*TOLERANSI TANPA MERUSAK AQIDAH ISLAM*
Buletin Kaffah No. 360 (9 Rabi’ul Awwal 1446 H/13 September 2024 M)
Baru-baru ini Paus Fransiskus datang ke Indonesia. Kedatangan Paus ke Indonesia merupakan kunjungan yang pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam. Tak hanya datang, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu juga mengadakan misa agung di Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ribuan umat Kristiani.
Kedatangan Paus disambut dengan gegap-gempita. Namun, penyambutan atas kedatangannya dinilai berlebihan dan menulai polemik di tengah kaum Muslim. Pasalnya, serangkaian prosesi penyambutan Paus—yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi—telah kebablasan dan menabrak batas-batas Aqidah Islam.
Polemik itu berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus Fransiskus tertanggal 9 Agustus 2024 kepada Kementerian Agama terkait permohonan dukungan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia 3-6 September 2024. Sebagai tindak lanjut, Kementerian Agama bersurat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tertanggal 1 September 2024. Surat yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Katolik itu di antaranya berisi: Pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang azan seperti biasanya). Dengan itu misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia.
Ada juga agenda pembacaan Injil dan al-Quran untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini.
Tampak jelas bahwa serangkaian prosesi penyambutan Paus ini mengarah pada sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama.
*Perlu Sikap Kritis*
Tentu diperlukan sikap kritis terhadap praktik sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama ini.
1. Sinkretisme beragama.
Sinkretisme beragama bermakna mencampuradukkan ajaran agama-agama. Termasuk mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain. Sinkrestisme beragama semacam ini jelas mencampuradukkan yang haq dan yang batil, yang nyata-nyata terlarang dalam Islam. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 42).
2. Pluralisme agama.
Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Konsekuensinya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini: Pertama, aspek normatif. Secara normatif, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islam. Pluralisme bertentangan antara lain dengan firman Allah SWT berikut:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ
Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Siapa saja yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sungguh Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT juga berfirman:
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِيْنًا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).
Dengan alasan itu, wajar jika pluralisme agama difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia dalam Munas VII MUI tahun 2005.
Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tetapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok.
Ketiga, aspek inkonsistensi Gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu Gereja harus menganggap agama Islam juga benar. Tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Dengan begitu mereka tidak melakukan misi kristenisasi kepada umat Islam.
Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi Kapitalisme yang Kristen atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai membawa misi imperialisme.
3. Humanisme beragama.
Humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa. Ketika itu banyak pemikir seperti Petrarch, Erasmus dan Pico della Mirandola mulai memusatkan perhatian pada kebangkitan budaya klasik Yunani dan Romawi. Mereka juga menggali potensi manusia di luar dogma agama yang dominan saat itu. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini justru ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Caranya dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan, dengan mengabaikan Tuhan dan agama.
Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah SWT:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (TQS al-An’am [6]: 162).
*Sikap Muslim Seharusnya*
Dengan demikian para tokoh umat semestinya paham bahwa kunjungan orang kafir ke negeri ini seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, seperti menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada mereka. Bukan sebaliknya, justru mereka dibiarkan membawa misi agama mereka kepada umat Islam.
Rasulullah saw. sebagai teladan kaum Muslim juga biasa menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin kafir. Rasulullah saw. pernah mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi, Raja Persia, Raja Muqawqis Agung, Raja Qibti Mesir dan Raja Habasyah dengan surat yang berisi ajakan masuk Islam. Kepada Raja Persia, misalnya, Rasulullah saw. dalam suratnya tegas menyatakan: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah kepada Raja Agung Persia. Semoga keselamatan atas siapa saja yang mengikuti jalan, beriman kepada Allah dan utusan-Nya, serta bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang Satu, tiada sekutu, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru dengan seruan Allah. Sungguh aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, untuk memperingatkan orang yang hidup dan membenarkan perkataan kepada orang-orang kafir. Masuklah Islam. Niscaya Anda akan selamat. Jika Anda mengabaikan seruan ini maka Anda menanggung dosa orang-orang Majusi (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 2/123; Al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdaad, 1/132).
Selain itu, konsep toleransi dalam Islam bukan mengarah pada paham sinkretisme, pluralisme dan humanisme yang merusak Aqidah Islam. Toleransi adalah membiarkan serta tidak mengganggu ibadah dan kepercayaan agama lain. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam firman Allah SWT:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ (1) لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ (2) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (3) وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمۡ (4) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (5) لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah, "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untuk aku agamaku.” (TQS al-Kafirun [109]: 1-6).
Secara historis, praktik pertama toleransi beragama dijalankan oleh Rasulullah saw. di dalam naungan Negara Islam di Madinah al-Munawarah dengan sangat indah. Selanjutnya praktik toleransi dalam Islam juga terwujud indah dalam peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islam sepanjang sejarahnya. Di Mesir, misalnya, umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di India, sepanjang Kekhalifahan Bani Umayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, Muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Toleransi dalam Islam juga terbangun indah pada masa Kekhilafahan Islam di Spanyol. Di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen juga hidup berdampingan dengan tenang dan damai.
Keindahan praktik toleransi dalam Islam ini sejalan dengan misi pengutusan Rasulullah saw. kepada seluruh manusia untuk menebarkan rahmat. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Karena itu selayaknya kita terus berdakwah demi tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebabnya, sudah terbukti bahwa hanya Khilafahlah—melalui penegakan syariah secara kâffah dan misi dakwahnya yang universal—yang mampu mewujudkan toleransi yang hakiki sekaligus menebarkan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
---*---
*Hikmah:*
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak pada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata, "Sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (TQS al-Fushilat [41]: 33). []
No comments:
Post a Comment