقْهُ، وَأَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ


“Hari Arafah adalah hari (tanggal) ke-9 bulan Dzulhijjah, baik hari itu bertepatan maupun tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, dan bahwa setiap-tiap negeri mempunyai rukyatnya masing-masing.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 6). (lihat : https://almoslim.net/node/281621).


Namun pendapat ini bagi kami kurang tepat _(ghayru sadīd),_ dengan 2 (dua) argumentasi sebagai berikut :


*Pertama*, memang benar, puasa Arafah yang dilakukan Nabi SAW sejak tahun ke-2 H hingga sebelum Haji Wada’ tahun ke-10 H, tidak dikaitkan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Tetapi fakta ini tidak dapat dijadikan dalil, karena proses _tasyrī’_ (pembentukan hukumnya) untuk hukum puasa ‘Arafah ini memang belum selesai (final). Proses pembentukan hukum puasa ‘Arafah baru selesai (final) saat Nabi SAW dan para shahabat Nabi SAW berwukuf di Arafah saat Haji Wada’ tahun ke-10 H. 


Pada saat itulah, terjadi kaitan atau hubungan _(al-irtibāth)_ antara puasa hari Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, yang sebelumnya tidak ada. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits, pada saat wukuf di Arafah yang dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H itu, di antara para shahabat Nabi SAW terjadi perdebatan apakah Nabi SAW berpuasa hari Arafah saat berwukuf di Arafah itu ataukah beliau berbuka (tidak berpuasa). Melihat perdebatan itu, lalu Ummu Al-Fadhl (ibunda Ibnu ‘Abbas RA) mengirimkan satu wadah berisi air susu kepada Nabi SAW melalui Ibnu ‘Abbas RA. Nabi SAW yang saat itu sedang duduk di atas unta, kemudian meminum air susu itu. Ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada umum bahwa mereka yang sedang menjalankan ibadah haji di Arafah, tidak disunnahkan berpuasa Arafah. (HR Al-Bukhari, no. 1661; Muslim, no.1123).


Dengan demikian, pada saat Haji Wada’ tahun ke-10 H itulah terbentuk ikatan antara puasa hari Arafah dengan wukuf di Padang Arafah, yang sebelumnya ikatan itu tidak ada. Maka dari itu, dan sejak saat itu, puasa Arafah tidak dapat lagi didefinisikan hanya berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, namun haruslah didefinisikan berpuasa pada tanggal ke-9 Dzulhijjah, yang harinya bertepatan dengan hari wukufnya jamaah haji di Padang Arafah.


Jadi kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berhujjah bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah tanpa ada wukuf di Arafah. Ini memang benar, tapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), karena tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa hari Arafah belum selesai. Pada saat Haji Wada’ di tahun ke-10 H itulah, baru selesai dan final tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa Arafah, yang akhirnya mengkaitkan puasa Arafah tidak hanya dengan aspek waktu (tanggal 9 Dzulhijjah) namun juga dikaitkan dengan aktivitas, yaitu wukufnya jamaah haji di Arafah, yang sebelumnya puasa hari Arafah dilaksanakan tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah.     


Analoginya kurang lebih sama dengan tahapan-tahapan pensyariatan hukum untuk khamr dan riba, yang awalnya tidak diharamkan, tapi pada akhirnya, kedua hal itu diharamkan secara bertahap _(gradual/tadarruj)._ Menurut Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya _At-Tibyān fi ‘Ulūmil Qur`ān,_ pengharaman khamr terjadi dalam 4 (empat) tahapan sebagai berikut; 

(1). Tahap kesatu, awalnya khamar dibolehkan, sesuai QS An-Nahl : 67; 

(2). Tahap kedua, turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamr karena mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya, sesuai QS Al-Baqarah : 219; 

(3) Tahap ketiga, turun ayat yang melarang khamr pada satu waktu (pada waktu sholat), namun masih dibolehkan pada waktu lainnya (di luar sholat), sesuai QS An-Nisā` : 43; 

(4) tahap keempat, tahap final, yaitu khamr diharamkan secara total, sesuai QS Al-Maidah : 90-91. (Muhammad ‘Ali Ash-Shābūnī, _At-Tibyān fī ‘Ulūmil Qur`ān,_ hlm. 23-25).


Berdasarkan empat tahapan itu, tentu yang berlaku untuk umat Islam sekarang hingga Hari Kiamat nanti, adalah hukum yang terakhir yang sudah final untuk khamr, yaitu hukum haram, berdasarkan QS Al-Mai`dah : 90-91. Kita tidak boleh lagi minum khamr dengan cara _setback_ atau mundur ke belakang dan berhujjah dengan ayat-ayat yang belum mengharamkan khamr secara tegas. 


Maka demikian pula, kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berpuasa Arafah tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah, dengan dalih bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah sementara wukuf di Arafah belum disyariatkan. Yang berlaku bagi umat Islam hingga Hari Kiamat tentunya adalah hukum terakhir, yaitu sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, yang mengkaitkan hari Arafah dengan wukuf di Arafah. Jadi, definisi syar'i yang lebih shahih untuk "Hari Arafah" _(yauma 'Arafah)_ adalah :


يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ


“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” _(yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzī yaqifu fīhi al hajīj bi-'arafah)._


Definisi inilah yang dianggap kuat _(rājih)_ oleh _Al-Lajnah Ad-Dāimah Lil Buhūts Al-'Ilmiyyah wal Iftā`_ (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul ‘Azīz bin Bāz. Definisi ini juga yang dipilih oleh _Lajnah Al-Iftā Al-Mashriyyah_ (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Husamuddin 'Ifanah, guru besar fiqih dari Al-Quds, Yerussalem, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 3).


*Kedua,* pendapat bahwa puasa Arafah itu yang penting patokan tanggalnya, yakni tanggal 9 Dzulhijjah, baik berbarengan dengan wukuf maupun tidak, telah mengabaikan (untuk tidak mengatakan melawan) nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah. Di antaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ : 


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ


"Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (HR. Al-Baihaqi, _Sunan Al-Baihaqi,_ Juz V, hlm.176). 


Yang dimaksud dengan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut adalah :


أَيْ : يَوْمَ تَقِفُوْنَ بِعَرَفَةَ


“Maksudnya : hari yang kalian berwukuf di Arafah.” (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm.18).


Dalam kitab _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ Syekh ‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari menafsirkan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut dengan makna yang sama, ketika beliau berkata :


أَنَّ الْمُراَدَ بِيَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الناَّسُ بِعَرَفَةَ


“Bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah, adalah hari yang orang-orang melakukan wukuf pada hari itu di Arafah.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 8).


Berdasarkan seluruh uraian di atas, tidak dapat diterima _(ghayr musallam)_ pendapat bahwa puasa Arafah itu adalah puasa yang dilakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, baik bersamaan dengan hari wukufnya jamaah haji di Arafah, ataukah tidak, karena pendapat ini : 

(1) didasarkan pada fakta sejarah pembentukan hukum puasa Arafah yang belum final, yang memang tidak mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, sejak tahun ke-2 H ketika awal disyariatkannya puasa Arafah. Padahal akhirnya, sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, puasa Arafah telah dikaitkan dengan aktivitas wukuf di Arafah.

(2) didasarkan pada pengabaian nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah.   

_Wallāhu a’lam._


*Yogyakarta, Jumat 8 Dzulhijjah 1445 (14 Juni 2024)*


*Muhammad Shiddiq Al-Jawi*


#Khilafah akan menyatukan kaum muslimin sedunia karena #KhilafahAjaranIslam