Saturday, August 17, 2024

BAHAYANYA PAHAM RADIKAL KOMUNIS _MAOISME_ YANG AKAN DITERAPKAN DI INDONESIA

 *BAHAYANYA PAHAM RADIKAL KOMUNIS _MAOISME_ YANG AKAN DITERAPKAN DI INDONESIA*


_China Sangat Berusaha Menghindari Terjadinya Perang di Indonesia Karena Jika Terjadi Perang China Akan GAGAL Untuk Menguasai Indonesia_



*PEMIKIRAN* _"Mao Zedong"_ yang dipakai sebagai falsafah Komunis Rakyat China atau disebut juga Ideologi _"Maoisme"_ adalah Komunis yang telah di "cinakan" dengan kultur rakyat Cina.


_Mao Zedong_ atau _Mao Tse-Tung_ hakekatnya adalah sama satu person. _Mao Zedong_ adalah bapak komunisnya China. Strategi politiknya adalah menguasai dan melumpuhkan negara tanpa PERANG. 


Karena itu China RRC sangat menghindari perang, karena jika perang akan gagal total semua rencana proyek China menguasai untuk negara tersebut.


Karena _Mao Zedong_ yang terkenal kejam ini berkata,

_"Politik adalah sebuah peperangan besar tanpa pertumpahan darah. Sedangkan Perang adalah peperangan dengan pertumparan darah.."_

_(Mao Zedong)_


Ideologi Mao Zedong disebut dengan paham _Maoisme_, yang merupakan varian dari ajaran _Marxisme-Leninisme_ yang berasal dari ajaran-ajaran pemimpin Komunis _Karl Marx_ dan _Lenin._


Bapak Komunis China _Mao Zedong_ telah berhasil meruntuhkan _Monarki Mongolia_ dengan membantai dan memusnahkan seluruh para bangsawan keluarga dan kerabat Kekaisaran _Dinasti Qing_ yang telah berkuasa selama 5 abad diganti dengan negara demokrasi _negara sekuler raya_ kemudian berubah menjadi Ideologi Komunis atau _ideologi Maoisme._ Jadilah Negara Komunis Rakyat China.


Ideologi Komunis _Maoisme_ ini yang akan diterapkan  oleh rezim Komunis RRC _Xi Jinping_ agar dapat dihidupkan pada masyarakat bangsa Indonesia. 


Ideologi _Maoisme_ atau KGB 'Komunis Gaya Baru' adalah bahaya laten merupakan bahaya _disintegrasi_ bangsa karena memiliki 'daya perusak' tinggi terhadap pemikiran yang akan mengancam umat bergama dan kaum pribumi.


Bangsa Indonesia akan di _Maois_ kan dalam waktu kurang dari 10 tahun. Paham _Maoisme Komunis_ akan mengancam _kerukunan dan kearifan agama, mengancam aqidah tauhid Islamiyah, mengancam kearifan budaya dan mengancam tegaknya kaidah Ideologi Pancasila._


Paham _Maoisme_ hakekatnya adalah KGB _'Komunis Gaya Baru'_. Yang sebenarnya Sekulerisme itu sendiri yang telah diterapkan oleh penguasa oligarki dengan berlahan tapi pasti. 


Strategi paham _Maoisme_ yang dilakukan oleh PKC (Partai Komunis Cina) di dilapangan di Indonesia secara _TSM Terstruktur, Sistematis_ dan _Masif_ adalah sbb :


1. Pertama melalui lembaga kaki tangannya yang berada di pemerintah dengan menyerang komponen Islam di Indonesia melalui pemahaman ke masyarakat dengan melabelkan bahwa Islam adalah _arabisasi_ atau _budaya asing_. 

Kedua dengan  memberangus seluruh komponen gerakan Islam dengan mematikan _Tiga Pilar Pusat Peradaban Islam_ di Indonesia yaitu 

1. Masjid

2. Pondok Pesantren

3. Kampus

Dengan di issukan ketiga komponen tersebut telah terpapar _radikalisme dan terorisme_ 


2. Menyerang komponen Kerajaan Kesultanan Nusantara, strategi pertama secara halus dengan merangkul komponen kerajaan setelah itu kerajaan akan dipressure ditekan agar Kerajaan hanya berupa _simbol icon budaya_ dan _pariwisata._

Strategi kedua secara eksterim, terstruktur dan masif peranan komponen Kerajaan Nusantara di issukan sebagai simbol _feodalisme_ dan _kediktatoranisme._


Paham _Maoisme_ telah terafiliasi dengan gerakan _KGB (Komunis Gaya Baru)_ di Indonesia secara terstruktur, sistematis dan masif targetnya operasinya pertama adalah memberangus Dua Komponen Strategis bangsa yaitu _*UMAT ISLAM INDONESIA*_ dan _*KERAJAAN KERATON NUSANTARA.*_


Strategi gerakan pemikiran _Maoisme_ adalah dengan _menyerang pikiran,  memelintir logika, membengkokkan iktikad, membuat fitnah, membenturkan agama dengan budaya, menghasut ideologi melunturkan dan meruntuhkan keyakinan_.


*Hati-hati Dan Waspadalah*‼️



*Oleh Kanjeng Senopati*

_Penulis adalah :_

*_Pengamat Spiritualis Geopolitik Geostrategi Intelijen Militer & Pengamat Budaya Sejarah Peradaban Kerajaan Nusantara_*

_WhatsAuto_

Sunday, July 21, 2024

JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK

 *JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK*


Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf


Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik


Surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 diturunkan terhadap orang kafir yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Hanya saja pada ayat ini terdapat lafazh umum yaitu “man” siapa saja, maka berlaku umum, termasuk bagi kaum muslimin. Memang benar ada kaidah “Syar’u man qablana laisa syar’an lana”, syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Hanya saja Ketika terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa berlaku secara umum seperti pada tiga ayat ini maka berlaku pula bagi kaum muslimin. 


Hanya saja semata tidak menerapkan syariat Allah tidak otomatis menjadikan pelakunya menjadi kafir kecuali disertai I’tiqad (keyakinan). Misalnya meyakini bahwa syarat Islam tidak wajib diterapkan, meyakini bahwa ada aturan yang lebih baik dari syariat Islam. Keyakinan seperti ini dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran. Alasannya adalah sebagai berikut:


Pertama, ketiga ayat ini turun dalam satu peristiwa dan dalam satu konteks yang sama, yaitu tidak berhukum pada syariat Allah. Namun disifati dengan tiga sifat berbeda yaitu kafir, zalim dan fasik. Maka tak diragukan bahwa satu sifat dari tiga sifat ini memiliki kondisi yang berbeda dalam konteks yang sama. Jika meyakini (I’tiqad) bahwa hukum Allah tidak wajib diterapkan maka pelakunya (misalnya penguasa atau hakim) telah jatuh sebagai orang yang kafir. Jika tidak menerapkan hukum Allah namun memutuskan hukum sesuai dengan haknya misalnya pencuri di penjara maka ia telah fasiq. Jika tidak memutus dengan hukum Allah dan tidak memberikan putusan sesuai dengak haknya. Misalnya, bersengaja membebaskan pencuri atau koruptor maka ia telah zalim lagi fasiq. Fasik karena telah melakukan kemaksiatan dengan tidak menerapkan hukum Allah dan zhalim karena telah membebaskan pelaku kriminal. 

Hal ini sama seperti orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak otomatis divonis kafir, kecuali jika disertai keyakinan bahwa shalat tidak wajib. 


Kedua, konteks ayat ini turun terkait orang kafir, yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Mereka menolak hukum rajam dan condong pada hukum cambuk (jilid). Mereka anggap hukum rajam tidak layak dan menolaknya. Jadi konteks terjatuhnya pada kekafiran karena dua sebab: (1) menolak hukum Allah dan menganggapnya tidak layak diterapkan; (2) menerapkan hukum selain hukum Allah. Karena itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: “Karena itu penolakan terhadap hukum yang Allah turunkan menjadi syarat mendasar teranggapnya mereka sebagai kafir jika mereka menerapkan hukum selain hukum yang Allah turunkan”. Jika ada yang menyatakan bukankah ada kaidah yang menyatakan “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab”, sebuah pengertian diambil dari keumuman redaksi bukan dari khususnya sebab turunnya ayat. Jawabannya adalah keumuman redaksi tetap terbatas pada konteks turunnya ayat, tidak berlaku tanpa batasan. Kaidah seperti ini seperti yang dinyatakan oleh beliau dalam kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz tsalits. Beliau menyatakan:

قاعدة العبره بعموم اللفظ لا بخصوص السبب مقيدة في الموضوع الذي نزلت به, لا عموم ما تنطبق عليه

Kaidah “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab” terikat dengan konteks turunnya ayat, tidak umum atas apa yang diterapkan padanya.


Ketiga, hukum adalah fi’il (perbuatan) bukan I’tiqad (keyakinan). Jika ada perbuatan yang menyelisihi hukum Allah statusnya maksiat, bukan kafir kecuali jika ada dalil yang qath’i yang menyatakan bahwa pelanggaran atas hukum tertentu statusnya kafir. Berbakti pada orang tua hukumnya wajib, tidak mengandung perkara i’tiqad. Maka anak yang durhaka para orang tua dianggap maksiat, namun tidak otomatis kafir. Berbeda dengan perbuatan sujud pada Allah. Amal ini diperintahkan disertai dengan adanya I’tiqad bahwa hanya Allah yang layak disujudi (disembah). Jika ada seorang muslim yang sujud pada berhala atau beribadah dengan cara ibadah orang Kristen di gereja maka ia jatuh pada kekafiran. Karena makna dari “Laa ilaha illallah” adalah itsbat (penetapan) bahwa hanya Allah yang hak untuk disembah sekaligus nafyu (penafian) penyembahan pada selain Allah. 

Berhukum dengan  bukan dengan apa yang Allah turunkan adalah menyelisihi perintah Allah dalam perkara amal, bukan perkara I’tiqad. Hal ini karena dua alasan:

a. Syariat tidak menyatakan kafir jika menyelisihi hukum Allah, karena tidak termasuk amal yang dapat menjatuhkan pada kekafiran. Hal yang menguatkan hal ini adalah bahwa Mu’awiyyah telah mengambil ba’iat untuk anaknya Yazid dengan cara paksaan. hal ini termasuk menyelisihi hukum Allah. Hal ini dilihat dan didengar oleh sahabat. Kita tidak mengetahui ada satu orang pun sahabat yang menyatakannya kafir.


b. Berhukum dengan bukan hukum Allah tidak termasuk dalam cabang dari akidah sebagaiamana sujud pada berhala atau beribadah seperti cara orang Nasrani. Maka jika ada seorang hakim yang memutus penjara bagi seorang pencuri, tidak memutus hukum potong tangan. Hakim ini telah menjadi seorang ahli maksiat, bukan orang yang kafir. Berbeda halnya dengan jika dia menolak hukum potong tangan  dengan keyakinan bahwa hukum Islam keliru dan sebaliknya meyakini bahwa yang benar adalah hukum penjara, maka ia telah kafir. 


Kesimpulan seperti ini selaras dengan penafsiran para ahli tafsir, seperti Imam Thabari dan Imam Qurthubi. Imam Thabari dalam kitab tafsirnya menyatakan:

"حدثني المثنى قال : حدثنا عبد الله بن صالح قال : حدثني معاوية بن صالح عن علي بن ابي طلحة عن ابن عباس قوله"ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون"قال : من جحد ما انزل الله فقد كفر، ومن اقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق.... فان قال قائل فان الله تعالى ذكره قد عم بالخبر بذلك عن جميع من لم يحكم بما انزل الله فكيف جعلته خاصا قيل ان الله تعالى عم بالخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم بكتابه جاحدين فاخبر عنهم انهم بتركهم الحكم على سبيل ما تركوه كافرون وكذلك القول في كل من لم يحكم بما انزل الله جاحدا به هو بالله كافر كما قال ابن عباس لانه بجحوده حكم الله بعد علمه انه انزله في كتابه نظير جحوده نبوة نبيه بعد علمه انه نبي

Intinya adalah pada qaul Ibnu Abbas yang menyatakan: “Siapa yang ingkar dengan apa yang Allah telah turunkan maka ia telah kafir. Siapa yang masih membenarkan, namun tidak berhukum dengannya maka ia zalim lagi fasik”. Alasan Ibnu Abbas adalah siapa yang ingkar dengan hukum Allah setelah ia mengetahui bahwa Allah telah menetapkan dalam kitab-Nya, hal tersebut sama saja dengan mengingkari kenabian Nabi Muhammad, padahal ia mengetahui bahwa beliau adalah seorang Nabi.


Imam Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jaami’ li ahkam al-Quran menyatakan:

قوله تعالى"ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون"و"الظالمون"و"الفاسقون"نزلت كلها في الكفار، ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء وقد تقدم وعلى هذا المعظم، فاما المسلم فلا يكفر وان ارتكب كبيرة، وقيل فيه ومن لم يحكم بما انزل الله ردا للقران وجحدا لقول الرسول عليه الصلاة والسلام فهو كافر، قال ابن عباس ومجاهد . فالاية عامة على هذا، قال ابن مسعود والحسن هي عامة في كل من لم يحكم بما انزل الله من المسلمين واليهود والكفار اي معتقدا ذلك ومستحلا له. فاما من فعل ذلك وهو معتقد انه راكب محرم فهو من فساق المسلمين وامره الى الله ان شاء عذبه وان شاء غفر له

Intinya: seorang muslim, Yahudi atau orang kafir yang tidak berhukum dengan hukum Allah diiringi dengan keyakinan penolakannya maka ia kafir. Sedang kaum muslimin yang meyakini bahwa saat ia tidak menerapkan hukum Allah berarti ia melakukan keharaman maka dia dinyatakan sebagai muslim yang fasiq. Maka urusannya ada di tangan Allah. Allah ta’ala bisa menyiksanya atau mengampuninya, sesuai kehendaknya. Ini merupakan pendapat Ibn Mas’ud dan al Hasan.


Selesai ditulis pada hari Senin, 18 Dzulhijjah 1445 H/ 24 Juni 2024

Merujuk dari soal jawab al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta’ala pada 22 Rabi’ul Tsani 1381 H/2 Oktober 1961

Tuesday, July 16, 2024

Apakah Negara Islam Menindas Non Muslim ?

 Apakah Negara Islam Menindas Non Muslim ?


Oleh: Moh. Rizky Nur Hidayat


Wacana penegakan negara Islam sering kali mendapat respon negatif, isu yang berkembang adalah negara Islam dipahami sebagai sistem yang menganut kerakyatan yang tunggal, yaitu penyeragam agama, pada akhirnya non Muslim akan menjadi warga kelas dua, disamping mendapat tekanan untuk berpindah agama. Akibatnya, Formulasi syariat Islam dianggap berkonfrontasi dengan keragaman dan kebinekaan. 


Beragam narasi kebencian adalah bentuk kesalahpahaman atas konsepsi daulah Islam.  Realitasnya dalam sejarah,  Negara Islam memiliki masyarakat yang hetregon dari beragam etnis dan agama, Islam memberikan jaminan istimewa kepada minoritas. Tidak terdapat tindakan menelantarkan dan mendiskriminasi, Eksistensi Non Muslim  tidak hanya digambarkan memiliki kebebasan dan kesejahteraan, namun juga ikut serta dalam institusi pemerintahan dan penelitian yang menjadi sumbangsih Kekhalifahan menuju zaman keemasan.


1. Populasi Majemuk Dalam Negara Islam


Interaksi antara muslim dan non muslim telah terjadi sejak awal berdiri Negara Islam. Konstitusi pertama Islam dalam Piagam Madinah mewakili bentuk masyarakat heterogen, terdapat komunitas Yahudi, Kristen, dan Pagan. Ibn Ishaq  mencatat kesepakatan ini dibuat dengan melibatkan 13 suku berbeda, diantaranya 1.) Islam dari Quraisy 2) Islam dari Yastrib 3) Yahudi dari Suku Aus 4)  Yahudi dari Suku Sa’idah 5) Yahudi dari Suku Harits  6) Yahudi dari Jusyam 7) Yahudi dari suku Tsalabah 8. Yahudi dari suku Jafnah 9)  suku Sutaybah 10) Yahudi dari suku Aus 11) Yahudi dari suku Auf 12) suku Nabit 13) Yahudi dari suku Najar. Secara keseluruhan konstitusi ini memuat tentang asas toleransi, kewenangan warga negara dan implementasi untuk mencapai tujuan konstitusi. Negara dituntut untuk menjaga dan melindungi seluruh keyakinan, harta benda, kehormatan, akal dan kehidupan. Setiap warga negara Dar Islam memiliki hak dan kewajiban setara dimata hukum, struktur beragam ini mendapat pengakuan dari Muhammad.  


Jalinan kerukunan beragama di Madinah sangat dominan, sikap toleransi pasif tumbuh dari kesadaran individual tanpa intervensi pihak manapun, dengan membiarkan aktivitas ibadah dapat diekspresikan oleh semua pihak. Bentuk implementasi pasif adalah Negara Islam melegalkan fasilitas Baitul Midras di Yatsrib yang berfungsi sebagai studi pelajar Yahudi dalam mempelajari tradisi Ibrani dan Torah disamping digunakan menjadi tempat ritual ibadah. Muhammad SAW juga memberikan kewenangan kepada komunitas Yahudi untuk mengimplementasikan hukum Musa dalam perkara Pidana seperti rajam dan qisash. Dalam berbagai bidang, Negara Islam mengembangkan ekonomi, sosial dan politik secara bersama-sama.


Setelah Nabi Muhammad wafat, kepemimpinan bergulir kepada Khalifah Islam yang memiliki otoritas dalam mengatur kewenangan politik dan menjaga agama. Kekhalifahan Arab secara mengejutkan hadir ditengah dua imperium raksasa besar, Majusi Persia dan Kristen Byzantium. Bangsa Arab dan kaum Badui pedalaman, tinggal dipadang gurun yang tidak diperhitungkan, menjelma menjadi pasukan besar yang menaklukan Afrika, Suriah dan Mesir. Selanjutnya, Kekhalifahan Ummayah meneruskan ekspansi militer ke wilayah Transoxiana, India, Maroko, dan Semanjung Iberia (Spanyol). Pada puncak keemasannya, Kekhalifahan Ummayah memiliki luas 11, 100,  000 km dengan populasi masyarakat sekitar 33 juta. Bani Ummayah mengatur masyarakat yang multikultural dan multietnis. Populasi tertinggi, adalah penganut agama Kristen. Tidak jatuh dari Kekhalifahan Ottoman, dengan populasi sekitar 35.350.000  pada tahun 1883. Demografi diatas mencakup kepadatan penduduk, etnis, dan agama. Terdapat beragam etnis yang hidup di negeri Khilafah, mencakup etnis Kurdi, Arab, Turki, Armenia, Yunani, Slavia, Albania, Rusia, Afrika dan lain-lain. Keberagaman ini di apresiasi oleh Lucy Mary Jane  Garnett “Tidak ada negara didunia yang memiliki populasi yang begitu heterogen seperti Turki (Ustmani)”Turkey of the Ottomans, Lucy Mary Garnett (G. P. Putnam’s Sons: 1915), 1


Hak Beragama Dan Jaminan Kelangsungan Hidup


Dalam literatur fiqih, dzimmi memiliki hak istimewa dalam struktur Negara Islam. Minoritas, diberikan kebebasan menjalankan agama tanpa intervensi dari pemerintah. Negara Islam tidak berhak melarang serta memaksa non muslim untuk berpindah keyakinan.  Umar ibn Khattab berhasil menaklukan kota-kota Persia dengan jalur militer dan membuat tatanan pemerintahan,  keadilan Islam dalam memperlakukan wilayah taklukan non muslim dengan bijak, dikenal luas dibelahan dunia. 


Catatan Yohanes dari Niku Crhonicle of John (690 M) Orang-orang Koptik menyambut pasukan Arab untuk menaklukan kota Alexandria, mereka menyerah dengan memberikan jizyah sebagai bentuk ketundukan dengan negoisasi pembebasan 150 tentara dan warga sipil.  Negara Islam tetap mengizinkan komunitas Yahudi tinggal di Alexandria dan tidak menghancurkan Gereja-Gereja Kristen.


April 637 M, Santo. Sophronius sebagai Patriakh Yerusalem mengundang Umar ibn Khattab untuk datang ke Yerusalem, St. Sofrnoius terkagum dengan kesederhanaan Umar yang datang mengenakan pakaian sederhana dan menggunakan satu keledai yang ditunggangi secara berganti dengan pelayannya, tidak terdapat tanda-tanda kemewahan pada raja Arab. St Sofronius memberikan Yerusalem dan kunci gereja makam Kudus dengan Sukarela kepada Umar bin Khattab tanpa terjadinya pertumpahan darah dan menjadikan kiblat komunitas Salib dan Yahudi berada dalam naungan Daulah Islam dengan membayar rutin jizyah. Latar belakang penyerahan Yerusalem bukan tanpa alasan, Simon Monte Montefiore menyebutkan bahwa “orang-orang Kristen Monosifit, yang mayoritas penduduk palestina, membenci orang-orang Byzantium dan tampaknya para pemeluk Islam awal itu senang memberikan kebebasan beribadah kepada sesama penganut monoteisme itu.”  Jerusalem The Biography, Simon Sebag Montefiore (Pustaka Alvabet: Jakarta, 2012), 222. 


Bentuk praktisi spiritual tidak dilarang, Komunitas Kristen dapat menjalankan perayaan Paskah dan Natal sesuai keyakinan yang dianutnya. Umat Islam tidak berhak melarang atau menganggu non muslim. Bentuk toleransi Kekhilafahan Islam menbuat Islam diterima diseluruh belahan dunia, kekuasaan Umat Muhammad membentang dari ujung timur dan barat.


Memahami Negara Islam sebagai bentuk negara yang penduduknya seratus persen Muslim tidak berdasar. Faktanya, Khilafah Islamiyyah tumbuh bersama dengan beragam etnis dan agama. Penuh dengan toleransi dan keragaman, Syariat yang diturunkan Allah merupakan syariat yang adil, tidak mungkin aturan Allah berlaku dzalim terhadap manusia. 


Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)."(QS: Al-Baqarah Ayat 256)

Jangan Salah ! Beda Antara Futuhat dan Penjajahan



Jangan Salah ! Beda Antara Futuhat dan Penjajahan


Dulu waktu saya mempresentasikan mapel sejarah, niat hati mau gaul keminggris make istilah “invansi” untuk kata ganti perluasan wilayah Islam, akhirnya sebagai murid ditegurlah oleh guru saya. Sejak saat itu saya sadar kalau Invansi dan futuhat memang berbeda.


Lalu apa bedanya invansi dengan futuhat ?

Jadi yang pertama-tama futuhat dengan invansi itu berbeda, baik dari segi filosofis, istilah maupun dampaknya. Buku-buku Islam senantiasa make istilah futuhat, yang kalau diterjemahkan artinya pembebasan atau pembukaan, sedangkan penjajahan maupun invansi lebih identik aksi militer terhadap suatu wilayah dengan kekerasan. Lalu emang futuhat tidak ada kekerasan ? 

Perlu dipahami, perang itu beririsan dengan futuhat namun tidak selalu futuhat itu beresensi dengan kekerasan. (Futuhat dilakukan dengan serangkaian aturan ketat, sesuai Syariat seperti dilarang merusak pohon, membunuh wanita, anak-anak dan pendeta, dll) Istilah Futuhat pertama kali digunakan dalam perjanjian Hudaibiyyah, yang itu nggak ada sama sekali kekerasan dan peristiwa paling fenomenal dalam sejarah Islam itu dinamakan Fathul Makkah, dimana 10.000 tentara kaum Muslimin memasuki Makkah dengan damai nyaris tanpa kekerasan, Nabi Muhammad bisa saja saat itu menghabisi semua orang Makkah yang waktu itu kondisinya lagi lemah, tapi Nabi kita nggak seperti Jenghis Khan kok. Padahal 10 tahun lalu Nabi diusir dari tanah kelahirannya dan pengikutnya disiksa. Kebaikan inilah yang membuat orang-orang Makkah tergerak hatinya dan menyerahkan jiwanya kepada Islam. Usai wafatnya Nabi Muhammad, alih-alih orang-orang Makkah murtad, justru mereka melanjutkan dan menyebarkannya keseluruh dunia.


Motif Futuhat tentu berbeda dengan motif Invansi, futuhat dilandasi jihad dan dakwah menyebarkan cahaya Islam keseluruh wilayah, sedangkan invansi lebih cenderung kapitalis, memperkaya pusat kekuasaan dengan menghisap sumber daya alam wilayah yang terjajah. Anda bisa melihat bagaimana ketika Khilafah membebaskan Andalusia, Spanyol. Lalu kemudian apakah harta-harta dan sumber daya orang spanyol dirampas diambil untuk dikirim ke pusat kota Khilafah yang saat itu di Baghdad ? Jelas tidak. Harta-harta masyarakat baik dari Jizyah (pajak non muslim) maupun zakat diolah dan diperdayakan untuk kepentingan negeri Andalusia sendiri. Sampai-sampai Andalusia menjadi peradaban gemilang dengan ilmu pengetahuannya. Beda dengan penjajahan, emas, cengkeh dan rempah-rempah Asia justru digunakan untuk memperindah Pusat Kota Inggris dan Belanda. Sedangkan negeri Asia dan Afrika yang saat itu dijajah justru mengalami kehancuran dan mewariskan kemiskinan pada wilayah yang dijajah. Ideologi kapitalis, penjajahan cenderung ekspolitatif, dan saya kira tidak ada yang mengingkari ini. Bisa dipastikan kok, negara-negara penjajah tentu lebih kaya dan makmur dibanding wilayah yang terjajah.


Negeri-negeri yang difutuhat oleh wilayah Islam, diberikan kekuasaan orang-orang lokal untuk memimpin wilayah secara bebas dengan standart hukum Allah. Berbeda dengan penjajahan yang membatasi kekuasaan raja-raja lokal. Lord Darmounth, misalnya, menteri kolonial Kerajaan Inggris, “Kami tidak akan pernah membiarkan wilayah-wilayah koloni tersebut merintangi sebuah aktivitas perdagangan yang bermanfaat bagi bangsa (Inggris).”


Tidak heran apabila St. Sofronius, Uskup Agung Kristen melepaskan diri dari Romawi dan justru memilih dipimpin oleh Khilafah, dia mengundang Umar bin Kattab dan menyerahkan kunci Palestina secara damai. Futuhat Spanyol juga bukan berupa peperangan antara Muslim dan Kristen, tapi antara Muslim dan rakyat Kristen Moor yang terdzalimi bahu membahu melawan tirani Raja Kristen. Umat Kristen di Spanyol justru mengundang orang Muslim untuk menaklukan wilayahnya karena pajak yang tinggi dan kedzaliman-kedzaliman penguasa. Sebelum Konstantinopel ditaklukan, Gereja Katolik berjanji akan melindungi konstantinopel dari serangan Islam dengan syarat kalau Umat Kristen Ortodox mau satu gereja dan dipaksa mengikuti ritual keagamaan Katolik, makanya muncul ungkapan dari pendeta mereka “lebih baik melihat surban turki daripada topi romawi.” Bebasnya Konstantinopel oleh Turki Ustmani. Justru disambut baik oleh umat Kristen Ortodox karena mereka bisa beribadah bebas kembali. Futuhat tidak hanya membebaskan belenggu mereka dari raja-raja dzalim yang berkuasa tetapi juga membebaskan jiwa mereka akan iman dan Islam.  Selengkapnya tentang non muslim dinegeri Islam

 https://www.facebook.com/share/wDAse8wjh1HtDreA/?mibextid=QwDbR1


Ulama Islam, al-Baladzuri (892 M) menulis kitab Futuhat Buldan, yang menuliskan betapa gemilangnya peradaban Islam selama 100 tahun berhasil menaklukan dari Asia hingga ke Eropa.

Monday, July 8, 2024

Makna politik hijrah Nabi SAW

 Makna politik hijrah Nabi SAW


Apa yang mendorong Rasulullah saw beserta para sahabatnya dakwah ke Madinah?


Setidaknya ada dua hal: Dakwah Islam dan pendirian Daulah Islamiyyah. Keduanya ada di Madinah. Mereka siap untuk menerima dakwah Rasululullah saw dan menjadikan wilayah mereka sebagai negara Islam dengan Rasulullah saw sebagai pemimpinnya. Itulah yang mendorong hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. 


Apakah kedua hal itu tidak dijumpai di Makkah?

Bisa dikatakan tidak ada. Sebagaimana kita ketahui, setelah bertahun-tahun Rasulullah saw mendakwahi mereka, mengajak mereka kepada Islam, dan meninggalkan aqidah beserta tatanan hidup mereka yang rusak, hanya sedikit di antara mereka yang menerima. Sebagian besar menolak. Bahkan mereka melakukan berbagai tindakan jahat untuk menghalangi dakwah. Terlebih setelah kematian paman beliau, Abu Thalib yang senantiasa melindungi dakwah. Sikap mereka semakin keras dan beringas.

Menghadapi kondisi masyarakat yang jumud dan membatu seperti itu, maka harus dicari lahan baru yang bisa menerima dakwah. Maka Rasulullah saw datang ke Thaif untuk menawarkan Islam kepada mereka. Namun mereka menolak beliau dengan sangat kasar dan tidak beradab. 

Beliau kemudian mendatangi kabilah-kabilah lainnya. Di antaranya adalah Bani Kindah, Bani Bani Amir bi Sha’sha’ah, Bani Kilab, dan Bani Hanifah. Mereka juga menolak seruan dakwah.  Bahkan ada yang menolak beliau dengan cara sangat kasar, seperti yang dilakukan oleh Bani Hanifah.


Dan itu ada di Madinah?


 Ya. Setelah mendapatkan penolakan di sana sini, akhirnya beliau bertemu dengan orang-orang Khazraj dari Madinah. Setelah terjadi dialog, mereka pun menyatakan masuk Islam. Mereka akan berjanji menyampaikan Islam kepada keluarga, tetangga, dan orang-orang Madinah. Ternyata mendapatkan sambutan yang luas. Tahun berikutnya ketika Musim Haji, mereka datang dengan rombongan lebih banyak. Terjadilan Bai’ah Aqabah pertama. Setelah mereka pulang, Rasulullah saw mengirim Mush’ab bin Umair untuk mengajarkan Islam di sana.  Tidak ada rumah kecuali membicarakan Islam dan Rasulullah saw. Tak hanya rakyat jelata, banyak tokoh dan pemimpin mereka juga masuk Islam. Penerimaan terhadap dakwah yang besar. Tidak ada penganiayaan terahadap kaum Muslimin. Hanya dalam setahun, dakwah Islam mengalami perkembangan yang amat pesat. Bahkan melebihi Makkah yang sudah didakwahi bertahun-tahun.

 Dengan demikian, Madinah jauh lebih layak dibandingkan Makkah untuk pengembangan dakwah Islam. Masyarakat Madinah lebih berpotensi sebagai tempat terpancarnya cahaya Islam daripada Makkah.

Hingga pada musim haji kedua, terjadilah Bai’ah Aqabah yang kedua. Para pemimpin dan tokoh Kabilah Khajraj dan Aus itu melakukan bai’ah terhadap Rasulullah saw. Di antara hal yang amat penting dalam baiat itu adalah kesediaan mereka untuk mendengar dan taat kepada beliau dalam keadaan apapun. Juga rela berperang untuk menjaga, melindungi, dan membela Nabi saw. Itu berarti telah terjadi penyerahan kepemimpinan dari mereka kepada Rasulullah saw. 

Setelah Rasulullah saw hijrah, maka tampuk kekuasaan langsung dipegang oleh beliau. Dengan begitu, Madinah menjadi Daulah Islamiyyah. Sebuah negara yang menerapkan Islam di kehidupan dan mengembannya ke seluruh dunia. Negara itu pula yang akan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi dakwah dan penerapan Islam.

Itulah yang mendorong hijrahnya Rasulullah ke Madinah: penerimaan terhadap dakwah dan kesiapan bagi pendirian Daulah Islamiyyah. Di sanalah cikal bakal Daulah Islamiyyah berdiri. Islam tegak dan dijalankan dengan sempurna. Dakwah pun berkembang cepat. Bahkan, Makkah yang sebelumnya menghalangi dakwah pun dapat dengan mudah dapat ditaklukkan. Penduduknya masuk Islam berbondong-bondong. Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, seluruh Jazirah Islam berada dalam kekuasaan Islam.


Jadi bukan karena Rasulullah saw takut dan menghindari intimidasi persekusi dari kaum kafir Quraisy?

 Bukan. 


Mengapa?  


Kalau itu yang menjadi sebabnya, niscaya beliau sudah lama meninggalkan kota Makkah. Nyatanya tidak. Bertahun-tahun beliau dan para sahabatnya mendapatkan ancaman, intimidasi, teror, pemboikotan, dan lain-lain. Namun semua itu tidak melemahkan beliau sedikit pun dalam berdakwah. Langkah beliau tidak surut. Beliau sama sekali tidak mempertimbangkan penderitaan dan mengkhawatirkan kematian. Sebaliknya, beliau sangat yakin dengan pertolongan Allah Swt.  

Namun juga harus diingat, melanjutkan dan mempertahankan dakwah kepada masyarakat yang sudah jumud dan membatu, tidak akan membuahkan hasil yang banyak. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah. Bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan.

 

Bukankah malam sebelum beliau hijrah, rumahnya dikepung oleh para pemuda dari berbagai kabilah untuk membunuh beliau? 

Peristiwa itu memang benar. Namun bukan itu yang menyebabkan beliau hijrah. Sebelumnya beliau sudah memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah terlebih dahulu. Sedangkan beliau menunggu perintah dari Allah Swt untuk hijrah. Ini bisa diketahui dari jawaban Rasulullah saw ketika Sayyidina Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk hijrah ke Madinah. Beliau bersabda, “Janganlah kau terburu-buru. Semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.”

Hingga suatu hari beliau diberi tahu oleh Jibril untuk segera hijrah malam itu setelah orang-orang Musyrik bersepakat untuk membunuh beliau. Keputusan mereka itu harus dibaca sebagai ketakutan mereka terhadap hijrahnya Nabi saw. Sebab, setelah banyak umat Islam yang hijrah ke Madinah, mereka amat khawatir jika itu akan mengokohkan dakwah Islam. Terlebih jika Rasulullah saw ikut hijrah dan membangun kekuatan di Madinah. Maka itu akan menjadi kecelakaan besar dan kehancuran bagi kafir Quraisy. 

Atas perhitungan itulah, maka kafir Quraisy memutuskan membunuh beliau agar tidak sempat menyusul kaum Muslim di Madinah.


Jadi, hijrahnya Rasulullah semata-mata hanya menjalankan perintah Allah dalam rangka berlangsungnya dakwah dan menegakkan Daulah Islam di Madinah ya Tadz?

 Ya, benar. 


Mendirikan negara itukan ada kondisi sunnatullah yang perlu dipersiapkan. Apa dilakukan Rasulullah saw sebelum hijrah?


 Pertama, mempersiapkan masyarakat Madinah untuk menerima Islam sepenuhnya. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Untuk itu, beliau mengutus Mush’ab ke Madinah. Tugasnya membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi pemahaman agama kepada mereka. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim

Dalam jangka setahun, Mush’ab mampu  membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan berhala kepada tauhid dan keimanan. Demikian juga perasaan mereka, sehingga membenci kekufuran beserta semua perilakunya. 

Kedua, mengokohkan dukungan dan loyalitas para tokoh dan pemimpin mereka. Ini juga dilakukan oleh Mush’ab. Beliau mampu mendakwahi Usai bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz, dan lain-lain. Mereka adalah para pemimpin di tengah kaumnya. Para pemimpin inilah yang kemudian menyerahkan kepemimpinannya kepada Rasulullah saw pada Bai’ah Aqabah yang kedua. 

Karena kesiapan dua hal tersebut, maka ketika Rasulullah saw sampai di Madinah, langsung diterima sebagai pemimpin mereka. Maka berdirilah sebuah daulah dengan Rasululullah saw sebagai kepala negaranya. 


Jadi Rasulullah SAW secara sunnatullah sudah mempersiapkan kondisi-kondisi politik untuk tegaknya Daulah Islam di Madinah ya Tadz?

 Ya, benar. 


Dalam konteks sekarang, pemahaman dan spirit apa yang harus kaum muslimin lakukan dengan adanya peristiwa hijrah ini?


 Pertama, penerapan syariah secara kaffah membutuhkan negara. Tak mungkin Islam diterapkan secara kaffah tanpa ada daulah. Untuk itu diperlukan adanya penerimaan dari masyarakatnya. Agar bisa diterima, maka dilakukan dakwah terus menerus hingga terjadi perubahan mendasar pada pemikiran dan perasaan mereka. Jika sebelumnya pemikirannya tidak Islami, harus dirombak menjadi Islami. Jika sebelumnya perasaannya menyukai kekufuran, harus diubah menjadi perasaan yang mencintai Islam dan membenci kekufuran.

 Kedua, ketika dakwah di sebuah masyarakat mengalami kejumudan, maka harus dilakukan perluasan dakwah kepada masyarakat lainnya yang lebih berpotensi untuk menerima dakwah dan lebih siap menjadi cikal bakal berdirinya Daulah Islamiyyah. Tidak boleh mematok dakwah hanya di masyarakat tertentu dan mau berpindah kepada masyarakat lainnya. 

 Ketiga, 


Dalam konteks amal, apa yang harus kita perjuangkan saat ini?


 Setelah hijrah, umat Islam memiliki negara. Islam adalah hukum yang diberlakukannya. Kekuasaannya dipegang oleh Rasulullah saw. Sejak itu, perubahan besar terjadi kondisi umat Islam. Jika sebelumnya mereka lemah dan tertindas, umat Islam menjadi umat yang kuat dan mulia. Keunggulan dan kehebatan Islam dapat disaksikan oleh setiap orng lantaran diterapkan dalam kehidupan nyata oleh negara. 

 Keadaan itu terus berlangsung, sekalipun umat ini ditinggal Rasulullah saw. Sebab, setelah beliau wafat, segera kekuasaan dilanjutkan oleh Sayyidina Abu Bakar ra dan para khalifah berikutnya. Itu berlangsung sekitar 13 abad hingga Khilafah Utsmaniyyah diruntuhkan oleh Musthafa Kemal dan negara-negara kafir penjajah. 

 Sejak saat itu, kaum Muslimin nasibnya seperti anak-anak yatim. Lihatlah Palestina, Suriah, Rohingya, Afghanistan, Irak, dan lain-lain. Semuanya menderita karena tidak ada institusi yang melindunginya. 

 Islam juga tidak bisa ditegakkan secara kaffah. Negara-negara yang menaungi mereka bukan saja tidak memberlakukan syariah, namun bahkan memusuhi dan memerangi siapa pun yang berjuang menegakkan. 

 Oleh karena itu, siapa pun yang menginginkan keadaan Islam dan umatnya sebagaimana pasca hijrahnya Rasulullah saw, maka harus mencotonh apa yang dikerjakan oleh beliau.


Bagaimana sikap kita dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam perjuangan saat ini Ust?


 Pertama, harus sabar dalam dakwah. Jika kita bicara tantangan dan hambatan, maka itu juga dialami oleh Rasulullah saw. Bahkan, semua rasul. Dalam menghadapi semua itu, Allah Swt memerintahkan mereka untuk bersabar. Ini disebutkan dalam banyak ayat. Juga mengokohkan sikap istiqamah. Tidak berpaling, bergeser, atau mundur dari dakwah apa pun yang terjadi.

 Sikap tersebut hanya bisa terjadi ketika memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat. Yakin bahwa tidak ada yang bisa menimpakan musibah kepadanya kecuali dengan izin Allah Swt. Yakin bahwa semua orang yang memusuhi agama-Nya pasti akan binasa dalam keadaan hina. Yakin bahwa pertolongan Allah Swt pasti akan tiba. Yakin bahwa amalnya akan mendapatkan pahala yang besar dan balasan surga. Dengan keyakinan tersebut, maka sebesar apa pun ancaman dan intimidasi terhadapnya tidak akan berpengaruh.

 Kedua, tetap terikat kuat dengan thariqah atau metode dakwah Rasulullah saw. Apa pu tantangan dan hambatannya, tidak membuat kita bergeser sedikit pun dari thariqahnya. Sebab, thariqah itulah yang disyariahkan sehingga wajib diikuti dan dicontoh. Thariqah itu pula yang terbukti nyata mengantarkan kepada keberhasilan. Berhasil menegakkan Daulah Islam. Maka siapa pun yang mendapatkan pahala dalam perjuangannya dan memperoleh keberhasilan sebagaimana Rasulullah saw, maka ikutilah thariqahnya.  

 Inilah setidaknya yang harus kita lakukan dalam mendakwahkan agama-Nya dan menghadapi tantangan dan hambatan dakwah.

Sunday, June 16, 2024

PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?

 *PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?*


*Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*


https://romliabulwafa.blogspot.com/2024/06/puasa-arafah-disyariatkan-tahun-ke-2.html?m=1


*Tanya :*

Ustadz, ada yang mengatakan bahwa puasa Arafah itu tidak terkait wukufnya jamaah haji di Arafah. Jadi definisi puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, baik bertepatan atau tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Alasannya, puasa Arafah disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah sedangkan wukuf di Arafah baru disyariatkan tahun ke-9 hijriyah saat Nabi SAW melaksanakan haji wada’. Bagaimana Ustadz, mohon penjelasannya? (Abdurrahman, Yogyakarta).


Ustadz, ada yang bilang bahwa Nabi SAW disebut melakukan puasa Arafah tanpa ada yang wukuf sehingga menjadi dalil puasa Arafah tidak terikat aktivitas (yaitu wukuf) dan tempat (yaitu Padang Arafah). Apakah itu bisa jadi dalil, Ustadz? Afwan Ustadz, saya 'curious' dengan argumentasi yang dibangun oleh sebagian pihak ini karena mungkin saya perlu juga insights dari Ustadz Shiddiq terkait dalil-dalil yang dipakai dalam tulisan mereka. (Ahmad Hanafi Rais, Yogyakarta).


*Jawab :*

Memang ada ulama yang berpendapat demikian, dan ada dalilnya dari hadits Nabi SAW bahwa beliau telah berpuasa Arafah sejak tahun ke-2 Hijriyah, padahal saat itu wukuf di Padang Arafah belum disyariatkan, karena Wukuf di Arafah baru disyariatkan dan dilaksanakan oleh Nabi SAW pada tahun ke-10 Hijriyah saat Nabi SAW melakukan haji Wada’. Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :


عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْن »(85) أخرجه أبو داود في «سننه»، كتاب الصوم، باب في صوم العشر (2/815)، رقم (2437)، وصححه الألباني، انظر: «صحيح أبي داود» (7/196)، رقم (2106).


Dari Hunaidah bin Khalid RA, dari isterinya, dari sebagian isteri-isteri Nabi SAW, dia berkata, "Rasulullah SAW (terbiasa) melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan puasa tiga hari pada tiap bulan dan hari Senin dan hari Kamis setiap awal bulan." (HR. Abu Dawud, dalam _Sunan Abū Dāwud,_ Bab Al-Shaum, Juz II, hlm. 815, nomor hadits 2437. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani, dalam _Shahīh Abū Dāwud,_ (7/196), nomor 2106).


Hadits ini dipahami dengan _wajhul istidlāl_ (cara penarikan kesimpulan hukum dari dalilnya) sebagai berikut : 


وَجْهَ الِاسْتِدْلالِ : أَنَّ زَوْجَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ذَكَرُتْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَصومُ تِسْعَ ذِي الحِجَّةِ ، وَهَذَا بِلَا رَيْبٍ كَانَ قَبْلَ حَجَّةِ الوَدَاعِ ، وَلَفْظَ « كَانَ » يَدُلُّ عَلَى الِاسْتِمْرارِ ، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى وَقْفَةَ النّاسِ بِعَرَفَةَ. (أبو محمد أحمد بن محمد بن خليل، النور الساطع من أفق الطوالع في تحديد يوم عرفة إذا اختلفت المطالع، ص 9)


“*Wajhul Istidlāl* : isteri-isteri Nabi SAW menyebutkan bahwa beliau telah terbiasa berpuasa pada tanggal kesembilan hijriyah pada bulan Dzulhijjah, dan tak ada keraguan lagi ini puasanya Nabi SAW ini terjadi sebelum Haji Wada’ (ketika wukuf baru disyariatkan), dan lafazh (كَانَ) (kāna) menunjukkan terus berlangsungnya puasa yang telah dilakukan Nabi SAW (sebelum haji Wada’), dan tidak sampai kepada kita berita dari Nabi SAW bahwa beliau memantau lebih dulu terjadinya wukuf yang dilakukan oleh jamaah haji di Arafah.” (Lihat : Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 9). 

(Lihat https://ketabpedia.com/تحميل/النور-الساطع-من-أفق-الطوالع-في-تحديد-ي-3/)


Dari dalil semacam inilah, sebagian ulama kemudian menyimpulkan definisi puasa hari Arafah yang tidak dikaitkan dengan terjadinya wukuf di Arafah. Hari Arafah akhirnya didefinisikan sebagai berikut :


يَوْمُ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمَ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ سَواَءٌ واَفَقَ هَذَا الْيَوْمُ وَقْفَةَ الْحاَجِّ بِعَرَفَةَ أَمْ لَمْ يَواَفِقْهُ، وَأَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ


“Hari Arafah adalah hari (tanggal) ke-9 bulan Dzulhijjah, baik hari itu bertepatan maupun tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, dan bahwa setiap-tiap negeri mempunyai rukyatnya masing-masing.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 6). (lihat : https://almoslim.net/node/281621).


Namun pendapat ini bagi kami kurang tepat _(ghayru sadīd),_ dengan 2 (dua) argumentasi sebagai berikut :


*Pertama*, memang benar, puasa Arafah yang dilakukan Nabi SAW sejak tahun ke-2 H hingga sebelum Haji Wada’ tahun ke-10 H, tidak dikaitkan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Tetapi fakta ini tidak dapat dijadikan dalil, karena proses _tasyrī’_ (pembentukan hukumnya) untuk hukum puasa ‘Arafah ini memang belum selesai (final). Proses pembentukan hukum puasa ‘Arafah baru selesai (final) saat Nabi SAW dan para shahabat Nabi SAW berwukuf di Arafah saat Haji Wada’ tahun ke-10 H. 


Pada saat itulah, terjadi kaitan atau hubungan _(al-irtibāth)_ antara puasa hari Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, yang sebelumnya tidak ada. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits, pada saat wukuf di Arafah yang dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H itu, di antara para shahabat Nabi SAW terjadi perdebatan apakah Nabi SAW berpuasa hari Arafah saat berwukuf di Arafah itu ataukah beliau berbuka (tidak berpuasa). Melihat perdebatan itu, lalu Ummu Al-Fadhl (ibunda Ibnu ‘Abbas RA) mengirimkan satu wadah berisi air susu kepada Nabi SAW melalui Ibnu ‘Abbas RA. Nabi SAW yang saat itu sedang duduk di atas unta, kemudian meminum air susu itu. Ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada umum bahwa mereka yang sedang menjalankan ibadah haji di Arafah, tidak disunnahkan berpuasa Arafah. (HR Al-Bukhari, no. 1661; Muslim, no.1123).


Dengan demikian, pada saat Haji Wada’ tahun ke-10 H itulah terbentuk ikatan antara puasa hari Arafah dengan wukuf di Padang Arafah, yang sebelumnya ikatan itu tidak ada. Maka dari itu, dan sejak saat itu, puasa Arafah tidak dapat lagi didefinisikan hanya berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, namun haruslah didefinisikan berpuasa pada tanggal ke-9 Dzulhijjah, yang harinya bertepatan dengan hari wukufnya jamaah haji di Padang Arafah.


Jadi kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berhujjah bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah tanpa ada wukuf di Arafah. Ini memang benar, tapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), karena tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa hari Arafah belum selesai. Pada saat Haji Wada’ di tahun ke-10 H itulah, baru selesai dan final tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa Arafah, yang akhirnya mengkaitkan puasa Arafah tidak hanya dengan aspek waktu (tanggal 9 Dzulhijjah) namun juga dikaitkan dengan aktivitas, yaitu wukufnya jamaah haji di Arafah, yang sebelumnya puasa hari Arafah dilaksanakan tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah.     


Analoginya kurang lebih sama dengan tahapan-tahapan pensyariatan hukum untuk khamr dan riba, yang awalnya tidak diharamkan, tapi pada akhirnya, kedua hal itu diharamkan secara bertahap _(gradual/tadarruj)._ Menurut Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya _At-Tibyān fi ‘Ulūmil Qur`ān,_ pengharaman khamr terjadi dalam 4 (empat) tahapan sebagai berikut; 

(1). Tahap kesatu, awalnya khamar dibolehkan, sesuai QS An-Nahl : 67; 

(2). Tahap kedua, turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamr karena mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya, sesuai QS Al-Baqarah : 219; 

(3) Tahap ketiga, turun ayat yang melarang khamr pada satu waktu (pada waktu sholat), namun masih dibolehkan pada waktu lainnya (di luar sholat), sesuai QS An-Nisā` : 43; 

(4) tahap keempat, tahap final, yaitu khamr diharamkan secara total, sesuai QS Al-Maidah : 90-91. (Muhammad ‘Ali Ash-Shābūnī, _At-Tibyān fī ‘Ulūmil Qur`ān,_ hlm. 23-25).


Berdasarkan empat tahapan itu, tentu yang berlaku untuk umat Islam sekarang hingga Hari Kiamat nanti, adalah hukum yang terakhir yang sudah final untuk khamr, yaitu hukum haram, berdasarkan QS Al-Mai`dah : 90-91. Kita tidak boleh lagi minum khamr dengan cara _setback_ atau mundur ke belakang dan berhujjah dengan ayat-ayat yang belum mengharamkan khamr secara tegas. 


Maka demikian pula, kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berpuasa Arafah tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah, dengan dalih bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah sementara wukuf di Arafah belum disyariatkan. Yang berlaku bagi umat Islam hingga Hari Kiamat tentunya adalah hukum terakhir, yaitu sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, yang mengkaitkan hari Arafah dengan wukuf di Arafah. Jadi, definisi syar'i yang lebih shahih untuk "Hari Arafah" _(yauma 'Arafah)_ adalah :


يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ


“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” _(yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzī yaqifu fīhi al hajīj bi-'arafah)._


Definisi inilah yang dianggap kuat _(rājih)_ oleh _Al-Lajnah Ad-Dāimah Lil Buhūts Al-'Ilmiyyah wal Iftā`_ (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul ‘Azīz bin Bāz. Definisi ini juga yang dipilih oleh _Lajnah Al-Iftā Al-Mashriyyah_ (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Husamuddin 'Ifanah, guru besar fiqih dari Al-Quds, Yerussalem, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 3).


*Kedua,* pendapat bahwa puasa Arafah itu yang penting patokan tanggalnya, yakni tanggal 9 Dzulhijjah, baik berbarengan dengan wukuf maupun tidak, telah mengabaikan (untuk tidak mengatakan melawan) nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah. Di antaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ : 


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ


"Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (HR. Al-Baihaqi, _Sunan Al-Baihaqi,_ Juz V, hlm.176). 


Yang dimaksud dengan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut adalah :


أَيْ : يَوْمَ تَقِفُوْنَ بِعَرَفَةَ


“Maksudnya : hari yang kalian berwukuf di Arafah.” (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm.18).


Dalam kitab _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ Syekh ‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari menafsirkan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut dengan makna yang sama, ketika beliau berkata :


أَنَّ الْمُراَدَ بِيَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الناَّسُ بِعَرَفَةَ


“Bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah, adalah hari yang orang-orang melakukan wukuf pada hari itu di Arafah.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 8).


Berdasarkan seluruh uraian di atas, tidak dapat diterima _(ghayr musallam)_ pendapat bahwa puasa Arafah itu adalah puasa yang dilakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, baik bersamaan dengan hari wukufnya jamaah haji di Arafah, ataukah tidak, karena pendapat ini : 

(1) didasarkan pada fakta sejarah pembentukan hukum puasa Arafah yang belum final, yang memang tidak mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, sejak tahun ke-2 H ketika awal disyariatkannya puasa Arafah. Padahal akhirnya, sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, puasa Arafah telah dikaitkan dengan aktivitas wukuf di Arafah.

(2) didasarkan pada pengabaian nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah.   

_Wallāhu a’lam._


*Yogyakarta, Jumat 8 Dzulhijjah 1445 (14 Juni 2024)*


*Muhammad Shiddiq Al-Jawi*


#Khilafah akan menyatukan kaum muslimin sedunia karena #KhilafahAjaranIslam

Tuesday, June 11, 2024

TASAWUF, ISTIQAMAH DAN KETENANGAN

 •TASAWUF, ISTIQAMAH DAN KETENANGAN 


KH. HAFIDZ ABDURRAHMAN MA.

.

Tasawuf itu ilmu tentang raqaiq (kelembutan hati). Hati lembut, ketika kita selalu menyadari hubungan kita dengan Allah. Dalam bahasa al-'Allamah al-Qadhi Syaikh  Taqiyuddin an-Nabhani, disebut "Idrak Sillah Billah"

.

Kesadaran hubungan kita dengan Allah itu disebut "Ruh". Sedangkan kesadaran, bahwa semua alam, manusia dan kehidupan itu makhluk Allah, adalah "Nahiyah Ruhiyah". Karena itu, dalam pandangan Islam, tak ada satu pun di dunia ini yang terpisah dengan Allah. Baik benda maupun perbuatan. 

.

Karena itu, falsafah Islam, sekaligus puncak Tasawuf Islam, itu adalah menyatukan materi (perbuatan dan benda) dengan Ruh (Allah dan titah-Nya), yang disebut Syaikh Taqi dengan "Mazju al-Madah bi ar-Ruh"

.

Imam al-Ghazali menyebut ada dua rukun Tasawuf, "Istiqamah", yaitu kemampuan kita mengorbankan kemauan hawa nafsu untuk diri kita. Sehingga bisa istiqamah dalam ketaatan. Kedua, "Sukun" (ketenangan), tidak terpengaruh dengan makhluk, tidak juga menganggu makhluk lain

.

Itulah rukun Tasawuf, kata Imam al-Ghazali, dalam nasihatnya kepada muridnya, dalam kitab "Ayyuha al-Walad"

.

Istiqamah lebih baik dari seribu karamah. Karena karomah lahir dari istiqamah. Istiqamah hanya bisa diraih dengan mengorbankan hawa nafsu semata untuk mengikuti maunya Allah. Dari istiqamah lahir ketenangan, fokus pada tujuan dan target, tidak lagi menoleh ke kanan-kiri. Tidak terpengaruh dengan apapun dan siapapun

.

Semoga kita semua diistiqamahkan oleh Allah dalam ketaatan. Hati, lisan dan pikiran kita dijadikan "sukun" dan fokus pada apa yang ada di sisi Allah, bukan dunia yang fana.


#JanganLelahBerdakwah #LiterasiPengembanDakwah

Thursday, June 6, 2024

Qawl Jadid Hizbut Tahrir

 Qawl Jadid Hizbut Tahrir


Soal:


Dalam Soal-Jawab yang telah dipublikasikan sebelumnya, telah dinyatakan kebolehan saudara ipar tinggal serumah dengan berpakaian mihnah, sementara dalam Kitab An-Nizham al-Ijtima’i yang terbaru tidak dibolehkan. Mana pendapat yang lebih rajih (kuat)?


Jawab:


Setelah kita membandingkan penjelasan dalam Soal-Jawab sebelumnya dengan penjelasan yang dituangkan dalam Kitab An-Nihzam al-Ijtima’i yang terbaru, edisi Muktamadah, memang ada perbedaan. Namun, perlu dicatat, keduanya sama-sama merupakan hukum syariah karena sama-sama merupakan hasil ijtihad mujtahid. Keduanya juga sama-sama merupakan pandangan Hizb pada zamannya.


Hanya saja, pendapat yang pertama merupakan qawl qadim (pendapat lama), yang diadopsi pada zaman kepemimpinan amir Hizbut Tahrir yang pertama, yaitu Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M). Ini bisa dibuktikan pada tanggal dan tahun pengeluaran Nasyrah tersebut. Masing-masing adalah Nasyrah Soal-Jawab tanggal 30/5/1967 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal 14/9/1968 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal  19/11/1968,  Nasyrah Soal-Jawab tanggal 11/5/1970 M, dan Nasyrah Soal-Jawab tanggal 8 Sya’ban 1388 H. Pendapat (qawl qadim) ini tidak lagi diadopsi oleh Hizb pada zaman kepemimpinan amir sekarang, yaitu Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusytah, sebagaimana yang tertuang dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah.


Ini bukan hal baru dalam khazanah fikih sebagaimana kita kenal pada era keemasan fikih Islam. Sebut saja, Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab (w. 23 H) dan Imam as-Syafii (w. 205 H) juga mempunyai dua qawl (pendapat), yaitu qawl qadim dan qawl jadid. Dua-duanya merupakan hukum syariah. Bahkan ketika orang yang telah diputuskan oleh Khalifah ‘Umar dengan hukum yang berbeda menuntut dianulir keputusannya, dengan tegas beliau menolak, seraya berkata: “Keputusan itu sudah sesuai dengan apa yang telah kami putuskan sebelumnya dan keputusan ini pun berdasarkan apa yang telah aku putuskan.” 1 


Adapun pendapat Hizb sekarang (qawl jadid), sebagaimana yang dituangkan dalam An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah, adalah sebagai berikut:


Mengenai masalah pertama, yaitu adanya beberapa saudara dan kerabat yang tinggal serumah antara satu dengan yang lain, kemudian masing-masing wanitanya tampak kepada kaum prianya dengan pakaian kerja sehingga tampak rambut, leher, lengan dan pundaknya serta bagian lain yang biasa ditampakkan oleh pakaian kerja. Aurat itu kemudian dilihat oleh saudara laki-laki suaminya, atau kerabatnya yang notabene bukan mahram-nya; sebagaimana aurat itu juga dilihat oleh saudara laki-laki, ayah dan mahram wanita itu yang lainnya. Adapun saudara laki-laki suaminya adalah orang asing (bukan mahram) bagi dia, sebagaimana laki-laki asing lainnya. Begitu juga, kerabat satu dengan yang lain kadang saling mengunjungi, semisal anak-anak paman dari ayah (‘am), anak-anak paman dari ibu (khal), dan sebagainya, yang notabene merupakan dzawi al-arham (kerabat yang mempunyai hubungan darah)2 yang bukan mahram, atau bukan dzawi al-arham (kerabat yang tidak mempunyai hubungan darah secara langsung). Mereka mengucapkan salam (tanda minta izin) kepada para wanita (di rumah), lalu duduk bersama mereka, sementara wanita-wanita itu mengenakan pakaian kerja. Tampak dari wanita-wanita itu lebih dari sekadar wajah dan kedua telapak tangannya, seperti rambut, leher, lengan, pundak dan lainnya. Mereka diperlakukan layaknya mahram.


Masalah ini telah menggejala dan telah menjadi bencana bagi kaum Muslim, terutama di kota-kota. Banyak yang mengira semuanya itu mubah. Padahal sejatinya yang mubah adalah memandangnya, dan yang memandang itu adalah para mahram dan orang-orang yang mengikutinya, yang notabene tidak mempunyai hasrat kepada wanita (at-tabi’in ghayra uli al-irbah). Terhadap selain mereka, para wanita itu tetap haram untuk menampakkan selain wajah dan kedua telapak tangannya.


Penjelasan detailnya tentang itu adalah, bahwa Allah SWT jelas telah mengharamkan kaum wanita secara mutlak dipandang atau dinikmati. Lalu, keharaman menikmati itu dikecualikan dari para suami. Kemudian keharaman memandang dikecualikan dari orang-orang, termasuk mereka adalah paman-paman dari ayah (a’mam) dan ibu (akhwal). Obyek kaum perempuan yang diharamkan bagi kaum pria pun dikecualikan, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Karena itu, menikmati atau memandang dengan syahwat secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi suami; dan memandang wajah dan kedua telapak tangan dengan pandangan biasa (tanpa disertai syahwat) secara mutlak hukumnya mubah. Adapun memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi para mahram yang telah disebutkan oleh Allah, dan orang yang statusnya sama dengan mereka.


Sebelumnya telah dijelaskan hukum syariah tentang kehidupan umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa teks. Adapun dalam kehidupan khusus, Allah telah membolehkan kaum perempuan untuk menampakkan lebih dari wajah dan kedua telapak tangannya, sebagaimana yang lazim ditampakkan saat bekerja. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian, di tengah hari dan sesudah shalat Isya (TQS an-Nur [24]: 58).


Allah SWT memerintahkan anak-anak yang belum balig dan budak untuk tidak memasuki rumah wanita tersebut dalam tiga (waktu) tadi. Kemudian Allah membolehkan mereka untuk memasukinya, selain dalam ketiga waktu ini. Sebabnya, Allah melanjutkannya dengan firman-Nya (yang artinya): Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian, tidak pula atas mereka, selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebagian kalian ada keperluan kepada sebagian yang lain (TQS an-Nur [24]: 58).


Ini tegas menyatakan, bahwa selain dalam ketiga keadaan (waktu aurat) ini, anak-anak dan budak perempuan tersebut boleh memasuki rumah perempuan ini tanpa izin, yaitu ketika perempuan tersebut berpakaian kerja. Dari sini bisa dipahami, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja, dan dalam pakaian kerja tersebut dia boleh menampakkan (apa yang lazim dia tampakkan) kepada anak-anak dan budaknya. Karena itu, tidak diragukan, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja. Dia secara mutlak tidak berdosa. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh dipandang (aurat yang lazim ditampakkan pakaian kerjanya) oleh anak-anak dan budaknya, dan dalam hal ini tidak ada masalah. Dia tidak harus menutupi auratnya dari mereka. Mereka juga tidak membutuhkan izin memasuki rumahnya. Sebabnya, ayat tersebut menyatakan, kebolehan anak-anak dan budaknya masuk tanpa izin, kecuali dalam tiga waktu aurat di atas.


Tidak boleh dikatakan, bahwa pembantu yang notabene orang merdeka bisa dianalogikan kepada budak, dengan ‘illat (alasan) bahwa mereka sama-sama “thawwafun” (mengitari kehidupan perempuan tersebut). Jelas tidak boleh dikatakan demikian, karena ‘illat ini merupakan ‘illat qashirah (terbatas), dengan bukti, bahwa anak-anak tadi setelah balig diwajibkan izin, padahal mereka “thawwafun”.


Adapun di luar mereka yang dikecualikan dalam ayat tersebut, yaitu selain anak-anak dan budak perempuan tersebut, maka Allah SWT telah menjelaskan hukum mereka dalam kehidupan khusus. Ketika meminta mereka untuk minta izin (saat memasuki rumahnya). Allah SWT berfirman (yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian hingga kalian meminta izin (dari penghuninya) dan mengucapkan salam kepada penghuninya (TQS an-Nur [24]: ).


Allah meminta kaum Muslim meminta izin (saat memasuki rumah) dan menyebutnya denga menggunakan kata “isti’nas” ketika ingin memasuki rumah orang lain. “Mafhum”-nya, jika dia hendak memasuki rumahnya sendiri, maka tidak perlu meminta izin. Sebab turunnya ayat ini adalah, ada seorang wanita Anshar, berkata, “Ya Rasulullah, ketika aku di rumahku dalam satu keadaan yang aku tidak ingin dilihat oleh siapapun, baik ayah maupun anakku, tiba-tiba ayahku masuk ke rumahku. Selalu saja, laki-laki dari keluargaku masuk ke rumahku, dan saya dalam keadaan seperti itu. Lalu, apa yang harus saya lakukan?” Lalu turunlah ayat “isti’dzan” ini.


Jika sebab turunnya ayat tersebut dikaitkan dengan “manthuq” (makna tersurat) dan “mafhum” (makna tersirat) ayat tersebut, maka tampak bahwa masalah dalam kehidupan khusus itu bukanlah masalah menutup aurat atau tidak, tetapi masalah penampilan dengan pakaian kerja, yang biasa dilakukan wanita. Dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi berpakaian kerja, Allah tidak memerintahkan wanita untuk tidak bekerja (dengan pakaian kerja), tetapi Allah memerintahkan kaum pria meminta izin, agar para wanita itu bisa menutup bagian yang lain, selain wajah dan kedua telapak tangannya, terhadap bukan mahramnya, karena perintah meminta izin itu bisa berkonotasi perintah untuk menutup aurat, dengan dalil sebab turunnya ayat ini. Jika seseorang memasuki rumah wanita tersebut, maka dia harus meminta izin, baik mahram atau bukan. Jadi, perintah meminta izin mempunyai konotasi agar wanita tersebut menutup auratnya kepada pria yang bukan mahram-nya. 


Mengenai pria memandang wanita dalam kondisi seperti ini merupakan masalah lain, yang terkait dengan hukum memandang, baik dalam kehidupan khusus maupun yang lain. Allah SWT telah mengharamkan pria yang bukan mahram untuk memandang selain wajah dan kedua telapak tangan, dan membolehkannya bagi mahram. Allah pun memerintahkannya untuk menundukkan pandangan terhadap bagian tubuh wanita itu, selain wajah dan telapak tangan. Allah juga mentoleransi pandangan mata yang tidak terbelalak (disertai syahwat). Tentang keharaman memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan sudah jelas. Begitu juga kewajiban menundukkan pandangan lebih dari itu juga sudah jelas dalam firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah kepada orang-orang Mukmin laki-laki agar mereka menundukkan pandangan mereka (TQS an-Nur [24]: 30).


Yang dimaksud di sini adalah menundukkan pandangan terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan, dengan dalil, memandang keduanya dibolehkan. Dalam hadis al-Bukhari Said bin Abi al-Hasan berkata kepada al-Hasan, bahwa kaum perempuan non-Arab biasa menampakkan dada dan kepala mereka, maka berkata al-Hasan, “Palingkan pandanganmu.” Dalam hadis larangan duduk di jalan, Nabi saw. bersabda, “Tundukkan pandangan.” (HR Muttafaq ‘alaih). Artinya, para wanita itu kadang membuka bagian yang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, maka kalian wajib menundukkan pandangan, bukan tidak boleh memandang. Jadi, ketika Allah mengharamkan memandang, sebenarnya hanya mengharam-kan memandang lebih dari wajah dan telapak tangan; lebih spesifik, pandangan yang disengaja (syahwat). Mengenai pandangan yang tidak disengaja, maka hukumnya tidak haram. Allah juga tidak memerintahkan agar meninggalkannya, tetapi hanya memerintah-kan menundukkan pandangan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaknya mereka menundukkan pandangan (TQS  an-Nur [24]: 30).


Lafal “Min” berkonotasi “tab’idh” (sebagian), maksudnya, “Hendaknya mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka, atau sebagian penglihatan mereka.” “Mafhum”-nya, pandangan yang ditundukkan boleh, yaitu pandangan yang wajar, dan tidak disengaja (disertai syahwat).


Inilah qawl jadid (pendapat baru) Hizb sebagaimana yang diadopsi dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i.3 [KH. Hafidz Abdurrahman]


Catatan kaki


Lihat: al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. VI, 1422 H/20o2 M, hlm. 191.

Ibn Qudamah menjelaskan dzawi al-arham, yaitu kerabat yang tidak mempunyai bagian waris (fara’idh) maupun sisa (ashabah). Mereka berjumlah 11 orang, yaitu: (1) anak laki-laki anak perempuan/cucu laki-laki dari anak perempuan (walad al-banat); (2) keponakan laki-laki dari saudara perempuan (walad al-akhawat); (3) keponakan perempuan dari saudara laki-laki (banat al-ikhwah); (4) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu (walad al-ikhwah min al-umm); (5) bibi dari semua arah (‘ammat); (6) saudara laki-laki ayah seibu (‘am min al-umm); (7) paman dari ibu (akhwal); (8) bibi dari ibu (khalat); (9) anak-anak  perempuan paman dari ayah (banat al-a’mam); (10) kakek/bapaknya ibu (jadd abu al-umm); (11) semua nenek yang menurunkan satu ayah dari dua ibu (jaddah adlat bi abin bain ummain), atau menurunkan satu ayah ke atas. Mereka semuanya, dan keturunan mereka, disebut dzawi al-arham. Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, IX/82.

Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. IV, 1424 H/2003 M, hlm. 47-50.

Sunday, June 2, 2024

MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI

 MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI


Majalah Tau’iyah yang diterbitkan An-Najah Center Sidogiri edisi Sya’ban 1441 H telah memuat tulisan berjudul “Hizbut Tahrir: Perbedaannya dengan Kita” yang ditulis oleh Achmad Arief. Penulis terlihat begitu tendensius meski berusaha tampil ilmiah dengan kutipan-kutipan referensi. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penulis terlihat tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya; ke-Dua, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan ke-Tiga, menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut.


Penulis menyebutkan beberapa permasalahan yang diklaim sebagai “pendapat menyimpang pendiri Hizbut Tahrir” lalu kemudian dibantahnya sendiri. Berikut beserta tanggapannya.


Permasalahan Pertama: Qada’-Qadar dari Filsafat Yunani


Menurut penulis, Hizbut Tahrir menganggap teori qadha’ dan qadar Ahlussunnah wal Jamaah mengadopsi dari para filsuf Yunani. “Semua persoalan ilmu kalam diadopsi dari para filsuf Yunani, termasuk masalah qadha’ dan qadar.” (Lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa konsep qadha qadarnya Ahlussunnah itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan filsuf yunani. Sambil menyebutkan referensi Mukhtasharul I’tiqad lil Baihaqi, hlm 231.


Tanggapan: Maksud Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak demikian. Beliau mengatakan di kitab tersebut tidak seperti yang diketengahkan terjemahannya oleh penulis itu.


فَإننا لا نكاد نجد مسألة من مسائل علم الكلام إلا كانت ناشئة عن مسألة سبق للفلاسفة اليونان أن بحثوها


“Sungguh kita nyaris tidak menemukan satupun di antara permasalahan ilmu kalam melainkan itu muncul dari permasalahan yang sudah pernah dibahas oleh kaum filsuf Yunani.” (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66)


Maksudnya disitu adalah terkait pengambilan tema atau topiknya. Bukan mengadopsi pendapat filsuf tanpa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits seperti yang disangkakan.


Terbukti di halaman-halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh kaum Jabariyah untuk menetapkan perbuatan manusia itu ciptaan dan atas kehendak Allah, dan berdalil dengan ayat-ayat tertentu untuk teori kasab di antaranya Al-Baqarah 286 (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/73). Sampai sini tampak jelas klaim penulis adalah tidak benar.


Permasalahan ke-Dua: Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan


Menurut penulis, Hizbut Tahrir meyakini semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia. Tidak ada campur tangan Allah dan ketetapan Allah tidak ada kaitan dengannya. (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa semua perbuatan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan-Nya (tanpa menafikan ikhtiyar manusia). Sambil menyebutkan referensi Al-I’tiqad ‘ala Madzhabis Salaf Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm 53-54.


Tanggapan: Tuduhan tersebut tidak sebagaimana adanya. Sebab, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membagi perbuatan manusia itu menjadi dua: 1) perbuatan yang berada di bawah kendali manusia dan 2) perbuatan yang berada di luar kendali manusia. Jadi tidak “semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia” sebagaimana klaim penulis.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani juga memiliki pemaknaan khusus untuk Istilah qadha’ dan istilah qadar dalam konteks sebagai sebutan yang berdampingan (al-qadha’ wal qadar) dengan masing-masing memiliki makna khusus yang berbeda. Bahwa qadha itu perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia, dan qadar itu adalah khashiyatul asya` (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Sehingga perkataan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu tidak termasuk qadha’ di situ maksudnya adalah makna khususnya ini, yaitu tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia. Bukan bermaksud makna qadha’ secara mutlak sebagai ketetapan Allah atas segala sesuatu seperti yang dipersepsikan penulis.


Tampak di sini penulis gagal memahami konsep qadha’ dan qadar yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sehingga salah dalam tuduhannya. Apalagi dengan narasi jahat mengopinikan Hizbut Tahrir menganut “Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan”.


Permasalahan ke-Tiga: Para Nabi Tidak Maksum


Penulis menyebutkan bahwa menurut Hizbut Tahrir para nabi tidak maksum sebelum diangkat menjadi nabi. “Para nabi dan rasul itu maksum setelah menjadi nabi dan rasul. Sedangkan sebelum menjadi nabi dan rasul mereka tidak maksum.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 1/136). Lalu pendapat itu dibantahnya dengan mengutip pendapat salah satu ulama Ahlussunnah, Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuki dalam Hasyiyahnya atas kitab Ummul Barahin.


Tanggapan: Padahal masalah tersebut termasuk perkara khilafiyah bahkan di kalangan ulama Ahlussunnah sendiri. Pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir itu merupakan pendapat salah satu imam besar Ahlussunnah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dan pendapat tersebut disahihkan oleh Al-Imam Saifuddin Al-Amidi rahimahumallah.


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ …. وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي.


“Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, mayoritas sahabat kami (ulama Ahlussunnah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya tidak. … dan pendapat yang benar adalah apa yang diutarakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.” (Lihat: Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. 1/169-170)


Bahkan itu merupakan pendapat mayoritas Ahlussunnah, menurut keterangan Al-Imam Ibnu Hajib dan dibenarkan pula oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


“Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal hal itu tidak mustahil. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar (al-ashahh) adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani).” (Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. vol 6 hlm 13)


Juga menurut keterangan Al-‘Arif biLLah Asy-Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhani, yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri:


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ … وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. … Meski para muhaqqiq dari kalangan ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil berkenaan dengan mereka (para nabi) itu (yang secara zhahir melakukan kesalahan). Memang benar, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.” (al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177)


Jika menurut penulis bahwa pendapat “anbiya tidak maksum sebelum masa kenabian mereka” itu keliru, apakah berarti penulis menganggap mayoritas ulama Ahlussunnah yang berpendapat demikian itu sesat atau menyimpang sebagaimana pelabelannya terhadap Hizbut Tahrir? 


Permasalahan ke-Empat: Khilafah Harga Mati


Penulis menganggap Hizbut Tahrir ekstrem dalam menyikapi khilafah, sampai-sampai menganggap semua orang muslim dosa besar karena tidak menegakkan khilafah. “Berpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa besar dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua orang muslim dosa besar karenanya.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 2/19). Lalu klaim itu dibantahnya dengan mengutip perkataan Imamul Haramain Al-Juwaini bahwa hukum mengangkat pemimpin itu wajib bila mampu (Ghiyatsul Umam fi Iltiyatsizh Zhulam hlm 55), dan mengutip perkataan Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang diterjemahkan “Kajian tentang khilafah tidak begitu penting, sebab persoalan ini adalah persoalan fikih (ranah ijtihad) bukan persoalan yang secara tegas disampaikan oleh al-Qur`an dan Hadits. Selain itu kajian khilafah juga mengakibatkan fanatisme kepemimpinan yang jelas berdampak buruk dan lebih selamat tidak mengkajinya.” (Lihat: al-Iqtishad fil I’tiqad, hlm 200).


Tanggapan: Singkatnya ada dua perkara yang perlu diluruskan: 1) bentuk wajibnya khilafah dan dengan apa kewajiban tersebut menjadi gugur; 2) besarnya kewajiban khilafah dan gagal paham atas perkataan Al-Imam Al-Ghazali.


Pertama; bentuk wajibnya khilafah adalah bersifat kifa`ie (fardhu kifayah), sehingga tidak gugur kewajiban tersebut dari pundak setiap muslim sebelum tercapai kifayah (batas kuantitas serta kualitas) orang-orang yang mengusahakannya sampai benar-benar terwujud. Adapun ungkapan Imamul Haramain Al-Juwaini sama sekali tidak menafikan hal itu, karena dikatakan tidak mampu itu jika sudah ada usaha maksimal namun belum juga terlaksana. Tidak tiba-tiba tanpa ada usaha serius dan maksimal mengklaim tidak mampu. Juga ketidak-mampuan umat mewujudkannya di suatu masa tidak menjadikan umat di masa-masa berikutnya menjadi tidak wajib mengusahakan.


Ke-dua; Penulis serampangan dalam mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali untuk menjustifikasi tidak pentingnya khilafah. Padahal maksud beliau dengan ungkapan imamah bukan termasuk al-muhimmat adalah bahwa imamah bukan termasuk perkara pokok akidah yang menentukan sah-tidaknya keislaman. Ini sebagaimana beliau nyatakan sendiri di bagian sebelumnya di kitab tersebut:


ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺘﻘﺪاﺕ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮﺓ ﺣﻘﻬﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻬﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ


“Sebab akidah yang ringkas itu seharusnya hanya berisikan perkara pokok (al-muhimm) yang harus ada demi keabsahan akidah saja.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 376)


Lebih spesifik lagi beliau menyebut ilmu rasional (‘aqli), terminologi (lafzhi), dan juga fiqih (fiqhi) dengan mengatakan tidak muhimm:


وكل ذلك ليس بمهم


“Semua itu tidak ‘muhimm’.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 377)


Maksud beliau bukan menganggap ilmu fiqh –termasuk di dalamnya khilafah– itu tidak penting, melainkan bahwa ilmu fiqih bukan termasuk bahasan pokok akidah. Lebih daripada itu, jika penulis mau jujur al-Imam al-Ghazali sendiri menyatakan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban imamah itu termasuk perkara syari’at yang bersifat mendesak/urgen (min dharûriyyâtisy-syar’i).


فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.


“… maka wajibnya mengangkat seorang khalifah itu adalah termasuk perkara syariat yang sangat penting/mendesak (dharûriyyât asy syar’), yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 395)


Jadi bagaimana bisa beliau dipahami menganggap perkara khilafah tidak penting sedangkan di waktu yang sama mengatakan bahwa dia tergolong perkara syariat yang sangat penting/mendesak yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan.


Adapun terkait ungkapan beliau bahwa pembahasannya menyebabkan fanatisme dan lebih baik tidak dibahas adalah masih dalam konteks akidah ini. Yaitu lebih baik tidak membahasnya dalam konteks akidah karena yang seharusnya khilaf di dalamnya sebatas khilâf fiqhî, karena dibahas dalam konteks akidah, akan menjadi dianggap sebagai khilâf ‘aqâ`idî yang memicu fanatisme.


Adapun meninggalkan kewajiban khilafah dapat mengakibatkan dosa besar, hal itu bisa dipahami dari banyaknya kewajiban terbengkalai tanpa adanya khilafah apabila semuanya diakumulasikan. Jika satu saja mayat muslim tidak dimakamkan secara syar'ie dapat mengakibatkan dosa karena hukumnya fardhu kifayah, maka bagaimana dengan banyak mayat jika tidak dimakamkan secara syar'ie. Demikian pula lah saat satu saja pencuri yang terbukti dan mencapai nishab bila tidak dihukum secara syar'ie dengan dijatuhi hadd potong tangan, maka bagaimana dengan banyaknya pencuri yang tidak dihukum secara syar'ie? Belum jumlah kasus hudud dan jinayat lainnya, semisal perzinahan, liwath, peminum khamr, riddah, pembunuhan, dsb. Sedangkan hukuman tersebut hanya bisa terlaksana dengan sempurna dalam sistem khilafah. Anggaplah tidak menerapkan per kasusnya adalah dosa kecil, tapi bagaimana jika jumlahnya banyak, ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu?


ﻭاﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺇﺫا ﺃﻛﺜﺮﺕ ﺻﺎﺭﺕ ﻛﺒﻴﺮﺓ


"Sedangkan dosa kecil itu bila berjumlah banyak maka akan menjadi dosa besar." (Syarh Shahîh Muslim, vol 2 hlm 67)


Besarnya dosa mengabaikan pendirian khilafah juga disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi'î.


تنصيب الإمام بهذا الشكل الذي رأيت، ولتحقيق المهام التي تحدثنا عنها واجب متعلق بأعناق المسلمين حيثما كانوا، فإن لم ينهضوا به تحقيقاً لأمر الله عز وجل باؤوا جميعاً بإثم كبير، إذ هو ـ بالإضافة إلي الضرورات الدينية والاجتماعية والسياسية المختلفة ـ شعيرة كبري من شعائر الإسلام التي يجب أن تكون بارزة حية في بلاد المسلمين.


"Mengangkat seorang khalifah dalam bentuk yang telah anda lihat (di atas), demi merealisasikan kepentingan yang telah kami ulas (sebelumnya), adalah wajib dan mengikat setiap muslim di manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit mewujudkannya demi melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla niscaya mereka semua akan terkena dosa besar. Karena khilafah itu –disamping terkait berbagai kepentingan mendesak agama, permasalahan sosial dan politik– juga merupakan syi’ar terbesar Islam di antara syi’ar-syi’ar lainnya yang wajib tampak dan hidup di negeri kaum muslimin."

Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi'î, vol 8 hlm 277-278.


Nah, berdasarkan uraian di atas terbukti sudah kesalahan tuduhan tersebut, yang tidak lain disebabkan karena tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut. Sehingga jadilah tulisan yang provokatif mendeskriditkan Hizbut Tahrir agar dianggap bukan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dijauhi masyarakat. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikanmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah itu lebih mendekati takwa. [Azizi Fathoni K.]


÷÷÷÷÷

https://mediaumat.news/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir-di-majalah-tauiyah-sidogiri/amp/


https://tsaqofah.id/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir-di-majalah-tauiyah-sidogiri/


https://news.visimuslim.org/2021/04/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir.html?m=1


CHANNEL TELEGRAM: 

https://t.me/tsaqofah_id


TSAQOFAH.ID

Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam


Follow, like, comment, and share:

https://yubi.id/tsaqofahid


===

Saturday, June 1, 2024

Pancasila ?

 Sebagian orang menganggap bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa, termasuk dalam hal ini adalah para ulama. Sehingga Pancasila seolah menjadi patung yang dikeramatkan, tidak boleh ada yang mengkritik dan menentang. Padahal, seandainya kita mau jujur saja dengan sejarah, niscaya kita akan menemukan fakta bahwa sebenarnya Pancasila bukanlah hasil kesepakatan bersama.


Mari kita cerna sejarah!


Jika kita mau jujur, sesungguhnya konsep Pancasila bukanlah hasil kesepakatan para pendiri bangsa, melainkan hasil paksaan Soekarno dan Hatta. Para ulama di Tim Sembilan dipaksa untuk menerimanya. Padahal mereka hanya menghendaki syariat Islam sebagaimana yang tertuang di dalam Piagam Jakarta.


Andai memang benar para ulama sepakat dengan Pancasila, niscaya mereka tidak akan bersusah payah memperjuangkan Piagam Jakarta di parlemen negara. Tetapi faktanya mereka tetap memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta, meskipun Pancasila sudah ditetapkan pihak istana. Bahkan ada pula yang kemudian berjuang di luar konstitusi negara, dengan membentuk Negara Islam Indonesia (NII)


Nahdlatul Ulama sendiri baru menerima Pancasila pada tahun 1983, ketika Gus Dur menjadi pimpinannya. Berarti puluhan tahun ke belakang sebelum itu NU masih anti Pancasila. Mereka masih menghendaki Piagam Jakarta. Ini pula yang pernah disampaikan Gus Sholah pada tahun 2013 di pesantrennya.


Maka buka mata, buka telinga!


Stop mempolitisasi Pancasila untuk menolak syariah dan khilāfah. Apalagi para pendiri bangsa sendiri pun belum pernah menyatakan kata sepakat atas keabsahannya.


Apabila dikatakan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, maka jangan halang-halangi mereka yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Jika masih saja tetap menghalangi dengan mengatasnamakan Pancasila, maka wajar saja apabila kalangan agamis di Tim Sembilan dahulu ternyata begitu semangat untuk menggantikannya


mustanir.net/pancasila


#GarudaPancasila #Pancasila #HariPancasila #HariLahirPancasila #HariKelahiranPancasila #KelahiranPancasila #SejarahPancasila #SejarahIslam #PolitikIslam #SyariatIslam #SyariahIslam #IndonesiaBersyariah #IndonesiaMilikAllah #IndonesiaBertauhid #SekularismeMerusakTauhid #NKRI