Wednesday, July 24, 2019

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

Oleh : Ali Baharsyah


Jangan terburu2 menuduh PKI atau radikal kepada mereka yang tidak setuju pancasila. Kerena tokoh2 Islam pendiri bangsa Ini juga menolak Pancasila.
NU ketika masih bergabung dengan PPP pasca dibubarkannya Partai Masumi dianggap kelompok garis keras oleh rezim orde baru karena paling lantang menolak Pancasila.
Dibawah ini ada satu tulisan panjang tapi menarik dibawa ditulis oleh salah seorang staf UGM disarikan dari desertasi doctoral Faisal Ismail.
Selamat Membaca.
....
NU dan Pancasila: Dulu dan Kini
admin - Oktober 23, 2017
Azis Anwar | CRCS | Perspektif


Nahdlatul Ulama (NU) kini telah menjadi salah satu ormas Islam yang lantang mendukung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Diberitakan di website NU, peringatan Hari Santri 22 Oktober tahun ini mengambil tema Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI.
Di antara ormas-ormas Islam, NU paling keras suaranya dalam mendukung penerapan Perppu 2/2017 untuk membubarkan ormas yang mengampanyekan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Sepekan sebelum peringatan Hari Santri, dikabarkan lebih dari 20 ribu Nahdliyin berkumpul di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mendeklarasikan “Front Penggerak Pancasila”.

Terkait sikapnya dengan Pancasila, sesungguhnya NU mengalami pergulatan yang dinamis. Di awal-awal perumusan Pancasila, perwakilan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini berubah seiring perubahan rezim dan konfigurasi politik.


Masa Perumusan


Pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk membuat rancangan konstitusi (UUD), perwakilan NU kala itu, Kiai Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) ingin mempertahankan “tujuh kata” (“dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemelo
eknja”) setelah kata “Ketoehanan”, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hasil kesepakatan Panitia Sembilan.

Wachid Hasjim juga mengusulkan untuk dimasukkan dalam rancangan konstitusi bahwa presiden Indonesia harus seorang Muslim dan bahwa negara Indonesia berdasarkan Islam, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang kini tercantum di pasal 29 UUD ’45.

Perwakilan Indonesia Timur Johanes Latuharhary sempat keberatan dengan “tujuh kata” itu. Namun Wachid Hasjim bersikukuh bahwa itu sudah merupakan kesepakatan Panitia Sembilan. Sukarno, dengan berlinang air mata, membujuk agar yang tak setuju dengan Piagam Jakarta bersedia berkorban karena itu merupakan “hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Usulan Kiai Wahid Hasyim terpenuhi hingga akhir sidang BPUPK.

“Tujuh kata” beserta turunannya itu baru dicoret dalam pertemuan selama 15 menit yang diinisiasi oleh Mohammad Hatta pada pagi hari menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD. Dalam lobi singkat untuk mencoret “tujuh kata” itu, Mohammad Hatta membujuk tokoh Islam.

(Komposisi anggota PPKI berbeda dari BPUPK. Jika anggota BPUPK dipilih berdasarkan latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, anggota PPKI tersusun terutama dari perwakilan kedaerahan dan organisasi. Dari 27 anggota PPKI, hanya 4 saja yang bisa dihitung “mewakili” Islam, yaitu Wachid Hasjim [NU], Ki Bagus Hadikoesoemo [Muhammadiyah], Kasman Singodimedjo [komandan PETA], dan Teuku Hasan [Aceh].)

Dalam Memoir-nya, Hatta menyatakan telah membujuk keempat tokoh Islam di PPKI itu untuk mencoret “tujuh kata”. Namun dalam catatan AB Kusuma, yang dikutip di buku Yudi Latif (kini kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila [UKP-PIP]), Wachid Hasjim tidak hadir dalam lobi itu karena sedang ke Surabaya dan barangkali Hatta lupa. Jika catatan AB Kusuma ini benar, berarti tidak ada perwakilan “golongan Islam” yang menandatangani Piagam Jakarta yang ikut dalam momen krusial pencoretan “tujuh kata” itu. Pada kenyataannya, nantinya pada sidang Badan Konstituante 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru, “kelompok Islam” menyatakan “kelompok Pancasila” telah melakukan intrik politik dalam pencoretan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta.


Masa Orde Lama


Di Badan Konstituante, NU bersama Masyumi berada dalam kelompok Islam yang mengadvokasi Islam sebagai dasar negara melawan kelompok Pancasila yang tersusun dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain.


Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU Kiai Ahmad Zaini menyatakan Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri (bapak dari Menteri Agama sekarang), menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.


Pendeknya, kelompok Islam (NU dan Masyumi) berpandangan bahwa Islam merupakan dasar yang lebih jelas dan komprehensif dibanding Pancasila. Persoalan dasar negara ini membuat sidang Konstituante menemui jalan buntu. Karena kegagalan tiap kelompok untuk memperoleh kuorum 2/3 dari total suara tiap kali diadakan pemungutan suara, Sukarno akhirnya membubarkan Konstituante melalui dekret presiden 5 Juli 1959. Dekret ini menyatakan UUD ‘45 kembali aktif sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45. (Ambiguitas makna “menjiwai” ini di kemudian hari masih mempengaruhi diskursus hubungan Islam dan negara dalam konstitusi dan perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.)


Masa Orde Baru


Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto ingin menerapkan Pancasila hampir di segala lini kehidupan: dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila. Mengklaim ingin melindungi Pancasila dari ancaman ideologi Islam, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi tiga, dengan semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi—Partai Masyumi pada saat itu sudah dibubarkan) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


Pada 1970-an, untuk menentang kebijakan rezim mengenai Pancasila, terutama mengenai penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pegawai negeri dan umum dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk siswa-siswi di sekolah, Kiai Bisri Syansuri, ketua Dewan Penasehat PPP dan Rais Syuriah NU, berfatwa wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memilih PPP, satu-satunya partai Islam, sekalipun berrisiko kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4, PPP dipimpin Kiai Bisri keluar dari sidang (walk out) sebagai bentuk protes. Pada 1970-an, orang-orang NU di dalam PPP dipandang sebagai orang-orang garis keras oleh rezim. NU pada dekade ini menjadi oposan paling kritis terhadap rezim, satu hal yang membuat rezim berupaya mempenetrasi PPP dan mengganti orang-orang NU dengan yang lebih bersahabat dengan rezim.


Perubahan Sikap


Posisi NU terhadap Pancasila mulai berubah pada dekade selanjutnya, 1980-an, terutama setelah rezim Orde Baru mengumumkan rencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa. PPP dan ormas-ormas Islam tentu menghadapi pilihan sulit: berkompromi agar partai/organisasi tetap hidup atau dibubarkan.


NU pada dekade itu mulai mengubah haluan sikapnya terhadap rezim, dari konfrontasi menjadi bersedia kompromi. NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 dan mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Keputusan penting lain dari muktamar itu ialah NU kembali ke “khittah1926” sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dan tak ingin lagi terlibat dalam “politik praktis”, yang kemudian diwujudkan dengan keluar dari PPP. Arsitek dari manuver ini adalah Kiai Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).
NU menjadi yang pertama dari semua ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh rezim. (NU merumuskan pada 1983, resmi pada 1984; Muhammadiyah merumuskan pada 1983 dan resmi pada muktamar 1985.) NU juga merumuskan argumen-argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Argumen-argumen ini bahkan kemudian diadopsi oleh Departemen Agama, diwujudkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas Islam lain.


Argumen bernada anekdotal dari Kiai Achmad Siddiq misalnya menyatakan: “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?”
Argumen yang lebih serius, misalnya dari Gus Dur, menyatakan bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. (Muhammadiyah punya istilah berbeda tapi kurang lebih sama maknanya: darul-‘ahdi was-syahadah atau negeri konsensus dan persaksian—istilah ini resmi diperkuat lagi dalam muktamar ke-47 Muhammadiyah pada 2015.) Dalam argumen ini, negara Pancasila adalah contoh dari darus-shulh atau darul-‘ahdi was-syahadah itu.

Ideologis atau Pragmatis?


Yang menjadi pertanyaan besar di sini dan membuat para analis berbeda pendapat ialah: apa yang melatarbelakangi keputusan NU untuk berubah haluan menjadi menerima Pancasila pada 1980-an itu? Apakah manuver ini bersifat tulus secara ideologis atau sekadar pragmatisme politis belaka?
Sebagian analis menyatakan itu tak murni ideologis dan lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu. Kalau saja Orde Baru tak memaksakan asas tunggal Pancasila, NU kemungkinan masih tak menerima Pancasila. Faktor lainnya ialah retaknya hubungan antara NU dan PPP. NU adalah basis mayoritas pendukung PPP namun orang NU kurang terakomodasi secara proporsional di kalangan elite PPP. Dengan kata lain, keputuan NU untuk kembali ke khittah 1926 juga memiliki latar belakang politik, yakni dishamorni dengan PPP. (Pada pemilu 1987, NU melakukan “aksi penggembosan” terhadap PPP dan membuat suara PPP jatuh.)

Namun penjelasan dari Gus Dur,

sebagaimana tertuang dalam pengantar terhadap buku Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila (1989), tampak ingin menunjukkan bahwa itu merupakan manuver ideologis yang selaras dengan ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah. Menurut Gus Dur, NU dalam Konstituante memperjuangkan Islam karena itu bagian dari “idealisme”. Tapi karena ia tak berhasil, harus ada pilihan lain, yaitu alternatif ketiga sebagai darus-shulh. Dalam penjelasannya, Gus Dur mengutip kaidah fikih (dan Gus Dur kerap kali mengutip beragam kaidah fikih untuk menjelaskan manuver politiknya) yang berbunyi “apa yang tak dapat diwujudkan semuanya, jangan tinggalkan semuanya” (ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu).
Saya pribadi tak sepenuhnya puas dengan penjelasan Gus Dur ini. Salah satu pertanyaan yang masih tersisa adalah: mengapa argumen seperti yang disampaikan Gus Dur itu tak muncul sejak awal perumusan Pancasila dan dalam sidang Konstituante? Andai saja demikian sedari awal, dan NU misalnya bergabung dengan kelompok Pancasila, kemungkinan Konstituante untuk mencapai kuorum lebih besar; kita punya konstitusi baru yang lebih kuat sebagai suatu produk konsensus; dan dampaknya besar terhadap diskursus umat Islam sejak republik ini baru berusia remaja.
Kendati demikian, di luar soal apakah ia merupakan manuver ideologis atau pragmatisme politik, yang jelas sikap rezim terhadap umat Islam sejak pertengahan 1980-an mulai melunak—kecuali tentu terhadap yang masih kukuh menolak asas tunggal Pancasila. Satu dekade terakhir Orde Baru kerap ditandai sebagai era “rapprochement” rezim dengan umat Islam: larangan jilbab bagi siswi-siswi sekolah dicabut; bisnis judi SDSB dibubarkan; dan rezim mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).


Kalau memakai perspektif utilitarian yang berpandangan bahwa keberhasilan manuver politik dinilai bukan dari idealisme ideologis melainkan pada hasilnya yang lebih bermaslahat secara umum (dalam hal ini, umat Islam), keputusan NU pada awal 1980-an itu berhasil. Dengan menerima Pancasila, rezim tak lagi punya alasan untuk menekan umat Islam secara umum, sehingga energi umat Islam bisa dialihkan ke hal lain, bahkan mengkritik kebijakan rezim Orde Baru lainnya. Pada kenyataannya, Gus Dur dan NU bisa tetap kritis terhadap Orde Baru. Bila Orde Baru mendirikan ICMI, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi.


Pascareformasi


Kini, hampir dua dekade pascareformasi, NU sudah menjadi salah satu pendukung kuat Pancasila. Suara-suara penolakan terhadap kebijakan pimpinan pusat di PBNU bukannya tidak ada (sejak dulu pun demikian—satu contoh yang terkenal: pada 1980-an, Kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan mufaraqah atau memisahkan diri/keluar dari NU yang dipimpin Gus Dur.)
Namun secara umum, figur-figur penting NU kini berada di belakang Pancasila. Rais Aam NU Kiai Ma’ruf Amin dan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil Siradj kini menjadi dua dari sembilan pengarah UKP-PIP.


Konfigurasi politik saat ini sudah berbeda dari zaman Orde Baru. Rival NU dalam persaingan antarormas Islam juga sudah berbeda. Corak penafsiran politis terhadap Pancasila pun lebih beragam. Di masa pascakemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, Pancasila cenderung dimaknai sebagai konsensus pemersatu semua kalangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan ragam sisi terang dan gelapnya. Di zaman Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi instrumen penjaga “stabilitas” politik. Pascareformasi, tafsir-tafsir dari beragam spektrum saling berebut untuk memaknai Pancasila. NU tampaknya berada dalam kalangan yang memaknai Pancasila sebagai simbol penjaga kebinekaan, kalau bukan malah instrumen “penggebuk” ormas “subversif”.
Apakah NU bisa merumuskan ulang tafsir Pancasila yang lebih dari sekadar itu, misalnya terkait persoalan sektarianisme internal umat Islam dan tafsir lain yang bukan sekadar soal kebinekaan dan hubungan agama negara melainkan juga “keadilan sosial” di sila kelima? Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang.[]


*Penulis adalah alumnus dan kini staf CRCS UGM. Sebagian besar data sejarah dalam tulisan ini diambil dari disertasi doktoral Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila di McGill University pada 1995. Gambar ilustrasi di atas diambil dari website NU.

Tuesday, July 23, 2019

Faceapp dan sains prediksi

FACEAPP & SAINS PREDIKSI

Prof. Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie.

Beberapa hari terakhir ini, banyak orang latah ikut-ikutan mencoba aplikasi FaceApp.  Aplikasi ini bisa membuatkan wajah usia lanjut dari sembarang foto orang yang kita pilih.  Kita bisa saja menguji kemampuan aplikasi ini dengan menggunakan misalnya foto muda Jokowi atau Prabowo, lalu “foto tua” rekaan FaceApp kita bandingkan dengan foto mereka sekarang.

Sebagian muslim mengharamkan penggunaan FaceApp.  Ada tiga alasan yang mengemuka.  Alasan pertama mengatakan bahwa mengubah foto mahluk hidup adalah termasuk aktivitas tashwir (melukis mahluk bernyawa), berdasarkan hadits “Pelaku tashwir, akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR Bukhari-Muslim).

Alasan kedua adalah bahwa itu termasuk kebohongan, karena FaceApp menghasilkan foto yang tak sesuai realitas.  Sedang alasan ketiga adalah bahwa itu mirip mendatangi dukun ramal dan bertanya seperti apa wajah kita kala tua, padahal Nabi pernah berkata,  “Barangsiapa mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230).

Manatul hukmi dari fatwa di atas ditolak oleh sejumlah ilmuwan muslim.  Manipulasi foto adalah hal yang biasa dilakukan, bahkan kadang tidak disadari pengguna.  Software pada camera ponsel sekarangpun misalnya, sudah dilengkapi algoritma semisal autobalancing, agar wajah tampak lebih jelas.  Pada situasi tertentu, wajah yang gelap akan tampak lebih cerah.  Apakah proses yang memanipulasi sebagian pixel foto ini termasuk tashwir?

Teknologi manipulasi gambar atau image processing memang dapat digunakan untuk apa saja.  Yang positif bisa membuat foto yang diambil dalam kondisi kurang cahaya, menjadi seindah aslinya bila cukup cahaya.  Namun kadang ini digunakan berlebihan sehingga menjadi lebih indah dari aslinya.  Walhasil sampai ada calon anggota DPD yang melaporkan lawannya (yang menang) ke Mahkamah Konstitusi karena konon lawannya itu mengedit fotonya menjadi jauh lebih cantik dari kenyataannya.
Sedang soal bahwa FaceApp itu hanya software prediksi sebagai hasil algoritma deep learning, maka tentu berlebihan untuk menyamakan itu seperti tebakan dukun ramal, yang sama sekali tidak menggunakan dasar ilmiah tetapi bisikan jin atau khayalan belaka.

Sebenarnyalah, FaceApp adalah produk teknologi 4.0, yaitu kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI).  Seperti juga revolusi industri 1.0, kehadiran teknologi sering disikapi berlebihan oleh sebagian agamawan.

Ketika penerangan kota dengan gas dipasang di kota Koln Jerman pada 1819, koran “Kolnische Zeitung” pada editorial tanggal 28 maret 1819 masih mencela proyek itu.  Alasannya, “gelapnya malam adalah ciptaan Tuhan, dan seharusnya manusia tidak mengubah ciptaan Tuhan”.

Kondisi umat Islam di abad-21 ini berbeda dengan nenek moyang mereka.  Umat Islam generasi awal masih memiliki sikap yang jauh lebih positif terhadap sains.  Hasilnya, tahun 950 M, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak!  Tidak ada yang mengharamkan penerangan malam hari dengan alasan itu mengubah ciptaan Tuhan berupa gelapnya malam.

Sains memang memiliki 2 fungsi utama.  Fungsi pertama adalah untuk lebih memahami cara kerja alam semesta.  Sains memberikan penjelasan yang lebih masuk akal, mengapa ada hujan, mengapa ada petir, atau mengapa ada gerhana.  Sains menunjukkan bahwa fenomena alam itu memiliki kaidah kausalitas.  Sains mengkonfirmasi sabda Nabi bahwa gerhana bulan atau matahari tak berhubungan dengan kelahiran atau kematian seseorang, namun adalah tanda-tanda kekuasaan Allah.  Bagi seorang muslim, di balik keteraturan fenomena alam semesta tersembunyi misteri abadi dari keesaan Allah, Sang Maha Pencipta.

Fungsi kedua dari sains adalah memprediksi secara ilmiah peristiwa di masa depan, agar dapat diantisipasi lebih baik.  Karena ada astronomi, kita bisa tahu kapan matahari terbit atau terbenam, kapan musim panas atau dingin tiba, dan kapan gerhana akan terjadi.  Karena ada meteorologi, kita bisa tahu kapan terjadi hujan, badai atau kekeringan.  Karena ada geologi, kita tahu apakah suatu lokasi itu rawan longsor atau gempa, dan karena itu kita tahu, bangunan seperti apa yang cocok didirikan di sana.

Nah prediksi-prediksi ilmiah ini tentu jauh dari realitas seorang dukun ramal yang sama sekali tidak menggunakan metode ilmiah yang rasional dan dapat teruji siapapun.

Prediksi ini memang juga belum terjadi, sehingga tidak pula bisa kita sebut kebohongan.  Seberapa akurat prediksi ini?  Di astronomi, gerakan matahari, bulan, bintang atau planet dapat terprediksi sampai hitungan menit.  Mungkin hanya meteor atau asteroid saja yang belum bisa diprediksi dengan cukup baik dari jauh-jauh hari.  Kita berani katakan, prediksi astronomi itu akurat sampai 99,7%.  Sedang di meteorologi, akurasi prediksi tidak setinggi itu, walaupun diperkirakan masih lebih baik dari 50%.  Persoalannya adalah, tidak di semua tempat tersedia data meteorolgi yang cukup akurat.

Makin tersedia data terkini yang akurat dalam jumlah besar, makin baik algoritma untuk memprediksi kondisi masa depan.  Untuk itulah, situs seperti FaceApp menggunakan trik “FaceApp Challenge” untuk mengumpulkan sample foto wajah ratusan juta manusia.  Kelak, data ini bisa dipakai untuk mencari saudara atau teman yang terpisah puluhan tahun.  Cukup dengan menghadapkan wajah lama orang itu ke FaceApp, orang bisa memperkirakan wajahnya kini.  Tentu saja tidak 100% benar, tetapi itu prediksi yang paling mungkin dilakukan.  Banyak orang sudah akan tertolong.

Algoritma adalah istilah yang dipakai untuk menghormati Muhammad ibn Musa Al-Khwarizmi (780-850 M), matematikawan muslim yang membangun langkah-langkah berhitung dengan menggunakan angka desimal dan menulis kitab Aljabar w Almuqobalah.

Apa yang dimulai Al-Khwarizmi dilanjutkan oleh Al-Jazari, ahli mesin yang membangun berbagai alat-alat otomatis yang terprogram dengan baik seperti robot-robot musisi dan jam gajah yang sangat terkenal itu.  Sebuah perpaduan sempurna teknologi, karya seni dan upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam era revolusi industri 4.0, teknologi robot baru benar-benar menjadi serius bila dipadu dengan algoritma artificial intelligence.  Dan umat Islam mendapat tantangan untuk menjadi pengendali teknologi ini, agar tidak digunakan untuk menjajah, tetapi sebaliknya, untuk membebaskan dunia dari penjajahan.

Sunday, July 21, 2019

Mata Uang Daulah Khilafah, Bagaimana Konversinya?

Mata Uang Daulah Khilafah, Bagaimana Konversinya?

Oleh: Nasrudin Joha
.
Ada anggapan, ketika nanti daulah Khilafah tegak mata uangnya dinar dirham (emas perak). Bagaimana duit yang ada di kantong masyarakat ? Apakah langsung dinyatakan tidak berlaku ? Bagaimana duit rupiah yang ada pada tabungan ? Apakah nilainya semua hangus ? Apakah ketika Khilafah tegak, semua orang kehilangan nilai uang dan tabungannya karena bukan dinar dan dirham ?
.
Memang benar, mata uang daulah Khilafah kelak yang akan dijadikan alat transaksi dan satuan penyimpan nilai adalah barang yang secara dzatiyah memang memiliki nilai, barang tadi adalah emas dan perak.
.
Namun untuk dijadikan mata uang, negara juga dapat menerbitkan uang kertas sejumlah cadangan emas atau perak yang ada pada kas negara (representasi money). Uang yang ada, baik dalam bentuk kertas maupun nominal digital dalam simpanan tabungan -sebelum tegaknya daulah- tetap diperhitungkan nilainya, setelah dikonversi dalam satuan nilai dinar dan dirham.
.
Uang kertas yang dijamin tadi, dapat diterbitkan dengan pecahan nilai yang disesuaikan dengan kebutuhan. Negara, juga dapat langsung menerbitkan mata uang dalam bentuk natural emas dan perak dengan nilai pecahan tertentu, misalnya : 1 dinar, 1/4 dinar, 1 dirham, 10 dirham, dan seterusnya.
.
Sebelum semua interaksi pertukaran menggunakan dinar dirham, baik natural emas perak maupun representasi Fiat money (uang kertas), Negara untuk sementara waktu dapat melegalkan penggunaan mata uang sebelumnya -setelah nilainya di standarisasi dengan nilai dinar dirham- dan mencetak uang kertas baru (Fiat money) untuk diedarkan ditengah masyarakat dengan nilai dan nominal dinar dirham sebagai penggantinya.
.
Fungsi lembaga perbankan yang menyimpan dana publik, dapat diadopsi dalam fungsi lembaga Baitul Mal. Nilai tabungan penduduk, secara otomatis dikonversi kedalam satuan digital dengan nilai dinar dan dirham.
.
Seluruh lembaga perbankan ada pada kendali negara dan dilekatkan pada fungsi Baitul mal atau pada divisi Al masholihin Nas, yakni lembaga khusus yang melayani kemaslahatan umum.
.
Untuk memudahkan konversi, negara mengalihkan nilai uang sebelumnya kepada nilai dinar dan dirham. Contohnya, jika satu dinar setara 4,25 gram emas, maka rupiah yang bernilai setara dengan harga 4,25 gram emas dikonversi menjadi nilai satuan 1 dinar. Misalkan saja setiap 1 dinar setara dengan 4 juta rupiah, maka tabungan dengan nilai 20 juta rupiah, dikonversi menjadi senilai 4 dinar.
.
Setiap rupiah -yang dikumpulkan masyarakat dan ditabung ke lembaga perbankan umum baik swasta maupun perbankan penerintah disatukan di divisi Baitul Mal- maka nilai uang kertas itu langsung dikonversi kedalam nilai dinar dan dirham. Seluruh uang kertas sebelumnya setelah masuk Baitul Mal di musnahkan.
.
Misalkan saja ada orang setor 4 juta rupiah ke rekening tabungannya, maka petugas Baitul mal akan mencatat pertengahan nilai tabungan sebesar 1 (satu) dinar.
.
Selanjutnya Negara dapat mencetak uang kertas yang telah disesuaikan dengan cadangan emas yang ada pada negara, untuk diedarkan ditengah masyarakat menggantikan mata uang sebelumnya. Perlahan namun pasti, uang kertas dengan nominal dinar atau dirham akan menggantikan uang kertas sebelumnya.
.
Seluruh mesin anjungan tunai mandiri, diisi uang kertas baru dinar dirham yang telah distandarisasi dengan nilai cadangan emas dan perak di kas negara. Negara mengharamkan pertukaran Valas, kecuali yang dilakukan secara real, secara kontan.
.
Bagaimana jika negara tidak memiliki cadangan emas ? Sementara peredaran uang kertas dengan nilai dan nominal dinar dirham dibutuhkan, padahal Fiat money yang dicetak negara haruslah uang representatif, yakni uang yang di back up emas dan liquid ?
.
Jawabnya, konversi nilai uang sebelumnya yang berbentuk kertas dilakukan secara berkala, sambil melihat ketersediaan emas yang ada. Adapun konversi uang dengan nilai digital, berupa nilai tabungan yang dimiliki masyarakat, dapat langsung dikonversi dengan nilai dinar dan dirham, secara seketika dan serta merta.
.
Udah dulu ya, pasti Anda di kepalanya banyak burung atau bintang. Karena itu, rehat dulu. Untuk merincinya, Anda perlu diskusi bukan sekedar membaca tulisan ini. Ajaklah orang, yang menurut Anda bisa memberikan penjelasan mengenai hal ini.

PENJAJAH BERTOPENG HUMANIS

PENJAJAH BERTOPENG HUMANIS
_______
Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lamanya bangsa ini dijajah oleh Belanda di antaranya disebabkan banyaknya pribumi yang bermental budak. Tanpa adanya pencerahan yang disampaikan oleh Para Pahlawan bangsa, mereka tidak mempunyai keberanian untuk menentang penjajah. Mereka akan tetap berada pada kondisinya yang tertindas di bawah telapak kaki Belanda. Apalagi mereka mencitrakan diri sebagai kaum yang humanis dan peduli kepada pribumi.

Bayangkan, tiga ratus lima puluh tahun lamanya bangsa ini diperas oleh Belanda. Sebuah rentang waktu yang tidak sebentar. Apabila kita hitung saja dengan perjalanan hidup seseorang, maka minimalnya itu sudah lebih dari tujuh keturunan. Berarti sudah tujuh generasi negeri ini dijajah.
Lalu kemana saja rakyat Indonesia selama itu? Tidak adakah perlawanan mereka terhadap Belanda? Sebenarnya ada perlawanan dari rakyat nusantara terhadap penjajah, tetapi jumlahnya hanya beberapa saja. Pribumi yang acuh dengan keadaan lebih banyak daripada mereka yang lantang menggelorakan semangat perlawanan.

Mereka yang tidak peduli pada umumnya, selain karena takut melawan, juga karena mempunyai prinsip ‘Siapa saja yang menjadi pemimpin yang penting bisa bekerja. Tidak peduli apakah itu orang asing, orang kafir, yang penting bisa memimpin.’ Apalagi dibuktikan bahwa Belanda mampu membangun infrastruktur berupa transportasi kereta api dan jalan raya.
Begitulah mental budak yang ada pada sebagian pribumi di masa lalu, yang membuat penjajah bisa bertahan lama mencengkeram Nusantara. Lebih-lebih, sebagian dari mereka ada yang menjadi pegawai Belanda, menjadi demang, yang diberikan tunjangan hidup olehnya. Tidak peduli Belanda itu asing, kafir, yang penting ia sudah mendapat pekerjaan darinya.
Saya tidak tahu, seandainya rakyat Indonesia yang saat ini hidup ditempatkan pada suasana penjajahan (fisik) dahulu, mereka akan berada di kubu siapa. Apakah di kubu Pangeran Diponegoro yang berani menentang kebijakan-kebijakan Belanda, atau justru di kubu penjajah, dengan alasan tidak apa-apa Belanda kafir juga, yang penting bisa bekerja.

Terlebih lagi, Belanda pada saat itu sudah mencengkeram kuat sebagian besar keraton di Nusantara, yang kala itu pemerintahan yang sah bagi pribumi. Andai orang Indonesia yang saat ini diposisikan pada zaman itu, adakah di antara mereka yang berani menentang kerajaannya, atau justru mereka bersikap lembek dengan alasan bahwa biar bagaimanapun juga Raja-raja itu adalah ulim amri yang sah dan wajib ditaati. Tidak peduli sekalipun keratonnya sudah menjadi kaki tangan penjajah.

Semua itu adalah imajinasi saya, yang terpantik dari sebuah realita, bahwa saat ini pun banyak orang yang tidak peduli dengan aturan kepemimpinan dalam Islam. Tidak masalah seseorang kafir ataupun bukan, yang penting bisa bekerja maka ia akan mendukungnya. Tidak peduli aseng, asing atau bukan, asalkan bisa memberi modal maka ia akan memuliakannya.
Seperti itulah mental budak yang menjangkiti sebagian pribumi. Tidak berani menentang, apalagi melawan. Asalkan masih bisa makan, masih bisa ibadah, siapapun pemimpinnya, kafir, asing, aseng ataupun bukan, maka ia akan menjadi kacung setianya. Andai saja dahulu negeri ini semua rakyatnya semacam itu, saya yakin Belanda tidak akan pernah hengkang seperti sekarang ini.

# Alumni212
# ReturnTheKhilafah
Cirebon, 13 Februari 2019
__________
___________
Alhamdulillah, Penulis telah selesai menyusun Naskah Buku yang berjudul "Ketika Kiai Dipertuhankan" (Fenomena Hancurnya Agama2 Samawi), Terbitan Al-Azhar Press, Bogor.
Untuk pemesanan dan bedah buku silahkan hubungi no. 0817 011 7771

Saturday, July 20, 2019

HARAM MENDIRIKAN KHILAFAH, KARENA MENYALAHI KESEPAKATAN

HARAM MENDIRIKAN KHILAFAH, KARENA MENYALAHI KESEPAKATAN?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ada yang aneh dari penyataan Ahmad Ngisomudin, di persidangan PTUN, 15 Maret 2018 yang lalu, bahwa mendirikan Khilafah, khususnya di Indonesia, hukumnya haram, karena menyalahi kesepakatan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Ngisomudin mengakui, bahwa Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun.[1]
Yang menarik, ahli lain yang dihadirkan pemerintah di persidangan PTUN berikutnya, 29 Maret 2018, ketika ditanya, “Apakah NKRI ini telah menerapkan syariat Islam?” Dijawab, “Tidak”. Kemudian, ditanya oleh Jubir HTI, Ustadz Ismail Yusanto, “Boleh tidak, mengubah kesepakatan dengan kesepakatan yang lebih baik?” Dijawab, “Boleh”. Dia menambahkan, “Kecuali mengubah NKRI.” Sambil mengutip Q.s. al-Maidah: 1:
﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻭْﻓُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮﺩِ﴾ ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : 1 ]
“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” [Q.s. al-Maidah: 01]
Q.s. al-Maidah: 01 ini memang sering dibajak, dan digunakan tidak pada konteksnya. Termasuk untuk melegitimasi kesepakatan yang menyalahi, bahkan membatalkan hukum Allah yang sudah ma’lumun min ad-dini bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], seperti kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban menegakkannya kembali, ketika tidak ada.
Makna Sebenarnya Q.s. al-Maidah: 1
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, dalam kitabnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan makna ayat ini sebagai berikut:
ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ﴾ ﻳﻘﺎﻝ : ﻭﻓﻰ ﻭﺃﻭﻓﻰ ﻟﻐﺘﺎﻥ : ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻭْﻓَﻰ ﺑِﻌَﻬْﺪِﻩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ﴾ ‏[ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : 11 ‏] ، ﻭﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﻭَﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻭَﻓَﻰ﴾ ‏[ ﺍﻟﻨﺠﻢ : 37 ‏] .. ﻓﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻠﻐﺘﻴﻦ .
﴿ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮْﺩِ﴾ : ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻟﺮﺑﻮﻁ، ﻭﺍﺣﺪﻫﺎ ﻋﻘﺪ؛ ﻳﻘﺎﻝ : ﻋﻘﺪﺕ ﺍﻟﻌﻬﺪ ﻭﺍﻟﺤﺒﻞ، ﻭﻋﻘﺪﺕ ﺍﻟﻌﺴﻞ ﻓﻬﻮ ﻳﺴﺘﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻭﺍﻷﺟﺴﺎﻡ .
ﻓﺄﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺑﺎﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﺎﻟﻌﻘﻮﺩ؛ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻳﻌﻨﻲ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻘﻮﺩ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻫﻲ ﻣﺎ ﻋﻘﺪﻩ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ؛ ﻣﻦ ﺑﻴﻊ، ﻭﺷﺮﺍﺀ، ﻭﺇﺟﺎﺭﺓ، ﻭﻛﺮﺍﺀ، ﻭﻣﻨﺎﻛﺤﺔ، ﻭﻃﻼﻕ، ﻭﻣﺰﺍﺭﻋﺔ، ﻭﻣﺼﺎﻟﺤﺔ، ﻭﺗﻤﻠﻴﻚ، ﻭﺗﺨﻴﻴﺮ، ﻭﻋﺘﻖ، ﻭﺗﺪﺑﻴﺮ، ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ، ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮ ﺧﺎﺭﺝ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ؛ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﺎ ﻋﻘﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ، ﻛﺎﻟﺤﺞ، ﻭﺍﻟﺼﻴﺎﻡ، ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ، ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﻡ، ﻭﺍﻟﻨﺬﺭ، ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻃﺎﻋﺎﺕ ﻣﻠﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ . ﻭﺃﻣﺎ ﻧﺬﺭ ﺍﻟﻤﺒﺎﺡ ﻓﻼ ﻳﻠﺰﻡ ﺑﺈﺟﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺔ؛ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ .
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﴿ﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮْﺩِ﴾، ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺑﻤﺎ ﺃﺣﻞ ﻭﺑﻤﺎ ﺣﺮﻡ ﻭﺑﻤﺎ ﻓﺮﺽ ﻭﺑﻤﺎ ﺣﺪ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ؛ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ : ﻗﺮﺃﺕ ﻛﺘﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﷺ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺘﺒﻪ ﻟﻌﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﺣﻴﻦ ﺑﻌﺜﻪ ﺇﻟﻰ ﻧﺠﺮﺍﻥ ﻭﻓﻲ ﺻﺪﺭﻩ : ‏( ﻫﺬﺍ ﺑﻴﺎﻥ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﺎﻟﻌﻘﻮﺩ ﻓﻜﺘﺐ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺮﻳﻊ ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ ‏) .
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺰﺟﺎﺝ : ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﻌﻘﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺑﻌﻘﺪﻛﻢ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ، ﻭﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﺭﺍﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﻌﻤﻮﻡ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺎﺏ؛ ﻗﺎﻝ ﷺ : ‏( ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ ‏) ﻭﻗﺎﻝ ﷺ :
‏( ﻛﻞ ﺷﺮﻁ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﺷﺮﻁ ‏) ، ﻓﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺮﻁ ﺃﻭ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻱ : ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ؛ ﻓﺈﻥ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﺭﺩ؛ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﷺ : ‏( ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ ).
Firman Allah SWT: “Aufû” [tunaikanlah], ada yang mengatakan, “Wafâ wa Aufâ” adalah dua bahasa [lafadz yang berbeda]. Allah SWT berfirman: “Wa man Aufâ bi ahdihi mina-Llâh” [Siapakah yang lebih memenuhi janjinya ketimbang Allah?]. Allah SWT juga berfirman: “Wa Ibrahîma al-ladzî wafâ” [dan Ibrahim yang telah menunaikan [janjinya]]... Maka, Dia mengumpulkan dua bahasa [lafadz yang berbeda] tersebut.
“Bi al-Uqûd”: Lafadz, “Uqûd” artinya, “Rubûth” [ikatan]. Bentuk tunggalnya adalah, “Aqdun” [akad]. Ada yang mengatakan, “Aqadtu al-‘Ahda wa al-Habla” [aku mengikat janji dan tali]. “Aqqadtu al-‘Asla” [aku “mengikat” madu].[2] Lafadz tersebut digunakan untuk sejumlah makna dan jisim.
Allah SWT menitahkan, agar memenuhi akad. Al-Hasan berkata, maksudnya adalah akad-akad agama, yaitu apa yang diakadkan oleh seseorang terhadap dirinya, seperti akad jual, beli, ijârah, menyewakan lahan, nikah, talak, muzâra’ah [kerjasama bagi hasil pertanian], perdamaian, menguasakan milik, memberi pilihan [takhyîr], memerdekakan dan membebas budak, dan perkara lain, selama tidak keluar dari syariah. Begitu juga apa saja bentuk ketaatan yang diakadkan untuk dirinya, semata karena Allah, seperti haji, puasa, i’tikaf, qiyamullail, nazar, dan ketaatan dalam agama Islam lainnya. Adapun nazar yang mubah, maka berdasarkan kesepakatan umat tidak wajib ditunaikan. Itu dinyatakan oleh Ibn al-‘Arabi.
Ibn ‘Abbas berkata: “Aufû bi al-‘Uqûd” [Tunaikanlah akad-akad itu], maksudnya adalah apa saja yang dihalalkan, apa saja yang diharamkan, apa saja yang difardhukan, dan apa saja yang telah ditetapkan dalam semua perkara. Begitu juga Mujahid dan yang lainya berpendapat yang sama. Ibn Syihab berkatab: “Aku membaca surat Rasulullah yang ditulis kepada ‘Amru bin Hazm, ketika baginda saw. mengutusnya ke Najran, di permulaan surat itu dinyatakan: “Ini adalah penjelasan kepada umat manusia, dari Allah dan Rasul-Nya, wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” Baginda pun menuliskan ayat-ayat tersebut di dalamnya, sampai firman Allah yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah Maha Menyegerakan perhitungan-Nya.” [Q.s. al-Maidah: 4]
Az-Zujaj menjelaskan: Maknanya adalah tunaikanlah akad Allah kepada kalian, dan akad kalian kepada sesama kalian. Ini semua merujuk kepada pendapat berdasarkan keumuman lafadznya, dan ini merupakan pendapat yang sahih dalam konteks ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Orang Mukmin itu sesuai dengan syarat yang mereka tetapkan.”, baginda saw. juga bersabda, “Tiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka statusnya batil, meski terdiri seratus syarat.” Maka, baginda saw. menjelaskan, bahwa syarat atau akad yang wajib ditunaikan adalah apa yang sesuai dengan kitab Allah, yaitu agama Allah. Jika tampak menyalahi [agama Allah], maka wajib ditolak. Sebagaimana sabda baginda saw, “Siapa saja yang melaksanakan suatu perbuatan, yang tidak menetapi tuntunan kami, maka perbuatan tertolak.” [3]
Imam as-Syafii [w. 204 H], dalam kitabnya, Ahkâm al-Qur’ân, juga menjelaskan:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ : ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺳﻌﺔ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﻮﻃﺒﺖ ﺑﻪ، ﻓﻈﺎﻫﺮﻩ ﻋﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻋﻘﺪ . ﻭﻳﺸﺒﻪ ‏( ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ‏) : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ‏( ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ‏) ﺃﺭﺍﺩ ‏[ ﺃﻥ ‏] ﻳﻮﻓﻮﺍ ﺑﻜﻞ ﻋﻘﺪ - : ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻤﻴﻦ، ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﻳﻤﻴﻦ . ﻭﻛﻞ ﻋﻘﺪ ﻧﺬﺭ : ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﺪﻳﻦ ﻟﻠﻪ ﻃﺎﻋﺔ، ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ – ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﻣﻨﻬﺎ – ﻣﻌﺼﻴﺔ .
Imam as-Syafii berkata: “Ini karena luasnya bahasa Arab, yang digunakan untuk menyampaikan seruan [khithab]. Secara dhahir tampak umum, meliputi semua akad. Juga (Allah Maha Tahu) seakan-akan: Allah [Tabaraka wa Ta’ala] menginginkan agar mereka menunaikan semua akad: Apakah berupa sumpah, atau bukan. Juga semua akad nazar. Jika dalam kedua akad tersebut hanya berisi ketaatan kepada Allah, atau –dalam perkara yang diperintahkan untuk ditunaikan-- bukan untuk maksiat kepada-Nya.” [4]
Jadi, berdasarkan penjelasan Imam as-Syafii [w. 204 H] dan al-Qurthubi [w. 671 H] di atas, jelas bahwa perintah menunaikan akad di sini meliputi semua akad, dengan syarat tidak menyalahi hukum Allah. Sebaliknya, jika menyalahi hukum Allah, maka akad tersebut tidak boleh dilaksanakan. Terlebih, sudah menyalahi hukum Allah, akad yang sama juga digunakan untuk menghalangi tegaknya hukum Allah, maka lebih tidak boleh lagi. Lebih-lebih lagi, menghalangi tegaknya hukum Allah yang disepakati oleh para ulama’ sebagai perkara yang ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], dan merupakan kewajiban paling agung [a’dham al-wajibat], maka jelas tidak boleh.[5]
Status Kesepakatan untuk Mengharamkan Kewajiban
Dalam kitabnya, al-‘Uqûd, al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, menjelaskan, bahwa bagian paling depan dari akad-akad itu adalah akad [ikatan] keimanan, yang mengikat manusia dengan Allah SWT, yang mengharuskannya untuk mengakui ketuhanan-Nya. Pengakuan ini mengharuskannya untuk beribadah dengan sempurna, terikat secara utuh, taat secara mutlak, dan berserah diri secara totalitas kepada Allah, Rabb semesta alam.
Akad [ikatan] keimanan inilah yang seharusnya menjadi sumber dan pondasi semua akad dan ketentuan hidup. Dari sini, maka “ikatan keimanan” itu masuk dalam konsepsi dasar akidah, yang diikat di dalam kalbu, bahkan dengannya ikatan dan hubungan dengan sesama manusia itu dibangun. Khususnya, antara sesama orang Mukmin, yang secara khusus diseru oleh Allah dalam seruan-Nya ini.[6]
Karena itu, jika akad-akad yang ada dalam kehidupan manusia ini bersumber dan didasarkan pada akidah Islam, serta terikat sepenuhnya dengan hukum Allah, maka akad-akad ini merupakan akad yang sah. Sebaliknya, jika akad-akad ini tidak bersumber dan dibangun berdasarkan akidah Islam, serta tidak terikat dengan hukum Allah, maka akad-akad ini pasti menyimpang. Itulah, mengapa para fuqaha’ membagi akad ini menjadi akad yang sah, fasad dan bathil.[7]
Akad yang fasid adalah akad yang terlaksana dan dianggap ada, tetapi karena tidak memenuhi ketentuan syara’ yang ditetapkan, maka akad ini tidak mempunyai pengaruh. Seperti jual-beli barang yang cacat. Jika pembelinya tidak menerima, maka akad jual-belinya bisa dibatalkan. Lebih parah dari akad yang fasid adalah akad bathil, karena akad ini tidak bisa diperbaiki, disebabkan akad melakukan keharaman, atau meninggalkan kewajiban, sekalipun pelakunya sama-sama suka. Transaksi zina adalah akad bathil, meski sama-sama suka. Karena akad ini adalah akad untuk melakukan keharaman. Begitu juga, akad untuk mengharamkan Khilafah adalah akad yang bathil, karena adanya Khilafah, telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum Muslim, hukumnya wajib.
Al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, menjelaskan:
ﺃﺣﻜﺎﻣﻪ : ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻭﺟﻮﺩ ﺷﺮﻋﻲ، ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻌﺪﻡ، ﻭﻻ ﻳﻨﺘﺞ ﺁﺛﺎﺭﻩ، ﻭﻻ ﻳﻨﻘﻠﺐ ﺇﻟﻰ ﺻﺤﻴﺢ، ﻭﻟﺘﺼﺤﻴﺤﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺇﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺑﻌﺪ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺳﺒﺐ ﺑﻄﻼﻧﻪ
“Hukumnya: Akad bathil itu, secara syar’i tidak ada. Status hukumnya seperti tidak ada. Ia juga tidak menimbulkan dampak [akibat]. Juga tidak bisa berubah menjadi sah. Untuk mengubahnya menjadi sah, maka akadnya harus diulang, setelah sebab [yang menyebabkan] kebathilannya dihilangkan.” [8]
Selain itu, para ulama’ juga telah membahas tentang kesepakatan ini dalam Ahkam as-Shulh [Hukum perdamaian]. Shulh [perdamaian] itu sendiri bertujuan untuk mencapai kesepakatan, dan menghilangkan perselisihan di antara para pihak. Ini sesuai dengan hukum asal mu’amalah itu sendiri. Hanya saja, syarat-syarat yang disepakati, dan mengikat para pihak tidak boleh menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda:
ﺍَﻟﺼُّﻠْﺢُ ﺟَﺎﺋِﺰٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺇِﻻَ ﺻُﻠْﺤًﺎ ﺃَﺣَﻞَّ ﺣَﺮَﺍﻣًﺎ ﺃَﻭْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺣَﻼَﻻً
‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ]
“Kesepakatan damai di antara kaum Muslim itu boleh, kecuali kesepakatan damai yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.” [Hr. At-Tirmidzi]
Karena itu, bisa dikatakan semua fuqaha’ telah sepakat, bahwa kesepakatan damai [sulh], jika menyangkut hak Allah, seperti kewajiban zakat, haji dan jihad, misalnya, sekalipun semua orang sepakat hukum ini dibatalkan, maka kesepakatan seperti ini bathil, dan tidak berlaku. Begitu juga, jika semua orang sepakat untuk membatalkan pelaksanaan hudud, seperti sanksi bunuh bagi orang murtad, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshan, cambuk bagi pezina ghairu muhshan, dan sebagainya, maka kesepakatan seperti ini juga bathil, dan tidak berlaku.[9]
Nah, karena itu tidak ada satu pun ulama’ kaum Muslim, yang menyatakan, bahwa berjuang menegakkan Khilafah, yang wajib, menjadi haram hukumnya, karena dianggap melanggar kesepakatan. Justru sebaliknya, jika ada kesepakatan yang melarang kaum Muslim untuk menegakkan Khilafah, maka kesepakatan seperti ini jelas bathil, dan tidak berlaku. Bahkan, jika seluruh manusia sepakat, haram hukumnya menegakkan Khilafah, maka kesepakatan ini pun bathil, dan tidak berlaku, karena membatalkan apa yang diwajibkan oleh Allah.
Kesepakatan Mengharamkan Persatuan dan Kesatuan Umat
Allah menyatakan, bahwa umat Islam ini adalah satu, beragama satu, Tuhannya satu, kitab sucinya satu, Nabinya satu. Mereka juga merupakan satu tubuh, yang disatukan dalam satu negara, Khilafah. Dengannya, persatuan dan kesatuan umat ini benar-benar terwujud dengan nyata. Allah SWT berfirman:
﴿ ﺇِﻥَّ ﻫَٰﺬِﻩِ ﺃُﻣَّﺘُﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﻓَﺎﻋْﺒُﺪُﻭﻥِ ﴾ ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : 92 ]
“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” [Q.s. al-Anbiya’: 92]
Karena itu, para ulama sepakat, tentang kewajiban adanya satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia.
Pertama, Imam an-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim, menyatakan:
ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻴﻔﺔ، ﻓﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤﻴﺤﺔ، ﻭﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﻳﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﻃﻠﺒﻬﺎ ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻋﻘﺪﻭﺍ ﻟﻠﺜﺎﻧﻲ ﻋﺎﻟﻤﻴﻦ ﺑﻌﻘﺪ ﺍﻷﻭﻝ، ﺃﻡ ﺟﺎﻫﻠﻴﻦ، ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻧﺎ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ، ﺃﻭ ﺑﻠﺪ، ﺃﻭ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ، ﻭﺍﻵﺧﺮ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻩ .. ﻭﺍﺗﻔﻖ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻌﻘﺪ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ، ﺳﻮﺍﺀ ﺍﺗﺴﻌﺖ ﺩﺍﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻡ ﻻ ..
“Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil, dan haram ditunaikan. Juga harus bagi yang kedua untuk menuntutnya, baik mereka telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak. Baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama’ telah sepakat, bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.”[10]
Kedua, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bari, menyatakan:
ﻭﺍﻟﻤﻌﻨﻰ : ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﻓﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ : ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ – ﺃﻱ ﺣﺪﻳﺚ : ‏( ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ .. ‏) ﺣﻜﻢ ﺑﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ، ﻭﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﺳﻜﺖ ﻋﻦ ﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ، ﻭﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺮﻓﺠﺔ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ، ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ : ﻓﺎﺿﺮﺑﻮﺍ ﻋﻨﻖ ﺍﻵﺧﺮ ..
“Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadits ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah bai’at yang pertama”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadits Arfajah, dalam Shahih Muslim, telah menyatakannya, ketika menyatakan, “Maka, penggalah leher yang terakhir [dari keduanya]..”[11]
Ketiga, Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:
ﻓﺼﻞ : ﻭﺇﺫﺍ ﻋﻘﺪﺕ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ ﻟﻢ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﺇﻣﺎﻣﺘﻬﻤﺎ، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻸﻣﺔ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ
“Pasal: Jika imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka imamah [Khilafah] keduanya tidak sah. Karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.”[12]
Keempat, Imam al-Farra’, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:
ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ ..
“Tidak boleh [haram] mengangkat imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.”[13]
Inilah pendapat berbagai ulama’ kaum Muslim, tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan merupakan pendapat Hizbut Tahrir, tetapi para ulama’ muktabar di kalangan Ahlussunnah. Bahkan, ketika Imam al-Haramain al-Juwaini, menyatakan:
ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﻟﺸﺨﺼﻴﻦ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻋﻨﺪﻱ : ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﻻﺛﻨﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻘﻊ ﻭﺍﺣﺪ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ، ﻗﺎﻝ : ﻓﺈﻥ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻹﻣﺎﻣﻴﻦ، ﻭﺗﺨﻠﻠﺖ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺷﺴﻮﻉ ﻓﻠﻼﺣﺘﻤﺎﻝ ﻓﻴﻪ ﻣﺠﺎﻝ، ﻭﻫﻮ ﺧﺎﺭﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﺍﻃﻊ .
“Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”[14]
Dalam konteks ini, Imam an-Nawawi dengan tegas menyanggah pendapat ini, dengan menyatakan:
ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻓﺎﺳﺪ، ﻟﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻭﺍﻟﺨﻠﻒ، ﻭﻟﻈﻮﺍﻫﺮ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ .
“Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama’ salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadits.”[15]
Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolahan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.[16]
Itulah pendapat para ulama’ muktabar tentang kedudukan satu Khilafah dan Khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama’ kaum Muslim.[17]
Selain itu, pendapat di atas juga menyepakati keharaman adanya lebih dari satu negara bagi umat Islam. Karena itu, kesepakatan untuk mendirikannya merupakan kesepakatan untuk menghalangi persatuan dan kesatuan umat. Karena itu, kesepakatan seperti ini juga tidak boleh.
Wallahu a’lam.[]
[1] Ahmad Ngisomudin, M. Ag. Alias KH. Ahmad Ishomuddin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah Menuju Khilafah Islamiyyah, makalah yang disampaikan sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN, 15 Maret 2018, hal. 13.
[2] Maksud, “Aqqadtuhu al-‘Asla” adalah saya mengaduk madu itu hingga kental.
[3] Al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet I, 1425 H/2004 M, Juz I/1004-1005.
[4] Al-Imam al-Mu’adzdzam wa al-Mujtahid al-Muqaddam, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Idris as-Syafii, Ahkâm al-Qur’ân, Maktabah al-Khanji, Caero, cet II, 1414 H/1994 M, Juz II/66.
[5] Al-Imam Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa, menyatakan, “Wajib diketahui, bahwa kekuasaan untuk mengurus urusan umat manusia adalah kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia ini tidak akan berdiri, kecuali dengannya.” Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, Juz XXVIII/390.
[6] al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, al-‘Uqûd, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, hal. 6.
[7] al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, Juz I/1412-1413.
[8] Idem, hal. 1413.
[9] Idem, hal. 1243.
[10] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40.
[11] Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497.
[12] Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
[13] Imam al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
[14] Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.
[15] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.
[16] Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Juz I/336.
[17] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497; al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9; al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
LINK: https://mediaumat.news/haram-mendirikan
-khilafah-karena-menyalahi-kesepakatan/

ISRA' MI'RAJ

ISRA' MI'RAJ

Copas Dari Twitter KH. Hafidz Abdurrahman
1- Peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad saw terjadi, setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah. Setelah tekanan terhadap dakwah meningkat, dan Nabi mencari dukungan [nushrah] untuk melindungi dakwah. Tapi, dukungan yang dicari gagal.
2- Nabi mendatangi Bani Hanifah, Bani Hamdan, Bani Amir bin Sha'sha'ah, dan lain-lain, termasuk Bani Tsaqif di Thaif. Semuanya menolak seruan dakwah Nabi, termasuk permintaan dukungan. Bahkan di Thaif, Nabi dilempari batu hingga berdarah.
3- Nabi beristirahat di kebun anggur, milik Utbah dan Syaibah bin Rabi'ah. Di sana Nabi berdoa mengadukan nasibnya kepada Allah. Termasuk penghinaan dan penistaan mereka kepada Nabi. Dari kebun ini, Nabi bermalam di Wadi Nakhlah.
4- Di Wadi Nakhlah, Malaikat Jibril dan Malaikat Penunggu Gunung datang menemui Nabi, menawarkan bantuan untuk membinasakan Bani Tsaqif, tapi ditolak Nabi. Justru baginda saw. doakan, "Semoga kelak dari mereka ada yang menyembah-Nya."
5- Ini isyarat, bahwa Allah telah mengabulkan doa Nabi, sekaligus datangnya pertolongan-Nya. Nabi kembali ke Makkah, singgah di Jabal Nur, tepatnya di Gua Hira'. Zaid bin Harisah diutus menemui Muth'im agar mau memberi perlindungan.
6- Nabi saw pun kembali ke Makkah di bawah perlindungan Muth'im bin Adi. Tidak lama setelah kembali ke Makkah, Nabi saw. pun benar-benar mendapatkan pertolongan Allah, melalui bisyarah [kabar gembira], perjalanan Isra' dan Mi'raj.
7- Inilah peristiwa sebelum Isra' dan Mi'raj. Dalam perjalanan itu, Malaikat Jibril memberi pilihan kepada Nabi, khamer dan susu. Nabi pun memilih susu. Pilihan yang tepat, kata Jibril, "Anda telah membimbing umat Anda kepada fitrah".
8- Umat Fitrah. Umat yg hanif. Umat yang menjadi tulang punggung tegaknya Islam, untuk memimpin dunia, menggantikan Bani Israel. Dua syarat ini, Islam sebagai agama yang memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah, diemban oleh umat fitrah.
9- Nabi kemudian ditunjuk menjadi imam bagi para Nabi dan Rasul di pelataran yang sekarang berdiri Masjid Kubah Shakhra'. Ini sekaligus mengesahkan pengalihan mandat memimpin dunia, dari Bani Israel kepada Nabi saw. dan umatnya.
10- Setelah itu, Nabi pun dimi'rajkan ke Sidratul Muntaha, disambut oleh para penghuni langit. Seolah Allah ingin katakan kepada Nabi, "Meski penduduk bumi menolakmu, tapi lihatlah para penghuni langit! Mereka menerima dan menyambutmu."
11- Setelah peristiwa ini, Nabi saw. pun kembali ke Makkah. Pendek kata, setelah itu, pertolongan Allah benar-benar datang. Kaum Aus dan Khazraj dari Yatsrib pun bersedia memenuhi seruan Nabi. Mereka masuk Islam. Mush'ab dikirim ke sana.
12- Peristiwa masuk Islamnya Aus dan Khazraj ini kemudian ditandai dengan Bai'at Aqabah I. Setelah mereka dipersiapkan Mush'ab selama 1 tahun, mereka kembali menemui Nabi di Makkah, dan memberikan Bai'at Aqabah II, menyerahkan kekuasaan.
13- Begitulah, Isra' dan Mi'raj memiliki arti yang sangat penting dan strategis, bukan sekedar titah shalat 5 waktu. Tetapi, lebih dari itu, penyerahan mandat memimpin dunia, dari Bani Israel kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya.
14- Moment Isra' dan Mi'raj 27 Rajab, sekaligus dijadikan moment Runtuhnya Khilafah 28 Rajab, yang merupakan konspirasi Yahudi, Inggris dan Perancis, mewakili Bani Israel, boleh jadi karena paham makna di balik peristiwa 27 Rajab.
15- Sayangnya, banyak umat Islam yang tidak mengerti. Maka, mestinya, moment 27 dan 28 Rajab harus dijadikan momen Kebangkitan Umat Nabi Muhammad saw. untuk merebut kembali tampuk kepemimpinan dunia, dengan syariah dan Khilafah.
# KhilafahAjaranIslam
# ReturnTheKhilafah

HARMONI ANTARA UNIVERSALITAS DAN KEARIFAN LOKAL

HARMONI ANTARA UNIVERSALITAS DAN KEARIFAN LOKAL

Hizbut Tahrir (HT) adalah organisasi dakwah Islam yang berjuang dengan sungguh-sungguh agar Islam tegak di muka bumi, dan memberikan kerahmatan kepada seluruh alam. Sebagai organisasi dakwah Islam, maka visi dan misi HT adalah Islam itu sendiri. Sementara Islam sediri di bawa oleh Rasulullah untuk seluruh alam. Rasulullah, secara pribadi, memang orang Arab, tetapi Rasulullah di utus secara universal untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku dan kebangsaannya. Allah berfirman dalam surat al-Anbiya ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Jadi, Islam memang universal. Islam melihat manusia sebagai manusia. Manusia dari suku dan bangsa apapun adalah sama, meski memang ada perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi ciri khasnya. Islam yang universal ini pula yang didakwahkan HT, yaitu dakwah yang univiversal dan mendunia, yang menembus batas-batas suku, bangsa, geografis, dan semua “batas imajiner” lainnya.
Namun, dengan pejuangan yang universal seperti ini, memang tidak dipungkiri membuat khawatir pihak-pihak tertentu yang selama ini berusaha untuk menjaga kearifan lokal, tradisi, budaya, atau hal-hal yang bersifat unik lainnya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ada banyak pihak yang menyebut HT dengan sebutan gerakan trans-nasional, tentu dengan “bumbu penyedap”, bahwa trans-nasional itu berbahaya, mengerikan, tak-manusiawi, bahkan akan merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat yang damai dan harmoni.
Benarkah HT sebagai gerakan universal akan menghancurkan semua hal yang bersifat lokal: tradisi, adat, kebiasaan, pakaian, atau kearaifan-kearifan tertentu? Banyak yang khawatir, kalau Khilafah tegak “sarung” akan diganti dengan “gamis”. Ada yang beranggapan, Khilafah adalah penjajahan budaya Arab. Bahkan banyak yang sudah membayangkan bahwa tahlilan dan mauludan akan dilarang. Dan masih banyak ketakutan-ketakutan dan fobia-fobia lainnya.
Tulisan singkat ini akan berusaha mengulasnya. Tulisan ini akan diawali dengan universalitas Islam, yang kedua akan membahas universalitas dakwah Islam, dan ketiga akan membahas dakwah HT serta pandangannya terhadap kearifan lokal.
*****
Universalitas Islam.
Memang benar, bahwa manusia dari bangsa manapun itu sama, meski ada perbedaan-perbe
daan yang menjadi ciri khasnya. Inilah pandangan Islam tentang manusia. Bahkan, seandainya kita tak mengunakan sudut pandang Islam, namun kita menggunakan akal sehat dan nurani yang bersih, kita pun akan mendapat kesimpulan yang sama: bahwa manusia adalah sama dari bangsa apapun mereka berasal, meski memang ada perbedaan-perbe
daan tertentu yang menjadi ciri khasnya. Maka tak heran, Michael Jackson dulu menyanyikan lagu yang menggambarkan bahwa manusia adalah sama, we are the world.
Manusia itu sama, yaitu sama-sama manusia. Meski memang ada perbedaan-bedaan tertentu. Menurut Islam, kemulian seseorang bukan ditentukan oleh posisinya sebagai bangsa tertentu, tetapi ditentukan oleh sesuatu yang lebih fundamental, yaitu ketaqwaannya. Allah berfirman dalam surat al-Hujurat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Secara sederhana orang yang taqwa adalah orang yang baik hati dan baik perilakunya. Dalam Islam, baik adalah yang dianggap baik oleh Allah dan Rasul-Nya. Al-hasan ma hassanahu asy-syar’u, wal qabihu wa qabbahahu asy-syar’u. Jadi, orang yang paling baik, menurut Islam adalah orang yang perilakunya mengikuti Islam dengan kesadaran hati (pikiran) yang penuh. Orang baik seperti ini sangat mungkin ada di mana-mana: di Arab, di Eropa, di Amerika, di Afrika dan lain sebagainya. Orang jahat juga ada di mana-mana. Oleh karena itu baik-buruknya seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari kebangsaan atau tempat tinggal mereka. Adalah cara pandang yang sangat naif, jika kebakan dan keburukan orang ditentukan dari kebangsaannya, atau kesukuannya, atau tempat tinggalnya.
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan?” (HR Ahmad).
Namun, demikian tidak dipungkiri, ada perbedaan-perbedaan diantara manusia. Jangankan antar bangsa, bahkan antar individu dalam keluarga pun (antara kakak dan adik) banyak sekali perbedaan. Pebedaan-perbedaan ini merupakan sesuatu yang biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perbedaan. Itu sesuatu yang fitri atau sesuatu yang alamiah.
Memang ada banyak hikmah di balik perbedaan tersebut, salah satunya kita bisa saling mengenali dan dunia ini menjadi indah karena banyaknya warna-warni. Bagaimana jadinya, jika manusia itu tidak ada perbedaan, pasti kita tidak akan bisa hidup, karena kita tidak bisa saling mengenali. Bahkan, kita tak akan bisa mengenali anak kita, istri kita, bahkan orang tua kita, seandainya semua manusia itu tidak memiliki perbedaan. Untungnya tidak ada yang benar-benar sama, sehingga kita bisa membedakan satu dengan lainnya. Demikian pula perbedaan antara bangsa. Tujuan utama Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenali. “Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenali.”
Namun demikian perbedaan apapun, termasuk perbedaan bangsa atau suku, juga bisa menjadi konflik yang berdarah-darah. Sejarah umat manusia, selalu diwarnai dan diramaikan dengan konflik berdarah-darah, karena berbagai perbedaan, terutama perbedaan suku dan bangsa. Karena itu, Islam datang untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Islam menjelaskan bahwa perbedaan itu sunnatullah, sesuatu yang memang diciptakan Allah, tetapi kebaikan dan keburukan bukan ditentukan dari sana. Meski Islam mengakui bangsa (nation) sebagai sunnatullah, namun Islam tidak mengakui nasionalisme, atau sentimen berdasarkan kebangsaan. Bahkan Islam, menganggap hal itu (ashobiyah, sukuisme, nasionalsime), selain menyebabkan konflik antar manusia, juga pelakunya tidak akan diakui oleh umat Muhammad. Tentu, harus dibedakan antara “cinta bangsa (nation)” dengan “nasionalisme”. Sebagian besar orang memang menganggap tak ada bedanya antara cinta bangsa dan nasionalisme. Padahal bedanya sangat fundamental, seperti bedanya kata “sosial” dengan “sosialisme”.
Jadi, sederhananya, Islam adalah ajaran universal dari tuhannya seluruh manusia, yaitu Allah. Manusia itu hakikatnya sama, meski ada pebedaan-pebedaan di sana-sini yang menjadi ciri khasnya. Perbedaan itu banyak sekali hikmahnya, namun juga ada potensi konflik, jika tidak dihayati dan disikapi dengan benar.
*****
Universalitas Dakwah Islam.
Karena Islam adalah ajaran yang universal, maka dakwah Islam pun juga universal. Artinya, dakwah Islam tidak boleh dibatasi hanya keluarga, kelompok atau bangsa tertentu. Meski memang, pada awalnya, dakwah diawali dari keluarga tertentu, atau kelompok tertentu atau bangsa tertentu.
Rasululullah sendiri mengawali dakwahnya dari keluarganya, yang tentu saja bangsa Arab, bahkan lebih spesifik lagi Bangsa Quraisy. Namun, seperti telah dijelaskan, bahwa secara sunnatullah tidak semua orang Quraisy itu baik, tetapi tidak semuanya jelek. Diantara mereka ada yang menerima dakwah Rasulullah, namun tak sedikit yang menolak dakwanya. Abu Jahal, Abu Sufyan, Abu Lahab, dan lain-lain semuanya adalah orang Arab, bahkan terdapat hubungan famili dengan Rasulullah saw.
Rasulullah sama sekali tidak membatasi dakwah Islam yang memang universal hanya kepada bangsa tertentu, Arab mislanya. Islam didakwahkan kepada siapa saja, dari bangsa manapun mereka berasal. Tanpa memang gender, level sosial, tingkat ekonomi mampun tingkat intelektualitasnya. Sebab, Islam memang ajaran universal dan harus didakwahkan secara universal. Akhirnya, ajaran Islam mulai diterima dak didakwahnkan oleh masyarakat, meski mereka dari berbagai bangsa yang berbeda. Kita lihat ada Salman Al-Farisi (berkebangsaan Persia), ada Shuhaib Ar-Rumi (berkebangsaan Romawi), ada Bilal Al-Habsi (berkebangsaan Habasah, Afrika) dan lain-lain.
*****
Universalitas Dakwah HT dan Pandangannya Terhadap Kearifan Lokal
Sebagai gerakan dawah Islam, maka HT berusaha mendakwahkan Islam apa adanya, yang memang universal, meski memang dakwah HT diawali oleh orang berkebangsaan Arab, yaitu Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani.
HT memandang semua manusia dan semua bangsa itu sama, meski memang ada perbedaan-perbedaan yang manjadi ciri khasnya. Karena universalitas pandangan HT dan dakwahnya tersebut, dakwah HT diterima oleh manusia dari berbagai bangsa. Tetapi tak sedikit yang menolaknya, tentu yang menolak berasal dari bangsa yang berbeda-beda dan dengan alasan yang berbeda-beda. Maka, tak mengherankan aktivis dakwah HT ada yang orang Arab, Amerika, Eropa, Afrika, Australia, Asia, dan tentu saja Indonesia. Mereka memiliki cara pandang dan visi perjuangan yang sama, yaitu sebagai manusia yang memiliki tuhan yang sama, Allah swt.
Meski demikian, HT menyadari betul bahwa setiap manusia dan setiap bangsa memiliki perbedaan-perbe
daan yang melekat padanya. Oleh karena itu, meski HT memiliki cara pandang hidup yang universal, tetapi juga mengakomodasi hal-hal yang sifatnya lokal, atau orang sering bilang kearifan lokal.
Sekedar contoh, meski HT didirikan oleh orang Arab (Syeikh taqiyuddin) dan kitab mutabannatnya berbahasa Arab, tetapi dakwah HT disampaikan di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Karena orang lokal Indonesia berbahasa Indonesia. Jika HT mengabaikan aspek lokal, maka HT akan memaksakan dakwah di Indonesia menggunakan bahasa Arab.
Lalu, bagaimana sikap HT secara lebih jelas tentang “kearifan lokal” atau budaya lokal?
Untuk menjawab ini memang harus didefinisikan dahulu apa yang dimaksud dengan “kearifan lokal” atau budaya lokal itu? Dan harus diakui, tidak ada definisi yang baku tentang hal ini, sehingga penafsiran dari para pengguna istilah ini sangat beragam.
Namun terlepas dari definisi “kearifan lokal” atau budaya lokal, sebenarnya HT hanya menggunakan sudut pandang Islam dalam menilai. Dalam menilai perbuatan manusia, baik perbuatan yang sudah jadi kebiasaan atau belum, yang sudah jadi buadaya atau belum, Islam mengklasifikasi perbuatan manusia menjadi lima hukum, atau yang disebut al-af’al al-khamsah: yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Dalam pandangan HT, silaturahim pada saat hari raya misalnya, itu adalah sunnah. Silaturahim itu sunnah hukumnya di dalam Islam, baik pada saat hari raya atau di luar hari raya. Menutup aurat itu hukumnya wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara jenis kain dan model pakaian yang dijadikan penutup, maka itu hukumnya mubah. Bagi bapak-bapak, mau pakai batik, koko, gamis, sarung, celana atau apapun, maka semua itu mubah (dari aspek jenis pakain dan modelnya). Tentu, hal yang sifatnya mubah, sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi lokal. Kalau ke masjid, tentu akan lebih cocok menggunakan sarung, koko dan peci (atau semisalnya), kalau ke undangan walimah lebih cocok pakai batik (di Indonesia), kalau olah raga pakai kaos, dan lain sebagainya.
Contoh lain, judi itu hukumnya haram. Apapun namanya, lokal atau internasional, sudah tradisi atau belum, dianggap kearifan lokal atau tidak, maka itu jelas haramnya. Bahkan seandainya, judi dinamakan dengan “gotong royong pribumi ndeles”, maka tetap haram dalam pandangan Islam.
Intinya, perbuatan manusia, itu ada lima hukum. Termasuk sesuatu yang dianggap budaya atau tradisi juga masuk ke dalam lima hukum tadi. Bahkan, yang dianggap sebagai kearifan lokal, juga tak lepas dari lima hukum tadi.
Dengan demikian, kearifan lokal, yang masuk dalam kategori mubah, maka Islam sama sekali tidak mempermasalahkannya, dan tentu saja HT tidak memeprmasalahkannya. Menggunakan peci misalnya, HT sama sekali tidak mempermasalahka
nnya. Bahkan juru bicara HTI, Ust Ismail Yusanto, kemana-mana menggunakan peci. Bahkan, jika kearifan lokal, itu termasuk yang diwajibkan Islam, maka Islam akan mewajibkannya. Dan tentu saja, HT akan memperjuangkan hal itu. Mislanya kearifan lokal, bahwa jika kita keluar rumah harus pakai penutup aurat, maka HT akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.
Sementara terhadap perbuatan-perbuatan yang masuk pada kategori khilafiyah dan bersifat personal, maka Islam tidak mempermasalahka
nnya. Maka HT juga sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya. Sekedar contoh: masalah tahlilal, maulud Nabi, membaca sholawat, dzikir setelah sholat, dan lain sebagainya, maka HT sama sekali tidak mencampuri hal itu. Itu diserahkan dan dikembalikan kepada individu uma Islam. Bahkan, seandainya Khilafah berdiri, Khilafah pun tak boleh ikut campur dalam urusan pribad yang diperselisihkan diantara madzhab-madzhab di dalam Islam.
Secara personal, aktifis HT juga dari latar belakang yang berbeda-beda. Yang dididik dengan pendidikan khas NU, ketika aktif berdakwah bersama HT, mereka tetap mengamalkan tahlilan, sholawatan dan lain sebagainya. Sebaliknya, yan dididik dengan pendidikan khas Muhammadiyah, ketika aktif di HT, mereka tetap memiliki pandangan seperti sebelumnya. HT ama sekali tidak mencampri hal-hal personal yang diperselisihkan diantara ulama.
*****
Inilah pandangan dan sikap HT secara umum. Dalam urusan perbuatan (af’al) mengacu kepada huku syariah yang lima. Sehingga apa yan disebut adat, budaya, kearifan lokal, dan lain sebagainya, akan dikembalikan kepada hukum lima tersebut. Sementara terkait dengan hukum benda (syai’) memang hanya ada dua hukum, yaitu halal dan haram.
Sementara terkai dengan berbagai hukum yang diperselisihkan diantara para ulama dan dalam urusan privat, maka HT sama sekali tidak masuk ke wilayah tersebut. HT mengembalikan kepada masing-masing anggota masyarakat untuk meyakini dan mengamalkan sesuatu yang dianggapnya dalilnya lebih kuat.
Jadi, jika ditanyakan apakah HT menolak kearifan lokal, maka jawabnya adalah suatu pertanyaan: kearifan lokal yang mana?
Jika yang dimaksud adalah kearifan lokal konser dangdut dengan mengumbar aurat dan goyangan mesum, maka dengan tegas HT menolak dengan sekeras-kerasnya. Jika yan dimaksud adalah kearifan lokal berbicara yang jujur, maka dengan tegas HT mewajibkannya dan akan tetap melakukannya apapun yang terjadi.
Tetapi, jika ada yang menuduh bahwa HT menolak kearifan lokal karena dakwahnya yang universal, maka HT hanya tersenyum dan berkata “terima kasih atas perhatiannya”.
Wallahu a’lam.

Matematika, Runtuhnya Peradaban dan Hizbut Tahrir

MA SYA ALLAH, TULISAN YANG LUAR BIASA. SILAHKAN DI BACA SAMPAI TUNTAS

Matematika, Runtuhnya Peradaban dan Hizbut Tahrir

Oleh : Nopriadi Hermani, Ph.D
(Dosen Teknik Fisika UGM, Yogyakarta)
Tadi sore saya mengajarkan Teorema Green pada mahasiswa di kelas Kalkulus Vektor. Setelah menjelaskan tentang integral medan vektor pada lintasan tertutup, saya mengajak mahasiswa berbincang tentang kehidupan. Dialog seperti ini sering saya lakukan karena bagi saya mereka adalah aset berharga peradaban masa depan, bukan skrup industri.
"Kalian saat ini tidak harus tahu aplikasi Teorema Green. Kadang saat belajar matematika kita tidak tahu dimana mengaplikasikannya. Matematika itu adalah ilmu alat. Alat kita berinteraksi dengan alam semesta ini. Bahasa yang digunakan para saintis saat mendalami “keinginan" alam. Tidak hanya membantu memahami perilaku benda mati tapi juga makhluk hidup dan manusia. Bahkan, matematika telah digunakan untuk memahami fenomena psikologi, ekonomi, politik sampai masalah peradaban."
Saya ceritakan ke anak-anak saya ini bagaimana seorang matematikawan, berkolaborasi dengan ahli politik dan ahli lingkungan, telah membuat model matematik tentang runtuhnya sebuah peradaban. Penguasaan bidang matematika, ditambah ilmu sejarah, peradaban, politik, ekonomi, lingkungan, membuat dia mampu mensimulasikan skenario jatuhnya peradaban, termasuk peradaban moderen sekarang ini.
Kemudian saya bertanya pada mahasiswa tentang isu apa yang lagi hangat di Indonesia. Sebagian menjawab, “Pembubaran Ormas Hizbut Tahrir”. Sepertinya juga terdengar sayup-sayup ada yang mengatakan, “Pemenjaraan Ahok”. Sambil tersenyum saya sampaikan ke mahasiswa,
"Yah, begitulah kita yang ada di Indonesia ini. Kita jadi sangat sibuk dengan urusan domestik seperti ini. Kita tidak terlibat dalam pembicaraan tentang muramnya peradaban dunia. Jangkauan kepedulian kita, termasuk elit dan intelektual di Indonesia, hanya sebatas permasalahan seperti ini. Indonesia adalah mata rantai dari Peradaban Kapitalis di dunia ini. Bila tiba-tiba Peradaban Barat kolaps, maka kita hanya bisa terkaget-kaget dan terkejut karena ikut terjun bebas ke dasar reruntuhan sejarah."
Demikiansepenggal cerita tadi sore di kelas Kalkulus Vektor. Beberapa saya ubah redaksinya agar lebih mudah dipahami.
Sekarang saya ingin berbincang tentang rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dikaitkan dengan keruntuhan Peradaban Barat yang diprediksi dapat terjadi oleh beberapa pakar. Saya telah menelusuri berita, video dan jurnal ilmiah terkait keruntuhan peradaban. Saya menemukan, misalnya, tulisan Safa Motesharrei dari University of Maryland dan Andrew Targowski dari Western Michigan University yang sangat menarik tentang peradaban. Tulisan mereka membuka mata saya (lagi) tentang Peradaban Barat hari ini. Memberi saya perspektif baru tentang cacat Peradaban Barat yang mereduksi peran Sang Pencipta. Bila ditambah dengan konsep Peradaban Islam yang saya pelajari selama ini, maka semua ini semakin menyadarkan saya tentang kita. Kita semua, terutama muslim, dapat mengambil peran dalam menyelamatkan peradaban dunia yang menuju ambang kebangkrutan.
Hmmm... Sudilah kiranya Anda berselancar menelusuri situs-situs Hizbut Tahrir yang tersedia dan dikelola dari berbagai negara di seluruh dunia. Bukalah halaman demi halaman untuk memahami wacana apa saja yang didakwahkan gerakan internasional ini. Dari sana Anda akan paham bagaimana Hizbut Tahrir mengambil bagian dalam perubahan di level dunia. Lebih jauh, mungkin Anda juga menemukan rona ketulusan dari perjuangan mereka.
Saya menceritakan tentang Hizbut Tahrir ini tidak bermaksud _ta'ashub_ pada harokah yang begitu penting dalam sejarah hidup saya. Bukan fanatik buta pada organsisi yang membukakan mata saya tentang hakikat hidup di dunia. Bukan _ashobiyah_ pada gerakan yang membangun cakrawala berpikir saya tentang peradaban manusia. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang mungkin tidak diketahui oleh banyak kalangan. Tentang kepedulian Hizbut Tahrir pada problem peradaban manusia. Kepedulian para anggotanya pada penderitaan hidup umat manusia di muka bumi ini yang telah dipecundangi oleh para kapitalis serakah dan kroninya.
Jadi, framing jahat yang disebar secara massif sebagai ormas yang bermusuhan dengan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan kebhinekaan, menurut saya, mereduksi apa yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir selama ini. Hizbut Tahrir justru berkepentingan kuatnya negeri-negeri Islam. Mereka adalah penopang Peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah di masa depan. Yang jelas, Hizbut Tahrir tidak digerakkan oleh nafsu untuk berkuasa di negeri ini atau di negeri manapun di dunia. Apalagi nafsu untuk membunuh manusia Indonesia yang berbeda agama. Tidak sama sekali.
Anggota Hizbut Tahrir yang bergerak tanpa lelah, dipenuhi oleh peluh dan kadang caci maki didasarkan pada iman yang menghujam di sanubari mereka. Anggota organisasi ini rela berkorban harta, waktu, tenaga bahkan kehidupan pribadi dan nyawa mereka karena ingin meraih ridha Allah swt semata dan demi kebaikan umat manusia. Apa yang diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah membebaskan umat manusia dari jerat peradaban rakus yang dibangun dari Ideologi Kapitalis Sekuler. Menjebak manusia pada penderitaan di dunia dan siksa di akhirat.
Saya kira kita semua sudah paham bahwa Ideologi Kapitalis Sekuler telah memberi jalan tol pada para saudagar dalam menguasai kekayaan alam negeri-negeri ringkih, termasuk Indonesia. Kita semua juga paham bagaimana kerusakan yang dibuat oleh Ideologi Kapitalis Sekuler ini. Izinkan saya menyegarkan kembali beberapa fakta kerusakan akibat penerapan ideologi ini.
Ideologi Kapitalis Sekuler berhasil menciptakan strata ekonomi dengan kesenjangan yang sangat tajam. Di dunia ini 62 orang memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan setengah dari penghuni planet yang berjumlah 3,6 miliar orang. Di Indonesia 1% orang terkaya menguasai setengah aset kekayaan negeri ini. Kesenjangan ini melahirkan banyak jerit penderitaan di seluruh dunia. Masih ingat bagaimana rakyat Amerika, dalam gerakan Occupy Wall Street, menuntut keadilan? Mereka turun ke jalan dengan meneriakkan "Kami 99% dan mereka (para kapitalis) 1%".
Ideologi Kapitalis Sekuler juga telah mencetak varian manusia yang hidup dengan kemiskinan spiritualitas, kehampaan makna dan terjebak pada perburuan harta yang tak pernah mengenal puas. Ideologi ini membuat manusia menjadi hamba materi dan durhaka terhadap Penciptanya. Mudah-mudahan Anda sempat menengok tulisan Danah Zohar dalam bukunya _Spiritual Capital: Wealth We Can Live by_. Dia menggambarkan keserakahan Kapitalis dengan sosok Erisychthon dalam dongeng Ovid mitologi Yunani kuno.
Ideologi Kapitalis Sekuler menyadarkan kita bagaimana manusia mampu "membunuh" planet bumi dengan sangat sadis. Ketidakamanan dan hasrat menghegomoni dunia telah melahirkan perlombaan negara-negara besar dalam membuat senjata yang mematikan. Bila diledakkan semua hulu ledak nuklir yang ada di dunia ini, kabarnya berjumlah sekitar 15.000 lebih, maka ini cukup untuk membunuh 50 milyar manusia dan melelehkan biosfer planet bumi.
Ideologi Kapitalis Sekuler ini pula yang menunjukkan pada kita bagaimana keserakahan manusia mampu memberi tekanan yang demikian dahsyat pada ekosistem bumi. Industrialisasi berbasis keserakahan ekonomi liberal telah menghasilkan berton-ton limbah, termasuk gas rumah kaca di atmosfer kita. Ini mengakibatkan fenomena Global Warming yang menurut prediksi akan menenggelamkan kota-kota di dunia, diantaranya Shanghai (Cina), Venesia (Italia), Bangkok (Thailand), Ho Chi Minh City (Vietnam) dan Jakarta (Indonesia).
Peradaban dunia hari ini adalah hasil eksperimen pemikiran para filsuf abad pencerahan. Dalam sejarahnya mereka anti terhadap peran gereja dalam wilayah publik di Eropa. Mereka pada dasarnya anti agama, namun tokoh-tokohnya seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Voltaire dinobatkan sebagai nabi-nabi sosial. Sang Pencipta oleh mereka tidak diberi ruang untuk mengatur wilayah publik manusia. Agama, termasuk Islam, hanya layak menjadi urusan pribadi dan dibatasi dengan sangat ketat untuk masuk ke wilayah publik. Pemikiran mereka menjelma menjadi sebuah negara sekuler pertama di dunia melalui revolusi berdarah di Perancis pada tahun 1789 – 1799. Negara republik sekuler ini menjadi role model yang menginspirasi dan 'memaksa' negara-negara di dunia untuk mengikutinya, termasuk Indonesia.
Sekarang saya ingin kembali ke isu pembubaran Hizbut Tahrir. Terus terang hati kecil saya kadang merintih menyaksikan adanya usaha menghalangi gerakan ini berkontribusi menyelamatkan peradaban.
Bagaimana mungkin ada usaha dari saudara muslim yang ingin melumat Hizbut Tahrir? Bagaimana mungkin mereka begitu bernafsu membekukan pergerakan para anggota, binaan dan simpatisan dalam proyek dakwah ini? Bagaimana mungkin mereka ingin memadamkan usaha Hizbut Tahrir dalam memahamkan umat manusia tentang peradaban Islam yang dinanti? Bagaimana mungkin ada framing jahat yang terus diumbar agar memusuhi orang-orang yang bekerja ikhlas membangun peradaban? Bagaimana mungkin ada muslim yang berusaha mengunci kaki, tangan dan mulut para pejuang yang bermaksud datang dan menyeru manusia pada kebaikan Islam?
Saya bisa memahami bila kekuatan itu berasal dari mereka yang menjadi penjaga dan penikmat keberhasilan Kapitalisme. Saya bisa memaklumi bila kekuatan yang berusaha menghancurkan ini adalah segelintir manusia serakah yang nyaman dengan kerusakan peradaban. Saya tidak merasakan sakit bila semua penghalang itu dilakukan oleh para kapitalis jahat dengan kroni-kroninya. Namun hati ini terasa perih bila ada saudara muslim dengan penuh kebencian menghalangi usaha berat ini.
Yah, saya menyadari mungkin karena ketidakpahaman mereka akan perjuangan Hizbut Tahrir di dunia. Tidak paham dengan visi besar organisasi ini dalam memuliakan Islam dan umat Islam serta menyelamatkan peradaban manusia. Juga tidak begitu paham dengan gambar besar (big picture) dan konsep detil kami tentang Peradaban Islam yang dimaksud.
Saya ingin memberi tahu mereka yang memusuhi pergerakan dakwah ini. Yang mungkin membuat Anda sedikit kaget.
Begini. Sebenarnya Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu mendirikan Khilafah dimanapun. Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu menyelamatkan peradaban. Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu menghadirkan Peradaban Islam. Hizbut Tahrir hanyalah sebuah organisasi yang menggerakkan anggotanya dengan kekuatan iman. Bergerak menyadarkan umat Islam tentang sejarah besar mereka. Menyadarkan mereka tentang kemuliaan ajaran Islam. Menyadarkan mereka bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dipersembahkan untuk semua manusia karena membawa Islam. Islam yang sempurna dan lengkap itu adalah rahmat bagi seluruh alam. Umat Islam adalah umat yang dinanti-nati kiprahnya dalam perubahan peradaban. Jadi, sekali lagi, Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu melakukan hal yang besar ini.
Yang mampu mendirikan Khilafah, membangun Peradaban Islam dan menyelamatkan peradaban manusia adalah umat Islam itu sendiri dengan pertolongan Allah swt. Hizbut Tahrir hanya menyeru dengan dakwah dan meyakinkan umat melalui program-program dakwahnya bahwa mereka mampu mengambil peran sentral dalam percaturan peradaban dunia. Kelak bila Khilafah berdiri maka Hizbut Tahrir tidak akan menjadi partai yang berkuasa. Khilafah yang diinginkan adalah Khilafah kita semua. Hizbut Tahrir tetap mengambil peran yang selama ini dia mainkan. Dakwah politis agar Khilafah menerapkan Islam dengan sempurna dan pemimpin mampu menunaikan tanggungjawabnya terhadap warga negara berdasarkan sistem Islam.
Saat ini gairah negeri ini sedang menyala untuk membicarakan dan ingin mengetahui apa itu Hizbut Tahrir, apa yang dibawa dan apa saja agenda-agendanya. Pernah saya melihat ada kalangan terdidik mencomot bagian-bagian Syariah Islam yang ditawarkan Hizbut Tahrir. Tujuannya bukan untuk memahaminya secara utuh, tapi disaring dengan belief systems pribadi untuk menguatkan persepsinya bahwa Hizbut Tahrir itu berbahaya. Bagaimana mungkin orang, bahkan seorang muslim sekalipun, mengapresiasi syariah Islam bila yang dilihat hanya rajam, potong tangan, qishas, syarat pemimpin pemerintahan dari muslim dengan sudut pandang sekuleristik?
Artikel yang tertulis di dalam situs Hizbut Tahrir adalah kumpulan mozaik Syariah Islam. Membaca sekilas, apalagi dengan motivasi mencari kekurangannya, hanya melahirkan persepsi negatif. Mencukupkan diri dengan kepingan _puzzle_ ide Syariah dapat menghantarkan pada kesalahpahaman. Kecurigaan terhadap organisasi ini, yang oleh MUI tidak terkategori sesat, akan menghalangi kesempatan menemukan keindahan Islam. Kecurigaan ini pula yang dulu pernah saya rasakan.
Sekarang tengoklah kitab-kitab Hizbut Tahrir yang tidak pernah disembunyikan itu. Lihat dan pelajarilah isinya dengan seksama. Nilai kualitasnya dari kekuatan dalil dah hujjah yang ditawarkan. Lebih jauh, ini memerlukan pengetahuan ekstra, rekonstruksilah Peradaban Baru dari setiap paragraf yang ada di dalam kitab-kitab yang dikaji oleh anggota Hizbut Tahrir. Bila Anda mau bersabar sedikit dan mau merendah, maka Insya Allah Anda akan melihat keindahan ajaran Islam yang diwariskan Rasulullah saw. Nabi kita. Lebih jauh Anda akan meyakini apa yang kami yakini bahwa Umat Islam adalah Umat yang dinanti manusia kiprahnya dalam membangun peradaban baru yang penuh berkah.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ”(TQS. Ali Imran: 110)
Yogyakarta, 10 Mei 2017 (pukul 10.45 WIB)

*FAKTA SEJARAH ISLAM DI INDONESIA YG DIBELOKKAN OLEH BELANDA !!* *SEJARAH ISLAM PERTAMA KALI MASUK KE INDONESIA, YG BELUM DIKETAHUI OLEH UMAT ISLAM*

*FAKTA SEJARAH ISLAM DI INDONESIA YG DIBELOKKAN OLEH BELANDA !!*
*SEJARAH ISLAM PERTAMA KALI MASUK KE INDONESIA, YG BELUM DIKETAHUI OLEH UMAT ISLAM*

Mau tanya, adakah diantara kita yg pernah membaca buku sejarah bahwa Sahabat Nabi Ali bin Abi Talib pernah ke Jepara Indonesia?
====================
*Islam masuk ke indonesia pada kekhalifahan Generasi Terbaik (Khulafaur Rasyidin)*
*Islam pertama kali masuk ke indonesia BUKAN melalui jalur perdagangan dan bukan dalam hal perekonomian*.
*Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman ﷺ
ﻭَﻣﺎَ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ -
*"Dan Kami tidak mengutus engkau melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam". (Qs. AL-Anbiya:107)*
*Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia, tahun 625 M. [1]*
*Ja'far bin Abi Thalib, berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia,sekitar tahun 626 M. [2]*
*Ubay bin Ka'ab, berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah. Sekitar tahun 626 M. [3]*
*Abdullah bin Mas'ud, berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah sekitar tahun 626 M. [4]*
*'Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal, dan putera-puteranya Mahmud dan Isma'il, berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sekitar tahun 625 M. [5]*
*Akasyah bin Muhsin Al-Usdi, berdakwah di Palembang, Sumatera Selatan dan sebelum Rasulullah Wafat, ia kembali ke Madinah sekitar tahun 623 M. [6]*
*Salman Al-Farisi, berdakwah Ke Perlak, Aceh Timur dan Kembali Ke Madinah sekitar tahun 626 M. [7]*
*"keterangan: ( [1] s/d[7] bisa dilihat dibawah, di footnote)"*
Seperti yg kita ketahui sebelumnya *_di pelajari di sekolah bahwa islam datang melalui pedagang gujarat india_*. *Padahal bukan seperti Itu.
Ini cara para orientalis, yang *disebarkan oleh orientalis terkemuka Belanda, yg pertama kali bernama "J. Pijnapel" lalu "Snouck Hurgronje" yg notebene "ingin menutupi sejarah bahwa Indonesia adalah bagian pada kekhilafahan Utsman bin affan*.
*_Oleh karena itu Indonesia patut diperhitungkan_
*.
*_Demi mencapai tujuannya itu, ia mempelajari bahasa Arab, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya_
*Sebuah artefak ditemukan* bahwa saat itu di indonesia tepatnya dipulau jawa yaitu *KALINGGA, Jepara.*
*Pada tahun 640-650 M ada sebuah kerajaan yg ratunya adil bernama RATU SIMA dan anaknya bernama RATU JAYISIMA.*
Ketika itu ada seorang dari tanah arab yg diutus *pada masa Utsman bin Affan dari BANI UMAYYAH. Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama (Muawiyah bin Abu Sofyan) setelah masa Khulafar Rasyidin.*
*Lalu singgah di Kalingga-Jepara, kemudian Ratu Sima dan Putrinya masuk islam dan memerintah dari tahun 646-650 M, dan islam belum berkembang saat itu, lalu ditandai adanya surat-menyurat atau korespondesi antara Ratu Sima pada masa Bani Umayyah untuk di datangkan guru-guru untuk berdakwah.*
*Surat-surat mereka sekarang tersimpan di MUSEUM GRANADA, SPANYOL.* Indonesia adalah salah satu *sasaran atau tujuan sahabat-sahabat nabi untuk berdakwah.*
Setelah masa kekhalifahan Utsman Bin Affan, lalu Ali bin Abu Thalib & kemudian *di gantikan oleh tabi'in UMAR BIN ABDUL AZIZ yg memerintah pada tahun 711 M*.
Pada 7 tahun kemudian *tepatnya 718 M, Khalifah UMAR BIN ABDUL AZIZ & anaknya ABDUL MALIK telah menginjakan kaki di Palembang - Sumatra Selatan*.
Pada waktu itu *Palembang dipimpin oleh seorang Raja Sriwijaya yg bernama RAJA SRINDRA VARMA.*
*Ternyata dakwah Umar bin Abdul Aziz membuat Raja tertarik lalu masuk islam.*
Terbukti *di makamnya tertuliskan kalimat Lailla hailallah Muhammad Rasulullah*.
Lalu di tandai juga ada *surat-menyurat (korespondensi) antara Raja Srindra Varma dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz* yg juga untuk meminta didatangkannya para guru untuk berdakwah. *Yg kini surat-suratnya di simpan di Museum Oxford, inggris.*
* Setelah Rasulullah ﷺ wafat, sahabat-sahabat nabi menyebar keseluruh penjuru dunia untuk berdakwah profesi mereka yg utama pada waktu *.itu
* Benarlah akan nubuwah Rasulullah ﷺ *:bersabda
*"Aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemerintahan Islam) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya dari negeri Habasyah.*
*Sesungguhnya barangsiapa hidup sesudahku niscaya dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku*.
*"Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu serta jauhilah oleh kalian perkara agama yang diada-adakan karena semua yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.”*
*_(HR Ahmad,Abu Dawud,Tirmidzi,Dzahabi dan Hakim, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al jami’ no. 2549)_*
* Sejak 633 M* *Rasulullah ﷺ wafat *
*_(maka khulafaur Rasyidin yg memimpin)_*
*~Thn 634 M kekhalifahan Abu Bakar = 2 thn*
*~Thn 644 M kekhalifahan Umar Bin Khattab = 10 thn*
*~Thn 657 M kekhalifahan Utsman Bin Affan = 13 thn*
*~Thn 661 M kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib = 5 thn.*
*_Jadi totalnya adalah selama 30 thn._*
*Inilah 30 tahun masa khilafah ala manhaj nubuwwah, seperti disebutkan oleh Nabi shallalahu alaihi wa sallam*.
*Bahwa kehebatan & keistimewaan Nabi Muhammad ﷺ dalam memimpin strategi dakwah islam ke seluruh dunia*.
*Dengan mendalami atau memahami sejarah maka Aqidah kita akan lurus yg harus dibarengi dengan akhlakul karimah.*
*_Semoga Bermanfaat...Wa billahi taufiq walhidayah.._*
*Perlu diketahui:*
Bilal Bin Rabbah tidak dimakamkan di Saudi Arabia melainkan di Damascus.
Sa'ad Bin Abi Waqas tidak dimakamkan di madinah atau mekkah melainkan di Guang Zsu (Cina).
Abu Kasbah berdakwah dan dimakamkan di Tiongkok.
~~~~~~~~~~☆~~~~~~~
* Footnote:*
[1] Sumber: H. Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39)
[2] Sumber: Habib Bahruddin CV), 1929, h.33)
[3] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.35
[4] Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay archipelago
[5] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.38
[6] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929; T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968.
[7] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39.
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh (Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)
Prof. Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet. III; Jakarta;
Sumber: Muamalah Santri

KHILAFAH AJARAN ISLAM Dr. Daud Rasyid, Lc., MA (*)

Ada tulisan menarik dari Dr. Daud Rasyid, Lc., MA. Kelebihan tulisan ini:
(1).Disampaikan secara resmi di persidangan PTUN, Jakarta Timur, tanggal 08 Pebruari 2018, (2).Penulisnya seorang akademisi bidang hadits dan syariah, (3).Pada tulisannya tersebut disertakan pula berbagai literatur sebagai referensi yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Selamat membaca ada manfaatnya.
--------------------
KHILAFAH AJARAN ISLAM
Dr. Daud Rasyid, Lc., MA (*)
Istilah Khilafah
.
Khilafah adalah isim syar’i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Sebagaimana kata Shalat, Hajj, Zakat, dan sebagainya. [Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28]
.
Istilah Khilafah, dengan konotasi syara’ ini digunakan dalam hadits Nabi saw. sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal:
( ﺗَﻜُﻮْﻥُ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓُ ﻓِﻴْﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻓَﻌَﻬَﺎ، ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮْﻥُ ﺧِﻼَﻓَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ‏) ‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ]
“Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era Khilafah yang mengikuti Manhaj Kenabian.” [Hr. Ahmad]
.
Ini juga bukan merupakan satu-satunya riwayat, karena masih banyak riwayat lain, yang menggunakan kata Khilafah, dengan konotasi syara’ seperti ini. Lihat, Musnad al-Bazzar, hadits no 1282. Musnad Ahmad, hadits no 2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no 4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2152. Al-Mustadrak, hadits no. 4438.
.
Adapun pemangkunya disebut Khalifah, jamaknya, Khulafa’. Ini juga disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah saw. Antara lain dalam hadits Abu Hurairah ra.
( ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺑَﻨُﻮْ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴْﻞَ ﺗَﺴُﻮْﺳُﻬُﻢُ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀُ، ﻛُﻠَّﻤَﺎ ﻫَﻠَﻚَ ﻧَﺒِﻲٌّ ﺧَﻠَﻔَﻪُ ﻧَﺒِﻲٌّ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻧَﺒِﻲَ ﺑَﻌْﺪِﻱْ، ﻭَﺳَﻴَﻜُﻮْﻥُ ﺧُﻠَﻔَﺎﺀُ ﻓَﻴَﻜْﺜُﺮُﻭْﻥَ ‏) ‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ]
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]
.
Tidak hanya di dalam hadits ini, tetapi juga banyak hadits lain yang menggunakan istilah Khalifah [jamaknya, Khulafa’]. Lihat, Shahih Bukhari, hadits no. 6682. Shahih Muslim, hadits no. 3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no. 3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no. 3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2149 dan 4194.
.
Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’, adalah istilah syariah, yang memang digunakan dalam nash syariah, bersumber dari wahyu. Bukan buatan manusia, baik generasi sahabat, tabiin, atba’ tabiin maupun para ulama’ setelahnya. Istilah ini kemudian diadopsi para ulama’ ushuluddin [akidah], fikih dan tsaqafah Islam yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh hadits Nabi di atas.
.
Makna Khilafah dan Khalifah
.
Dalam Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, istilah Khilafah ini didefinisikan dengan:
ﺍﻟﻨِّﻴَﺎﺑَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﷺ ﻓِﻲ ﺣَﺮَﺍﺳَﺔِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ، ﻭَﺳِﻴَﺎﺳَﺔِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ، ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺜِﻠَﺘِﻪِ ﻛَﻮْﻥُ ﺃَﺑِﻲْ ﺑَﻜْﺮٍ، ﻭَﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳْﻦَ، ﻭَﻧَﺤْﻮِﻫِﻢْ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﺧُﻠَﻔَﺎﺀَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﷺ ﻓِﻲْ ﺣَﺮَﺍﺳَﺔِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﺳِﻴَﺎﺳَﺔِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ .
“Menggantikan Nabi saw. dalam menjaga agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan para Khulafa’ Rasyidin sepeninggalnya, dan yang lain seperti mereka, semoga Allah meridhai mereka, merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal. 756]
.
Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’ bukanlah istilah yang asing di kalangan ulama’ kaum Muslim, dan kaum Muslim di sepanjang zaman. Kecuali, orang yang jahil tentang Islam. Dalam kitab, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dinyatakan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” [Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IX/881].
.
Imam al-Mawardi [w. 450 H], dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, menyatakan, “Imamah [Khilafah] dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, hal. 3]. Sedangkan Ibn Khaldun [w. 808 H], menyatakan, “Menggantikan pemilik syariah [Nabi saw.] dalam menjaga agama, dan mengurus dunia dengannya.” [Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, hal. 98]
.
Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226]. Definisi ini adalah definisi yang sama, yang digunakan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam. [Lihat, an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. 34]
.
Karena merupakan istilah syara’, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Bahkan, Nabi saw. tidak hanya menggunakan istilah ini dengan konotasi syariahnya, tetapi juga menambahkan dengan predikat, Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah [Khilafah yang mengikuti metode kenabian], yang berarti Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang dijalakan oleh para sahabat itu merupakan copy paste dari Nabi saw. Mereka tinggal melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Nabi saw.
.
Bahkan, Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunahnya, tetapi juga sunah para Khulafa’ Rasyidin. Nabi saw. bersabda:
( ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲْ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠَﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳْﻦَ ﺍﻟﻤَﻬْﺪِﻳِﻴِّﻦَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱْ، ﻭَﻋَﻀُّﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﺟِﺬِ ‏) ‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ]
“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham.” [Hr. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]
Perintah untuk terikat dengan sunah [tuntunan] mereka adalah perintah untuk mempertahankan Khilafah, sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi saw. dan menegakkannya kembali, jika ia tidak ada.
.
Hukum Adanya Khilafah dan Menegakkannya
.
Semua ulama’ kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah ini adalah wajib. Jika Khilafah tidak ada, hukum menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib. Dasar kewajibannya tidak didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi wahyu. Berkaitan dengan ini, Imam as-Syafii menyatakan:
ﺃَﻥَّ ﻟَﻴْﺲَ ﻻَﺣَﺪٍ ﺃَﺑَﺪًﺍ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﻓِﻲ ﺷَﺊْ ﺣِﻞٌّ ﻭَ ﻻَ ﺣَﺮَﻡٌ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺟِﻬَﺔِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻭَﺟِﻬَﺔُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺍﻟﺨَﺒَﺮُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺃَﻭْ ﺍﻟﺴُّﻨَﺔِ ﺃَﻭْ ﺍﻹِﺟْﻤَﺎﻉِ ﺃَﻭْ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﺱِ
Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak atau Qiyas.” [Lihat, Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39].
.
Senada dengan itu, Imam al-Ghazali juga menyatakan:
ﻭَﺟُﻤْﻠَﺔُ ﺍﻟْﺄَﺩِﻟَّﺔِ ﺍﻟﺸَّﺮْﻋِﻴَّﺔِ ﺗَﺮْﺟِﻊُ ﺇﻟَﻰ ﺃَﻟْﻔَﺎﻅِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻭَﺍﻟْﺈِﺟْﻤَﺎﻉِ ﻭَﺍﻟِﺎﺳْﺘِﻨْﺒَﺎﻁِ
Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” [Lihat, Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, Juz II/273].
.
Karena itulah, para ulama’ kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban untuk menegakkannya, ketika ia tidak ada. Dasarnya adalah wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, baik berupa Ijmak Sahabat maupun Qiyas.
.
1. Dalil al-Quran
Allah SWT berfirman:
﴿ ﻭَﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟِﻠْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔِ ﺇِﻧِّﻲ ﺟَﺎﻋِﻞٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً … ﴾
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [Q.s. al-Baqarah [2]: 30].
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].
Dalil al-Quran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].
.
2. Dalil as-Sunnah
Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
( ﻣَﻦْ ﻣَﺎﺕَ ﻭَ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﻋُﻨُﻘِﻪِ ﺑَﻴْﻌَﺔٌ ﻣَﺎﺕَ ﻣِﻴْﺘَﺔً ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔً ‏) ‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ]
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [Hr. Muslim].
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].
.
Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:
( ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺑَﻨُﻮْ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴْﻞَ ﺗَﺴُﻮْﺳُﻬُﻢُ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀُ، ﻛُﻠَّﻤَﺎ ﻫَﻠَﻚَ ﻧَﺒِﻲٌّ ﺧَﻠَﻔَﻪُ ﻧَﺒِﻲٌّ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻧَﺒِﻲَ ﺑَﻌْﺪِﻱْ، ﻭَﺳَﻴَﻜُﻮْﻥُ ﺧُﻠَﻔَﺎﺀُ ﻓَﻴَﻜْﺜُﺮُﻭْﻥَ ‏) ‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ]
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]
.
3. Dalil Ijmak Sahabat
Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Para ulama’ ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
.
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻧْﻜَﺮَ ﻛَﻮْﻥَ ﺍﻹِﺟْﻤَﺎﻉُ ﺣُﺠَّﺔً ﻣُﻮْﺟِﺒَﺔً ﻟِﻠْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺑْﻄَﻞَ ﺃَﺻْﻞَ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ … ﻓَﺎﻟْﻤُﻨْﻜِﺮُ ﻟِﺬَﻟِﻚَ ﻳَﺴْﻌَﻰ ﻓِﻲ ﻫَﺪْﻡِ ﺃَﺻْﻞِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ .
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].
.
Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan al-Qur’an atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔَ ﺭِﺿْﻮَﺍﻥُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺃَﺟْﻤَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﻧَﺼْﺐَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍِﻧْﻘِﺮَﺍﺽِ ﺯَﻣَﻦِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ، ﺑَﻞْ ﺟَﻌَﻠُﻮْﻩُ ﺃَﻫَﻢَّ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺒَﺎﺕِ ﺣَﻴْﺚُ ﺍِﺷْﺘَﻐَﻠُّﻮْﺍ ﺑِﻪِ ﻋَﻦْ ﺩَﻓْﻦِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﷺ .
.
“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].
.
Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:
ﻣَﺎ ﻻَ ﻳَﺘِﻢُّ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺐُ ﺇِﻻَّ ﺑِﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﻭَﺍﺟِﺐٌ
“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
.
Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan Khilafah [Lihat, Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].
.
4. Kesepakatan Ulama Aswaja
Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama’ Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya Khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,
ﺇِﺗَّﻔَﻖَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔُ ﺭَﺣِﻤَﻬُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰَ ﻋَﻠﻰَ ﺃَﻥَّ ﺍْﻹِﻣَﺎﻣَﺔَ ﻓَﺮْﺽٌ
“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].
.
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].
.
Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
.
Bukti Historis Khilafah
.
Bukti tak terbantahkan tentang adanya Khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab Tarikh yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu hingga ulama’ mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari [w. 310 H], al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir [w. 606 H], al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibn Katsir [w. 774 H], Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun [w. 808 H], Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi [w. 911H], at-Tarikh al-Islami, Mahmud Syakir.
.
Dalam rentang sejarah, selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang Khalifah, dan Khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 M. Mereka adalah:
.
A. Khilafah Rasyidah
1. Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2. ’Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3. ’Utsman bin ‘Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4. ‘Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5. ‘Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)
B. Khilafah Umayyah
6. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
7. Yazid bin Mu’awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
8. Mu’awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)
9. Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
10. ’Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)
11. Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
12. Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
13. ’Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
14. Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
15. Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
16. Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
17. Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
18. Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
19. Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)
C. Khilafah ‘Abbasiyyah
20. Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
21. Abu Ja’far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
22. Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
23. Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
24. Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
25. Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
26. Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
27. Al-Mu’tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
28. Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
29. Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
30. Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
31. Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
32. Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
33. Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
34. Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
35. Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
36. Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
37. Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
38. Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
39. Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
40. Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
41. Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
42. Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
43. Al-Thai’i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
44. Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
45. Al-Qa’im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
46. Al-Mu’tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
47. Al-Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
48. Al-Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
49. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
50. Al-Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
51. Al-Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
52. Al-Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
53. An-Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
54. Adh-Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
55. Al-Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
56. Al-Mu’tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)
57. Al-Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
58. Al-Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
59. Al-Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
60. Al-Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)
61. Al-Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
62. Al-Mu’tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
63. Al-Mutawakkil ‘Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
64. Al-Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
65. Al-Mu’tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
66. Al-Mutawakkil ‘Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
67. Al-Musta’in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
68. Al-Mu’tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
69. Al-Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
70. Al-Qa’im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
71. Al-Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
72. Al-Mutawakkil ‘Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
73. Al-Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
74. Al-Mutawakkil ‘Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)
D. Khilafah Utsmaniyyah
75. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)
76. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M)
77. salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)
78. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)
79. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)
80. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)
81. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)
82. ‘Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)
83. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)
84. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)
85. Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)
86. Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M)
87. Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M)
88. Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)
89. Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)
90. Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)
91. Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M)
92. ‘Utsman III (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)
93. Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M)
94. ‘Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)
95. Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)
96. Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)
97. Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)
98. ‘Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)
99. ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
100. Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)
101. ‘Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
102. Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)
103. Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)
104. ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M
Dalam sepanjang sejarah Khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam. Inilah Khilafah yang diakui oleh kaum Muslim di seluruh dunia sebagai negara mereka.
Karena itu, menurut Syaikh Dr. Musthafa Hilmi, dalam tesis masternya di Universitas Alexandria, Mesir, Nadhariyyatu al-Imamah ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah [1387 H/1967 M], setelah memaparkan fakta Negara Islam sejak zaman Nabi, Khilafah Rasyidah, Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyyah, akhirnya sampai pada kesimpulan:
.
Pertama, pemikiran Sunni menentang penghapusan Khilafah. Karena itu, Ahlussunnah wal jamaah memegang teguh pendirian mereka, dengan cara yang sama sejak awal, membela dan mempertahankan Islam menghadapi berbagai gempuran yang berlangsung dalam rentang sejarah panjang umat Islam.
.
Kedua, Khilafah yang menerapkan Islam tetap ada hingga runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah. Inilah yang menjadi alasan utama permusuhan Barat terhadap Khilafah ‘Utsmaniyah, sebab selama ia masih ada, maka sistem Islam pun tetap ada. Dengan adanya sistem pemerintahan Islam ini, maka suatu saat bisa kembali menguasai dunia, sehingga Eropa pun takut sejarah kejayaan umat Islam akan kembali dalam naungan Khilafah. Karena itu, hanya ada satu kata, menghilangkan Khilafah, dan menghalangi tegaknya kembali. [Lihat, Dr. Musthafa Hilmi, Nidzam al-Khilafah fi al-Fikri al-Islami, hal. 457]
.
Khatimah
Jadi, jelas Khilafah adalah ajaran Islam. Hizbut Tahrir Indonesia hanya menyampaikan apa yang menjadi ajaran Islam, yang dilupakan oleh kaum Muslim. Sebagai bagian dari ajaran Islam, Khilafah jelas bukan merupakan ancaman bagi Indonesia. Justru, Khilafah ingin menjaga dan menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini, agar terbebas dari segala bentuk penjajahan yang hingga kini masih menderanya.
.
(*) Disampaikan di persidangan PTUN, Jakarta Timur, tanggal 08 Pebruari 2018, selaku Saksi Ahli dalam persidangan HTI.