Monday, March 10, 2014

Pemerintah Melegalkan Khamr: Membuka Pintu Kerusakan

Pemerintah Melegalkan Khamr: Membuka Pintu Kerusakan

[Al-Islam edisi 689, 15 Rabiul Awal 1435 H-17 Januari 2014 M]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Aturan baru itu adalah Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6-12-2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. (lihat, Republika.co.id, 3/1/2014).
Khamr Tidak Dilarang, Hanya Diatur
Perpres itu menegaskan bahwa khamr pada dasarnya tidak dilarang. Hanya, produksi dan peredaran/penjualan khamr diatur dan diawasi. Pasal 3 ayat 3: “Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya.”
Perpres itu membagi minuman beralkohol (mihol) dalam tiga golongan. Golongan A, mihol dengan kadar etanol sampai 5%. Golongan B, mihol dengan kadar etanol 5 – 20 %. Dan golongan C, mihol dengan kadar etanol 20 – 55 %.
Menurut Perpres ini, mihol hanya boleh diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri Perindustrian; atau diimpor oleh pelaku usaha yang memiliki izin impor dari Menteri Perdagangan. Peredararan mihol hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala BPOM Kemenkes. Dan dari Pasal 4 ayat 4, mihol hanya dapat diperdagangankan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol dari Menteri Perdagangan.
Pasal 7, mihol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di: a. Hotel, Bar, dan Restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan; b. Toko bebas bea; dan c. Tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta. Di luar tempat-tempat tersebut, mihol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres ini juga memberikan wewenang kepada Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran mihol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.
Jadi Perpres itu jelas melegalkan mihol (khamr). Menurut Perpres itu, khamr legal untuk diproduksi dan diimpor, asal mendapat izin. Khamr juga legal untuk dijual ditempat tertentu asal ada izin. Bahkan khamr golongan A boleh dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan, seperti dalam botol, kaleng, kemasan pack, dan sebagainya.

Bukan Demi Kemaslahatan Umat
Dengan otonomi daerah banyak daerah membuat perda anti miras. Banyak diantaranya lalu disebut perda syariah anti miras.
Namun perda-perda itu dipersoalkan oleh Kemendagri karena dianggap menyalahi Kepres No. 3/1997. Kepres itu tidak melarang miras (khamr) tetapi hanya mengatur pembatasan miras (khamr).
Kepres No. 3/1997 itu pun digugat ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 18 Juni 2013, MA melalui putusan MA Nomor 42P/HUM/2012 menyatakan Kepres No. 3/1997 itu sebagai tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Maka dibuatlah Perpres No. 74/2013 untuk menggantikan Kepres tersebut. Jika dilihat isinya masih sama, hanya sedikit perubahan dan tambahan.
Jika Kepres No. 3/1997 dipakai untuk mempersoalkan perda-perda anti miras, hal itu akan terulang dengan Perpres No. 74/2013 ini. Kapuspen Kemendagri, Restuardy Daud, mengatakan, perpres yang baru juga tak serta-merta memberikan pemda kebebasan tak terbatas menerbitkan perda pelarangan minuman keras. Ia mengatakan, “Perpres itu mengatur pengendalian dan pengawasan dan nantinya akan sinkronisasi dengan peraturan daerah” (Republika.co.id, 3/1/2014). Ia menegaskan, Perpres 74/2013 tetap harus ditaati meskipun kepala daerah atau pun Dinas Perdagangan Perindustrian terkait mempunyai regulasi tertentu.
Artinya, Kemendagri akan “mengklarifikasi” perda-perda syariah anti miras agar tak berbenturan dengan perpres yang baru. Itu sama saja meminta (memerintahkan) agar perda-perda syariah anti miras dibatalkan atau diubah sehingga tidak lagi melarang miras secara total, tetapi hanya mengatur dan membatasinya yaitu melaksanakan Perpres 74/2013 itu. Dengan itu maka kegaduhan yang terjadi sebelumnya sangat boleh jadi akan terulang. Jika itu benar-benar terjadi, maka penyebabnya adalah terbitnya perpres ini.
Padahal aspirasi masyarakat banyak menginginkan agar miras yaitu khamr dilarang. Sudah banyak sekali akibat buruk yang muncul akibat miras. Meski diklaim Perpres itu untuk melindungi masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya. Perpres itu ibarat membuka pintu kerusakan. Sebab khamr (miras) adalah pintu kerusakan, induk keburukan. Nabi saw memperingatkan:
«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً »
“Khamr itu adalah induk keburukan dan siapa meminumnya, Allah tidak menerima sholatnya 40 hari. Jika ia mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliyah.” (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni, al-Qadha’iy)

Menurut WHO sebanyak 320.000 orang di dunia meninggal per tahun karena penyakit berkaitan dengan alkohol. Di daerah, Kapolres Kendari AKBP Anjar Wicaksana, pernah menyebutkan, penyebab kejahatan yang banyak terjadi dalam kurun waktu Bulan Juni 2013 sekitar 80% dimulai dari konsumsi miras (baubaupos.com/16/7/2013). Sementara itu Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri Kombes (Pol) Agus Rianto mengemukakan, kecelakaan yang disebabkan pengendara mengkonsumsi miras hingga pertengahan tahun 2013 ada 49 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya (jaringnews.com/12/8/2013). Begitu pula sudah banyak diungkap, para pelaku kejahatan biasanya menenggak khamar sebelum beraksi.
Di sisi lain, yang untung jelas para “pebisnis khamr”. Sebab bisnis jalan terus, uang pun terus mengalir, meski sedikit terpengaruh. Negara juga mendapat pemasukan dari cukai dan pajak mihol. Ironisnya, semua itu dengan mengorbankan kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Semua itu terjadi karena yang dijadikan pegangan adalah ideologi sekuler demokrasi kapitalisme. Demokrasi menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia. Sementara, doktrin ekonomi kapitalisme, menganggap khamr, sebagai barang ekonomis, selama ada permintaan, harus dipenuhi. Maka tidak boleh dilarang, hanya diatur saja.

Islam Membabat Khamr
Berbeda dengan peraturan buatan manusia itu, dalam Islam khamr adalah haram. Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah [5]: 90)

Rasul saw. menjelaskan bahwa semua minuman yang memabukkan merupakan khamr dan haram.
«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»
“Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram.” (HR Muslim)

Keharaman khamr itu berlaku baik sedikit ataupun banyak.
«مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»
“Apa (minuman/cairan) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram” (HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Khamar itu haram dijual. Rasul saw. menegaskan:
«إِنَّ الَّذِي حُرِّمَ شَرْبُهَا حُرِّمَ بَيْعُهَا»
“Sesungguhnya apa yang diharamkan meminumnya maka diharamkan pula menjualnya.” (HR Muslim)

Selain itu, terkait Khamr ada sepuluh pihak yang dilaknat. Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda:
«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ r فِي الخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالمُشْتَرِي لَهَا، وَالمُشْتَرَاةُ لَهُ»
“Rasulullah saw melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: yang memerasnya, yang diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan, yang menuangkan, yang menjualnya, yang memakan harganya, yang membeli dan yang dibelikan.” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Dari semua itu, maka Islam tegas melarang dan mengharamkan khamr. Juga melarang penjualan khamr dan sepuluh pihak lainnya. Itu artinya, khamr dilarang beredar di masyarakat.
Dan siapa saja yang minum khamar, sedikit atau pun banyak, jika terbukti di pengadilan, maka dalam Islam ia dijatuhi sanksi jilid sebanyak 40 atau 80 kali. Anas menuturkan:
«كان النبي r يَضْرِبُ فِي الخَمْرِ باِلجَرِيْدِ وَالنَّعَالِ أَرْبَعِيْنَ»
“Nabi Muhammad saw. mendera orang yang minum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali dera.”(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Ali bin Abi Thalib juga menuturkan:
«جَلَّدَ رَسُوْلُ اللّهِ r أَرْبَعِيْنَ، وَأبُو بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وعُمَرُ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وهَذَا أحَبُّ إِليَّ»
“Rasulullah saw. mencambuk (orang minum khamr) empat puluh kali, Abu Bakar mencambuk empat puluh kali, Umar mencambuk delapan puluh kali. Masing-masing adalah sunnah. Dan ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Sementara untuk pihak selain yang meminum khamr, maka sanksinya berupa sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera.

Wahai Kaum Muslimin
Dengan bekal ketakwaan individu yang senantiasa dipupuk oleh negara, maka individu akan enggan menyentuh khamr. Negara pun tidak boleh memfasilitasi baik langsung maupun tidak langsung, terhadap peredaran khamr. Dan siapa saja yang meminum khamr dan yang terlibat terkait khamr dijatuhi hukuman syar’i tersebut. Dengan semua itu, Islam akan mampu membabat khamr, dan menyelamatkan orang dari belenggu miras. Namun semua itu hanya terwujud, melalui penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah kewajiban kita yang harus segera kita tunaikan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar:
Untuk menutup defisit anggaran, serta membayar utang jatuh tempo, pemerintah Indonesia berencana menerbitkan surat utang berupa surat berharga negara (SBN) dengan nilai Rp 357,96 triliun tahun ini. Dari nilai tersebut, sebanyak Rp 205,07 triliun, digunakan untuk murni pembiayaan defisit anggaran tahun ini. Sisanya atau Rp 152,89 triliun adalah untuk membayar utang jatuh tempo atau refinancing. (detikfinance, 11/1/2014)
  1. Padahal hingga November 2013, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp 2.354,54 triliun. Artinya, tiap orang dari 248,9 juta penduduk Indonesia termasuk bayi yang baru lahir terbebani utang Rp 9,4 juta.
  2. Utang sudah menumpuk tapi pemerintah masih gemar ngutang. Inilah prestasi negeri ini: jago ngutang.
Print Friendly

No comments: