Saturday, September 21, 2024

MENCINTAI NABI SAW. SEPENUH HATI

 *MENCINTAI NABI SAW. SEPENUH HATI*


Buletin Kaffah No. 361 (16 Rabiul Awwal 1446 H/20 September 2024 M)


Tak terasa, kita kembali berada pada bulan Rabiul Awwal. Bulan kelahiran Baginda Rasulullah saw. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran (Maulid) Rasulullah saw. Muhammad ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat dengan penuh kegembiraan.


Kegembiraan itu tentu wajar. Pasalnya, kelahiran Rasulullah saw. adalah nikmat yang paling agung bagi umat manusia. Allah SWT berfirman:


لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاَ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ


Sungguh, Allah telah memberi kaum Mukmin karunia ketika Dia mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri. Ia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka serta mengajari mereka al-Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah) meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (TQS Ali Imran [3]: 164).


*Wajib Mencintai Nabi saw.*


Peringatan Maulid Nabi saw. adalah salah satu wasilah untuk terus memelihara rasa cinta (mahabbah) kepada beliau. Mencintai beliau tentu tidak seperti mencintai sesama manusia. Kecintaan seorang Muslim kepada beliau harus di atas kecintaan kepada yang lain. Nabi saw. sendiri yang menyatakan demikian:


لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ


Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia (HR al-Bukhari).


Karena itu mencintai Nabi Muhammad saw. hukumnya wajib. Al-Quran telah mengancam dengan keras siapa saja yang cintanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain:


قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ


Katakanlah, “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian dan keluarga kalian, juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik.” (TQS at-Taubah [9]: 24).


Siapa pun yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya sepenuh hati, yang terus ia pertahankan sampai mati, ia pasti akan bersama-sama dengan beliau di surga-Nya nanti. Beliau bersabda:


أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ


“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR al-Bukhari).


*Haram Menyakiti Nabi saw.*


Jika memang mencintai Nabi saw. setulus dan sepenuh hati, seorang Muslim tidak boleh sedikitpun menyakiti hati beliau. Allah SWT telah mengancam dengan keras siapa saja yang menyakiti beliau, sebagaimana firman-Nya:


وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih (TQS at-Taubah [9]: 61).


Jika memang mencintai Nabi saw. setulus dan sepenuh hati, seorang Muslim juga tidak boleh sedikitpun membuat beliau marah. Apa yang bisa membuat beliau marah? Jawabannya dituturkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra.: Rasulullah saw. pernah datang menemui diriku dalam keadaan marah. Aku berkata, “Siapa yang telah membuat engkau marah, wahai Rasulullah? Semoga Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.” Beliau menjawab:


أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّي أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ، فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ


“Bagaimana perasaanmu ketika aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah, lalu mereka bimbang (ragu untuk melaksanakan perintah tersebut, red.).” (HR Muslim dan Ibnu Hibban).


Dengan demikian jelas bahwa bukti cinta hakiki kepada Nabi saw. adalah mentaati beliau tanpa bimbang dan ragu. 


Ketaatan kaum Muslim kepada beliau akan mengantarkan mereka ke dalam surga-Nya. Hal ini telah ditegaskan oleh beliau sendiri:


كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى


"Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan," Para Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?" Beliau menjawab, "Siapa yang mentaati aku pasti masuk surga dan siapa yang membangkang kepadaku berarti ia enggan (masuk surga)." (HR al-Bukhari).


*Totalitas dalam Ketaatan*


Bukti cinta kepada Nabi saw. tidak lain adalah ketaatan total kepada beliau. Sebagaimana dinukil oleh Imam al-Qusyairi dalam Risâlah al-Qusyairiyyah:


إِنَّ مِنْ عَلاَمَاتِ اْلحُبِّ الطَّاعَةُ


Sungguh di antara tanda cinta itu adalah taat.


Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mentaati Rasulullah Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupan beliau. Bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlak beliau saja. Hal ini sekaligus menjadi bukti cinta hakiki kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي


Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (TQS Ali Imran [3]: 31).


Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw. 


Allah SWT juga berfirman:


وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas khuluq yang agung (TQS al-Qalam [68]: 4).


Di dalam tafsirnya, Imam Jalalain menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). 


Dengan demikian ayat di atas bisa dimaknai: “Sungguh engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.” 


Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: “Sungguh engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam.” (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). 


Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah ra., istri Nabi saw., pernah ditanya oleh Saad bin Hisyam ra. mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah ra. lalu menjawab:


كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 


Sungguh akhlak beliau adalah al-Quran (HR Ahmad).


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cara meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai dari akidah dan ibadah hingga berbagai muamalah seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum dan pemerintahan. Sebabnya, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat dan haji secara benar. Beliau pun mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal serta mengatur pemerintahan/negara secara benar dengan syariah Islam. Lalu apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak! 


Jika demikian, mengapa saat ini kita enggan meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekuler? Enggan mengatur urusan sosial, pendidikan, politik dengan aturan Islam? Enggan menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll)? Juga enggan mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?


Padahal Allah SWT telah menegaskan:


وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا


Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Kata “mâ” (apa saja) pada ayat di atas bermakna umum, yakni mencakup semua perkara.


Namun sayang, pada akhirnya, jujur harus kita akui, terkait Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini, di tengah-tengah kaum Muslim justru banyak ironi. Buktinya: Setiap tahun Maulid Nabi saw. diperingati. Akan tetapi, korupsi yang diharamkan beliau justru makin menjadi-jadi. Ekonomi ribawi yang beliau larang masih menjadi tumpuan di negeri ini. Ideologi yang diterapkan bukan ideologi Islam yang dibawa Nabi saw. Yang diterapkan malah ideologi Kapitalisme-sekuler dari Barat yang justru bertentangan dengan tuntunan beliau. Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum peninggalan beliau juga terus dilucuti, sementara hukum-hukum sekuler yang lahir dari proses demokrasi dianggap yang paling layak diikuti.


Setiap tahun Maulid Nabi saw. diperingati. Akan tetapi, yang diterapkan dalam politik di negeri ini adalah sistem demokrasi yang diajarkan oleh para ahli Barat sekuler seperti Montesquie, John Locke, dll. Bukan sistem pemerintahan Islam yang diwariskan Nabi saw., yakni Khilafah Islamiyah, dan dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda:


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


Kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi). 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ


Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul (yakni Rasulullah Muhammad saw.) dari kalangan kalian sendiri. Berat terasa oleh dia penderitaan kalian. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin. (TQS at-Taubah [9]: 128). []

Saturday, September 14, 2024

Keajaiban Al-Qur'an dalam angka


Al-Qur'an dalam angka:


_Kata HUKUMAN   ada 117 kali_

_Kata AMPUNAN  ada  234 kali_.


_ALLAH lebih menyukai pemberian maaf daripada membalas kesalahan orang, oleh karena itu jumlah kata  AMPUNAN persis 2 kali nya jumlah kata HUKUMAN_.


_Beberapa kata yang seimbang :_

_Kata KATAKANLAH                    332  kali_

_Kata MEREKA MENGATAKAN   332 kali_.


_Kata DUNIA                115 kali_

_Kata AKHIRAT             115 kali_.


_Kata SETAN                88 kali_

_Kata MALAIKAT         88 kali_.


_Kata SURGA               77 kali_

_Kata NERAKA            77 kali_.


_Kata    ZAKAT            32 kali_

_Kata  BERKAH           32 kali_.


_Kata MUSIM PANAS   dan  PANAS   5 kali_

_Kata MUSIM DINGIN  dan DINGIN   5 kali_.


_Kata LAKI LAKI        23   kali_

_Kata PEREMPUAN  23   kali_.

_Manusia memiliki jumlah kromosom 46  yg berasal  dari LAKI LAKI (Ayah) 23 dan dari PEREMPUAN (Ibu) 23 jadi jumlahnya 46_.


_Kata KEKAYAAN      26 kali_

_Kata KEMISKINAN  13 kali_

_Karena itu ALLAH memerintahkan kita bekerjalah seolah olah kita akan hidup 1.000 tahun lagi  agar mendapat KEKAYAAN yang jauh lebih penting dari KEMISKINAN,    karena dg adanya KEKAYAAN kita bisa berzakat, bersedekah,  dan bisa berbagi._


_Kata TANAH    13 kali_

_Kata LAUT       32 kali_.

_Kalau dijumlahkan = 45_


_TANAH = 13/45  = 28.888 %_

_LAUT  =  32/45  = 71.111%_


_Buka peta dunia maka akan terlihat bahwa luas daratan atau TANAH  memang 28.888 % luas  dunia._

_Dan luas LAUT memang 71.111 % luas dunia_.


*_Kesimpulan :_*

AL QURAN BENAR BENAR DARI ALLAH,  KARENA TIDAK ADA SEORANG PUN YANG AKAN MAMPU MENULIS SESUATU  SE AKURAT DAN SE KONSISTEN ITU


Subhanallah..._ wa masyaa Allah


*_SILAHKAN DI SHARE_*


https://youtu.be/Dvbu3GryHu4


#indonesiamakmurberkeadilan

TOLERANSI TANPA MERUSAK AQIDAH ISLAM

 *TOLERANSI TANPA MERUSAK AQIDAH ISLAM*


Buletin Kaffah No. 360 (9 Rabi’ul Awwal 1446 H/13 September 2024 M)


Baru-baru ini Paus Fransiskus datang ke Indonesia. Kedatangan Paus ke Indonesia merupakan kunjungan yang pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam. Tak hanya datang, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu juga mengadakan misa agung di Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ribuan umat Kristiani. 


Kedatangan Paus disambut dengan gegap-gempita. Namun, penyambutan atas kedatangannya dinilai berlebihan dan menulai polemik di tengah kaum Muslim. Pasalnya, serangkaian prosesi penyambutan Paus—yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi—telah kebablasan dan menabrak batas-batas Aqidah Islam. 


Polemik itu berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus Fransiskus tertanggal 9 Agustus 2024 kepada Kementerian Agama terkait permohonan dukungan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia 3-6 September 2024. Sebagai tindak lanjut, Kementerian Agama bersurat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tertanggal 1 September 2024. Surat yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Katolik itu di antaranya berisi: Pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang azan seperti biasanya). Dengan itu misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia.


Ada juga agenda pembacaan Injil dan al-Quran untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini. 


Tampak jelas bahwa serangkaian prosesi penyambutan Paus ini mengarah pada sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama.


*Perlu Sikap Kritis*


Tentu diperlukan sikap kritis terhadap praktik sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama ini. 


1. Sinkretisme beragama. 


Sinkretisme beragama bermakna mencampuradukkan ajaran agama-agama. Termasuk mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain. Sinkrestisme beragama semacam ini jelas mencampuradukkan yang haq dan yang batil, yang nyata-nyata terlarang dalam Islam. Allah SWT berfirman: 


وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ 


Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 42).


2. Pluralisme agama. 


Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Konsekuensinya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 


Setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini: Pertama, aspek normatif. Secara normatif, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islam. Pluralisme bertentangan antara lain dengan firman Allah SWT berikut:


إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ 


Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Siapa saja yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sungguh Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19). 


Allah SWT juga berfirman:


وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِيْنًا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ 


Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).


Dengan alasan itu, wajar jika pluralisme agama difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia dalam Munas VII MUI tahun 2005.


Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tetapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok.


Ketiga, aspek inkonsistensi Gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu Gereja harus menganggap agama Islam juga benar. Tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Dengan begitu mereka tidak melakukan misi kristenisasi kepada umat Islam.


Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi Kapitalisme yang Kristen atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai membawa misi imperialisme. 


3. Humanisme beragama.


Humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa. Ketika itu banyak pemikir seperti Petrarch, Erasmus dan Pico della Mirandola mulai memusatkan perhatian pada kebangkitan budaya klasik Yunani dan Romawi. Mereka juga menggali potensi manusia di luar dogma agama yang dominan saat itu. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini justru ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Caranya dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan, dengan mengabaikan Tuhan dan agama. 

Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah SWT: 


قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ 


Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (TQS al-An’am [6]: 162). 


*Sikap Muslim Seharusnya*


Dengan demikian para tokoh umat semestinya paham bahwa kunjungan orang kafir ke negeri ini seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, seperti menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada mereka. Bukan sebaliknya, justru mereka dibiarkan membawa misi agama mereka kepada umat Islam. 


Rasulullah saw. sebagai teladan kaum Muslim juga biasa menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin kafir. Rasulullah saw. pernah mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi, Raja Persia, Raja Muqawqis Agung, Raja Qibti Mesir dan Raja Habasyah dengan surat yang berisi ajakan masuk Islam. Kepada Raja Persia, misalnya, Rasulullah saw. dalam suratnya tegas menyatakan: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah kepada Raja Agung Persia. Semoga keselamatan atas siapa saja yang mengikuti jalan, beriman kepada Allah dan utusan-Nya, serta bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang Satu, tiada sekutu, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru dengan seruan Allah. Sungguh aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, untuk memperingatkan orang yang hidup dan membenarkan perkataan kepada orang-orang kafir. Masuklah Islam. Niscaya Anda akan selamat. Jika Anda mengabaikan seruan ini maka Anda menanggung dosa orang-orang Majusi (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 2/123; Al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdaad, 1/132). 


Selain itu, konsep toleransi dalam Islam bukan mengarah pada paham sinkretisme, pluralisme dan humanisme yang merusak Aqidah Islam. Toleransi adalah membiarkan serta tidak mengganggu ibadah dan kepercayaan agama lain. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam firman Allah SWT: 


قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ (1) لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ (2) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (3) وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمۡ (4) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (5) لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ (6)


Katakanlah, "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untuk aku agamaku.” (TQS al-Kafirun [109]: 1-6).


Secara historis, praktik pertama toleransi beragama dijalankan oleh Rasulullah saw. di dalam naungan Negara Islam di Madinah al-Munawarah dengan sangat indah. Selanjutnya praktik toleransi dalam Islam juga terwujud indah dalam peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islam sepanjang sejarahnya. Di Mesir, misalnya, umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di India, sepanjang Kekhalifahan Bani Umayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, Muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Toleransi dalam Islam juga terbangun indah pada masa Kekhilafahan Islam di Spanyol. Di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen juga hidup berdampingan dengan tenang dan damai.


Keindahan praktik toleransi dalam Islam ini sejalan dengan misi pengutusan Rasulullah saw. kepada seluruh manusia untuk menebarkan rahmat. Allah SWT berfirman: 


وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ 


Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107). 


Karena itu selayaknya kita terus berdakwah demi tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebabnya, sudah terbukti bahwa hanya Khilafahlah—melalui penegakan syariah secara kâffah dan misi dakwahnya yang universal—yang mampu mewujudkan toleransi yang hakiki sekaligus menebarkan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta. 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ


Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak pada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata, "Sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (TQS al-Fushilat [41]: 33). []

Friday, September 13, 2024

TAK KENAL LELAH MENCARI “NUSHRAH

 TAK KENAL LELAH MENCARI “NUSHRAH”

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman


Setelah Rasulullah saw. mengalami ujian yang luar biasa beratnya di Thaif, sebagaimana yang disampaikan Nabi kepada ‘Aisyah, ketika dakwahnya mendapatkan kemenangan, dan telah memiliki negara. 


Tanya ‘Aisyah, “Apakah ada suatu yang lebih berat bagimu, ya Rasulullah, melebihi peristiwa Perang Uhud?” Nabi saw. pun menjawab, “Aku benar-benar telah mendapatkan dari kaummu, apa yang telah aku alami. Itu lebih berat, ketimbang apa yang pernah aku alami.. Ketika aku menawarkan diriku kepada putra Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal, salah seorang pemuka Thaif, namun tidak mau memenuhi apa yang aku inginkan. Aku pun pergi meninggalkannya dengan raut wajah penuh kesedihan. Aku pun merasakan kesedihan hingga sampai di Qarn at-Ta’alib [Qarnu al-Manazil].” [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz VI/312-315]


Setelah mendapatkan bisyarah dari langit, saat di Wadi Nakhlah, ketika Allah mengirim Malaikat Jibril dan Malaikat penunggu gunung untuk membalas perlakuan Bani Tsaqif di Thaif, dan jin-jin yang berdatangan mendengarkan bacaan Nabi saw. saat di lembah itu, Nabi saw. akhirnya kembali ke Makkah dengan perlindungan dari Muth’im bin ‘Adi. Peristiwa Thaif tidak menyurutkan nyali Nabi saw. untuk terus berusaha mencari dukungan [nushrah] dari suku dan kabilah lain. 


Imam az-Zuhri, menuturkan, bahwa kabilah dan suku yang pernah didatangi oleh Rasulullah saw. untuk didakwahi, diajak memeluk Islam dan memberikan “nushrah” untuk menolong dakwahnya adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Muharib bin Khashfah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani ‘Abas, Bani Nashr, Bani Buka’, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani ‘Udzrah, Bani Hadharimah, namun tak seorang pun dari mereka yang bersedia memenuhi seruannya [Lihat, Syaikh ‘Abdullah an-Najadi, Mukhtashar Sirah ar-Rasul, hal. 149]. 


Hanya saja, kabilah dan suku yang disebutkan oleh az-Zuhri ini tidak semuanya didatangi oleh Nabi saw. pada satu tahun yang sama. Juga tidak pada satu musim haji yang sama, melainkan sudah didatangi sejak tahun 4 kenabian, hingga akhir musim haji, sebelum hijrah ke Madinah. Memang, ada kabilah-kabilah tersebut yang bisa dipastikan telah didatangi oleh Nabi saw. pada tahun 10 kenabian, sebagaimana yang disebutkan oleh al-‘Allamah al-Manshur Fauri [Lihat, Rahmatu li al-‘Alamin, Juz I/74; an-Najib Abadi, Tarikh Islam, Juz I/125].


Mengenai respon berbagai suku dan kabilah yang pernah didatangi oleh Nabi saw. itu telah diuraikan oleh Ibn Ishaq, secara singkat, sebagai berikut: 


1- Bani Kalb, misalnya, telah didatangi Nabi saw. Salah satu suku yang didatangi adalah Bani ‘Abdullah. Mereka diajak Nabi saw. agar mengimani Allah, dan baginda saw. menawarkan dirinya kepada mereka. Sampai Nabi saw. harus menyampaikan kepada mereka, “Wahai Bani ‘Abdullah, sesungguhnya Allah SWT telah memilih nama terbaik untuk orang tua kalian. Namun, mereka tetap tidak menerima apa yang baginda saw. sampaikan kepada mereka.”


2- Bani Hanifah telah didatangi oleh Nabi saw. di rumah-rumah mereka. Mereka telah diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka, tetapi mereka tidak memenuhi seruannya. Bahkan, tak ada satu pun bangsa Arab yang lebih buruk penolakannya kepada Nabi saw. melebihi penolakan mereka. 


3- Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah juga telah didatangi oleh Nabi saw. Mereka telah diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka. Buhairah bin Firas, salah seorang tokoh  mereka, menyatakan kepada Nabi saw, “Demi Allah, kalau sampai aku mengambil pemuda Quraisy ini, maka dengannya, aku akan menguasai bangsa Arab.” Lalu, dia bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika kami membai’at kamu dalam urusanmu, kemudian Allah memenangkan kamu terhadap siapa saja yang menentangmu, apakah kami berhak untuk mendapatkan urusan ini setelahmu?” Nabi saw. menjawab, “Urusan ini urusan Allah. Dia akan memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki."


Buhairah kemudian menimpalinya, "Bagaimana nalarnya, kami menyerahkan leher kami untuk disembelih bangsa Arab dalam rangka membelamu, lalu ketika Allah memenangkan kamu, kemudian urusan ini tidak menjadi milik kami? Kalau begitu, kami tidak membutuhkan urusanmu.” Mereka pun menolaknya, dan mengusir baginda saw.  


4- Bani Kindah, didatangi oleh Nabi saw. di rumah-rumah mereka. Di antara mereka ada pemuka suku, yang bernama Malih. Mereka diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka. Namun, sayang mereka tidak mau menerima ajakan Nabi saw. Dalam riwayat lain, Nabi bertanya, “Dari manakah kaum itu?” Mereka menjawab, “Dari penduduk Yaman.” Nabi saw. bertanya, “Yaman mana?” Mereka menjawab, “Dari Kindah.” Nabi saw. bertanya lagi, “Dari Kindah yang mana?” Mereka menjawab, “Dari Bani ‘Amir bin Mu’awiyah.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kalian memiliki sesuatu [untuk mewujudkan] kebaikan?” Mereka bertanya, “Apa itu?” Nabi saw. menjawab, “Kalian bersaksi, bahwa tidak ada Dzat yang berhak disembah, kecuali Allah. Mendirikan shalat, dan mengimani apa yang dibawa dari Allah SWT.” 


Ada juga para syaikh kaumnya, yang bertanya kepada Nabi saw, “Jika kamu menang, apakah Engkau akan menjadikan kekuasaan itu menjadi milik kami?” Nabi saw. menjawab, “Sesungguhnya kekuasaan itu milik Allah, Dia akan berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” Mereka mengatakan, “Kalau begitu, kami tidak membutuhkan apa yang Engkau bawa kepada kami.” 


Nabi saw. juga mendatangi Bani Hamdan, saat musim haji, ketika mereka di Arafah, tempat wukuf. Nabi saw. sampaikan kepada mereka, “Apakah ada di antara kalian yang bisa membawaku kepada kaumnya? Karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku ‘Azza wa Jalla.” Maka, seseorang dari Bani Hamdan mendatangi baginda saw. Baginda saw. bertanya, “Dari manakah kamu?” Orang itu menjawab, “Dari Hamdan.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kaummu mempunyai kekuatan [untuk melindungi dakwah]?” Dia menjawab, “Tentu.” Tapi, orang ini khawatir, baginda saw. akan disepelekan oleh kaumnya. Nabi saw. pun bersabda kepadanya, “Aku akan mendatangi mereka tahun depan. Aku akan mendatangimu tahun depan.” Dia menjawab, “Baik.” 


Dia pun meninggalkan Nabi saw. Pada bulan Rajab, delegasi kaum Anshar pun tiba. Ini telah diriwayatkan oleh empat pemilik kitab Sunan, dari berbagai jalur. At-Tirmidzi berkomentar, “Hadits ini statusnya hasan shahih.” [Lihat, Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz I/430]


Pendek kata, nushrah yang diharapkan oleh Nabi saw. saat itu belum kunjung tiba. Justru sebaliknya, apa yang dialami oleh Nabi saw. menggambarkan sebaliknya. Tetapi, Nabi saw. tidak pernah putus asa. Bahkan, ketika Nabi saw. mendatangi suku dan kabilah yang datang haji, di Arafah, saat mereka wukuf, selalu dikuntit oleh Abu Lahab. Apa yang disampaikan oleh Nabi kepada mereka selalu dimentahkan dan diserang balik. 


Semua peristiwa itu disaksikan oleh ‘Ali dan Abu Bakar yang menemani Nabi saw. saat mengontak mereka di Afarah. Begitulah perjuangan Nabi saw. dalam mendapatkan nushrah, penuh berliku, tidak mudah, dan melelahkan.


#PerjuanganMenujuKebangkitan

Wednesday, September 11, 2024

METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH

 METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH


Lagi ramai tentang metode ilmiah. Guru Gembul memuja metode ilmiah Barat yang ukuran kebenaran harus empiris yang harus membatalkan banyak sekali silsilah dan status para habaib yang sudah established dalam catatan mereka ratusan tahun. Tulisan ini  tidak akan masuk ke kontroversi nasabnya, melainkan mengkritik metode ilmiah Barat.


Bila Pak Guru sedang memujanya, saya pernah menulis makalah menggugat dan mengkritik metode ilmiah Barat itu 25 tahun lalu alias ¼ abad lalu ketika dosen dan sejarawan UNPAD, Nina Herlina Lubis, dalam makalah Seminar tentang Sunan Gunung Djati di Cirebon tahun 2001, melalui metode ilmiah, dia harus meragukan keberadaan Sunan Gunung Djati karena keberadaan tentang Sultan Cirebon pertama itu sumbernya tak ilmiah atau lemah secara ilmiah. Ilmiah mana yang dimaksud? Dalam pengertian Barat!!


Soal ini, Nina (dulu) tampaknya kurang kritis dan Guru Gembul sekarang tampaknya kurang bacaannya. Selain usia masih muda, mungkin tak mendalami soal metode ilmiah yang di masyarakat Muslim atau tradisi keilmuan Islam, problematik itu.


Ini makalah saya 25 tahun lalu, sebagiannya pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Tulisan ini, konteksnya menanggapi Nina saat itu, tapi masih relevan dan akan terus relevan. Sekarang pun menemukan relevansinya dengan kasus Guru Gembul itu. Mudah²an bermanfaat. Terima kasih kepada Facebook, makalah panjang bisa masuk semua di status. Keren dah 👍☕🚬

________


HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN KRITIK ATAS METODE SEJARAH ILMIAH


Oleh Moeflich Hasbullah


Sejarah ilmiah mengenal adanya teori yang disebut teori sejarah kritis (critical theory of history). Teori ini mengkritik kecenderungan karya-karya sejarah yang ditulis tidak berdasarkan sumber-sumber primer yang kuat seperti subur dalam historiografi tradisional yang mengandalkan sumber-sumber lokal yang umumnya berupa sastra sejarah yaitu babad, cerita, kisah, dongeng dan riwayat yang diwarnai legenda dan mitos. Teori sejarah kritis sangat penting dalam menyaring tingkat validitas atau kebenaran suatu informasi sejarah karena prosesnya sangat ketat. 


Namun, kelemahannya metode ini sangat positivistik dimana sejarah mutlak bergantung pada fakta empirik (hardfact). Sejarah tanpa fakta kuat dan teruji secara teori adalah dusta. Pendekatan ini menjadi problematis terutama ketika diterapkan ke dalam medan historis negara-negara berkembang atau masyarakat tradisional atau kurun sejarah abad-18 ke belakang yang tidak meninggalkan sumber-sumber yang “ilmiah” dalam pengertian Barat. 


Syarif Hidayatullah misalnya, yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati, secara keagamaan sosoknya sangat dihormati dan dipercaya sebagai seorang waliyullah yang kedudukan ruhaninya tinggi sebagai wali qutub. Diantara walisongo, hanya Sunan Gunung Djati yang memiliki posisi sebagai ulama dan raja, wali sekaligus sultan. Dialah sultan pertama kerajaan Islam Cirebon yang menyebarkan Islam di tatar Sunda secara intensif melalui kekuasaannya, mendirikan kesultanan Banten, menaklukan Sunda Kalapa, kerajaan Sunda Pajajaran dan mengakhiri kekuasaan politik Hindu di Jawa Barat. Tak seorang pun meragukan keberadaannya dan tak satu pun fakta keras yang tidak mendukung keberadaannya. 


Tetapi, melalui teori sejarah kritis (menurut Nina dulu), keberadaan Sunan Gunung Djati harus masih mempertanyakan karena analisis historis yang kuat dari berbagai fakta yang saling mendukung menyimpulkan bahwa ia tidak bisa begitu saja dipercaya benar-benar ada.


Metode Sejarah Kritis


Menurut Garraghan (1946), peristiwa sejarah yang benar-benar dapat dipercaya atau diakui kebenarannya (valid) hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyandarkan pada strictly primary sources (sumber-sumber primer yang kuat). Mereka adalah sumber atau penulis sumber yang menyaksikan sendiri (eye-witness), mendengar sendiri (ear-witness) atau mengalami sendiri (the actor) sebuah peristiwa yang dituliskan dalam sebuah sumber. Inilah sumber yang paling terpercaya. Dibawahnya adalah less/contemporary strictly primary sources (masih sumber primer tapi kurang kuat). Bila strictly primary sources merujuk pada saksi mata dan pelaku, less/contemporary strictly primary sources adalah penulis sumber yang bukan saksi atau pelaku tapi hidup sezaman dengan peristiwa. 


Ketika unsur strictly primary source ini sudah terpenuhi, dalam memberikan keterangan sejarah atau menuliskan sumber sejarah, saksi mata yang pernah bertemu, hidup sezaman, mendengar langsung dan sebagai pelaku pun harus benar-benar teruji kejujurannya dalam menggambarkan sebuah peristiwa dan menyampaikan kebenaran. Selain itu, bila ditemukan satu sumber primer yang kuat juga belum cukup. Sumber primer tersebut harus didukung oleh sumber-sumber lain yang “bebas” dan tidak saling mempengaruhi untuk menemukan dukungan penuh kuatnya sebuah fakta. Metode ini disebut metode korborasi.


Selama ini, semua sumber sejarah tentang adanya Sunan Gunung Djati, pendiri kesultanan Islam Cirebon, bersumber dari historiografi tradisional. Sumber-sumber itu adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Tanah Djawi, Babab Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang dan sebagainya. Dari penelitian Dadan Wildan (2001), ditemukan bahwa semua naskah-naskah itu ditulis sejak awal abad ke-18 atau 150 tahun lebih dari masa hidup Sunan Gunung Djati. 


Selama ini, berarti, sejarah Sunan Gunung Djati ditulis hanya berdasarkan naskah-naskah sekunder. Dengan demikian, tingkat kebenarannya lemah. Belum ditemukan sumber-sumber primer yang kuat seperti diharapkan stricly primary resources tentang Sunan Gunung Djati dari naskah-naskah pribumi (lokal) yaitu karya-karya sejarah yang ditulis oleh Sunan Gunung Djati sendiri, oleh keluarganya, oleh sahabatnya atau orang lain yang hidup dekat (serumah, sekeluarga, sekerajaan, sedaerah) atau sezaman yang melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri. 


Dengan demikian, dari perspektif metodologi kritis, kesimpulan yang mesti ditarik adalah sosok dan keberadaan Sunan Gunung Djati hingga saat ini masih diragukan dan perlu dipertanyakan. Analisis ilmiah-akademis belum menunjukkan kebenaran adanya sosok Sunan Gunung Djati pernah hidup di masa silam.


Beberapa Pertanyaan


Metode ketat seperti ini tentu saja penting. Sejarah memang harus dikritisi seradikal mungkin. Sejarah harus dibersihkan dari unsur-unsur mitos dan legenda, agar masyarakat membaca sejarah yang “benar.” Tetapi, pendekatan ini bukan tanpa masalah. Sejarah dan kehidupan tidak sesederhana ilmu pengetahuan modern menganalisisnya. 


Jawablah ini:


Bagaimana membuktikan ribuan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara common sense dipercaya keberadaannya oleh masyarakat tapi tidak memenuhi standar metodologi sejarah kritis apalagi korborasi?


Metode ini bisa dengan mudah menjawab pertanyaan di atas dengan menyerukan untuk tidak lagi menganggap yang selama ini sesungguhnya mitos, legenda dan dongeng sebagai sejarah. Tetapi, bagaimana ketika “penghapusan” memori kolektif masyarakat tersebut sedang diusahakan, sementara mitos, legenda dan dongeng tidak pernah hilang, tetap hidup dan dipercaya masyarakat serta lebih fungsional untuk konstruksi dan peneguhan nilai-nilai kehidupan masyarakat?


Bagaimana kita akan menyebut bahwa sebuah peristiwa atau sejarah hidup seseorang —atas nama metode sejarah kritis— tidak bisa dipercaya karena tidak ditemukan sumber-sumber yang kuat sementara puluhan fakta-fakta lain mendukungnya seperti adanya keturunan, artifact (bangunan, candi, kuburan, keraton), mentifact (kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat sesuai tradisi berfikir) dan seterusnya? 


Islam mengharuskan keimanan kepada adanya nabi-nabi yang tidak pernah meninggalkan sumber-sumber yang kuat. Kalau kita konsisten dengan metode sejarah kritis, kita mesti meragukan bahwa Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SAW pernah hidup selama belum ditemukannya sumber-sumber primer yang kuat.


Selama ini belum ada sumber primer yang kuat dalam tradisi ilmiah Barat tentang keberadaan Nabi Adam, Nuh, Hud, Luth, Sulaeman, Daud, Ibrahim, Yusuf dan yang lainnya selain keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan sedikit penemuan arkeologis. Makam Nabi Muhammad harus diragukan karena tidak ada tulisan di nisannya bahwa itu benar-benar kuburan Nabi yang dicatat saat itu, kalau pun ada bisa saja dibuat orang beberapa abad setelahnya. Kemudian, naskah asli dan teruji tulisan tangan Zaid bin Tsabit (penulis turunnya wahyu kepada Rasulullah) tentang turunnya ayat-ayat Qur’an juga tidak ditemukan. Demikian juga naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan Aisyah, Khadijah dll yang pernah menjadi istri-istri Nabi, naskah asli dan teruji dari Fatimah Az-Zahra (anak perempuan Nabi), naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan sendiri para sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. 


Saat itu, tradisi pengetahuan di kalangan bangsa Arab adalah tradisi lisan, ingatan dan hafalan yang kuat bukan tradisi tulisan. Kita bisa mengatakan, Tuhanlah dan kitab suci bisa dipercaya karena Tuhan adalah kesaksian langsung sejarah atas diutusnya nabi-nabi. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah diakui kehadirannya dalam konvensi ilmiah?Tradisi ilmiah akan mencibir dan tertawa bila seseorang bersaksi lewat pertemuannya dengan hal-hal yan ghaib. Dalam tradisi berpikir modern, ghaib itu tidak ilmiah yang selama ribuan tahun dianut orang-orang Islam sebagai ajaran agamanya, sementara ayat Allah mengatakan:


“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah 2 -5).


Tuhan menyatakan “la rayba” (tidak ada keraguan) pada kitab suci Al-Qur’an sebagai firman-Nya, tapi metode sejarah kritis harus meragukan keberadaan nabi-nabi sebagai pelaku sejarah karena tidak adanya sumber-sumber primer yang kuat tentang mereka. Kitab suci Al-Qur’an tidak bisa menjadi sumber sejarah karena tidak pernah menyebutkan waktu dan tempat sebuah peristiwa. 


Persoalan hadits lebih rumit lagi. Berdasarkan derajat validitas, hadits telah diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan: maudhu’ (palsu), hasan (bisa diterima), marfu (bohong), maqtu (terputus sanadnya), shahih (kuat/valid), muttafaq ‘alaih (disepakati oleh ahli-ahli hadits), dan mutawatir (valid berdasarkan kesaksian banyak orang). Hadist-hadist Bukhari-Muslim yang dulu dipercaya keshahihannya, belakangan sudah banyak yang diragukan. Ribuan hadits telah dipalsukan. 


Naskah-naskah asli tulisan zaman Nabi berupa kesaksian dan tulisan langsung mereka terhadap peristiwa turunnya ayat-ayat Qur’an, pengakuan hidup Nabi dari tulisan Nabi sendiri atau pengakuan para sahabatanya, selama ini semuanya belum ada. Bagaimana kita mengakui adanya Nabi Muhammad karena fisiknya sendiri tidak boleh digambarkan? 


Peristiwa Isra Mi’raj tidak ada satu pun saksi sejarahnya. Abu Bakar membenarkannya, yang membuatnya digelari Ash-Siddiq, bukan dari kesaksiannya melihat fisik Nabi terbang melesat ke langit, tetapi karena iman. Pembuktian semua peristiwa ini lemah secara sejarah kritis. Bagaimana semua ini harus dipercaya? 


Semua peristiwa sejarah yang diceritakan dalam kitab suci, yang “tak ada keraguan padanya” menjadi persoalan dalam metode sejarah kritis. Tentu ini masalah besar karena kita dihadapkan pada dua pilihan mendasar. Mana yang harus lebih dipercaya: kitab suci firman Tuhan atau kitab metode ilmiah pikiran manusia? Bila kitab suci tidak memenuhi standar ilmiah, apakah fakta juga benar-benar ilmiah? 


Sejarah adalah peristiwa masa lampau yang memiliki kaitan dengan kehidupan manusia. Sebuah fakta akan selalu terkait dengan sistem nilai, kesadaran, ideologi, subyektifitas dan kepentingan manusia. Dengan demikian, fakta selalu merupakan produk mental sejarawan dan “fakta adalah hasil konstruksi subyek” (Sartono, 1992: 17). Maka sesungguhnya tidak ada sebuah fakta pun yang obyektif dan “bebas kepentingan” yang diandaikan oleh metode koroborasi. Bila semua fakta adalah subyektif dan “bebas kepentingan” adalah tidak mungkin, bukankah metode kritis dan korborasi hanya sebuah khayalan belaka?


Problematika Sumber-sumber Barat


Sejak para sejarawan Barat menaruh perhatian pada sejarah Islam Asia Tenggara dengan segala aspeknya, mereka menemukan bahwa sejarah Asia Tenggara, khususnya di masa awal, sangat kompleks, rumit dan membingungkan. Hingga kini para sejarawan belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama (Azra, 1989). Para pengkaji Islam Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan tentang konsep dasar yang menyebabkan mereka sulit untuk menyamakan pandangan satu sama lain.


Salah satu problem dan kesulitan itu adalah bahwa sumber-sumber pribumi lokal untuk studi-studi klasik (abad XIX ke belakang) di Asia Tenggara lebih bersifat sastra sejarah ketimbang karya sejarah “ilmiah” dalam pengertian Barat. Historiografi yang terdapat di Asia Tenggara sesungguhnya melimpah tetapi “sayang” karena “hanya” berbentuk hikayat, babad, silsilah, cerita, syair dan lain-lain. Seperti diungkapkan Anthony John, kebanyakan literatur tersebut memiliki citra rendah dan tidak menguntungkan sebagai sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber pribumi berupa roman, balada, dongeng, kronik dan risalah, semua itu tidak memenuhi kategori-kategori Barat tentang sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah, “para peneliti atau sejarawan kemudian berpaling kepada sumber-sumber asing, khususnya yang ditulis oleh orang-orang Eropa yang datang ke Asia Tenggara sebagai pengembara, wartawan, misionaris dan kemudian juga sebagai kolonialis-imperialis” (Azyumardi (1989: vii). 


Karena historiografi tradisional merupakan sumber-sumber sekunder yang kredibilitas infomasinya diragukan, banyak sejarawan kemudian berpaling pada sumber-sumber Portugis dan Belanda. Sumber-sumber Portugis (yang sezaman dengan Sunan Gunung Djati) misalnya adalah Suma Oriental karya Tome Pires, Da Asia karya De Barros, Perigrinacoes karya Mendez Pinto dan 

dari sumber Belanda karangan Frederick de Haan.


Namun demikian, penggunaan catatan-catatan atau sumber-sumber asing juga bukan tanpa masalah. Sumber-sumber itu juga problematis. Bagi kalangan sejarawan Muslim apalagi. Alam dan tradisi berpikir Eropa, istilah-istilah yang lahir dari nomenklatur masyarakat dan sistem nilai dan budaya Eropa, struktur sosial-politik Eropa sering begitu saja diproyeksikan ke dalam kehidupan Asia Tenggara dan masyarakat Islam. Akhirnya bias budaya tak terhindarkan. Muncullah miskonsepsi dan distorsi dalam memandang Islam. Azyumardi menjelaskan gamblang persoalan ini. 


"Bias historis Barat sejak dari waktu yang paling awal, melihat Islam di Timur Tengah tidak urung lagi juga sangat mewarnai pandangan Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan di Asia Tenggara. Von Mehden baru-baru ini dalam sebuah studinya tentang agama dan modernisasi di Asia Tenggara, misalnya menyatakan bahwa bias para penulis Barat awal dalam melihat agama (Islam khususya yang merupakan agama yang dianut oleh sebagian terbesar penduduk kawasan ini) dilatarbelakangi oleh kebodohan, rasa superioritas rasial, perbedaan agama, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kolonial. Para pengembara atau wartawan Barat yang menulis tentang Asia Tenggara khususnya, bukanlah para ahli, dan mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan kunjungan singkat dan kebanyakannya mengamati dari daerah perkotaan, sehingga mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan, pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya. Di pihak lain, para misionaris Kristen pada umumnya menggambarkan agama-agama yang mereka temukan di Asia Tenggara sebagai kepercayaan sesat belaka, karena itu para penganutnya ialah orang-orang bodoh dan terkutuk. Meskipun terdapat penulis-penulis dari kalangan misionaris yang cukup “obyektif,” pada umumnya nada tulisan mereka adalah negatif, disebabkan perbedaan agama yang memang sulit disembunyikan. Sejauh menyangkut penggambaran Islam di Asia Tenggara, datangnya kekuasaan kolonial tidaklah membuat keadaan pengkajian Islam menjadi lebih baik. Pengkajian-pengkajian Islam dilihat dari sudut kepentingan pengukuhan status quo kolonialisme. Karenanya peneliti yang menggunakan sumber-sumber kolonial ini harus selalu mawas diri terhadap bias kolonial dalam sumber yang ia kaji, sehingga tidak tersesat pula mengikuti pandangan kolonialis." (hal. viii)


Kutipan tersebut jelas sekali memesankan dua hal secara eksplisit: (1) sumber-sumber Barat bukan alternatif dan tidak bisa dipercaya karena penuh dengan subyektifitas dan prasangka, (2) para sejarawan harus hati-hati atau mawas diri agar tidak terjebak ke dalam pandangan kolonial yang menyesatkan. Atas kenyataan itu Azyumardi berkesimpulan bahwa bagi sejarawan yang ingin menemukan obyektifitas, sumber-sumber asing ternyata tidak lebih reliable ketimbang sumber-sumber pribumi.


Inilah juga yang dirasakan De Graaf. Dalam tulisannya ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ (The Cambridge History of Islam, 1987), ia memulai tulisannya dengan kegamangan atas sumber-sumber pribumi. “Secara keseluruhan,” kata De Graaf, “catatan-catatan tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi Melayu dan Indonesia tidak dapat dipercaya, betapa pun banyaknya catatan-catatan itu. Terdapat semacam keseragaman tentang catatan-catatan itu, yang tidak benar bunyinya.” 


Tapi, bagi De Graaf, bersandar pada sumber-sumber Barat juga bukan menjadi lebih baik. Dan, Graaf harus mengkingkari pernyataannya sendiri karena sebuah “ketakberdayaan historis.” Bersama dengan Pigeaud, Graaf menulis buku yang terkenal De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien over de Staatkundige Gesschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16). Buku ini mengulas pengaruh Hindu – Budha dan masuknya agama Islam ke Nusantara dengan menggunakan seluruh sumber-sumber tardisional yang ada yaitu sejarah Jawa asli seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Babad Mataram dan Babad Sangkala sambil di sana-sini kritis terhadap sumber-sumber Barat atau modern. 


Misalnya ada dua contoh. Pertama, ketika Graaf-Pigeaud mengikuti pemberitaan Portugis yaitu Mendez Pinto tentang Sunan Gunung Djati, mereka menyelipkan sebuah kalimat “yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya” (hal. 142). Kedua, ketika Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunung Djati di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan “para ulama” Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan 17. Graaf-Pigeaud mengkritik pernyataan itu dengan mengatakan Hoesein tidak mempertimbangkan bahwa sejak awal abad ke-16, tradisi Islam sudah lebih awal tumbuh dan berkembang di Jawa Timur dan itu menjadi basis penghormatan masyarakat terhadap Sunan Giri/Gresik. (Hal. 144). Dan kini, pendapat Hoesein itu juga digugurkan oleh kenyataan bahwa ziarah ke makam Sunan Gunung Djati di Cirebon paling ramai dibandingkan dengan makam-makam lainnya. 


Buku Graaf-Pigeaud ini telah diangggap mengoreksi wajah sejarah Jawa yang telah ditulis para sejarawan Eropa yang hanya berdasarkan sumber-sumber asing. Dua sejarawan Belanda kawakan ini mempelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Berbeda dengan perspektif asing, pembahasan dalam buku itu bersifat menyeluruh menyangkut soal-soal keagamaan, sosial, dan ekonomi.

Tentu saja ini bukan sebuah ironi Graaf-Pigeaud, melainkan sebuah sikap, sebuah ketegasan memilih. 


Sumber-sumber tradisional kurang bisa dipercaya, banyak hikayat, mitos dan legenda. Tapi sumber Barat juga sama tidak bisa dipercayanya, banyak kepentingan dan prasangka. Akhirnya, keputusan harus dijatuhkan dan Graaf-Pigeaud lebih memilih sumber-sumber tradisional, karena mereka lebih dekat dengan obyektifitas, merekalah pelaku sejarah Asia Tenggara, orang-orang Eropa itu orang asing yang mengamati, tidak bisa obyektifitas diharapkan dari mereka. Strictly primary source disini tidak berlaku. Sejarah mesti memakai sumber “yang paling ada” bukan yang “harus ada.” 


Bukan hanya Graaf-Pigeaud, sejarawan Barat yang menegaskan pilihannya kepada sumber-sumber tradisional. Anthony Reid menggunakan Babad ing Sangkala 1738 bahkan yang sudah yang diterjemahkan terlebih dahulu oleh Ricklefs. Juga Babad Lombok dan Babad Tanah Djawi ketika menuliskan karya magnum opus-nya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993). Selain babad, dia juga menggunakan sekitar delapan buah hikayat (Hikayat Banjar, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Patani, Hikayat Pocut Muhammat, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Ranto dan hikayat Teungku de Meuke) dan sumber-sumber tradisional lainnya, selebihnya adalah buku-buku modern-sekunder. 


Sebagai sejarawan ahli Jawa, Ricklefs juga tak bisa menghindari sumber-sumber tradisional. Ia menggunakan Carita Purwaka Caruban Nagari dalam bukunya A History of Modern Indonesia (1981), dan banyak sumber-sumber tradisional Jawa kuno dalam bukunya tentang pemerintahan Mangku Bumi, The Seen and Unseen World in Java (1997). 


Buku klasik penting tentang Asia Tenggara, Sejarah Melayu (The Malay Annal) yang hanya sebuah cerita dan “tidak ilmiah” hampir menjadi acuan semua sejarawan yang mengkaji Asia Tenggara. Rata-rata, buku-buku sejarah “ilmiah” karya-karya penulis asing, selain sedikit menggunakan sumber-sumber pribumi, ratusan lainnya adalah sumber-sumber sekunder karya-karya penulis asing atau pribumi periode-priode modern (lihat Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya (1994); A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993); Keith Buchanan, The Southeast Asian World (1967); D.G.E. Hall, A History of Southeasi Asia (1970); juga John Bastin (1967), van Leur (1955), Schrieke (1960) dll. Mereka semua memakai sumber-sumber tradisional dan sumber primer yang ada yang ditulis bahkan pada abad ke-20, padahal mereka menulis sejarah klasik, tanpa harus menyatakan kesimpulan bahwa sejarah Asia Tenggara masa-masa awal tidak usah dipercaya, bahwa keberadaan tokoh-tokoh sejarah abad-abad lalu hanya sekedar legenda dan mitos dan susah pembuktian historisnya.


Semua sejarawan di atas, Barat maupun pribumi, yang telah menghasilkan ratusan karya-karya berharga tidak ada yang bisa menghindari penggunaan sumber-sumber tradisional, yang tidak memenuhi standar ilmiah Barat itu. Tetapi, bukan berarti sejarah tidak harus direkonstruksi, tidak harus dituliskan dan tidak harus dipercaya hanya karena argumen tidak tersedianya strictly primary sources. 


Strictly primary sources dengan demikian hanya sebuah utopia yang sesungguhnya tidak menemukan juntrungannya dalam studi sejarah klasik. Ia hanya mungkin bagi studi-studi sejarah kontemporer dimana manusia sudah memiliki tradisi menuliskan apa yang dijalaninya. Strictly primary sources bahkan bisa menjadi a-historis ketika diterapkan sebab ia mengharuskan “penghapusan” dan “penghilangan” periode sejarah klasik. 


Makalah Nina (bagi saya dalam Seminar Sunan Gunung Djati di Cirebon 2001), yang menggunakan metode sejarah kritis yang ketat dalam seminar di Cirebon, tidak sama sekali memberikan perspektif baru, penemuan baru, data baru dan penguatan baru atas sejarah Sunan Gunung Djati. Ia tak lebih hanya sekadar intellectual game dan intellectual exoticism yang menarik tapi sesungguhnya kurang bermanfaat.


Bias Barat Sejarawan Pribumi


Kembali ke persoalan bias sejarawan seperti diungkap Azyumardi di atas, penulis tidak berpretensi mengatakan bahwa Nina “telah tersesat,” tidak juga pandangannya telah menyimpang, karena ia juga menemukan pandangan biasnya Tome Pires ketika mengisahkan “Lebe Uca” yang –mengikuti rekaan Atja– diduga adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodin” adalah “Raden Patah.” Tetapi bahwa pandangan Nina yang mengatakan bahwa “soal pertemuannya [Sunan Gunung Djati] dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris [kesaktian para wali] tidak bisa dibuktikan secara historis,” adalah sebuah persoalan, terutama karena Nina adalah sejarawan Muslim. Pandangan ini sangat bias kolonial, empiris-materialis dan menafikkan nilai-nilai kepercayaan yang hidup dalam masyarakat sebagai fakta sejarah.


Dari pernyataannya di atas muncul dua persoalan: 


Pertama, “tidak bisa dibuktikan secara historis.” Apa yang ia maksud dengan “historis”? Disini, Nina sama sekali tidak memakai perspektif Islam dalam memahami sejarah Islam. Pendekatan multidisipliner –yang diprakarsai Sartono– hanya sebatas ilmu-ilmu “umum” (filologi, semiotika, ekonomi, sosiologi, politik dll) dan tidak memasukkan khazanah “ilmu-ilmu Islam.” Padahal, dalam mengkaji sejarah Islam pendekatan ilmu dan tradisi Islam adalah sebuah kemutlakan. 


Bagaimana seseorang akan mempelajari struktur, ideologi dan gerakan tarekat tanpa faham ilmu tasawuf? Dalam ilmu dan tradisi tasawuf (sufisme), pertemuan dengan ruh yang sudah meninggal adalah hal biasa dan bisa dibuktikan oleh orang yang ingin membuktikan. Bila mesti ada saksi lain yang membenarkan peristiwa itu (korborasi), dalam tasawuf, orang tersebut harus menjalani (terlibat) dalam apa yang diamalkan dan dikembangkan dalam tasawuf (melalui taqarrub, taubat, dzikir, hadharah, riyadhah dll). Dengan kata lain, dia harus menjadi murid, darwis atau sufi melalui sejumlah amalan. Bila ini dijalani, atas izin Allah, seseorang akan dengan mudah berhubungan dan berkomunikasi dengan hal-hal ghaib. Dalam tasawuf, pertemuan dengan ruh Muhammad adalah dambaan dan impian para sufi, dan tidak akan mengalaminya kecuali sudah mencapai maqam tertentu. Oleh Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pengalaman bertemu dengan ruh Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat mungkin dan biasa, apalagi Sunan Gunung Djati diyakini orang dari dulu sampai sekarang sebagai wali bahkan disebut wali qutb (pemimpin para wali dari walisanga) karena mungkin selain “paling wali,” secara geneologis, beliau adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad sendiri. 


Kedua, walaupun maksud “historis” disitu ukurannya adalah empiris dan materialis, sesungguhnya hal-hal ghaib terdapat pembuktian empirisnya. Bukankah sihir dan teluh ada fakta empirisnya? Bukankah ketika Nabi Musa berdialog dengan Tuhan (Musa ingin melihat wajah Tuhan) ada fakta empirisnya berupa gunung yang meledak? Bukankah ketika Nabi Muhammad menerima ajaran-ajaran dari yang Maha Ghaib (Allah) ada fakta historis-empirisnya berupa tubuh Nabi yang bergetar, peluh keringat dan catatan Al-Qur’an yang dijamin kemurniannya? 


Dalam tradisi tasawuf, seseorang berjalan di atas air tanpa basah, shalat jum’at seorang kyai sufi di dua tempat dalam satu waktu yaitu Mekkah dan di pesantrennya, merubah batu jadi emas, bertemu dan dialog dengan jin dan ruh yang sudah meninggal adalah biasa dan bisa dibuktikan. Dan al-Qur’an sendiri (surat 2: 154) menyatakan “wala taqûlû liman yuqtalu fí sabilillahi amwátun, bal ahyá-un, wa lá killa tasy'urûn” (Janganlah kalian menganggap mati mereka yang telah meninggal karena berjuang di jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hidup, kamu saja yang tidak mengetahui). 


Ketiga, “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja.” Benar kata Nina, persoalannya adalah kepercayaan alias keimanan. Dan benar pula, sepanjang seseorang tidak percaya berarti baginya itu bukan fakta tapi hanya ilusi atau mimpi. Mudah-mudahan milyaran umat Islam tidak sedang mimpi dengan keyakinan agamanya, tentang nabi-nabinya, tentang Tuhan, malaikat dan akhirat dsb karena bagi strictly primary resources, semua itu hanya ilusi dan mimpi.


Ditempat lain, pernyataan bahwa “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja” adalah tergolong kepada mentifact yang tidak kuat. Karena kategorinya tidak kuat, nampaknya Nina tidak menempatkan diri disitu. Ia meragukan mentifact. Pernyataannya ini ironis dengan beberapa kesimpulannya. Misalnya ia mengatakan bahwa Sunan Gunung Djati adalah “seorang wali dari walisanga.” Dari mana Nina mengetahui dan meyakini bahwa Sunan Gunung Djati adalah seorang wali? Tentang keberadaan sejarah dan sosok Sunan Gunung Djati saja ia tidak percaya karena selama ini hanya bersumber dari historiografi tradisional yang ditulis tidak sezaman dengan masa hidup pendiri kesultanan Cirebon itu, apalagi anggapan bahwa dirinya adalah seorang wali.


Metode Ilmiah Barat Sudah Runtuh


Ilmu pengetahuan modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri (not for the sake of human being), dengan kata lain, ilmu hanya untuk ilmu, ilmu demi eksplanasi (for the sake of explanation), dan ilmu demi pengukuhan supremasi rasionalisme, bahkan ilmu demi kekuasaan (science for power). Akibatnya, perkembangan ilmu pengetahuan sering terlepas dari subyeknya yaitu manusianya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan semakin berkembang cepat tapi tidak membawa kebahagiaan sejati manusia modern. Ilmu pengetahuan semakin complicated dan teknologi semakin canggih tetapi manusia modern malah mengalami dislokasi, disorientasi dan krisis dalam kehidupannya.


Menurut kesaksian Arnold (1992), hal itu terjadi karena wajah sains modern sesungguhnya adalah korup. Kepalsuan teori dan kerancuan prakteknya adalah karakeristik dari modernitas. Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold berujar: 


“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.” 


Lebih jauh, Arnold menyebutkan terdapat DELAPAN DOSA BESAR sains modern yang berkaitan erat satu sama lain: Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif; Kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work); Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; Keempat, mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; Kelima, melayani vested-interest dan mode; Keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; Ketujuh, kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai; Kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia (hal. 16).


Bila dikritisi secara cermat, delapan poin kritik pedas Arnold di atas bukan melulu dominasi sains alam dan fisika saja, enam kritik terakhir dari poin-poin tersebut adalah watak khas ilmu-ilmu sosial juga, termasuk ilmu sejarah. Dalam tradisi ilmu sosial, seorang peneliti dan penstudi peristiwa sosial baru sah disebut sebagai “ilmuwan” bila memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan Arnold. Dalam studi sosial, subyek disyaratkan menjaga jarak dari obyek studi. “Obyektifitas” diukur oleh ketidakterlibatan. Tugas ilmuwan adalah hanya menjelaskan (to explain) di atas dogma-dogma obyektifitas dan netralitas, dan bukan terlibat (to involve). Bila sang subyek terlibat dengan nilai-nilai dan ideologi obyek maka ia kita pandang telah meruntuhkan otoritas keilmuwanannya. Ilmuwan demikian, kita klaim sebagai ideolog, mubaligh, demagog atau bahkan ”provokator.”


Analisis historis Nina tentang Sunan Gunung Djati sangat spesialis-teoritis ilmu sejarah, sangat only for the sake of explanation dan “objectivity is everything.” Nina, tampaknya, merasa naif bila ia harus berpihak pada sumber-sumber tradisional. Analisis Nina dalam tulisannya, hemat penulis, adalah manifestasi dari poin ke tiga sampai delapan dari ciri-ciri yang disebutkan Arnold di atas: sangat menekankan spesialisasi ilmu sejarah dan lepas dari pertimbangan makna, dampak sosial dan nilai-nilai religius-kultural masyarakat Jawa Barat, mengasumsikan hanya terdapat satu jenis pengetahuan (metode ilmiah Barat), kepura-puraan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai (value- free), dan tidak berpusat pada manusia (scientific-oriented). 


Padahal, para pemikir belakangan membuktikan bahwa doktrin obyektifitas dan netralitas ilmu pengetahuan itu non-sense adanya. Habermas, salah satu juru bicara Frankfurt School yang paling menonjol, berhasil membuktikan bahwa sains modern telah lama berkolaborasi dengan imperium kapitalisme. Demikian juga Foucault. Seperti ia bongkar dalam Madness and Civilization (1965), ketika Foucault menggambarkan sejarah “kegilaan,” dengan terpana penuh kekagetan ia menyaksikan ternyata ilmu pengetahuan adalah hasil konstruksi kekuasaan selama berabad-abad. Sedangkan menurut Anthony Gidden, modernitas —sains adalah penopangnya— tak lebih dari sekadar sebuah proyek Barat. Bagi para pemikir posmodern, netralitas dan obyektifitas yang dipropagandakan modernitas tak lain kecuali ‘dagelan ilmu.’ Klaim “obyektifitas” dan “netralitas” sebagai doktrin ilmu pengetahuan Barat modern, hanya mengukuhkan tesisnya Foucault tentang “knowledge is power” atau tesisnya Habermas tentang “knowledge and interest,” bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak zaman Fajar Budi pasca renaissance Eropa abad ke-18, yang menjadi basis dari hegemoni modernitas, merupakan konstruksi yang dibangun dalam rangka mempertahankan imperium narasi besar modernisme dan status quo yang bertengger di pusat kekuasaan kapitalisme dan peradaban Barat modern.[]


Moeflich Hasbullah, Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati. Alumni Southeast Asian Studies ANU Canberra, Australia.


Daftar Pustaka


Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press, 1994. 


Arnold Arnold, The Corrupted Sciences. Challenging the Myths of Modern Science, Paladin, 1992.


Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1989.


Bastin, Jhon and Harry J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall, 1967.


De Graaf, H.J., ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ dalam The Cambridge History of Islam, 1987.


De Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta, Grafitti, 1984.  


Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970.


Keith Buchanan, The Southeast Asian World. An Introductory Essay, London: G. Bell and Sons. Ltd, 1967. 


Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, New York: Random House, 1965.


Nina H. Lubis, Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati, Makalah pada Seminar Sunan Gunung Djati, 2001.


Reid, Anthony, 1993, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London.


Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. Asian Histories Series: MacMillan.


Ricklefs, M.C. The Seen and Unseen World in Java, Allen&Unwin, 1997.


Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1992.


Schrieke, B, Indonesian Sociological Studies, Sumur Bandung, 2nd Edition, 1960.

Friday, September 6, 2024

UMAT BUTUH PARPOL ISLAM SEJATI

 *UMAT BUTUH PARPOL ISLAM SEJATI*


Buletin Kaffah No. 359 (2 Rabi’ul Awwal 1446 H/6 September 2024 M)


Riuh kompetisi partai politik di Tanah Air pasca Pilpres 2024 masih berlanjut. Kini parpol-parpol berebut kemenangan dan jabatan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada November tahun ini. Ada 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota yang menyelenggarakan Pilkada serentak.


Sejumlah parpol semula saling berseberangan dalam Pilpres 2024. Namun, mereka kemudian berkoalisi dalam Pilkada. Tentu demi memenangkan jabatan kepala daerah. Koalisi besar itu sampai memunculkan calon tunggal di 42 daerah. Marak pula politik dinasti yang juga didukung oleh parpol-parpol peserta Pilkada. 


Sepatutnya umat bertanya: Benarkah partai-partai politik yang ada sekarang ini berjuang untuk kepentingan umat? Ataukah mereka hanya mencari kekuasaan semata dengan memanfaatkan suara umat?


*Dua Kepentingan*


Dalam sistem demokrasi, salah satu peran parpol adalah memilihkan untuk warga calon wakil mereka di badan legislatif. Parpol juga yang menentukan calon pemimpin dalam proses Pilpres dan Pilkada untuk dipilih rakyat. Pada titik ini demokrasi sering disebut sebagai sistem politik dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


Kenyataannya, baik pemerintah (eksekutif) maupun wakil rakyat (legislatif) yang berasal dari parpol pilihan rakyat malah sering membuat kebijakan yang merugikan rakyat. Parpol hari ini justru hanya memperjuangkan kepentingan dua pihak: kepentingan kelompoknya dan kepentingan para kapitalis-oligarki. Misalnya, DPR mengesahkan UU Cipta Kerja yang merugikan kepentingan buruh, petani, nelayan dan masyarakat. DPR juga mengesahkan UU Minerba yang hanya menguntungkan pengusaha tambang batubara raksasa. Pemerintah bersama DPR pun menyetujui pembangunan IKN yang bukan menjadi kebutuhan vital untuk rakyat. Sebaliknya, sejumlah rancangan undang-undang yang penting untuk rakyat, semisal RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk menindak para pelaku korupsi, malah tak kunjung disahkan. 


Pemerintah pilihan rakyat juga sering membuat sejumlah kebijakan yang bukan saja tidak berfaedah, tetapi juga merugikan rakyat. Contohnya pembangunan Kereta Cepat Whoosh. Kereta cepat ini tidak bisa dinikmati rakyat banyak. Ia justru menanggung utang sangat besar yang menjadi beban rakyat. Contoh lain adalah Program Food Estate yang gagal total. Padahal program ini sudah menghabiskan uang rakyat hingga Rp 108 triliun. Berikutnya, di tengah kehidupan ekonomi rakyat yang makin terpuruk, Pemerintah malah menaikkan PPN menjadi 12 persen. 


Karena itu peran parpol sebagai pembawa dan pembela aspirasi rakyat pada sistem demokrasi amat minim. Parpol hanya membutuhkan suara rakyat untuk mengantarkan mereka memenangkan kontestasi politik. Setelah mereka menang, rakyat ditinggalkan.


Parpol juga kerap bersikap pragmatis, oportunis dan mencla-mencle. Mudah berubah haluan. Di satu Pilkada ikut menyerukan tolak pemimpin kafir penista agama. Di Pilkada lain malah mengusung calon non-Muslim dan berkoalisi dengan parpol pendukung penista agama. Kemarin mengutuk politik dinasti. Hari ini, secepat angin, mereka bergabung dengan rezim pengusung politik dinasti. Tak ada integritas terhadap nilai perjuangan apalagi ideologi. Yang adanya hanyalah mencari dan mempertahankan kekuasaan.


Sistem demokrasi juga membuat parpol bergantung pada suara rakyat. Akibatnya, parpol Islam sering bersikap ambigu dalam perjuangan Islam. Mereka takut—jika konsisten memperjuangkan Islam—mendapat label sebagai kelompok radikal, lalu ditinggalkan pemilihnya. Padahal Nabi saw. mengingatkan:


مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ 


Siapa saja yang mencari ridha Allah meski harus menghadapi kemarahan manusia, Allah pasti akan mencukupi dia sehingga bebas dari ketergantungan pada manusia. Sebaliknya, siapa saja yang mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, Allah pasti akan membiarkan dia bergantung pada manusia (HR at-Tirmidzi).


*Dikuasai Oligarki*


Hal lain yang membuat parpol hari ini berat memperjuangkan Islam dan umat adalah karena sistem demokrasi berbiaya besar. KPK pernah menyebutkan untuk Pilkada tingkat gubernur bisa menelan ongkos Rp 60-100 miliar. Akibatnya, banyak parpol menerima sumbangan resmi maupun tidak resmi dari kaum kapitalis agar tetap bisa maju ke Pilkada. Prof. Mahfud MD pernah mengatakan 84 persen calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada dibiayai para cukong. 


Akibatnya, setelah terpilih, mereka terikat kontrak politik dengan para bohir politik tersebut. Kekuasaan pun tidak lagi jadi milik rakyat, tetapi milik oligarki. Parpol, eksekutif dan legislatif hanya menjadi perpanjangan tangan para kapitalis. Wajar jika kemudian muncul berbagai aturan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi malah berpihak kepada para oligarki asing maupun aseng. Mereka seperti lupa dengan firman Allah SWT:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), juga jangan kalian mengkhianati amanat-amanat yang telah dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Anfal [8]: 27).


Tragisnya, tidak sedikit kepala daerah yang juga kader parpol terjerat skandal korupsi akibat biaya demokrasi yang sangat mahal. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum pada tahun 2021 hingga 2023. Juga ada 586 anggota DPR dan DPRD sepanjang 2010 sampai 2019 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Semuanya adalah kader-kader partai politik.


Meski sudah demikian rusak, tetap saja mereka ngotot menyatakan bahwa semua itu demi kebaikan bangsa. Inilah yang Allah SWT peringatkan:


وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ


Jika dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi!" Mereka menjawab, "Sungguh kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan." (TQS al-Baqarah [2]: 11).


*Parpol dalam Islam*


Mendirikan partai politik guna menyerukan Islam dan menegakkan amar maruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah. Allah SWT berfirman:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (TQS Ali Imran [3]: 104).


Maksud kata ummah dalam ayat di atas adalah kelompok/jamaah/partai di tengah-tengah kaum Muslim. As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, ”Hendaklah di antara kalian, wahai kaum Mukmin yang telah Allah kokohkan dengan iman dan terikat dengan tali (agama)-Nya, ada satu ummah, yakni jamaah yang menyerukan al-khayr (Islam)...” (As-Sa’adi, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, 1/42).”


Islam membolehkan jumlah kelompok/jamaah/partai ini boleh lebih dari satu. Hanya saja, kelompok/jamaah/partai ini haruslah berlandaskan aqidah Islam. Pasalnya, mereka memiliki dua fungsi politik yakni: mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.


Sebagaimana diketahui, politik (siyâsah) dalam Islam bermakna ri’âyah syu’ûn al-ummah bi ahkâm al-Islâm, yakni pengaturan urusan umat dengan hukum-hukum Islam. Dengan demikian partai politik dalam Islam adalah partai yang bergerak untuk memastikan urusan umat selalu diatur sesuai dengan ketentuan syariah Islam. 


Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh, partai politik Islam harus berasas akidah Islam. Para anggotanya wajib terikat dengan syariah Islam. Tujuannya adalah untuk menegakkan Islam. Karena itu kegiatan dan cara-cara yang digunakan tidak bertentangan dengan Islam.


Berdasarkan QS Ali Imran ayat 104 di atas, partai politik Islam harus hadir di tengah umat untuk mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Di antaranya dengan menjelaskan keunggulan Islam dibandingkan dengan ideologi dan ajaran-ajaran selain Islam. Dengan itu umat yakin bahwa hanya Islam satu-satunya sistem kehidupan yang layak diterapkan.


Parpol Islam juga wajib membongkar kebatilan paham dan ideologi selain Islam seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme dan komunisme. Partai ini harus beraktivitas memperingatkan umat, misalnya, tentang bahaya liberalisasi ekonomi pada sektor SDA, atau liberalisasi perdagangan yang akan menghancurkan ekonomi dalam negeri dan menguntungkan pihak asing.


Parpol Islam juga wajib membongkar siasat jahat negara-negara adidaya kafir dan konspirasi mereka dengan para penguasa Muslim. Contohnya adalah bahaya jerat utang luar negeri, ancaman dari pangkalan militer asing terhadap kedaulatan negeri kaum Muslim, konspirasi negara-negara adidaya kafir dengan memanfaatkan PBB untuk kepentingan mereka, dsb.


Aktivitas dakwah ini wajib dilakukan oleh partai politik Islam secara terus-menerus. Dengan itu akan terbentuk opini umum dan kesadaran umum yang menguat pada umat. Selanjutnya umat akan bergerak menuntut penegakan kehidupan Islam, yakni dengan penerapan syariah Islam dalam naungan institusi pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah).


Inilah karakter partai politik Islam yang dibutuhkan umat. Partai ini hanya berkhidmat pada Islam dan melayani umat. Tidak akan bersikap pragmatis apalagi mencari muka agar mendapatkan kekuasaan. Fokus mereka hanyalah mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Inilah yang juga dilakukan oleh Rasulullah saw. Beliau terus menyampaikan Islam secara utuh tanpa mempedulikan para penentangnya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:


فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ


Sampaikanlah oleh kamu (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepada kamu) dan berpalinglah kamu dari kaum musyrik (TQS al-Hijr [15]: 94). 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Nabi saw. bersabda:


يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ القَابِضُ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْر


Akan datang kepada manusia suatu zaman. Saat itu orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api. (HR at-Tirmidzi). []

Sunday, September 1, 2024

SAAT KHILAFAH TEGAK DI INDONESIA, BAGAIMANA NASIB & MASA DEPAN NON MUSLIM?*

 *SAAT KHILAFAH TEGAK DI INDONESIA, BAGAIMANA NASIB & MASA DEPAN NON MUSLIM?*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik 


Diantara kesalahan pemahaman atas penerapan Islam oleh Khilafah, adalah asumsi bahkan tuduhan yang diedarkan, seolah-olah Khilafah adalah Negara satu agama (Islam), semua warga negara harus memeluk Islam, non muslim tidak boleh hidup, non muslim menjadi warga kelas dua, non muslim terancam, non muslim terzalimi, dll. Narasi seperti ini diedarkan biasanya berangkat dari dua motif, yaitu motif ketidaktahuan dan motif kedengkian.


Untuk motif yang pertama, mengedarkan ketakutan dikalangan non muslim karena ketidaktahuan, cukuplah diberi tahu dan dipahamkan. Adapun yang bermotif kebencian terhadap Islam, cukup dikesampingkan. Kelak kebencian itu akan hilang, manakala Islam diterapkan dan terbukti memberikan keadilan kepada seluruh umat manusia.


Dalam Negara Khilafah, seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim, mendapatkan hak kewarganegaraan yang sama. Semua memikul tanggungjawab yang sama. Tidak ada perbedaan perlakuan.


Non muslim, baik beragama Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan hingga aliran kepercayaan (Kejawen, Sunda Wiwitan) dan penyembah api (Majusi), semuanya disebut Ahludz Dzimmah. Mereka semua, dilindungi oleh Khilafah.


Setiap Ahludz Dzimmah, mendapatkan hak-hak sebagai berikut:


1. Hak atas kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinannya, mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.


2. Hak atas pelayanan Negara untuk kemaslahatan mereka. Mereka berhak atas jaminan pemenuhan kebutuhan hidup dari Khilafah, baik berupa sandang, pangan dan papan, juga mendapatkan layanan dan fasilitas keamanan, pendidikan dan kesehatan.


3. Hak untuk terlibat dalam membela dan memajukan Negara, dalam ruang lingkup yang tidak mewajibkan syarat harus Muslim. Seperti, terlibat menjadi Polisi, Tentara, ASN, dan jabatan lainnya dengan akad Ijaroh (bekerja) kepada Negara.


4. Hak atas perlindungan dan jaminan atas diri, harta dan kehormatannya, baik atas gangguan orang Islam, sesama ahludz Dzimmah, maupun dari musuh.


Adapun kewajiban Ahludz Dzimmah adalah mentaati Khilafah, mentaati konstitusi Khilafah. Jika Ahludz Dzimmah berkhianat, maka seluruh hak dan jaminan atas dirinya akan hilang.


Praktik pemberian hak, jaminan dan perlindungan kepada Ahludz Dzimmah itu telah dilakukan sejak era Daulah Islam pertama di Madinah, yang dipimpin oleh Rasulullah Saw. Saat itu, kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi, hidup damai dibawah kepemimpinan Islam. Hanya saja, orang Yahudi berkhianat (Bani Nadir, Quraidzah dan Qoinuqa), maka jaminan itu dicabut dari mereka.


Selanjutnya, di era Kekhilafahan Islam. Saat Islam meluas hingga Palestina, Khalifah Umar bin Khattab telah menjadikan bumi Palestina sebagai bumi yang nyaman dan tentram untuk umat Islam, umat Kristiani dan Yahudi.


Jadi, referensi jaminan Islam kepada non muslim harus merujuk pada era Rasulullah dan para Khalifah setelahnya. Bukan merujuk pada ISIS, atau opini buruk barat dan para pendengki Islam.


Bagaimana saat Khilafah tegak di Indonesia? Apa perlakuan Khilafah pada orang Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha dan yang lainnya? Jawabnya, Khilafah akan memberikan jaminan dan perlindungan yang baik kepada mereka semua, jauh lebih baik daripada jaminan rezim Demokrasi sekuler kapitalis yang selalu menyengsarakan seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non muslim. [].

Tuesday, August 27, 2024

JUAL 5.000 SUMUR MINYAK IDLE WELL KEPADA KONTRAKTOR ASING

 JUAL 5.000 SUMUR MINYAK IDLE WELL KEPADA KONTRAKTOR ASING


Baru lebih seminggu dilantik jadi menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memberi terobosan fenomenal demi menggenjot produksi minyak nasional dalam rangka mengurangi impor dan beban keuangan negara. 


Berkaca pada target produksi minyak dalam asumsi dasar makro ekonomi APBN 2024, memang sangat tragis, hanya 630.000 barel/hari. 


Bahkan lebih tragis lagi ketika melihat kenyataan realisasi produksi lapangan. SKK Migas menyebut, produksi harian (crude + oil) hanya bergerak di angka 610.000-613.000 barel/hari, lebih rendah dari target yg ditetapkan. 


Rendahnya target produksi minyak ini sejalan dengan laporan SKK Migas di Akhir tahun 2023 lalu. Dalam setahun produksi lapangan minyak nasional hanya mencapai 221 juta barel/tahun : 360 hari = 613.000 barel/hari. 


Rendahnya produksi minyak nasional tidak sebanding dengan tingginya angka konsumsi. SKK Migas mencatat, konsumsi minyak nasional 505 juta barel/tahun. Paling banyak terserap ke sektor transportasi 248 juta barel/tahun, industri 171 juta barel/tahun dan ketanagalistrikan 38,5 juta barel/tahun. 


Kalau total produksi dalam setahun 221 juta barel secara aple to aple dipakai untuk membayar konsumsi 505 juta barel, maka ada selisih kurang sebesar 284 juta barel. 


Satu-satunya cara yg dipakai pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut adalah IMPOR. 


Kementrian ESDM mencatat, impor indonesia sepanjang 2023 capai 297 juta barel. Terdiri 129 juta barel untuk crude dan 124 juta barel untuk oil atau produk. 


Bayangkan seberapa buruk status net importer oil Indonesia. Impor 297 juta barel/tahun, jauh lebih tinggi dari produksi yg hanya 221 juta barel/tahun 


Untuk mendatangkan minyak impor, pemerintah harus melepaskan cadangan devisa sebesar Rp 396 triliun dalam setahun. 


Maka menurut Bahlil ini adalah bentuk pemborosan yg nyata. Harus ada upaya alternatif tingkatkan produksi nasional untuk mengeluarkan Indonesia dari jurang net importir oil dengan tanggungan biaya yg sangat besar. 


Bahlil mengusung terobosan fenomenal untuk menjual 5.000 sumur minyak kategori "idle well" (nganggur-tidak lagi produksi) kepada swasta, terutama asing untuk reaktivasi kembali produktifitasnya untuk genjot produksi. 


Saat ini, secara nasional ada sekitar 44.985 sumur minyak. Hanya 16.990 yg produksi. Sementara 16.250 sumur masuk kategori menganggur atau berhenti produksi. 


Tidak semua sumur nganggur bisa direaktivasi kembali mengingat tidak adanya potensi subsurface, keekonomian yg tidak terpenuhi karena high cost rectivation, serta faktor HSE dan non teknikal lainnya. 


Setelah diverifikasi kementrian ESDM, Bahlil menyatakan ada sekitar 5.000 sumur yg bisa direaktivasi kembali, dilepas ke sawsta. 


Jadi untuk genjot produksi, cara Bahlil adalah reaktivasi kembali produktifitas sumur nganggur dengan cara dijual-dilepas kepada swasat, mayoritasnya asing. 


Otak dangkal, malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power an Glory !!! 


Ada seribu satu cara yg bisa dilakukan tanpa harus melepas sumur-sumur idle well kepada kontraktor swasta asing. 


Saya kasih contoh salah satu cara yg bisa dipakai. Kalau memang masalah pemerintah adalah soal teknologi yg butuh banyak anggaran di luar kesanggupan produksi, cara mengatasinya sederhana sekali: Bahlil harus berani melenyapkan inefisiensi dan korupsi di sektor hulu migas yg marak dilakukan para elit dan kontraktor swasta. 


Salah satunya adalah indikasi inefisiensi, murk-up, perampokan cost recovery atau biaya pengganti produksi dari pemerintah ke kontraktor swasta. 


Contohnya sederhana: 


Pada 2018 lalu, biaya produksi atau cost recovery ditetapkan US$ 10,1 miliar. Naik jadi US$ 13,9 miliar di 2024. Artinya kenaikannya hampir mencapai 38% ((US$ 13,9 miliar - US$ 10,1 miliar) / US$ 10,1 miliar x 100 = 37,6%, dibulatkan jadi 38%) 


Di saat yg sama produksi nasional justru menurun tajam dari dari 808.000 barel/hari di 2018 jadi 610.000-615.000 per/hari di 2024. Artinya penurunannya mencapai 24% ((615.000 barel - 808.000 barel)/808.000 barel x 100 = 23,8%, dibulatkan jadi 24%. 


Bayangkan biaya produksi pada APBN naik ugal-ugalan capai 38% tapi produksinya justru turun 24%. 


Kenyataan ini sesungguhnga membuktikan, tingginya inefiesni sektor hulu migas, menjadi "benalu" utama turunnya produksi dan Indonesia harus bergantung tinggi terhadap minyak impor. 


Pertanyaannya, kenapa bisa, biaya produksi naik sangat tinggi tapi produskinya malah turun tajam ? 


Salah satu penyebabnya adalah maraknya praktik korupsi dan murk-up antara pejabat pemerintahan, komisi VII DPR RI, pihak SKK Migas dan kontraktor swasta. Tidak perlu saya bicara panjang lebar untuk buktikan, lihat saja kasus OTT nya Rudy Rubiandini, Kepala SKK Migas, Jero Wacik Mantan Men ESDM dan Sutan Batogana fraksi Demokrat di komisi VII. 


Bagaimana praktik korupsi dan murk-up itu bisa terjadi. Peluangnya muncul di SKK Migas mulai dari perancangan, pengajuan hingga pelaksanaan Work Program and Budget (WP&B). Katakanlah di 2024 ini, biaya produksi diajukan dan realisasinya berpotensi lebih dari US$ 13,9 miliar. 


Anggaran sebesar itu, sepenuhnya dikelolah oleh SKK Migas tanpa ada pengawasan majelis wali amanat. 


Status SKK Migas selaku BHMN itu derajatnya seperti kampus-kampus negeri milik negara. Diatas rektor ada majelis wali amanat yg mengontrol rektor kelolah uang kampus. Setahun kampus kelola uang tidak lebih besar dibandingka  tanggungan APBN untuk biaya pengganti produksi minyak ke kontraktor. 


Sementara SKK Migas, kelola uang negara US$ 13,9 miliar, tidak ada yg mengontrol, mengawasi. Ini keadaan nyaman yg memberi peluang bagi pejabat pemerintahan, politisi dan kontraktor murk-up, bergerombol merampok uang negara. 


Perkara kotor ini, masih berlangsung subur sampai saat ini !!! 


Seandainya perkara kotor inefisiensi ini di lenyapkan, maka negara bisa menghemat sekitar Rp 60,8 triliun/ tahun (CR 2024 US$ 13,9 miliar - CR 2018 US$ 10,1 miliar = US$ 3,8 miliar x kurs 16.000 = 60,8 triliun. 


Hasil pengematan tentu saja bisa digunakan pemerintah menghidupkan kembali beberapa sumur idle well untuk mengurangi ketergantungan terhadap kontraktor asing. 


Penghematan ini juga lebih dari cukup untuk menggenjot produksi dengan cara membangun kilang. Cukup dengan biaya US$ 50 juta sampai US$150 juta, pemerintah bisa bangun kilang kapasitas 6.000 sampai 18.000 barel per hari. Dengan membangun 10 kilang mini misalnya, bisa mendapatkan kapasitas hampir 100.000 sampai 200.000 barrel per hari. 


Ingat, ini baru salah satu model penghematan inefisiensi di sektor migas. Masih banyak celah inefisiensi yg perlu dilenyapkan. Jika semua berjalan baik, maka kebocoran anggaran negara bisa teratasi. Indonesia pelan-pelan bisa membangun ketahanan migas tanpa perlu bergantung terhadap modal asing. 


Tapi apa punya niat dan berani bahlil lenyapkan perkara kotor yg jadi ladang perampokan uang negara para elit dan kolega oligarki ? 


Seperti kalimat Bahlil di hadapan Komisi VII DPR RI kemarin terkait janjinya basmi tambang ilegal: "Saya ini juru gas, jadi jangan ragukan tentang nyali saya lah pak, saya dari Papua datang ke sini melewati darat, laut dan udara,". Avatar kali....


Boro-boro. Ini malah usung terobosan jual, lepas 5.000 sumur minyak idle well keapa swasta, terutama asing. Kenapa ga sekalian aja dijual semuanya, 16.250 sumur idle well. Otak dangkal, mental penjajah. Maka mampuslah rakyat Indonesia.

Tuesday, August 20, 2024

BAHAYA ULAMA DI PINTU PENGUASA

 *BAHAYA ULAMA DI PINTU PENGUASA*


Buletin Kaffah No. 348 (15 Dzulhijjah 1445 H/21 Juni 2024 M)


Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berencana untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mendatangkan protes. Alasan Pemerintah memberikan konsesi pertambangan pada ormas karena mereka berjasa pada bangsa dan negara. Selain itu, juga agar izin usaha pertambangan jangan hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa.


Sejumlah ormas keagamaan secara terbuka menolak. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP) termasuk yang menolak. Dari ormas Islam baru PBNU yang menyatakan menerima tawaran konsesi tersebut dengan alasan mereka membutuhkan. 


*Fitnah untuk Ulama*


Selain soal kerusakan lingkungan, pemberian konsesi pertambangan dikhawatirkan menjadi alat untuk mengambil hati ormas Islam dan tokoh-tokohnya. Akibatnya, para ulama akan berada di barisan kekuasaan. Saat demikian penguasa mendapatkan legitimasi atas berbagai kebijakannya yang bisa merugikan masyarakat dan bertentangan dengan syariah Islam. Bisa juga fatwa ulama dipakai untuk menutupi berbagai borok-borok kekuasaan.


Ini tentu mencemaskan. Pasalnya banyak kebijakan rezim yang merugikan masyarakat dan menguntungkan oligarki. Misalnya saja politik dinasti, bancakan berbagai jabatan dan kekuasaan untuk kalangan penguasa, pelemahan pemberantasan korupsi, kenaikan PPN menjadi 12,5%, pungutan Tapera, krisis rupiah terhadap dolar, utang luar negeri yang makin bengkak, judi dan pinjaman online yang makin merajalela, dll. Semua itu disebabkan oleh buruk pengelolaan negara dan masyarakat serta menyalahi syariat Islam. 


Dalam kondisi demikian, tentu bencana bagi umat jika para ulama malah menjadi stempel kebijakan zalim penguasa atau malah menjadi bemper penguasa untuk menghadapi umat. Baginda Nabi saw. mengingatkan bahwa golongan yang menjadi penyebab terbesar kerusakan umat adalah para ulama yang menjadi fasik. Sabda beliau:


هَلَاكُ ‌أُمَّتِي ‌عَالِمٌ ‌فَاجِرٌ وَعَابِدٌ جَاهِلٌ، وَشَرُّ الشِّرَارِ أَشْرَارُ الْعُلَمَاءِ،


Kerusakan umatku adalah oleh ulama yang jahat dan orang bodoh yang beribadah (tanpa ilmu). Seburuk-buruknya kejahatan adalah kejahatan ulama (HR Ahmad).


Sebab itulah Rasulullah saw. mengingatkan para ulama agar berhati-hati dalam berinteraksi dengan penguasa. Bahkan sekadar mendekati penguasa saja bakal mendatangkan fitnah. Sabda Nabi saw.:


وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنْ السُّلْطَانِ قُرْبًا إِلَّا ازْدَادَ مِنْ اللَّهِ بُعْدًا


Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu penguasa niscaya terkena fitnah. Tidaklah seorang hamba makin dekat dengan penguasa kecuali makin jauh dari Allah (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, Ibnu ‘Adi dan al-Bukhari dalam Târîkh al-Kabîr).


Kedekatan dengan penguasa bisa membuat para ulama makin jauh dari Allah. Dalam riwayat lain ada perintah untuk menjauhi pintu-pintu penguasa. Rasul saw. bersabda: 


إيَّاكُمْ ‌وَأبْوَابَ ‌السُّلطَانَ، فَإِنَّهُ قَدْ أَصبَحَ صَعْبًا هبُوطًا


Waspadalah kalian terhadap pintu-pintu penguasa karena sesungguhnya hal itu akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan (HR ath-Thabarani dan ad-Dailami).


Al-Munawi dalam kitab Faydh al-Qadîr menjelaskan hadis di atas bahwa pintu-pintu penguasa akan menyebabkan kesulitan besar bagi ulama serta mendatangkan kedudukan yang hina di dunia dan akhirat (Al-Munawi, Faydh al-Qadîr, 3/120, Maktabah Syamilah).


Ulama lain, Syaikh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Akhwadzi menerangkan sabda Rasul saw. uftutina; maknanya adalah waqa’a fî al-fitnah (terjatuh ke dalam fitnah). Sebabnya, jika ulama telah menyetujui penguasa atas kebijakannya (yang menyimpang dari syariah islam, red.) dan memuji-muji penguasa itu maka sungguh dia membahayakan agamanya. Sebaliknya, jika dia menyalahi penguasa (yang menyimpang) itu maka boleh jadi dia membahayakan dunianya.


Para ulama salafus-shâlih memberikan teladan dengan tidak gegabah mendatangi istana-istana para penguasa. Imam Malik, misalnya, pernah menolak permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid agar datang ke istana beliau untuk mengajarkan agama kepada keluarganya. Imam Malik mengeluarkan pernyataan yang masyhur yang ditujukan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid: “Al-‘Ilmu yu’ta wa lâ ya’ti (Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi).”


Bahkan para ulama terdahulu tidak suka mendatangi para penguasa, apalagi untuk mendapatkan jabatan dan kekayaan. Mereka menggolongkan perbuatan itu sebagai perilaku yang menjijikkan. Muhammad bin Maslamah rahimahulLâh berkata, “Lalat di atas kotoran lebih baik daripada ulama yang berada di pintu penguasa.”


Meski begitu, bukan berarti tidak ada ulama yang mendatangi para penguasa. Namun, kedatangan mereka bukan untuk mencari harta dan jabatan, tetapi untuk melakukan amar makruf nahi mungkar serta mengoreksi sikap keliru dan zalim para penguasa. Mereka melakukan apa yang diperintahkan Baginda Rasulullah saw.:


سَيِّدُ ‌الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ، فَنَهَاهُ وَأَمَرَهُ، فَقَتَلَهُ


Pemimpin para syuhada pada Hari Kiamat adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang jahat, lalu dia melarang penguasa jahat tersebut dari kemungkaran dan menyuruh dia berbuat kemakrufan, namun kemudian penguasa itu membunuh dirinya (HR ath-Thabarani).


Namun, jika para ulama datang kepada para penguasa sekadar menjadi stempel mereka dan menjustifikasi kebijakan zalim mereka, maka Allah SWT mengingatkan:


وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ


Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang bisa menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]: 113).


*Butuh Ulama Pejuang*


Dalam kondisi yang rusak saat ini para ulama justru harus hadir melakukan amar makruf nahi mungkar; mengoreksi penguasa dan menyerukan Islam sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk negeri. Para ulama harus mengingatkan para penguasa bahwa penyebab krisis multidimensi yang melanda negeri adalah karena syariah Islam tidak diterapkan untuk mengatur negeri ini.


Terkait kebijakan pertambangan, misalnya, ada tiga persoalan yang mestinya disampaikan oleh para ulama. Pertama: Mengoreksi rezim atas kebijakan pertambangan yang hanya menguntungkan oligarki, tidak menyejahterakan rakyat, tetapi justru menciptakan berbagai bencana dan kesusahan. Fakta menunjukkan pertambangan batubara, misalnya, baik legal maupun ilegal, telah membahayakan dan merugikan warga sekitar. Ribuan lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka menyebabkan banyak jatuh korban meninggal karena terperosok atau tenggelam. Ketersediaan air bersih juga terancam akibat pencemaran pertambangan yang mengancam manusia, ternak dan tanaman. 


Sebaliknya, warga sekitar justru jauh dari sejahtera. Bahkan hidup mereka semakin berat karena terdampak kerusakan lingkungan. Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan. Hanya para pemilik pertambangan yang diuntungkan dengan bisnis mereka.


Para penguasa harus diajari bahwa Islam mengharamkan tindak kemadaratan bagi lingkungan, apalagi bagi manusia. Sabda Nabi saw.:


لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ


Tidak boleh ada kemadaratan, juga tidak boleh menimpakan kemadaratan (kepada orang lain) (HR Ibnu Majah).

Kedua: Para ulama harus menyampaikan kepada para penguasa hukum Islam terkait pengelolaan tambang yang semestinya dipegang oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Nabi saw. pernah menarik kembali konsesi tambang garam yang sempat diberikan kepada Abyadh bin Hammal setelah tahu depositnya berjumlah besar. Hal ini menjadi dasar hukum bahwa tambang-tambang yang memiliki deposit yang besar adalah milik umum, haram hukumnya diserahkan kepada swasta, baik perusahaan maupun ormas.


Para ulama saatnya menyerukan pencabutan berbagai undang-undang yang mengizinkan swastanisasi berbagai sumber daya alam. Sebabnya, semua itu bertentangan dengan syariah Islam. Menurut syariah Islam, semua sumber daya alam yang menjadi hajat hidup publik adalah milik umum yang harus dikelola sebaik-baiknya oleh negara. Nabi saw. bersabda:


اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار


Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Ketiga: Para ulama berkewajiban menyadarkan umat dan menjelaskan kepada mereka bahwa pangkal kerusakan hari ini adalah ketiadaan penerapan syariah Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Allah SWT telah mengingatkan:


وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain). Sebabnya, jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa (TQS al-An’am [6]: 153).


Semoga para ulama tidak terjebak fitnah penguasa, lalu berpaling membenarkan kedustaan dan kezaliman mereka. Sungguh betapa keras ancaman Allah SWT terhadap para ulama yang bersekutu dengan para penguasa yang zalim.


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahulLâh berkata:


رُبَمَا دَخَلَ اَلْعَالِمُ عَلَى الْمَلِكِ وَمَعَهُ شَىْءٌ مِن دِيْنِهِ فَيَخْرُجُ وَلَيْسَ مَعَهُ شَىْءٌ. قِيْلَ لَهُ: وَ كَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: يُصَدِّقُهُ فِى كَذِبِهِ، وَيَمْدَحُهُ فِى وَجْهِهِ


“Boleh jadi seorang ulama yang mendatangi penguasa sambil membawa agamanya, ketika dia pulang, agamanya hilang.” Beliau ditanya, “Bagaimana bisa agamanya hilang?” Beliau menjawab, “Saat dia membenarkan kebohongan penguasa tersebut dan memuji-muji penguasa tersebut di hadapannya.” (Ibnu Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, 1/131, Maktabah Syamilah). []