Monday, August 2, 2021

PARLEMEN BUKAN KUNCI PERUBAHAN (Pelajaran dari Tunisia)

 PARLEMEN BUKAN KUNCI PERUBAHAN   

(Pelajaran dari Tunisia) 


Krisis politik kembali menerpa Tunisia. Parlemen dibekukan. PM Hichem Mechichi dipecat. Menurut Haythem Guesmi, pengamat politik Tunisia, tindakan Presiden Kais Saied yang membubarkan parlemen serta memecat Perdana Menteri tak lain adalah kudeta. (Al-Jazeera, 27/07/21). 


Hingga kini suasana masih memanas dan dikhawatirkan memicu gelombang aksi massa akibat lemahnya kendali rezim atas situasi sosial-politik-ekonomi di samping anjloknya trust rakyat terhadap rezim berkuasa. 


Yang sangat berbahaya adalah krisis ini bisa menjadi gerbang lebar bagi campur tangan lebih dalam negara-negara Eropa (khususnya Perancis dan Inggris) dan Amerika yang memanfaatkan situasi krisis dengan menggerakkan kelompok-kelompok yang loyal kepada mereka, hingga rakyat kian terpecah-belah dan bakal jadi tumbal persaingan dan kerakusan negara-negara penjajah beserta para penguasa kompradornya. 


Kisruh politik Tunisia ini kontan dilahap oleh media-media Barat maupun media-media sekuler di Timur Tengah yang nembebek ke Barat. Dengan gencar mereka mempropagandakan bahwa kaum Islamis atau partai Islam - sebagaimana klaim mereka - telah nyata-nyata gagal mengendalikan negara dan menyejahterakan rakyat. Kaum Islamis atau partai Islam dituding tak becus memimpin negara.


Pertanyaannya, benarkah an-Nahdhah adalah partai Islam yang dipimpin orang-orang dari kelompok Islamis, atau Islamnya hanya sekedar atribut? 

Lalu apa penyebab kegagalan yang sebenarnya? Islam politikkah? Atau politisi/parpol sekuler berlabel Islam yang terjebak dalam perangkap demokrasi sekularisme? 


Sebagaimana diketahui, Harakah an-Nahdhah atau Gerakan an-Nahdhah pimpinan Rached Gannouchi berpartisipasi dalam pemilu demokrasi pasca revolusi yang menjungkalkan Ben Ali tahun 2011. 


Harakah an-Nahdhah dengan slogannya Kebebasan, Keadilan dan Pembangunan dan menyebut dirinya sebagai gerakan Islam moderat pro-demokrasi yang berjuang melalui parlemen. Berkat syiar-syiar Islam yang dikampanyekannya, di samping muaknya rakyat atas kezhaliman periode rezim diktator sebelumnya, maka partai ini berhasil meraih suara signifikan dalam pemilu tahun. Pemilu 2011 merebut 89 dari 217 kursi parlemen. Kemudian Pemilu 2014 dan 2019 masing-masing mengoleksi 69 dan 52 kursi parlemen. Posisi ini mengantarkan Harakah an-Nahdhah menjadi bagian rezim berkuasa lewat koalisi dengan kelompok politik lainnya. 


Sayangnya, setelah berkuasa lewat koalisi politik, Harakah an-Nahdhah ternyata tidak mendorong penerapan syariat Islam dalam konstitusi Tunisia. Dengan kata lain, keberadaan "kaum Islamis" atau "partai Islam" ini terbukti tidak menjadikan hukum-hukum Islam Islam sebagai kebijakan negara sebagaimana yang dikampanyekannya. Bukankah ini bermakna bahwa syiar-syiar selama kampanye yang tampak Islami tsb sekedar untuk menjaring suara? 


Yang menarik dicermati pula bahwa penyingkiran kekuatan politik Harakah an-Nahdhah yang berlangsung sangat vulgar ini, tidak kontan memicu reaksi mayoritas rakyat sebagai wujud dukungan terhadapnya. Bahkan elit militer tampaknya mendukung 'kudeta' ini. 


Jadi apa pelajaran dari Tunisia? Jawabnya mungkin bisa diwakili oleh Ridha Belhaj Nashr, seorang politisi Tunisia dari koalisi partai berkuasa yang dikudeta. 


Dalam status facebooknya ia menulis begini: "Kesaksian untuk Allah dan untuk sejarah. Satu-satunya partai yang memahami (hakikat) permainan demokrasi dan memahami bahwasanya benang-benang demokrasi itu berada di tangan negara-negara besar, dan bahwasanya demokrasi ini hanyalah hiasan untuk mempercantik wajah buruk penjajahan, adalah Hizbut Tahrir." 


"Saya menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh anggota Hizbut Tahrir dan saya mohon maaf atas argumen saya yang mengukuhkan demokrasi sebagai satu-satunya sistem yang tersedia untuk penerapan hukum. Wahai anggota-anggota Hizbut Tahrir pendapat kalian benar dan pendapatku salah." 


Tegasnya, yang gagal dalam konteks krisis Tunisia ini hakikatnya bukan kaum Islamis atau partai Islam apalagi Islam ideologis. Karena selama 10 tahun berkuasa, Harakah an-Nahdhah faktanya tidak pernah menerapkan syariat Islam dalam lingkup bernegara. Yang ada hanyalah pribadi-pribadi politisi Muslim yang justru melanggengkan sistem demokrasi-kapitalisme-sekularisme-liberalisme yang rusak lagi kufur. 


Maka kami tegaskan sekali lagi bahwa demokrasi bukanlah jalan bagi perjuangan perubahan masyarakat menuju masyarakat Islami. Yaitu masyarakat yang diterapkan di dalamnya syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara Khilafah. Bagaimana mungkin demokrasi yang tali-temalinya ada di genggaman Barat melapangkan jalan bagi kemenangan Islam?


Untuk itu umat mesti segera mencampakkan demokrasi kemudian fokus pada agenda perjuangan membangun kesadaran umat dan meraih dukungan pemilik kekuatan (militer) demi terwujudnya perubahan yang hakiki yang diridhai oleh Allah SWT. 


Jangan lagi umat ini terperosok ke lubang demokrasi yang sama sampai dua kali apalagi berkali-kali! 


Bukankah Rasulullah Saw sudah berpesan bahwa orang yang beriman tidak terjatuh ke lubang yang sama dua kali?


Wallahu al-Muwaffiq ilaa Aqwamit Thariq 


Depok, 23 Dzulhijjah 1442 / 2 Agustus 2021

No comments: