Tuesday, May 11, 2021

USTADZ TENGKU ZULKARNAEN TETAP "HIDUP", MEREKALAH YANG SESUNGGUHNYA TELAH LAMA MATI

 *USTADZ TENGKU ZULKARNAEN TETAP "HIDUP", MEREKALAH YANG SESUNGGUHNYA TELAH LAMA MATI*


*Oleh: Arief B. Iskandar*

*_(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)_*


*BAGI* kaum fasik dan munafik, kematian ulama yang hanif dan lantang dalam menyuarakan kebenaran boleh jadi menjadi sebuah kabar gembira. Mereka menyangka para ulama penentang kezaliman penguasa yang mereka dukung makin berkurang. Mereka pun menduga orang-orang yang wafat di medan jihad itu benar-benar mati. Padahal, sebagaimana yang Allah SWT tegaskan: 


وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوٰتٌ  ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ وَلٰكِنْ لَّا تَشْعُرُونَ

_Janganlah kalian mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya_

*(QS al-Baqarah [2]: 154)*


Ustadz Tengku Zulkarnaen memang tidak wafat di medan jihad (perang). Namun jelas, dengan amar makruf nahi mungkar yang ia lakukan, khususnya terhadap penguasa yang menyimpang dari syariah, menjadikan beliau layak mendapatkan pahala mati syahid.


Ia hanyalah sedikit di antara ulama yang mau memgambil risiko perjuangan dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Saat yang sama justru banyak ulama yang lebih mendiamkan kemungkaran, terutama kemungkaran penguasa.


Padahal tegas Allah SWT berfirman (yang artinya): _Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan_ *(TQS al-Maidah [5]: 63).*


Ayat di atas adalah celaan sekaligus peringatan Allah SWT kepada para ulama yang tidak menegakkan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Menurut al-Qurthubi, ayat ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan upaya mencegah kemungkaran sama dengan orang yang berbuat kemungkaran itu sendiri. *(Al-Qurthubi, _Tafsîr al-Qurthubi,_ VI/237).*


Apa yang dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi pernah dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. Pada masa Kekhilafahannya, beliau telah memperlakukan sama orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan pelaku kemungkaran itu sendiri. Sama-sama dianggap pelaku kriminal. Keduanya berhak mendapat sanksi/hukuman di dunia. 


Pada masanya, polisi negara pernah datang kepada sekelompok orang yang sedang mabuk-mabukan dengan meminum khamr, sementara di samping mereka duduk-duduk seorang Muslim yang tidak ikut mabuk. Dia bahkan sedang berpuasa. Saat itu Khalifah memerintahkan kepada sang polisi untuk mencambuk mereka semuanya, tanpa kecuali. Petugas polisi berkata, “Amirul Mukminin, si fulan ini tidak ikut mabuk bersama mereka. Dia bahkan sedang berpuasa.”


Khalifah Umar berkata, “Hadirkan dia dan cambuklah! Tidakkah dia mendengar firman Allah SWT (yang artinya): _Sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam al-Quran, bahwa jika kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok oleh orang-orang kafir, janganlah kalian duduk-duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Sesungguhnya jika kalian berbuat demikian, tentu kalian sama saja dengan mereka_ *(QS an-Nisa’ [4]: 140).*


Demikianlah sikap Khalifah Umar ra. Beliau telah menganggap orang yang mendiamkan kemungkaran sebagai pelaku kriminal yang layak dihukum. Sama dengan pelaku kemungkaran itu sendiri.


Kemungkaran yang terbesar tentu adalah kemungkaran yang dilakukan oleh para penguasa, yaitu saat mereka tidak melaksanakan hukum-hukum Allah. Itulah mengapa Rasulullah saw. telah mewajibkan umat Islam untuk melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa semacam ini. Bahkan Beliau telah bersabda (yang artinya): _"Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim."_ *(HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).*


Namun sayang, banyak di antara kaum Muslim, khususnya para ulamanya, yang malah membisu terhadap kemungkaran para penguasa saat ini. Memang, banyak dari mereka yang selalu menjaga hubungan dengan Allah, dengan memperbanyak amal ibadah ritual dan bersedekah. Namun, tidak banyak dari mereka yang berani melakukan amar makruf nahi mungkar kepada para penguasa zalim dan menyimpang.


Sikap demikian jelas keliru. Hudzaifah bin al-Yamani ra., seorang Sahabat Rasulullah saw. yang mulia, bahkan menjuluki orang-orang semacam ini—yang tidak mengingkari kemungkaran dengan tangannya, tidak dengan lisannya, dan tidak juga dengan kalbunya—sebagai "mayat hidup". *(Al-Ghazali, _Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn,_ II/311).*


"Mayat hidup" tentu merupakan istilah yang sangat kasar dan menghina. Namun, itulah sikap tegas Sahabat Rasululullah saw. yang mulia terhadap orang-orang yang cuwek terhadap kemungkaran. Hidupnya dipandang sama dengan matinya. Keberadaannya dianggap tidak berbeda dengan ketiadaannya. Alias tak berguna. 


Jelas, dari paparan di atas, Ustadz Tengku sebetulnya tetap "hidup". Mereka yang bergembira atas wafatnya beliaulah--juga atas wafatnya para ulama pejuang lainnya--sesungguhnya yang mati. Mereka telah lama menjadi "mayat". Tidak lain menjadi "mayat hidup". Sebabnya, mereka selalu saja mendiamkan setiap kemungkaran yang terjadi di depan mata mereka, terutama kemungkaran penguasa. Bahkan mereka menjadi pendukung penguasa yang biasa melakukan  kemungkaran tersebut. Status mereka tentu jauh lebih buruk dari "mayat hidup". _Na'udzu bilLahi min dzalik!_


_Wa ma tawfiqi illa bilLah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib._ []

No comments: