Tuesday, May 11, 2021

INFORMASI RUKYATUL HILAL DATANG TERLAMBAT, BOLEHKAH SHOLAT IEDUL FITRI KEESOKAN HARINYA?

 INFORMASI RUKYATUL HILAL DATANG TERLAMBAT, BOLEHKAH SHOLAT IEDUL FITRI KEESOKAN HARINYA?



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi



Tanya :


Assalamualaikum. Ustadz, saya mendapat informasi bahwa rukyatul hilal untuk Syawal 1441, telah berhasil dilakukan di Tanzania dan beberapa negara Afrika lainnya pada hari Jumat malam 22 Mei 2020. (dari situs Khilafah.com, dll). Sehingga 1 Syawal 1441 H, sebenarnya jatuh pada hari Sabtu 23 Mei 2020, bukan hari Ahad 24 Mei 2020.


Apakah shalat Iedul Fitri tetap boleh diadakan hari Ahad ini tanggal 24 Mei 2020? (Iwan Januar, Bogor).


Jawab :


Wa 'alaikumus salam wr. wb.


Jika informasi berhasilnya rukyatul hilal tersebut kita terima sebelum Zhuhur pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2020, misalnya pukul 10.00 WIB, maka tidak boleh hukumnya kita melakukan sholat Iedul Fitri keesokan harinya, yaitu Ahad 24 Mei 2020. 


Adapun jika informasi keberhasilan rukyatul hilal tersebut sampai kepada kita setelah Zhuhur pada hari Sabtu 23 Mei 2020, maka boleh hukumnya kita sholat Iedul Fitri keesokan harinya, yaitu pada hari Ahad 24 Mei 2020.


Dalilnya hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu 'Umair bin Anas RA, telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar yang termasuk shahabat Rasulullah SAW, ia berkata :



«غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ»



“Hilal Syawal tertutup mendung bagi kami, maka esoknya kami berpuasa (istikmal). Lalu di akhir siang datang serombongan orang dan mereka bersaksi di hadapan Rasulullah SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Rasulullah SAW memerintahkan agar mereka berbuka hari itu dan keluar ke tempat shalat Ied mereka keesokan harinya”. (HR Ahmad).


Imam Al Baihaqi telah mengeluarkan di Sunan al-Kubra dari Rib’iy bin Hirasy dari seorang laki-laki di antara shahabat Nabi SAW, ia berkata :



«اخْتَلَفَ النَّاسُ فِى آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدِمَ أَعْرَابِيَّانِ فَشَهِدَا عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم   بِاللَّهِ لأَهَلاَّ الْهِلاَلَ أَمْسِ عَشِيَّةً فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم النَّاسَ أَنْ يُفْطِرُوا وَأَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلاَّهُمْ»



"Orang-orang berbeda pendapat tentang hari terakhir Ramadhan, lalu dua orang Arab Baduwi datang dan bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa keduanya telah melihat hilal kemarin petang maka Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang agar berbuka dan pergi ke tempat shalat Iedul Fitri mereka keesokan harinya”. (HR Al Baihaqi, dalam As Sunan Al Kubra).


Berdasarkan dalil-dalil hadis tersebut, maka karena kita di Indonesia terlambat menerima informasi rukyatul Hilal dari Tanzania tersebut, yaitu pada  malam Ahad (23 Mei 2020), maka kita dibolehkan sholat Iedul Fitri besok, yaitu hari Ahad tanggal 24 Mei 2020.


Dibolehkan juga takbiran dan khutbah Iedul Fitri pada hari Ahad 24 Mei 2020, karena hal itu adalah masalah-masalah cabang (taabi') yang mengikuti hukum pokoknya, yaitu sholat Iedul Fitri. Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :



التابع تابع



At Taabi'u taabi'un "Perkara cabang itu hukumnya mengikuti perkara yang pokok." (M. Shidqiy al Burnu, Mausu'ah Al Qawa'id Al Fiqhiyyah, Juz II, hlm. 158).


Wallahu a'lam.


Yogyakarta, 24 Mei 2020 (02 Syawal 1441 H)


M. Shiddiq Al Jawi

SIAPAKAH ULIL AMRI DALAM AN NISA' 59

 SIAPAKAH ULIL AMRI DALAM AN NISA' 59?


Al Imam Abu Zahrah menjelaskan, 


Bahwa sebagian ulama berpendapat ulil amri itu para ahli fiqih yang mereka mampu menggali hukum, akan tetapi menurut mayoritas ulama ulil amri adalah para penguasa (al hukkam) dan ahlul halli wa 'aqdi (mereka yang memilih penguasa). Tapi dengan dua catatan:


Pertama, selama mereka muslim, artinya bukan penguasa kafir. 


Kedua, mereka taat kepada Allah dan rasul Nya, yang itu ditandai dengan menegakkan keadilan dan tidak melanggar hukum-hukumNya. 


Mengutip penjelasan Az Zamakhsyari, 


Bahwa "ulil amri dari kalian" artinya para pemimpin di atas kebenaran (umaraa' al haq). Digabungkannya perintah taat kepada ulil amri dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, tidak lain karena sifat ulil amri tersebut yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, memerintahkan kepada keduanya, melarang dari kebalikannya. Contohnya seperti Khulafa' Rasyidin. Dimana mereka mengatakan:


أطيعوني ما عدلت فيكم فإن خالفت فلا طاعة لي عليكم


Taatilah aku selama aku berlaku adil, tapi jika aku tidak adil maka kalian tidak wajib taat kepadaku. 


Abu Zahrah, Zahrotut Tafasir (Beirut: Darul Fikr al Arobi) hlm 1727-1728


Faidah:

• Ulil Amri yang wajib ditaati dalam mafhum syar'i bukan sembarang penguasa, melainkan penguasa yang memilki kriteria tertentu. 


• Ulil amri adalah penguasa yang memiliki kriteria: 1) muslim, dan 2) terikat dengan hukum Allah dan RasulNya atau terikat dengan syariat Islam. 


• Sedangkan istilah syar'i untuk penguasa yang tidak memenuhi kriteria tersebut adalah thaghut, bukan ulil amri minkum. Sebagaimana disebut di ayat setelahnya (an Nisa' 60). Imam Ibnu Katsir menjelaskan:


فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة ، وتحاكموا إلى ما سواهما من الباطل ، وهو المراد بالطاغوت هاهنا


Ayat ini (an nisa 60) berisi celaan terhadap siapa saja yang berpaling dari al Quran dan as Sunnah, dengan berhukum kepada kebatilan di luar keduanya. Ini yang dimaksud thaghut di sini.

Monday, May 10, 2021

Narasi Radikalisme Rezim Jokowi : Propaganda Sesat Menyerang Islam

 https://al-waie.id/fokus/narasi-radikalisme-propaganda-menyerang-islam/


*Narasi Radikalisme Rezim Jokowi : Propaganda Sesat Menyerang Islam*


Salah satu postulat yang kini tengah gencar ditebarkan oleh Barat melalui berbagai corong media mereka adalah atribut “Islam radikal” atau istilah radikalisme. Sebagai strategi adu domba sesama Muslim, maka Baratpun membuat istilah tandingan kontra radikalisme yang disebut dengan “Islam moderat”, baik Islam radikal maupun Islam moderat. Keduanya adalah istilah yang diproklamirkan Barat untuk menyerang Islam.


*Rezim Jokowi Masih Hobby Jualan Narasi Radikalisme Ditengah Ketidak Percayaan Public*


Islam moderat beberapa waktu yang lalu menjelma menjadi Islam Nusantara yang sempat menyulut polemik. Pengikut Islam moderat mengklaim dirinya sebagai penebar Islam washatiyah. Padahal secara epistemologis, istilah washatiyah tidaklah sama dengan kata moderat. Islam moderat justru lebih banyak mempropagandakan nilai-nilai Barat dibandingkan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.


Sekali lagi, secara epistemologi, istilah radikal dan moderat adalah istilah yang datang dari filsafat Barat, sementara istilah washatiyah dan kâffah adalah istilah yang berasal dari terminologi al-Quran. Karena itu tidak mungkin keduanya memiliki kesamaan makna. Begitupun istilah “Islam Rahmatan lil’Alamin” yang berasal dari al-Quran dengan term “Islam Nusantara”yang tidak ditemukan dengan jelas asal-muasalnya.


Ironisnya,proxy war Barat dengan langkah hegemoni wacana yang jelas-jelas menyerang Islam justru diamini oleh negara-negara Muslim di dunia, termasuk di Indonesia, Saudi dan Mesir. Ini karena Indonesia dan negara-negara Muslim lain menerapkan ideologi Kapitalisme sekuler yang secara diametral bertentangan dengan ideologi Islam.


Untuk melanggengkan kekuasaan dan ideologi ini, Barat melakukan langkah monsterisasi ajaran Islam dengan memberikan stigma radikal kepada Muslim yang ingin menerapkan Islam secara kâffah. Sebaliknya,mereka memuji Muslim yang pro ideologi kapitalisme sekular sebagai moderat. Faktanya, pengikut Islam moderat biasanya menolak formalisasi syariah oleh negara atau anti khilafah. Padahal khilafah merupakan ajaran Islam, sebagaimana akidah, akhlak, ibadah dan muamalah.


Strategi Barat untuk menyerang Islam ini merupakan propaganda busuk yang harus disadari oleh  seluruh kaum Muslim. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:


Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalain(QS al-Baqarah [2]: 208).


Seiring dengan menguatnya hegemoni wacana dengan serbuan istilah-istilah Barat disertai melemahnya kemampuan Bahasa Arab di kalangan kaum Muslim, propaganda serangngan Barat terhadap Islam melalui isu radikalisme ini justru mendapat sambutan positif dari negeri-negeri Muslim.


Prof. Dr. Soheir Ahmad as-Sokari, ahli linguistik di berbagai universitas besar, di antaranya Georgetown University, mengutarakan bahwa Barat telah melakukan penghancuran kemampuan bahasa Arab generasi Muslim, yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan umat Islam.


Radikalisme dan Asal-usulnya


Radikalisme adalah istilah Barat, bukan dari Islam. Radikalisme berasal dari kata radical atau  radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris-Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama-artikan (sinonim) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”.Radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada kata “akar” atau mengakar.


Istilah fundamentalisme atau radikalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19. Istilah ini untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen. Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula kemunculan fundamentalisme. Mereka telah menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910. Saat itu mulai terkristalisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamentalisme. Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang  bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan  yang lahir dari ideologi Kapitalisme yang berdasarkan akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme).


Alat untuk Menyerang Islam


Istilah radikalisme oleh Barat kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia. Inilah cara terakhir Barat untuk melanggengkan hegemoni ideologi Kapitalisme sekular dengan menyebarkan paham demokrasi. Proyek antiradikalisme atau deradikalisasi terus digulirkan dengan menggulirkan wacana moderasi agama hingga memunculkan istilah baru. yakni “Islam Nusantara”. Ironinya, banyak kaum Muslimtertipu dengan proyek ini. Mereka ikut terlibat dalam berbagai program deradikalisasi, baik karena kebodohan maupun karena pragmatisme semata.


Setidaknya ada empat karakteristik dan tujuan Barat  melancarkan imperialisme epistemologi sebagai propaganda Barat menyerang Islam.Pertama:Harakah at-Tasykîk, yakni menumbuhkan keraguan (skeptis) pada umat Islam akan kebenaran Islam. Diantara keraguan yang mereka lancarkan adalah gugatan tentang otentitas al-Quran, Islam sebagai Mohammadanisme, keraguan atas kerasulan Muhammad.


Dampak dari at-tasykîk adalah tumbuhnya sikap netralitas dan relativitas terhadap ajaran Islam.Jika masih ada seorang Muslim yang secara fanatik memahami Islam maka mereka kemudian dicap sebagai fundamentalis, radikalis, islamis dan teroris.


Kedua:Harakah at-Tasywîh, yaitu menghilangkan rasa kebanggaan terhadap ajaran Islam dengan cara memberikan stigma buruk terhadap Islam. Mereka dengan gencar mencitrakan Islam secara keji melalui media-media. Dampak dari tasywîh ini adalah menggejalanya inferiority complex (rendah diri) pada diri umat Islam, islamopobhia, pemujaan  kepada Barat.


Ketiga:Harakah at-Tadzwîb, yakni gerakan pelarutan (akulturasi) peradaban dan pemikiran.  Dampaknya adalah umat Islam terjebak dalam pemikiran pluralisme agama.Pluralisme jelas bertentangan dengan Islam.Pluralisme, menurut WC Smith, bermakna transendent unity of religion (wihdat al adyan), dan global teologi menurut John Hick.


Keempat:Hakarah at-Taghrîb, yakni gerakan westernisasi segala aspek kehidupan kaum Muslim. Paradigma Barat dijadikan sebagai kiblat kaum Muslim dengan meninggalkan tsaqâfah Islam. Melalui berbagai bidang seperti fun, fashion, film dan food, Barat terus mempropagandakan ideologinya.


Pertarungan Pemikiran


Pertarungan peradaban Barat dengan peradaban Islam terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya:


Dominasi terhadap berbagai sarana media massa yang diarahkan untuk kepentingan peradaban Barat.

Dominasi terhadap kurikulum pendidikan di setiap tingkatan, yang dimaksudkan untuk menyebarluaskan konsep-konsep Barat, menyimpangkan dan menentang berbagai konsep peradaban Islam, serta memalsukan sejarah peradaban Islam.

Mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas di bawah kendali dan pengawasan langsung para pemuja peradaban Barat.

Mendirikan berbagai partai politik yang menganut dan menyerukan peradaban Barat, yang dikelola oleh negara-negara Barat dan antek-anteknya yang bersikap moderat-progresif.

Memberikan dukungan dan sponsor kepada orang-orang yang dianggap sebagai kalangan elit, terpelajar, dan intelektual, dengan tujuan untuk mempromosikan mereka menjadi tokoh-tokoh pemikir di negeri-negeri kaum Muslim.

Memberikan dana beasiswa pendidikan dalam berbagai bentuknya, untuk memilih orang yang dianggap cocok menjadi agen intelektual, agen politik, agen militer, atau mata-mata bagi Barat.

Memberikan dana melimpah kepada berbagai lembaga, kelompok dan organisasi yang didirikan untuk menyebarluaskan racun-racun pemikiran mereka.

Memerangi penggunaan bahasa Arab dan membangkitkan bahasa-bahasa selain Arab; melontarkan agitasi-agitasi yang bersifat nasionalistik dan patriotik. Bahkan apa yang disebut konflik kepentingan (shira’ al-mashâlih) sejatinya berawal dari perbedaan pemikiran, yang kemudian diikuti dengan pertarungan pemikiran.

Bahkan kepala negara dengan seluruh jajarannya dan pendukung setianya secara masih melakukan propaganda dan proyek antiradikalisme dengan menyasar berbagai elemen masyarakat dari siswa, mahasiswa, dosen hingga instansi pemerintahan.


Presiden Joko Widodo menghadiri dan menyaksikan deklarasi anti radikalisme dan terorisme dari seluruh pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 26 September 2017. Presiden Jokowi menyambut positif deklarasi perguruan tinggi se-Indonesia untuk melawan radikalisme (Voaindonesia.com, 26/09/17).


Kementerian Agama pun terus berupaya untuk menangkal radikalisme yang sudah menjamah ke kalangan anak. Diantaranya dengan menggalakan kegiatan yang bersifat moderasi agama(TribunNews.com, 23/7/2017).


Tak mau ketinggalan, BNPT Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) sering memberikan penyuluhan kepada mahasiswa agar tidak gampang terpengaruh dengan paham radikal(Bnpt.go.id,6/9/17).


Bahkan oleh sebuah televisi swasta acara reuni 212 2017 yang lalu dianggap sebagai perayaan intoleran yang anti kebhinekaan. Padahal reuni 212 adalah sebuah ekspresi umat Islam untuk mencintai dan membela agamanyadari berbagai penistaan oleh pihak-pihak yang intoleran itu. Media corong demokrasi terus menfitnah Islam sebagai agama intoleran dan radikal. Padahal merekalah yang intoleran. Bahkan sebuah ormas beberapa waktu lalu melakukan persekusi dan pembubaran terhadap pengajian. Bukankah ini tindakan intoleran itu.


Karena itu tanpa diberi embel-embel moderat atau radikal, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Dengan menerapkan Islam secara kâffah dalam istitusi negara, kebaikan Islam baru akan dapat dirasakan oleh seluruh manusia di dunia. Islam tidak memerlukan label-label Barat yang keji dan menyesatkan. Islam ya Islam. Islam moderat yang diinginkan oleh Barat adalah Islam yang menafikan penerapan syariah Islam secara kâffah oleh negara. Sebabnya, tegaknya Daulah Islam adalah ancaman terbesar bagi ideologi Kapitalisme di seluruh dunia.


Umat[an] Washath[an]


Secara etimologi, al-wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan (Al-Ashbahani, Mufradât AlFâzh al-Qur’ân, II/entri w-s-th). Bisa juga bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih; karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau: tengah kota (At-Tahrîr wa at-Tanwîr, II/17).


Umat[an] wasath[an] yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih  karena mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Jalan lurus dalam surat al-Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci (yahudi) dan jalan orang sesat (Nasrani)(Tafsir al-Manâr,  II/4).


Karakter umat washtiyyah ada empat: umat yang adil dan pilihan (QS Ali Imran [3]: 110);terbaik  dan pertengahan  antara ifrâth(berlebihan) dan tafrîth(mengurangi)(Tafsir ar-Razi, II/389-390).


Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat dalam pandangan Barat.


Dengan demikian lebel radikal dan moderat adalah cara Barat untuk menciptakan polarisasi di kalangan kaum Muslimagar terpecah-belah dan menghambat kebangkitan Islam.


Karena itu penting memberikan pencerahan kepada umat tentang bahaya imperialisme epistemologi Barat ini melalui berbagai istilah menyesatkan sebagai propaganda menyerang dan menfitnah Islam.  Penting juga membentengi umat dari serangan  Islam moderat dan radikal dengan menjelaskan kesesatan dan kerusakan ide keduanya. Umat Islam harus diberikan penjelasantentang hakikat Islam  yang sebenarnya sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara kâffah.


Khatimah


Dengan terus melakukan dakwah penyadaran kepada umat akan bahaya narasi radikalisme sebagai propaganda Barat kepada Islam, umat akan terus berjuang menumbangkan seluruh narasi Barat dan membangun narasi Islam dalam pemikiran dan perasaan kaum Muslim. Dengan demikian akan terjadi gelombang kesadaran umat akan pentingnya mendakwahkan dan memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah yang akan memberikan kebaikan bagi seluruh manusia dan alam semesta.


Dari berbagai indikasi yang ada, tampak bahwa tegaknya Khilafah tak akan lama lagi, dan tumbangnya peradaban Kapitalisme sudah diujung mata

Saturday, May 8, 2021

Rukyat Hilal dan Posisi Hisab Astronomis

 Jawab Soal: Rukyat Hilal dan Posisi Hisab Astronomis

 


Rukyat Hilal dan Posisi Hisab Astronomis


(Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir)


 


Pertanyaan keenam:


Rukyat hilal untuk awal bulan qamariyah setiap tahun memicu perdebatan di generasi muslim di sini pada Ramadhan … Bagaimana sikap kita terhadap pendapat tentang penggunaan hisab astronomis sebagai ganti rukyat untuk menetapkan awal Ramadhan?  Apakah itu merupakan pendapat yang marjuh (lemah) saja atau malah tertolak yakni batil?  Dengan ungkapan lain apakah ada syubhat dalil ataukah tidak?  Jika merupakan pendapat yang tertolak –seperti yang saya pahami- apa hukum berpuasa mereka yang mengikuti pendapat ini?  Perlu diketahui ada sejumlah orang di sini, di Australia dan negara-negara barat lain, dan mereka terus bertambah?  Masalah lain, jika menjadi jelas bagi orang yang berpuasa bahwa dia menyalahi rukyat, lalu apa yang harus ia lakukan?  Bukankah dalam hal itu ada suatu kesusahan?  Seperti halnya bahwa sebagian dari orang yang berdiskusi dengan kami mengatakan bahwa puasa berdasarkan rukyat hilal tidak praktis.  Kadang mereka keluar untuk merukyat tetapi mereka tidak bisa melihat, atau mereka berbeda-beda dalam melihatnya dan ini menyebabkan persoalan! Lalu apa pendapat dalam masalah ini?  Kemudian hisab saat ini telah menetapkan kelahiran hilal dengan sangat teliti, dan berikutnya membatasi kemungkinan melihatnya sehingga seandainya tidak terlihat, lalu kenapa kita tidak bersandar kepada hisab sehingga memudahkan masalah tersebut sebagaimana kita menghitung waktu-waktu shalat?


 


Jawab:


Rukyat adalah yang dijadikan sandaran dalam puasa Ramadhan sesuai dengan dalil-dalil yang dinyatakan dalam hal itu.  Diantaranya:


«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»


Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh hari


 


Adapun yang dijadikan sandaran oleh mereka yang menggunakan hisab astronomis berupa dalil-dalil yang mereka pandang, maka semua itu tertolak dan tidak bisa diberlakukan atas masalah tersebut.  Dalil paling masyhur yang mereka sebutkan ada dua:


Pertama: hadits Rasul saw :


«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» (رواه البخاري)


Kami adalah umat yang ummiyyah, kami tidak bisa menulis dan menghitung, satu bulan itu begini dan begitu (HR al-Bukhari)


 


Hadits ini, meski di dalamnya ada washfun mufhimun (sifat yang bisa memberikan pemahaman) yaitu kata ummiyyah yang bisa saja membisikkan bahwa itu merupakan ‘illat yang mewajibkan beramal menurut mafhum, yakni andai bukan ummat yang ummiyyah niscaya kita menggunakan hisab … hanya saja, ini tidak benar seperti yang sudah diketahui di dalam ushul.  Sebab ini adalah mafhum yang diabaikan.  Karena sifat ummiyah untuk menyatakan kondisi pada galibnya.  Orang arab mayoritasnya ummiy.  Ditambah lagi bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan oleh nas yaitu hadits:


«فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين» (البخاري)


Jika kalian tertutup mendung maka genapkanlah hitungan tiga puluh (HR al-Bukhari)


 


Tidak disebutkan bersamanya batasan.  Artinya jika rukyat hilal tidak mungkin karena tertutup mendung atau hujan yakni suatu sebab yang menghalangi rukyat, maka hukum syara’ telah ditetapkan dengan menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari, sehingga meski sekalipun hilal muncul akan tetapi tertutup mendung.  Atas dasar itu maka yang diterapkan adalah manthuq dan mafhum harus diabaikan.


Ini fakta tentang syarat beramal dengan mafhum dalam kebanyakan kondisi, mafhum itu diabaikan jika dinyatakan untuk menyatakan kondisi galibnya; atau jika dibatalkan oleh nas misalnya:


]وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ[


Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (TQS al-Isra’ [17]: 31)


 


Takut kemiskinan (khasyyah imlâq) merupakan sifat yang memberikan pemahaman (washfun mufhimun) yakni khasyyah al-faqri -takut kemiskinan-.  Demikian juga pernyataan itu menunjukkan kondisi pada galibnya.  Mereka membunuh anak-anak karena takut miskin.  Kemudian bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan dengan nas:


]وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ[


Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam (TQS an-Nisa’ [4]: 93)


 


Oleh karena itu mafhum ini diabaikan.  Tidak dikatakan bahwa yang haram adalah membunuh anak-anak karena takut kemiskinan dan menjadi halal jika ia membunuhnya karena kaya!  Akan tetapi pembunuhan itu tetap haram dalam dua kondisi itu baik karena kemiskinan atau kaya.  Demikian juga ayat:


]لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً[


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (TQS Ali Imran [3]: 130)


 


Kata adh’âfan mudhâ’afatan (berlipat ganda) merupakan washfun mufhimun (sifat yang memberikan pemahaman) dan demikian juga menyatakan kondisi pada galibnya.  Mereka mengambil riba berlipat ganda.  Kemudian mafhum ini diabaikan dengan nas:


]وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[


padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah [2]: 275)


 


Oleh karena itu mafhum ini diabaikan.  Tidak bisa dikatakan yang haram adalah riba yang banyak, sedangkan riba yang sedikit maka boleh.  Akan tetapi, riba berapapun banyaknya adalah haram sebab mafhum (adh’âfan mudha’afatan) diabaikan seperti yang kami katakan.


Begitulah, mafhum kata (ummiyah) diabaikan seperti yang kami jelaskan.  Yakni bahwa rukyat hilal jika terhalang karena mendung atau hujan maka wajib menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh, baik kita mengetahui hisab ataupun tidak mengetahui.


Kedua, pendapat mereka jika waktu-waktu shalat di situ hisab dijadikan sandaran, dan jika demikian maka waktu puasa di situ hisab juga dijadikan sandaran … jawaban hal itu:


Siapa yang menelaah nas-nas yang dinyatakan tentang puasa maka ia akan mendapati hal itu berbeda dari nas-nas yang dinyatakan tentang shalat.  Puasa dikaitkan dengan berbuka dan dengan rukyat:


]مَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (


Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (TQS al-Baqarah [2]: 185)


«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»


Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal


 


Jadi rukyat adalah (yang dinyatakan oleh) hukum.  Akan tetapi nas-nas tentang shalat telah dikaitkan dengan terealisasinya waktu:


] أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ(


Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (TQS al-Isra’ [17]: 78)


«إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»


Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian


 


Jadi shalat bergantung pada terealisirnya waktu.  Maka dengan wasilah apapun Anda tetapkan waktu maka Anda harus shalat.  Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu tergelincirnya matahari atau Anda melihat bayangan untuk melihat bayangan segala sesuatu atau semisalnya seperti yang ada di dalam hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat, jika Anda lakukan hal itu dan Anda tetapkan waktu shalat, maka shalatnya sah.  Jika Anda tidak melakukan hal itu akan tetapi Anda menghitungnya secara astronomis lalu Anda tahu bahwa waktu tergelincir atau jam sekian lalu Anda lihat jam tanpa keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat telah sah.  Yakni bahwa Anda tetapkan waktu dengan wasilah apa saja. Mengapa? Sebab Allah SWT meminta Anda shalat karena masuknya waktu dan menyerahkan Anda penetapan masuknya waktu tanpa menentukan tatacara penetapan itu.  Sedangkan puasa maka Allah meminta Anda untuk berpuasa dengan rukyat jadi Allah membatasi sebab untuk Anda bahkan lebih dari itu Allah berfirman kepada Anda jika rukyat terhalang mendung sehingga Anda tidak bisa melihat, maka Anda tidak berpuasa hingga meskipun hilal ada di balik mendung dan Anda merasa yakin adanya hilal menurut hisab astronomis.


Inilah pendapat kami dalam masalah ini.  Hisab astronomis tidak boleh dijadikan sandaran dalam penentuan puasa dan berbuka Ramadhan, akan tetapi yang harus dijadikan sandaran adalah rukyat.


–                      Adapun bagaimana puasa orang yang menggunakan hisab astronomis, jika mereka berpuasa pada hari-hari yang dihitung bagian dari Ramadhan sesuai rukyat, maka itu adalah puasa yang sah.  Sebaliknya jika mereka melewatkan satu hari dari Ramadhan sesuai rukyat maka mereka dimintai pertanggungjawaban atasnya dan mereka wajib mengqadha’nya.


Ini yang kita yakini, kita jelaskan kepada masyarakat.  Dan kita tidak memiliki kekuasaan memaksa mereka atas pendapat kita.  Melainkan kita jelaskan kepada mereka dengan uslub yang baik dan hikmah yang baik dan masalah berhenti.  Kami tidak menjadikan masalah tersebut dalam bentuk benturan pendapat, tetapi kami gariskan garis yang lurus di samping garis yang bengkok.  Dan Allah SWT adalah Maha Memberi Petunjuk kepada jalan yang lurus.


–                      Sedangkan pendapat bahwa mengikuti rukyat mempersulit masalah, maka kadang orang berpuasa pada hari terakhir Ramadhan kemudian dia diberi berita bahwa hari itu adalah hari Ied … Dan seandainya ia menjadi berbuka pada awal Ramadhan lalu orang lain datang dan berkata “rukyat hilal telah terlihat jadi hari ini adalah Ramadhan begitu maka masalah tersebut menjadi sulit…


Jawaban hal itu adalah bahwa masalahnya lebih mudah dari hal itu.  Seorang muslim berpuasa dan berbuka sesuai pengetahuannya tentang rukyat setelah ia mencarinya, maka jika ia berpuasa atau berbuka berdasarkan tidak adanya rukyat hilal menurutnya, kemudian datang orang yang memberitahunya pengetahuan yang sahih tentang rukyat hilal maka ia harus mengikutinya.  Ini ditetapkan dengan hadits Rasulullah saw: diriwayatkan dari sekelompok orang Anshar:


«غُمَّ عَلَيْنَا هِلاَلُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً، فَجَاءَ رَكِبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهَدُوْا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلاَلَ بِاْلأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَفْطِرُوْا ثُمَّ يَخْرُجُوْا لِعَيْدِهِمْ مِنْ الْغَدِّ»


Hilal syawal tertutup mendung bagi kami sehingga kami berpuasa, lalu di akhir hari datang pengendara kuda dan mereka bersaksi di hadapan Nabi saw bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan mereka berbuka kemudian mereka keluar untuk melaksanakan shalat Ied mereka esok harinya (HR Ahmad)


Pada masa dahulu faktanya bahwa sampainya berita rukyat dari tempat lain tidak mudah, seperti yang terjadi pada Rasulullah saw.  Berita rukyat delegasi yang datang ke Madinah sampai kepada Rasulullah saw ketika sudah siang dimana Rasul dan kaum muslimin di Madinah berpuasa sebab mereka tidak melihat hilal.  Ketika delegasi itu memberitahu Rasul saw tentang rukyat hilal, Rasul saw pun memerintahkan kaum muslimin berbuka.  Hari itu adalah hari terakhir Ramadhan.  Rasul saw berpuasa menggenapkan hitungan karena tidak berhasil merukyat (melihat) hilal di Madinah.  Ketika datang berita kepada beliau bahwa hilal terlihat di tempat lain, beliau memerintahkan berbuka sebab hari itu hari pertama Syawal.  Artinya: hari raya ied, dan bukan penggenapan Ramadhan.


Ini perkara yang mudah.  Setiap daerah mencari berita rukyat.  Jika hilal tidak terlihat dan tidak sampai berita yang sahih bahwa hilal terlihat di tempat lain maka hendaknya berpuasa atau berbuka.  Dan jika sampai berita rukyat hilal maka berita itu harus dijadikan sandaran sebab hadits tersebut merupakan seruan untuk semua orang “shûmû li ru`yatihi … -berpuasalah karena melihat hilal …-.


–                      Sedangkan ucapan Anda : bahwa mereka mengatakan (tidak praktis), lalu kenapa tidak praktis?  Jika penduduk Australia mencari rukyat hilal Syawal dan mereka tidak melihatnya, dan tidak sampai berita kepada mereka bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka mereka hendaknya berpuasa.  Jika sampai kepada mereka berita rukyat hilal selama hari itu, maka mereka harus berbuka sebab hari itu adalah ied seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw … begitu.  Kemudian sungguh sekarang ini berita bisa sampai dengan mudah dan cepat … Oleh karena itu masalahnya tidak praktis itu tidak ada alasan yang mendukungnya bagi seorang muslim yang ingin mencari kebenaran dalam ibadahnya.


–                      Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal maka itu benar.  Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan rukyatnya maka itu tidak benar.  Sebab para astronom berbeda pendapat dalam menentukan kadar waktu yang terjadinya kelahiran hilal sehingga terlihat setelah tenggelam matahari.  Meski demikian kita tidak berpuasa dan berbuka menurut hakikat kelahiran hilal, akan tetapi menurut rukyatnya.  Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw:


«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»


Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh


 


Kadang kala hilal Ramadhan itu sudah ada tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat maka hitungan Sya’ban digenapkan, sesuai nas hadits.  Jadi waktu berpuasa itu ditetapkan dengan rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil.  Seandainya waktu berpuasa seperti halnya waktu shalat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat niscaya penetapan waktu menggunakan hisab adalah benar.  Akan tetapi, dalil-dalil puasa datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil shalat datang dengan pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat:


«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا…»


Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian …


 


Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya.


 


20 Ramadhan 1433

Thursday, May 6, 2021

Penerapan Syari’ah Islam; “Muslim- Non Muslim dalam Naungan Khilafah” (1)

 Penerapan Syari’ah Islam; “Muslim- Non Muslim dalam Naungan Khilafah” (1)


Oleh: M. Taufik N.T


Pendahuluan


Dakwah Islam untuk penegakan syari’ah dalam bingkai khilafah terus berlanjut, dukungan umat pun semakin kuat. Namun masih ada kekaburan bahkan kesalahfahaman, baik bagi yang mencintai Islam maupun yang membencinya. Diantara kekaburan/kesalahfahaman tersebut terutama ketika membahas bagaimana model penerapan Syari’at Islam oleh negara?. Bukan hanya orang awam, bahkan ada da’i yang menyatakan bahwa syari’at Islam diterapkan hanya untuk orang Islam saja, ada juga yang bertanya: kalau Islam diterapkan bagaimana nasib non muslim? , atau pernyataan : negara kita ini kan majemuk, bukan hanya Islam, jadi ya ndak cocok lah Islam di sini !.


Disisi lain ketika dijelaskan bahwa Khilafah akan menaungi seluruh rakyatnya, menerapkan Islam kepada mereka, dan diberikan perinciannya, karena ketidakfahaman/ketidakmauan untuk memahami, akhirnya muncul statemen-statemen yang tidak benar. Semisal ketika ada tulisan : “Sunni- Syi’ah dalam Naungan Khilafah” muncul ungkapan bernada miring, seolah sunni-syiah mau dipersatukan (ajarannya)[1], tanpa mengindahkan perincian dan penjelasan dalam tulisan tersebut. Padahal tulisan tersebut membahas bagaimana negara dg hukum syari’at mengatur rakyat, baik rakyatnya sunni ataupun syi’ah. Nanti khawatirnya ketika ada tulisan ini ada kalimat “Muslim- Non Muslim dalam Naungan Khilafah” difahami bahwa mau menyatukan agama Islam dengan yang lain. Padahal faktanya, tulisan ini sebagaimana tulisan “Sunni- Syi’ah dalam Naungan Khilafah” , berbicara bahwa khilafah memang menaungi mereka semua, dan menerapkan syari’at untuk semua rakyat, tentunya dengan perincian yang akan dipaparkan berikut.


Bentuk Penerapan Syari’at Islam Oleh Negara


1. Negara melaksanakan Syariat Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan khilafah Islam, baik yang muslim maupun yang non-muslim dalam bentuk-bentuk berikut ini :


a. Negara melaksanakan seluruh hukum Islam atas kaum muslimin tanpa kecuali.


b. Orang-orang non-muslim dibiarkan memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing.


c. Orang-orang yang murtad dari Islam, atas mereka dijatuhkan hukum murtad jika mereka sendiri yang melakukan kemurtadan. Jika kedudukkannya sebagai anak-anak orang murtad atau dilahirkan sebagai non-muslim, maka mereka diperlakukan bukan sebagai orang Islam sesuai dengan kondisi mereka selaku orang-orang musyrik atau ahli kitab.


d. Terhadap orang-orang non-muslim, dalam hal makanan, minuman dan pakaian,diperlakukan sesuai dengan agama mereka, dalam batas apa yang diperbolehkan hukum-hukum syara’.


e. Perkara-perkara nikah dan talak antara sesama non-muslim, diselesaikan sesuai dengan agama mereka dan jika terjadi antara muslim dan non-muslim, perkara tersebut diselesaikan menurut hukum Islam.


f. Hukum-hukum syara’ selain di atas, seperti muamalat, uqubat, bayyinat, ketatanegaraan, ekonomi dan sebagainya, dilaksanakan oleh negara atas seluruh rakyat, baik yang muslim maupun yang bukan. Pelaksanaannya juga berlaku terhadap mu’ahidin, yaitu orang-orang yang negaranya terikat perjanjian dengan negara Khilafah; terhadap musta’minin, yaitu orang-orang yang mendapat jaminan keamanan untuk masuk ke negeri Islam; dan terhadap siapa saja yang berada di bawah kekuasaan Islam, kecuali bagi para diplomat, konsul, utusan negara asing dan sebagainya, karena mereka memiliki kekebalan diplomatik.


Penjelasan Dalilnya


Point 1 dan bagian a


1) Dari sisi seruan/khithob, Islam datang untuk seluruh manusia. Firman Allah :


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ


”Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia” (QS. Saba’ : 28).


Seluruh manusia baik muslim maupun non muslim dibebani dengan Islam baik ushul (aqidah) maupun cabang (hukum syara’). Bahwa Muslim dan Non muslim dibebani dengan hukum Islam sesuai dengan Firman Allah :


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ


”Wahai sekalian manusia sembahlah Tuhan Kalian (yaitu Allah)”.(QS. Al Baqarah:21).


Jika mereka tidak dibebani dengan hukum cabang maka tentu Allah tidak mengancam mereka karena meninggalkan hukum itu, seperti firman Allah.


وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ (6) الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ


“Celakalah orang-orang musyrik yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka ingkar terhadap hari akhir” (QS. Fushilat :6-7).


وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا


“Dan orang-orang yang tidak menyeru tuhan lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq mereka tidak berzina dan barangsiapa yang melakukan yang demikian akan mendapatkan (pembalasan) dosa” (QS. Al Furqan: 68).


فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّى


“Mereka tidak berlaku jujur dan tidak menunaikan shalat” (QS. Al Qiyamah : 31 ).


مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ


“Apa yang menyebabkan kalian berada di neraka saqar ? Mereka menjawab : Kami tidak menjadi orang-orang yang menegakkan shalat” (QS. Al Muddatstsir: 42-44 ).


Ayat-ayat tersebut bersifat umum mencakup kaum muslimin dan non muslim. Lafadh ‘umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya “Al “aam yabqa ‘ala ‘umumihi maa lam yarid dalil at takhshish”. Tidak ada dalil yang mengkhususkan ayat-ayat tersebut hanya untuk kaum muslimin saja sehingga tetap dalam keumumannya mencakup kaum muslimin dan non muslim. Seperti ayat


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا


“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275).


فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ


“Dan jika mereka (para isteri yang telah dicerai itu) menyusui anak-anakmu maka berikanlah upah mereka” (QS. Ath Thalaq : 6 ).


Sabda Rasul : “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Bukhari ). Sabda Rasul :” Manusia berserikat dalam tiga hal; padang gembalaan, air dan api “. Jelas bahwa non muslim juga dibebani dengan hukum-hukum cabang (furu’).


Adapun dikecualikannya non muslim dalam beberapa pelaksanaan hukum karena disyaratkannya beragama Islam dalam pelaksanaan perbuatan itu. Seperti shalat, puasa, dsb.


2) Dari segi penerapan hukum maka diterapkan seluruh hukum Islam atas seluruh rakyat. Firman Allah :


فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ


”Dan hukumilah di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka” (QS. Al Maidah: 48). Ayat ini berkaitan dengan non muslim.


إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ


“Sesungguhnya telah kami turunkan al kitab (Al Qur’an) kepadamu agar engkau menghukumi di antara manusia sesuai dengan apa yang diwahyukan Allah kepadamu “ (QS. An Nisaa’ : 105 ).


Adapun opsi menerapkan hukum Allah atau berpaling dari mereka sebaggaimana dalam ayat:


سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ


“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar kabar bohong, banyak memakan harta haram, jika mereka (orang Yahudi) itu datang (kepadamu), maka putuskanlah (perkara) diantara mereka atau berpalinglah dari mereka” (QS. Al Maidah : 42)


Ini adalah berkaitan dengan rakyat negara lain yang datang ke daulah Islamiyah, maka kepala negara bisa memutuskan perkara mereka sesuai hukum Allah atau menolak mereka. Humaidi di dalam kitab Musnad mengetengahkan sebuah hadis dari jalur Jabir bin Abdullah yang mengatakan, “Ada seseorang lelaki dari kalangan penduduk Fadak berbuat zina, lalu penduduk Fadak berkirim surat kepada orang-orang Yahudi penduduk kota Madinah agar mereka bertanya kepada Muhammad tentang hukum zina tersebut, ‘Jika Muhammad memerintahkan hukuman dera, maka ambillah keputusan itu, jika memerintahkan kamu untuk merajam pelakunya, maka janganlah kamu ambil keputusan itu.’ Kemudian orang-orang Yahudi penduduk Madinah bertanya kepada Nabi saw. tentang hukuman tersebut yang kisahnya seperti telah dikemukakan tadi. Akhirnya Nabi saw. memerintahkan agar ia dihukum rajam. Setelah itu lalu turunlah ayat, “Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka….” (Q.S. Al-Maidah 42) Imam al Baihaki dalam kitab Dalailnya juga meriwayatkan hadis seperti ini dari Abu Hurairah.


3) Non muslim yang diterapkan atas mereka hukum Islam adalah mereka yang tunduk kepada kekuasaan Islam dan hukum Islam. Hal itu tercapai dengandua syarat : Pertama, dengan membayar jizyah setiap tahun, kedua, terikat dengan hukum Islam yakni menerima keputusan apa yang diwajibkan atas mereka yaitu menunaikan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Sesuai dengan firman Allah :


حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ


“sampai mereka membayar jizyah dan mereka dalam keadaan tunduk” (QS. At Taubah : 29) yakni tunduk kepada hukum Islam.


4) Rasulullah saw menerapkan hukum Islam atas non muslim warga negara.


Anas bin Malik meriwayatkan:


أَنَّ يَهُودِيًّا قَتَلَ جَارِيَةً عَلَى أَوْضَاحٍ لَهَا فَقَتَلَهَا بِحَجَرٍ فَجِيءَ بِهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِهَا رَمَقٌ فَقَالَ أَقَتَلَكِ فُلَانٌ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا أَنْ لَا ثُمَّ قَالَ الثَّانِيَةَ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا أَنْ لَا ثُمَّ سَأَلَهَا الثَّالِثَةَ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا أَنْ نَعَمْ فَقَتَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَجَرَيْنِ


seorang laki-laki yahudi membunuh hamba sahaya karena ingin merampas anting-antingnya. Ia membunuhnya dengan batu. Si hamba sahaya dibawa ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sisa-sisa nyawanya. Nabi bertanya; “Apakah yang membunuhmu fulan?” Ia menjawab tidak dengan mengisyaratkan kepalanya. Nabi mengulang pertanyaannya: “Apakah yang membunuhmu fulan?” Ia menjawab tidak dengan mengisyaratkan kepalanya. Nabi bertanya lagi untuk kali ketiganya: “Apakah yang membunuhmu fulan?” ia menjawab ‘iya.’ Maka Nabi membunuh si yahudi dengan menjepitnya diantara dua batu. (HR. Bukhory).


Ibn Umar ra. juga berkata:


… أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجَمَ فِي الزِّنَى يَهُودِيَّيْنِ رَجُلًا وَامْرَأَةً زَنَيَا …


… Sesungguhnya Nabi SAW pernah merajam dalam kasus zina, seorang laki-laki dan seorang wanita Yahudi yang berzina… (HR Muslim).


Begitu juga non muslim tetap dilarang melakukan riba, sebagaimana riwayat berikut:


” كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَهْلِ نَجْرَانَ وَهُمْ نَصَارَى: «أَنَّ مَنْ بَايَعَ مِنْكُمْ بِالرِّبَا فَلَا ذِمَّةَ لَهُ»


Rasulullah saw menulis kepada penduduk Najran, dan mereka adalah nashrani : “ Sesungguhnya barangsiapa yang berjual beli dengan riba maka tidak ada dzimah baginya” . (HR. Bukhory)


Bagian b. Orang-orang non-muslim dibiarkan memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing.


Perintah Allah : “Dan putuskanlah di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah” (QS. Al Ma’idah : 48), keumumnnya telah dikhususkan untuk selain aqidah yang mereka yakini dan selain hukum dalam aqidah mereka dan selain hukum–hukum yang didiamkan Rasul saw. Yaitu dikhususkan dengan firman Allah :


لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS. Al Baqarah : 256)


Imam Al Qurthuby menyatakan bahwa yang dimaksud “ad diin” dalam ayat ini adalah adalah I’tiqad (keyakinan) dan millah (agama), dengan indikasi “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”[2].


Seorang muslim, bahkan Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma agama mereka tanpa menerima intervensi apapun dari negara Khilafah saat itu.


Dari Urwah r.a , Rasulullah saw menetapkan untuk penduduk Yaman:


أَنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِ أَوْ نَصْرَانِيَّتِهِ فَإِنَّهُ لَا يُفْتَنُ عَنْهَا


”Sesungguhnya barangsiapa yang tetap dalam keyahudiannya dan kenashraniannya, sesungguhnya tidak diganggu”. (al Hafidz Ibnu Hajar, At Talkhîsul Al Habîr, 4/315, Kanzul ‘Ummal, 4/502).


Selain itu beliau juga pernah bersabda tentang orang-orang orang musyrik (Majusi/penyembah api):


سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ


Tetapkanlah untuk mereka sebagaimana Ahlul Kitab, (Imam Malik, Al Muwaththa’, 2/395, Al Baihaki, Sunan Al Kubro, 9/319, As- Syafi’i, Musnad As Syafi’i, hal 209). Ketentuan ini berlaku untuk selain sembelihan dan wanita mereka yang tetap diharamkan bagi umat Islam. Dalam


«يعني في الجزية خاصة، لا في الذبائح والنكاح»


Dengan demikian seluruh perbuatan yang termasuk aqidah mereka sekalipun menurut kita tidak masuk dalam aqidah, atau perbuatan yang didiamkan Rasulullah maka mereka tidak dipaksa, seperti perbuatan mereka meminum khamr dsb, tidak dipaksa untuk ditinggalkan. Allahu A’lam [Insya Allah bersambung]


—–

[1] Kata “dipersatukan” ini yang jadi masalah, bagi yang memandang miring, tetap ngotot bahwa maksud tulisan tsb adalah disatukan ajarannya, kalau mereka mau membuka hati untuk mencoba memahaminya, tentu akan mudah menangkap fakta ide tulisan tsb, yakni dipersatukannya mereka adalah dalam sistem aturannya, semua rakyat diterapkan satu sistem saja, yakni Hukum Syari’ah Islamiyah. Di sub judul juga jelas tertulis Kebijakan Khilafah Mempersatukan Sunni-Syiah. Dibagian penjelasan juga dinyatakan bahwa khilafah akan:


1. Mengakomodasi pendapat dan pendirian mereka selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Kelompok-kelompok seperti ini tetap dianggap sebagai bagian dari kaum Muslim dan diperlakukan layaknya kaum Mukmin. Mereka diberi hak untuk menyebarkan pendapat dan pendiriannya di wilayah Khilafah Islamiah tanpa ada larangan sedikit pun. Mereka juga diberi hak untuk mengakses jabatan-jabatan penting Negara Khilafah.


2. Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat. Mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Negara Khilafah dalam masalah ini sangat jelas: menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.

Disisi lain, kalau konsisiten dengan memahami kalimat tsb sebagaimana kehendaknya, seharusnya yang di Pancasila dibahas juga dong, ketika dikatakan “persatuan Indonesia”, mengapa mereka tidak protes dg protes: berarti mau menyatukan Islam-Kristen-Hindu-Budha…. Disinilah pentingnya belajar bahasa Indonesia, sehingga tahu maksud kalimatnya seperti apa.


[2] Al Qurthuby (w. 671 H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 3/279.

Tuesday, April 6, 2021

MENGAPA SYIAH HANYA MENCINTAI HUSEIN SAJA, BUKAN ANAK ALI YANG LAIN ?

 *MENGAPA SYIAH HANYA MENCINTAI HUSEIN SAJA, BUKAN ANAK ALI YANG LAIN ?*


Yuk pahami 😌

*Save Aqidah*


http://www.annasindonesia.com/read/973-mengapa-syiah-hanya-mencintai-husein-saja-bukan-anak-ali-yang-lain-


*Tahukah Anda, mengapa syiah senantiasa memuja dan menyembah Husein saja dan tidak mencintai anak-anak Fatimah yang lainnya?*


Informasi berikut ini bisa jadi akan membuat Anda dan kaum muslimin sedunia kaget setengah mati, khususnya Syiah-syiah non Iran.


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut diatas mari kita lihat daftar anak kandung laki-laki Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, sebagai berikut:


1.Hasan bin Ali bin Abi Thalib

2.Husein bin Ali bin Abi Thalib

3.Muhsin bin Ali bin Abi Thalib

4.Abbas bin Ali bin Abi Thalib

5.Hilal bin Ali bin Abi Thalib

6.Abdullah bin Ali bin Abi Thalib

7.Jakfar bin Ali bin Abi Thalib

8.Usman bin Ali bin Abi Thalib

9.Ubaidillah bin Ali bin Abi Thalib

10.Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib

11.Umar bin Ali bin Abi Thalib


Pernahkah Anda melihat bendera atau umbul-umbul Syiah yang bertulisan “Wahai Hasan…” atau يا حسن ?


Kenapa mereka hanya meminta kepada Husein saja, padahal Hasan juga anak kandung Ali bin Abi Thalib yang juga terlahir dari rahim Fatimah binti Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, baik Hasan maupun Husein sama-sama Ahlu Bait.


Pernahkah anda wahai Syiah-syiah non Persia mempertanyakan hal ini?


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ketahuilah informasi berikut ini:


*Tahukah Anda bahwa 12 imam syiah seluruhnya berasal dari keturunan Husein saja?*


*Syiah hanya mensakralkan Husein saja, namun tidak mensakral Hasan dan tidak juga mensakralkan anak-anak Ali bin Abi Thalib yang lainnya yang semuanya diredhai Allah.*


❗ *Jawabannya adalah: karena Husein menikahi wanita Persia Iran putri raja Yazdegerd yang bernama Shahrbanu atau yang dikenal dengan Syahzinan. Konon ketika Kekaisaran Persia ditaklukkan dan terbunuhnya Kaisar Yazdegerd maka putri-putrinya ditawan.*


Saat itu Umar menghadiahkan putri sang Kaisar yang bernama Syahzinan kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Husein pun menikahinya. Oleh karena itulah Syiah begitu mensakralkan Husein dan para imam Syiah yang terlahir dari rahim Syahzinan berdarah Persia, dan bukan seperti klaim mereka bahwa mereka mencintai keluarga nabi Muhammad yang berasal dari Arab.


Hakikatnya, mereka sangat mencintai Ahlu Bait kaisar yang menjadi moyang 12 imam yang semuanya berasal dari ibu berdarah Persia, *mereka sangat fanatis dalam mencitai dan memuja kakek anak-anak Husein sang kaisar Persia, bukan sang nabi yang berasal dari Arab.*


❗ *Imam-imam yang mereka sakralkan dan mereka anggap maksum satu level dengan nabi-nabi itu hanyalah imam-imam yang berasal dari keturunan raja Persia Yazdegerd, tidak ada yg berasal dari Arab.*


❗ *Mereka mencintai Husein dan para imam-imamnya karena mereka meyakini bahwa di dalam darah imam itu mengalir darah Persia keturunan kaisar.*


❗ *Mereka hanya mencintai Ahlu Bait kaisar raja Persia, bukan Ahlu Bait nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.*

Tuesday, March 30, 2021

Menepis Fitnah Terhadap Hizbut Tahrir di Majalah Tauiyah Sidogiri

 *Menepis Fitnah Terhadap Hizbut Tahrir di Majalah Tauiyah Sidogiri*



Majalah Tau’iyah yang diterbitkan An-Najah Center Sidogiri edisi Sya’ban 1441 H telah memuat tulisan berjudul “Hizbut Tahrir: Perbedaannya dengan Kita” yang ditulis oleh Achmad Arief. Penulis terlihat begitu tendensius meski berusaha bersikap ilmiah dengan kutipan-kutipan referensi. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penulis terlihat tidak memahami dengan baik pendapat Hizbut Tahrir dalam perkara yang sedang dibantahnya; ke-Dua, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan ke-Tiga, menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersebut.


Penulis menyebutkan beberapa permasalahan yang diklaim sebagai “pendapat menyimpang pendiri Hizbut Tahrir” lalu kemudian dibantahnya sendiri. Berikut beserta tanggapannya.


*Tanggapan untuk Permasalahan Pertama: Qada’-Qadar dari Filsafat Yunani*


Menurut penulis Hizbut Tahrir menganggap teori qadha’ dan qadar Ahlussunnah wal Jamaah mengadopsi dari para filsuf Yunani. “Semua persoalan ilmu kalam diadopsi dari para filsuf Yunani, termasuk masalah qadha’ dan qadar.” (Lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa konsep qadha qadarnya Ahlussunnah itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan filsuf yunani. Sambil menyebutkan referensi Mukhtasharul I’tiqad lil Baihaqi, hlm 231.


*Tanggapan:* 

Maksud Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak demikian. Beliau mengatakan di kitab tersebut tidak seperti yang diketengahkan terjemahannya oleh penulis itu.


فَننا لا نكاد نجد مسألة من مسائل علم الكلام إلا كان ناشئة عن مسألة سبق للفلاسفة اليونان أن بحثوها


“Sungguh kita nyaris tidak menemukan satupun di antara permasalahan ilmu kalam melainkan itu muncul dari permasalahan yang sudah pernah dibahas oleh kaum filsuf Yunani.” (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66)


Maksudnya di situ adalah terkait pengambilan tema atau topiknya. Bukan mengadopsi pendapat filsuf tanpa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits seperti yang disangkakan.


Terbukti di halaman-halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh kaum Jabariyah untuk menetapkan perbuatan manusia itu ciptaan dan atas kehendak Allah, dan berdalil dengan ayat-ayat tertentu untuk teori kasab di antaranya Al-Baqarah 286 (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/73). Sampai sini tampak jelas klam penulis adalah tidak benar.


*Tanggapan untuk Permasalahan ke-Dua: Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan*


Menurut penulis Hizbut Tahrir meyakini semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia. Tidak ada campur tangan Allah dan ketetapan Allah tidak ada kaitan dengannya. (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa semua perbuatan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan-Nya (tanpa menafikan ikhtiyar manusia). Sambil menyebutkan referensi Al-I’tiqad ‘ala Madzhabis Salaf Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm 53-54.


*Tanggapan:* 

Tuduhan tersebut tidak sebagaimana adanya. Sebab, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membagi perbuatan manusia itu menjadi dua: 1) perbuatan yang berada di bawah kendali manusia dan 2) perbuatan yang  berada di luar kendali manusia. Jadi tidak “semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia” sebagaimana klaim penulis.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani juga memiliki pemaknaan khusus untuk Istilah qadha’ dan istilah qadar dalam konteks sebagai sebutan yang berdampingan (al-qadha’ wal qadar) dengan masing-masing memiliki makna khusus yang berbeda. Bahwa qadha itu perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia, dan qadar itu adalah khashiyatul asya` (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Sehingga perkataan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu tidak termasuk qadha’ di situ maksudnya adalah makna khususnya ini, yaitu tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia. Bukan bermaksud makna qadha’ secara mutlak sebagai ketetapan Allah atas segala sesuatu seperti yang dipersepsikan penulis.


Tampak di sini penulis gagal memahami konsep qadha’ dan qadar yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sehingga salah dalam tuduhannya. Apalagi dengan narasi jahat mengopinikan Hizbut Tahrir menganut “Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan”.


*Tanggapan untuk Permasalahan ke-Tiga: Para Nabi Tidak Maksum*


Penulis menyebutkan bahwa menurut Hizbut Tahrir para nabi tidak maksum sebelum diangkat menjadi nabi. “Para nabi dan rasul itu maksum setelah menjadi nabi dan rasul. Sedangkan sebelum menjadi nabi dan rasul mereka tidak maksum.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 1/136). Lalu pendapat itu dibantahnya dengan mengutip pendapat salah satu ulama Ahlussunnah, Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuki dalam kitab Hasyiyahnya atas kitab Ummul Barahin.


*Tanggapan:*

Padahal masalah tersebut termasuk perkara khilafiyah bahkan di kalangan ulama Ahlussunnah sendiri. Pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir itu merupakan pendapat salah satu imam besar Ahlussunnah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dan pendapat tersebut disahihkan oleh Al-Imam Saifuddin Al-Amidi dan Al-Imam Az-Zarkasyi rahimahumullah.


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ …. وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي.


“Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, mayoritas sahabat kami (ulama Ahlussunnah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya tidak. … dan pendapat yang benar adalah apa yang diutarakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.” (Lihat: Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. 1/169-170)


Bahkan merupakan pendapat mayoritas Ahlussunnah, menurut keterangan Al-Imam Ibnu Hajib dan dibenarkan pula oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


“Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal hal itu tidak mustahil. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar (al-ashahh) adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani).” (Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. vol 6 hlm 13)


Juga menurut keterangan Al-‘Arif biLLah Asy-Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhani, yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri:


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ … وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. … Meski para muhaqqiq dari kalangan ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil berkenaan dengan mereka (para nabi) itu (yang secara zhahir melakukan kesalahan). Memang benar, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.” (al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177)


Jika menurut penulis bahwa pendapat “anbiya tidak maksum sebelum masa kenabian mereka” itu keliru, apakah berarti penulis menganggap mayoritas ulama Ahlussunnah yang berpendapat demikian itu sesat atau menyimpang sebagaimana pelabelannya terhadap Hizbut Tahrir?


*Tanggapan untuk Permasalahan ke-Empat: Khilafah Harga Mati*


Klaim ke-empat; penulis menganggap Hizbut Tahrir ekstrem dalam menyikapi khilafah, sampai-sampai menganggap semua orang muslim dosa besar karena tidak menegakkan khilafah. “Berpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa besar dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua orang muslim dosa besar karenanya.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 2/19). Lalu klaim itu dibantahnya dengan mengutip perkataan Imamul Haramain Al-Juwaini bahwa hukum mengangkat pemimpin itu wajib bila mampu (Ghiyatsul Umam fi Iltiyatsizh Zhulam hlm 55), dan mengutip perkataan Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang diterjemahkan “Kajian tentang khilafah tidak begitu penting, sebab persoalan ini adalah persoalan fikih (ranah ijtihad) bukan persoalan yang secara tegas disampaikan oleh al-Qur`an dan Hadits. Selain itu kajian khilafah juga mengakibatkan fanatisme kepemimpinan yang jelas berdampak buruk dan lebih selamat tidak mengkajinya.” (Lihat: al-Iqtishad fil I’tiqad, hlm 200).


*Tanggapan:*

Singkatnya ada dua perkara yang perlu diluruskan: 1) bentuk wajibnya khilafah dan dengan apa kewajiban tersebut menjadi gugur; 2) besarnya kewajiban khilafah.


Pertama; bentuk wajibnya khilafah adalah bersifat kifa`ie (fardhu kifayah), sehingga tidak gugur kewajiban tersebut dari pundak setiap muslim sebelum tercapai kifayah (batas kuantitas serta kualitas) orang-orang yang mengusahakannya sampai benar-benar terwujud. Adapun ungkapan Imamul Haramain Al-Juwaini sama sekali tidak menafikan hal itu, karena dikatakan tidak mampu itu jika sudah ada usaha maksimal namun belum juga terlaksana. Tidak tiba-tiba tanpa ada usaha serius dan maksimal mengklaim tidak mampu. Juga ketidak-mampuan umat mewujudkannya di suatu masa tidak menjadikan umat di masa-masa berikutnya menjadi tidak wajib mengusahakan.


Ke-dua; penulis serampangan dalam mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali untuk menjustifikasi tidak pentingnya khilafah. Padahal maksud beliau dengan ungkapan imamah bukan termasuk al-muhimmat adalah bahwa imamah bukan termasuk perkara pokok akidah yang menentukan sah-tidaknya keislaman. Ini sebagaimana beliau nyatakan sendiri di bagian sebelumnya di kitab tersebut:


ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺘﻘﺪاﺕ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮﺓ ﺣﻘﻬﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻬﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ


“Sebab akidah yang ringkas itu seharusnya hanya berisikan perkara pokok (al-muhimm) yang harus ada demi keabsahan akidah saja.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 376)


Lebih spesifik lagi beliau menyebut ilmu rasional (‘aqli), terminologi (lafzhi), dan juga fiqih (fiqhi) dengan mengatakan tidak muhimm:


وكل ذلك ليس بمهم


“Semua itu tidak ‘muhimm’.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 377)


Maksud beliau bukan ilmu fiqh –termasuk di dalamnya khilafah– itu tidak penting, melainkan bahwa ilmu fiqih bukan termasuk bahasan pokok akidah. Lebih daripada itu, jika penulis mau jujur al-Imam al-Ghazali sendiri menyatakan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban imamah itu termasuk perkara syari’at yang bersifat mendesak/urgen (min dhaririyatisy-syar’i).


فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.


“… maka wajibnya mengangkat seorang khalifah itu adalah termasuk perkara syariat yang sangat penting/mendesak (dharuruyyat asy syar’), yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 395)


Jadi bagaimana bisa beliau dipahami menganggap perkara khilafah tidak terlalu penting sedangkan di waktu yang sama mengatakan bahwa dia tergolong perkara syariat yang sangat penting/mendesak yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.


Adapun terkait ungkapan beliau bahwa pembahasannya menyebabkan fanatisme dan lebih baik tidak dibahas adalah masih dalam konteks akidah tersebut. Yaitu lebih baik tidak membahasnya dalam konteks akidah karena yang seharusnya khilaf di dalamnya sebatas khilaf fiqhi, karena dibahas dalam konteks akidah, menjadi dianggap sebagai khilaf ‘aqaidi yang memicu fanatisme.


Nah, dengan uraian ini terbukti sudah kesalahan tuduhan tersebut, yang tidak lain disebabkan karena tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir dalam perkara yang sedang dibantahnya, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut. Sehingga jadilah tulisan lebih pada usaha provokatif mendeskriditkan Hizbut Tahrir agar dipahami bukan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dijauhi masyarakat daripada bersikap inshaf (adil). [Azizi Fathoni K]

Thursday, March 25, 2021

MANHAJ SYAIKH TAQITUDDIN Al-NABHANI DALAM SIRAH NABAWIYAH

 MANHAJ  SYAIKH TAQITUDDIN Al-NABHANI DALAM  SIRAH NABAWIYAH


(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)


Oleh: Yuana Ryan Tresna


Sebagian kalangan mengatakan bahwa Sirah Nabawiyah tidak bisa dijadikan dalil, termasuk dalil bagi metode dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya aktivitas thalab al-nushrah. Untuk menjawab hal itu dapat kita kembalikan pada dua hal:  (1) sirah nabawiyah adalah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits, dan (2) metode dakwah Nabi (termasuk thalab al-nushrah) juga termaktub pada kitab-kitab hadits induk yang statusnya shahih.


Sirah Nabawiyah Bagian dari Hadits


Imam Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I hlm. 351 menyatakan bahwa sirah adalah bagian dari hadits. Sirah pada dasarnya mengabarkan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana al-Qur’an. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah sirah nabawiyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan.


Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan,


وتعتبر السيرة من أهم ما يجب على المسلمون العناية به، لأنها تحوي أخبار الرسول- صلى الله عليه وسلم -، من أعماله وأقواله وسكوته وأوصافه، وهذه كلها تشريع كالقرآن، فالسيرة مادة من مواد التشريع، ولذلك تعتبر جزءاً من الحديث، وما صح فيه عن النبي – صلى الله عليه وسلم – رواية ودراية يعتبر دليلاً شرعياً، لأنه من السنة، هذا فضلاً عن الاقتداء بالرسول – صلى الله عليه وسلم – مأمورون به من الله تعالى ، قال الله تعالى { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ } . فالعناية بالسيرة وتتبعها أمر شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352(


“Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana al-Quran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah. Apalagi meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)


Kitab sirah yang dapat dijadikan rujukan tentu saja yang memiliki sumber dan jalur periwayatan. Terdapat perbedaan antara kitab sirah pada era periwayatan dan tadwin hadits dengan yang disusun pada zaman setelahnya. Penyusunan kitab sirah pada abad ke-2 sampai abad ke-4 adalah seperti apa yang dilakukan oleh para ulama hadits dalam menyusun (mengumpulkan) hadits. Para ulama juga telah melakukan seleksi atas periwayatan dalam kitab-kitab sirah tersebut. Menyebutkan mana yang shahih dan mana yang dha’if.


Terkait kitab sirah terdahulu, syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan sebagai berikut,


أن القدامى كانت طريقتهم في السيرة والتاريخ تعتمد على رواية الأخبار، وقد بدأ المؤرخون شفوياً، وبدأ الجيل الأول الذي شاهد أعمال الرسول – صلى الله عليه وسلم – أو سمع عنها ورواها يرويها لغيره، وتحملها عنه الجيل الذي بعده، وقيّد بعضهم منها أحاديث متفرقة كالتي تُرى في كتب الحديث حتى الآن، حتى إذا جاء القرن الثاني رأينا بعض العلماء يبدءون في جمع أخبار السيرة، وضم بعضها إلى بعض، وتدوين ذلك بطريق الرواية، بذكر اسم الراوي، ومن روى عنه، تماماً كما يفعل في الحديث. ولذلك يستطيع علماء الحديث ونُقّاده أن يعرفوا أخبار السيرة الصحيحة المقبولة من الضعيفة المردودة بمعرفتهم الرواة والسند. وهذا هو المعتمد عند الاستشهاد بالسيرة إذا كان صحيحاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352(


“Metode orang-orang terdahulu dalam sirah dan tarikh bersandar pada periwayatan berita-berita. Para sejarawan memulainya secara lisan, dan generasi pertama yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasul atau mendengar tentang beliau mulai meriwayatkannya kepada yang lain, lalu diterima oleh generasi sesudahnya. Setelah itu ada sebagian orang yang membatasi hadits-hadits yang berserakan seperti yang terlihat dalam kitab-kitab hadits sampai sekarang. Pada abad kedua kita melihat sebagian ulama mulai mengumpulkan khabar-khabar tentang sirah, sebagian digabungkan dengan sebagian lainnya. Pembukuan dilakukan melalui metode periwayatan, dengan menyebutkan nama rawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana yang dilakukan dalam hadits. Karena itu para ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita-berita tentang sirah yang shahih yang bisa diterima dari berita-berita sirah yang dla’if dan mardud melalui pengetahuan mereka terhadap para perawi dan sanadnya. Inilah yang dijadikan rujukan sebagai bukti bahwa sirah tersebut shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)


Adapun kitab sirah kontemporer, sudah tidak mengikuti metode periwayatan. Inilah perbedaannya dengan kitab sirah sebelumnya. Oleh karenanya memerlukan tahqiq atas kitab-kitab tersebut,


بخلاف المؤلفين في السيرة حديثاً، فإنهم يسردون الحوادث فقط دون ذكر رواتها، ولذلك لا يعتمد على كتبهم كمصدر للسيرة، إلا إذا كان المؤلف يحقق عند كتابته للأخبار المروية في كتابه من أخبار السيرة، وكان من الموثوقين وإلا فلا يُستشهد بقوله بل يُرجع في الحادثة التي يذكرها إلى كتب السيرة المروية بطريق الرواية، أو إلى كتب الحديث، لأن أخبار النبي – صلى الله عليه وسلم – من السنّة لا تؤخذ إلا إذا كانت صحيحة. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352-353(


“Hal ini berbeda dengan (metode) penyusunan sirah saat ini. Mereka hanya menyebutkan kejadian-kejadiannya saja tanpa menyebutkan para rawinya, sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sumber sirah, kecuali jika seorang penyusun mentahqiq (melakukan penelitian) ketika menulis berita-berita yang diriwayatkan dalam kitabnya dari (berita-berita) sirah, dan dia termasuk orang yang dipercaya. Jika tidak demikian maka perkataannya tidak bisa dijadikan sebagai bukti. Jadi harus kembali tentang kejadian yang disebutkannya pada kitab-kitab sirah yang diriwayatkan dengan metode periwayatan atau pada kitab-kitab hadits, karena berita-berita tentang Nabi merupakan Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika keberadaannya shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352-353)


Pengujian Sirah Nabawiyah


Karena sirah Nabawiyah adalah bagian dari hadits, maka pengujiannya sama dengan menguji keshahihan hadits. Pengujian keshahihan sebuah riwayat harus memenuhi lima hal: (1) para rawinya adil, (2) para rawinya dhabithh, (3) sanadnya tersambung, (4) tidak ada syadz, dan (5) tidak terdapat illat. Memang benar bahwa kebanyakan kitab sirah, kitab maghazi dan futuhat yang terdahulu (yang meriwayatkan dengan sanadnya) memiliki catatan ditinjau dari kualitas sanadnya. Seperti halnya Kitab Maghazi karya Ibnu Ishaq (w. 150 H) dan al-Waqidi (w. 207 H). Adapun kitab-kitab yang ada setelahnya kebanyakan merujuk kepada kitab sebelumnya. Sebut saja Sirah Ibnu Hisyam (w. 213 H) dari Ibnu Ishaq. Demikian juga Thabaqat Ibnu Sa’ad (w. 230 H) dan Tarikh al-Thabari (w. 310 H) dari riwayat al-Waqidi.


Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq) dalam pandangan para ulama jarh wa ta’dil dinilai beragam. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar dan ada yang mengatakan Abu Abdillah. Tahun wafatnya ada yang menyebutkan, 144 H, 150 H, 151 H, 152 H dan 153 H. Ada yang mendha’ifkan, dan ada juga yang menyatakan tsiqah. Muhammad bin Ishaq merupakan rawi dari kitab-kitab hadits Kutub al-Sittah. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim. Ibnu Ishaq juga merupakan rawi hadits dalam Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibni Majah.


Dalam Kitab Tahzib al-Kamal (24/405) karangan Imam al-Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dil Ibnu Ishaq.  Muhammad bin Muslim al-Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq, orang yang paling tahu tentang sirah”. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah (dapat dipercaya). Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadits, tetapi di tempat lain beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dha’if. Muhammad bin Idris al-Syafi’i memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq, “Dia adalah amirul mukminin dalam hadits”. Ali bin al-Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadits, haditsnya di sisiku adalah shahih”. Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu. Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih al-Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah. Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya. Muhammad bin Sa’ad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Al-Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan, “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadits walaupun kadangkala meriwayatkan hadits-hadits batihl yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah, sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.


Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib (hlm. 825), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi (sirah). Imam al-Baihaqi dalam kitab Zad al-Ma’ad Juz 1 hlm. 99 menyatakan, ”Muhammad bin Ishaq, jika dia menyebutkan sama’nya (bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan “hadits Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadits menjadikannya sebagai hujjah”.


Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib al-Kamal. Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Yahya bin Sa’id Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu. Sulaiman al-Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadits, bukan hujjah pada sunan, dha’if ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadits Ibnu Ishaq hasan. Al-Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat. Al-Daraquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah. Al-Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah. Al-Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.


Tuduhan yang paling menonjol pada diri Ibnu Ishaq adalah karena dianggap ahli bid’ah yaitu penganut Syi’ah dan paham Qadariyah. Tuduhan Syi’ah sama sekali tdk berdasar. Sebenarnya riwayat ahli bid’ah tidak mengapa selama tidak mengantarkan pada kekafiran dan ia tidak mendakwahkan kebid’ahannya. Terlebih lagi setelah diteliti oleh para ulama, Ibnu Ishaq jauh dari pemikiran Qadariyah atau Mu’tazilah. Sehingga walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil Ibnu Ishaq secara mendalam. Dalam kitab al-Duafa Wa al-Matrukin hlm. 41, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah,yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Dazahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4, hlm. 469.


Al-Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyid al-Nas dalam kitabnya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Siyar membuktikan lemahnya jarh dan kokohnya ta’dil atas Ibnu Ishaq. Selain itu al-Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al-Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkesimpulan, ”Aku telah memeriksa hadits Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dha’if, terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .


Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam merupakan wujud lain dari Maghazi wa Siyar Ibni Ishaq ulama tabi’ut tabi’in yang dianggap paling mumpuni soal sirah nabawiyah. Namun Ibnu Hisyam, tidak meriwayatkan langsung dari Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam merupakan murid dari Ziyad Al Baka’i, Ziyad ialah salah satu murid Ibnu Ishaq, sedangkan Ibnu Ishaq merupakan generasi tabi’ut tabi’in. Ibnu Hisyam pakar tentang nasab dan nahwu. Ia mempunyai kitab tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Kitab tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.


Adapun al-Waqidi, para ulama hadits menilai riwayat al-Waqidi derajatnya matruk, karena kelemahan al-Waqidi. Di akhir hayatnya terjadi ikhtilath dalam periwayatannya. Hanya saja, muridnya yakni Ibnu Sa’ad al-Baghdadi penulis kitab Thabaqat al-Kubra sering dianggap figur terpercaya, dan banyak meriwayatkan dari gurunya itu, namun riwayat al-Waqidi tidak diterima oleh para ulama hadits khususnya jika meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Walaupun demikian, dalam hal pengetahuan sejarah maupun sirahnya, para ulama sangat mengakui al-Waqidi, khususnya dalam hal sejarah peperangan Rasulullah, sehingga kitabnya bisa dipergunakan untuk memperkaya konstruksi sejarah Rasulullah. Itu pula sebabnya Ibnu Sa’ad dan al-Thabari ketika meriwayatkan hadits maupun khabar dari al-Waqidi memperkuatnya dengan riwayat lain.


Dengan demikian, sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun Maghazi al-Waqidi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya, terutama dalam bahasan peperangan Rasulullah.


Mendudukkan Tarikh Islam


Adapun tarikh Islam, maka sama saja dengan penjelasan sebelumnya, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’. Hal tersebut dari dua hal: (1) jika shahabat berijma’ dalam suatu perkara, maka hal tersebut adalah dalil syara, (2) adapun jika itu merupakan pendapat individu shahabat, maka itu adalah ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat adalah hukum syara. Merujuknya bukan dalam rangka menjadikannya sebagai dalil, tetapi merujuk ijtihad seorang mujtahid. Apalagi ijtihadnya shahabat adalah menempati kedudukan tertinggi dalam ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan realitas tasyri’ dari sisi hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang mujtahid.


Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan,


أما ما حصل من الصحابة فإنه هو موضع البحث، لأن إجماع الصحابة دليل شرعي، لأن هنالك وقائع كثيرة تجددت بتجدد الحياة، وعولجت مشاكل من قبل الصحابة، فلابد من معرفتها من ناحية تشريعية، فتاريخ الصحابة مادة من مواد التشريع. وإن كثيراً من شؤون الجهاد، ومعاملة أهل الذمة، والخراج والعشر، ومعرفة كون الأرض عشرية أم خراجية، أي أيها فتح صلحاً وأيها فتح عنوة، والأمان، والهدنة، وأحكام الغنائم والفيء وأرزاق الجند، وما شاكل ذلك، كله حوادث وأحكام صارت عملية في الدولة، فلابد من معرفتها لاتخاذ ما أجمع عليه الصحابة دليلاً شرعياً يحتج به. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 355(


“Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Kebanyakan dari urusan jihad, mu’amalah (dengan) ahlu dzimmah, al-kharaj, al-‘usyur, untuk mengetahui eksistensi apakah tanah ‘usyriyah ataukah kharajiyah, tentang keamanan, gencatan senjata dan hukum-hukum tentang ghanimah, fai’, gaji-gaji tentara dan yang semisalnya. Semua itu adalah kejadian-kejadian dan hukum-hukum yang telah dipraktikkan dalam Daulah (Islamiyah), sehingga perkara semacam ini harus diketahui agar sesuatu yang menjadi Ijma’ shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)


Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.


ولاعتبار ما أنفرد به الصحابي حكماً شرعياً لمجتهد من المجتهدين، وللائتناس بما كان عليه الصحابة، لا سيما الخلفاء الراشدين، من تسيير الحكم والإدارة والسياسة. فإنهم خير من آتاه الله عقلية حكم، وخير من يفهم تطبيق الأحكام في الدولة على الرعية، مسلمين كانوا أو ذميين، مسلمين كانوا أو ذميين. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 355(


“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, telebih lagi para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi dan politik. Mereka adalah sebaik-baik orang yang diberi oleh Allah intelektualitas untuk menentukan suatu hukum, dan sebaik-baik orang yang memahami penerapan hukum dalam Daulah terhadap rakyatnya, baik muslim maupun ahlu dzimmah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)


Terdapat pada Kitab Hadits


Sirah adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan waktu mulai dari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dengan wafatnya. Hanya saja isinya atau fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk (meski tidak semua). Oleh karena itu penerimaan pada beberapa peristiwa yang dikabarkan dalam sirah adalah sudah pada level talaqathu al-‘ulama bil qabul. Suatu yang para ulama telah menerimanya.


Kita bisa mengkaji terhadap beberapa kitab sirah yang masyhur seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh al-Thabari, Tarikh Ibnu Asaqir, Tarikh al-Kamil, Ansab al-Asyraf Al Baladzuri, Muruj al-Dzahab al-Masudi dan kitab-kitab sirah yang lain. Fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk. Maka pada konteks ini, menguji keshahihan fragmen-fragmen khabar dalam kitab sirah yang juga ada dalam Kutub Mashadir al-Ashliyyah (kitab induk hadits) adalah dengan kembali kepada pendapat para ulama hadits ketika melakukan takhrij dan pengujian sanad-sanad hadits.


Manhaj Hadits yang Diadopsi Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani


Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita adalah, bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits (termasuk sirah nabawiyah)? Berikut uraiannya:


Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.


يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329(


“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)


Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.


كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332(


“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)


Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.


الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337(


“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)


الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:


أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338(


“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)


Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).


الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338(


“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)


Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.


أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339(


“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)


Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.


فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342(


“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)


Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.


تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345(


“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)


Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.


أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346(


“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)


Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.


وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346(


“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)


Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.


فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347(


“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)


Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.


ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350(


“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)


Itulah manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.


Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan


Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,


ولا يحتج بالضعيف مطلقاً


Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).


Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,


ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.


Jadi itu (tidak bisanya hadits dha’if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,


فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً


Memberikan keterangan bahwa kedha’ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha’ifannya sangat berat.


Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.


Secara praktik, syaikh Taqiyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.


Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba’ah (lihat Syuruth A’imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),


الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء


dengan kesimpulan,


والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.


Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta’ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),


تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد


Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,


وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به


Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,


فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن


Perhatikan ungkapan berikut,


كان يتقوى بمتابع أو شاهد


Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.


Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan sepanjang kedha’ifannya tidak parah.


Thalab al-Nushrah


Terkait thalab al-nushrah, syaikh Mahmud Abdulkarim Hasan dalam kitab al-Taghyir hlm. 56 menegaskan,


في هذا الحال أمر الله تعالى نبيه بطلب النصرة. جاء في فتح الباري (ج7/ ص220): أخرج الحاكم وأبو نعيم والبيهقي عن عليِّ بن أبي طالب – رضي الله عنه – قال: «لَمَا أَمَرَ اللهُ رَسُوْلَهُ أَنْ يَعْرَضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ خَرَجَ وَأَنَا مَعَهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ إِلَى مِنَى» وروى ابن كثير عن علي – رضي الله عنه – قال: «لَمَا أَمَرَ اللهُ رَسُوْلَهُ أَنْ يَعْرَضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ خَرَجَ وَأَنَا مَعَهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ حَتَّى دَفَعْنَا إِلَى مَجْلِسٍ مِنْ مَجَالِسِ الْعَرَبِ» والعرض على القبائل يعني أن يعرض النبي صلى الله عليه وآله وسلم نفسه ودعوته على رؤساء القبائل ليقدموا الحماية والسند له ولدعوته. التغيير (ص : 56(


Aktivitas dakwah Nabi, tahapannya dan daur thalab al-nushrah bukanlah rekaan. Tetapi ini perkara yang nyata termaktub dalam kitab-kitab sirah mu’tabar dan dalam kitab-kitab hadits. Ini adalah hukum syara’. Apakah ini termasuk teknis saja atau metode baku, maka hal ini wilayah kajian ushul fiqih. Dalam perspektif ilmu hadits, cukup membuktikan bahwa sumber yang dirujuk adalah layak dijadikan sebagai dalil. Kemudian dipahami bahwa thalab al-nushrah ini wajib karena adanya qarinah yang menunjukkan akan kewajiban.


Secara substansi, kita bisa memahami bahwa negosiasi Rasulullah dengan kabilah-kabilah arab adalah terkait kekuasaan, bukan yang lain. Mari perhatikan dialog dengan Bani Amir bin Sha’sha’ah berikut,


أرأيتَ إنْ نَحْنُ بَايَعْنَاكَ عَلَى أَمْرِكَ، ثُمَّ أَظْهَرَكَ اللَّهُ عَلَى مَنْ خَالَفَكَ، أَيَكُونُ لَنَا الْأَمْرُ مِنْ بَعْدِكَ؟ قَالَ: الْأَمْرُ إلَى اللَّهِ يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ. قَالَ: فَقَالَ لَهُ: أفَتُهدَف نحورُنا لِلْعَرَبِ دُونَكَ، فَإِذَا أَظْهَرَكَ اللَّهُ كَانَ الْأَمْرُ لِغَيْرِنَا! لَا حَاجَةَ لَنَا بِأَمْرِكَ؛ فَأَبَوْا عَلَيْهِ.  سيرة ابن هشام (2/ 272(


“Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”. (Sirah Ibni Hisyam, 2/272)


Mereka mengetahui bahwa nushrah tersebut adalah untuk menegakkan negara. Oleh karena itu mereka menginginkan menjadi penguasanya setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.


Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta nushrahnya:


وإنما نزلنا بين ضرتين، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما هاتان الضرتان»؟ قال: أنهار كسرى ومياه العرب، وإنما نزلنا على عهد أخذه علينا كسرى لا نحدث حدثا ولا نؤوي محدثا، وإني أرى هذا الأمر الذي تدعو إليه مما تكرهه الملوك، فإن أحببت أن نؤويك وننصرك مما يلي مياه العرب فعلنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما أسأتم في الرد إذ أفصحتم بالصدق، وإن دين الله لن ينصره إلا من أحاطه من جميع جوانبه» دلائل النبوة للبيهقي (2/ 297), الثقات لابن حبان (1/ 88), كنز العمال (12/ 521(


“Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engaku minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”. (Dala’il al-Nabawiyah, 2/297; al-Tsiqat Ibni Hibban, 1/88; Kanz al-Umal, 12/521).


Jadi mereka memahami bahwa nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab, sehingga mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.


Jika dirinci, sebenarnya thalab al-nushrah secara praktik memiliki dua tujuan: (1) melindungi dakwah, dan (2) menegakkan Islam atau menerima kekuasaan. Lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan melindungi dakwah dapat ditemukan dalam Sirah Ibni Hisyam riwayat dari Ibnu Ishaq dan Mustadrak al-Hakim. Adapun yang lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan menegakkan Islam atau menerima kekuasaan dapat ditemukan Sirah Ibni Hisyam, Tarikh al-Thabari, Mu’jam al-Thabarani, Zad al-Ma’ad. Thalab al-nushrah untuk tujuan kedua


Catatan Akhir


Dengan demikian, sirah nabawiyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada sirah nabawiyah adalah sah. Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab sirah nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun tarikh Islam, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan berijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat yang merupakan hukum syara’. Adapun manhaj ushul hadits, penetapan keshahihan dan kedha’ifan hadits, dan penerimaan dan penolakan sebagai hujjah, syaikh Taqiyuddin berpijak pada manhaj ulama ahli hadits yang mu’tamad, manhaj Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.


Bandung, 8 Oktober 2018