Sunday, December 4, 2022

JANGAN KAU TELAN MENTAH-MENTAH DAWUH MASYAYIKH

 *JANGAN KAU TELAN MENTAH-MENTAH DAWUH MASYAYIKH*


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/04/jangan-kau-telan-mentah-mentah-dawuh.html?m=1


*Tidak Ada Masyayikh Yang Saya Lecehkan Atau Saya Bullying. Ambil Saja Ibrohnya Dengan Barbaik Sangka*


*Bismillaahir Rohmaanir Rohiim*


Betapa sayangnya masyayikh kepada santrinya. Tetapi ada saja oknum masyayikh yang tega menjual dan mengorbankan santrinya dengan receh dunia yang rendah dari rempah-rempah demokrasi, yaitu ketika musim pemilu tiba atau ketika dana datang dari lembaga berkepentingan. Karenanya, jangan telan mentah-mentah dawuh masyayikh. Timbang dulu dengan timbangan syariah Islam kaffah yang telah kita kaji dan pahami dari kitab-kitab kurikulum pesantren, dari Fathul Qarib, Fathul Mu'in sampai Fathul Wahhab dan lainnya. 


Apalagi ketika dawuh (perkataan) masyayikh itu memiliki makna manthuq (tekstual) dan makna mafhum (kontektual) yang ketika diambil lalu dilakukan tidak termasuk maksiat kepada Allah dan RasulNya, maka siapapun dari santrinya boleh beraktifitas sesuai makna yang dipahaminya, baik secara mafhum maupun manthuqnya, tentu ketika tidak ada maksiat kepada Allah dan RasulNya SAW. Dan diantara dua golongan santri yang berbeda aktifitasnya karena berbeda pemahamannya, tidak boleh saling menyalahkan dan menstigma yang lainnya "tidak nurut dawuh masyayikh". Karena di masa Nabi SAW, para sahabat pun pernah mengalami kondisi seperti ini. 


عن عائشةَ رَضيَ اللهُ عنها, قالت : «لمَّا رجَعَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن الخَنْدقِ وضَعَ السِّلاحَ، فاغتَسَلَ، فأتاهُ جِبريلُ وهو يَنفُضُ رَأسَه مِن الغُبارِ، فقال: وضَعْتَ السِّلاحَ؟ واللهِ ما وضَعْناهُ، اخْرُجْ إليهم، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فأينَ؟ فأشار إلى بَني قُرَيظةَ» رواه البخاري و مسلم


Dari Aisyah ra berkata; "Ketika Rasulullah SAW baru datang dari perang Khondaq, beliau meletakkan senjata, lalu mandi. Tiba-tiba Jibril datang dengan mengibaskan rambut kepalanya dari debu seraya berkata; "Engkau meletakkan senjata? Demi Allah, kami belum meletakkan senjata. Keluarlah kepada mereka!". Rasulullah saw bersabda; "Kemana?". Lalu Jibril menunjuk ke arah Bani Quraidhah". (HR. Bukhari dan Muslim). 


عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال; 

 قَالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَومَ الأحْزَابِ: لا يُصَلِّيَنَّ أحَدٌ العَصْرَ إلَّا في بَنِي قُرَيْظَةَ. فأدْرَكَ بَعْضُهُمُ العَصْرَ في الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لا نُصَلِّي حتَّى نَأْتِيَهَا، وقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذلكَ، فَذُكِرَ ذلكَ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَمْ يُعَنِّفْ واحِدًا منهمْ. رواه البخاري و مسلم 


Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata; "Pada perang Ahzab Rasulullah saw bersabda; "Janganlah seseorang menunaikan shalat ashar, kecuali di Bani Quraidhah". Lalu sebagian sahabat bertemu waktu ashar di jalan dan berkata; "Kami tidak akan shalat (ashar) sampai datang ke Bani Quraidhah". Sebagian sahabat lainnya berkata; "Tetapi kami akan shalat. Nabi tidak menghendaki itu (shalat di Bani Quraidhah). Lalu hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw. Lalu beliau Nabi tidak mencerce seorangpun dari sahabat". (HR. Bukhari dan Muslim). 


Pada hadits di atas, Nabi saw menyuruh sahabat berjalan cepat menuju Bani Quraizhoh dan melarang menunaikan shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah. Setelah mereka berjalan dan sebelum sampai ke Bani Quraizhoh, masuklah waktu shalat ashar. Sebagian mereka berkata, bahwa mereka tidak akan menunaikan shalat ashar meskipun sudah masuk waktunya kecuali di Bani Quraizhoh, karena mengamalkan zhahir (teks) lafafz sabda Nabi saw. Sebab bagi mereka berhenti untuk shalat itu melanggar perintah berjalan cepat. Mereka mentakhshish keumuman perintah shalat di awal waktu itu ketika tidak ada uzur. Sedang perintah Rasulullah saw harus dilaksanakan meskipun mereka tidak mendapat fadilah shalat di awal waktu, karena berpegang pada manthuq (tekstual) sabda Rasulullah saw. 


Sedang sebagian sahabat justru menunaikan shalat ashar di jalan karena memandang makna mafhum (konteks) perintah Nabi saw, bukan zhahir (teks) lafadznya. Mereka berkata, "Nabi tidak menghendaki itu (shalat di Bani Quraizhoh) dari kami". Yakni bahwa wasiat Nabi dengannya, hanya supaya mereka berjalan lebih cepat. Maka ketika masuk waktu ashar dan mereka mengerti dengan yang dikehendaki Rasulullah SAW, maka mereka ingin meraih fadhilah shalat di awal waktu, lalu berjalan cepat menuju Bani Quraidhah melaksanakan perintah Rasulullah saw agar segera sampai di sana. 


Kemudian peristiwa yang telah terjadi diantara dua kelompok sahabat itu dilaporkan kepada Rasulullah saw. Dan beliau tidak ingkar terhadap seorangpun dari mereka. Tidak ingkar kepada mereka yang meninggalkan shalat di jalan di awal waktu, juga tidak ingkar kepada mereka yang shalat di jalan karena memahami bahwa perintah itu hanyalah kinayah dari berjalan cepat. Ini adalah iqrar (ketetapan) dari Nabi SAW atas perbuatan sahabat, dan iqrarnya adalah sunnah. 


***


Juga saya menemukan kisah menarik beredar di dunia maya begini ;


"Ketika sakit menjelang wafatnya, seorang ayah berpesan pada kedua anaknya ; Ingat dua hal ini ya; 


Pertama, *jangan pernah kamu menagih piutang.* 

Kedua,  *jangan pernah tubuhmu terkena terik matahari secara langsung.* 


Lima tahun berlalu setelah sang ayah wafat, sang ibu datang menengok anak sulungnya yang menyedihkan seraya berkata :


“Wahai anak sulungku kenapa kondisi bisnismu demikian?”


Si Sulung menjawab : 

“Saya mengikuti pesan ayah bu…

Ayah bilang, saya dilarang menagih piutang kepada siapapun sehingga banyak piutang yang tidak dibayar dan lama-lama habislah modal saya..

Terus ayah melarang saya terkena sinar matahari secara langsung dan saya hanya punya sepeda motor. Itulah sebabnya pergi dan pulang kantor saya selalu naik taxi, beginilah akhirnya".


Sang ibu merenung... 

Kemudian sang ibu pergi ke tempat si bungsu. Ternyata si bungsu sekarang menjadi orang sukses. 


Sang ibu pun bertanya : “Wahai anak bungsuku, hidupmu sedemikian beruntung, apa rahasianya?”.


Si bungsu menjawab : 

“Ini karena saya mengikuti pesan ayah bu..

Pesan yang pertama saya dilarang menagih piutang kepada siapapun. Oleh karena itu saya tidak pernah memberikan hutang kepada siapapun, tetapi saya beri sedekah sehingga modal saya menjadi berkah”.


Pesan kedua saya dilarang terkena sinar matahari secara langsung. Karena saya hanya punya motor, maka saya selalu berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam, sehingga para pelanggan tahu toko saya buka lebih pagi dan tutup lebih sore”. s e l e s a i


***


*Mengambil Pelajaran dari hadits dan kisah di atas :*


Demikian juga ketika Masyayikh NU berpesan kepada santrinya terkait banyaknya santri yang ganung dengan harokah dakwah syariah kaffah dan khilafah, Hizbut Tahrir ; "Kamu Jangan keluar dari NU", maka bisa diartikan begini, kamu jangan keluar dari syariah Islam yang menjadi pedoman NU dan karenanya NU berdiri, yaitu syariah yang telah digali dan ditabanni oleh empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad). Dan ternyata kewajiban berislam kaffah dan menegakkan khilafah itu telah disepakati oleh Empat Imam madzhab. Berarti ikut gabung dengan keharokah yang mendakwahkan syariah Islam kaffah dan khilafah itu tidak keluar dari madzhab empat imam, berarti juga tidak keluar dari NU. Dengan konteks ini, santri juga tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Karena berislam kaffah dan menegakkan khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT. 


Juga ketika Masyayikh berkata, "Kamu jangan keluar dari akidah NU", yakni akidah yang merujuk kepada rumusan akidah yang telah digali dan ditabanni oleh Syaikh Abul Hasan Al Asy'ari dan Syaikh Abu Manshur Al Maturidi, yang diklaim sebagai akidah Ahlussunnah Waljamaah (ASWAJA). Bukan akidah Asy'ariyyahnya dan bukan pula akidah Maturidiyyahnya. Khusus Akidah Ahlussunnah Waljamaah Imam Abul Hasan Asy'ari itu tertuang dalam tiga kitabnya; Al Ibanah, Alwajiz dan Maqolatul Islamiyyin. Dan rumusan aqidah di tiga kitab tersebut ternyata sama dengan yang telah disinggung oleh Syaikh Taqiyuddin Annabhani terutama dalam kitab Syakhshiyyahnya, yaitu menjalankan ayat-ayat Alqur'an dan hadits terkait shifat dan nama Allah apa adanya, tanpa takwil dan tanpa falsafah,  tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tanpa ta'thil (meniadakan sifat Allah, padahal Allah sendiri yang telah menyebutnya, seperti Allah punya wajah dan tangan). Meskipun ada perbedaan, tapi hanya dalam ungkapan saja, atau hanya jalannya yang berbeda, tapi makna dan tujuannya sama.  Yakni hanya perbedaan redaksional saja.


Jadi mengimani akidah Islam yang telah digali dan ditabanni oleh Syaikh Taqiyuddin Annabhani dab Hizbut Tahrir yang didirikannya itu tidak keluar dari akidah Imam Abul Hasan As'ari, bukan As'ariyyahnya. Berarti tidak keluar dari akidah NU.


Apalagi Hizbut Tahrir itu hanya mentabanni akidah Islam saja untuk menjadi asasnya dan untuk menjadi ikatan yang kokoh diantara anggota-anggotanya. Sedang selain akidah Islam, Hizbut Tahrir tidak membuat rumusannya dan tidak mentabanninya, semuanya diserahkan kepada masing-masing anggota yang datang dari berbagai organisasi dan berbagai jama'ah. Hanya saja Hizbut Tahrir telah membuat standar / patokannya, seperti dalil akidah itu harus qoth'i tsubut dan qoth'i dalalah dan seterusnya. Dan patokan akidah Hizbut Tahrir ternyata cocok dengan akidah Imam Abul Hasan Asy'ari dalam tiga kitabnya di atas. Siapapun bisa membaca dan menelitinya sendiri untuk membuktikan kebenaran bahkan kesalahan dari apa yang telah saya sampaikan. 


Dan apalagi Hizbut Tahrir juga tidak mentabanni rumusan fiqih ibadah. Ini bukan berarti menolak atau mengingkarinya, tapi terkait ibadah mahdhoh seperti fiqih shalat dan puasa dan seterusnya, Hizbut Tahrir menyerahkan sepenuhnya kepada semua anggotanya masing-masing yang berangkat dari berbagai organisasi islam yang ada, terserah mau pakai madzhab siapa dan kitab apa. Kecuali dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan dan terkait muamalah dengan unsur riba, maka Hizbut Tahrir telah mentabanni rukyat global dan pendapat terkuat. 


Ini adalah nasehat kepada para alumni pondok pesantren manapun, supaya mereka tidak menelan mentah-mentah dawuh (perkataan) masyayikhnya, supaya mereka tidak menjadi penghalang dakwah kepada penerapan syariah Islam kaffah melalui penegakkan khilafah. Dan supaya mereka tidak terjerumus menolak dan melecehkan ajaran dan hukum Islam yang mujmak 'alaih dimana bisa menyebabkan riddah / murtad. Na'udzu billahi min dzalik. 


Apalagi ketika dawuh masyayikhnya jelas-jelas mengajak kepada maksiat kepada Allah, seperti menolak dakwah berislam kaffah dan menegakkan khilafah, baik disadari atau tidak disadari, maka jelas pula, santri tidak boleh mengikutinya. Karena tidak ada ta'at kepada almakhluq dalam maksiat kepada Alkholiq. Ketika santri masih mengikutinya, maka kebangkrutan di akherat telah menanti, tanpa bisa ditolong oleh masyayikh, karena sudah sama-sama bangkrutnya. Karena masyayikh yang bisa menolong santrinya adalah masyayikh yang tida bangkrut. 


*Sekarang baca dan tadabburi ayat dan hadits berikut* :


1. Terkait kewajiban berislam kaffah. Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian".


2. Terkait mengikuti sunnah Alkhulafa Arrosyidin, yaitu sistem khilafah warisan Rasulullah SAW. Beliau bersabda :


أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى إِخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ. رواه أحمد وأبو داود والترميذي وابن ماجه عن العرباض بن سارية رضي الله عنه


"Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah SWT, mendengar dan taat (kepada khalifah / amirul mukminin), meskipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya. Karena sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih diberi hidup, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh (meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan) terhadap sunnahku dan sunnah Alkhulafa Arrosyidin Almahdiyyin (para khalifah yang cerdas dan mendapat petunjuk), gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Dan jauhilah segala perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap sesat itu di neraka". 

(HR Imam Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Irbadl bin Sariyah ra.).


3. Terkait ta'at. Rasulullah SAW bersabda :


 إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ


“Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada kebaikan saja”. 

(HR Muslim, Bukhari, dan Abu Dawud).


Dan bersabda :


لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ


 “Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam berbuat maksiat kepada Al Khaliq (Allah)”. (HR Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf VI/545 nomor 33717; Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf II/383 nomor 3788).


4. Terkait masyayikh yang bangkrut tidak bisa menolong santrinya. Allah SWT berfirman :


اِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا وَرَاَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْاَسْبَابُ 


"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus. (QS. Al-Baqarah: 166).


وَقَالَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا لَوْ اَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّاَ مِنْهُمْ ۗ كَمَا تَبَرَّءُوْا مِنَّا ۗ كَذٰلِكَ يُرِيْهِمُ اللّٰهُ اَعْمَالَهُمْ حَسَرٰتٍ عَلَيْهِمْ ۗ وَمَا هُمْ بِخٰرِجِيْنَ مِنَ النَّارِ ࣖ ﴿البقرة : ۱۶۷﴾


"Dan orang-orang yang mengikuti berkata, “Sekiranya kami mendapat kesempatan (kembali ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka, sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal per-buatan mereka yang menjadi penyesalan mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka. (QS. Al-Baqarah: 167).


Bisa saja seorang santri berkata, sebab turunnya ayat itu kan untuk orang-orang kafir. Karena pada akhir ayat Allah juga berfirman, "Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka". 

Maka jawabnya, 


العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب


"Pelajaran itu dengan keumuman katanya, bukan dengan kekhususan sebabnya".


Pelajarannya juga para pengikut yang bangkrut sangat kecewa dan menuntut kepada para pemuka yang diikutinya. Tapi apa daya para pemukanya juga sedang mengalami hal yang sama. Jangankan bisa menolong para pengikutnya, menolong dirinya sendiri saja tidak bisa. Kondisi dan pelajaran ini umum. Sedang terkait bisa keluar dari neraka atau tidak bisa keluar itu masalah lain. Tertanggung kondisi matinya, membawa iman atau tidak. 


5. Terkait kewajiban menegakkan khilafah, cukup satu pernyataan saja; 


Dr. Mahmud al-Khalidi rh berkata:


اتفق المسلمون جميعا على وجوب الإمامة. وأن نصب خليفة يتولى رعاية شؤون المسلمين فرض، ليقيم الحدود، ويرفع راية الجهاد، ويحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وأن يقوم بتطبيق الأحكام، ويصدر القوانين والدستور، ولم يخالف في ذلك أحد يعتد برأيه. فجميع أهل السنة، وجميع الشيعة، والخوارج ما عدا النجدات، والمعتزلة ما عدا الأصم وهشام القوطي، يرون أنه لا بد للناس من إمام، وأن نصبه واجب. {قواعد نظام الحكم في الإسلام، ص 237.}


“Semua kaum muslim telah sepakat atas kewajiban imamah (khilafah), dan bahwa mengangkat seorang khalifah yang mengatur urusan kaum muslim adalah fardhu, untuk menegakkan hudud, mengangkat bendera jihad, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, melaksanakan penerapan hukum-hukum syariat, dan membuat UUD dan undang-undang yang lain, dan tidak ada seorangpun yang pendapatnya diperhitungkan yang manyalahi hal itu. Maka semua Ahlussunnah, semua Syiah, Khawarij selain sekte Najdah, Muktazilah selain al-’Asham dan Hisyam al-Quthi, mereka semua berpendapat bahwa manusia harus memiliki seorang imam, dan bahwa mengangkat imam adalah wajib”.


*Terakhir* :


Sealim-alimnya, semakrifat-makrifatnya, masyayikh itu manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, kekeliruan dan dosa, bukan nabi dan rosul yang makshum, apalagi malaikat yang ketaatannya mutlak. Ketika masyayikh benar, maka kita ikuti dan taati. Tetapi ketika masyayikh salah, keliru dan dosa, maka kita ingatkan dan kita tolong. Sedang tidak taat dan tidak mengikuti ketika mereka salah, keliru dan dosa, adalah bagian dari menolongnya, bukan meremehkannya apalagi menghinanya. Pepatah juga mengatakan, "bahwa setannya orang alim itu lebih alim". Bisa saja masyayikh itu sedang berada dalam jaring jebakan orang-orang jahat yang berkepentingan merusak Islam dan kaum muslimin dan sangat membutuhkan bantuan dari para santrinya. Namun demikian, tetap kita ihtirom dan ta'zhim kepada masyayikh. Sekian. Semoga manfaat. Aamiin.

No comments: