Indonesia Juga Kapitalis
Friday, 03 February 2012 15:12
Pemerintah tak mau dikatakan neolib, tapi fakta menunjukkan Indonesia menerapkan kapitalisme
Kapitalisme telah menjadi haluan negara-negara di seluruh dunia. Kapitalisme ini digerakkan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui tangan-tangan mereka yang duduk di pemerintahan. Mereka adalah para politikus yang telah disetir atau bekerja sama dengan kepentingan korporasi/perusahaan. Inilah yang disebut sebagai korporatokrasi.
Isitilah korporatokrasi digunakan oleh John Perkins, penulis buku Confession of Economic Hit Man (2005), untuk menggambarkan imperium global, yaitu korporasi, lembaga keuangan internasional, dan penyelenggara pemerintahan yang bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat mengikuti kehendak mereka.
Ia menyebut, bagaimana kebijakan pemerintah itu sebenarnya merupakan pengejawantahan dari kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan besar. Itu tidak hanya terjadi di Amerika, tapi juga di seluruh dunia. Bahkan, menurutnya, yang ada di balik lembaga-lembaga internasional adalah perusahaan-perusahaan besar/multinasional.
Banyak orang Amerika tahu bahwa Amerika Serikat bukan demokrasi tetapi sebuah "korporatokrasi," di mana mereka diperintah oleh kemitraan korporasi raksasa, elite sangat kaya dan perusahaan-kolaborator pejabat pemerintah. Sayangnya, mereka berhasil dininabobokkan oleh media massa, yang notabene milik perusahaan multinasional.
Pola yang sama berlaku di Indonesia. Sistem demokrasi telah menjadikan ketergantungan para politikus kepada para pengusaha. Soalnya demokrasi membutuhkan biaya yang besar. Tidak mungkin mereka sanggup meraih tampuk kekuasaan tanpa ada dukungan dana yang cukup. Yang bisa menutup itu hanyalah pengusaha. Terjadilah kongkalikong. Politikus bisa meraih kursi, pengusaha bisa menitipkan kebijakan untuk keuntungan bisnis mereka.
Sayangnya, pemerintah Indonesia tak pernah mengakui bahwa Indonesia adalah negara kapitalis. Bahkan pemerintah pun menolak jika dikatakan neoliberal—istilah yang sepadan dengan kapitalis. Namun, berbagai kebijakan negara yang muncul justru menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kapitalis, bukan sebaliknya.
Pro Asing dan Pengusaha
Kebijakan kapitalisme yang paling menonjol bisa dilihat di bidang ekonomi. Hampir semua regulasi dan kebijakan ekonomi dilandasi oleh ideologi kapitalisme ini. Negara menjalankan program liberalisasi pasar dan swastanisasi cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dampaknya lahirlah berbagai undang-undang yang tak berpihak kepada rakyat tapi kepada swasta, baik lokal maupun asing. Melalui undang-undang yang disahkan oleh DPR ini, negara melepaskan tanggung jawabnya mengelola kekayaan alam milik rakyat.
UU Penanaman Modal memungkinkan kekuatan asing melakukan investasi di segala bidang, nyaris tanpa hambatan sehingga tambang emas di Freeport dikuasai oleh perusahaan Amerika, Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile, Chevron mengangkangi tambang minyak dan gas.
UU Migas mengebiri peran Pertamina sebagai BUMN yang notabene milik rakyat dalam pengelolaan migas. Pertamina yang dulu menguasai sebagian besar tambang migas akhirnya hanya menjadi pemain kecil di dalam negeri. Mayoritas tambang migas dikuasai oleh asing. Bahkan, asing diberi kebebasan untuk berbisnis hingga ke hilir.
Ada juga UU Sumber Daya Air yang menjadikan air sebagai komoditas komersial. Juga UU Ketenagalistrikan yang ingin memecah perusahaan plat merah itu menjadi usaha-usaha kecil yang nantinya layak dijual kepada swasta. Dan banyak undang-undang sejenis lainnya.
Nah, yang menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme ini adalah keberadaan sektor non riil dan perdagangan uang. Kalau di Amerika ada Wall Street di Indonesia ada Bursa Efek Jakarta. Di tempat itulah terjadi perdagangan saham setiap harinya. Di sanalah berkumpul para kapitalis yang mempermainkan saham untuk menguasai berbagai jenis usaha—termasuk milik negara yang telah diprivatisasi.
Tak aneh bila kemudian Indosat jatuh ke pihak asing. Demikian pula Krakatau Steel. Dan beberapa saat mendatang, BUMN yang sehat sudah direncanakan akan diprivatisasi—dijual kepada swasta.
Di bidang keuangan, perbankan ribawi dianakemaskan. Dana masyarakat disedot sedemikian rupa. Tapi begitu dana terkumpul, dana itu mandek. Walhasil, banyak bank yang kemudian menyalurkan dana masyarakat itu kepada perusahaan milik si pemilik bank. Bukan kepada rakyat kecil. Anehnya, begitu bank mengalami kerugian, justru negara yang membantunya.
Kurang ajarnya, uang yang digunakan untuk menalangi kerugian itu adalah uang rakyat. Masih ingat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Lebih dari 600 trilyun rupiah uang rakyat lenyap. Atau yang terakhir kasus Bank Century, Rp 6,7 trilyun lebih uang rakyat digasak.
Sementara itu, negara tak mau lagi susah-susah mengurus rakyat. Lahirlah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU badan Penyelenggara Jaminan Sosisal (BPJS) yang menjadikan pelayanan kesehatan menjadi komoditas ekonomi yang diperjualbelikan. Negara memalak rakyat dan melepaskan diri dari tanggung jawab menjamin layanan kesehatan.
Hal yang sama terjadi di bidang pendidikan. Pelan tapi pasti, negara mulai tak mau lagi membiayai pendidikan. UU Pendidikan Nasional lahir untuk melepaskan tanggung jawab ini. Awalnya perguruan tinggi negeri ’diswastakan’ kemudian disusul lembaga pendidikan di bawahnya (sekolah).
Wajar kalau rakyat yang mayoritas tak kunjung sejahtera. Menurut Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa PT Bursa Efek Indonesia Urip Budi Prasetyo, jumlah nasabah kaya di Indonesia ada 30 ribu orang. Mereka menyimpan dan menginvestasikan uangnya di berbagai bidang, mulai saham, deposito, sampai properti. Sumber lain menyebut, nasabah premium perbankan—berpenghasilan US$ 50 ribu (setengah milyar rupiah) per tahun—mencapai 1,1 juta orang. Lha yang 240 juta penduduk Indonesia? Mujiyanto
Impor, Impor, dan Impor
Masih ingat kasus PT Dirgantara Indonesia? Perusahaan plat merah itu awalnya dirancang untuk menghasilkan pesawat yang mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri yang begitu besar dan ekspor. Alih-alih didukung, geliat perusahaan yang mulai diperhitungkan oleh negara lain ini malah dimatikan. Pemerintah lebih suka beli pesawat dari negara lain seperti Cina. Diduga swasta asing ada di balik kebijakan pemerintah tersebut.
Otak bisnis para pengemban amanah rakyat ini menjadikan mereka tak mau susah-susah. Inginnya semua instan dan menghasilkan fulus bagi diri dan kelompoknya. Bukan aneh jika kemudian Indonesia kini dikenal sebagai negara importir.
Berbagai paradoks muncul. Negara agraris tapi mengimpor beras setiap tahunnya. Negara penghasil migas tapi harus beli migas dari Singapura yang sebenarnya tak punya ladang migas sama sekali. Negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia tapi impor garam. Itupun dilakukan pada saat panen raya garam. Hal yang sama terjadi pada komoditas kentang.
Beberapa komoditas lain sudah siap didatangkan oleh para pengusaha. Sebut saja gula, kedelai, daging, dan jagung. Yang sudah membanjiri pasar dalam negeri sebelumnya adalah komoditas hortikultura terutama buah-buahan dari luar negeri. Siapa yang tidak kenal Durian Monthong, Jeruk Mandarin, Apel Washington, Anggur asal AS dan Pear dari China.
Tak ketinggalan komoditas perikanan. Data Kementerian Pertanian hingga Mei 2011, permohonan izin impor ikan sebanyak 2,6 juta ton. Setidaknya 23 perusahaan telah mengantongi izin impor ikan. Di antaranya 15 perusahaan untuk keperluan industri pengolahan dan delapan perusahaan untuk memenuhi pasar domestik. Aneh kan? Negeri dengan laut yang begitu luas tapi impor ikan.
Membanjirnya produk pangan impor tersebut tidak lepas dari keputusan pemerintah membuka pasar secara bebas melalui perjanjian perdagangan. Setidaknya ada lima kesepakatan multilateral perdagangan bebas dan satu kesepakatan bilateral perdagangan bebas yang tengah dijalani pemerintah Indonesia. Di luar itu, terdapat sembilan kesepakatan bilateral sedang dalam proses perundingan.[] MJ
http://mediaumat.com/media-utama/3465-69-indonesia-juga-kapitalis.html
No comments:
Post a Comment