Thursday, June 16, 2022

Membahas thariqul iman

 Saat membahas Thariqul Imam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yg merupakan pembahasan akidah, lantas dimana posisi Akidah 50 nya aswaja (20 sifat wajib Allah, 20 sifat mustahil Allah, 1 sifat jaiz Allah, 4 sifat wajib rasul, 4 sifat mustahil rasul, 1 sifat jaiz rasul) dan posisi Tauhid nya Salafi (tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, tauhid asma wa shifat)? Sebab, ini yg paling banyak dipahami mayoritas kaum muslim seperti ini.


***


Pertanyaan semacam ini termasuk pertanyaan tak terduga. Maksudnya, tidak diduga akan ditannyakan dalam diskusi. Dan kemarin ada liat diskusi yg mirip-mirip dengan tema nya itu. Alhamdulillah saat itu bisa menjawab walau harus berpikir keras.


Pertama, apa yang kita bahas dalam bab thariqul iman adalah tentang bagaimana kita itu beriman, bagaimana kita mengimani Allah, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, serta segala yang diberitakan oleh Allah maupun rasul-Nya, dan membahas tentang konsekuensi atau dampak dari keimanan-keimanan itu terhadap tindak tanduk atau tingkah laku manusia dalam hidup di dunia. Jadi yang dibahas dalam bab thariqul iman ini adalah bagaimana cara beriman, dan jika sudah beriman lantas apa konsekuensinya bagi manusia. Begitu. 


Karena itulah kalimat pertama yang sampaikan penulisnya adalah "bagaimana membangkitkan manusia", yaitu bangkit dari yang semula berperilaku "tanpa keimanan" menuju perilaku "dengan dasar keimanan". Sebab, dari pembahasan thariqul iman ini kita jadi paham dan menyadari bahwa kita itu berasal atau diciptakan oleh Allah, kita itu terikat dengan-Nya (dengan aturan-aturan-Nya), kita itu memiliki misi di dunia yaitu untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan kita, dan dari pertanggungjawaban itu kita akan berakhir di surga atau di neraka, maka berperilakulah baik di dunia dengan menjalankan syariat-Nya. Inilah sebenarnya isi dari bab thariqul iman, yaitu iman yang berdampak pada amal perbuatan. Simpel.


Kedua, adapun berkaitan dengan tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, tauhid asma' wa shifat; juga tauhid untuk mengimani sifat wajib dan sifat mustahil Allah, juga sifat jaiz-nya, ini semua sebenarnya pembahasan "lebih lanjut" dari pembahasan thariqul iman. Sebab, thariqul iman adalah membahas bagaimana kita beriman, dan bagaimana konsekuensi iman terhadap perilaku manusia, yang dengan itu, maka manusia menjadi bangkit. Begitu. Dilihat dari sisi bangkitnya manusia (dari yang semula berperilaku "tanpa keimanan" menjadi berperilaku "atas dasar keimanan"), maka pembahasan thariqul iman ini saja sebenarnya sudah mencukupi untuk membangkitkan manusia, sekalipun tanpa perlu pembahasan "lebih lanjut". Mohon maaf, pemahaman ini jangan diartikan bahwa kita itu merendahkan atau menganggap rendah konsep akidah aswaja atau ketauhidan salafi. Sama sekali tidak. 


Ketiga, pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah, asma wa sifat; juga terkait sifat wajib dan mustahil allah atau sifat jaiz-nya, ini semua adalah pembahasan terkait akidah yang muncul setelah kemunculan mutakallimin atau ahli kalam. Sebelumnya, pembahasan seperti ini belum dikenal. Pembagian tauhid menjadi rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat itu didengungkan pertama kali (sebagai sebuah konsep ketauhidan) oleh Imam Ibnu Taimiyah al-Harrani, yang kemudian diteruskan oleh murid beliau Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dan di masa modern digencarkan lagi oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab. Tentang hal ini bisa dipelajari sendiri secara lebih lanjut di buku-buku yang membahas tentang hal tersebut.


Adapun ketauhidan berkaitan dengan akidah aswaja (ahlussunah wal jamaah) yang membahas sifat Allah, seperti 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil Allah, juga sifat jaiz-Nya; juga 4 sifat wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil rasul, serta 1 sifat jaiz rasul; konsep akidah semacam ini banyak dianut di kalangan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Tentang hal ini juga bisa dipelajari sendiri secara lebih lanjut. 


Dua pembahasan terkait tauhidnya Ibnu Taimiyah dengan Abu Hasan al-Asy'ari, memang di kalangan pendukungnya sering terlihat kurang akur, saling bertentangan satu sama lain, walau sama-sama mengaku sebagai ahlussunah.


Hanya saja, pembahasan di dalam bab thariqul iman ini memang tidak difokuskan pada pembahasan tentang sifat Allah, kuasa Allah. Tidak. Akan tetapi pembahasan tentang thariqul iman ini lebih difokuskan untuk mengaitkan antara akidah dengan kebangkitan manusia, kebangkitan umat. Karena itu, penulisnya (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani) menghindari pembahasan yang rawan konflik seperti ini. Penulisnya sendiri memiliki pandangan khusus terkait pembahasan sifat Allah. Tentang hal ini bisa dibahas di buku-buku beliau yang lain seperti Syakhshiyyah al-Islamiyah misalnya. Akan tetapi, pembahasan tentang hal ini disinggung sedikit di bab qadha dan qadar, yang merupakan bab lanjutan setelah bab thariqul iman. Jadi, pembahasan seputar sifat Allah (walau masih seputar akidah) lebih tepat bukan dibahas di bab thariqul iman, malah lebih pas dibahas di bab qadha qadar.


Di bab qadha dan qadar sendiri, penulisnya (Syaikh an-Nabhani) mengkritik Ahlussunah yang inginnya menyelesaikan konflik antara Muktazilah dan Jabbariyah seputar qadha dan qadar (yang bisa meluas ke sifat Allah), namun justru membikin konsep sendiri yang menurut Syaikh an-Nabhani malah membingungkan.


Uniknya, ada beberapa teman ahlussunah versi salafi yang seringkali marah dan mengkritik Syaikh an-Nabhani, karena merasa dikritik di bab qadha dan qadar itu. Padahal, yang dikritik Syaikh an-Nabhani itu bukan ahlussunah versi salafi atau Ibnu Taimiyah, tapi ahlussunah nya Abu Hasan al-Asy'ari.


Ketiga, apa pun itu pembahasannya, sungguh sangat tidak layak jika kemudian harus berakhir konflik atau kericuhan di antara sesama saudara satu akidah, yaitu akidah Islam. Justru Syaikh an-Nabhani mengambil sikap terbaik di antara semuanya, yaitu membahas akidah dalam kaitannya dengan kebangkitan manusia atau kebangkitan umat. Dan memang itulah yang dibutuhkan umat saat ini, yaitu bangkit dari kondisi yang tidak islami menuju kondisi yang islami, bangkit dari peradaban buruk menuju peradaban mulia dengan Islam. Inilah yang sebenarnya jauh lebih dibutuhkan umat sekarang. Bukannya menyibukkan diri dengan pembahasan yang malah memancing keributan di dalam internal kaum muslim. Justru faktanya umat jadi tersibukkan sendiri dengan "pertikaian" di antara mereka dalam persoalan akidah. Padahal ada banyak persoalan yang lebih penting untuk dihadapi umat daripada saling bertikai di antara saudara.


Kembali pada pertanyaan di atas : dimana posisi tauhidnya salafi dan akidahnya aswaja dalam pembahasan thariqul iman? Jawabannya adalah sebagai berikut.


Bahwa kaum muslim harus meyakini atau mengimani Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, Pemberi rezeki, Yang maha menghidupkan dan mematikan.. (tauhid rububiyah)


Bahwa kaum muslim harus meyakini atau mengimani bahwa Allah adalah Zat Yang esa, hanya yang berhak disembah dan diibadahi.. (tauhid uluhiyah)


Bahwa sifat Allah itu tidak serupa dengan makhluk (tauhid asma wa sifat)


Bahwa Allah itu memiliki sifat wajib sepeti wujud, qidam, baqa, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu bi nafsihi, wahdaniyah, sama', bashar, dll.. Juga sifat mustahil seperti adam, huduts, fana, qiyamuhu li ghairihi, mumatsalatu li hawaditsi, ta'addud, karahah, jahlun, dll.. Atau sifat jaiz bahwa Allah boleh melakukan apa saja dan meninggalkan apa saja yang mumkin.. 


Ya, itu semua adalah keyakinan. Penulisnya sendiri dalam thariqul iman berpandangan bahwa akidah wajib ditetapkan berdasarkan dalil qath'i yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. Karena itu, membahas konsep tauhid apapun (entah itu tauhidnya salafi atau akidahnya aswaja) selama ditetapkan berdasar dalil qath'i maka tidak ada persoalan.


Dan dalam bab thariqul iman, Syaikh an-Nabhani sebenarnya lebih memilih membahas akidah yang dikaitkan dengan kebangkitan umat (iman yang berpengaruh pada perilaku seorang muslim), bukan sedang membahas akidah yang dikaitkan dengan konsep-konsep seperti di atas.


Wallahu a'lam.

No comments: