*Tiga Model Pemilihan Khalifah Rasyidin*
Hingga wafatnya, Nabi Muhammad SAW tidak mewasiatkan siapa penggantinya.Karena itu, pemilihan pengganti Nabi sebagai kepala negara (khalifah ar-rasul) dilakukan melalui musyawarah diantara para sahabat Nabi. Secara umum ada tiga model pemilihan yang diterapkan di era khilafah rasyidah atau kha lifah yang adil dan bijaksana. Berikut faktanya:
*PEMILIHAN ABUBAKAR ASH SHIDDIQ (MODEL PERTAMA)*
Khalifah dipilih lewat musyawarah wakil wakil dari kalangan Muhajirin dan Anshar secara terbatas (bai’at in’iqad) pada hari pertama Nabi wafat bertempat di Tsaqifah Bani Sai’dah (kediaman Sa’ad bin Ubadah di Madinah), kemudian dilanjutkan dengan bai’at ta’at di Masjid Nabawi pada hari kedua Nabi wafat. Kronologinya sebagai berikut:
*TAHAP I*
Saat Nabi wafat, terjadi kegoncangan. Mulai muncul tanda-tanda perpecahan kepemimpinan politik. Antara lain munculnya pendapat bahwa kalangan Anshar mengangkat khalifah sendiri, begitu pun dengan kalangan muhajirin yang juga mengangkat khalifah sendiri. Sementara itu, di sebagian kawasan di jazirah Arab mulai memperlihatkan tanda-tanda memisahkan diri, bahkan muncul sejumlah orang yang mengaku sebagai nabi.
Pada hari wafatnya Nabi, Umar bersama Abubakar serta kaum Muhajirin lainnya menuju tempat kaum Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah. Saat tiba disana, berdiri juru bicara dari kalangan Anshar yang menyatakan muncul tanda-tanda kaum Muhajirin akan men dominasi mereka di tempat tinggal mereka (Madinah), dan mengambil kekuasaan dari kaum Anshar. Saat itu dari kalangan Anshar juga muncul usulan agar kaum Anshar memilih khalifah sendiri dan orang-orang Quraisy (Muhajirin) juga memilih khalifah sendiri, yang disampaikan dengan ungkapan "ana juzailuha al-muhakkak wauzaiquha almurajjab," yang berarti akulah pemimpin yang tertingi. Konon yang berkata demikian adalah Al Hubab bin al Munzir.
Sebuah riwayat menyatakan Abubakar saat itu menyampaikan, "Kalian mengetahui bah wa Rasulullah pernah bersabda,’‘Andai saja manusía menempuh jalan di satu lembah semen tara kaum Anshar menempuh satu jalan, maka pastí akan kutempuh jalan kaum Anshar’. Dan engkau telah mengetahui wahai Sa’ad (Sa’ad bin Ubadah) bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda —saat itu engkau sedang duduk- ‘Sesungguhnya kaum Quraisy-lah yang paling berhak menjadi pemimpin. Kebaikan manusia akan mengikuti kebaikan yang ada pada mereka dan kejelekan manusia akan pula mengikuti kejelakan yang ada pada mereka’. Maka Sa’ad berkata, ‘Engkau benar, kami hanyalah menjadi wazir dan kalianlah yang menjadi Amir’."
Riwayat lain menyebutkan saat itu Abubakar juga mengatakan dia rela jika urusan khalifah diserahkan kepada satu dari dua orang (Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah). Saat itu, muncul keributan. Untuk mencegah perselisihan, Umar kemudian berkata kepada Abu bakar, "Berikan tanganmu wahai Abubakar". Maka Abubakar memberikan tangannya dan Umar segera membaiatnya, diikuti seluruh kaum Muhajirin, kemudian kaum Anshar.
Riwayat lain menyatakan Umar berkata ke pada yang hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah, "Yang paling berhak menggantikan Rasulullah SAW adalah sahabatnya yang menyertainya dalam gua (Gua Hira, saat permulaan Hijrah –Red). Dialah Abubakar yang selalu terdepan dan paling di utamakan. Kemudian segera kutarik tangannya dan ternyata ada seorang Anshar (sebuah riwayat menyatakan dia adalah Basyir bin Sa’ad, ayah an-Nukman bin Basyir) yang lebih dahulu menariknya dan membai’atnya sebelum aku sempat meraih tangannya. Setelah itu baru aku membaiatnya dengan tanganku yang kemudian diikuti oleh orang ramai."
Kitab Fathur ar-Rabbani menyatakan soal bai’at itu Abubakar mengatakan menerima pembai’atan itu karena takut fitnah akan datang yaitu murtadnya orang-orang Arab setelah wafatnya Nabi.
Beberapa saat sebelum wafatnya, Umar menjelaskan hal ihwal bai’at kepada Abubakar itu di Masjid Nabawi. "Demi Allah, kami tidak pernah menemui perkara yang lebih besar dari perkara bai’at terhadap Abubakar. Kami sangat takut jika kami tinggalkan mereka tanpa ada yang dibai’at, maka mereka (Anshar) kembali membuat bai’at. Jika seperti itu kondisinya kami harus memilih antara mematuhi bai’at mereka padahal kami tidak merelakannya, atau menentang bai’at mereka yang pasti akan menimbulkan kehancuran. Maka, barang siapa membai’at Amir tanpa musyawarah lebih dahulu, bai’atnya dianggap tidak sah. Dan tidak ada bai’at terhadap orang yang mengangkat bai’at terhadapnya, keduanya harus dibunuh."
*TAHAP II*
Setelah pembai’atan di Tsaqifah Bani Sa’idah, keesokan harinya Abubakar dibai’at secara umum (bai’at ta’at) di masjid. Para sahabat yang sebelumnya hadir di Tsaqifah juga hadir di masjid.
Usai bai’at umum itulah Abubakar menyampaikan pidatonya yang terkenal: *"…sesung guhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian, dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku, dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhinatan*. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah disisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian tersebar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan di timpakan kepada seluruh kaum tersebut. *Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku* Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian."
Catatan:
Soal tidak hadirnya Ali Bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan lain-lain di Tsaqifah Bani Saidah, ada yang menyebutnya sebagai pemboikotan pemilihan Abubabakar. Namun, belakangan isu pemboikotan itu terbantahkan.
Saat pembai’atan terjadi, Ali, Zubair, dan lain-lain berada di rumah Fathimah. Zubair menuturkan ‘Kami tidak merasa marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah pemilihan kalian, tetapi kami tetap berpandangan bahwa Abubakar lah yang paling pantas menjadi pemimpin. Dialah orang yang menemani Rasulullah bersembunyi di dalam gua. Kita telah mengetahui kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan Rasulullah untuk menjadi imam shalat manusia ketika Rasulullah hidup.
Saat Abubakar dibai’at di masjid, Abubakar me merintahkan mencari Ali dan Zubair, yang kemudian keduanya datang dan membai’at Abubakar. Ali tidak pernah memisahkan diri dari Abubakar, dan selalu shalat di belakangnya.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i meriwayatkan bahwa Ali memperbaharui bai’at-nya kepada Abubakar setelah wafatnya Fathimah, enam bulan setelah Rasul wafat.
*PEMILIHAN UMAR BIN KHATTAB (MODEL KEDUA)*
Pergantian khalifah lewat surat wasiat yang dibacakan kehadapan kaum Muslimin, kemudian kaum Muslim memberikan bai’at. Berikut kronologinya:
Menjelang wafatnya, Abubakar mewasiatkan jabatan khalifah kepada Umar. Yang menuliskan wasiat itu adalah Utsman Bin Affan. Setelah itu wasiat tersebut dibacakan kehadapan kaum Muslimin dan mereka meng akuinya serta tunduk dan mematuhi wasiat tersebut.
Umar adalah yang pertama bergelar amirul mukminin. Konon yang pertama memanggilnya demikian adalah Al-Mughirah bin Syu’bah.
Imam Bukhari menulis bahwa saat Umar terbaring menjelang wafat, usai ditikam oleh Abu Lu’luah, ada yang menyatakan kepada Umar, "Tidakkah engkau menunjuk penggantimu wahai amirul mukminin". Umar menjawab, "Jika aku memilih penggantiku sebagai khalifah maka sesungguhnya hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Abubakar. Dan jika aku tidak menunjuk pengganti, maka hal itu telah dilakukan juga oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah."
Umar menyatakan, "Aku tidak mendapati ada orang yang lebih berhak memegang urusan ini (menjadi khalifah) selain dari enam orang yang Rasulullah rela atas mereka ketika wafatnya." _*Keenam orang itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin ‘Auf.*_ Mereka inilah yang menjadi *anggota majelis syura untuk memilih khalifah.*
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa’l Nihayah menyatakan dengan cara Umar menggabungkan apa yang dilakukan Rasulullah yaitu tidak menjatuhkan pilihan dan cara Abubakar yang mewasiatkan penggantinya, dan menyerahkan perkara pengangkatan khalifah kepada *sebuah majelis syura.*
Umar tidak menunjuk Sa’id bin Zaid sebagai anggota majelis syura, sebab dia berasal dari kabilah umar dan dikhawatirkan dia kelak terpilih disebabkan kekerabatannya, namun *menyatakan dia menjadi saksi atas proses yang dilakukan panitia enam tersebut*. Sa’id bin Zaid adalah satu dari sepuluh orang yang dijamin Rasulullah masuk surga (sembilan lainnya adalah Abubakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Abdullah, dan Abu Ubaidillah bin Jarrah).
Sebuah riwayat menyebutkan Umar juga mengecualikan anaknya, Abdullah bin Umar, dari hak terpilih sebagai khalifah, karena khawatir jabatan khalifah menjadi jabatan turun-temurun.
*PEMILIHAN UTSMAN BIN AFFAN (MODEL KETIGA)*
*TAHAP I*
*Pergantian khalifah melalui sebuah majelis syura beranggotakan enam orang.* Berikut prosesnya:
Umar menunjuk Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdur rah man bin ‘Auf, untuk bermusyawarah.
Dalam musyawarah, nama kandidat mengerucut menjadi tiga yaitu Utsman, Ali, dan Abdurrahman bin Auf. Itu terjadi setelah tiga anggota formatur memilih tiga lainnya. Zubair memilih Ali, Thalhah memilih Utsman, sedangkan Sa’ad memilih Abdurrahman bin Auf.
Selanjutnya, nama calon mengerucut lagi menjadi dua, setelah Abdurrahman bin Auf melepaskan haknya untuk dipilih. Meski demikian, Abdurrahman lah yang menentukan siapa khalifah terpilih. "Aku akan berusaha untuk me nyerahkan jabatan tersebut kepada salah seorang diantara kalian berdua dengan cara yang benar," kata Abdurrahman kepada Utsman dan Ali.
Selanjutnya, di hadapan Abdurrahman, Utsman dan Ali menyampaikan khutbah (se macam kampanye –Red) tentang keistimewaannya masing-masing dan berjanji jika mendapat jabatan tersebut tidak akan menyimpang, dan jika ternyata tidak mendapatkannya maka ia akan mendengar dan menaati orang yang dipilih.
Tiga hari sejak pertemuan itu, Abdurrahman dikabarkan banyak shalat malam dan berdoa, serta menanyakan pendapat sejumlah kalangan tentang kedua kandidat (semacam survei –Red).
Di hari keempat, Abdurrahman me minta keponakannya, Al-Miswar bin Makhramah memanggil Utsman dan Ali. Miswar bertanya, siapa yang harus dipanggil terlebih dahulu. Abdurrahman menjawab, "Terserah padamu."
Miswar lalu menemui Ali. Ali bertanya, "Apakah ia juga memanggil yang lain selainku?" Miswar menjawab, "Benar". Ali bertanya lagi, "Siapa yang ia panggil pertama kali?" Miswar menjawab, "Ia katakan terserah padamu dan akhirnya aku mendatangimu."
Miswar dan Ali kemudian ke rumah Uts man. Miswar masuk ke dalam rumah, sedangkan Ali duduk menunggu. Saat itu menjelang fajar, dan Utsman sedang shalat witir. Kepada Miswar, Utsman juga menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan Ali.
Saat Utsman dan Ali datang, Abdurrahman mengatakan,"Sesungguhnya aku telah bertanya kepada masyarakat tentang kalian berdua dan tidak seorang pun dari mereka yang lebih mengistimewa kan [satu di antara] kalian berdua."
*TAHAP II*
Abdurrahman kemudian membawa Utsman dan Ali ke Masjid Nabawi. Di masjid, kaum Muhajirin dan Anshar telah berkumpul untuk shalat subuh. Masjid penuh sesak.
Usai shalat, Abdurrahman naik mimbar dan berpidato, "Wahai sekalian manusia! Aku telah menanyakan keinginan kalian baik secara pribadi maupun didepan umum, namun aku tidak dapati seorang pun yang condong kepada salah seorang dari mereka berdua baik Ali maupun Utsman. "
Kemudian, Abdurrahman memanggil Ali, dan memegang tangannya sambil ber kata, "Apakah engkau mau dibai’at un tuk tetap setia menjalankan alquran, Sunnah NabiNya dan apa yang telah dilakukan oleh Abubakar dan Umar?" Ali menjawab, "Tidak, akan tetapi akan aku jalankan sesuai dengan kemampuanku."
Mendengar jawaban Ali, Abdurrahman melepaskan pegangan tangannya, lalu memanggil Utsman dan bertanya, "Apakah engkau mau dibai’at untuk tetap setia menjalankan al-Qur’an, Sunnah NabiNya dan apa yang telah dilakukan oleh Abubakar dan Umar?" Utsman menjawab, "Ya!"
Mendengar jawaban Utsman, Abdurrahman menengadahkan kepalanya keatap masjid sambil memegang tangan Utsman dan berkata,"Ya Allah de ngarkanlah dan saksikanlah, ya Allah dengarkanlah dan saksikanlah, ya Allah dengarkanlah dan saksikanlah, ya Allah sesungguhnya aku telah alihkan beban yang ada dipundakku kepundak Utsman bin Affan".
Maka, orang-orang pun berdesak desakan untuk membai’at Utsman di bawah mimbar. Ada riwayat yang menyatakan Ali adalah orang yang pertama membai’at Utsman, riwayat lainnya menyebutkan Ali adalah orang yang terakhir membai’at Utsman.
*PEMILIHAN ALI BIN ABI THALIB*
Pergantian khalifah kembali ke model pertama. Sebab, Utsman yang terbunuh, tidak menyampaikan wasiat seperti Abubakar, juga tidak menunjuk formatur seperti Umar. Berikut prosesnya:
Setelah Utsman terbunuh, kaum muslimin mendatangi Ali untuk membai’at nya. Ali menolak bai’at tersebut dan menghindar ke rumah milik Bani Amru bin Mabdzul, seorang Anshar. Beliau menutup pintu rumah.
Kaum Muslimin kemudian membawa serta Thalhah dan Zubair. Mereka ber kata,"Sesungguhnya daulah ini tidak akan bertahan tanpa amir." Mereka terus mendesak hingga akhirnya Ali bersedia menerimanya.
Sebuah riwayat menyebut orang yang pertama membai’atnya adalah Thalhah dengan tangan kanannya yang cacat sewaktu melindungi Rasulullah SAW pada peperangan Uhud.
Ali kemudian keluar menuju masjid lalu naik ke atas mimbar dengan mengenakan kain sarung dan sorban sambil menenteng sandal dan bertelekan pada busur. Kemudian, segenap Muslimin yang hadir membai’at beliau.
Riwayat lain dari Al- Waqidi menye butkan "Orang-orang di Madinah mem bai’at Ali. Namun tujuh orang menarik diri dan tidak ikut berbai’at. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Shuheib, Zaid bin Tsabit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Salaamah bin Waqsy dan Usamah bin Zaid. Dan tidak ada seorang sahabat Ansharpun yang tertinggal, mereka semua ikut berbai’at sejauh pengetahuan kami."
Riwayat lain dari Saif bin Umar men ceritakan dari sejumlah gurunya bahwa mereka berkata, "Selama lima hari setelah terbunuhnya Utsman kota Ma dinah dipimpin sementara oleh al-Ghafiqi bin Harb, mereka mencari orang yang ber sedia memimpin. Penduduk Mesir [yang semula datang ke Madinah untuk mengepung Utsman] mendesak Ali, sedang beliau menghindar dari mereka kesebuah rumah. Penduduk Kufah mencari az-Zubair tapi mereka tidak menemukannya. Penduduk Bashrah meminta Thalhah, tapi ia tidak bersedia. Maka merekapun ber kata, ‘Kami tidak akan mengangkat salah satu dari tiga orang ini.’ Mereka menemui Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka berkata, ‘Sesungguh nya engkau termasuk salah seorang anggota Majelis Syura’. Namun Sa’ad tidak memenuhi permintaan mereka. Kemudian mereka menemui Abdullah bin Umar, tapi beliaupun menolak tawaran mereka. Merekapun bingung, lantas me reka berkata, ‘Jika kita pulang kedaerah ma sing-masing dengan mem bawa kabar ter bunuhnya Utsman tanpa ada yang menggantikan posisinya, manusia akan berselisih tentang uru san ini dan kita tidak akan selamat. Mereka kem bali menemui Ali dan memaksanya di bai’at.
Al-Asytar an-Nak ha’i meraih tangan Ali dan mem bai’atnya kemudian orang orangpun ikut membai’at beliau. Penduduk Kufah mengatakan bahwasanya yang pertama kali membai’at Ali adalah al-Asytar an-Nakha’i. Peristiwa itu terjadi pada hari Kamis 24 Dzul hijjah. Itu terjadi setelah orang-orang terus mendesak beliau. Mereka semua berkata, "Tidak ada yang pantas meme gangnya kecuali Ali." Keesokan harinya pada hari Jum’at, Ali naik ke atas mimbar. Orangorang yang belum membai’at beliau kemarin berbon dong-bondong mem bai’at beliau. Orang pertama yang mem bai’at beliau saat itu adalah Thalhah ke mudian az-Zubair. Bai’at ini terjadi pada hari Jum’at 25 Dzhulhijjah tahun 35 H.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin al-Hanafiyah, ia berkata, "Aku bersama Ali saat Utsman dikepung, lalu datanglah seorang lelaki dan berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh.’ Kemudian datang lagi lelaki lain dan berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin baru saja terbunuh.’ Ali segera bangkit namun aku cepat menengahinya karena khawatir akan keselamatan beliau. Beliau berkata, ‘Ce laka kamu ini!’ Ali segera menuju kediaman Utsman dan ternyata beliau telah terbunuh. Beliau pulang kerumah lalu mengunci pintu. Orang-orang mendatangi beliau sambil menggedorgedor pintu lalu menerobos masuk menemui beliau. Mereka berkata, ‘Lelaki ini (Utsman) telah terbunuh.
Sedang orang-orang harus punya khalifah. Dan kami tidak tahu ada orang yang lebih berhak daripada dirimu.’ Ali berkata, ‘Tidak, kalian tidak menghendaki diriku, menjadi wazir bagi kalian lebih aku sukai daripada menjadi amir.’ Mereka tetap berkata, ‘Tidak, demi Allah kami tidak tahu ada orang lain yang lebih berhak daripada dirimu.’ Ali berkata, ‘Jika kalian tetap ber sikeras, maka bai’atku bukanlah bai’at yang rahasia. Akan tetapi aku akan pergi ke masjid, barangsiapa ingin membai’at ku maka silakan ia membai’atku.’ Ali pun pergi ke masjid dan orang-orang pun membai’at beliau."
Nash-nash yang dinukil oleh al-Imam Ibnu Katsir dari ath-Thabari dan seja rawan lainnya menegaskan keabsahan bai’at khalifah rasyid yang ke-empat Ali bin Abi Thalib ra . Pembai’atan beliau berlangsung atas dasar persetujuan anggota ahlul halli wal aqdi di Madinah. Kemudian wilayah wilayah Islam lainnya turut Membai’at beliau kecuali penduduk Syam (yang gubernurnya saat itu Muawiyah), yang menahan bai’at hingga dilakukannya qishash terhadap pembunuh Utsman.
Peristiwa terbunuhnya Utsman ini merupakan fitnah pertama bagi kaum Muslimin, sebab membuat terjadinya perang saudara yang tragis di antara para sahabat Nabi, seperti Perang Unta dan Perang Shiffin ketika Ali terpaksa mengerahkan pasukan ke Syam untuk menundukkan Muawiyah.
Dalam Perang Shiffin, sebuah wilayah antara Kufah dan Syam, pasukan Ali hampir saja mengalahkan pasukan Muawiyah, namun kemudian pasukan Muawiyah mengangkat mushaf Al- Qur’an di atas lembing, dan mengajak untuk bertahkim. Pasukan Ali pun terpecah melihat tawaran ini, sebagian menerima, sebagian menolak. Akhir nya tahkim diterima.
Pada peristiwa tahkim di Daumatul Jandal, berlangsung diplomasi yang di menangkan kubu Muawiyah yang diwakili Amr bin Ash. Sebab, utusan Ali, yaitu Abu Musa al-Asy’ari, mengaku telah bersepakat bersama Amr bi Ash untuk memecat Ali maupun Muawiyah sebagai khalifah, untuk kemudian me nyerahkan kepada umat untuk memilih khalifah yang baru. Tapi, Amr bin Ash kemudian menyatakan menerima pemecatan Ali seperti yang di katakan Abu Musa, lalu menetapkan Mu’awiyah meng gantikan Ali sebagai khalifah. Proses tahkim yang pada awal nya semata untuk urusan pembu nuhan Usman, kemudian menjadi proses politik pengambilalihan kekuasaan.
Ali saat itu pulang ke Kufah, dan me ngatakan jika dia menyerahkan kepe mimpinan kepada rivalnya di Daumatul Jandal, maka mereka akan memperlakukan kaum Muslimin sebagaimana Heraclius (Kaisar Romawi) dan Kisra. Dan, Ali pun berpidato untuk mem bangkitkan semangat rakyat untuk menyerang Syam, namun saat itu tidak mendapat sambutan, dan terjadi fitnah Khawarij yang membuat situasi kian sulit, hingga berujung wafatnya Ali.
*PEMILIHAN HASAN BIN ALI*
Pergantian khalifah seperti model pertama sebab Ali yang menjelang wafat —setelah ditikam oleh Ibnu Muljam— enggam membuat wasiat untuk memilihpenggantinya seperti yang dilaku kan Abubakar, maupun membuat panitia seperti halnya Umar. Berikut prosesnya:
Ketika Ali sedang terbaring menjelang ajal, ada yang meminta Ali membuat wasiat orang yang akan mengganti kannya, namun Ali berkata, "Tidak! Aku akan membiarkan kalian sebagaimana Rasulullah SAW meninggalkan kalian. Apabila Allah SWT menghendaki kebaikan atas kalian maka Allah SWT. akan menyatukan kalian di bawah kepemimpinan orang yang terbaik dari kalian sebagaimana Dia telah menyatukan kalian di bawah ke pemimpinan orang yang terbaik dari kalian sepeninggal Rasulullah SAW."
Selanjutnya, kaum Muslimin membai’at Hasan. Yang pertama membai’atnya adalah Qais bin Sa’ad. Qais berkata kepadanya, "Ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atmu atas dasar Kita bullah dan Sunnah nabiNya." Hasan hanya diam. Qais membai’atnya lalu diikuti oleh orang banyak sesudahnya. Peristiwa itu terjadi pada hari wafatnya Ali bin Abi Thalib ra. Qais yang saat itu merupakan amir Azerbaijan mem bawahi 40 ribu tentara, dan mendorong Hasan memerangi Syam yang menolak tunduk pada khalifah.
Hasan sempat mengerahkan pasukan dalam jumlah besar menuju Syam, namun pasukannya kemudian tercerai berai, dan Hasan sempat hampir terbunuh. Kemudian, Hasan menulis surat kapada Muawiyah –yang saat itu sudah berangkat dengan pasukan dari Syam— untuk berdamai.
Selanjutnya, agar tidak lagi terjadi perang saudara antarsesama Muslim, Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan sejumlah syarat yang kemudian dipenuhi. Saat itu, tahun 41 Hijriyah, kemudian dinamakan sebagai Tahun Jamaah, karena suara kaum Muslimin akhirnya bulat untuk Muawiyah dan diapun menjadi khalifah berkedudukan di Damaskus.
*PERIODE KERAJAAN*
Menjelang akhir hayatnya, Muawiyah berkeliling ke Irak, Syam, dan berbagai kawasan lainnya mengumpulkan bai’at untuk puteranya, Yazid, sebagai khalifah penggantinya. Mu’awiyah juga men datangi Madinah dan Makkah, tempat di mana para sahabat Nabi. Di Madinah, Muawiyah mendapat tanggapan dingin, kemudian dia menuju Makkah.
Di Makkah, menanggapi permintaan Muawiyah, Abdullah bin Zubair menyo dorkan tiga pilihan.
*Pertama,* Muawiyah _*tidak perlu menunjuk pengganti seperti yang dilakukan Nabi, sehingga kemudian akan dipilih khalifah sebagaimana Abubakar.*_
*Kedua,* meniru cara Abu bakar _*dengan membuat wasiat menunjuk khalifa yang bukan dari kerabat nya.*_
*Ketiga,* meniru Umar dengan _*membentuk panitia enam*_ untuk me musyawarahkan siapa yang akan men jadi khalifah.
Saat Muawiyah menanyakan kepada para sahabat lainnya, mereka semua sepakat dengan yang dikatakan Abdullah bin Zubair. Namun, Muawiyah kemudian justru menyandera mereka, lalu me masuki masjid dan meng umum kan bahwa dalam musyawarah dengan para pemuka kaum Muslimin, mereka telah rela membai’at Yazid. Dan, karena tak ada ruang bagi protes, maka saat itu berlangsunglah bai’at atas Yazid.
*Bai’at yang dilakukan tanpa kebebasan ber bicara dan kebebasan memilih itu kemudian mengakhiri sistem khilafah rasyidah, berganti dengan kerajaan turun temurun (dinasti), meskpun tetap sistem kekuasannya tetap mereka namakan sebagai khilafah.*
Sumber:
Al Bidayah wa’l Nihayah/Khilafah Bukan Kerajaan, diolah Harun Husein
Republika