Monday, August 2, 2021

PARLEMEN BUKAN KUNCI PERUBAHAN (Pelajaran dari Tunisia)

 PARLEMEN BUKAN KUNCI PERUBAHAN   

(Pelajaran dari Tunisia) 


Krisis politik kembali menerpa Tunisia. Parlemen dibekukan. PM Hichem Mechichi dipecat. Menurut Haythem Guesmi, pengamat politik Tunisia, tindakan Presiden Kais Saied yang membubarkan parlemen serta memecat Perdana Menteri tak lain adalah kudeta. (Al-Jazeera, 27/07/21). 


Hingga kini suasana masih memanas dan dikhawatirkan memicu gelombang aksi massa akibat lemahnya kendali rezim atas situasi sosial-politik-ekonomi di samping anjloknya trust rakyat terhadap rezim berkuasa. 


Yang sangat berbahaya adalah krisis ini bisa menjadi gerbang lebar bagi campur tangan lebih dalam negara-negara Eropa (khususnya Perancis dan Inggris) dan Amerika yang memanfaatkan situasi krisis dengan menggerakkan kelompok-kelompok yang loyal kepada mereka, hingga rakyat kian terpecah-belah dan bakal jadi tumbal persaingan dan kerakusan negara-negara penjajah beserta para penguasa kompradornya. 


Kisruh politik Tunisia ini kontan dilahap oleh media-media Barat maupun media-media sekuler di Timur Tengah yang nembebek ke Barat. Dengan gencar mereka mempropagandakan bahwa kaum Islamis atau partai Islam - sebagaimana klaim mereka - telah nyata-nyata gagal mengendalikan negara dan menyejahterakan rakyat. Kaum Islamis atau partai Islam dituding tak becus memimpin negara.


Pertanyaannya, benarkah an-Nahdhah adalah partai Islam yang dipimpin orang-orang dari kelompok Islamis, atau Islamnya hanya sekedar atribut? 

Lalu apa penyebab kegagalan yang sebenarnya? Islam politikkah? Atau politisi/parpol sekuler berlabel Islam yang terjebak dalam perangkap demokrasi sekularisme? 


Sebagaimana diketahui, Harakah an-Nahdhah atau Gerakan an-Nahdhah pimpinan Rached Gannouchi berpartisipasi dalam pemilu demokrasi pasca revolusi yang menjungkalkan Ben Ali tahun 2011. 


Harakah an-Nahdhah dengan slogannya Kebebasan, Keadilan dan Pembangunan dan menyebut dirinya sebagai gerakan Islam moderat pro-demokrasi yang berjuang melalui parlemen. Berkat syiar-syiar Islam yang dikampanyekannya, di samping muaknya rakyat atas kezhaliman periode rezim diktator sebelumnya, maka partai ini berhasil meraih suara signifikan dalam pemilu tahun. Pemilu 2011 merebut 89 dari 217 kursi parlemen. Kemudian Pemilu 2014 dan 2019 masing-masing mengoleksi 69 dan 52 kursi parlemen. Posisi ini mengantarkan Harakah an-Nahdhah menjadi bagian rezim berkuasa lewat koalisi dengan kelompok politik lainnya. 


Sayangnya, setelah berkuasa lewat koalisi politik, Harakah an-Nahdhah ternyata tidak mendorong penerapan syariat Islam dalam konstitusi Tunisia. Dengan kata lain, keberadaan "kaum Islamis" atau "partai Islam" ini terbukti tidak menjadikan hukum-hukum Islam Islam sebagai kebijakan negara sebagaimana yang dikampanyekannya. Bukankah ini bermakna bahwa syiar-syiar selama kampanye yang tampak Islami tsb sekedar untuk menjaring suara? 


Yang menarik dicermati pula bahwa penyingkiran kekuatan politik Harakah an-Nahdhah yang berlangsung sangat vulgar ini, tidak kontan memicu reaksi mayoritas rakyat sebagai wujud dukungan terhadapnya. Bahkan elit militer tampaknya mendukung 'kudeta' ini. 


Jadi apa pelajaran dari Tunisia? Jawabnya mungkin bisa diwakili oleh Ridha Belhaj Nashr, seorang politisi Tunisia dari koalisi partai berkuasa yang dikudeta. 


Dalam status facebooknya ia menulis begini: "Kesaksian untuk Allah dan untuk sejarah. Satu-satunya partai yang memahami (hakikat) permainan demokrasi dan memahami bahwasanya benang-benang demokrasi itu berada di tangan negara-negara besar, dan bahwasanya demokrasi ini hanyalah hiasan untuk mempercantik wajah buruk penjajahan, adalah Hizbut Tahrir." 


"Saya menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh anggota Hizbut Tahrir dan saya mohon maaf atas argumen saya yang mengukuhkan demokrasi sebagai satu-satunya sistem yang tersedia untuk penerapan hukum. Wahai anggota-anggota Hizbut Tahrir pendapat kalian benar dan pendapatku salah." 


Tegasnya, yang gagal dalam konteks krisis Tunisia ini hakikatnya bukan kaum Islamis atau partai Islam apalagi Islam ideologis. Karena selama 10 tahun berkuasa, Harakah an-Nahdhah faktanya tidak pernah menerapkan syariat Islam dalam lingkup bernegara. Yang ada hanyalah pribadi-pribadi politisi Muslim yang justru melanggengkan sistem demokrasi-kapitalisme-sekularisme-liberalisme yang rusak lagi kufur. 


Maka kami tegaskan sekali lagi bahwa demokrasi bukanlah jalan bagi perjuangan perubahan masyarakat menuju masyarakat Islami. Yaitu masyarakat yang diterapkan di dalamnya syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara Khilafah. Bagaimana mungkin demokrasi yang tali-temalinya ada di genggaman Barat melapangkan jalan bagi kemenangan Islam?


Untuk itu umat mesti segera mencampakkan demokrasi kemudian fokus pada agenda perjuangan membangun kesadaran umat dan meraih dukungan pemilik kekuatan (militer) demi terwujudnya perubahan yang hakiki yang diridhai oleh Allah SWT. 


Jangan lagi umat ini terperosok ke lubang demokrasi yang sama sampai dua kali apalagi berkali-kali! 


Bukankah Rasulullah Saw sudah berpesan bahwa orang yang beriman tidak terjatuh ke lubang yang sama dua kali?


Wallahu al-Muwaffiq ilaa Aqwamit Thariq 


Depok, 23 Dzulhijjah 1442 / 2 Agustus 2021

Madzab

 Awal ngaji di HT1 sempat diskusi sama teman Pondok, Katanya HT1 itu sesat karena tdk bermazhab.


Benarkah demikian?


Ini Jawabannya. 

____________________________________________


MAZHAB


Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Mazhab


Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).


Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali  hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.


Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).


Lahirnya Mazhab


Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).


Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:


Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.


Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.


Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha


Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.


Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985:  46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).


Terbentuknya Mazhab


Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian  (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.


Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut:


Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:


Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58).


Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai  ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).


Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59).


Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389).


Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘  (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).


Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).


Tentang Bermazhab


Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).


Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232).


Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali  oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam?


An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani, 1994: 232).


Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).


Bermazhab Secara Benar


Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:


Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).


Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).


Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112).                            


Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373).


Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?


Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik –non parlemen kufur– yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.


Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).


Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali  hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”  Wallâhu a‘lam. [Pernah Dipublikasikan Jurnal Al-Wa’ie: 01/01/2005]


Daftar Pustaka


Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.


Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda.


Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).


Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera.


Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât


al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.


Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.


An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld.  I. Beirut: Darul Ummah


As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq.


Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr.


Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.


Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.


Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer &


Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif.


Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi.


Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh


Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.


Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.


Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-‘Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.

Sunday, August 1, 2021

MENGENAL HADHARAH DAN MADANIYAH

 MENGENAL HADHARAH DAN MADANIYAH


Oleh: Zakariya al-Bantany


Hadharah


Hadharah (peradaban) adalah sekumpulan mafahim (ide-ide atau pemikiran dan persepsi-persepsi yang dianut) yang memiliki fakta dalam kehidupan. Ringkasnya, hadharah adalah pemahaman atau persepsi atau konsepsi tentang kehidupan, baik pemahaman itu dihubungkan dengan agama atau akidah ataupun dengan ideologi tertentu.


Contoh hadharah, seperti: konsepsi theologi (ketuhanan), cara berpikir, cara beriman, cara beribadah, cara hidup, cara makan, cara minum, cara berpakaian, cara berprilaku, peringatan hari raya, budaya, ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan, arsitektur, tata ruang, tata bangunan dan kota, design grafis, statistik, seni, bahasa, karya sastra, sains, teknologi, dll.


Hadharah dibentuk, dipengaruhi dan berdiri di atas asas akidah tertentu atau ideologi tertentu.


Akidah tertentu atau ideologi tertentu merupakan akar atau fondasi yang menjadi asas dan pembentuk sebuah hadharah tertentu.


Hadharah Kufur Dan Hadharah Islam


Oleh karena itu, hadharah berdasarkan akidah/ideologinya tersebut ada dua macam:


1. Hadharah kufur.

2. Hadharah Islam.


Jadi:


1. Hadharah kufur adalah sekumpulan pemikiran, pemahaman atau persepsi ataupun konsepsi tentang kehidupan yang lahir dari akidah kufur atau ideologi kufur serta tegak di atas asas akidah kufur atau ideologi kufur tersebut.


Contohnya:


a. Hadharah kristen, seperti: konsep trinitas, hari natal, hari paskah, cara ibadah kristen di gereja, cara makan dan minum kristen, cara menikah kristen, cara berpakaian kristen, salib, kepausan dan kepastoran, sinterklaus, thinks giving, perayaan hari ulang tahun, perayaan tahun baru masehi, pohon cemara, perayaan Valentine Days, cara hidup kristen, bendera salib, Knight Templar, injil perjanjian lama dan baru, dll.


b. Hadharah yahudi, seperti: Konsep theologi zionis yahudi, illuminaty, freemasonry, theosufi, bintang david, sinagog, cara ibadah yahudi, cara makan yahudi, cara berpakaian yahudi, cara hidup yahudi, taurat, mata dajjal, dll.


c. Hadharah Hindu, seperti: Konsep theologi hindu yakni trimurti dan dewa-dewi yang dipuja, Mahabarata dan Ramayana, candi, kuil, pure, nyepi, pembakaran mayat, reinkarnasi, pembagian kasta (brahmana, satria, waisya dan sudra), sucinya sapi, sucinya monyet, cara beribadah hindu, cara makan dan minum hindu, cara berpakaian hindu, cara hidup hindu, dll.


d. Hadharah kapitalisme-sekulerisme, seperti: konsepsi pemisahan agama dari kehidupan dan negara, politik demokrasi, republik demokrasi, federal, liberalisme, ekonomi ribawi-kapitalis, budaya sekuler liberal, pendidikan sekuler liberal, kesehatan sekuler, oligarkhi trias politica, nasionalisme, HAM, pluralisme, sinkritisme, opurtunisme, chauvinisme, hedonisme, individualisme, kesetaraan gender, investasi asing, nation state, LGBT, nikah beda agama, globalisasi, Hukum dan perudang-undangan sekuler liberal, kolonialisme dan imperialisme, dll.


e. Hadharah sosialisme-komunisme, seperti: konsepsi atheisme, politik demokrasi monopartai, republik sosialis komunis, marxisme, lenisme, negara tangan besi, negara adalah segala-galanya, cara hidup dan berprilaku komunis, bendera palu-arit, doktrin agama candu, ekonomi sosialis, hukum sosialis komunis, pendidikan atheis, kolonialisme, imperialisme, revolusi berdarah, dialektika materialisme, teori evolusi, prolektarisme, nasakom, marhaenisme, doktrin masyarakat tanpa kelas, doktrin sama rasa sama rata, doktrin revolusi mental, dll.


f. Dan lain-lain...


Jadi, hadharah kufur beserta prodak-prodaknya tersebut yang bertentangan dengan akidah Islam maka haram diambil dan diadopsi serta haram pula diterapkan dan disebarluaskan oleh seorang Mukmin dan Muslim.


2. Adapun hadharah Islam sendiri adalah sekumpulan pemikiran, pemahaman atau persepsi ataupun konsepsi tentang kehidupan yang lahir dari akidah tauhid Islam atau ideologi Islam dan tegak di atas asas akidah tauhid Islam atau ideologi Islam.


Contohnya:


Konsepsi akidah tauhid, Syahadatain, rukun iman, rukun Islam, shalat, puasa, zakat, haji, thalabul ilmi, thaharah, akhlaq, Syariah, dakwah, jihad, jinayat, nikah, thalaq, rujuk, waris, dinar, dirham, masjid, kerudung, jilbab, jubah, gamis, sorban, peci, sajadah, cara makan dan minum Islam, cara berpakaian Islam, politik Islam (Khilafah/Imamah), pendidikan Islam, sosial-budaya Islam, seni Islam, sastra Islam, kaligrafi, shalawatan, kesehatan Islam (thibbun nabawi), ekonomi Islam, cara hidup dan berprilaku Islam, hukum dan peradilan Islam, hudud, tafsir Al-Quran dan hadits, fiqh, ushulul fiqh, bahasa Arab [nahwu-sharaf, qira'ah, kitabah, imla', ta'bir, ashwat, adab dan balaghah], tajwid dan tahsin Al-Quran, Iqra, pesantren, madrasah, halaqah, ta'lim, khutbah, tablihg akbar, Maulid Nabi Saw, Isra' Mikraj, Nuzulul Qur'an, Idul Fitri, Idul Adha, dll.


Jadi, yang hanya boleh dan wajib diambil, diadopsi dan diterapkan hanya hadharah Islam saja beserta prodak-prodaknya tersebut bagi seorang Mukmin dan Muslim.


Madaniyah


Adapun Madaniyah sendiri adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.


Bila hadharah bersifat khas karena dipengaruhi pandangan hidup (agama, akidah dan ideologi) tertentu.


Sedangkan, Madaniyah ada dua macam sifat:


1. Madaniyah yang bersifat khas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup (agama, akidah dan ideologi) tertentu.


2. Dan Madaniyah yang tidak bersifat khas atau madaniyah 'aam (umum) dan tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (agama, akidah dan ideologi) tertentu.


Madaniyah Khas Dan Madaniyah 'Aaam


Jadi:


1. Madaniyah khas adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan namun dipengaruhi oleh pandangan hidup (agama, akidah dan ideologi) tertentu. Atau merupakan prodak fisik dari hadharah tertentu bukan murni proadak fisik dari sains dan teknologi.


Madaniyah khas ada dua macam, yaitu:


a. Madaniyah khas kufur. Contohnya: Gereja, Sinagog, kuil, candi, pure, salib, baju pendeta, pohon natal, pernak-pernik natal, topi dan baju sinterclaus, kartu ucapan selamat natal, kartu ucapan perayaan hari raya kufur dan kartu ucapan tahun baru kufur, patung, lukisan makhluk hidup bernyawa, lukisan wanita telanjang, foto porno, video porno, musik kufur jahiliyah, bendera bintang david, sesajen, lonceng, terompet, simbol-simbol kekufuran dan simbol-simbol dajjal, bendera palu arit, dll. Dan madaniyah khas kufur tersebut haram diambil, diadopsi dan disebarluaskan oleh seorang Mukmin dan Muslim. 


b. Madaniyah khas Islam. Contohnya: Sorban, imamah, peci, baju Muslim, jilbab, kerudung, gamis, jubah, pakain ihram, ka'bah, masjid, mushalla, kaligrafi, mushaf Al-Quran dan mushaf Al-Hadits, kitab-kitab Kuning, bendera tauhid, pedang-pedang Islam, baju-baju perang Islam, simbol-simbol fisik Islam, ketupat lebaran, pernak-pernik lebaran, dll. Madaniyah khas Islam ini boleh dan sebagian hukumnya wajib diambil, diadopsi dan disebarluaskan oleh setiap Mukmin dan Muslim.


2. Madaniyah 'aam (umum) sendiri adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang murni hasil atau prodak sains dan teknologi serta bersifat umum yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan serta tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (agama, akidah dan ideologi) tertentu. Dan hukumnya adalah mubah atau boleh diambil (digunakan), diadopsi dan disebarluaskan oleh seluruh umat manusia apa pun pandangan hidup (agama, akidah dan ideologi)nya termasuk umat Islam pun boleh mengambil,  mengadopsi dan menyebarluaskannya.


Contoh Madaniyah 'aam tersebut, seperti: jam, tv, radio, hp, android, gadget, elektronik, komputer, internet, medsos, sepeda, motor, mobil, kereta api, pesawat terbang, mesin, kapal laut, pompa air, kran, kabel, alat kesehatan, listrik, setrika, alat rumah tangga, kulkas, lemari, kursi, meja, dll.


Wallahu a'lam bish shawab. []

Friday, July 30, 2021

APAKAH HIZBUT TAHRIR ASY'ARIY ?

 APAKAH HIZBUT TAHRIR ASY'ARIY?

 

Soal: 

Semoga Allah memberkati dan menganugerahi Anda ilmu dan kebaikan wahai Syekh. Saya ada pertanyaan jika Anda berkenan, apakah Hizbut Tahrir itu Asy'ariy dalam masalah akidah atau ia mempunyai pemahaman tersendiri yang khas dalam masalah akidah? Terima kasih. Selesai. (Riyadh Abu Malik) 


Jawab: 

Assalamualaikum wrwb 

Sebelum menjawab secara langsung pertanyaan Anda, saya ingin menegaskan terlebih dulu beberapa hal berikut: 


Pertama, Realitas Hizbut Tahrir 


1. Hizbut Tahrir telah mendefinisikan dirinya sebagai berikut: (Hizb adalah sebuah partai politik berideologi Islam, politik adalah aktivitasnya dan Islam adalah ideologinya. Hizb beraktivitas di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat agar umat menjadikan Islam sebagai persoalan utamanya dan agar Hizb memimpin umat dalam rangka menegakkan kembali Khilafah dan pemerintahan yang berdasarkan apa-apa yang diturunkan oleh Allah dalam realitas kehidupan. Hizb merupakan organisasi yang bersifat politis, bukan organisasi yang sifatnya ruhiyah, ilmiah, taklimiah, maupun khairiah. 


Pemikiran Islam adalah ruh bagi tubuh Hizb sekaligus sebagai rahasia kehidupannya dan substansi keberadaannya. Jadi mengacu pada definisi ini, Hizbut Tahrir bukanlah kelompok pemikiran, bukanlah golongan ilmu kalam dan bukan pula mazhab fiqh. Melainkan ia adalah sebuah partai politik yang mengadopsi persoalan-persoalan umat yang berjuang demi umat dan beraktivitas untuk mengembalikan Islam dalam realitas kehidupan dan akan menjaganya ketika kehidupan Islamy tsb telah tegak. Hizb mengimani akidah Islamiyah dan menganggap bahwa setiap orang yang mengimani akidah Islamiyah sebagai sesama saudara Muslim, sesuai firman Allah SWT: 


 إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةࣱ 


"Hanyalah sesungguhnya orang-orang Mukmin itu  bersaudara" (Al-Hujurat: 10)


Hizb senantiasa mengedepankan diskusi dengan cara-cara yang baik terhadap poin-poin persoalan yang diperselisihkan. 


2. Sesungguhnya Hizbut Tahrir telah mengadopsi sejumlah pemikiran-pemikiran, hukum-hukum dan pendapat-pendapat yang mesti diadopsi dalam rangka perjuangan Hizb termasuk kitab-kitab dan publikasi-publikasi yang dikeluarkannya. Akan tetapi Hizb tidak membahas setiap persoalan serta setiap pemikiran. Dalam perkara-perkara yang terkait akidah dan ibadah Hizb tidak begitu banyak mengadopsinya. Karena hal tsb tidak mengharuskan untuk diadopsi terkait aktivitas Hizb sebagai sebuah partai politik, yang berupaya membangkitkan umat dan mendirikan negara Khilafah dan bergerak atas dasar pemikiran dan perasaan umat. 


Sebagai contoh, Hizb mengadopsi pendapat dalam masalah kema'shuman para nabi dan para rasul. Juga mengadopsi masalah tentang boleh-tidaknya Nabi Saw berijtihad. Karena kedua hal ini berpengaruh dalam pemahaman yang bersifat tasyri'iy. Namun demikian Hizb tak mengadopsi banyak perkara yang telah dimasuki oleh para ulama ahli kalam. 


3. Sesungguhnya Hizb terikat pada kekuatan dalil. Hal ini nampak jelas dalam keinginannya yang berkesinambungan untuk terus menelaah tsaqafah-tsaqafahnya, hal-hal yang diadopsinya dan sikapnya yang selalu bertumpu pada kuatnya dalil. 


Atas dasar ini, Hizb telah merevisi dan memperbaiki kitab-kitabnya secara berkelanjutan. Hizb sama sekali tidak akan bersikukuh pada pendapat apapun yang terbukti bagi Hizb kelemahan dalilnya, lalu mengambil pendapat yang dalilnya lebih rajih. Bahkan Hizb telah meninggalkan pendapat yang terbukti kelemahannya seraya mengambil pendapat yang terbukti lebih kuat dalilnya. Ini sangat gamblang dalam semua perbaikan dan pengubahan yang terjadi dalam kitab-kitab Hizb. Demikian pula halnya dalam telaah menyeluruh atas seluruh kitab-kitab Hizb yang berlangsung dari waktu ke waktu. 


Kedua, sebagian kaum Muslimin menamai kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab yang berselisih pendapat dalam pembahasan masalah-masalah yang berkait dengan cabang-cabang dalam akidah dan persoalan ilmu kalam, misalnya Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam al-Asy'ari rahimahullah, Maturidiyah yang dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi rahimahullah, Salafiyah dll.


Mereka juga menamakan dengan menyematkan lafazh akidah. Mereka katakan, akidah Asy'ariyah, akidah Maturidiyah, akidah Salafiyah dsb. Bahkan mereka menamakan kitab-kitab matan maupun kitab-kitab ulama tertentu dengan nama akidah. Mereka katakan, akidah ath-Thahawiyah yang dinisbatkan kepada Imam ath-Thahawi rahimahullah, akidah al-Wasathiyah yang dinisbatkan kepada sebuah risalah yang ditulis oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dst.


Penyematan lafazh akidah terhadap semua hal ini, sebetulnya tidak akurat, tidak pada tempatnya, serta terdapat kesamaran dan pertentangan pendapat di antara kaum Muslimin. Karena posisi mazhab-mazhab terhadap permasalahan-permasalahan yang berkait dengan pembahasan-pembahasan akidah, bukanlah akidah. Tapi yang dimaksud akidah adalah akidah Islamiyah yang ditetapkan dalam syariat berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya qath'iy, yang mana tidak boleh terjadi perselisihan pendapat tentangnya. 


Karena itu sebenarnya tidak ada sesuatu yang dinamakan akidah Asy'ariyah atau akidah Salafiyah atau akidah Thahawiyah. Yang ada hanyalah akidah Islamiyah yang menghimpun semua kaum Muslimin di berbagai penjuru meskipun ada perbedaan dalam mazhab-mazhab mereka dan pendapat-pendapat mereka. Juga walaupun terdapat perbedaan pendapat antara berbagai mazhab, kelompok-kelompok pemikiran semacam Asy'ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan selainnya dalam pembahasan-pembahasan berkait masalah-masalah cabang di luar pembahasan akidah Islamiyah. Dan masing-masing kelompok memiliki pendapat yang tidak sampai mengeluarkannya dari akidah Islamiyah. 


Ketiga, sesungguhnya metode yang digunakan Hizb dalam mengadopsi pemikiran-pemikiran, hukum-hukum dan pendapat-pendapat yaitu mengambil pendapat berdasarkan kekuatan dalil. Baik yang dalilnya aqli maupun yang dalilnya naqli, tanpa memperhatikan soal siapa yang menyatakannya. 


Oleh karena itu, Hizbut Tahrir telah mengadopsi beberapa pendapat dalam persoalan-persoalan cabang akidah yang sejalan dengan pendapat kelompok Asy'ariyah. Juga Hizb mengadopsi beberapa perkara-perkara lain yang selaras dengan pendapat selain kelompok Asy'ariyah ini. Lalu dalam persoalan-persoalan syariat, Hizb mengadopsi pendapat yang sesuai dengan mazhab-mazhab fiqh yang masyhur maupun mazhab yang lain tanpa terikat dengan suatu mazhab tertentu. 


Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa Hizbut Tahrir itu Syafi'iyah atau Hanafiyah misalnya. Juga tidak bisa dikatakan bahwa Hizb itu Asy'ary atau Salafy atau Maturidy atau Muktazily. Begitupun, tidak bisa dikatakan bahwa Hizb itu termasuk madrasah ahli ra'yi atau termasuk madrasah ahli hadits dst. 


Sebab Hizb bukanlah bagian dari semua kelompok tsb. Melainkan ia adalah partai politik yang berideologi Islam dan senantiasa mengambil pendapat-pendapat berdasarkan kekuatan dalil semata, sesuai dengan metode yang kokoh yang diadopsi oleh Hizb - sebagaimana tertera di dalam berbagai kitabnya - terlepas soal siapa ulama yang menyatakannya. 


Maka dalam pendapat-pendapat Hizb sebagiannya adalah seperti yang diungkapkan kelompok Asy'ariyah, dan sebagiannya lagi sesuai yang dikatakan kelompok Salafiyah serta sebagiannya lagi selaras dengan pendapat kelompok-kelompok yang lain. Hal ini seluruhnya berlandaskan kekuatan dalil. Bukan karena terikat dengan pendapat-pendapat salah satu kelompok, juga bukan karena mengikuti kelompok tsb dalam hal metode, pemikiran maupun pendapatnya. Hizb tidak mengakui perselisihan-perselisihan (yang berdampak keterpecah-belahan) yang terjadi di tengah kaum Muslimin pada masa lalu. Bahkan Hizb menganggap kaum Muslimin seluruhnya adalah umat yang satu, meskipun terdapat perbedaan mazhab dan kelompok antara mereka. Dan Hizb menyeru mereka agar menyambut seruan dakwahnya dan berjuang bersama-sama dalam rangka penegakan Islam, pengembanan dakwah serta penyatuan umat di bawah naungan panji Khilafah Islamiyah. 


Saya berharap penjelasan ini bisa memberi jawaban yang memadai. 


Wallahu a'lam wa ahkam 


Saudaramu, 

Atha bin Khalil Abu Ar-Rasytah 


Amir Hizbut Tahrir 


17 Dzulhijjah 1442 /

27 Juli 2021


@satuabadtanpakhilafah

Monday, July 26, 2021

Betulkah Satu Khilafah Hanya Pendapat HT?

 Betulkah Satu Khilafah Hanya Pendapat HT?

 

Soal:


Benarkah satu Khilafah untuk umat di seluruh dunia hanya merupakan pendapat Hizbut Tahrir? Ataukah ini merupakan pendapat ulama kaum Muslim? Ataukah sebaliknya, tidak ada satu pun kitab fikih yang menyatakan bahwa Khilafah wajib satu?


 


Jawab:


Pendapat bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib mempunyai satu Negara Khilafah sesungguhnya merupakan pendapat para ulama mu’tabar. Imam an-Nawawi, misalnya, dalam Syarh Shahîh Muslim, menyatakan:


إذا بويع لخليفتين بعد خليفة، فبيعة الأول، صحيحة، ويجب الوفاء وبيعة الثاني باطلة، ويحرم الوفاء بِهَا، ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول، أم جاهلين، وسواء كانا في بلدين، أو بلد، أو أحدهما في بلد الإمام المنفصل، والآخر في غيره.. واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا..


Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah sebelumnya ada khalifah yang dibaiat, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan, sementara baiat yang kedua batil dan haram ditunaikan. Haram bagi orang yang kedua untuk menuntut baiat, baik mereka yang telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak; baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah Imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.1


Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bâri, juga menyatakan:


والمعنى: إذا بويع الخليفة بعد الخليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، وقال القرطبي: في هذا الحديث – أي حديث: (أوفوا ببيعة الأول..) حكم بيعة الأول، وأنه يجب الوفاء بها، وسكت عن بيعة الثاني، ونص عليه حديث  عرفجة في صحيح مسلم، حيث قال: فاضربوا عنق الآخر..


Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah setelah sebelumnya telah ada khalifah yang dibaiat, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan, sementara baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadis ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah baiat yang pertama,”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadis Arfajah, dalam Shahîh Muslim, telah menyatakan hal ini ketika menyatakan, “…maka penggalah leher yang terakhir (dari keduanya)…”2


Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, juga menyatakan:


فصل: وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما، لأنه لايجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد


Pasal: Jika Imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka Imamah [Khilafah]  keduanya tidak sah. Alasannya, karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.3


Imam al-Farra’, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, menyatakan:


ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين..


Tidak boleh [haram] mengangkat Imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.4


Inilah pendapat berbagai ulama tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi juga pendapat para ulama mu’tabar di kalangan Ahlus Sunnah.


Memang, Imam al-Haramain al-Juwaini menyatakan:


قال أصحابنا: لا يجوز عقدها لشخصين، قال: وعندي: أنه لا يجوز عقدها لاثنين في صقع واحد، وهذا مجمع عليه، قال: فإن بعد ما بين الإمامين، وتخللت بينهما شسوع فللاحتمال فيه مجال، وهو خارج من القواطع.


Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh Imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”5


Namun demikian, Imam an-Nawawi tidak sependapat dengan Imam al-Haramain al-Juwaini, bahkan dengan tegas menyanggah pendapat beliau:


وهو قول فاسد، لما عليه السلف والخلف، ولظواهر الأحاديث.


Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadis.6


Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolehan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan Imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.7


 


Dalil Kesatuan Khilafah


Khilafah Islam wajib satu bagi umat Islam di seluruh dunia telah dinyatakan dalam banyak hadis, di antaranya:


وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِه بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَة جَاهِلِيَّةً


Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah (HR Muslim).


Nabi saw. juga bersabda:


إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا


Jika dibaiat dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).


Beliau pun bersabda:


كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِي خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَ إِنَّهُ لاَ نَبي بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَمَا تأمرنا؟ قَالَ: أُوْفُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلُ، أُعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، وَاسْأَلُوْا اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ…


“Dulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya setelah aku tidak akan ada seorang nabi pun. Yang akan adalah para khalifah sehingga jumlah  mereka banyak.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Baginda saw. menjawab, “Tunaikanlah baiat yang pertama, maka yang pertama [itu yang sah]. Berikanlah kepada mereka hak mereka, dan memintalah kepada Allah, apa yang menjadi hak kalian.” (HR Muttafaq ‘Alaih).


Berdasarkan hadis-hadis di atas jelas bahwa: Pertama, di pundak setiap leher kaum Muslim wajib ada baiat, yaitu ketaatan kepada Imam [Khalifah] yang telah dibaiat oleh kaum Muslim, baik semua kaum Muslim yang ada di dunia terlibat dalam pembaiatannya, atau tidak, kecuali mayoritas, atau yang merepresentasikan suara mayoritas. Pasalnya, begitu baiat tersebut telah sah diberikan kepada seorang imam [khalifah], maka baiat tersebut telah mengikat leher setiap kaum Muslim sekalipun individu ini, atau kelompok itu, tidak terlibat langsung dalam proses pembaiatannya. Ini sebagaimana baiat terhadap Abu Bakar, yang diberikan oleh mayori-tas sahabat, telah mengikat leher Ali bin Abi Thalib ra, meski untuk beberapa saat beliau belum membaiatnya. Baiat tersebut juga mengikat leher Saad bin Ubadah meski belum sempat sama sekali membaiatnya hingga meninggal dunia. Semua ini membuktikan bahwa adanya baiat  kepada seorang khalifah yang sah menjadikan baiat tersebut mengikat leher setiap kaum Muslim.


Kedua, baiat yang mengikat leher tiap kaum Muslim tak lain adalah baiat kepada seorang imam (khalifah) sebagaimana yang ditunjukkan dua hadis di atas. Menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, “Ini merupakan seruan kepada seluruh kaum Muslim agar mereka tidak mempunyai dua khalifah, baik adanya khalifah yang kedua dengan sukarela dan persetujuan kaum Muslim, dengan pembaiatan mereka kepadanya, ketika yang pertama sudah ada, atau adanya khalifah melalui kekerasan dan perampasan kekuasaan khalifah yang pertama.” 8


Ketiga, hanya boleh ada seorang khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia merupakan kinayah, tentang adanya satu instruksi, satu kekuasaan dan kepemimpinan. Itulah yang dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitabnya, Fath al-Bâri.9


Itulah pendapat para ulama mu’tabar tentang kedudukan satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Dengan begitu pendapat yang menyatakan bahwa Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia hanya satu adalah bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama kaum Muslim.


Jika ada orang yang mengatakan bahwa ini hanya pendapat Hizbut Tahrir jelas dia telah menjatuhkan kredibilitasnya, apalagi jika dia diklaim sebagai orang alim dan ahli fikih. Orang seperti ini tidak layak disebut orang yang alim, apalagi ahli fikih. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]


 


Catatan kaki:


1      Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40.


2      Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Syarh Shahîh al-Bukhâri, VI/497.


3      Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 9.


4      Imam al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 9.


5      Lihat: Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40-41.


6      Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40-41.


7      Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, I/336.


8      Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, I/330.


9      Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Syarh Shahîh al-Bukhâri, XIII/8.

Thursday, July 22, 2021

Pengaruh Filsafat terhadap kemunduran Islam

 PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.


Pengantar


Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah  (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.


Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.


Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.


Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).


Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.


Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.


Adakah Filsafat dalam Islam?


Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),  penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.


Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.


Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).


Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).


Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).


Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.


Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.


Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam


Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.


Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.


Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.


Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).


Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.


Seiring dengan kekalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-‘Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.


Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a'lam

Monday, July 12, 2021

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Jenderal Glubb Pasha

 *Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Jenderal Glubb Pasha*


oleh Abdul Khaaliq ‘Abdoun


Abu Ghazi (Fathi Salim), semoga rahmat Allah SWT tercurah kepada beliau, menyampaikan kepada saya tentang sebuah diskusi yang berlangsung antara beliau dengan seorang perantara yang dikirimkan oleh Jendral Inggris Glubb kepada Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani (rh) untuk membujuk beliau demi kepentingan Inggris.


Perantara tersebut menyampaikan kepada Abu Ghazi: “Ketika Inggris menyadari akan bahaya keberadaan Syeikh Taqiyuddin (rh) Glubb mengirim saya kepadanya dengan membawa pesan secara lisan di mana Glubb memuji beliau atas upayanya memperjuangkan kondisi kaum muslimin dan Glubb mengajak beliau untuk bekerja sama. Sebagai imbalannya Syeikh akan mendapatkan sejumlah materi sesuai keinginannya.”


Sang perantara kemudian menyampaikan: “Syeikh bertanya kepada saya: “Itu saja pesannya?” Saya jawab: Ya. Kemudian ia meminta saya untuk menyampaikan jawaban beliau: “Inggris adalah pihak yang telah membuat kaum muslimin berada dalam kondisi terpuruk seperti sekarang ini, Inggrislah yang telah memecah belah dan mengerat-ngerat negara yang dahulunya satu. Dan Inggris jugalah yang telah mengangkat para pemimpin, agen Inggris, menjadi berkuasa dan menjaga penerapan sistem dan hukum-hukum buatan Inggris.”


Di tempat ini syeikh Taqiyudin an Nabhani pernah tinggal pada waktu itu


Perantara itu menyampaikan: “Dan Syeikh berbicara panjang lebar yang membuat saya kagum dan yakin dan saya belum pernah mendengarkan penjelasan seperti apa yang beliau jelaskan sepanjang hidup saya.”


Kemudian Syeikh Taqiyuddin menyimpulkan apa yang beliau utarakan dengan mengatakan: “Ya akhi, sampaikanlah kepada pihak yang mengirimmu kepada saya: Biji jeruk dan remahan roti lebih dari cukup bagi saya dibandingkan dengan semua kekayaan yang dimiliki oleh Inggris bahkan jika dikumpulkan sekalipun.”


Sang perantara kemudian menyampaikan: “Ucapan ini memberikan pengaruh yang sangat besar kepada saya dan saya melihat kemuliaan beliau, ilmunya dan keikhlasan serta kesungguhannya memperjuangkan perubahan kondisi kaum muslimin.”


Saya kembali kepada Glubb dan menginformasikan penolakan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani atas tawarannya. Mendengar hal ini, Glubb ingin menghabisi dan menyingkirkan Syeikh, maka ia mengutus saya untuk menemui Menteri Luar Negeri saat itu (Hasyim Al-Juyusy) untuk mengatur makan malam yang mengundang kehadiran Syeikh Taqiyuddin (rh). Mereka menunjuk saya untuk mengundang Syeikh datang pada makan malam tersebut dan saya pun menyadari bahwa mereka bermaksud membunuh beliau. Maka, ketika saya datang menemui Syeikh dan menyampaikan undangan tersebut, ia pun menolaknya.


Kemudian saya pergi kepada Glubb dan menyampaikan bahwa Syeikh Taqiyuddin menolak untuk hadir. Glubb pun mengeluarkan perintah untuk menjadikan Syeikh tahanan rumah di tempat tinggalnya di Al Quds. Ketika saya mencium kepastian untuk menyingkirkan beliau berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari kedekatan saya dengan para konspirator, saya pergi menemui Syeikh dan menyampaikan “orang-orang berkonspirasi melawan anda dan akan membunuh anda, saya sarankan anda untuk meninggalkan negara ini dan saya sendiri yang akan mengantarkan anda ke perbatasan. Maka saya mengantarkan beliau dengan mobil saya sendiri ke perbatasan Suriah.”


Abu Ghazi (rh) menyampaikan bahwa pria ini (si perantara) meminta beliau untuk tidak menyebutkan namanya tapi ia adalah orang yang dapat dipercaya dan saya tidak meragukan atas semua yang ia sampaikan.


Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, bagaimana ia benar-benar hanya merasa takut kepada Allah SWT.


sumber: http://islamicsystem.blogspot.com.au/2014/01/sheikh-taqiuddin-nabhani-general-glubb.html

_____________


Jendral John Glubb (kanan) 👇👇👇

Sunday, July 4, 2021

PENGHANCURAN BERHALA

 PENGHANCURAN BERHALA. 

@Abi Qostantin


Setiap berhala mesti dihancurkan. 

Berhala fisik yang terlihat ataupun yang tak terlihat. 


Rasulullah saw datang dengan 10.000 pasukan ke Mekkah untuk menghancurkan berhala. 

Mekkah penuh berhala saat itu. 

Dan berhala itulah yang menjadi institusi setan (alat),  yang selama ini menciptakan penolakan dakwah dan peperangan terhadap risalah nabi saw. 


Saat itu Abu Sofyan (Pemimpin Mekkah) berdiri tegak dengan 2 pedang yang terangkat,  siap menghadapi Rasulullah saw.


Rasulullah saw lalu mendekati Abu Sofyan,  dan berseru :

" Siapa saja yang masuk Mesjidil Haram,  maka dia kan selamat.  Dan yang masuk rumahnya menutup pintunya, dia  aman. Dan siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sofyan, dia pasti aman".


Abu Sofyan seketika itu langsung menelan ludahnya sendiri. 

Kedua pedangnya diturunkan perlahan-lahan. 

Jiwanya yang gersang penuh buruk sangka kepada Rasulullah saw, seolah ditampar untuk bisa mempercayai realitas. 

Bahwa Rasulullah saw dan risalahnya tidak datang untuk mencuri posisinya. 


Duhai Muhammad saw... 

Betapa mulai akhlakmu,  akulah yang kejam selama ini kepadamu.

Abu Sofyan tertunduk lalu pulang ke rumahnya mencoba mempercayai posisinya yang baru saja disahkan oleh orang yang paling dimusuhinya. 


Penaklukan Mekkah adalah penghancuran berhala. Bukan pembasmian nyawa dan martabat. 


Martabat dicapai karena prestise ditengah masyarakat sebagai penanggung jawab sosial. 

Selama bukan untuk berhalamu, maka martabatmu akan tetap engkau yang punya. 


Setan bersemayam pada setiap berhala. Sejak dari jaman Raja Namrud hingga di jaman ini. 

Berhala jaman sekarang adalah berhala pemikiran. 

Demokrasi, sekularisme,  kapitalisme, nasionalisme dan komunisme adalah berhala model baru,  tempat setan memanggil-manggil. 


Dan banyak umat islam saat ini yang menggadaikan martabatnya pada berhala ini. 


Berhala pemikian kufur inilah yang akan dihancurkan ketika Kh1lafh Islam tegak.

Sedangkan martabat manusia tetap pada posisinya selama mau tunduk bertahkim pada hukum Allah swt.

Friday, July 2, 2021

KHILAFAH, MASA DEPAN UMAT ISLAM INDONESIA DAN DUNIA

 *KHILAFAH, MASA DEPAN UMAT ISLAM INDONESIA DAN DUNIA*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik


Dalam sistem Khilafah, pemerintahan benar-benar akan dijalankan di atas manhaj 'akal sehat', yakni :


*Pertama,* akal yang sehat akan menyerahkan segala hal yang berkaitan dengan perintah dan larangan berdasarkan Wahyu, yang digali dari al Qur'an dan as Sunnah. Tidak boleh ada hukum Negara yang diadopsi menyelisihi al Qur'an dan as Sunnah.


Sumber hukum Islam yang akan dijadikan dasar legislasi hukum dan perundangan adalah :


1. Al Qur'an

2. Al Hadits

3. Ijma' Sahabat

4. Qiyas Syar'i


Inilah, sumber hukum yang diakui dalam sistem Khilafah. Setiap produk legislasi yang diadopsi Khalifah, wajib terikat dengan empat sumber hukum ini.


Haramnya riba, mubahnya jual beli, wajibnya zakat, haramnya tambang dengan deposit berlimpah dikuasai swasta, adalah hukum yang diadopsi berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah. Dalam sistem Khilafah, hudud akan ditegakkan, qisos akan diberlakukan, Ta'jier akan diterapkan, dan Khalifah diberikan wewenang untuk mengatur kemaslahatan umum masyarakat melalui kewenangan yang ada ditangannya.


Akal sehat memahami manusia penuh dengan keterbatasan, karenanya manusia butuh petunjuk dari Allah SWT. Manusia butuh aturan yang sahih, yang bersumber dari Wahyu Allah SWT.


Dalam hal ini, suara mayoritas tidak bernilai. Andaikan mayoritas menginginkan zina, tetap saja zina haram. Mayoritas menghendaki riba, tetap saja riba haram.


*Kedua,* akal sehat akan mengambil keputusan yang berkaitan dengan saintis sesuai otoritas ilmu. Para ahli, akan menjadi rujukan utama untuk menetapkan keputusan yang berkaitan dengan aspek saintis.


Mengatasi pendemi itu harus merujuk pada sains, meningkatkan produksi pangan itu wajib terkait dengan sains, meningkatkan teknis industrialisasi juga terikat dengan sains, mengatur tata kota, mengatur ekosistem alam, semuanya tunduk pada sains. Khalifah akan melegalisasi aturan yang berbasis sains pada bidang kemaslahatan umum yang objek pengaturannya bersifat saintis.

KEZALIMAN MEMBAWA KEHANCURAN

 KEZALIMAN MEMBAWA KEHANCURAN 


Buletin Kaffah No. 199 (21 Dzulqa'dah 1442 H/2 Juli 2021 M)


Saat ini ketidakadilan alias kezaliman makin nyata terasa. Terjadi di mana-mana. Terjadi hampir dalam semua perkara. Dari mulai ketidakadilan/kezaliman di bidang ekonomi hingga ketidakadilan/kezaliman di bidang hukum. 


Di bidang ekonomi, misalnya, selama ini sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat dikuasai oleh segelintir orang. Terutama aseng dan asing. Tentu karena dilegalkan oleh UU yang dibuat oleh rezim berkuasa. Sebaliknya, sebagian besar rakyat hanya menikmati sebagian kecilnya. 


Orang-orang kaya diberi pengampunan pajak. Sebaliknya, orang-orang kecil terus dikejar-kejar tagihan pajak. Orang-orang kaya diistimewakan dengan pembebasan pajak atas mobil mewah. Sebaliknya, orang-orang kecil malah makin dibebani oleh ragam dan jenis pungutan pajak. Termasuk rencana pajak sembako. Padahal jelas, sembako adalah kebutuhan dasar rakyat. Saat ini saja, ketika daya beli masyarakat makin menurun, banyak yang kesulitan membeli sembako. Apalagi jika harga sembako naik sebagai konsekuensi pemberlakuan pajak sembako.


Yang paling kasatmata adalah ketidakadilan atau kezaliman di bidang hukum. Di dalam sistem sekular yang menerapkan hukum-hukum buatan manusia, termasuk di negeri ini, keadilan hukum menjadi semacam barang mewah. Sulit dirasakan oleh rakyat kecil dan lemah. Keadilan hukum seolah hanya milik para pejabat dan mereka yang punya duit. 


Di negeri ini rakyat kecil yang mencuri benda senilai beberapa rupiah saja bisa dijerat hukuman berat. Sebaliknya, para pejabat yang punya kuasa atau mereka yang punya duit, meski mengkorupsi miliaran hingga triliunan uang rakyat, bisa bebas melenggang dari jeratan hukuman. 


Hari ini mereka yang pro rezim tetap aman. Tak tersentuh hukum. Padahal mereka berkali-kali melakukan tindakan kriminal: menghina Islam, menista ulama dan santri, dan sebagainya. Sebaliknya, hanya karena kesalahan kecil, asal dari pihak yang sering kritis terhadap rezim, mereka dijerat dengan hukuman berat. Itulah yang—antara lain—menimpa HRS. 


Itulah pengadilan di dunia. Sebuah pengadilan semu. Bahkan palsu. Pengadilan dunia sering menjadi alat untuk sekadar menghukum rakyat kecil. Hukumannya pun tidak akan mampu menghapus dosa-dosa para kriminal. Para penegak hukumnya acapkali bermental bobrok. Tidak memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Mudah dibeli. Mereka gampang tergoda oleh rayuan uang, harta, wanita dan kenikmatan dunia lainnya. 


Membawa Kehancuran


Ketidakadilan atau kezaliman adalah dosa besar. Kezaliman adalah musuh agama dan musuh umat. Bahkan Allah SWT telah mengharamkan kezaliman bagi Diri-Nya. Karena itu Allah pun mengharamkan kezaliman antar sesama hamba-Nya. Di dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman:


يَا عِبَادِيْ، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوْا


Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun telah mengharamkan kezaliman itu di antara kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi (HR Muslim).


Rasulullah saw. mengingatkan kaum Muslim akan besarnya bahaya kezaliman yang kelak akan dihadapi pelakunya pada Hari Kiamat:


الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari dan Muslim).


Di antara kezaliman yang termasuk dosa besar adalah tidak memberlakukan hukum-hukum Allah SWT seraya memberlakukan hukum-hukum buatan manusia. Allah SWT berfirman:


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah orang-orang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).


Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’âlim at-Tanzîl, mengutip Ikrimah, menjelaskan maksud ayat tersebut, “Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan karena mengingkarinya maka dia sungguh telah kafir. Siapa saja yang mengakui hukum Allah, namun tidak menjalankannya, maka dia zalim dan fasik.”


Kezaliman akibat mencampakkan hukum Allah telah menimbulkan ragam kezaliman yang lain kepada sesama manusia. Pengambilalihan sumberdaya alam milik umum, misalnya—tambang migas, hutan, jalan tol, dll yang seharusnya menjadi milik umum—menjadi milik swasta/asing merupakan salah satu kezaliman yang menimpa umat. Ini adalah akibat hukum-hukum Islam tentang kepemilikan tidak diterapkan.


Demikian pula rusaknya kehormatan. Hilangnya harta dan tumpahnya darah kaum Muslim tanpa ada peradilan yang adil dan sanksi hukum yang tegas. Ragam kezaliman ini adalah akibat hukum Islam terkait hudud tidak dijalankan. Yang diberlakukan adalah hukum-hukum buatan manusia. Sudah begitu, diterapkan secara suka-suka. Hukum berlaku bak pisau. Tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. 


Ketidakadilan atau kezaliman semacam ini pasti membawa kehancuran. Demikian sabda Rasulullah saw. Sebagaimana dituturkan Aisyah ra., pernah orang-orang Quraisy membicarakan perkara seorang perempuan dari suku Makhzumiyah yang mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang bisa menegosiasikan hal ini kepada Rasulullah saw.?” Mereka berkata, “Siapa lagi yang bisa melakukan itu selain dari Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah.” Lalu Usamah berbicara kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian bersabda, “Apakah engkau meminta keringanan dalam pelaksanaan had (hukum) di antara hukum-hukum Allah?” Beliau lalu berdiri dan berkhutbah seraya berkata:


إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا


Sungguh telah binasa orang-orang sebelum kalian. Pasalnya, jika di tengah-tengah mereka ada orang terkemuka mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Sebaliknya, jika di tengah-tengah mereka ada orang lemah mencuri, mereka tegakkan (hukum) atas dirinya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya (HR al-Bukhari).


Secara tersurat, sabda Baginda Rasulullah saw. di atas menegaskan, bahwa saat hukum diberlakukan secara tidak adil, hanya berpihak kepada yang kuat dan cenderung menzalimi yang lemah, maka kehancuran masyarakat pasti akan terjadi.


Pentingnya Institusi Penegak Keadilan


Keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Islam hanya mungkin bisa tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting. Tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman.


Pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh Rasulullah saw. Inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:


وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا


Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).


Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan frasa “waj’allii min ladunka sulthân[an] nashîrâ” dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam ayat ini jelas Rasulullah saw. menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudûd Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Tafsîr Ibn Katsîr, 5/111).


Karena itu tepat ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya Islam berdampingan dengan kekuasaan:


اَلدِّيْنُ وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ


Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).


Imam al-Ghazali juga menjelaskan:


اَلدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ مِثْلُ أَخَوَيْنِ وَلَدَا مِنْ بَطْنٍ وَاحِدٍ


Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulk, 1/19).


Apa yang dinyatakan oleh Imam al-Ghazali setidaknya menegaskan apa yang pernah dinyatakan sebelumnya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di dalam surat yang beliau tujukan kepada salah seorang ‘amil-nya. Di dalam surat tersebut antara lain beliau mengungkapkan:


وَ الدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ فَلاَ يَسْتَغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ اْلآخَرِ


Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib al-Idâriyah [Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah], 1/395).


Alhasil, meraih kekuasaan sangatlah penting. Namun, yang lebih penting, kekuasaan itu harus diorientasikan untuk menegakkan, memelihara dan mengemban Islam. Dengan kata lain, penting dan wajib menjadikan orang Muslim berkuasa, tetapi lebih penting dan lebih wajib lagi menjadikan Islam berkuasa, yakni dengan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur negara, bukan yang lain. Hanya dengan syariah Islamlah akan tercipta keadilan di tengah-tengah manusia. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna. 


WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []


---*---


Hikmah:


Allah SWT pun berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ


Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan, sebagai para saksi Allah, walaupun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabat kalian. (TQS an-Nisa’ [4]: 135). []


---*---


Download file PDF versi mobile:

http://bit.ly/kaffah199m


Download file PDF versi cetak:

http://bit.ly/kaffah199