Sunday, December 11, 2022

Apa hukum menjadi anggota legislatif dalam sistem demokrasi?

 Hukum Menjadi Caleg dalam Sistem Demokrasi Menurut Islam


Bismillahirrahmanirrahim..


Pertanyaan :

Apa hukum menjadi anggota legislatif dalam sistem demokrasi?


Jawaban :


Pendahuluan


Sistem demokrasi dirumuskan sebagai reaksi terhadap kekuasaan tunggal yang memusat pada raja atau kaesar, yang diklaim sebagai wakil tuhan. Kekuasaan yang akhirnya menjadi korup. Karena itu, muncullah pandangan tentangsparating of power (pemisahan kekuasaan). Dari sinilah, maka konsep trias politica Montesque itu lahir.


Legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai representasi kekuasaan dipisahkan satu sama lain, sehingga masing-masing bersifat independen. Dengan klaim, bahwa semuanya merupakan kekuasaan rakyat. Sehingga memunculkan klaim, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, ternyata semuanya itu hanyalah klaim kosong. Karena terbukti, rakyat tidak pernah memerintah. Demikian juga kebijakan pemerintah senyatanya juga tidak berpihak kepada rakyat.


Akibatnya, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pun terjun bebas. Padahal, pemilu diklaim sebagai medium rakyat dalam menentukan nasib mereka, melalui representasi pemerintahan yang mereka pilih. Menurunnya tingkat kepercayaan publik, dan minimnya partisipasi mereka dalam pemilu, ini selain karena tidak adanya bukti yang sahih, bahwa pemilu ini bisa mengubah nasib mereka. Juga, karena baik partai maupun calon-calon pemimpin yang tampil sebagai representasi rakyat itu sudah jatuh di mata mereka, baik karena korupsi dan moral hazard yang lainnya.


Tak terkecuali dengan partai Islam, partai yang mengklaim Islam, atau berbasis massa Islam. Termasuk barisan politikus berlabel kyai, ustadz dan sebagainya. Meski demikian, dalam situasi dan kondisi seperti ini, masih saja ada yang mencoba peruntungan. Siapa tahu, bernasib baik. Namun, disadari atau tidak, sistem demokrasi, parlemen dan habitatnya bukanlah tempat yang baik, bahkan berlumuran noda dan najis.


 Demokrasi dan Pemilu


Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Karena pemilu merupakan stempel demokrasi.


Sementara itu, sikap ideologis terhadap pemilu mengharuskan kita, pertama-tama harus memahami fakta pemilu itu sendiri, agar kita tahu hukum syara’ yang terkait dengan pemilu ini.


Sistem demokrasi berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.


Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi  dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.


Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu. Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.


Islam dan Pemilu


Adapun sistem yang dijadikan pedoman umat Islam karena telah diwajibkan kepada mereka oleh keimanan mereka kepada akidah Islam, sesungguhnya sistem tersebut berbeda dengan sistem demokrasi di atas,  baik dari aspek akidah Islam, maupun pilar yang menjadi pondasi tegaknya sistem dan rinciannya.


Pilar terpenting yang menjadi pondasi sistem pemerintahan Islam adalah kedaulatan di tangan syara’. Pilar ini dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalâlah.  Sebagaimana firman Allah:


إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ


“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Q.s. Yûsuf [12]: 40)


Keputusan di sini maknanya adalah tasyrî’ (legislasi), yaitu perintah, larangan dan kemubahan. Bukan dalam konteks kekuasaan dan pelaksanaan politik.


Allah juga berfirman:


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُوْنَ


 “Siapa saja yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir.” (Q.s. al-Mâidah [5]: 44)


وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ


“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.s. an-Nahl [16]: 116)


Masih banyak ayat yang lain. Semuanya menunjukkan makna yang sama. Dengan begitu di dalam sistem Islam tidak ada yang namanya kekuasaan legislatif, sebagaimana dalam sistem demokrasi yang sedang diterapkan (secara formal) di sebagian besar dunia Islam.  Tetapi sumber legislasi dalam sistem Islam adalah nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, dan penggalian (istinbath)-nya yang dilakukan oleh para mujtahid.


Hak mengadopsi hukum yang bersifat ijtihadi yang di dalamnya para mujtahid berbeda pendapat adalah wewenang kepala negara yang dipilih oleh umat sebagai wakil mereka dalam menerapkan sistem Islam dan mengurusi urusan mereka. Kepala negara berpijak kepada ijtihad yang dipandang paling kuat dalilnya, yang dituntut oleh kewajiban mengurus urusan umat.


Ini berdasarkan firman Allah:


أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ


“Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri dari kalian.” (Q.s. an-Nisâ [4]: 59)


Berdasarkan hal itu, dalam sistem Islam, majelis umat yang mewakili rakyat, tidak memiliki apa yang disebut kekuasaan legislatif. Karena kedaulatan dalam Negara Khilafah ada di tangan syara’. Kepala negara, Khalifah, adalah pihak yang diberi wewenang untuk mengadopsi hukum syara’ dan undang-undang yang bersifat administratif yang menjadi tuntutan dalam mengurus urusan rakyat.


Hanya saja tidak berarti, bahwa dalam sistem Islam tidak ada pemilu. Pilar kedua yang menjadi pondasi tegaknya sistem pemerintahan Islam adalah kekuasaan milik umat. Pilar ini menegaskan, bahwa umat merupakan pemilik hak dalam memilih kepala negara yang akan mengurusi urusan mereka. Tidak boleh seorang pun menjadi kepala negara, kecuali dengan mendapatkan mandat dari umat melalui baiat yang sah secara syar’i.


Meski begitu, umat tetap bertanggung jawab menjalankan haknya dengan monitor, menasehati dan mengoreksi penguasa, setelah dia dibai’at, jika lalai atau bertindak buruk atau zalim. Wewenang yang dimiliki umat ini membutuhkan sarana, agar bisa diaktualisasikan. Ini tidak bisa diwujudkan, terlebih ketika umat sudah sedemikian tersebar luas dan jumlahnya terus bertambah, kecuali dengan pemilu.


Karena itu, pemilu ini sesungguhnya merupakan sarana praktis untuk memilih seseorang yang layak mendapatkan bai’at dari umat. Begitu pula pemilu ini merupakan sarana praktis untuk memilih para wakil umat yang mewakili mereka dalam mengoreksi penguasa, memonitor negara dan mengungkapkan tuntutan dan pengaduan umat. Para wakil umat itu adalah anggota Majelis Ummat (ahlul halli wal ‘aqdi). Mereka juga mungkin diberi wewenang untuk membatasi calon kepala negara, atau bahkan memilih kepala negara sendiri itu.


Atas dasar itu, maka perbedaan mendasar pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam adalah, bahwa pemilu dalam sistem demokrasi bertujuan untuk melaksanakan legislasi dan itu merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah SWT terhadap manusia. Sedangkan pemilu dalam sistem Islam adalah sebagai representasi, dimana umat memberikan kekuasaan (kepala negara) kepada orang yang mereka pilih untuk mengurusi urusan mereka, atau dengan pemilu itu umat mewakilkan kepada orang yang akan mewakilinya dalam mengoreksi dan menyampaikan pendapat.


Sedangkan pemilu legislatif di Indonesia, jauh dari keberadaannya sebagai pemilu legislatif sebagaimana dalam sistem demokrasi, meski secara teoritis sekalipun. Pemilu di Indonesia juga berjalan sesuai dengan konvensi dan perundang-undangan yang keberadaannya sangat jauh dari melaksanakan politik dalam pengertian yang sesungguhnya. Tidak ada program politik riil pada diri orang-orang yang bersaing untuk menduduki kursi parlemen. Setiap program politik yang ditawarkan oleh mereka yang saling bersaing hanyalah sketsa di atas kertas.


Watak mendasar di dalam pemilu Indonesia ini adalah persaingan antara berbagai kelompok yang membagi negeri di antara mereka dalam konteks pertarungan lokal, yang terkait dengan perannya dalam konstalasi politik global. Jika satu kelompok memperoleh mayoritas kursi, maka kutub lokal yang ada di belakangnya juga menjadi pemenang.  Sebaliknya jika kelompok lain yang menang, maka yang menang secara lokal adalah kutub-kutub yang ada di belakang kelompok lain itu. Pada dua kondisi tersebut, keputusan politik di Indonesia tetap tergadaikan pada kepentingan global tertentu.


Tidak ada kebijakan politik riil di dalam negeri Indonesia. Keputusan-keputusan politik yang ada sesungguhnya datang dari kekuatan transnasional. Dengan demikian pemilih yang pergi ke tempat pemungutan suara perannya tidak lebih hanya mengokohkan penguasaan salah satu keputusan politik yang datang dari luar tapal batas negerinya. Masing-masing dari dua kepentingan politik yang datang dari asing itu tidak peduli kepada pemilih, kemaslahatan, masalah utamanya atau masalah skundernya.


Pencalegan dan Pemilihan Caleg dalam Pandangan Syara’


Jika kita ingin menjelaskan hukum syara’ di dalam pemilu ini, baik pencalonan maupun pemilihan, bisa dijelaskan:


Karena pemilu adalah representasi dari pemilih kepada calon, sementara representasi dalam Islam adalah hal yang mubah, selama merupakan wakalah (representasi) dalam aktivitas yang disyariatkan. Karena wakil yang terpilih adalah wakil rakyat dalam mengekspresikan pendapat mereka dalam urusan politik, yaitu mengatur urusan rakyat.  Berdasarkan semuanya itu, maka pecalonan dan pemilihannya adalah mubah. Dengan syarat, calon-calon yang akan dipilih itu mempunyai program-program baku yang sesuai dengan syara’, dimana calon tersebut dipilih berdasarkan programnya, dan dia pun terikat dengannya setelah terpilih. Hal-hal baku itu adalah:


1. Tidak menyetujui konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia yang sedang diterapkan di Indonesia, kemudian berjuang untuk menggantinya dengan sistem Islam.


2. Tidak ikut serta dalam proses legislasi, karena menetapkan hukum bukanlah hak manusia. Karena kedaulatan dalam kehidupan kaum Muslim wajib dikembalikan kepada syara’.


3. Tidak ikut serta dalam memilih presiden, jika parlemen mempunyai hak memilih presiden, karena presiden yang terpilih memerintah dengan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah.


4. Hendaknya tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintahan manapun karena kekuasaan eksekutif mengimplementasikan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia. Karena presiden juga memerintah dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah.


5. Tidak terlibat dalam menyetujui APBN, karena APBN ini disusun berdasarkan asas yang lain, selain Islam, yaitu sistem Kapitalisme yang berlumuran riba dan transaksi finansial yang diharamkan oleh syara’. Lebih dari itu, APBN tersebut menjadikan negara tunduk pada organisasi ekonomi global, dan perusahaan Kapitalisme yang merampok kekayaan umat manusia.


6. Hendaknya tidak berpartisipasi dalam menyetujui perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh penguasa. Karena perjanjian-perjanjian itu ditetapkan berdasarkan konstitusional dan perundang-undangan yang menyalahi syariah. Disamping perjanjian-perjanjian itu pada kebanyakan kondisi memberikan jalan kepada negara-negara besar untuk menguasai umat. Padahal Allah berfirman:


وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً


“Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (Q.s. an-Nisâ’ [4]: 141)


7. Hendaknya calon terpilih mengoreksi kekuasaan eksekutif berdasarkan hukum-hukum syariah Islam, bukan berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia.  Karena Allah berfirman:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ


“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri dari kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 59)


8. Hendaknya tidak berkoalisi dalam aksi pemilihannya dengan calon-calon yang tidak berpegang kepada hukum-hukum Islam dalam program dan sikap politik mereka. Karena dengan koalisi itu artinya dia menyetujui jalan mereka dan menyeru pemilih untuk memilih mereka padahal Allah SWT berfirman:


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Mâidah [5]: 2)


Catatan kaki:


Jawaban diambil dari tulisan karya Hafidz Abdurrahman yang berjudul Menjadi Caleg dalam Sistem Demokrasi


#Tsaqofah    #Dakwah     #Syariah    #Tafsir    #Hadits    #Khilafah     #TanyaJawab    #Analisis #Ekonomi    #Nafsiyyah    #Muslimah    #KitabMutabannat    #Video    #PowerPoint     #Ramadhan #minang #minangtaatsyariah #minangbertauhid #bukittinggibertauhid #kotapadang #padang #sumbar #sumaterabarat #solok #kotasolok #solokselatan #padangpanjang #bukittinggi #pariaman #kotapariaman #payakumbuh #maninjau #agam #sawahlunto #dharmasraya #batusangkar #lubukbasung #lubukalung #minangkabau #Lenteraminang #Lenteraminang #adatbasandisyaraksyarakbasandikitabullah #katamutiara #muhammadsaw #islam #hijrah # #syarakid

Monday, December 5, 2022

BAGAIMANA MERUBAH NEGERI INI MENJADI KHILAFAH?

 *BAGAIMANA MERUBAH NEGERI INI MENJADI KHILAFAH?*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik


Saat penulis menulis artikel dengan judul 'BUKAN SIBUK COPRAS CAPRES, TAPI SIBUKLAH DENGAN DAKWAH ISLAM', ada seorang pembaca merespons, dengan mengajukan 4 (empat) pertanyaan, sebagai berikut:


*Pertama,* Bagaimana untuk merubah Negerii ini dengan Sistem Khilafah (maksudnya mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam)?


*Kedua,* Kalau pakai Sistem Khilafah...berarti Tidak ada Legislatif, Yudikatif, maupun Eksekutif. Berarti tidak ada Pemilihan PRESIDEN ..maupun Anggota DPR maupun MPR. Lalu..bagaimana mengatur Sendi sendi Segala Aturan Prikehidupan Rakyat Berbangsa dan Bernegara?


*Ketiga,* Dan Siapa yang akan menjadi KHOLIFAH nya..?


*Keempat,* Apakah Setiap Negara Punya Kholifah..? atau Seluruh Dunia hanya punya 1 Kholifah....?


Untuk menjawabnya, baiklah penulis akan merincinya satu per satu, dengan penjelasan sebagai berikut:


1. Realitas negeri ini dan negeri kaum muslimin lainnya, sama dengan Mekah saat Rasulullah SAW berdakwah untuk pertama kalinya. Yakni negeri yang menerapkan sistem kufur, yaitu sistem  yang bertentangan dengan Islam.


Negeri ini menerapkan Demokrasi, yang meletakkan kedaulatan ditangan rakyat. Halal dan haram, terpuji dan tercela, baik dan buruk, semua dikembalikan pada suara rakyat. Kalau mayoritas rakyat menghendaki judi, riba, zina, miras, maka Negara mengikuti kehendak rakyat dengan menghalalkan judi, riba, zina dan miras.


Sementara, Allah SWT telah menetapkan standar halal dan haram berdasarkan wahyu, yakni berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah. Saat al Qur'an dan as Sunnah mengharamkan judi, riba, zina dan miras, maka Negara juga wajib mengharamkannya.


Islam adalah pemikiran (al-fikrah) dan metode (ath-tharîqah). Pemikiran dan metode semuanya dari Allah SWT. Kita wajib terikat dan mengikuti apa saja yang dituntut oleh syariah. Karena itu kita tidak boleh mengubah bentuk sistem pemerintahan dalam Islam, yaitu Khilafah, sebagai tharîqah (metode) dalam menegakkan syariah Islam secara kâffah. 


Sebabnya, banyak ayat dan hadis yang menjelaskan kewajiban menegakkan Khilafah. Kita wajib mengambil semuanya. Jika ada yang tidak diambil, kita akan diazab secara keras oleh Allah SWT di akhirat kelak  (Lihat: QS al-Baqarah [2] : 85).


Mendirikan Negara Islam atau Khilafah Islam merupakan kewajiban syariah. Upaya mengubah negeri ini -dan negeri kaum muslimin lainnya yang saat ini juga menerapkan sekulerisme, tidak lagi menerapkan Islam pasca Khilafah kaum muslimin terakhir diruntuhkan di Turki pada tahun 1924- Tentu harus diambil metode dari dalil yaitu yang diambil dari sunnah Nabi saw. 


Dalam mendirikan Negara Islam. Metode tersebut tercermin dalam tiga tahapan: 


(1) pengkaderan (at-tatsqîf); 

(2) interaksi dengan umat (at-tafâ’ul), termasuk di dalamnya adalah pencarian dukungan dan pertolongan (thalab an-nushrah); 

(3) penerimaan kekuasaan dari pemilik kekuasaan (istilâm al-hukmi). 


Sunnah Nabi saw menunjukkan atas tiga tahapan tersebut dalam mendirikan Negara Islam di Madinah. Dengan demikian kita wajib mengikuti metode yang tercermin dalam tiga tahapan.


Secara umum ada persamaan antara masyarakat kita dan masyarakat Makkah atau pra-Madinah dalam hal pemikiran, perasaan dan sistem kufur yang mendominasinya. Yang berbeda hanyalah keyakinan mayoritas individunya. Di masyarakat Makkah kebanyakan kaum musyrik. 


Adapun di masyarakat kita saat ini kebanyakan kaum Muslim. Karena itu yang kita lakukan adalah menyeru mereka untuk melanjutkan kehidupan Islam di dalam institusi Khilafah Islam sebagaimana dulu.


Dengan demikian kita wajib terikat dan konsisten dengan tiga tahapan di atas sebagaimana dicontohkan Nabi saw. saat berdakwah di Makkah. Karena itu, tidak boleh ada kekerasan fisik/bersenjata, misalnya, untuk menegakkan Khilafah. 


Ada yang mengatakan bahwa metode ini adalah hasil ijtihad, sama dengan hasil ijtihad lainnya. Setiap hasil ijtihad ada kemungkinan benar dan salah.


Karena itu mereka berpendapat kita harus membantu kelompok lain yang memiliki pengaruh politik seperti parpol yang saat ini ikut kontestasi Pemilu, dalam menerapkan hasil ijtihadnya agar kelompok-kelompok tersebut dapat berkuasa dan kemudian mendirikan Khilafah.


Untuk memperjelas sikap dan pilihan ijtihad di depan pernyataan dan harapan ini, penulis ingin menyampaikan hal-hal berikut ini:


Benar, metode ini adalah hasil ijtihad dan diambil dari Sunnah Nabi saw. Benar, setiap hasil ijtihad ada kemungkinan benar dan salah, tidak terkecuali metode dalam mendirikan Khilafah. Namun, harus disadari bahwa hukum syariah bagi setiap individu dan jamaah tidak berubah dan tidak berbilang. 


Karena itu kita harus berpegang teguh pada pemahamannya tentang metode mendirikan Negara Islam. Tidak boleh bagi kita untuk mengambil metode lain sekalipun metode itu hasil dari istinbâth (penggalian hukum) yang shahih. 


Meninggalkan metodenya meski kemudian kembali lagi, adalah sama dengan meninggalkan hukum syariah. Ini tidak boleh.


Di sini penulis harus menyebutkan bahwa setiap metode harus dikaitkan dengan metode hasil ijtihad yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Sungguh jelas bagi kami selama pengkajian kami atas beberapa kelompok dan partai Islam bahwa mereka salah dalam memahami arti metode. 


Inilah sebabnya mengapa mereka mengubah metode sepenuhnya begitu mereka menghadapi masalah kecil, lalu beralih ke metode dan pendekatan lain. Mereka selalu mengalami kegagalan demi kegagalan, dan akhirnya meninggalkan Islam dan beralih semata untuk orientasi kekuasaan.


Masalah metode yang merupakan bagian dari hukum syariah sudah menjadi masalah yang tidak ada dalam pikiran dan pemahaman mereka. Akibatnya, mereka dengan mudah mengubah metodenya. 


Alasannya, mereka melakukan itu sesuai kemaslahatan umum, apalagi maslahat merupakan salah satu di antara hukum syariah. Padahal menjadikan maslahat sebagai dalil adalah cara berdalil yang salah. Ini bisa menjadi alasan untuk memberi topeng syariah atas perkara-perkara haram. Sungguh ini tidak boleh.


Sungguh, tidak ada maslahat yang lebih besar dan lebih agung daripada penerapan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah masyarakat. Sebabnya, hanya ini yang menyelamatkan kaum Muslim dari kekufuran, kezaliman dan kefasikan.


Oleh karena itu, metode yang tidak berasal dari dalil-dalil yang rinci dan tidak melalui ijtihad yang sahih, juga yang berdasarkan pada cara pengambilan dalil yang salah, tidak dianggap sebagai metode Islam menurut kami, juga bukan metode hasil ijtihad. Itu merupakan metode yang didasarkan pada hawa nafsu, yang tidak ada kebenaran dan keabsahan di dalamnya


Kami percaya soal penerapan dan realitanya bahwa metode yang diadopsi  dari Sunnah Nabi saw. Ketiga tahapan tersebut adalah satu-satunya metode yang digali dari Sunnah Nabi saw. dalam mendirikan negara. 


Dengan demikian tidak mungkin ada ijtihad terkait metode yang tidak sejalan dengan metode yang sudah kami jelaskan. Akan tetapi, harus kami katakan bahwa ketika kami menolak pandangan kelompok dan partai Islam lainnya terkait metode mereka dalam mendirikan Negara Islam, tidak berarti—seperti yang diduga oleh mereka yang berpikiran cekak—bahwa kami sama sekali menolak kelompok-kelompok ini. 


Yang jelas kami menganggap para anggotanya sebagai saudara kami dalam Islam. Namun, kami melihat mereka telah melakukan kesalahan besar, yang menjauhkan mereka dari pemahaman syariah yang sahih terkait metode perjuangannya. 


Oleh karena itu, kami mengharuskan diri kami, sebagai saudaranya dalam Islam, untuk beramar makruf kepada mereka sebagai kewajiban syar’i. Pasalnya, Allah SWT telah menjadikan amar makruf sebagai kewajiban yang harus dijalankan semua kaum Muslim (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104). 


Oleh karena itu, amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban atas kaum Muslim. Kami sebagai bagian dari umat Islam, memerintahkan para penguasa, kelompok Islam dan kaum Muslim secara umum untuk berbuat kebaikan sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban syariah Islam.


Jika Khilafah Islam telah didirikan oleh salah satu kelompok Islam yang manapun, semua kaum Muslim harus berbaiat kepada Khalifah. Kami sebagai salah satu bagian dari umat Islam melihat bahwa baiat kepada Khalifah dan membela Khalifah merupakan kewajiban syariah. 


*Metode Mengubah Masyarakat*


Tidak mungkin mendirikan Negara Islam yang tahan lama dan berkelanjutan tanpa adanya perubahan radikal dan mengakar dalam masyarakat. Satu hal yang harus diperhatikan, metode mendirikan Negara Islam itu harus sejalan dengan metode mengubah masyarakat. Pasalnya, masyarakat itu akan menjadi masyarakat Islam saat pemikiran (al-afkâr) dan perasaan (al-masyâ’ir) mayoritas kaum Muslim bersifat islami serta di tengah-tengah mereka diterapkan sistem (an-nizhâm) Islam. 


Dalil dalam hal ini adalah dalil ‘aqli (rasional) karena ini menghukumi sebuah realita. Masyarakat dihukumi berdasarkan warna pemikiran dan perasaan yang dominan, serta sistem yang diterapkan. Jika Kapitalisme, yang terbentuk adalah masyarakat kapitalis. 


Jika Sosialisme, yang terbentuk adalah masyarakat sosialis. Jika Islam, yang terbentuk adalah masyarakat Islam. Dengan demikian ini sama persis dengan aktivitas-aktivitas yang dituntut dalam mendirikan Negara Islam.


Aktivitas mendirikan Negara Islam yang sesuai dengan metode Nabi saw. menuntut: pembentukan opini umum (ar-ra’yu al-‘âm) tentang pemerintahan Islam yang berasal dari kesadaran umum (ar-wa’yu al-‘âm) akan penting dan wajibnya mendirikan Pemerintahan Islam serta pendirian pemerintahan Islam melalui an-nushrah, yaitu dukungan dan pertolongan. 


Semua ini sesuai dengan aktivitas mengubah masyarakat. Ini adalah rasional.


Aktivitas mendirikan Negara Islam adalah syar’i (bersumber dari dalil syariah). Ini memberikan kekuatan untuk perubahan karena adanya kesesuaian antara apa yang syar’i dan yang ‘aqli (rasional). 


Hal ini akan menghantarkan pada perubahan yang hakiki serta memberikan kepercayaan lebih besar pada perubahan Islam.


Sungguh, kesesuaian ini semakin menguat ketika Negara Islam memperluas wilayahnya hingga mencakup berbagai masyarakat yang berbeda pada saat suatu masyarakat memeluk Islam dan berada dalam kekuasaannya. 


Lalu Negara Islam menjadikan masyarakat itu menerima pemikiran Islam dan tunduk pada sistem Islam karena pemikiran dan sistem ini bersifat global.


2. Adanya lembaga DPR, PRESIDEN dan PERADILAN yang harus dipisahkan adalah paham atau ajaran kekuasaan yang berasal dari Montesqueue, yang berpandangan kekuasaan harus dipisahkan (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Ajaran ini tidak pernah dikenal dalam Islam.


Dalam Islam, Khilafah adalah lembaga kekuasaan yang meliputi kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif sekaligus. Hanya Khalifah yang punya wewenang mengadopsi hukum dan perundangan. Adapun peradilan, nantinya didelegasikan melalui lembaga al Qadla (peradilan), baik Qadly Hisbah, Qadly Madzalim maupuj Qadly Khushumat.


Lembaga seperti DPR dan MPR tidak dibutuhkan dalam Islam, namun nanti dibentuk lembaga Majelis Umat yang fungsinya untuk mengontrol atau memberikan masukan kepada Khalifah. Anggota Lembaga Majelis Umat ini dipilih oleh rakyat.


Untuk mengatur sendi-sendi prikehidupan bernegara, maka Khalifah akan menggunakan al Qur'an dan as Sunnah sebagai sumber hukum, lalu berijtihad untuk mengadopsi hukum dan perundangan berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Khalifah akan dibantu para Ulama untuk mengadopsi hukum dan perundangan, tidak lagi dibutuhkan lembaga DPR untuk membuat UU.


3. Yang akan menjadi Khalifah adalah orang yang dipilih dan diridloi oleh Umat Islam, dan yang memenuhi syarat, yaitu : Muslim, laki laki, berakal, adil, dewasa (baligh), merdeka, dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas kekhilafahan. Inilah, 7 syarat akad untuk menjadi seorang Khalifah.


Mengenai siapa orangnya, penulis menyampaikan nama Syaikh Atho' Abu Rusytoh sebagai calon Khalifah. Beliau menuhi 7 syarat dimaksud, dan beliau adalah amir (pimpinan) dari jama'ah Hizbut Tahrir.


4. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin. Hanya ada satu Khilafah dan seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslimin. Khilafah adalah global state, bukan nation state.


Saat Khilafah tegak di suatu negeri (misalnya di Indonesia), maka Khilafah akan menyatukan seluruh negeri kaum muslimin dibawah satu panji kekhilafahan Islam. Jadi, kelak kaum muslimin bersatu dibawah panji Khilafah dan dipimpin oleh seorang Khalifah. [].


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/12/bagaimana-merubah-negeri-ini-menjadi.html?m=1


#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhikafah

#khilafahajaranislam

Sunday, December 4, 2022

Politik artinya

 Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri (Khalifah) mengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib). Dengan kata lain politik Islam adalah ri'ayah syu'un al-ummah dakhiliy[an] wa kharijiy[an] bi al-ahkam al-islamiyyah (mengurusi urusan ummat di dalam negeri dan luar negeri dengan hukum-hukum Islam. 


Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.[3] Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya dan menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim).


Dari definisi ini jelaslah bahwa politik (siyasah) dalam Islam adalah ri'ayah syu'un al-ummah (mengurusi urusan umat), bukan seperti :  "Politik dalam DEMOKRASI yang BERORIENTASI pada KEKUASAAN dengan MENGABAIKAN aturan-aturan AL-KHALIQ." 


Aktivitas politik dalam DEMOKRASI yang MENGHALALKAN segala CARA, menerapkan dan membuat hukum-hukum buatan MANUSIA serta mengeliminasi hukum-hukum ALLAH, merupakan kemaksiatan. Sebaliknya, aktivitas POLITIK dalam ISLAM yang bertujuan untuk menegakkan hukum-hukum ALLAH dan menjadikan ISLAM sebagai RAHMATAN LIL 'ALAMIN merupakan KEWAJIBAN.

JANGAN KAU TELAN MENTAH-MENTAH DAWUH MASYAYIKH

 *JANGAN KAU TELAN MENTAH-MENTAH DAWUH MASYAYIKH*


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/04/jangan-kau-telan-mentah-mentah-dawuh.html?m=1


*Tidak Ada Masyayikh Yang Saya Lecehkan Atau Saya Bullying. Ambil Saja Ibrohnya Dengan Barbaik Sangka*


*Bismillaahir Rohmaanir Rohiim*


Betapa sayangnya masyayikh kepada santrinya. Tetapi ada saja oknum masyayikh yang tega menjual dan mengorbankan santrinya dengan receh dunia yang rendah dari rempah-rempah demokrasi, yaitu ketika musim pemilu tiba atau ketika dana datang dari lembaga berkepentingan. Karenanya, jangan telan mentah-mentah dawuh masyayikh. Timbang dulu dengan timbangan syariah Islam kaffah yang telah kita kaji dan pahami dari kitab-kitab kurikulum pesantren, dari Fathul Qarib, Fathul Mu'in sampai Fathul Wahhab dan lainnya. 


Apalagi ketika dawuh (perkataan) masyayikh itu memiliki makna manthuq (tekstual) dan makna mafhum (kontektual) yang ketika diambil lalu dilakukan tidak termasuk maksiat kepada Allah dan RasulNya, maka siapapun dari santrinya boleh beraktifitas sesuai makna yang dipahaminya, baik secara mafhum maupun manthuqnya, tentu ketika tidak ada maksiat kepada Allah dan RasulNya SAW. Dan diantara dua golongan santri yang berbeda aktifitasnya karena berbeda pemahamannya, tidak boleh saling menyalahkan dan menstigma yang lainnya "tidak nurut dawuh masyayikh". Karena di masa Nabi SAW, para sahabat pun pernah mengalami kondisi seperti ini. 


عن عائشةَ رَضيَ اللهُ عنها, قالت : «لمَّا رجَعَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن الخَنْدقِ وضَعَ السِّلاحَ، فاغتَسَلَ، فأتاهُ جِبريلُ وهو يَنفُضُ رَأسَه مِن الغُبارِ، فقال: وضَعْتَ السِّلاحَ؟ واللهِ ما وضَعْناهُ، اخْرُجْ إليهم، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فأينَ؟ فأشار إلى بَني قُرَيظةَ» رواه البخاري و مسلم


Dari Aisyah ra berkata; "Ketika Rasulullah SAW baru datang dari perang Khondaq, beliau meletakkan senjata, lalu mandi. Tiba-tiba Jibril datang dengan mengibaskan rambut kepalanya dari debu seraya berkata; "Engkau meletakkan senjata? Demi Allah, kami belum meletakkan senjata. Keluarlah kepada mereka!". Rasulullah saw bersabda; "Kemana?". Lalu Jibril menunjuk ke arah Bani Quraidhah". (HR. Bukhari dan Muslim). 


عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال; 

 قَالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَومَ الأحْزَابِ: لا يُصَلِّيَنَّ أحَدٌ العَصْرَ إلَّا في بَنِي قُرَيْظَةَ. فأدْرَكَ بَعْضُهُمُ العَصْرَ في الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لا نُصَلِّي حتَّى نَأْتِيَهَا، وقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذلكَ، فَذُكِرَ ذلكَ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَمْ يُعَنِّفْ واحِدًا منهمْ. رواه البخاري و مسلم 


Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata; "Pada perang Ahzab Rasulullah saw bersabda; "Janganlah seseorang menunaikan shalat ashar, kecuali di Bani Quraidhah". Lalu sebagian sahabat bertemu waktu ashar di jalan dan berkata; "Kami tidak akan shalat (ashar) sampai datang ke Bani Quraidhah". Sebagian sahabat lainnya berkata; "Tetapi kami akan shalat. Nabi tidak menghendaki itu (shalat di Bani Quraidhah). Lalu hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw. Lalu beliau Nabi tidak mencerce seorangpun dari sahabat". (HR. Bukhari dan Muslim). 


Pada hadits di atas, Nabi saw menyuruh sahabat berjalan cepat menuju Bani Quraizhoh dan melarang menunaikan shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah. Setelah mereka berjalan dan sebelum sampai ke Bani Quraizhoh, masuklah waktu shalat ashar. Sebagian mereka berkata, bahwa mereka tidak akan menunaikan shalat ashar meskipun sudah masuk waktunya kecuali di Bani Quraizhoh, karena mengamalkan zhahir (teks) lafafz sabda Nabi saw. Sebab bagi mereka berhenti untuk shalat itu melanggar perintah berjalan cepat. Mereka mentakhshish keumuman perintah shalat di awal waktu itu ketika tidak ada uzur. Sedang perintah Rasulullah saw harus dilaksanakan meskipun mereka tidak mendapat fadilah shalat di awal waktu, karena berpegang pada manthuq (tekstual) sabda Rasulullah saw. 


Sedang sebagian sahabat justru menunaikan shalat ashar di jalan karena memandang makna mafhum (konteks) perintah Nabi saw, bukan zhahir (teks) lafadznya. Mereka berkata, "Nabi tidak menghendaki itu (shalat di Bani Quraizhoh) dari kami". Yakni bahwa wasiat Nabi dengannya, hanya supaya mereka berjalan lebih cepat. Maka ketika masuk waktu ashar dan mereka mengerti dengan yang dikehendaki Rasulullah SAW, maka mereka ingin meraih fadhilah shalat di awal waktu, lalu berjalan cepat menuju Bani Quraidhah melaksanakan perintah Rasulullah saw agar segera sampai di sana. 


Kemudian peristiwa yang telah terjadi diantara dua kelompok sahabat itu dilaporkan kepada Rasulullah saw. Dan beliau tidak ingkar terhadap seorangpun dari mereka. Tidak ingkar kepada mereka yang meninggalkan shalat di jalan di awal waktu, juga tidak ingkar kepada mereka yang shalat di jalan karena memahami bahwa perintah itu hanyalah kinayah dari berjalan cepat. Ini adalah iqrar (ketetapan) dari Nabi SAW atas perbuatan sahabat, dan iqrarnya adalah sunnah. 


***


Juga saya menemukan kisah menarik beredar di dunia maya begini ;


"Ketika sakit menjelang wafatnya, seorang ayah berpesan pada kedua anaknya ; Ingat dua hal ini ya; 


Pertama, *jangan pernah kamu menagih piutang.* 

Kedua,  *jangan pernah tubuhmu terkena terik matahari secara langsung.* 


Lima tahun berlalu setelah sang ayah wafat, sang ibu datang menengok anak sulungnya yang menyedihkan seraya berkata :


“Wahai anak sulungku kenapa kondisi bisnismu demikian?”


Si Sulung menjawab : 

“Saya mengikuti pesan ayah bu…

Ayah bilang, saya dilarang menagih piutang kepada siapapun sehingga banyak piutang yang tidak dibayar dan lama-lama habislah modal saya..

Terus ayah melarang saya terkena sinar matahari secara langsung dan saya hanya punya sepeda motor. Itulah sebabnya pergi dan pulang kantor saya selalu naik taxi, beginilah akhirnya".


Sang ibu merenung... 

Kemudian sang ibu pergi ke tempat si bungsu. Ternyata si bungsu sekarang menjadi orang sukses. 


Sang ibu pun bertanya : “Wahai anak bungsuku, hidupmu sedemikian beruntung, apa rahasianya?”.


Si bungsu menjawab : 

“Ini karena saya mengikuti pesan ayah bu..

Pesan yang pertama saya dilarang menagih piutang kepada siapapun. Oleh karena itu saya tidak pernah memberikan hutang kepada siapapun, tetapi saya beri sedekah sehingga modal saya menjadi berkah”.


Pesan kedua saya dilarang terkena sinar matahari secara langsung. Karena saya hanya punya motor, maka saya selalu berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam, sehingga para pelanggan tahu toko saya buka lebih pagi dan tutup lebih sore”. s e l e s a i


***


*Mengambil Pelajaran dari hadits dan kisah di atas :*


Demikian juga ketika Masyayikh NU berpesan kepada santrinya terkait banyaknya santri yang ganung dengan harokah dakwah syariah kaffah dan khilafah, Hizbut Tahrir ; "Kamu Jangan keluar dari NU", maka bisa diartikan begini, kamu jangan keluar dari syariah Islam yang menjadi pedoman NU dan karenanya NU berdiri, yaitu syariah yang telah digali dan ditabanni oleh empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad). Dan ternyata kewajiban berislam kaffah dan menegakkan khilafah itu telah disepakati oleh Empat Imam madzhab. Berarti ikut gabung dengan keharokah yang mendakwahkan syariah Islam kaffah dan khilafah itu tidak keluar dari madzhab empat imam, berarti juga tidak keluar dari NU. Dengan konteks ini, santri juga tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Karena berislam kaffah dan menegakkan khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT. 


Juga ketika Masyayikh berkata, "Kamu jangan keluar dari akidah NU", yakni akidah yang merujuk kepada rumusan akidah yang telah digali dan ditabanni oleh Syaikh Abul Hasan Al Asy'ari dan Syaikh Abu Manshur Al Maturidi, yang diklaim sebagai akidah Ahlussunnah Waljamaah (ASWAJA). Bukan akidah Asy'ariyyahnya dan bukan pula akidah Maturidiyyahnya. Khusus Akidah Ahlussunnah Waljamaah Imam Abul Hasan Asy'ari itu tertuang dalam tiga kitabnya; Al Ibanah, Alwajiz dan Maqolatul Islamiyyin. Dan rumusan aqidah di tiga kitab tersebut ternyata sama dengan yang telah disinggung oleh Syaikh Taqiyuddin Annabhani terutama dalam kitab Syakhshiyyahnya, yaitu menjalankan ayat-ayat Alqur'an dan hadits terkait shifat dan nama Allah apa adanya, tanpa takwil dan tanpa falsafah,  tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tanpa ta'thil (meniadakan sifat Allah, padahal Allah sendiri yang telah menyebutnya, seperti Allah punya wajah dan tangan). Meskipun ada perbedaan, tapi hanya dalam ungkapan saja, atau hanya jalannya yang berbeda, tapi makna dan tujuannya sama.  Yakni hanya perbedaan redaksional saja.


Jadi mengimani akidah Islam yang telah digali dan ditabanni oleh Syaikh Taqiyuddin Annabhani dab Hizbut Tahrir yang didirikannya itu tidak keluar dari akidah Imam Abul Hasan As'ari, bukan As'ariyyahnya. Berarti tidak keluar dari akidah NU.


Apalagi Hizbut Tahrir itu hanya mentabanni akidah Islam saja untuk menjadi asasnya dan untuk menjadi ikatan yang kokoh diantara anggota-anggotanya. Sedang selain akidah Islam, Hizbut Tahrir tidak membuat rumusannya dan tidak mentabanninya, semuanya diserahkan kepada masing-masing anggota yang datang dari berbagai organisasi dan berbagai jama'ah. Hanya saja Hizbut Tahrir telah membuat standar / patokannya, seperti dalil akidah itu harus qoth'i tsubut dan qoth'i dalalah dan seterusnya. Dan patokan akidah Hizbut Tahrir ternyata cocok dengan akidah Imam Abul Hasan Asy'ari dalam tiga kitabnya di atas. Siapapun bisa membaca dan menelitinya sendiri untuk membuktikan kebenaran bahkan kesalahan dari apa yang telah saya sampaikan. 


Dan apalagi Hizbut Tahrir juga tidak mentabanni rumusan fiqih ibadah. Ini bukan berarti menolak atau mengingkarinya, tapi terkait ibadah mahdhoh seperti fiqih shalat dan puasa dan seterusnya, Hizbut Tahrir menyerahkan sepenuhnya kepada semua anggotanya masing-masing yang berangkat dari berbagai organisasi islam yang ada, terserah mau pakai madzhab siapa dan kitab apa. Kecuali dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan dan terkait muamalah dengan unsur riba, maka Hizbut Tahrir telah mentabanni rukyat global dan pendapat terkuat. 


Ini adalah nasehat kepada para alumni pondok pesantren manapun, supaya mereka tidak menelan mentah-mentah dawuh (perkataan) masyayikhnya, supaya mereka tidak menjadi penghalang dakwah kepada penerapan syariah Islam kaffah melalui penegakkan khilafah. Dan supaya mereka tidak terjerumus menolak dan melecehkan ajaran dan hukum Islam yang mujmak 'alaih dimana bisa menyebabkan riddah / murtad. Na'udzu billahi min dzalik. 


Apalagi ketika dawuh masyayikhnya jelas-jelas mengajak kepada maksiat kepada Allah, seperti menolak dakwah berislam kaffah dan menegakkan khilafah, baik disadari atau tidak disadari, maka jelas pula, santri tidak boleh mengikutinya. Karena tidak ada ta'at kepada almakhluq dalam maksiat kepada Alkholiq. Ketika santri masih mengikutinya, maka kebangkrutan di akherat telah menanti, tanpa bisa ditolong oleh masyayikh, karena sudah sama-sama bangkrutnya. Karena masyayikh yang bisa menolong santrinya adalah masyayikh yang tida bangkrut. 


*Sekarang baca dan tadabburi ayat dan hadits berikut* :


1. Terkait kewajiban berislam kaffah. Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian".


2. Terkait mengikuti sunnah Alkhulafa Arrosyidin, yaitu sistem khilafah warisan Rasulullah SAW. Beliau bersabda :


أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى إِخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ. رواه أحمد وأبو داود والترميذي وابن ماجه عن العرباض بن سارية رضي الله عنه


"Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah SWT, mendengar dan taat (kepada khalifah / amirul mukminin), meskipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya. Karena sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih diberi hidup, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh (meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan) terhadap sunnahku dan sunnah Alkhulafa Arrosyidin Almahdiyyin (para khalifah yang cerdas dan mendapat petunjuk), gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Dan jauhilah segala perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap sesat itu di neraka". 

(HR Imam Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Irbadl bin Sariyah ra.).


3. Terkait ta'at. Rasulullah SAW bersabda :


 إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ


“Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada kebaikan saja”. 

(HR Muslim, Bukhari, dan Abu Dawud).


Dan bersabda :


لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ


 “Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam berbuat maksiat kepada Al Khaliq (Allah)”. (HR Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf VI/545 nomor 33717; Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf II/383 nomor 3788).


4. Terkait masyayikh yang bangkrut tidak bisa menolong santrinya. Allah SWT berfirman :


اِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا وَرَاَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْاَسْبَابُ 


"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus. (QS. Al-Baqarah: 166).


وَقَالَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا لَوْ اَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّاَ مِنْهُمْ ۗ كَمَا تَبَرَّءُوْا مِنَّا ۗ كَذٰلِكَ يُرِيْهِمُ اللّٰهُ اَعْمَالَهُمْ حَسَرٰتٍ عَلَيْهِمْ ۗ وَمَا هُمْ بِخٰرِجِيْنَ مِنَ النَّارِ ࣖ ﴿البقرة : ۱۶۷﴾


"Dan orang-orang yang mengikuti berkata, “Sekiranya kami mendapat kesempatan (kembali ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka, sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal per-buatan mereka yang menjadi penyesalan mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka. (QS. Al-Baqarah: 167).


Bisa saja seorang santri berkata, sebab turunnya ayat itu kan untuk orang-orang kafir. Karena pada akhir ayat Allah juga berfirman, "Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka". 

Maka jawabnya, 


العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب


"Pelajaran itu dengan keumuman katanya, bukan dengan kekhususan sebabnya".


Pelajarannya juga para pengikut yang bangkrut sangat kecewa dan menuntut kepada para pemuka yang diikutinya. Tapi apa daya para pemukanya juga sedang mengalami hal yang sama. Jangankan bisa menolong para pengikutnya, menolong dirinya sendiri saja tidak bisa. Kondisi dan pelajaran ini umum. Sedang terkait bisa keluar dari neraka atau tidak bisa keluar itu masalah lain. Tertanggung kondisi matinya, membawa iman atau tidak. 


5. Terkait kewajiban menegakkan khilafah, cukup satu pernyataan saja; 


Dr. Mahmud al-Khalidi rh berkata:


اتفق المسلمون جميعا على وجوب الإمامة. وأن نصب خليفة يتولى رعاية شؤون المسلمين فرض، ليقيم الحدود، ويرفع راية الجهاد، ويحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وأن يقوم بتطبيق الأحكام، ويصدر القوانين والدستور، ولم يخالف في ذلك أحد يعتد برأيه. فجميع أهل السنة، وجميع الشيعة، والخوارج ما عدا النجدات، والمعتزلة ما عدا الأصم وهشام القوطي، يرون أنه لا بد للناس من إمام، وأن نصبه واجب. {قواعد نظام الحكم في الإسلام، ص 237.}


“Semua kaum muslim telah sepakat atas kewajiban imamah (khilafah), dan bahwa mengangkat seorang khalifah yang mengatur urusan kaum muslim adalah fardhu, untuk menegakkan hudud, mengangkat bendera jihad, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, melaksanakan penerapan hukum-hukum syariat, dan membuat UUD dan undang-undang yang lain, dan tidak ada seorangpun yang pendapatnya diperhitungkan yang manyalahi hal itu. Maka semua Ahlussunnah, semua Syiah, Khawarij selain sekte Najdah, Muktazilah selain al-’Asham dan Hisyam al-Quthi, mereka semua berpendapat bahwa manusia harus memiliki seorang imam, dan bahwa mengangkat imam adalah wajib”.


*Terakhir* :


Sealim-alimnya, semakrifat-makrifatnya, masyayikh itu manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, kekeliruan dan dosa, bukan nabi dan rosul yang makshum, apalagi malaikat yang ketaatannya mutlak. Ketika masyayikh benar, maka kita ikuti dan taati. Tetapi ketika masyayikh salah, keliru dan dosa, maka kita ingatkan dan kita tolong. Sedang tidak taat dan tidak mengikuti ketika mereka salah, keliru dan dosa, adalah bagian dari menolongnya, bukan meremehkannya apalagi menghinanya. Pepatah juga mengatakan, "bahwa setannya orang alim itu lebih alim". Bisa saja masyayikh itu sedang berada dalam jaring jebakan orang-orang jahat yang berkepentingan merusak Islam dan kaum muslimin dan sangat membutuhkan bantuan dari para santrinya. Namun demikian, tetap kita ihtirom dan ta'zhim kepada masyayikh. Sekian. Semoga manfaat. Aamiin.

Saturday, December 3, 2022

TAK KENAL LELAH MENCARI “NUSHRAH”

 TAK KENAL LELAH MENCARI “NUSHRAH”

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman


Setelah Rasulullah saw. mengalami ujian yang luar biasa beratnya di Thaif, sebagaimana yang disampaikan Nabi kepada ‘Aisyah, ketika dakwahnya mendapatkan kemenangan, dan telah memiliki negara. 


Tanya ‘Aisyah, “Apakah ada suatu yang lebih berat bagimu, ya Rasulullah, melebihi peristiwa Perang Uhud?” Nabi saw. pun menjawab, “Aku benar-benar telah mendapatkan dari kaummu, apa yang telah aku alami. Itu lebih berat, ketimbang apa yang pernah aku alami.. Ketika aku menawarkan diriku kepada putra Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal, salah seorang pemuka Thaif, namun tidak mau memenuhi apa yang aku inginkan. Aku pun pergi meninggalkannya dengan raut wajah penuh kesedihan. Aku pun merasakan kesedihan hingga sampai di Qarn at-Ta’alib [Qarnu al-Manazil].” [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz VI/312-315]


Setelah mendapatkan bisyarah dari langit, saat di Wadi Nakhlah, ketika Allah mengirim Malaikat Jibril dan Malaikat penunggu gunung untuk membalas perlakuan Bani Tsaqif di Thaif, dan jin-jin yang berdatangan mendengarkan bacaan Nabi saw. saat di lembah itu, Nabi saw. akhirnya kembali ke Makkah dengan perlindungan dari Muth’im bin ‘Adi. Peristiwa Thaif tidak menyurutkan nyali Nabi saw. untuk terus berusaha mencari dukungan [nushrah] dari suku dan kabilah lain. 


Imam az-Zuhri, menuturkan, bahwa kabilah dan suku yang pernah didatangi oleh Rasulullah saw. untuk didakwahi, diajak memeluk Islam dan memberikan “nushrah” untuk menolong dakwahnya adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Muharib bin Khashfah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani ‘Abas, Bani Nashr, Bani Buka’, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani ‘Udzrah, Bani Hadharimah, namun tak seorang pun dari mereka yang bersedia memenuhi seruannya [Lihat, Syaikh ‘Abdullah an-Najadi, Mukhtashar Sirah ar-Rasul, hal. 149]. 


Hanya saja, kabilah dan suku yang disebutkan oleh az-Zuhri ini tidak semuanya didatangi oleh Nabi saw. pada satu tahun yang sama. Juga tidak pada satu musim haji yang sama, melainkan sudah didatangi sejak tahun 4 kenabian, hingga akhir musim haji, sebelum hijrah ke Madinah. Memang, ada kabilah-kabilah tersebut yang bisa dipastikan telah didatangi oleh Nabi saw. pada tahun 10 kenabian, sebagaimana yang disebutkan oleh al-‘Allamah al-Manshur Fauri [Lihat, Rahmatu li al-‘Alamin, Juz I/74; an-Najib Abadi, Tarikh Islam, Juz I/125].


Mengenai respon berbagai suku dan kabilah yang pernah didatangi oleh Nabi saw. itu telah diuraikan oleh Ibn Ishaq, secara singkat, sebagai berikut: 


1- Bani Kalb, misalnya, telah didatangi Nabi saw. Salah satu suku yang didatangi adalah Bani ‘Abdullah. Mereka diajak Nabi saw. agar mengimani Allah, dan baginda saw. menawarkan dirinya kepada mereka. Sampai Nabi saw. harus menyampaikan kepada mereka, “Wahai Bani ‘Abdullah, sesungguhnya Allah SWT telah memilih nama terbaik untuk orang tua kalian. Namun, mereka tetap tidak menerima apa yang baginda saw. sampaikan kepada mereka.”


2- Bani Hanifah telah didatangi oleh Nabi saw. di rumah-rumah mereka. Mereka telah diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka, tetapi mereka tidak memenuhi seruannya. Bahkan, tak ada satu pun bangsa Arab yang lebih buruk penolakannya kepada Nabi saw. melebihi penolakan mereka. 


3- Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah juga telah didatangi oleh Nabi saw. Mereka telah diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka. Buhairah bin Firas, salah seorang tokoh  mereka, menyatakan kepada Nabi saw, “Demi Allah, kalau sampai aku mengambil pemuda Quraisy ini, maka dengannya, aku akan menguasai bangsa Arab.” Lalu, dia bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika kami membai’at kamu dalam urusanmu, kemudian Allah memenangkan kamu terhadap siapa saja yang menentangmu, apakah kami berhak untuk mendapatkan urusan ini setelahmu?” Nabi saw. menjawab, “Urusan ini urusan Allah. Dia akan memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki."


Buhairah kemudian menimpalinya, "Bagaimana nalarnya, kami menyerahkan leher kami untuk disembelih bangsa Arab dalam rangka membelamu, lalu ketika Allah memenangkan kamu, kemudian urusan ini tidak menjadi milik kami? Kalau begitu, kami tidak membutuhkan urusanmu.” Mereka pun menolaknya, dan mengusir baginda saw.  


4- Bani Kindah, didatangi oleh Nabi saw. di rumah-rumah mereka. Di antara mereka ada pemuka suku, yang bernama Malih. Mereka diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka. Namun, sayang mereka tidak mau menerima ajakan Nabi saw. Dalam riwayat lain, Nabi bertanya, “Dari manakah kaum itu?” Mereka menjawab, “Dari penduduk Yaman.” Nabi saw. bertanya, “Yaman mana?” Mereka menjawab, “Dari Kindah.” Nabi saw. bertanya lagi, “Dari Kindah yang mana?” Mereka menjawab, “Dari Bani ‘Amir bin Mu’awiyah.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kalian memiliki sesuatu [untuk mewujudkan] kebaikan?” Mereka bertanya, “Apa itu?” Nabi saw. menjawab, “Kalian bersaksi, bahwa tidak ada Dzat yang berhak disembah, kecuali Allah. Mendirikan shalat, dan mengimani apa yang dibawa dari Allah SWT.” 


Ada juga para syaikh kaumnya, yang bertanya kepada Nabi saw, “Jika kamu menang, apakah Engkau akan menjadikan kekuasaan itu menjadi milik kami?” Nabi saw. menjawab, “Sesungguhnya kekuasaan itu milik Allah, Dia akan berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” Mereka mengatakan, “Kalau begitu, kami tidak membutuhkan apa yang Engkau bawa kepada kami.” 


Nabi saw. juga mendatangi Bani Hamdan, saat musim haji, ketika mereka di Arafah, tempat wukuf. Nabi saw. sampaikan kepada mereka, “Apakah ada di antara kalian yang bisa membawaku kepada kaumnya? Karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku ‘Azza wa Jalla.” Maka, seseorang dari Bani Hamdan mendatangi baginda saw. Baginda saw. bertanya, “Dari manakah kamu?” Orang itu menjawab, “Dari Hamdan.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kaummu mempunyai kekuatan [untuk melindungi dakwah]?” Dia menjawab, “Tentu.” Tapi, orang ini khawatir, baginda saw. akan disepelekan oleh kaumnya. Nabi saw. pun bersabda kepadanya, “Aku akan mendatangi mereka tahun depan. Aku akan mendatangimu tahun depan.” Dia menjawab, “Baik.” 


Dia pun meninggalkan Nabi saw. Pada bulan Rajab, delegasi kaum Anshar pun tiba. Ini telah diriwayatkan oleh empat pemilik kitab Sunan, dari berbagai jalur. At-Tirmidzi berkomentar, “Hadits ini statusnya hasan shahih.” [Lihat, Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz I/430]


Pendek kata, nushrah yang diharapkan oleh Nabi saw. saat itu belum kunjung tiba. Justru sebaliknya, apa yang dialami oleh Nabi saw. menggambarkan sebaliknya. Tetapi, Nabi saw. tidak pernah putus asa. Bahkan, ketika Nabi saw. mendatangi suku dan kabilah yang datang haji, di Arafah, saat mereka wukuf, selalu dikuntit oleh Abu Lahab. Apa yang disampaikan oleh Nabi kepada mereka selalu dimentahkan dan diserang balik. 


Semua peristiwa itu disaksikan oleh ‘Ali dan Abu Bakar yang menemani Nabi saw. saat mengontak mereka di Arafah. Begitulah perjuangan Nabi saw. dalam mendapatkan nushrah, penuh berliku, tidak mudah, dan melelahkan.


#PerjuanganMenujuKebangkitan

Monday, November 28, 2022

Imam Mahdi, khilafah dan cara memahaminya.

 Imam Mahdi, khilafah dan cara memahaminya.


إن ظهور مصلح إسلامي وخليفة سلفي اسمه يواطئ اسم رسول الله صلى الله عليه وسلم ثابت في أحاديث متواترة تواتراً معنويّاً،


Akan lahirnya seorang pembaharu Islam sekaligus sebagai Kholifah ( kepala negara Islam ), namanya menyamai nama Rosulullah SAW, hal ini benar berdasarkan hadist-hadist mutawatir.


 وكذلك نزول عيسى ابن مريم -عليه السلام- حكماً عدلاً متبعاً لشريعة الإسلام وداعياً إلى دين نبيِّنا محمد -عليه الصلاة والسلام- كذلك.


Demikian pula berita kenabian tentang akan turunnya Nabi Isa AS sebagai pemimpin adil, pengikut syariat Islam, menyeru manusia untuk tunduk pada agama Nabi Muhammad SAW ( Islam ), juga benar berdasarkan hadist hadist  mutawatir.


وأما رجوع الخلافة الراشدة على منهاج النبوة فثابت -أيضاً- في حديث صحيح أخرجه الإمام أحمد، وأبو داود، 


Demikian pula halnya dengan berita kenabian tentang akan kembalinya khilafah ala minhajinnibuwwah, juga ditetapkan melalui hadist shoheh riwayat imam Ahmad dan imam Abu Dawud.


والذي ينظر بعين الإنصاف والتأمل لما ورد في ذلك كله يستخلص نتيجة مؤكدة أن خلافة النبوة في آخر الزمان تعود -بإذن الله- قبل ظهور المهدي ونزول عيسى -عليه السلام- وذلك للوجوه الآتية:


Hal yang harus diteliti untuk menuju kepada kesimpulan adalah bahwa Khilafah alaminhajinnubuww akan kembali sebelum datangnya imam Mahdi dan nabi Isa AS, dengan alasan- alasan sebagai berikut:


1- أن المهدي -عليه السلام- يملأ الأرض عدلاً كما ملئت جوراً وظلماً، ومعلوم بداهة أن الأرض لم تملأ ظلماً وجوراً دفعة واحدة وإنّما بالتدرُّج، ولذلك ملؤها عدلاً لن يَحدث دفعة واحدة، فلا بُدَّ أن يتم ذلك بالتدرَّج فيلزم وجود مصلحين مهديين قبل المهدي يوطؤون للمهدي حكمه.


1. Di saat imam Mahdi memimpin, seluruh permukaan bumi dipenuhi dengan keadilan secara merata sebagaimana sebelumnya, seluruh permukaan bumi dipenuhi dengan kedzoliman dan kejahatan. 

Mudah difahami, bahwa keadaan tersebut tidak terjadi sekaligus, melainkan terjadi secara bertahap. 


Itu artinya sebelum imam Mahdi datang, sudah ada beberapa Kholifah yang hadir melakukan perbaikan menuju puncak idealnya pada masa imam mahdi.


2- أن المهدي -عليه السلام- ليس بأكرم على الله من رسولنا محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم بل هو من أمته وأتباعه، فرسول الله صلى الله عليه وسلم -نفسُه- لم يحصل له ذلك، بل بقي خمساً وعشرين سنة حتى تم له فتح جزيرة العرب، فمن باب أولى أن يَقَعَ ذلك للمهدي الذي يملأ الأرض، فلا بُدَّ أن يسبق المهدي خلفاءُ صالحون يكون هو خاتمهم.


3. Imam Mahdi tidak lebih mulia dari nabi Muhammad SAW. 

Beliau adalah umat dan pengikut nabi Muhammad SAW.

Dengan segala kesempurnaan yang dikaruniakan kepada nabi  Muhammad SAW, beliau menghabiskan waktu cukup lama  untuk menaklukan jazirah Arab, yakni selama dua puluh lima tahun.

Tidak mungkin bagi imam Mahdi menghadirkan keadilan di seluruh permukaan bumi dengan sangat cepat mengalahkan Rosulullah SAW.


Itu artinya ada Kholifah sebelum imam Mahdi, dan beliau sebagai Khalifah terakhirnya.


3- ورد في الحديث الصحيح قوله صلى الله عليه وسلم: «يكون خليفة من خلفائكم في آخر الزمان يَحثو المال ولا يعده».

ومعلوم أن الضمير يعود على أقرب مذكور، فالضمير يعود على (الخلفاء) في آخر الزمان مما يدل بِمفهومه أن المهدي يسبق بِخلافة على منهاج النبوة، والله أعلم.


Di dalam sebuah hadist shoheh, Nabi Muhammad SAW bersabda akan ada seorang Kholifah diantara para Kholifah kalian di akhir zaman, dia mengumpulkan harta sangat  banyak hingga tidak terhitung jumlahnya.


Kholifah yang dimaksud dalam hadist di atas adalah imam Mahdi yang telah didahului oleh para Kholifah sebelumnya. Hal ini dapat diketahui dari adanya lafadz Kholifah sebagai isim dari lafadz yakunu.


إشاعة إن الخلافة لا تقوم إلا بظهور المهدي ونزول عيسى يشيع في الأمة ظاهرة التواكل والعجز والكسل، نعوذ بالله من ذلك كله، والله أعلم.


Berita kenabian tentang kepastian kiamat tidak akan terjadi sebelum turunnya imam Mahdi telah dibuat alasan oleh kebanyakan umat untuk bermalas malasan dari perjuangan menegakkan khilafah. 

Naudzu Billah mindzalik.


Wallahu a'lam bisshowab.

Saturday, November 26, 2022

FAKTA UNIK PERANG YARMUK

 FAKTA UNIK PERANG YARMUK

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 


Perang ini terjadi antara kaum muslimin melawan Bizantium Romawi pada tahun 13 H, dua tahun setelah Rasulullah wafat, yakni di masa pemerintahan sayidina Abu Bakar Shidiq radhiyallahu'anhu.


Berikut diantara beberapa peristiwa yang terjadi dalam peperangan ini :

1. Jumlah musuh berlipat ganda

Kaum muslimin dalam perang tersebut berjumlah sekitar 36.000, dengan rincian : 27.000 jumlah awal, lalu ditambah bala bantuan pasukan Khalid dari Iraq 9.000.


 Sedangkan sebagian riwayat mengatakan 45.000. Yakni jumlah yang di Syam 36.000 lalu kedatangan pasukan Khalid 9.000 orang.


Ada juga riwayat yang mengatakan jumlah keseluruhan kaum muslimin hanya 24.000 personil.

Sedangkan jumlah prajurit Romawi menurut kebanyakan ahli sejarah adalah 240.000 personil. Ada juga yang menyebut angka 480.000 personil.


2. Kaum muslimin mengembalikan Jizyah 

Menjelang meletusnya peperangan, pasukan Islam mengembalikan pungutan Jizyah di tahun tersebut dari non muslim di sekitar Yarmuk. 


Hal ini karena mereka menyadari tentara Islam kemungkinan tidak akan bisa menjaga keamaan mereka. Mengingat gelombang serangan tentara Romawi yang berjumlah sangat besar.

Sedangkan Jizyah dari nonmuslim dalam aturan syariat dipungut diantaranya adalah untuk menjaga keamanan mereka.


3. Non muslim mendukung pasukan Islam

Kaum kafir dzimmi terkejut ketika mendapatkan pengembalian Jizyah tersebut. Mereka mengatakan lebih suka hidup di bawah pemerintahan Islam dari pada di pimpinan oleh Romawi yang mencekik mereka dengan aneka jenis pajak.

Ketika peperangan meletus, orang-orang Yarmuk menutup benteng-benteng mereka dan tidak mau memberikan bantuan logistik apapun kepada bala tentara Romawi.


4. Pasukan Infanteri Romawi di rantai

Dalam banyak pertempuran melawan muslimin, tentara Romawi lari terbirit-birit ketika baru saja melihat derap langkah pasukan Islam atau gema takbir mereka.


Maka demi menghindari adanya pasukan yang melarikan diri, sebagian pasukan infanteri Romawi di rantai satu sama lain bagian kakinya. Justru ini yang kemudian menguntungkan pasukan Islam dalam pertempuran, karena gerak musuh menjadi terbatas.


5.  Komandan peperangan yang banyak.

Demi untuk menaikkan moril pasukannya, tentara Romawi kala itu langsung dikomandoi oleh beberapa jenderal mereka yang terkenal. Selain Tazariq yang merupakan saudara kandung Kaisar Heraclius ada Vahan, Theodore Trithurius, dan Jabalah.


Sedangkan kaum muslimin justru kebalikannya. Saat permulaan perang komando tertinggi dipegang oleh sang pedang Allah, sayidina Khalid bin Walid, namun di tengah peperangan Khalid dipecat oleh sayidina Umar dan digantikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.


6. Bala bantuan pasukan yang tepat waktu.

Ketika Romawi mulai merangsek maju, komandan kaum muslimin yang ada di Syam meminta bantuan kepada Khalifah Abu Bakar Shidiq radhiyallahu'anhu.


Maka beliau memerintahkan Khalid yang sedang berada di front Persia untuk berangkat ke Syam.

Khalid langsung bergerak cepat. Karena jika lambat, maka itu berarti kehancuran pasukan Syam dan bahkan juga pasukannya yang akan tiba di sana.


Ia pun memutuskan potong kompas. Melewati gurun pasir nan tandus yang selama 5 hari tak akan dijumpai air di sepanjang perjalanan.

Jarak Iraq ke Yarmuk normalnya di tempuh dengan hampir satu bulan, berhasil ditembus dalam waktu kurang dari 15 hari.


7. Salah satu komandan Romawi masuk Islam

Seperti biasa, dalam peperangan sekalipun, kaum muslimin menyampaikan dakwah dan menawarkan Islam ke pihak musuh. Salah satu jenderal Romawi yang bernama Georgius Theodorus tanpa diduga meminta bertemu Khalid di sebuah tempat yang netral.


Setelah berdialog dengan beliau, ia pun menyatakan Keislamannya. Lalu turut berperang di barisan kaum muslimin hingga menemui syahid.


Salah satu ucapan yang ikonik dari jenderal tersebut kepada Khalid adalah pertanyaannya : "Apakah Allah telah menurunkan pedang dari langit kepada Nabi kalian, lalu Dia memberikannya kepadamu, yang dengannya engkau mengalahkan siapapun yang engkau hadapi ?” 


8. Strategi perang yang diakui sebagai salah satu yang paling cemerlang dalam sejarah.

Strategi perang yang diterapkan oleh Abu Ubaidah sesuai arahan Khalid di Yarmuk benar-benar brilian dan membuat kagum para pengamat militer. Mereka menerapkan strategi mematikan diantaranya berupa jebakan :  Serang lalu mundur.


Selama berhari-hari strategi ini diterapkan. Serang lalu mundur teratur. Hingga pasukan Romawi mengira jika pasukan Islam sudah kelelahan karena sebagian mereka adalah bala bantuan yang diberangkatkan dari Irak dan baru saja tiba.

Mereka juga mendengar desas-desus adanya perpecahan di tubuh pasukan Islam dengan digantikannya panglima tertinggi pasukannya.


Maka akhirnya strategi ini berhasil. Ketika pasukan kavaleri musuh mulai masuk, pasukan muslimin yang seakan akan mundur tiba-tiba bertaut dan menghadang infanteri musuh yang berusaha menyusul kavalerinya. 

Ketika kavaleri tentara Romawi telah terpisah jauh dari Infanterinya, segera pasukan berkuda Khalid yang telah menunggu kesempatan itu menggebrak maju dan menghabisi mereka.


9. Kemenangan  yang menentukan

Yarmuk adalah kunci bagi kemenangan-kemenangan kaum muslimin selanjutnya di wilayah Romawi. Karena setelah itu, wilayah -wilayah lainnya dengan mudah dibuka, baik lewat peperangan ataupun penyerahan.


10. Khalid yang tetap mengabdi meski telah dipecat

Yarmuk adalah bukti ketulusan, keikhlasan dan iman yang memukau dari para sahabat, terutama sayidina Khalid bin Walid.


Ia tetap berjuang sebagaimana biasanya. Tak ada bedanya saat masih menjadi panglima atau telah menjadi prajurit biasa.

Moment terkenal saat terjadinya perang Yarmuk ini adalah ketika Khalid bin Walid radhiyallahu'anhu mengatur pasukan dengan sangat lincah dan cermat, salah satu pasukannya ada yang komentar, "Anda kelihatannya sangat paham medan di sini..."


Khalid cuma menjawab singkat :

هذا ملعبي

"Ini mah dulu tempat maenku..."

Saturday, November 19, 2022

Anti arab karna antek penjajah

 ```Akibat pernyataan Seorang Yang tidak Boleh Disebut Namanya yg mengatakan WNI arab jangan jadi provokator....ini diuraikan Nasionalisme WNI Arab atas perjuangan kemerdekaan RI..```


```Mengapa Sejarah Indonesia direkayasa sedemikian rupa oleh para pengkhianat Bangsa ..?```


```Mengapa Rakyat Indonesia digiring oleh para pengkhianat Bangsa untuk membenci ARAB...?```


```KARENA ORANG-ORANG ARAB dan ORANG-ORANG PRIBUMI yang MENGANUT AGAMA DARI ARAB TELAH BERHASIL MENGUSIR KOMPENI DARI NEGERI INI..!```


```MEMBACA SEJARAH YANG SEBENARNYA KITA DAPAT MENJADI TAHU DAN TIDAK LAGI TERTIPU OLEH SEJARAH PALSU


1. MENJADI TAU


Siapa yang pertama memberitakan kemerdekaan Indonesia..?```


```Koran-koran ARAB.


2. MENJADI TAU


Siapa yang pertama mengakui kedaulatan Republik Indonesia..?


ARAB, MESIR dan PALESTINA.


3. MENJADI TAU


Siapa yang pertama mengirim bantuan Senjata dari luar Indonesia pasca Proklamasi..?


ARAB, senjata dari MESIR diangkut atas biaya ARAB SAUDI.


4. MENJADI TAU


Siapa tokoh yang pertama mengucapkan Selamat atas Kemerdekaan Indonesia..?


ARAB, Syaikh Ismail Husein Mufti Palestina.


5. MENJADI TAU


Proklamasi 1945 dibacakan di Rumah Orang ARAB, Faraj Martak. Jalan Proklamasi 56.


6. MENJADI TAU


Bung Karno sakit beri-beri sebelum proklamasi, sembuh diberi MADU ARAB oleh Faraj Martak.```


```7. MENJADI TAU


Kakeknya Bung Hatta belajar di ARAB.


8. MENJADI TAU


KYAI AHMAD DAHLAN dan KYAI HASYIM menimba ILMU di NEGERI ARAB.


9. MENJADI TAU


Orang yang dianggap berbahaya oleh Snouck Hurgronje adalah Orang yang pulang dari ARAB, karena Orang yang ISLAM yang pernah Berguru di NEGERI ARAB itulah yang dengan GAGAH BERANI Melawan kompeni dan oleh sebab itu ditandai dengan gelar HAJI dan hanya HAJI yang boleh mengenakan kopiah putih agar mudah dikenali


10. MENJADI TAU


Yang Menyelamatkan Bendera Pusaka saat agresi militer Belanda II 1948 adalah Orang ARAB, Mayor Husein Muthahhar. Beliau juga penyusun lagu Dirgahayu Indonesiaku, Hymne Syukur dan Mars Pramuka.


11. MENJADI TAU


Salah satu Bapak Pendiri Bangsa Kita adalah Orang ARAB, AR. Baswedan anggota BPUPKI dan Wakil Menteri Penerangan 1946. Kakek Anies Baswedan Gubernur Jakarta.


12. MENJADI TAU


Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila, dibuat oleh keturunan ARAB, Syarif Abdul Hamid al-Kadrie. Sultan Pontianak.


13. MENJADI TAU


Sultan Syarif Kasim II keturunan ARAB, menyerahkan MAHKOTA, ISTANA, dan hampir seluruh Kekayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura kepada Pemerintah RI termasuk Uang sebesar 13 juta gulden setara lebih dari 1000 triliun Rupiah...


Segebok Uang itulah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno juga Lapangan minyak Stanvac yang menjadi pemasukan utama NKRI selama 73 tahun ini


kabarkan kepada yang lain


AGAR FITNAH TIDAK LAGI DAPAT MENIPU ANAK BANGSA..


YANG KINI MULAI DIAJARKAN KEPADA MEREKA UNTUK MEMBENCI ARAB..


INDONESIA MEMANG BUKAN ARAB


NAMUN ORANG-ORANG ARAB TELAH BANYAK BERJASA DEMI INDONESIA MERDEKA

Thursday, November 17, 2022

METODE SYAIKH TAQIYUDDIN AN NABHANI DALAM MEMBENTUK PENGEMBAN DAKWAH YANG IKHLAS

 METODE SYAIKH TAQIYUDDIN AN NABHANI DALAM MEMBENTUK PENGEMBAN DAKWAH YANG IKHLAS


Ada kalimat yang begitu luar biasa yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani rahimahullah di dalam kitab At Takatul Al Hizbiy yakni kalimat yang bertuliskan :


"Secara otomatis al-ihsasul fikriy ini akan membersihkan orang-orang yang disentuhnya dan membentuknya menjadi orang yang ikhlas, sampai-sampai sekalipun ia tidak ingin ikhlas, ia tidak akan mampu untuk tidak ikhlas."


Al-ihsasul Al fikriy sendiri bermakna adanya perasaan yang jelas/tajam, yang dihasilkan dari proses berpikir yang mendalam.


Terwujudnya al-ihsasul fikriy adalah dari sebuah manthiqul Ihsas, yakni pemahaman yang dihasilkan dari proses berpikir berdasarkan pakta yang terindera.


Keikhlasan itulah yang juga menjadi salah satu dari 4 alasan yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab at Takatul Al Hizbiy, yakni 4 hal yang menjadi penyebab kegagalan beberapa gerakan dakwah dalam melakukan perjuangan untuk membangkitkan Islam.


Secara ringkas, 4 hal penyebab gagalnya beberapa gerakan tersebut, yakni :


1. Gerakan tersebut berdiri di atas fikrah dan thariqah yang masih kabur (belum jelas).


2. Gerakan tersebut tidak mengetahui bagaimana thariqah bagi penerapan fikrahnya.


3. Gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Mereka pun belum mempunyai niat yang benar.


4. Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar.


Adanya niat yang benar dalam berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam adalah salah satu dari 4 alasan agar suatu gerakan bisa bertahan dan berhasil dalam perjuangannya. Gerakan dakwah yang dibentuk oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani rahimahullah sendiri hingga sekarang telah berusia hampir 70 tahun, sejak didirikan pada tahun 1953. 


Dan hal ini benar-benar dilakukan oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam membentuk sebuah jamaah atau gerakan dakwah agar bisa tertanam keikhlasan dalam diri setiap pengemban dakwah.


Beliau menetapkan aturan bahwa siapapun yang akan menjadi bagian dari pengemban dakwah Islam Ideologis harus mengikuti kegiatan halqoh setiap pekan. Baik latar belakang orang tersebut seorang yang 'alim, ataupun tidak. Baik ia seorang Professor ataupun seseorang yang tidak pernah duduk di bangku pendidikan, semuanya sama.


Bahkan boleh jadi yang menjadi pengisi halqoh secara titel pendidikan lebih rendah. Misalnya yang hanya lulusan sekolah dasar menjadi pengisi kelompok halqoh yang lulusan sekolah tingkat pertama, atau tingkat atas bahkan yang sedang kuliah.


Atau boleh jadi para peserta halqoh tersebut adalah orang-orang yang berlatar pendidikan lulusan pondok pesantren atau dari lulusan timur tengah, sedangkan yang menjadi pengisi tak berlatar sebagaimana para peserta halqoh.


Setiap sepekan sekali, selama 2 jam mereka harus duduk membaca setiap paragraf kitab yang kemudian akan dijelaskan oleh pengisi halqohnya.


Halqoh itu dilakukan agar mereka menjadi paham bagaimana fikrah dan thariqah sebuah kelompok dakwah yang shahih untuk memulai kembali kehidupan Islam. Halqoh yang dilakukan dengan metode Talqiyan Fikriyan.


Dengan fikrah yang diajarkan di halqoh tersebut, akan terbentuk pemikiran Islamiy pada diri mereka. Dimana pemikiran Islamiy bermakna :


 الحكم على الواقع من وجهة نظر الإسلام

"Upaya menilai fakta dari sudut padang Islam"


Pemikiran Islamiy tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perbuatan mereka. Pemikiran Islamiy tersebut yang juga menjadi standart mereka dalam melakukan penginderaan terhadap suatu fakta di depannya. Dalam hal ini adalah standart mereka dalam melihat kondisi umat Islam khususnya dan masyarakat umumnya saat tidak diterapkannya Islam secara kaffah di dalam kehidupan.


Karena selain harus halqoh, mereka juga diharuskan terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Karena halqoh bukan semata-mata untuk menjadi seorang yang berkepribadian Islam, namun juga menjadikan diri sebagai seorang pengemban dakwah.


Dengan proses halqoh yang mereka jalani, sembari terjun di tengah masyarakat untuk mendakwahkan Islam, in sya Allah akan membuat mereka menjadi orang-orang yang ikhlas dalam berdakwah. Tidak mengharapkan imbalan materi ataupun pujian dalam dakwahnya, semata-mata dilakukan karena suatu kewajiban untuk menegakkan kembali Islam, agar umat Islam benar-benar menjadi sebaik-baiknya umat (khairu ummah), dan Islam menjadi agama yang tinggi dan tidak ada yang menandinginya.


Sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى:


كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ


“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”(Q.S Ali Imran : 110)


Dan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم yang bersabda:


الإسلام يعلو ولا يعلى عليه


"Sesungguhnya Islam itu mulia/tinggi tidak ada agama yang lebih tinggi daripadanya”. (HR. Bukhari)


Wallahu a'lam bisshowab.

Saturday, November 12, 2022

DIA SANG KHALIFATUR RASYIDIN YANG KELIMA

 DIA SANG KHALIFATUR RASYIDIN YANG KELIMA


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 


1. Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu adalah salah satu khalifah yang sah menurut kesepakatan para ulama ahlussunnah wal Jama'ah.


 Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa Khalifatur Rasyidin selain empat shahabat yang disepakati yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, beliau adalah yang kelimanya.


Hal ini berdasarkan hadits Nabi ﷺ yang berbunyi :


الْخِلاَفَةُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُونَ سَنَةً


“Khilafah di tengah umatku berlangsung selama 30 tahun.” (HR. Ahmad)


2. Abul Izz al Hanafi rahimahullah demikian juga ulama lain seperti Ibnu Katsir, ketika merinci masa 30 tahun dari zaman kekhalifahan berkata :


~ Abu Bakar Shidiq 2 tahun 3 bulan


~ Umar bin Khattab 10 tahun 6 bulan


~ Utsman bin Affan 12 tahun


~ Ali bin Abi Thalib 4 tahun 9 bulan


Total keseluruhan masa  Khilafah Rasyidah empat khalifah di atas adalah 29 tahun 6 bulan. Lalu ditambah Hasan memerintah selama 6 bulan, maka genaplah 30 tahun.


3. Ibnu Katsir rahimahullah berkata :


والدليل على أنه أحد الخلفاء الراشدين الحديث الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكاً وإنما كملت الثلاثون بخلافة الحسن بن علي


"Dalil yang menyatakan bahwa Hasan adalah termasuk Khalifatur Rasyidin adalah hadits : 'Kekhalifahan setelahku akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan'. Yakni tahun yang dijalani oleh Khalifatur Rasyidin (yang disepakati) lalu digenapkan oleh masa Hasan bin Ali.”


4. Ibnu Hajar al Haitsami rahimahullah berkata :


هو آخر الخلفاء الراشدين ...خليفة حق وإمام ...وأنها جزء مكمل لخلافة النبوة التي أخبر النبي (صلى الله عليه وسلم) والتي مدتها ثلاثون سنة.


“Hasan bin Ali adalah khalifah Rasyidah. Ia adalah pemimpin yang baik dan adil. Hasan menggenapkan masa 30 tahun dari kekhalifahan yang dikhabarkan oleh Nabi shallahu’alalihi wassalam yang akan berlangsung selama 30 tahun.”


5. Di zaman beliau, kaum muslimin terpolarisasi menjadi dua kelompok besar yang saling berhadapan : Pertama, kelompok pendukung dirinya dan yang kedua pendukung Mu‘awiyah bin Abu Sufyan.


Keduanya dibaiat menjadi amirul mukminin dan dipandang sebagai khalifah yang sah oleh pendukungnya masing-masing.


Namun sayidina Ḥasan bin Ali kemudian memilih mengalah dan menyerahkan kepada Muawiyah tampuk kepemimpinan untuk umat Islam. Padahal jika beliau mau untuk terus bersikukuh dan menempuh jalan konfrontasi, besar kemungkinan kemenangan akan berpihak kepadanya.


6. Apa yang dilakukan oleh Hasan ini telah diberitakan oleh Nabi shalallahu’alaihi wassalam sebelumnya dalam sebuah hadits :


إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، إِنْ يَعِشْ يُصْلِحْ بَيْنَ طَائِفَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ


“Cucuku ini adalah calon pemimpin besar. Dalam hidupnya dia akan mendamaikan antara dua kelompok ummat Islam yang sedang bertikai.” (HR. Ahmad)


Dan keputusan beliau ini berdasarkan pemahaman hadits di atas adalah benar dan merupakan pilihan yang diridhai oleh Allah ta’ala, meskipun menimbulkan kekecewaan yang mendalam kepada para pendukung dan loyalisnya.


7. Sayidina Hasan bin Ali radhiyallahu'anhu adalah sosok yang shalih, wara dan sangat takut kepada Allah. Sebuah riwayat menyebutkan, bila selesai dari berwudhu kulit beliau berubah menjadi pucat pasi. 


Dan ketika ditanyakan kepadanya apa sebab bisa demikian, maka beliau menjawab : "Sebentar lagi aku akan menghadap dzat yang memiliki Arsy."


Mazib bin Hausab berkata : "Aku belum pernah melihat ada sosok yang begitu takut kepada Allah melebihi Hasan bin Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Seolah-olah neraka diciptakan hanya untuk mereka berdua."[1]


8. Beliau adalah orang yang juga dikenal sangat zuhud terhadap dunia. Cukuplah menjadi bukti dari itu semua, ketika ia memilih mengalah mengundurkan diri dari kekhalifahan demi menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah pada tahun 41 H.


Ketika beliau ditanya alasan mundur dari jabatan khalifah, Hasan bin Ali menjawab :


كانت جماجم العرب في يدي، يسالمون من سالمت، ويحاربون من حاربت، فتركتها لله


"Aku mendapatkan dukungan dari banyak orang arab yang mereka siap mendukung ketika aku berdamai dengan siapapun atau memerangi siapapun yang ingin aku perangi. Namun aku meninggalkannya semata-mata mengharap ridha Allah."[2]


Dalam riwayat lain beliau berkata : "Aku khawatir ada 70.000 atau 80.000 atau bahkan lebih banyak yang urat lehernya berlumuran darah, lalu menuntutku di hadapan Allah."


9. Saat ia terus didesak oleh pendukungnya agar tetap bertahan memegang tampuk kekhalifahan, beliau menjawab dengan tegas : "Aku tak ingin memiliki tangan yang berlumuran darah. 


Aku juga tak ingin mendapatkan sesuatu dengan cara mengorbankan kaum muslimin. Aku sudah tahu apa saja yang menguntungkanku dan apa yang saja yang merugikanku. Pulanglah kalian semua !"


10. Sayidina Hasan adalah sosok yang sangat pemurah lagi dermawan. Ciri khas yang melekat kuat pada para pemimpin-pemimpin yang baik. Ia kerap kali membagi-bagikan harta dalam jumlah yang sangat banyak. Ibnu Sirin mengatakan :


وكان يعطي الرجل الواحد مائة ألف


"Kadang kala Hasan membagikan uang hingga 100.000 dirham (7 milyar)  hanya kepada satu orang."[3]


Sa'id bin Abdul Aziz berkata :


سمع الحسن بن علي رجلا إلى جنبه يسأل الله أن يرزقه عشرة آلاف درهم، فانصرف، فبعث بها إليه


"Pernah ada orang yang berdo'a kepada Allah meminta  10.000 dirham (700.000 juta) , Hasan yang mendengar do'a tersebut bergegas pulang dan memberikan uang sejumlah itu kepada orang tersebut."[4]


Bersambung...

___________

[1] Thabaqat al Kubra (5/398)

[2] Siyar A’lam Nubala (3/274)

[3] Tahdzib al Kamal (6/234)

[4] Siyar A’lam Nubala (3/260)