Monday, July 8, 2019

Kezuhudan gubernur itu membuat umar menangis

*Kezuhudan Gubernur Itu Membuat Umar Menangis*

_[Global Muslim]_ Said bin Umar al Jumahi, termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin Adi, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka hukum tanpa alasan.

Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Said maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayah dan lain-lain.

Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad saw, serta melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.

Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, Said mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin Adi. Said mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, ”Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua rakaat sebelum saya kalian bunuh…”

Kemudian Said melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua rakaat. Alangkah bagus dan sempurnanya shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, ”Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan shalat untuk mengulur-ngulur waktu karena takut mati, niscaya saya akan shalat lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Said melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib hidup-hidup.

Kata mereka, ”Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebeskan?”

“Saya tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri,” jawab Khubaib mantap.

“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak orang banyak. Said melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil berdoa,”Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan disisakan seorang jua pun!”

Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya.

Kaum Kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut jiwa Khubaib dengan sadis. Tetapi Said bin Amir al Jumahi yang baru meningkat remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau ‘sedetikpun’. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma dihadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua rakaat dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendoakan kaum kafir Quraisy. Karena itu Said ketakutan kalau-kalau Allah SWT segera mengabulkan doa Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.

Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan Said beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.

*Pertama*, hidup yang sesungguhnya adalah hidup beraqidah, beriman, kemudian berjuang mempertahankan aqidah itu sampai mati.

*Kedua*, iman yang telah terhunjam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan luar biasa.

*Ketiga*, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.

Sejak itu Allah SWT membukakan hati Said bin Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: ‘alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala’. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-berhala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya, mulai saat itu dia masuk Islam.

Tidak lama sesudah itu, Said menyusul kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi saw. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.

Setelah Nabi saw berpulang ke rahmatullah, Said tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dia menjadi teladan satu-satunya bagi orang-orang mukmin yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.

Kedua khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mengerti bahwa ucapan-ucapan Said sangat berbobot dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Said.

Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Said datang kepadanya memberi nasihat. Kata Said,”Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan. Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum Muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”

“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Said?” Tanya Khalifah Umar. “Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Said meyakinkan.

Pada suatu ketika Khalifah Umar memanggil Said untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan. “Hai Said! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar.

“Wahai Umar! Saya mohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Said.

“Celaka engkau!” Balas Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku, tetapi kemudian engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”

“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Said.

Kemudian Khalifah Umar melantik Said menjadi gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan khalifah Umar bertanya kepada Said, ”Berapa gaji yang Engkau inginkan?”

“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mukminin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari Baitul Mal sudah cukup?”

Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Himsh yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.

Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama di Fulan, dan nama Said bin Amir al Jumahi.

Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin Amir al Jumahi. Lalu beliau bertanya, ”Siapa Said bin Amir yang kalian cantumkan ini?”

“Gubernur kami!” jawab mereka. “Betulkah gubernur kalian miskin?” jawab Khalifah heran.

“Sungguh, ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Seringkali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.

Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundit-pundi berisi uang seribu dinar.

“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin Amir, dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.

Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Said melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kita milik Allah dan pasti kembali kepada Allah).

Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Karena itu istrinya segera menghampiri seraya bertanya, ”Apa yang terjadi, hai Said? Meninggalkah Amirul Mukminin?”

“Bahkan lebih besar dari itu!” jawab Said sedih. “Apakah tentara kaum Muslimin kalah berperang?” tanya istrinya lagi. “Jauh lebih besar dari itu!” jawab Said tetap sedih. “Apa pulalah gerangan yang lebih dari itu?” tanya istrinya tak sabar. “Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Said mantap.

“Bebaskan dirimu daripadanya!” kata istri Said memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar untuk pribadi suaminya.

“Maukah engkau menolongku berbuat demikian?” Tanya Said.

“Tentu!” jawab istrinya bersemangat. Maka Said mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya istrinya membagi-bagikan kepada fakir miskin…

_(Sumber:Kepahlawanan Dalam Generasi Sahabat Karangan DR. Abdurrahman Raf'at Basya/Nuim Hidayat)_

https://www.globalmuslim.web.id/2012/02/kezuhudan-gubernur-itu-membuat-umar.html

Menolak syubhat syubhat anti poligami

*MENOLAK SYUBHAT-SYUBHAT ANTI POLIGAMI*

*OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI*

Berikut ini adalah bantahan terhadap beberapa syubhat-syubhat yang pada pokoknya adalah anti poligami.

*Syubhat Pertama : Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat*

Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar darurat).

Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih.

Darurat menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybaah wa an-Nazhaa`ir fi al-Furuu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanaawal al-mamnuu’ halaka aw qaaraba).

Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau dia tidak berpoligami. Wah, kalau begitu kasihan sekali ya seorang laki-laki yang mau poligami. Ini tentu cukup menggelikan dan tidak benar.

Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi), dan baru dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada jalan keluar selain poligami.

Padahal yang benar adalah sebaliknya, yakni hukum asal poligami itu adalah mubah (boleh), bukan haram.

Jadi mengatakan poligami baru dibolehkan jika ada kondisi adalah batil. Yang benar, poligami itu boleh tanpa ada syarat terjadinya kondisi darurat lebih dulu. Inilah yang benar.

*Syubhat Kedua : Katanya Nabi SAW Melarang Ali bin Abi Thalib RA Poligami*

Ada orang yang mengharamkan poligami dengan alasan Rasulullah SAW telah melarang Ali bin Abi Thalib RA berpoligami.

Dalam satu riwayat, suatu saat Ali bin Abi Thalib RA yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan putri Abu Jahal. Maka Rasulullah SAW bersabda : "Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi putrinya Abu Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, menyenangkan aku apa yang menyenangkannya, menyakitiku apa yang menyakitinya."

Jika dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah SAW mengharamkan poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya menyampaikan hadits di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur periwayatan yang lain.

Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum poligami. Yaitu pernyataan yang menjelaskan alasan Nabi SAW menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA.

Sabda lalu Rasulullah SAW tersebut adalah : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya." (HR Bukhari)

Sabda Rasul SAW yang terakhir ini dengan jelas menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram.

Jadi larangan Rasul SAW kepada Ali bin Thalib yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan poligami, melainkan karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali bin Abi Thalib mengumpulkan putri Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah di bawah lindungan seorang lelaki.

Ini dapat dipahami dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".

Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri sebenarnya berpoligami, setelah meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya Fatimah RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaaj, 1989, hal 17]

*Syubhat Ketiga : Katanya Poligami Yang Menimbulkan Bahaya (Dharar) Hukumnya Haram*

Ada orang yang mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari praktik buruk poligami, misalnya percekcokan atau kecemburuan antar isteri, rawan penyakit seksual, kekerasan dalam rumah tangga, nafkah terabaikan, nafkah tidak adil, dan sebagainya.

Secara metodologis dalam hukum Islam (ushul fiqih), cara berpikir seperti itu sungguh salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’.

Padahal akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri terlepas dari teks.

Di sinilah tepat sekali Imam Ghazali mengatakan, "Al-Ahkaam as-sam’iyah laa tudraku bi al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushuul, Juz I hal. 127).

Jadi, menolak poligami dengan alasan adanya praktik buruk poligami jelas tidak bisa diterima.  Jika dengan alasan tersebut poligami dilarang, lalu bagaimana dengan yang monogami? Bukankah praktik buruk monogami juga ada? Apakah lalu monogami juga mau dilarang? Tidak, bukan?

*Syubhat Keempat : Katanya Poligami Haram Berdasarkan Kaidah Fiqih Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashaalih*

Ada pula yang menggunakan data-data empiris mengenai praktik buruk poligami tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa kaidah fiqih *dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih* (menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan).

Dengan kata lain, melarang poligami harus didahulukan dibandingkan membolehkan poligami.

Jadi, pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang, karena melarang poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami.

Pendapat itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu dapat dikatakan sebagai ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada nash yang qath’i (pasti/tegas) dalam suatu masalah.

Kaidah fikih menyebutkan *laa ijtihaada fii maurid al-nash* (Tidak boleh melakukan ijtihad pada saat ada nash yang qath’i).

Dalam hal ini telah ada nash yang qath’i yaitu QS An Nisaa' : 3 yang membolehkan poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya membatalkan hukum bolehnya poligami dalam nash qath'i itu.

Tindakan yang benar seharusnya bukan melarang poligami, melainkan meluruskan penyimpangan dalam berpoligami, atau menghilangkan bahaya yang muncul dalam berpoligami.

Kaidah fiqih menyebutkan *adh-dharaar yuzaalu syar’an* (Segala bahaya wajib secara syar’i untuk dihilangkan).

Jadi, kalau dalam berpoligami seorang suami berbuat zalim, misalnya berlaku tidak adil dalam nafkah, atau suka memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami, melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam).

Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada suami dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak nafkah isteri. Atau agar suami tidak lagi memukul isteri.

Jadi ibaratnya, kalau mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya bukanlah membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan perbaikilah AC-nya atau bannya saja. Inilah yang haq.

*Syubhat Kelima : Katanya Poligami Haram Karena Suami Mustahil Berlaku Adil*

Ada yang mengatakan poligami dilarang karena suami mustahil berlaku adil kepada istri-istrinya, dengan dalil firman Allah SWT :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." ( QS An Nisaa' : 129).

Padahal yang dimaksud bahwa suami mustahil berlaku adil di antara istri pada ayat di atas, adalah adil dalam hal rasa cinta (al mahabbah) dan nafsu syahwat, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas RA. Keadilan seperti itu memang mustahil, karena berada di luar kuasa manusia.

Keadilan dalam ayat itu berbeda dengan keadilan yang diwajibkan suami bagi istri-istrinyadalam poligami (QS An Nisaa' : 3), yaitu keadilan yang berada dalam kuasa manusia, yaitu adil dalam hal nafkah (sandang, pangan, papan) dan mabiit (giliran bermalam) di antara istri- istri.

Jadi, adalah tidak benar menolak poligami dengan alasan suami mustahil berlaku adil berdasarkan QS An Nisaa' : 129. Penolakan ini dasarnya adalah penafsiran yang keliru terhadap makna adil dalam QS An Nisaa' : 129 tersebut.

Keadilan yang mustahil dalam QS An Nisaa' : 129 itu maksudnya adalah keadilan di luar kuasa manusia. Sedang keadilan yang diwajibkan dalam poligami dalam QS An Nisaa' : 3 adalah keadilan yang masih berada dalam kuasa manusia.

Wallahu a'lam.

Jakarta, 7 Juli 2019
M. Shiddiq Al Jawi

Friday, July 5, 2019

4 Dalil hukum, HTI bukan ormas terlarang


4 Dalil Hukum, HTI Bukan Ormas Terlarang

Oleh, Chandra Purna Irawan, SH., MH.
(Ketua BHP KSHUMI dan Sekjend LBH Pelita Umat)

Berkembang opini, ada yang menyatakan bahwa HTI sebagai ormas telarang. Menanggapi hal tersebut, saya akan menyampaikan pendapat hukum sebagai berikut :

1. Bahwa SK KEMENKUMHAM yang dikeluarkan adalah memutuskan, menetapkan Mencabut Keputusan Menteri Hukum Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tanggal 02 Juli trahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia. Intinya ba

2. Bahwa Putusan PTUN Jakarta hanya menguatkan status pencabutan BHP HTI, tidak ada amar putusan PTUN Jakarta yang menyatakan membubarkan HTI atau menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang, termasuk tidak ada amar putusan yang menetapkan ajaran Islam yaitu Khilafah sebagai ajaran atau paham yang dilarang.
3. Bahwa berbeda kasus Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui TAP MPRS NO. XXV/1966, didalamnya tegas menyebutkan tiga hal. Pertama, pernyataan pembubaran PKI. Kedua, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang. Ketiga, pernyataan pelarangan paham atau ideologi yang diemban PKI yakni marxisme/leninisme, atheisme, komunisme.

4. Bahwa HTI tidak pernah melakukan kudeta dan pemberontakan. HTI murni berdakwah dengan pendekatan pemikiran, tanpa kekerasan dan tanpa fisik. Dakwah yang dilakukan oleh HTI adalah mendakwahkan ajaran Islam, sebagai bentuk ibadah yang telah dilindungi oleh peraturan Perundang-undangan.

Wallahualambishawab

kritik HTI terhadap khilafah

KRITIK HIZBUT TAHRIR TERHADAP SISTEM KHILAFAH
.
Ustadz Agus Trisa
.
Kata sebagian orang Hizbut Tahrir nggak adil, sebab kebobrokan demokrasi dibuka lebar-lebar sementara kebobrokan kekhalifahan disembunyikan. Lalu dikatakan standar ganda.
.
Sekalipun hal ini ditujukan terhadap Hizbut Tahrir, tetapi orang yang ada di luar Hizbut Tahrir pun berhak memberikan komentar. Apalagi orang tersebut dengan hati yang bersih telah mengkaji beberapa buku yang di-halaqah-kan di Hizbut Tahrir.
.
Siapa pun yang berhati bersih dan memiliki akal yang jernih, maka akan melihat bahwa Hizbut Tahrir telah memberikan kritik terhadap sejarah penerapan syariat Islam pada masa dulu. Dalam banyak buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, sangat jelas terlihat bahwa Hizbut Tahrir telah mengkritik berbagai macam kesalahan penerapan syariat Islam pada masa dulu.
.
Dan perlu diketahui, kritik yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ini bukan hanya kritik atas kesalahan-kesalahan yang selama ini kasat mata di hadapan kebanyakan orang, seperti muktazilah yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah selama beberapa waktu, perjalanan sejarah kekhalifahan bani Umayyah yang berdarah-darah, peristiwa Karbala yang menumpahkan darah cucu Rasulullah, kezaliman dan kefasikan Yazid bin Muawiyah (Yazid I), pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah yang menjadi cikal bakal sistem dinasti (wilayatul 'ahdi), dan lain-lain.
.
Tetapi Hizbut Tahrir juga telah mengkritisi berbagai kesalahan penerapan langkah-langkah yang ditempuh para khalifah itu dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, Hizbut Tahrir memahami bahwa kesalahan itu agar tidak lagi terulang di masa yang akan datang saat Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah kembali ada.
.
Di antara kritik Hizbut Tahrir adalah pengangkatan Yazid bin Muawiyah (Yazid I). Hal ini bisa dijumpai dalam buku Nizhamul Hukmi fil Islam karangan amir Hizbut Tahrir kedua, Syaikh Abdul Qadim Zallum. Tentang hal ini bahwa Syaikh Zallum menyebutnya sebagai "bid'ah" dan kemungkaran yang belum pernah dilakukan para sahabat Rasulullah saw. Padahal, sebagaimana dipahami Hizbut Tahrir, kekhilafahan itu adalah hak kaum muslim, bukan hak keluarga khalifah sebelumnya.
.
Dalam konteks itu juga, Hizbut Tahrir mengkritik Muawiyah yang mengancam kaum muslim, termasuk dua sahabat yang mulia yaitu Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, dengan uang dan pedang, agar mereka memilih Yazid, anaknya. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, khilafah adalah aqad, antara kaum muslim (atau wakilnya) dan calon khalifah. Lantas, bagaimana bisa ada ancaman di sana? Tentu ini adalah sebuah kesalahan.
.
Kritik yang lain. Dalam buku Ajhizah Daulah al-khilafah disebutkan pada pembahasan tentang wali, Hizbut Tahrir telah mengkritik pandangan tentang pengangkatan wali dengan kepemimpinan umum, agar melakukan pengangkatan wali dengan kepemimpinan khusus. Ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau wali dengan kepemimpinan umum itu memiliki ketakwaan yang lemah. Jika lemah, maka kepemimpinan wali tersebut akan berpotensi memisahkan diri dari khalifah dan memunculkan penguasa-penguasa kecil (di daerah) dalam negara khilafah, sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah. Padahal, kepemimpinan dalam Islam itu bersifat tunggal, dan sistem politik khilafah adalah kesatuan (sentralisasi). Inilah juga yang dulu dijadikan dasar bagi Hizbut Tahrir Indonesia untuk mengkritik kelahirkannya UU Otonomi Daerah di Indonesia, sebab dalam pandangan Hizbut Tahrir (secara teori politik) hal itu bisa memecah kesatuan Indonesia.
.
Hizbut Tahrir juga mengkritik pandangan yang menginginkan khilafah menjadi negara mazhab. Misalnya khilafah berdiri atas dasar Mazhab Hambali, Mazhab Wahabi, Mazhab Asy'ari, Mazhab Muktazilah, atau Mazhab Syiah, dan sebagainya. Sebab, jika khilafah yang berdiri adalah khilafah mazhabiyah, maka secara politik hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai macam konflik horizontal dan menimbulkan kemadharatan sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Bani Abbasiyah. Walau secara hukum syara' diperbolehkan sebuah negara khilafah menganut suatu mazhab tertentu, tetapi Hizbut Tahrir mengkritik hal tersebut dan memilih untuk mengadopsi pandangan bahwa negara hendaknya tidak berdiri atas dasar mazhab tertentu.
.
Kritik lain yang juga dilontarkan terkait syarat baginseorang khalifah, yaitu harus seorang ulama (atau bahkan mujtahid) dan juga harus keturunan Quraisy. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, kedua jenis syarat tersebut bukanlah syarat in'iqad (syarat pengangkatan), melainkan hanyalah syarat afdhaliyah (keutamaan). Sehingga, kalau pun seorang khalifah itu bukan merupakan seorang mujtahid atau dari keturunan Quraisy, hal itu tidaklah mengapa. Sebab, itu hanyalah syarat keutamaan (lebih utama), dan bukan syarat pengangkatan (sah diangkat). Dalil-dalil yang mewajibkan seorang khalifah harus Quraisy dinyatakan oleh Hizbut Tahrir 'hanyalah' dalil yang bersifat ikhbar (berita), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Pembahasan tentang hal ini, bisa dirujuk di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ulama Hizbut Tahrir semisal an-Nizham al-Hukm fil Islam, atau Ajhizatu Daulah al-Khilafah, atau buku-buku yang lain.
.
Dalam kritik yang terakhir tersebut, memang Hizbut Tahrir agak bertentangan dengan banyak ulama yang mengharuskan khalifah adalah keturunan Quraisy. Hanya saja, berdasarkan hasil penggalian hukumnya, Hizbut Tahrir meyakini bahwa syarat tersebut adalah syarat keutamaan. Sehingga pendapat ini tetap dipegang oleh Hizbut Tahrir sekalipun bertentangan dengan pendapat banyak ulama. Dan Hizbut Tahrir tidak sendiri dalam hal ini. Syaikh Dr. Muhammad Yusuf Musa dari kalangan ulama kontemporer pun menyatakan hal yang sama. Dalam buku al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami (terjemahannya Pengantar Studi Fikih Islam) beliau mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa ketika orang-orang Quraisy sudah mulai melemah kecakapannya dalam kepemimpinan, sudah mulai bercerai berai (saling bertikai) dan terbuai dengan dunia, maka syarat ini sudah tidak lagi relevan. Juga karena Asy-Syari' (Allah swt) tidak mengkhususkan hukum pada suatu generasi tertentu. Ketika mengutip ini, Dr. Muhammad Yusuf Musa pun menyetujuinya.
.
Ini adalah sekian dari berbagai kritik Hizbut Tahrir terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam sistem Khilafah pada masa dulu. Hanya orang-orang yang berhati bersih lah yang akan mampu mencerna itu semua. Namun bagi orang yang di dalam hatinya bersembunyi rasa dengki, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun selain rasa dengki yang terus tumbuh. Para pendengki itu mengkaji sejarah khilafah, bukan untuk diambil pelajaran darinya. Melainkan untuk dijelek-jelekkan, karena hanya membongkar keburukannya. Jika ini dilakukan oleh orang kafir yang memusuhi Islam, barangkali kita bisa memakluminya. Tapi mungkinkah orang Islam melakukan hal semacam itu?
.
Naudzubillahi min dzalik.
Wallahu a'lam.

Thursday, July 4, 2019

cara khilafah menjaga keutuhan wilayah

CARA KHILAFAH MENJAGA KEUTUHAN WILAYAH

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, M.A

Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam, dengan berbagai suku, bangsa dan bahasa pun hidup di dalamnya sebagai satu umat, satu agama dan satu bendera. Mereka hidup selama 14 abad dalam satu negara yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Kondisi mereka memang mengalami pasang surut, seiring dengan maju dan mundurnya taraf berpikir mereka.

Islam telah mengajarkan kesatuan dan persatuan di tengah-tengah kaum Muslim. Karena itu, menjaga kesatuan dan persatuan ini pun hukumnya wajib bagi mereka. Hukum ini pun termasuk perkara yang sudah ma’lûmun min ad-dîn bi ad-dharûrah (diketahui urgensinya dalam ajaran Islam).

Allah berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara, dan (ingatlah ketika) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.s. Ali ‘Imran [3]: 103)

Ayat ini bukan hanya berisi perintah untuk menjaga kesatuan dan persatuan, tetapi juga melarang bercerai berai. Menjaga kesatuan dan persatuan di sini bukan hanya terkait dengan individu, tetapi juga kesatuan dan persatuan wilayah. Ini ditegaskan oleh Nabi SAW, “Jika telah dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dari Abî Sa’îd al-Khudrî, no 3444).

Satu Akidah, Satu UUD dan UU

Di satu sisi, Islam menjaga kesatuan dan persatuan, dan melarang perpecahan, pada saat yang sama, Islam tidak mengacuhkan potensi perbedaan dan perselisihan yang bisa menghancurkan kesatuan dan persatuan. Karena itu, Islam menetapkan akidah Islam sebagai dasar negara. Dari akidah Islam inilah, UUD dan UU yang digunakan untuk menyelenggarakan negara dibangun.

Dalam penyusunan UUD dan UU, Islam menetapkan sebagai hak Khalifah. Hukum syara’ yang diadopsi oleh Khalifah ini sekaligus untuk menghilangkan perselisihan yang berpotensi merusak kesatuan dan persatuan. Kaidah fiqih menyatakan, “Perintah imam (Khalifah) bisa menghilangkan perselisihan.” Karena itu, dengan adanya tabanni Khalifah dalam penyusunan UUD dan UU ini, berarti potensi perselisihan, akibat perbedaan pendapat, dengan sendirinya bisa diselesaikan.

Selain itu, Islam juga menetapkan, “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS an-Nisa’ [4]: 59). Ketetapan ini berlaku, jika perselisihan tersebut terjadi antara rakyat dengan Khalifah (negara), dan antara rakyat dengan rakyat. Semuanya ini dikembalikan kepada Allah dan Rasul, atau Alquran dan Sunnah. Teknisnya kembali kepada hukum syara’. Untuk kembali kapada hukum syara’ membutuhkan institusi, yaitu mahkamah, baik Khushûmât maupunMadzâlim.

Untuk menjaga keberlangsung dalam pelaksanaan UUD dan UU agar tetap dalam rel syariah, maka Khalifah dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunah Rasulullah (hukum syara’). Inilah yang menjadi dasar ketaatan rakyat kepada Khalifah. Ubadah bin Shamit menuturkan, “Kami dibaiat oleh Rasulullah untuk taat dan mendengar (titah baginda)..” (HR Muslim). Nabi juga menegaskan, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah).”(HR at-Tirmidzi dan Ahmad)

Larangan Bughat dan Merebut Kekuasaan

Persatuan dan kesatuan negara dijaga oleh Islam, antara lain, dengan ditetapkannya larangan melakukan makar (bughat) dan memisahkan diri dari kekhilafah. Nabi bersabda, “Siapa saja mencabut ketaatan (kepada imam/khalifah), maka dia akan menghadap Allah tanpa hujah (yang bisa mendukungnya).” (HR Muslim)

Bahkan, “Larangan merebut kekuasaan dari pemangkunya” ini telah dijadikan syarat oleh Nabi dalam menerima baiat kaum Muslim. Ubadah bin Shamit menuturkan, “Hendaknya kami tidak merebut kekuasaan dari pemangkunya.” Kecuali, kata Nabi, “Jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang bisa kalian buktikan di hadapan Allah.” (HR Muslim)

Jika larangan tersebut dilanggar, maka Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan makar terhadap negara (bughat). Al-Muhâmî al-‘Alim Syaikh ‘Abdurrahman al-Mâliki, dalam kitabnya Nidzâm al-‘Uqûbât, menjelaskan bahwa sanksi bagi mereka adalah had. Sanksi had ahl al-baghyadalah diperangi, sebagai pelajaran (qitâl ta’dîb) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb) (al-Mâliki, Nidzâm al-‘Uqûbât, hal. 79).

Jika mereka adalah non-Muslim (ahli dzimmah), maka mereka akan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb). Hukum memerangi mereka ini pun statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang diperangi adalah orang-orang kafir, meski asalnya adalah ahli dzimmah. Dengan tindakan mereka ini, dengan sendirinya, mereka juga telah kehilangan dzimmah-nya dari kaum Muslim (negara Khilafah).

Qadhiyyah Mashîriyyah

Menjaga persatuan dan kesatuan Khilafah adalah kewajiban, dan memisahkan diri dari Khilafah adalah keharaman yang telah dinyatakan dengan tegas dalam Islam. Karena itu, tidak hanya sanksi yang tegas, Islam bahkan menetapkan masalah ini sebagai qadhiyyah mashîriyyah bagi negara dan kaum Muslim.

Qadhiyyah mashîriyyah yang dimaksud di sini adalah permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati (ijrâ’ al-hayâh aw al-maut). Inilah menjadi alasan terjadinya Perang Shiffin, ketika Khalifah yang sah, yaitu Sayyidina ‘Ali ra mengerahkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah, yang ketika itu berstatus sebagai Wali Syam.

Khalifah al-Mu’tashim, pada zaman Khilafah Abbasiyyah, juga melakukan hal yang sama. Setelah menaklukkan Amuriyah, al-Mu’tahsim mengerahkan pasukannya untuk memerangi Abdurrahman ad-Dakhil di Spanyol. Karena dianggap memisahkan Spanyol ini dari wilayah Khilafah Abbasiyyah.

Hanya saja, tindakan militer dalam menjaga keutuhan wilayah Khilafah ini bukan satu-satunya tindakan yang harus diambil oleh negara. Karena itu, Khalifah harus memperhatikan aspek lain, yaitu pendekatan politik. Tindakan tegas negara memang diperlukan, tetapi jika tidak disertai pendekatan politik, maka justru yang terjadi bisa sebaliknya. Contohnya lepasnya wilayah Balkan pada zaman Khilafah Utsmaniyyah.

Gerakan separatisme di Balkan saat itu terjadi karena provokasi dari negara-negara kafir Eropa. Menghadapi tindakan tersebut, Khilafah Utsmaniyyah menindaknya dengan tindakan militer. Padahal, seharusnya saat itu negara bisa membongkar rencana jahat kaum kafir terhadap penduduk setempat, dan mempropagandakan bahasa separatisme kepada mereka. Menggunakan pengaruh ahl al-halli wa al-‘aqdisetempat untuk memadamkan api separatisme. Tetapi itu tidak dilakukan, karena lemahnya pemikiran penyelenggara negara saat itu. Karena itu, begitu diambil tindakan militer, bukannya api separatisme padam, justru semakin berkobar.

Hizbut Tahrir mempunyai pengalaman, saat Yaman menghadapi skenario Amerika di tahun 1990-an. Ketika Amerika hendak memisahkan Yaman Utara dengan Selatan. Saat itu, Hizbut Tahrir membongkar rencana jahat ini, dan menyerukan kepada ahl al-halli wa al-‘aqdisetempat untuk memadamkan api ini.Alhamdulillah, dengan izin dan pertolongan Allah, upaya itu berhasil. Yaman pun tetap utuh hingga sekarang.

Pengalaman berbeda terjadi di Sudan, ketika Sudah Selatan terus-menerus diprovokasi untuk memisahkan diri dari Sudan. Meski berbagai upaya telah dilakukan oleh Hizbut Tahrir di sana, tetapi mereka tidak hirau. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, saat Timor Timur lepas dari pangkuan negeri ini. Semua ini terjadi, karena lemahnya kesadaran politik penyelenggara negara, dan rakyatnya.

Menutup Pintu

Semuanya tadi terkait dengan tindakan kuratif yang bisa dilakukan oleh negara. Namun, selain tindakan kuratif, Islam juga menetapkan berbagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan sparatisme ini:

1- Memata-matai Kafir Harbi fi’lan: Mereka adalah warga negara kafir yang terlibat peperangan atau memusuhi kaum Muslim. Keberadaan mereka di negeri kaum Muslim hanya diperbolehkan dengan visa khusus, meski tidak menutup kemungkinan mereka memanfaatkan izin tinggalnya untuk melakukan berbagai kontak dan memprovokasi penduduk setempat. Mereka wajib dipantau, bahkan dimata-matai.

2- Memata-matai ahli ar-Raib: Mereka ini adalah warga negara Khilafah yang berinteraksi dengan warga negara Kafir Harbi fi’lan, dan diduga melakukan tindakan yang bisa membahayakan negara, termasuk separatisme.

3- Menutup kedutaan negara-negara Kafir Harbi hukman yang dijadikan untuk memata-matai Khilafah. Adapun kedutaan negara-negara Kafir Harbi fi’lan, seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, Israel, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh ada. Karena status mereka yang sedang berperang dengan kaum Muslim.

4- Menutup kontak, hubungan dan kerja sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini, Khilafah akan menerapkan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri.

Inilah beberapa ketentuan Islam yang bersifat preventif terhadap berbagai gerakan separatisme.Wallahu a’lam.

Khilafah teokrasi dan teo demokerasi

*Khilafah, Teokrasi, dan Teo-Demokrasi*
.
_Oleh: Yan S. Prasetiadi (Dosen Studi Islam STAI Darul Ulum Purwakarta)_

Masalah kepemimpinan politik dan sistem ketatanegaraan dalam Islam sebenarnya secara konseptual tidak pernah mengalami perdebatan hebat seperti masa kini, kecuali semenjak Ali Abdur Raziq muncul dan melontarkan pendapat nyelenehnya tentang Khilafah Islamiyah, dimana pendapatnya tentang sekularisasi agama yakni pemisahan antara agama dan negara dikutip mentah-mentah oleh sebagian kaum muslim.

Para ulama sebelum Khilafah runtuh pada tahun 1924 M, senantiasa menyatakan secara konsisten bahwa sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah. Memang ada yang menyebut dengan Khilafah ada pula dengan kata-kata sinonim yang semakna dengan Khilafah, seperti Imamah, atau Imamah al-Uzhma’ dan lain sebagainya. Demikian pula tentang wajibnya umat Islam mempergunakan sistem pemerintahan Islam tersebut. (lihat: _Dr. Sulaiman ad-Dumaiji, al-Imâmah al-‘Uzhmâ’ ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Riyadh – Dar at-Thayyibah, 1408 H, hal. 27-35_).

Ulama besar sekaliber al-Mawardi (w. 1058 M) berpendapat bahwa, mengangkat Imamah (khilafah) di tengah-tengah Umat adalah wajib berdasarkan ijma sahabat. (_Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 5_).

Demikian pula, Ibnu Khaldun (w. 1406 M) menyatakan bahwa, mengangkat seorang Imam (khalifah) adalah wajib, kewajibannya dalam syariat diketahui berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in. Beliau beralasan, tatkala Rasulullah saw wafat, para shahabat segera membai'at Abu Bakar ra dan menyerahkan pertimbangan berbagai macam urusan mereka kepadanya, demikian pula yang dilakukan kaum Muslim pada setiap masa. Lalu beliau simpulkan, kenyataan semacam ini merupakan ijma' yang menunjukkan adanya kewajiban mengangkat seorang Imam (khalifah). (_Muqaddimah Ibn Khaldun, hal. 191_).

Tak ketinggalan dari kalangan mazhab syafi’i ada imam an-Nawawi (w. 1278 M) mengutarakan para sahabat berkonsensus bahwa kaum muslim wajib mengangkat Khalifah. (_An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 12/205_). Pernyataan an-Nawawi tersebut di-amini bahkan oleh para ulama pakar hadits dan syarah, semisal Ibnu Hajar (_Fath al-Bâri, Syarh Shahih Bukhari, 13/208_), Badrudin al-Aini (_Umdah al-Qâri, Sarh Shahih Bukhari, 24/279_),  Imam Abadi penulis kitab _‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abu Dawud_ (8/112), termasuk imam al-Mubarakfuri penulis kitab _Tuhfah al-Ahwâdz Syarh Jami’ at-Tirmidzi_ (6/397).

*Definisi Khilafah*

Karena itu tidak benar jika ada opini bahwa Khilafah tidak wajib dan bahwa Islam tidak punya konsep yang jelas tentang sistem pemerintahan, buktinya, dari berbagai pendapat ulama dan pengkajian secara serius berbagai dalil yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan dan ketatanegaraan dalam Islam, Dr. Abdul Majid al-Khalidi, akhirnya mampu mendefinisikan Khilafah, yang bermakna: Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. (_Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm: hal. 229-230_). Dari definisi Khilafah ini, dapat dipahami tiga poin penting:

Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus, seperti kepemimpinan seorang gubernur di suatu propinsi. Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.

Kedua, fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri negara Khilafah.

Ketiga, fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri negara Khilafah. Jihad disini dilakukan jika dakwah secara hikmah dihalangi dengan kekuatan senjata oleh rezim yang berkuasa di negeri tersebut.

Maka dari itu dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sebagai berikut:

(1) persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (QS. Ali ‘Imrân [3]: 103);
(2) penerapan syariah Islam secara menyeluruh, yang telah diwajibkan Islam (QS. Al-Baqarah: 208);
(3) penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107).

*Teokrasi Bukan Khilafah*

Istilah teokrasi asalnya dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan. Dalam teokrasi Barat ini, kedaulatan Tuhan mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Lalu Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada Raja atau Paus. Karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku Raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci. Konsep ini memang serupa dengan konsep Imamah Syiah.

Pemerintahan teokrasi (yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan) merupakan negara yang dipimpin gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Sehingga, “apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit.” Dari uraian ini, teori kedaulatan Tuhan sungguh tidak dapat dilepaskan dari konsep teokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori kedaulatan Tuhan (teokrasi) dengan Islam:

Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi, sedangkan dalam Islam, seorang kepala negara (khalifah) adalah wakil umat dalam urusan kekuasaan dan penerapan syariat Islam. (_Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 49_).

Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma‘shûm (suci), sedangkan dalam Islam, seorang kepala negara bukan orang ma‘shûm; bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar makruf nahi munkar disyariatkan. (_Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 122_).

Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendiri tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan, sedangkan dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syariat berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (_Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 105-108_).

*Bagaimana Dengan Teo-demokrasi?*

Secara esensial, konsep Teo-demokrasi bermakna bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Seolah-olah manusia boleh membuat hukum, namun hukum itu dibatasi Tuhan (manusia 50 % dan Tuhan 50 %). Konsep ini pun memiliki kekeliruan dari dua aspek:

Pertama, aspek istilah, teo-demokrasi adalah campuran dari teokrasi dan demokrasi. Teokrasi berdasarkan penjelasan sebelumnya tidak sesuai dengan konsep sistem pemerintahan Islam, begitupun dengan demokrasi, karena demokrasi secara hakiki adalah meletakan kedaulatan (otoritas membuat hukum) ditangan manusia dan ini pula yang menjadi ciri dominan demokrasi, sedang Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Jadi kedua konsep tersebut bertentangan dengan Islam, maka penggabungan kedua istilah inipun tidak bermakna sama sekali.

Kedua, teo-demokrasi tidak jelas membedakan antara kedaulatan dan kekuasaan, padahal dalam Islam, kedaulatan (as-siyâdah) atau kewenangan membuat hukum (legislasi) ada di tangan syariat. Sedangkan kekuasaan (as-sulthân) yang berwenang menerapkan hukum itu di tangan rakyat. Artinya Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi pembuat hukum (al-musyarri’) hanyalah Allah swt. (QS. Al-An‘am [6]: 57). Adapun kekuasaan (as-sulthân) ada di tangan umat (as-sulthân li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi khalifah. Dengan pembedaan tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan teo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan jadi satu sehingga berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman. (_M. Shiddiq al-Jawi, Mengkritisi Konsep Teo-demokrasi, 2011_).

*Kesimpulan*

Dengan demikian menjadi jelas bahwa Khilafah bukan Teokrasi dan juga bukan Teo-demokrasi, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang spesifik, berbeda dengan sistem pemerintahan yang ada di dunia ini. Karena itu penulis sepakat dengan rumusan An-Nabhani, bahwa sistem pemerintahan Islam ditegakkan diatas empat kaidah:

(1) Kedaulatan adalah milik syara’ bukan milik rakyat;
(2) Kekuasaan berada di tangan umat;
(3) Pengangkatan seorang Khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslim;
(4) Khalifah mempunyai hak untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ dan menyusun undang-undang dasar dan perundang-undangan. (_Muqaddimah ad-Dustur, 2009: I/109-113_).

Hilang saja salah satunya maka seketika itu juga sistem pemerintahan menjadi bukan sistem pemerintahan Islam.

Karena itu mengkaji dan memahami Khilafah harus melalui pendekatan normatif dan objektif, dan sangat keliru jika mau memahami Khilafah tapi dalam benak pengkaji sudah ada justifikasi terlebih dahulu dengan cara mencari cari kemiripan-kemiripan dengan sistem yang ada pada Teokrasi dan Teo-demokrasi. _Wallahu a’lam_.

Memahamkan khilafah

*MEMAHAMKAN KHILAFAH (Agar Mudah dan Sederhana Dimengerti Oleh Rakyat)*


_Oleh : Prof. Dr. Ing. H. Fahmi Amhar_



Manusia abad-21 ini belum pernah ada yang menyaksikan negara khilafah yang sebenarnya. Apalagi negara khilafah yang benar-benar berkualitas, atau negara khilafah dalam gemilang peradaban emasnya.

Memang ada satu dua wilayah di dunia yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam. ISIS atau dalam bahasa Arab “DAESH” bahkan mengklaim diri sebagai Khilafah. Tetapi realita ISIS sebagai negara saja bisa diragukan.

Sebuah negara terbentuk dari sebuah aqad atau kontrak sosial. Mirip sebuah pernikahan. Dalam pernikahan, sahnya nikah adalah ketika seorang wali yang bertanggungjawab atas mempelai perempuan, menyerahkan tanggungjawabnya itu kepada mempelai laki-laki yang siap menjadi suami dari mempelai perempuan, atas ridha mempelai perempuan. Dalam konteks negara, sang wali adalah “ahlul quwwah”, atau kekuatan real yang mampu menjamin kelangsungan dan keselamatan “mempelai perempuan”, yaitu sebuah wilayah dan rakyatnya. Ahlul quwwah itu lazimnya adalah kekuatan bersenjata, yaitu militer. Sedang mempelai laki-laki adalah sosok yang akan dipercaya untuk menjadi Imam memimpin negeri dan rakyatnya dengan suatu sistem atau aturan main tertentu. Pada pernikahan Islam, maka sistem yang disepakati dalam pernikahan tentu saja adalah hukum-hukum Islam yang mengatur keluarga.

Maka jika sebuah pernikahan tidak sah ketika tidak ada mempelai perempuan, maka aqad sebuah negara juga tidak jelas ketika wilayah dan rakyatnya tidak jelas, atau rakyatnya tidak ridha atas aqad tersebut.

Karena itulah, sebuah kelompok bernama Khalifatul Muslimun di Lampung tidak bisa disebut Khilafah, meskipun mereka telah membaiat seorang “Khalifah”, karena mereka tidak memiliki wilayah maupun rakyat. Mereka beralibi, “Lebih baik sudah berbaiat kepada seorang khalifah, meski wilayah dan rakyatnya masih dicari dan diperjuangkan, daripada yang belum baiat sama sekali”. Namun bisakah kita bilang, “Lebih baik sudah melangsungkan aqad nikah, sekalipun mempelai perempuannya masih dalam konfirmasi?”. Tidak. Dalam hal ini, aqad tersebut satu paket, tidak bisa dipisah-pisah.

Demikian juga dengan ISIS. Kenyataannya yang ada hanyalah segerombolan bersenjata yang menguasai sebuah wilayah dan membaiat seseorang bernama Abu Bakar al Baghdady dan kemudian memaksa rakyat di situ dengan teror untuk mengakui kekhilafahannya. Bahkan karena itu wilayah perang yang setiap saat kekuatan lain hadir untuk mendesaknya, maka keabsahan ahlul quwwah ISIS yang mampu menjaga kelangsungan dan keselamatan wilayah dan rakyatnya sangat diragukan. Ini belum soal sejauh mana ISIS benar-benar akan menerapkan syariat Islam yang sebenarnya, bukan hanya mengkafirkan semua pihak yang berbeda pendapat dengannya.

Di sisi lain, banyak sinyalemen termasuk dari Hillary Clinton dan Edward Snowden yang menunjukkan bahwa ISIS adalah “proyek intelijen” dari Amerika Serikat sendiri, untuk memonsterisasi gagasan Khilafah, sekaligus kanalisasi dari mereka yang setuju ide Khilafah namun kurang bersabar untuk mempelajari maupun memperjuangkannya dengan metode Rasulullah.

Khilafah sendiri bukan ide baru. Namun kitab-kitab fiqih terdahulu hanya membahas operasional pemerintahan (yang otomatis adalah sistem khilafah), dan kurang membahas bagaimana mendirikan khilafah itu sendiri. Hal ini karena khilafah waktu itu masih tegak, sekalipun ada perbedaan (ikhtilaf) seputar mekanisme suksesi.

Inti dari sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof. Mahfud MD katakan sebagai “tidak baku” dan “ijtihadiyah”. Adanya berbagai varian suksesi – yang semua tidak diingkari oleh para shahabat Nabi radhiyallah anhum – justru menunjukkan keunikan sistem ini. Orang yang akan dibai’at sebagai khalifah boleh dipilih dengan permusyawaratan perwakilan (seperti kasus Abu Bakar), dinominasikan pejabat sebelumnya (seperti kasus Umar, yang kemudian disalahgunakan oleh berbagai dinasti kekhilafahan), dipilih langsung (seperti kasus Utsman), atau otomatis menjabat (seperti kasus Ali, karena dia saat itu seperti wakil khalifah). Semua ini bisa dilakukan, dan bisa mencegah terjadinya krisis konstitusi, yaitu suatu kebuntuan ketika presiden sebelumnya sudah habis masa jabatannya, dan presiden yang baru belum definitif.

Sebenarnya, hakekat dari sistem khilafah dapat dipahami dari sholat berjama’ah. Imam dipilih makmum dari mereka yang memenuhi syarat. Jadi yang boleh jadi imam ya minimal yang muslim, yang sudah wudhu, yang tubuh & bajunya tidak kena najis, yang sudah menghadap qiblat, dan tahu tatacara sholat. Kalau calon imam ini lebih dari satu, maka makmum memilih yang paling mereka sukai.
Makmum mengikuti imam, tapi imam tidak diktator, karena tatacara sholat dari Allah, bukan dari imam (= sistem diktator), bukan pula kesepakatan imam & makmum atau kehendak mayoritas makmum (= sistem demokrasi). Kalau sudah dalam koridor tatacara sholat dari Allah, maka baru boleh makmum mengajukan request, misalnya bacaan suratnya yang pendek-pendek saja. Tetapi makmum tidak boleh minta jumlah rokaat sholat ditambah maupun dikurangi.
Kalau imam salah, misalnya rokaat kedua mestinya tahyat awal tetapi imam tetap berdiri, makmum wajib mengingatkan. Kalau diingatkan tidak mau, makmum wajib mufaraqah (berlepas diri dari imam). Kalau imam batal, wajib diganti.

Memang sistem khilafah lebih dari sekedar negara yang berorientasi sempit kemadzhaban (untuk madzhab tertentu saja), keumatan (untuk umat Islam di negeri itu saja), maupun kebangsaan (yang dibatasi wilayah). Sistem khilafah berorientasi “rahmatan lil ‘alamien”. Khilafah bukan negara madzhab. Pendapat fiqih apapun, selama digali dari sumber-sumber Islam sah-sah saja diperjuangkan. Non muslim warga negara juga dijamin hak-haknya. Rasulullah bersabda, menyakiti non muslim warga negara, sama seperti menyakiti beliau. Dan negara khilafah punya kewajiban membebaskan seluruh manusia di dunia dari kedzaliman penjajahan manusia atas manusia (baik melalui sistem kapitalisme-sekuler maupun sistem sosialisme-komunis), baik mereka muslim atau belum muslim, kepada cahaya penyembahan Allah belaka, tanpa memaksa mereka masuk Islam.

Adapun yang menolak ide khilafah, itu ada beberapa sebab. Ada yang menolak karena ide khilafah itu baginya terlalu "canggih". Canggihnya itu setidaknya ada di empat level:

- level-1: Masih sulit memahami bagaimana menurunkan aturan profan (duniawi) semisal UU lalu lintas dari sumber profetik (kenabian). Lha banyak ustadz yang tidak mau terjun ke detil, jargonnya "kembali kepada Qur'an pasti beres". Padahal fiqih madzhab saja banyak, meski semua bersumber Qur'an toh bisa saling bertentangan. Jadi bagaimana dong?

- level-2: Masih sulit memahami bagaimana proses mendapatkan satu pemimpin yang didukung atau ditolerir oleh semua pihak, apalagi sedunia (lintas bangsa). Lha di Indonesia, mendapatkan ketua di dalam satu ormas saja kadang sulit.

- level-3: Masih sulit memahami bagaimana koreksi di dalam sistem Khilafah bisa berjalan, atau bagaimana negara bisa diaudit? Soalnya dulu di dalam sejarah khilafahpun ada fakta beberapa khalifah yang ijtihadnya keliru, korup, bahkan sampai menjadi pengkhianat negara, atau membiarkan negara dalam bahaya.

- level-4: Masih sulit memahami bagaimana proses transisi dari kondisi sekarang ini untuk kembali menegakkan khilafah? Apakah cukup tawakkal saja, atau kita harus pro-aktif? Caranya bagaimana? Jihad? Masuk lewat sistem?

Mereka yang belum memahami "kecanggihan" ide khilafah ini ya jangan divonis "Ente ini tidak pantas disebut ulama". Kalau kita memang merasa sudah lebih dulu "pakar ide Khilafah", harusnya bisa membahasakan ide itu dengan sederhana. Pakar itu harusnya "aPA saja dibuat tidak suKAR", jangan kebalikannya: "apa-apa dibuat sukar".

Ada pula yang menolak ide khilafah karena dia punya kepentingan. Khawatir kalau terang-terangan mendukung, apalagi diexpose", nanti donasi atau subsidi ke lembaganya akan surut atau berhenti.

Ada pula yang takut, apalagi setelah ada ISIS yang mengklaim dirinya Khilafah. Takut nanti jadi sasaran bidik Densus 88, atau juga takut dimusuhin oleh agen ISIS juga kalau ngaku pro khilafah tetapi bukan Khilafah ala ISIS.

Nah, semua ini harusnya diberi empati, dirangkul, untuk diberi pemahaman sampai tuntas, bahwa khilafah itu syari'at Allah, bahwa khilafah itu janji Allah, cuma kita mesti jemput. Mirip seperti rizki itu janji Allah, tetapi kita wajib menjemput rizki. Khilafah itu keniscayaan yang harus ada agar hukum Islam dapat diterapkan semua, ukhuwah Islamiyah sedunia dapat diwujudkan secara nyata, dan garansi agar dakwah ke seluruh dunia bisa sempurna.

Hanya mereka yang terang-terangan menolak hukum-hukum yang qath'i, semisal menolak wajibnya zakat, atau secara umum menganggap hukum Allah ini sudah tidak relevan, atau bahkan menuduh Qur'an itu 90% karangan manusia, maka orang-orang yang seperti ini sajalah yang tidak pantas disebut ulama. Kalau pun dipaksakan, ya ini ulama su' atau ulama salathin.

#KhilafahAjaranMuliaIslam

Contoh 19 syariat yang tak di praktekan tanpa khilafah

CONTOH 19 SYARIAT YANG TAK BISA DIPRAKTEKKAN TANPA ADANYA KHILAFAH

Oleh : Prof. Fahmi Amhar

#WadahAspirasiMuslimah -- Syariah yang memang dibebankan atas individu (fardhu ‘ain) jelas bisa langsung dijalankan, tidak perlu menunggu negara Khilafah. Misalnya syariah sholat, puasa, makan minum yang halal, menutup aurot, menuntut ilmu, ahlaqul karimah pada orang tua atau tetangga, dsb.

Syariah yang dibebankan secara kolektif pada masyarakat (fardhu kifayah) ada yang bisa dijalankan tanpa menunggu negara khilafah. Misalnya mengurus jenazah, menyelenggarakan sholat Jum’at, dakwah, dan amar ma’ruf nahy munkar.

Tetapi memang ada banyak sekali syariah yang dibebankan secara kolektif pada negara sebagai wakil masyarakat (fardhu kifayah khas), yang tidak bisa dijalankan tanpa Khilafah. Misalnya:

1. Menarik zakat secara paksa bagi muzakki yang bandel

2. Mengejar suami-suami yang tidak bertanggungjawab menafkahi istrinya

3. Memaksa mall-mall untuk menyediakan ruang sholat yang layak

4. Memaksa pabrik-pabrik mengatur jadwal karyawannya untuk sholat dan sholat jum’at

5. Menutup pabrik minuman keras

6. Melarang televisi menayangkan acara yang merusak aqidah dan ahlaq

7. Mengelola asset-asset publik (tambang, hutan, infrastruktur)

8. Mengubah seluruh bank ribawi ke bank dengan aqad syariah

9. Menyediakan pendidikan dengan kurikulum islami secara gratis atau terjangkau

10. Menyediakan jaminan kesehatan untuk semua orang, merazia pengedar barang haram

11. Menyiapkan sistem birokrasi yang tidak memberi kesempatan suap maupun korupsi

12. Menyiapkan peradilan berdasarkan syariah

13. Menghukum penista agama

14. Merajam pezina

15. Memotong tangan pencuri

16. Menjalankan qishash pada para pelaku kekerasan dan pembunuhan.

17. Melindungi kebebasan beragama ahlu dhimmah.

18. Melindungi umat Islam di seluruh dunia dari kezaliman

19. Politik luar negeri berorientasi dakwah dan jihad untuk mewujudkan Islam rahmat bagi semesta alam.

Syariah ini tidak bisa tegak tanpa adanya Khilafah.

==============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
===============================
Facebook : https://fb.me/WadahAspirasiMuslimah
Twitter : www.twitter.com/wam_bogor
Instagram: www.instagram.com/muslimah_bogor
Telegram : https://t.me/WadahAspirasiMuslimah

Khilafah dan taqwa

KHILAFAH DAN TAQWA

 قال لي: إنكم تكثرون الكلام عن الخلافة،
لماذا لا تحدثوننا عن التقوى؟!

 قلت له: لأن تعريف التقوى هو العمل لإقامة الخلافة.

 قال: أين هذا ؟!

قلت له: في تعريف سيدنا علي بن أبي طالب للتقوى بأنها:

١) الخوف من الجليل:
وهذا يقتضي تنفيذ أوامره بتطبيق شرائعه، لذلك فقد أوضح هذا الفهم في البند الثاني للتعريف.

٢) العمل بالتنزيل:
فلم يقل: (حفظ التنزيل أو تلاوة التنزيل) فحسب. والعمل بالتنزيل يقتضي تطبيقه بدولة ثم الصبر على صدود الناس وتضييق الأعداء، وهذا ظاهر في البند الثالث.

٣) الرضى بالقليل:
فضيقٌ في طاعة الله أفضل من رخاء في معصيته.

٤) الاستعداد ليوم الرحيل:
أفضل ما أعده الرسول ﷺ قبل الرحيل هو : توحيد الأمة بدولة ترعى حياتنا بطاعة الله وشرعه الحنيف.

ثم قلت له: يا سيدي، إن التقوى التي تعلمناها من سيدنا علي، قد تَعلَّمَها بدوره من رسوله العظيم, الذي كانت مواجهته لطواغيت عصره واستنهاض الأمة لخلعهم، هي أبرز تجليات التقوى في سيرته العطرة.

المشكلة هي فيمن يقصر التقوى على (الخوف من الجليل) فقط،

ويظن أنه بذلك يحقق الخوف من الله، ولا يعلم أنه بذلك يحقق الخوف من أعدائه.

(أبو نزار الشامي)

Ada yang berkata kepadaku: Sesungguhnya Anda banyak berbicara tentang Khilafah, mengapa Anda tidak berbicara kepada kami tentang taqwa?!

Aku katakan kepadanya: Karena definisi taqwa adalah beramal untuk menegakkan Khilafah.

Dia bertanya: Dimana ada (definisi) tersebut?!

Aku katakan padanya: Di dalam definisinya paduka kita Ali bin Abi Thalib tentang taqwa, bahwa ia adalah:

1. Takut kepada Dzat Yang Maha Mulia.
Dan ini menuntut penerapan perintah-perintah-Nya dengan melaksanakan syari'at-syari'at-Nya. Oleh karena itulah beliau telah menjelaskan pemahaman ini di dalam poin kedua dari definisi.

2. Mengamalkan Al-Qur'an.
Beliau tidak mengatakan "menghafal Al-Qur'an atau membaca Al-Qur'an" saja. Mengamalkan Al-Qur'an menuntut penerapannya lewat daulah/negara kemudian bersabar terhadap penentangan manusia dan usaha penyempitan dari musuh-musuh.
Dan ini sangat jelas di poin ke tiga.

3. Ridha dengan yang sedikit.
Karena kesempitan di dalam ketaatan kepada Allah itu lebih baik daripada kemewahan di dalam kemaksiatan terhadap-Nya.

4. Persiapan untuk hari kepergian (kematian).
Hal yang paling utama yang disiapkan oleh Rasulullah ﷺ sebelum kepergian/kematian beliau adalah: Menyatukan umat dengan sebuah daulah/negara yang mengatur kehidupan kita dengan ketaatan kepada Allah dan syari'at-Nya yang lurus.

Kemudian aku katakan kepadanya: Wahai tuanku, sesungguhnya taqwa yang telah kita pelajari dari paduka kita, Ali, sungguh telah beliau pelajari dengan peran beliau dari Rasulullah yang agung. Dimana beliau berhadapan dengan para thaghut/rezim kafir di masa beliau dan upaya beliau membangkitkan umat untuk melepaskan mereka, adalah manifestasi taqwa yang paling menonjol di dalam kisah hidup beliau yang semerbak mewangi.

Masalahnya adalah pada orang yang hanya membatasi taqwa pada "Takut kepada Dzat Yang Maha Mulia" saja.

Dan dia mengira bahwa dengan itu dia sedang merealisasikan takut kepada Allah, padahal dia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya dengan itu dia sedang merealisasikan takut kepada musuh-musuh-Nya.

(Ustadz Abu Nizar Asy-Syami)

Penerjemah: Ustadzh Afiyah Mahfudhoh

===
Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat
https://t.me/raudhahtsaqafiyah

Bau busuk tulisan Nadir Hosen

Bau Busuk Tulisan Nadir Hosen 😷
By : Poetra Sambu

Khilafah yg diajarkan dan didakwahkan oleh Hizbut Tahrir, dan mendapat banyak tekanan dan halangan, adalah Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah. Artinya, semua perkaranya dikembalikan kepada manhaj/thariqah Nabi saw.

Yg didakwahkan oleh Hizbut Tahrir bukan Khilafah Umayyah, Abbassiyah, atau Utsmaniyyah.

Tidak dipungkiri bahwa tiga Kekhilafahan tersebut mengalami banyak penyimpangan di berbagai hal. Namun, wajib diingat, sejauh penyimpangan yg ada, tidak pernah terjadi -jika ada hanya tuduhan orientalis belaka -pada ranah menerapkan hukum selain hukum Islam dan tidak pernah menghalalkan yg haram atau mengharamkan yg halal. Tidak pernah terjadi seperti apa yg terjadi pada sistem Sekular, di mana zina merupakan hak individu, dan termasuk homoseksual, lesbi, dan yg semisal (LGBT).

Perlu ditegaskan bahwa penyimpangan perliku seorang Khalifah bukanlah penyimpangan sistem Islam (Khilafah Islamiyah). Karena Khalifah bukan Khilafah. Sebagaimana penyimpangan perilaku seorang Muslim, bukanlah penyimpangan Islam; karena Muslim bukan Islam.

Namun, seringkali di sinilah masyarakat terkadang terkecoh; tersesatkan atau aengaja disesatkan. Keburukan yg terjadi di tengah-tengah kaum Muslim dijadikan bukti atas kebatilan Islam. Ini Jelas salah. Karena Islam tidak pernah membenarkan keburukan-keburukan tersebut; sebaliknya Islam justru sangat mengecamnya.

Di sebalik logika rusak inilah sebagian orang menyerang sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw., Khilafah Islamiyah.

Oleh karena itu, dapat dicium bau busuk dari tulisan Nadir Hosen yg mengeksploitasi sejarah Khilafah Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah yg amat panjang, dengan cara mencari-cari keburukan para Khalifahnya dan peristiwa-peristiwa buruk yg terjadi di masyarakat selama kurun waktu yg amat panjang.

Seperti saya tegaskan di atas bahwa Khalifah bukanlah Khilafah dan kaum Muslim yg hidup dalam naungan Khilafah bukanlah Islam itu sendiri, maka kita pun tidak menafikan telah terjadinya apa yg ditulis dalam kitab-kitab Tarikh Khulafa' (Sejarah para Khafah).

Yang kita persoalkan adalah dua hal. Pertama tidak adanya kajian yg adil dan informasi pembanding yg berimbang.Yg ada justru freming. Kedua, agenda busuk di dalamnya, kalimatu haqqin urida biha al-bathil, kata-kata benar yg dijadikan senjata untuk mengangkat kebatilan! Dua hal ini yg kita lawan.

Pertama, sebagai contoh kita angkat kasus Walid bin Yazid bin Abdil Malik yg dituduh Nadir Hosen sebagai gay!
Benarkah?

Memang beberapa data menyebut bahwa Walid ini suka minum khamer, termasuk penyuka sesama jenis, homosek. Namun, data-data tersebut dibantah oleh sebagian ahli sejarah. Di sini, artinya belum ada kepastian. Dan jika belum pasti, maka dalam periwayatan pun harus dg cara yg menggambarkan bahwa perkaranya belum jelas. Tuduhan liwath (homoseks) tanpa bukti adalah tuduhan yg serius. Karenanya para ulama pun dalam menulis catatan buruk ini menggunakan gaya bahasa yg menunjukkan bahwa begitulah catatan sejarahnya; benar salahnya perlu dikaji ulang, dan bukan model fremingnya Nadir Hosen.

Dalam kaitannya kasus Walid bin Yazid bin Abdul Malik, Imam Ibnu Katsir memujinya sebagai berikut:
(ثم ان الوليد بن يزيد سار في الناس سيرة حسنة بادئ الرأي واخرج من بيت المال الطيب والتحف لعيالات المسلمين وزاد في أعطيات الناس ولا سيما اهل الشام والوفود وكان كريما ممدوحا شاعرا مجيدا لا يسأل عن شيء فيقول لا)

Meski demikian Walid bin Yazid berakhir tragis, pasca digulingkan oleh massa yg dipimpin oleh sepupunya sendiri, Yazid bin Walid bin Abdul Malik dan sepupu-sepupunya yg lain; Hisyam, Sulaiman, dan al-Hajjaj.

Mereka sukses menggulingkan Walid bin Yazid dg mengangkat beberapa isu, diantaranya homoseks dan minum khamer di atas Ka'bah saat memimpin haji pada tahun 119 H.

Artinya, di sini ada intrik antara anak-anak keluarga Bani Umayyah sendiri. Ada persaingan antar mereka.

Dengan mengkaji teks-teks sejarah, nampak bahwa ada pengglembungan isu; ada pihak-pihak yg membesar-besarkan. Tentu dorongan utamanya adalah kedengkian. Seperti isu-isu dan tuduhan palsu terhadap HTI selama ini oleh ormas tertentu. Apa motifnya kalau bukan dengki?

Sejarawana lainnya adalah Imam Ibn al-Atsir. Dia mengatakan bahwa Walid bin Yazid sangat menjaga kesucian diri, menjaga muruah, melarang masyarakat dari nyanyian. Lebih jauh beliau mengatakan:
 (وقد نزه قوم الوليد مما قيل فيه وانكروه ونفوه عنه، وقالوا : انه قيل عنه وليس بصحيح) .
"Sebagian ahli sejarah telah membersihkan nama baik Walid dari tuduhan-tuhan yg ada. Mereka mengingkari dan menafikan tuduhan-tuduhan tersebut. Mereka mengatakan: Tuduhan-tuduhan itu tidak benar!".

Data yg dikemukakan oleh At-Thabari berikut menguatkan kesimpulan Ibn al-Atsir di atas:
  (فدنا الوليد من الباب فقال اما فيكم رجل شريف له حسب وحياء اكلمه، فقال له يزيد بن عنبسة السكسكي، كلمني قال له : من أنت ؟ قال : انا يزيد بن عنبسة، قال : يااخي السكاسك، الم ازد في اعطياتكم ؟ الم ارفع المؤن عنكم ؟ الم اعط فقرائكم ؟ الم اخدم زمانكم ؟ فقال :انا ما ننقم عليك في انفسنا، ولكن ننقم عليك في انتهاك ما حرم الله وشرب الخمر ونكاح امهات أولاد ابيك واستخفافك بامر الله، قال : حسبك يا أخا السكاسك فلعمري لقد اكثرت واغرقت وان فيما احل لي لسعة عما ذكرت ورجع الي الوراء واخذ مصحفا وقال يوم كيوم عثمان، ونشر المصحف يقرأ، ثم قتلوه، وكان آخر كلامه قبل أن يقتل، أما والله لئن قتلت لا يرتق فتقكم ولا يلم شعثكم ولا تجتمع كلمتكم) .
Data-data di atas menggambarkan bahwa tuduhan yg ada adalah palsu. Minimal masih kontroversi.

Pertanyannya, mengapa seorang profesor doktor tidak mau menggali info lebih jauh?
Mengapa tidak menganalisa secara kontekstual, seperti yg dia dengungkan selama ini?!! Bukankah nampak sekali ada intrik politik dari sepupu-sepupu Walid bin Yazid?!!
Mengapa lebih memilih freming?

Jawabannya jelas, inilah poin kedua dari inti tulisan ini: Ada agenda busuk di sebaliknya. Jadi Yang diserang sebenarnya bukan Walid, atau Khalifah yg lain, tetapi yg diserang adalah Khilafah! Yg diserang bukan Khilafah Umayyah, Abbasiyah, atau Utsmaniyyah, tetapi Khilafah Rasyidah yg pertama dan juga Khilafah Rasyidah yg kedua yg akan datang!!

Sebagai catatan tambahan. Agar pembaca tidak salah faham sehingga mengira saya membela Khilafah Bani Umayyah secara membabi buta:
1. Bahwa yg diinginkan oleh Hizbit Tahrir adalah Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah.
2. Bahwa Khilafah Bani Umayyah adalah Khilafah yg telah mengalami penyimpangan.
3. Keburukan-keburukan para Khalifah sebagiannya adalah fakta, dan sebagiannya adalah tuduhan.
4. Yang menyebarkan hoax (tuduhan-tuduhan palsu) pada masa Bani Umayyah, selain anggota keluarga yg sedang bersaing, adalah musuh-musuh Bani.Umayyah, termasuk gerakan Bani Abbas dan kaum Syi'ah.
5. Adapun di masa Abbasiyah, yg menyebarkan berita hoax adalah dari kalangan Mu'tazilah ketika tersingkirkan dari kekuasaan sejak lengsernya Qadhi Ahmad bin Abi Duad al-Mu'tazili (seperti disebut-sebut oleh Dr. Isham Syabaro dalam bukunya Qadhi Qudhat fi al-Islam).

====

Kesimpulan

1. Eksploitasi terhadap kebrukan-keburukan 3 era Khilafah (Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah) oleh pihak-pihak tertenu tidak dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan fakta sejarah, atau menyerang para khalifah, namun lebih kepada agenda busuk: Menyerang Khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam Islam. Oleh sebab itu, mereka tidak pernah membahas dalil-dalil wajibnya Khilafah dan hal-hal terkakait, serta prestasi-prestasinya, tetapi mereka lebih suka mengerubuti borok-borok yang bernanah dari borok-borok masalalu Umat Islam!! Hanya lalat yg suka hinggap dan mengerubuti borok! Bahkan borok yg sudah mulai mengeringpun lalat suka mengorek-ngoreknya lagi agar kembali leluar nanahnya! Sungguh lalat memang menjijikan.

2. Jika pun andai benar bahwa Khalifah A atau B berbuat homosksual, bukan berarti hukum dan pemikiran yg ada di era Khilafah adalah bolehnya homoseksual!! Sebaliknya, seperti data di atas, dan diainggung oleh as-Suyuthi, bahwa hukum dan pemikiran yg ada adalah haramnya homoseksual! Karenanya masyarakat beramai-ramai menurunkan Walid bin Yazid -dg asumsi benarnya tuduhan tersebut. Ini sangat berbeda dg sistem Sekular, yg memang secara tabiat dan faktanya memberikan kebebasan pada para pelaku homoseksual dan memberikan jaminan kebebasan secara hukum!!!

Wallah a'lam.

11/06/2019


MEMAHAMI NASH AL-QUR’AN MENGENAI KHILAFAH (TANGGAPAN TERHADAP NADIRSYAH HOSEN DAN YANG SEMISALNYA)

Oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami

Mukaddimah

Seiring meningkatnya penerimaan Umat Islam terhadap pemikiran Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam, masih ditemukan adanya penolakan atau setidaknya “keraguan” mengenai ada atau tidaknya nash (teks) yang jelas dan valid, bukan berupa opini atau tafsiran yang subjektif. Khilafah sebagai “sistem baku” sebuah pemerintahan dianggap tidak memiliki sandaran argumentatif dalam al-Quran al-Karim sebagai sumber asli (orisinal). Jika memang Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam merupakan pemikiran Islam “murni” bukan opini madzhab dan jama’ah tertentu, semestinya disebutkan secara jelas dalam al-Quran al-Karim sebagaimana shalat dan shaum; meskipun secara mujmal (global).

Nadirsyah Hosen telah membuat catatan dengan judul “Tidak Ada Istilah Khilafah dalam al-Quran” yang dimuat dalam situs NU Online (https://www.nu.or.id/post/read/104263/tidak-ada-istilah-khilafah-dalam-al-quran). Catatan serupa diajukan oleh Ahmad Sarwat dengan judul “Khilafah dalam Al-Qur’an” dalam akun facebooknya (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2663942086956430&id=100000219936471).

Pemikiran tersebut perlu mendapat tanggapan. Pemikiran tersebut setidaknya dapat ditinjau dengan beberapa teori pemikiran Islam yang mu’tabar, yakni (1) Hadits sebagai penjelas (al-Bayan) bagi al-Quran, (2) Pemaknaan al-Quran berdasarkan Mafhum Nash, dan (3) Pengalihan makna suatu lafazh dalam al-Quran dari makna lughawi menjadi makna syar’i. Apakah penolakan atau “keraguan” tersebut dapat dibenarkan berdasarkan ketiga teori tadi ataukah tidak? Apakah terdapat teori lain yang menjadi sandaran pemikiran tersebut, yang dianggap mu’tabar dan mu’tamad, atau setidaknya termasuk mukhtalaf fihi? Ataukah sekedar sikap yang dipengaruhi Hadharah Asing semisal Liberalisme dan Pragmatisme?

A. Hadits sebagai Penjelas al-Quran

Hadits secara istilahi didefinisikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir/diamnya beliau. Secara umum, keterkaitan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai pemikiran Islam, tercermin dalam 2 (dua) fungsi dan peranan, yaitu: pertama, menjelaskan makna-makna al-Quran yang merupakan hujjah bagi ar-Risalah; dan kedua, menetapkan suatu pemikiran yang tidak disebutkan al-Quran. Maksud menjelaskan makna-makna al-Quran adalah menerangkan ayat yang maknanya perlu dijelaskan secara terperinci (tafshîl al–mujmal), menghususkan ayat yang maknanya umum (takshîshal-‘âm), membatasi ayat yang maknanya bersifat mutlak (taqyîd al-mutlaq), dan menetapkan pemikiran-pemikiran cabang yang asalnya ada dalam al-Quran (ilhâq al-furû’ bi al-ashl).

Dengan demikian, berhujjah dengan Hadits pada asalnya merupakan bagian dari berhujjah dengan al-Quran. Mengingkari kehujjahan Hadits berarti mengingkari bagian dari ayat al-Quran. Diantara ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut semisal:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Quran) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. (Q.S. an-Nahl : 44)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah maka ikuti saya niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni  dosa-dosa kalian”. (Q.S. Ali Imran : 31)

Sebagian pihak “membela diri” bahwa yang diragukan ialah berbagai periwayatan Ahad yang zhanni (spekulatif), bukan menolak kehujjahan Hadits secara mutlak. Pada prinsipnya, ungkapan tersebut merupakan bentuk lain dari Inkar Sunnah, dikarenakan pada umumnya apa yang disebut sebagai Hadits merupakan periwayatan Ahad. Dapat dikatakan bahwa Hadits yang diriwayatkan secara mutawatir sangatlah sedikit, apalagi yang berupa rincian pemikiran maupun hukum. Tidak ada kalangan fuqaha manapun yang secara sengaja mengabaikan hadits. Sehingga, jika suatu hadits tidak diamalkan sebuah madzhab, bisa jadi hadits tersebut dianggap mardud, mansukh, atau marjuh, sesuai metodologi ushuliyyah yang dipilihnya. Dimungkinkan pula, hadits tersebut merupakan hadits yang di dalamnya terdapat ikhtilaf, baik dalam aspek sanad, rawi, maupun matannya, serta bisa jadi hadits tersebut belum diketahui oleh pihak yang tidak mengamalkannya.

Secara keseluruhan madzhab-madzhab Islam bersepakat dalam mengamalkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, hanya saja dalam penerimaan sebuah periwayatan yang tidak termasuk mutawatir, maka dalam perkara ini sempat terjadi perselisihan, dikarenakan pengaruh situasi politik dan persaingan antar madzhab. Sebagai contoh, Khawarij menolak periwayatan yang berasal dari pendukung Ali radhiyallâhu ‘anhu dan Muawiyyah radhiyallâhu ‘anhu, sebagaimana Syiah membatasi diri dengan apa yang diklaim sebagai periwayatan Ahli Bait saja. Selain faktor-faktor tersebut, kehati-hatian dalam penerimaan hadits juga dipengaruhi oleh lingkungan pemikiran yang dihadapi para ulama, saat mereka mendapatkan periwayatan. Sebagai contoh, para ulama di Irak dikenal cukup ketat dalam menerima sebuah periwayatan, dikarenakan lrak merupakan tempat yang di dalamnya banyak beredar hadits-hadits palsu. Tentu hal tersebut, berbeda dengan para ulama di Hijaz yang merupakan tempat asal bagi risalah Islam, terutama Madinah sebagai tempat tinggalnya Rasulullah Saw. dan para sahabat senior. Bahkan dari kalangan Muktazilah yang dikenal dengan pemikiran ra’yu-nya tetap berhujjah dengan Hadits Ahad dalam masalah hukum sebagaimana dilakukan oleh Imam al-Qadhi Abdul Jabbar asy-Syafi’i dan Imam az-Zamakhsyari al-Hanafi.

Adapun diantara hadits yang secara sharih menjelaskan Khilafah dan Khalifah sebagai bagian dari konsepsi pemerintahan Islam ialah sebagai berikut:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dahulu Bani Israil diurus para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para Khalifah yang banyak. Tepatilah baiat yang pertama, dan hanya itu. Dan penuhilah hak mereka karena Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka”.

Hadits ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Majah dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan shahih kualitasnya, muttafaq ‘alaih, sanadnya marfu’ muttashil, serta para rawinya merupakan rijâl-nya kitab ash-Shahîh.

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

“Akan berlangsung masa kenabian di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung masa khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekuasaan yang zhalim selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang diktator selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan muncul kembali khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian.”

Hadits ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, ath-Thayalisi, dan al-Bazzar dalam al-Musnad-nya masing-masing dari Sayyidina Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallâhu ‘anhu hadits ini dinilai shahih oleh Imam Zainuddin al-‘Iraqi, guru dari Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Islam Imam Ibn Hajar dan diterima oleh Imam al-Baihaqi.

Demikian pula berbagai hadits lain yang menyebutkan Khalifah, Imam, ataupun Bai’ah. Syaikh al-Musnid al-Qadhi Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani menjelaskan dalam karyanya, al-Ahâdîts al-Arba’în fî Wujûb Thâ’ah Amîr al-Mu`minîn, sebagai berikut:

والْإِمَامُ في جميع الاحاديث الخليفة … والبيعة معاهدة الامام على السمع والطاعة

“Imam dalam semua hadits-hadits adalah Khalifah … Bai’ah ialah perjanjian (dengan) Imam untuk mendengar dan taat”.

Hadits-hadits tersebut ditempatkan oleh para Imam: al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah pada Kitab al-Ahkam, Imam Muslim dan Imam Abu Daud pada Kitab al-Imarah, serta Imam an-Nasa`i pada Kitab al-Bai’ah.

Adapun mengenai kesatuan pemerintahan yakani kewajiban untuk mengangkat Khalifah yang satu (tunggal), maka para ahli fiqih telah bersepakat tentangnya, dikarenakan hadits-hadits mengenai hal tersebut telah jelas, diantaranya:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِر مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang terakhir (dibaiat) diantara keduanya.”

Hadits ini diriwayatkan Muslim dan Abu ‘Awanah dari Sayyidina Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu ‘anhu. Statusnya shahih, sanadnya marfu’ muttashil, serta para rawinya di ketiga tingkatannya merupakan rijâl-nya kitab ash-ShahÎh, diterima an-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani, meskipun dilemahkan oleh al-Uqaili dan adz-Dzahabi; terdapat syawahid dengan berbagai jalur, yakni Ibn ‘Asakir dalam Târîkh ad-Dimasyq dari Sayyidina Ibn Abbas dan Amirul Mu’minin Sayyidina Ali radhiyallâhu ‘anhum dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdâd dari Sayyidina Anas radhiyallâhu ‘anhu, dengan lafad yang sama, serta ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dengan lafad yang semakna; semua sanadnya dianggap bermasalah, kecuali sanadnya ath-Thabrani yang para perawinya dinilai tsiqah oleh Imam al-Haitsami. Selain itu, terdapat Hadits yang diriwayatkan para Imam: Ahmad, Muslim, Abu Daud, an-Nasa`i, dan Ibn Hibban serta al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân, al-Hakim, ath-Thayalisi, Abu ‘Awanah, dan ath-Thabrani, dengan lafad yang semisal dari Sayyidina ‘Arfajah radhiyallâhu ‘anhu dengan lafad:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ

“Barangsiapa yang hendak memecah belah urusan umat ini sedangkan mereka bersatu maka bunuhlah dengan pedang siapapun dia”.

Para ulama yang menegaskan kewajiban mengenai kesatuan pemerintahan, diantaranya semisal para imam: al-Mawardi, Abu Ya’la, Ibn Abdil Barr, Ibn Hazm, al-Haramain, al-Bazdawi, an-Nawawi, al-Qurthubi, dan Ibn Katsir. (Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 29; Abu Ya’la, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 25; Ibn Hazm, al-Muhlâ, IX/360; Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, III/190; al-Haramain, Ghiyâts al-Umam, h. 172; al-Bazdawi, Ushûl ad-Dîn, h. 195; an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/232; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, I/273; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/222).

Dengan demikian, penolakan atau “keraguan” terhadap Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam meniscayakan penolakan terhadap Hadits Ahad sebagai hujjah dalam hukum. Hal tersebut dikarenakan hadits-hadits mengenai Khalifah, Imam, dan Bai’ah merupakan hadits Shahih yang diterima kalangan muhadditisn maupun fuqaha.

Sedangkan penolakan Hadits Ahad secara mutlak pada prinsipnya merupakan bentuk lain dari Inkar Sunnah, sehingga meniscayakan adanya pengingkaran ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tahkim dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan Hadits merupkan penjelas bagi al-Quran.
Sebagian pihak menolak atau “meragukan” hadits-hadits tentang siyasah/politik berdalih dengan teori tarjih berdasarkan “kritik matan”. Namun, yang perlu diwaspadai ialah tarjih suatu matan karena dipengaruhi pemikiran dan hukum selain Islam. Terkadang seorang peneliti mengalami bias pemahaman, sekalipun kajian dan penelitiannya dilandasi keikhlasan. Terutama jika dikaitkan dengan “tafsir kontekstual” terhadap suatu nash, baik al-Quran maupun al-Hadits. Selanjutnya, makna-makna yang disimpulkan dari metodologi rusak tersebut dianggap sebagai sebab yang dapat menguatkan salah satu hadits. Tanpa disadari, pendapat yang lahir dari tarjih tersebut merupakan pendapat yang tidak syar’i, hukum yang dihasilkannya bukan hukum Islam, karena tidak berlandaskan pada wahyu, namun lahir dari hawa nafsu. Pemikiran yang “menjauhkan” politik dan pemerintahan dari pemikiran Islam jelas dipengaruhi oleh Sekularisme yang meniscayakan “pemisahan ad-Din dari negara”.

Tentu termasuk gharib dan syadz, apabila ada sebagian pihak yang mempertahankan bentuk pemerintahan selain Khilafah (misal: Republik, Kerajaan) dan membangun ikatan bagi masyarakatnya dengan selain Islam (misal: Nasionalisme, Patriotisme, Kemadzhaban). Padahal, sistem Khilafah dengan ikatan Islam-nya merupakan pemikiran yang diitinbath dari nash-nash syar’i, sedangkan konsepsi selainnya, tidaklah sedikitpun berasal dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahkan bertentangan dengannya, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh dari Sayyidatina Ummahatul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka dia tertolak.” Wallâhu A’lâm.

B. Mafhum an-Nash dalam  Pemaknaan al-Quran

Diantara ayat al-Quran yang secara sharih menyebutkan lafazh  Khalifah ialah surat Q.S. al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Imam Ibn Jarir ath-Thabari menukil berbagai riwayat penafsiran dari Ibn Ishaq, Rabi’ ibn Anas, Ibn Zaid, Ibn Sabith, Hasan al-Bashri, Ibn Abbas, dan Ibn Mas’ud, lalu menyimpulkan sebagai berikut:
.

فكان تأويل الآية على هذه الرواية التي ذكرناها عن ابن مسعود وابن عباس: إني جاعل في الأرض خليفةً منّي يخلفني في الحكم بين خلقي. وذلك الخليفة هو آدمُ ومن قام مقامه في طاعة الله والحكم بالعدل بين خلقه.

“Maka ta`wil ayat berdasarkan riwayat yang kami sebutkan dari Ibn Mas’ud dan dan Ibn Abbas   إني جاعل في الأرض خليفةً, dari-Ku dia menggantikan ‘mewakili’ dalam menetapkan hukum ‘keputusan’ diantara ciptaan-Ku. Oleh karena itu, Khalifah ialah Adam dan orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan pada Allah dan menetapkan hukum dengan adil diantara ciptaan-Nya”. (Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân, I/449-452).

Adapun Imam al-Qurthubi menjelaskan sebagai berikut:

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه

“Ayat ini merupakan asal/pokok dalam pengangkatan Imam dan Khalifah yang didengar dan ditaati untuk menyatukan kalimah dan menerapkan hukum-hukum Khalifah. Tiada ada perbedaan mengenai kewajiban tersebut diantara umat, tidak pula di kalangan para Imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Assham yang dia tuli dari Syariah, demikian pula setiap orang yang berpendapat dengan qaulnya dan mengikuti pendapat dan madzhabnya”. (al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, I/263).

Sedangkan Imam Ibn Katsir menjelaskan sebagai berikut:

وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“al-Qurthubi dan yang lainnya telah ber-istidlal dengan ayat ini mengenai kewajiban pengangkatan Khalifah untuk memutuskan perselisihan diantara masyarakat, menghilangkan persengketaan, menolang yang terzalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudud, memberikan sanksi bagi pelaku kekejian, dan yang lainnya dari berbagai urusan penting yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam, Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itupun menjadi wajib.(Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/221)”.

Sebagaimana kajian fiqih, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam menafsirkan al-Quran, yakni tafsir yang bersandar pada atsar, dikenal dengan tafsîr bi al-ma`tsûr, dan tafsir yang bersandar pada ra’yu, dikenal dengan tafsîr bi ar-ra’yi. Perbedaan pendekatan tersebut mirip dengan perbedaan diantara ahli hadits dan ahli ra’yu di kalangan fuqaha. Kedua pendekatan tersebut tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi.

Yang perlu dipahami dari  perbedaan kedua pendekatan tersebut ialah mengenai penggunaan periwayatan mauquf dan maqthu’, terutama yang di dalamnya tidak secara jelas terdapat kondisi-kondisi yang dapat dikategorikan sebagai marfû’ hukman. Selain itu, perbedaan keduanya didominasi dalam pemaknaan aspek mafhûm dan ma’qûl suatu nash. Sebagian ulama, sekalipun bersikap leluasa dalam kajian fiqih, namun mereka sangat berhati-hati dalam kajian tafsir, sedangkan ulama yang lain mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memahami tafsir suatu ayat.

Sebagai sebuah perbandingan kedua pendekatan tersebut dalam penggunaan hadits atau periwayatan, dalam penafsiran surat al-Fatihah ayat ke-7, para Imam: Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, dan Ibn Katsir menafsirkan maghdhûbi ‘alaihim, dengan Yahudi dan adh-dhâllîn, dengan Nasrani, bersandar pada periwayatan marfu’ dan mauquf; sedangkan para Imam: al-Fakhr ar-Razi, al-Baidhawi, dan an-Nasafi lebih memperluasnya dengan pendalaman pemaknaan lafad al-Ghadhab (dimurkai) dan adh-Dhalâl (sesat), sekalipun menyebutkan penafsiran yang pertama. (Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân, I/195; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/143; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, I/210; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, I/31; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, I/32).

Dengan demikian, penafsiran Imam al-Qurthubi tidak “bertentangan” dengan penukilan Imam Ibn Jarir, bahkan sesuai dengan pendapat Imam Ibn Jarir, bahkan disetujui oleh Imam Ibn Katsir. Hal tersebut dikarenakan penukilan Imam Ibn Jarir berkaitan dengan manthuq nash sedangkan penafsiran Imam al-Qurthubi menggunakan mafhum nash. Fungsi Khalîfah fil Ardhi untuk mengurus dan memakmurkan bumi akan meninscayakan keruasakan dan pertumpahahn darah jika tidak dipandu oleh wahyu Allah ‘azza wa jalla berupa hukum-hukum syariah, sedangkan penerapan hukum-hukum syariah membutuhakan keberadaan seorang Khalifah dengan sistemnya, yakni Khilafah. Dengan kata lain, ayat tersebut dimaknai berdasarakan Dalâlah Isyârah, yang dikuatkan dengan kaidah syar’i :

ما لا يتم الواجب إلاّ به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itupun menjadi wajib”. Wallahu A’lam.

C.  Lafazh Manqul dalam al-Quran

Dari aspek peristilahan (ishtilâhiyyah), terdapat teori lafazh manqul, yakni kata yang mengalami perubahan makna dari makna asalnya, baik dikarenakan nash syar’i (syar’iyyah), ataupun kesepakatan ahli (‘urfiyyah); baik yang berkaitan dengan makna sebenarnya (haqîqah) ataupun makna yang dialihkan (majâz). Yang dimaksud lafazh manqul yang syar’i ialah lafazh yang berubah maknanya sesuai penunjukkan dalil yang dikehendaki nash syar’i, bukan disesuaikan dengan peristilahan para ulama yang membahasnya, semisal kata khalîfah, khilâfah, bai’ah, islâm, îmân, dan ihsân. Sedangkan yang dimaksud lafazh manqul yang ‘urfi ialah lafazh yang berubah maknanya sesuai kesepakatan para ahli, baik yang bersifat umum, maupun bersifat khusus, semisal shahîh, hasan, dha’îf, mursal, mauqûf, musnad, munkar, matrûk, jihâlah, mastûr, tsiqah, shâlih, dan sebagainya.

Lafazh-lafazh tersebut berbeda maknanya dengan makna awalnya secara bahasa. Sebagai contoh ialah lafad khalîfah dan khilâfah. Secara bahasa berasal dari lafad khalafa, bermakna menggantikan, maka khalîfah diartikan dengan “yang menggantikan” dan khilâfah diartikan sebagai “pergantian”, yakni mashdarnya. (Imam Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, IX/82). Berdasarkan istinbath terhadap nash – nash syar’i, para ulama mengalihkannya menjadi lafazh-lafazh yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Diantaranya semisal pendefinisian berikut:

Syaikh al-Azhar  Syaikh Ibrahim ibn Muhammad al-Bajuri

(الخلافة) النيابة عن النبي صلى الله عليه وسلم في عموم مصالح المسلمين

“(Khilafah) Pengganti dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam keumuman berbagai kemashlahatan kaum muslimin”. (Ibrahim al-Bajuri, Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar at-Tauhîd, hlm. 85)

Sayyid ‘Ulama al-Hijaz Syaikh Nawawi Muhammad ibn Umar al-Jawi

(الخلافة) النيابة عن النبي صلى الله عليه وسلم في عموم مصالح المؤمنين

“(Khilafah) Pengganti dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam keumuman berbagai kemashlahatan kaum mu’minin”. (Nawawi al-Jawi, Tîjân ad-Durârî Syarh ‘ala Risâlah al-Bâjûrî, hlm. 15)

Dalam kedua definisi tersebut jelas bersandarkan pada hadits Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan Sayyidina Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallâhu ‘anhu yang disebutkan sebelumnya mengenai peranan para Khalifah setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkaitan dengan Khalifah dan Khilafah sebagai konsespsi pemerintahan Islam, sebagian ulama membahasnya pada kajian akidah, semisal para Imam: al-Asy’ari, al-Baqillani, al-Bazdawi, an-Nasafi, al-Baidhawi, at-Taftazani, al-Ijji, dan Ibn al-Humam, serta Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Sayyid Husain Afandi, dan Syaikh Nawawi al-Jawî; sebagian ulama membahasnya pada kajian fiqih secara umum, semisal para Imam: Ibn Hazm, Zakariya al-Anshari, Syamsuddin ar-Ramli, al-Khathib asy-Syarbini, Ibn Najim, dan al-Bahuti, serta Syaikh Ibn Abidin, Syaikh Muhammad al-Muthi’i, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili; sebagian ulama membahasnya pada kajian fiqih secara khusus (fiqih siyasah), semisal para Imam: al-Mawardi, al-Haramain, Abu Ya’la, Ibn Taimiyyah, dan al-Qalqasyandi, serta Sayyid al-Kattani, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdullah ad-Dumaiji, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dan Syaikh Abdul Qadim Zallum; sebagian ulama membahasnya saat men-syarah hadits, semisal para Imam: Ibn Abdil Barr, an-Nawawi, Zainuddin al-Iraqi, dan Ibn Hajar al-Asqalani, serta Syaikh Yusuf an-Nabhani; sebagian ulama membahasnya saat menafsirkan al-Quran, semisal para Imam: al-Fakhr ar-Razi, al-Qurthubi dan Ibn Katsir; sebagian yang lain membahasnya dengan uslub yang dipilihnya, semisal para Imam: asy-Syafi’i, Ibn Khaldun, dan as-Suyuthi, serta Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi, Syaikh Muhammad al-Khidhir, Syaikh Mushthafa Shabari, Syaikh al-Maududi, Syaikh Hasan al-Banna, dan Syaikh Ali Bailhaj; yang dalam pembahasannya terkadang lafad khalîfah digantikan lafad imâm dan lafad khilâfah digantikan lafad imâmah, dikarenakan lafad-lafad tersebut sinonim.

Dengan demikian, pendapat yang mewajibkan ketaatan terhadap penguasa negeri Islam saat ini atau yang melarang pilihan masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilihan mereka, dengan menggunakan hadits-hadits kepemimpinan bukanlah pendapat yang syar’i. Selain landasannya yang dipengaruhi oleh Sekularisme, Liberalisme, dan Pragmatisme, penggunaan lafazh khalîfah yang ditujukan terhadap raja atau presiden dengan anggapan lafad tersebut dimaknai sebagai “pemimpin secara umum”, jelas merupakan kesalahan yang berat. Sebagaimana pembahasan sebelumnya secara bahasa makna khalîfah bukanlah “yang memimpin”, tapi “yang menggantikan”. Berarti argumentasi pendapat tersebut merupakan pendalilan yang memaksakan diri. Apabila lafazh khalîfah dimaknai dengan “yang memimpin”, mestilah ditujukan terhadap pemimpin yang hanya menerapkan aturan dan perundang-undangan Islam.

Jadi, pada asalnya sebagaimana shalat dan shaum, lafazh Khalifah dan Khilafah jika tidak tidak ada qarinah yang mengembalikannya kepada makna bahasa dimaknai sebagai konsepsi pemerintahan Islam, semisal Q.S. an-Nur  ayat 55:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan memberikan Istikhlaf kepada mereka di bumi, sebagaimana Dia telah memberikan Istikhlaf kepada orang-orang yang sebelum mereka”. (Q.S. an-Nur:55).

Para Imam mufassirin menjadikan ayat ini sebagai dalil pembahasan Khilafah sebagai sebuah pemerintahan Islam yang menguasa Arab dan ‘Ajam, sebagaimana disebutkan para Imam: Ibn Jarir, Ibn katsir, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan an-Nasafi. Wallahu A’lam.

Khatimah

Berdasarkan tinjauan ketiga teori sebelumnya dapat ditetapkan bahwa penolakan atau “keraguan” terhadap Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam tidak ditemukan adanya kesesuaian dengan manhaj mu’tabar dan mu’tamad di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan cenderung mengakibatkan adanya penolakan terhadap nash al-Quran, setidaknya yang berkaitan dengan dalil tahkim dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jelas, dalam alur kajian tafsir al-Quran yang mu’tabar dan mu’tamad, menjadikan Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam bukanlah hal yang gharib maupun syadz. Justru, diperlukan adanya hujjah yang kokoh bagi sebagian pihak yang “menerima” konsepsi pemerintahan yang tidak diistinbath dari al-Quran dan Hadits, maupun Ijma’ dan Qiyas. Apalagi jika bersandar pada teori “kekosongan hukum” dan tafsir kontekstual, dikarenakan pengabaian suatu hukum bermuara pada “tuduhan” bahwa adanya kekurangan dalam Hukum Syariah atau hukum yang lain lebih baik dari Hukum Syariah. Wallahu A’lam.

Jawa Barat, 1 April 2019

(Penulis adalah Kontributor di Raudhah Tsaqafiyyah, Pusat Kajian Pemikiran Islam dan Turats)