Saturday, July 20, 2019

NEGERI TANPA PAJAK HANYA ISLAM YANG BISA

NEGERI TANPA PAJAK HANYA ISLAM YANG BISA
_Oleh: Ust Budi Ashari Lc_
.
Ribut-ribut soal pajak. Pajak merupakan penopang terbesar APBN Indonesia. Pembiayaan terbesar negara ini berasal dari pajak. Sehingga negara ini sangat bergantung pada pajak untuk pembangunan dan penggajian pegawainya.
.
Tapi seiring dengan itu bermunculan para pegawai pajak yang kaya raya, walau hanya bergaji kecil. Lembaga pajak pun dinobatkan sebagai salah satu lembaga paling korup di negara muslim ini. Padahal disinyalir yang ditangkap baru tikus kecil. Para pemimpinnya berlaku bak pahlawan yang sedang mengusir dan membantai tikus.
.
Para ahli bicara. Semua memberi komentar. Kalimat paling standar pun muncul; kalau di rumah ada tikus, bunuh tikusnya jangan bakar rumahnya. Belum pernah ada yang berani sekadar berwacana: Negeri Tanpa Pajak. Walau sekadar berwacana. Tidak para ahli itu. Tidak para pengamat. Tidak para motivator yang biasa mengajak orang keluar dari kebiasaan. Tidak pemimpin agama.
.
Yang ada justru berbagai macam jenis pajak terus bermunculan. Pemerintah yang berhasil mengumpulkan pajak paling banyak sebagai income negara dianggap yang paling sukses. Saking liarnya wacana pajak, rakyat kecil yang hanya berjualan di sepanjang trotoar pun diwacanakan harus dipajaki. Nah, di sinilah dahsyatnya iman dan ilmu. Kalau sulit dijumpai orang yang sekadar berwacana tentang negeri tanpa pajak. Pembahasan kita ini bukan saja wacana. Bahkan merupakan iman! Dan telah teruji secara empiris!!!
.
Pajak, Warisan Romawi dan Persia
.
Dua negara adidaya itu yang mengajari tentang pajak. Berbagai macam pajak diwajibkan kepada rakyat. Tidak peduli apakah mereka tersiksa atau sekarat. Hidup semakin sulit. Sementara harta terkumpul di istana. Pantas saja, dua imperium besar itu layak dan harus ditutup. Karena kekuasaan yang dibangun di atas kedzaliman. Dan hanya Islam yang mampu menutupnya. Di zaman Khalifah adil Umar bin Khattab, keduanya berhasil tutup buku!
.
Berikut ini penjelasan Prof. Dr. Akram Dhiya’ dalam ‘Ashr al Khilafah Ar Rasyidah tentang Romawi,
.
“Adapun keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas aturannya.Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup hutang besar pembiayaan perang dengan Persia.”
.
Selanjutnya, Akram menjelaskan dampak pajak-pajak yang semakin membuat income negara semakin besar tetapi membuat rakyat semakin sengsara,
.
“Emperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.”
.
Akram menukil tulisan Alfred J. Butler dari bukunya Arab Conquest of Egypt sebagai penguat hal tersebut,
“Cukuplah untuk menjelaskan bagaimana Emperium Romawi mengatur wilayah-wilayahnya dengan melihat tulisan Butler tentang pengaturan Mesir:
.
(Romawi di Mesir menetapkan pajak jiwa juga pajak-pajak yang jenisnya banyak sekali.)
Dia juga menjelaskan:
.
(Tidak diragukan lagi, pajak-pajak Romawi di luar kemampuan masyarakatnya. Dijalankan tanpa mempedulikan asas keadilan.)
Dia kembali menjelaskan:
.
(Pemerintahan Romawi di Mesir hanya memiliki satu tujuan yaitu mengumpulkan harta sebanyak-sebanyaknya dari rakyat untuk pundi-pundi bagi para penguasa.)
Akram juga menukil literatur lain tulisan William J. Durant sebagai penguat:
.
(Bahkan masyarakat asli Romawi sendiri merasa keberatan terhadap pajak-pajak tersebut, khususnya para petani yang terpaksa menjual tanah-tanah mereka untuk membayar pajak dan kemudian pergi meninggalkan kotanya.)
.
Keadaan ketika masyarakat tercekik oleh pajak yang digunakan untuk pesta para penguasa, membuat mereka berlari ketika ada alternatif lain. Apalagi yang datang bukan buaya sebagai pengganti singa. Benar-benar generasi cahaya.
.
Saat Amr bin Ash memimpin penaklukan Mesir, dia menjumpai masyarakat Mesir justru menyambut dengan baik kehadiran muslimin. Apalagi mereka telah mendengar keadilan muslimin begitu terkenal di seluruh dunia.
Amr bin Ash berangkat dari Paletina, masuk ke Mesir melalui Rafah, menuju Arisy terus ke Farma berikutnya Kairo dan Iskandariyah.
.
DR. Ali Ash Shalaby berkata,
“Amr maju (masuk Mesir) ke arah barat, dia tidak menemui pasukan Romawi kecuali setelah sampai di wilayah Farma. Adapun sebelum wilayah itu, masyarakat Mesir menyambutnya ucapan selamat datang dan kegembiraan.”
.
Sebenarnya ini ancaman bagi negeri manapun. Masyarakat yang sudah muak dengan pajak yang semakin menyulitkan dan para penguasa yang berpesta, mereka akan segera menumpahkan kesetiaannya bagi kekuatan yang membebaskan mereka dari perpajakan. Untuk itulah setelah Amr bin Ash berhasil membuka Mesir, dia resmi mengumumkan ditutupnya pajak. Dan begitulah diberlakukan di seluruh dunia kekhilafahan saat itu.
.
Penghapusan Pajak di Pemerintahan Nuruddin Az Zenky
Nuruddin Az Zenky adalah seorang penguasa muslim yang hebat. Menegakkan aturan Islam di masyarakat. Menjaga keutuhan negara dari berbagai serangan; baik dari sekte-sekte sesat dan pasukan salib. Dialah yang berhasil menyatukan kembali Syam yang terkoyak karena perpecahan dan akhirnya lemah di hadapan musuh Islam. Negara menjadi tempat yang nyaman untuk beraktifitas ekonomi. Keamanan, kemakmuran, berawal dari keadilan dan jihad Nuruddin Mahmud Az Zenky. DR. Ali Ash Shalaby menulis buku:
ﻋﺼﺮ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﺍﻟﺰﻧﻜﻴﺔ
ﻭﻧﺠﺎﺡ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ﺍﻹﺳﻼﻣﻲ ﺑﻘﻴﺎﺩﺓ ﻧﻮﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺤﻤﻮﺩ
ﺍﻟﺸﻬﻴﺪ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﻭﻣﺔ ﺍﻟﺘﻐﻠﻐﻞ ﺍﻟﺒﺎﻃﻨﻲ ﻭﺍﻟﻐﺰﻭ ﺍﻟﺼﻠﻴﺒﻲ
(Pemerintahan Zenky
Keberhasilan Gerakan Islam dipimpin Nuruddin Mahmud Asy Syahid menghadapi Kebatinan dan Perang Salib)
.
Salah satu konsep Nuruddin Az Zenky membangun keadilan, kebesaran dan kemakmuran negara adalah dengan dihilangkan semua bentuk pajak dan pungutan. Seluruh wilayahnya; Syam, Jazirah Arab, Mesir dan lainnya tadinya harus mengeluarkan pajak dengan besaran hingga mencapai 45%. Pengumuman resmi kenegaraan disampaikannya di seluruh wilayah, di masjid-masjid. Inilah yang dibacakan oleh Nuruddin di Mosul tahun 566 H di hadapan masyarakat:
.
ﻭﻗﺪ ﻗﻨﻌﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺍﻝ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻼﻝ، ﻓﺴﺤﻘﺎ ﻟﻠﺴﺤﺖ، ﻭﻣﺤﻘﺎً ﻟﻠﺤﺮﺍﻡ ﺍﻟﺤﻘﻴﻖ ﺑﺎﻟﻤﻘﺖ، ﻭﺑﻌﺪﺍً ﻟﻤﺎ ﻳﺒﻌﺪ ﻣﻦ ﺭﺿﺎ ﺍﻟﺮﺏ، ﻭﻗﺪ ﺍﺳﺘﺨﺮﻧﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺗﻘﺮﺑﻨﺎ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﺈﺳﻘﺎﻁ ﻛﻞ ﻣﻜﺲ ﻭﺿﺮﻳﺒﺔ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻭﻻﻳﺔ ﻟﻨﺎ ﺑﻌﻴﺪﺓ ﺃﻭ ﻗﺮﻳﺒﺔ ﻭﻣﺤﻮ ﻛﻞ ﺳﻨﺔ ﺳﻴﺌﺔ ﺷﻨﻴﻌﺔ، ﻭﻧﻔﻲ ﻛﻞ ﻣﻈﻠﻤﺔ ﻓﻈﻴﻌﺔ ﻭﺇﺣﻴﺎﺀ ﻛﻞ ﺳﻨﺔ ﺣﺴﻨﺔ .. ﺇﻳﺜﺎﺭﺍً ﻟﻠﺜﻮﺍﺏ ﺍﻵﺟﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻄﺎﻡ ﺍﻟﻌﺎﺟﻞ
.
“Kami rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Alah dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang baik...lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang segera.”
.
Tak hanya membacakan resmi keputusan baru negara di setiap wilayahnya. Tetapi Nuruddin juga memohon kepada para khatib-khatib di masjid-masjid untuk menyampaikan permohonan maaf negara atas pungutan dan pajak yang selama ini diambil.
Pemerintahan Nuruddin Zenky selanjutnya memberikan ancaman hingga hukuman mati bagi siapapun pejabat yang masih melakukan pungutan atau pajak.
.
Pasti kemudian muncul pertanyaan: dari mana, negara membiayai semua kegiatannya.
Islam mempunyai jawaban yang sangat lengkap. Sumber pemasukan negara yang ditetapkan Islam halal dan berkah. Kehalalan dan keberkahan lah yang membuat negara justru menjadi lebih banyak pemasukannya.
.
Tulisan ini belum membahas detail masalah itu. Dan justru di sinilah pentingnya para ulama hari ini menyuguhkan konsep jelas dan detailnya.
Tetapi mari kita dengarkan hasil global yang diperoleh oleh pemerintahan Nuruddin.
DR. Ali Ash Shalaby menjelaskan,
.
“Hasil yang lazim setelah itu, masyarakat menjadi lebih giat untuk bekerja. Para pebisnis mau mengeluarkan harta-harta mereka untuk terus berbisnis. Pungutan yang sesuai dengan syariat justru berlipat-lipat lebih banyak dibandingkan pungutan haram.”
.
Kemudian dia menukil kalimat Ibnu Khaldun:
“Perlakuan tidak baik terhadap harta masyarakat, akan melenyapkan harapan mereka dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka sadar, ujungnya uang mereka akan hilang dari tangan. Jika ini terjadi, maka mereka akan cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah keadaan.....ked
zaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan rahasia mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara pun runtuh dengan cepat."
.
Hasil baik dari penghapusan pajak yang sering tidak diduga di zaman egois seperti ini adalah peran orang-orang kaya terhadap masyarakat miskin. Terbentuklah masyarakat yang saling menanggung dan menjamin seperti yang terjadi di pemerintahan Nuruddin Zenky. Hal ini mereka lakukan karena meneladani pemimpin negara sekaligus mengharap balasan dari Allah. Sehingga bermunculanlah swadaya untuk membangun sekolah-sekolah, masjid-masjid, rumah-rumah yatim dan sebagainya.
.
So, solusi itu memang hanya ada di Islam.
Negeri tanpa pajak bukanlah wacana. Negeri tanpa pajak adalah solusi pembangunan yang benar-benar membangun. (Budi Ashari, Lc)

CARA ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN

CARA ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN
.
Dalam sebulan belakangan ini pukulan ekonomi bertubi-tubi dirasakan oleh rakyat karena kenaikan berbagai komoditi kebutuhan hidup. BBM naik berkali-kali. Harga beras terus merangkak. Disusul oleh telur dan daging ayam. Bahkan harga daging sapi sudah naik jauh sebelum puasa dan tak kunjung turun hingga hari ini. Di sisi lain nilai rupiah terus melemah terhadap dolar. Menembus Rp 14.555,-. Akibatnya, harga sejumlah komoditi impor ikut naik. Sejumlah sektor usaha pun terpukul.
.
Anehnya, Pemerintah berulang menyatakan sikap optimis. Katanya, ekonomi Indonesia makin membaik. Pemerintah mengklaim angka kemiskinan justru menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82% atau 25,95 juta jiwa adalah yang terendah sepanjang sejarah. Benarkah demikian?
.
Makna Kesejahteraan
.
Asumsi yang dibuat Pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah Rp 401.220 perkapita perbulan (sekitar Rp 13 ribu perhari). Penentuan ambang batas kemiskinan tersebut dipertanyakan banyak kalangan. pasalnya, standar Pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak logis. Bayangkan, setiap orang dengan pengeluaran Rp 15 ribu rupiah perhari, misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin. Padahal jelas, dengan Rp 15 ribu perhari, orang hanya bisa makan sekali sehari. Itu pun alakadarnya. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Apalagi cuma sekali sehari. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis.
.
Jelas standar kemiskinan Rp 13 ribu perhari sangat merendahkan orang miskin. Apalagi PBB pada tahun 2015 telah merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9 dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27.550 perhari). Jika standar PBB ini digunakan maka jumlah warga yang terkategori amat miskin akan melejit, bisa mencapai 30 persen warga Indonesia atau lebih dari 75 juta orang.
.
Standar Islam
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Allah SWT berfirman:
ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮﺩِ ﻟَﻪُ ﺭِﺯْﻗُﻬُﻦَّ ﻭَﻛِﺴْﻮَﺗُﻬُﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ
Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak (TQS al-Baqarah [2]: 233).
ﺃَﺳْﻜِﻨُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﺳَﻜَﻨْﺘُﻢْ ﻣِﻦْ ﻭُﺟْﺪِﻛُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻀَﺎﺭُّﻭﻫُﻦَّ ﻟِﺘُﻀَﻴِّﻘُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ
Tempatkanlah para istri di tempat mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (TQS ath-Thalaq [85]: 6).
.
Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtara jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
ﻣﺎ ﻣِﻦْ ﺃﺣﺪ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺔً ﻭَﻫﻮ ﻋﻨﻬﺎ ﻏَﻨِﻲٌ ﺇِﻻَّ ﺟَﺎﺀَﺕْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻛُﺪُﻭﺣًﺎ ﺃَﻭْ ﺧُﺪُﻭْﺷًﺎ ﺃَﻭْ ﺧُﻤُﻮﺷًﺎ ﻓِﻲ ﻭَﺟْﻬِﻪِ . ﻗِﻴﻞَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ : ﻭَﻣَﺎﺫَﺍ ﻳُﻐْﻨِﻴﻪِ، ﺃَﻭْ ﻣَﺎﺫَﺍ ﺃَﻏْﻨَﺎﻩُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺧَﻤْﺴُﻮﻥَ ﺩِﺭْﻫَﻤًﺎ ...
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham...” (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
.
Mengomentari hadis di atas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham—atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu—yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal; juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya—maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî ad-Dawalah al-Khilâfah, hlm. 173).
.
Jika satu dirham hari ini setara dengan Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak, istri dan gaji pembantunya).
.
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
.
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda:
ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﺤَﻼﻝِ ﻓَﺮِﻳﻀَﺔٌ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻔَﺮِﻳﻀَﺔِ
Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain (HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
ﻻَ ﺗَﺄْﻳَﺴَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕِ ﻣَﺎ ﺗَﻬَﺰَّﺯَﺕْ ﺭُﺅُﻭﺳُﻜُﻤَﺎ ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻹِﻧْﺴَﺎﻥَ ﺗَﻠِﺪُﻩُ ﺃُﻣُّﻪُ ﺃَﺣْﻤَﺮَ ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻗِﺸْﺮَﺓٌ ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺮْﺯُﻗُﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ
Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
.
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:
ﻣَﺎ ﺁﻣَﻦَ ﺑِﻲ ﻣَﻦْ ﺑَﺎﺕَ ﺷَﺒْﻌَﺎﻥَ ﻭَ ﺟَﺎﺭُﻩُ ﺟَﺎﺋِﻊٌ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻨْﺒِﻪِ ﻭَ ﻫُﻮَ ﻳَﻌْﻠَﻢُ
Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
.
Rasulullah saw. juga bersabda:
ﺃَﻳُّﻤَﺎ ﺃَﻫْﻞِ ﻋَﺮْﺻَﺔٍ ﻇَﻞَّ ﻓِﻴﻬِﻢُ ﺍﻣْﺮُﺅٌ ﺟَﺎﺋِﻊٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﺮِﺋَﺖْ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺫِﻣَّﺔُ ﺍﻟﻠَّﻪِ
Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
.
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
ﻓَﺎﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺭَﺍﻉٍ ﻭَﻣَﺴْﺌُﻮﻝٌ ﻋَﻦْ ﺭَﻋِﻴَّﺘِﻪِ
Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.
.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
.
Pentingnya Penerapan Syariah Islam
.
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka. Akibat lanjutannya, menurut laporan tahunan Global Wealth Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Tanah Air menguasai 49 persen total kekayaan nasional.
.
Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.
.
Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Karena itu mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih menerapkan sistem yang rusak ini. Bahkan Oxfam International yang meriset data ini menyebut fenomena ini sebagai “gejala sistem ekonomi yang gagal!” (Tirto.id, 22/01/2018).
.
Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
.
Lebih dari itu, penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT. []
—***—
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
ﻭَﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﻘُﺮَﻯ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﺍﺗَّﻘَﻮْﺍ ﻟَﻔَﺘَﺤْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺑَﺮَﻛَﺎﺕٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ
Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami membuka untuk mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96). []
—***—
Sumber:
Buletin Kaffah_049 (14 Dzulqa'dah 1439 H-27 Juli 2018 M)

PENGULANGAN KEJADIAN TERBENTUKNYA 2 KUBU PADA MASA TRANSISI REVOLUSI SISTEM NEGARA

PENGULANGAN KEJADIAN TERBENTUKNYA 2 KUBU PADA MASA TRANSISI REVOLUSI SISTEM NEGARA

Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi

Kami sengaja mengangkat tema tentang ini karena menurut pengamatan kami terhadap berbagai peristiwa politik yang terjadi saat ini bahwa telah dimulainya awal mula pemicu terbentuknya kaum muslim yang akan mengkerucut kepada 2 kubu besar, yaitu kubu Islam dan kubu Nasionalis dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun dari sekarang atau mungkin beberapa tahun kedepan.

Kejadian pengkerucutan kepada 2 kubu besar ini merupakan babak final dimana sebuah sistem negara akan ditentukan berbentuk seperti apa, dimana salah satunya kubu Islam ini berasal dari banyak kelompok Islam yang tidak sejalan dengan rezim yang kemudian bersatu menjadi satu kekuatan besar. Lalu kubu Nasionalis ini berasal dari kaum muslim juga yang memang masih loyal terhadap rezim dimana kaum muslim bagian ini tergolong muslim munafik karena terus mempertahankan ide-ide, gagasan-gagasan dan konsep-konsep Barat serta loyal kepada rezim.
Kami akan ambil 3 peristiwa penting dimana pada peristiwa itu terdapat pertarungan antara kubu Islam dan kubu Nasionalis dalam menentukan arah sistem negara pada masa transisi, kemudian akan kami uraikan peristiwa politik saat ini yang sesungguhnya sesaat lagi peristiwa pembentukan kubu Islam dan kubu Nasionalis itu akan terulang kembali dalam waktu jangka pendek atau menengah kedepan.

Kejadian Pertama :
Kejadian pertama ini bisa kita lihat pada sejarah detik-detik runtuhnya Khilafah Ustmaniyyah pada 3 Maret 1924.

Hal ini diawali dengan munculnya para misionaris dari Inggris, Prancis dan Amerika sejak tahun 1600an dengan mendirikan berbagai organisasi, sekolah dan media cetak (buku dan berita) serta kedutaan di Malta, Beirut, Istanbul, Baghdad, Damaskus, Kairo dan Jeddah untuk menyebarkan pemahaman nasionalisme dan separatisme kepada pemikiran kaum muslim saat itu sehingga kaum muslim akan tersulut untuk memisahkan diri dari Khilafah karena merasa diri harus "merdeka" dari pemerintahan Khilafah.

Berbagai organisasi missionaris sudah banyak didirikan diantaranya anak organisasi Jesuit (1600an-1773), The American Mission (1842), The Science and Arts Association (1847), Eastern Association (1950), The Secret Association (1875), dan lainnya.

Di sisi lain missionaris, pihak pemerintah Inggris dan Prancis mendesak Khilafah agar mereformasi konstitusi Islam menjadi konstitusi Barat baik secara langsung maupun lewat kaki tangan boneka mereka yang ada di dalam lingkaran pemerintah pusat Khilafah. Upaya ini telah dimulai sejak 3 November 1839 dengan menawarkan sebuah naskah dokumen bernama "Khalkanah". Desakan itu semakin kuat pada 1 Februari 1855 hingga Sultan Abdul Majid I pun mengeluarkan rancangan konstitusi hasil reformasi bernama "Dokumen Hemayun".

Kaki tangan Inggris-Prancis di dalam pemerintahan Khilafah salah satunya adalah Midhat Pasha sebagai Menteri Kehakiman dalam Kabinet Muhammad Rushdie Pasha pada masa Kekhalifahan Abdul Aziz, dimana Midhat Pasha ini telah berhasil memberhentikan Khalifah Abdul Aziz yang menolak untuk mengadopsi konstitusi Barat. Akhirnya usaha Midhat Pasha ini berhasil ketika Khalifah Abdul Hamid naik tahta pada 1 September 1876 dimana Midhat Pasha membentuk komite beranggotakan 16 orang pegawai sipil, 10 orang ulama dan 2 perwira tinggi militer untuk menyusun rancangan konstitusi negara yang baru, hingga akhirnya pada 23 Desember 1876 telah disahkan secara resmi dengan nama Qanun Asasi (Undang-Undang Dasar) yang diinspirasi oleh konstitusi Belgia.

Tetapi usaha Midhat Pasha ini ditentang Khalifah Abdul Hamid karena jelas konstitusi itu disusun berdasarkan konsep sistem Demokrasi yang merupakan sistem kufur. Akhirnya pada 5 Februari 1877 sang Khalifah memecat Midhat Pasha sebagai Mu'awin (pembantu khalifah). Khalifah pun mengupayakan konsolidasi institusi Khilafah kepada kaum muslim agar bisa berhadapan dengan pemikiran-pemikiran Barat, namun perlawanan terhadap Sultan Abdul Hamid semakin luas juga, dimana Partai Turki Muda memberontak Sultan pada 1908 hingga berhasil mendirikan parlemen baru tepatnya pada 17 November 1908.
Perlawanan pihak yang menentang Khilafah ini akhirnya menjadi satu kekuatan besar sebagai kekuatan Nasionalis setelah munculnya Musthafa Kemal pada tahun 1915 dimana ia mulai dikenal setelah mengikuti pertempuran Ana Forta saat Khilafah ikut masuk menjadi sekutu Jerman pada Perang Dunia 1 melawan Inggris. Berbagai upaya Musthafa Kemal untuk mengkudeta Khilafah pun dilakukan berkali-kali sembari mendesak Khilafah mundur dari PD 1, dimana disisi lain Musthafa Kemal malah dikenal sebagai pahlawan karena mengusir Inggris dari Khilafah sebagai lawan di PD 1.

Pada tahun 1920 Musthafa Kemal mendirikan struktur pemerintahan di Ankara sebagai tandingan ibukota Khilafah di Istanbul, ditambah di dalam tubuh kaum muslim pun melihat Khilafah sudah semakin menghilang eksistensinya, pun keberadaan Sultan pun hanya sekedar simbol semata yang seolah tidak mempunyai kekuatan lagi, hingga akhirnya pertarungan antara kubu Islam yang ada di bawah Khalifah terakhir yaitu Abdul Majid II telah kalah oleh kubu Nasionalis yang ada di bawah Musthafa Kemal hingga lenyaplah Khilafah pada 3 Maret 1924 berganti menjadi sistem Republik Turki dengan Kapitalisme Demokrasinya serta paham Nasionalismenya.

Kejadian Kedua :
Kejadian kedua ini bisa kita lihat pada detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Kubu Nasionalis dan kubu Islam pada awalnya telah sepakat terhadap isi dari Piagam Jakarta pada sila ke-1 yang berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" yang telah ditandatangi pada 22 Juni 1945 oleh anggota panitia sembilan yang tergabung di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diantaranya Soekarno, Achmad Soebardjo, Abdul Kahar Muzakki, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Hatta, Abdul Wahid Hasyim, Agus Salim dan Mohammad Yamin.
Tetapi pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan, pihak nasionalis telah diam-diam menghapus kata-kata pada poin pertama piagam Jakarta dalam waktu kurang dari 15 menit dari kata "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Maka pupuslah sudah tujuan para ulama se-Indonesia yang telah mengirim 52.000 surat yang menginginkan penerapan syari'at Islam menjadi dasar negara.

Kejadian Ketiga :

Kejadian ketiga ini bisa kita lihat pada detik-detik dibubarkannya Konstituante oleh Soekarno pada 5 Juli 1959.
Pertarungan kubu Islam yang terdiri dari para ulama dan organisasi Islam dengan kubu Nasionalis dilanjut kembali ketika negara memasuki masa transisi kembali dimana saat itu negara telah dua kali berganti undang-undang dasar dari UUD 1945 menjadi UUD RIS 1949 lalu berubah lagi menjadi UUDS 1950. Maka pada tanggal 9 November 1956 dibentuklah Konstiuante yang terdiri dari 514 kursi yang mana terdapat 2 kekuatan besar yaitu kubu Islam dan kubu Nasionalis, dimana dari 514 kursi ini 230 kursinya adalah kubu Islam dan 284 kursinya adalah kubu Nasionalis.
Konstituante ini ditugaskan untuk membentuk dasar negara yang baru pengganti UUDS 1950. Selama persidangan Konstituante, kesepakatan selalu tidak tercapai karena kubu Islam menginginkan penerapan syari'at Islam dari piagam Jakarta dikembalikan menjadi dasar negara dan menolak Pancasila sebagai dasar negara, sementara kubu Nasionalis sebaliknya. Hingga akhirnya konstituante ini dibubarkan oleh Soekarno pada 5 Juli 1959 sekaligus Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang mana menyatakan kembali kepada UUD 1945 sembari menganggap bahwa tafsiran kata "Ketuhanan" yang ada di Pancasila itu bisa berarti "Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya".
Maka kubu Islam kembali telah kalah kedua kalinya oleh kubu Nasionalis pada kesempatan masa transisi kedua ini.
Prediksi Kejadian Keempat :
Pada prediksi kejadian keempat ini kami telah mengamati bahwa potensi pengkerucutan umat menjadi 2 kubu kembali akan segera terbentuk dalam beberapa bulan atau entah beberapa tahun kedepan.

Hal ini dimulai sejak tahun 2016, dimana hal ini diawali oleh kasus Ahok yang menista Al-Maidah 51, maka disanalah awal mula umat Islam bersatu dimana dapat diakui bahwa pemantik awalnya adalah Hizbut Tahrir yang melakukan aksi di Patung Kuda yang menolak pemimpin kafir dan penyeruan penegakan Syariah dan Khilafah. Akhirnya setelah umat terpicu, maka lahirlah aksi 411 dengan kisaran massa berjumlah 2,5 juta orang dan aksi fenomenal lainnya yaitu aksi 212 dengan kisaran massa 5 - 7,4 juta orang dan aksi-aksi serupa seterusnya di sepanjang 2017.

Di awal tahun 2017 mulai muncul desakan dari muslim munafik untuk membubarkan Hizbut Tahrir, terlebih menjelang dan pada saat acara Mashirah Panji Rasulullah pada sepanjang April 2017 kaum muslim munafik yang telah menjadi kaki tangan penguasa melakukan persekusi dengan menggagalkan acara Mapara HTI 2017. Lalu akhirnya pada tanggal 19 Juli 2017 Menkumham telah menyatakan mencabut badan hukum Hizbut Tahrir bernomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM atas Surat Keputusan Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

Selepas "dibubarkan" itu, tingkat persekusi semakin meningkat dilakukan oleh Banser dan Ansor dari NU yang memang telah menandatangani kesepakatan dengan rezim soal program Deradikalisasi. Kedua sayap artifisial militer NU ini terus mempersekusi kegiatan para aktifis Hizbut Tahrir, termasuk Ust.Felix Siauw yang mana pengajiannya pun turut dihalangi dan dibubarkan. Tetapi pada 2018 ini Banser dan Ansor telah melebarkan sayap persekusinya tidak hanya kepada Hizbut Tahrir, tetapi kepada tokoh dan ulama vital yang tidak loyal kepada rezim.

Hal lainnya yang sudah menyebar di tubuh umat Islam adalah menyebarnya opini bendera Al-Liwa dan Ar-Rayah sejak 2016 hingga saat ini, bahkan terlebih lagi di 2018 ini jauh lebih canggih. Mungkin di 2016 masih Hizbut Tahrir yang membawa bendera Al-Liwa dan Ar-Rayah, lalu di 2017 ormas-ormas Islam lain pun sudah turut mengibarkannya, dan di 2018 ini sudah dikibarkan oleh kaum muslim umum yang bukan merupakan aktivis gerakan ormas Islam tertentu.

Di satu sisi lainnya, tindakan persekusi Banser dan Ansor sebagai kaki tangan rezim ini semakin tidak disukai oleh kaum muslim, terlebih tindakan mereka selalu menyuarakan Pancasila-NKRI sembari mengkriminalkan Khilafah dan bendera Al-Liwa & Ar-Rayah. Maka titik baliknya adalah perasaan kaum muslim terhadap Islam telah tersulut keluar untuk melakukan pembelaan kepada Islam, khususnya kepada ulama dan bendera Al-Liwa & Ar-Rayah.

Hasilnya, kaum muslim melawan balik kaum munafik dengan melakukan pengusiran terhadap acara Banser-Ansor yang akan mempromosikan nilai nasionalisme dan simbol-simbolnya di daerah-daerah mereka, dan yang paling terkenal adalah pengusiran para munafik di Riau.

Sebelum itu, perlawanan kaum muslim terhadap munafik lainnya adalah penolakan terhadap ide Islam Nusantara oleh MUI Sumbar dan MUI Sumut yang tetap membela dan menginginkan Islam secara benar.

Peristiwa lainnya adalah terjadinya pawai dan tarhib di berbagai daerah dengan pengibaran bendera Al-Liwa dan Ar-Rayah oleh kaum muslim, bahkan yang terbaru dan cukup menggemparkan adalah acara tarhib Muharram 1440 H di kota Tasikmalaya, Jawa Barat yang bahkan diselenggarakan di depan gedung DPRD Kota Tasikmalaya yang dilakukan oleh kaum muslim umum dan para pejabat pemerintah daerah serta aparat TNI dan polisi dengan begitu ramai dan disambut meriah oleh kaum muslim disana.
Maka prediksi yang kami lihat kedepan adalah akan terbentuk kembali kubu Islam dan kubu Nasionalis dalam beberapa bulan atau tahun kedepan. Dasarnya adalah :

1. Kubu Jokowi telah melakukan persekusi terhadap Hizbut Tahrir dan kaum muslim lainnya yang tidak pro rezim, sehingga memunculkan simpati terhadap objek yang dipersekusi, maka kaum muslim malah balik melawan dengan mengopinikan sendiri kebenaran, termasuk membela serta mengibarkan Al-Liwa dan Ar-Rayah.

2. Kubu Jokowi telah terjebak dalam jebakan yang dibuatnya sendiri. Jebakan Dua Arah. Dimana dia telah melakukan strategi pelabelan "Ganti Presiden adalah Ganti Sistem" terhadap kubu Prabowo agar Prabowo difitnah akan mengganti sistem negara menjadi Khilafah.

3. Prabowo pun telah terpancing masuk Jebakan Dua Arah tadi dengan membantah fitnah tersebut dan menyebutkan bahwa Khilafah adalah sebuah propaganda sesat dan picik untuk mempengaruhi rakyat. Maka disanalah telah diketahui jelas bahwa Prabowo pun serupa dengan Jokowi, yaitu menolak Khilafah dan membencinya.

4. Kami tidak dapat memprediksi siapa yang akan menang di Pemilu 2019, karena Jokowi pun mempunyai kekuatan modal dari 9 naga untuk memanipulasi elektabilitas pada lembaga survey dan perhitungan suara di KPU. Lalu Prabowo pun bisa memang karena ada kekuatan umat Islam, tetapi dalam dilema karena pada 14 September 2018 menyatakan Khilafah adalah propaganda sesat dan picik.

5. Saat ini umat Islam mulai mengkerucut meski masih kepada 3 kekuatan, yaitu kubu munafik, kubu ganti presiden dan kubu ganti sistem. Tetapi dengan melihat kejadian umat saat ini, melihat kubu ganti presiden begitu membela Islam, mengoponikan Al-Liwa dan Ar-Rayah, menolak Islam Nusantara, menolak Banser-Ansor, maka kubu ganti presiden ini akan beralih ke kubu ganti sistem menjadi kubu Islam yang akan melawan kubu munafik menjadi kubu Nasionalis.

6. Tindakan inisiatif umat dalam mengopinikan Al-Liwa dan Ar-Rayah akan kembali dilakukan dalam tindakan inisiatif mengopinikan ganti sistem. Hal ini pemicu awalnya adalah tindakan Lembaga Bantuan Hukum Aliansi Masyarakat sipil Untuk Indonesia Hebat (LBH Almisbat) yang sebetulnya kaki tangan rezim telah melakukan pelaporan kepada polisi atas video Ust. Mardani Ali Sera yang berkata ganti presiden dan Ust.Ismail Yusanto yang berkata ganti sistem. Dimana Al-Liwa dan Ar-Rayah pun setelah dipersekusi, malah diopinikan balik secara inisiatif oleh kaum muslim. Hal sama pun akan terjadi ketika kata "ganti sistem" yang sebetulnya itu adalah Khilafah telah dipolisikan, ditambah 2019 nanti keadaan akan semakin berbeda lagi, maka Khilafah ini justru akan semakin kuat diopinikan dengan inisiatif oleh kaum muslim.

7. Atas tindakan persekusi rezim lewat Banser-Ansor sayap artifisial militer NU yang selama ini selalu menggaungkan Pancasila-NKRI, justru itu adalah pemicu kaum muslim akan semakin benci terhadap Pancasila dan NKRI itu sendiri sebagai nilai-nilai ashabiyyah yang bukan berasal dari Islam. Umat secara alami saat ini telah menampakkan pembelaan terhadap Islam dan tidak suka terhadap rezim, Banser-Ansor. Maka secara alami dengan sendirinya nilai-nilai ashabiyyah itu akan kaum muslim tinggalkan dan umat menyadari bahwa Islamlah yang harus dipegang.

8. Pembentukan 2 kubu ini diprediksi akan terjadi ketika pasca Pemilu 2019 menuai hasil yang mengecewakan. Kami tidak tau apakah mengecewakan disini ada 2 kemungkinan: Pertama, kecewa bagi pendukung Prabowo, karena Jokowi terpilih kembali. Kedua, kecewa terhadap Prabowo sendiri karena pada saat terpilih berkhianat kepada kaum Muslim. Maka kami menyakini entah di kurun waktu 2019 atau 2020 kedua kubu ini akan terbentuk untuk menentukan sistem negara karena pada situasi nanti, negara sedang chaos. Bukan chaos senjata, tapi kaum muslim akan banyak turun ke jalan melakukan aksi untuk menuntut perubahan. Perubahan total.

9. Kubu Islam yang akan terbentuk nanti akan berbeda jauh dengan kubu Islam masa jelang runtuhnya Khilafah, jelang kemerdekaan, dan masa Konstituante.
Perbedaannya adalah ada pada pemahaman tentang Islam dan pemahaman akan kerusakan sistem Kapitalisme, Demokrasi, Nasionalisme dan simbol-simbol ashabiyyah serta ide kufur lainnya. Pemahaman kuat dan mendasar tentang Islam secara menyeluruh, mulai dari kerangka berpikir, pemikiran mendasar, kerusakan pemikiran barat, ideologi Islam hingga detail konsep tata negara Khilafah sudah dirumuskan oleh seorang Mujtahid Mutlak (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani) yang mana umat Islam tidak akan kebingungan seperti menjelang runtuhnya Khilafah dulu saat menghadapi pemikiran Barat. Dan saat ini sebagian umat Islam telah mempunyai pondasi kuat untuk menggiring kaum muslim seluruhnya dan calon kafir dzimmi untuk memasuki Fase ke 5.

Itulah pengamatan dari kami, dimana kejadian saat ini sebagai pemicu akan kembali terbentuknya 2 kubu besar sebagaimana peristiwa menjelang runtuhnya Khilafah, menjelang kemerdekaan Indonesia dan peristiwa Konstituante.

 Hanya saja kejadian yang akan datang ini berbeda. Kejadian keempat ini kebalikan dari kejadian keruntuhan Khilafah 3 Maret 1924, yaitu bergantinya sistem Kapitalisme Demokrasi Nasioanalisme menjadi Khilafah Islamiyah Ala Minhajin Nubuwwah Jilid 2.
Masa transisi itu akan segera tiba dalam beberapa bulan entah tahun kedepan dan mungkin memakan waktu pula. Hanya Allah yang tahu, dan hanya Dia yang menentukan Nasrullah itu turun.
Wallahu alam bishowab.
(prediksi)

PEMIMPIN DIKTATOR (AL-MULK AL-JABRIY) : CIRI-CIRINYA DAN BAGAIMANA MENYIKAPINYA MENURUT SUNNAH NABI SAW

PEMIMPIN DIKTATOR (AL-MULK AL-JABRIY) : CIRI-CIRINYA DAN BAGAIMANA MENYIKAPINYA MENURUT SUNNAH NABI SAW
.
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
.
// Pendahuluan //
.
# WadahAspirasiMuslimah_ Setelah runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, umat Islam di seluruh dunia dipimpin oleh para pemimpin diktator (al-mulk al-jabriy) sebagai sistem pemerintahan keempat yang disampaikan Nabi SAW kepada umat Islam. Hal itu dapat diketahui dari hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﻓﻴﻜﻢ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺛﻢ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺷﺎﺀ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺛﻢ ﺗﻜﻮﻥ ﺧﻼﻓﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﻓﺘﻜﻮﻥ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺛﻢ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺛﻢ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻠﻜﺎ ﻋﺎﺿﺎ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺛﻢ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺷﺎﺀ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺛﻢ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻠﻜﺎ ﺟﺒﺮﻳﺔ ﻓﺘﻜﻮﻥ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺛﻢ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺷﺎﺀ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﺛﻢ ﺗﻜﻮﻥ ﺧﻼﻓﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﺛﻢ ﺳﻜﺖ
"Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan 'Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam." (HR Ahmad. Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430).
.
// Pengertian Pemimpin Diktator (Al-Mulk Al-Jabriy) //
.
Syeikh Hisam Al Badrani menjelaskan pengertian Al-Mulk Al-Jabriy itu dengan berkata :
ﺃﻣﺎ ﺃﻥَّ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻤﻠﻚِ ﺍﻟﺠﺒﺮﻱِّ : ﻫﻮ ﺇﻗﺎﻣﺔُ ﺷﺮﺍﺋﻊِ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻲ ﺑﻼﺩِ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻓﻬﺬﺍ ﻇﺎﻫﺮٌ ﻣﻦ ﺩﻻﻟﺔِ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹِ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴَّﺔ ﻓﻲ ﺗﻌﺮﻳﻒِ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻟﺠﺒﺮﻱِّ، ﻓَﻀﻼً ﻋﻦ ﻣُﺸﺎﻫﺪﺗﻪِ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊِ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺱِ ﺗَﻔﺴﻴﺮﺍً ﻟﻨُﺒﻮﺀَﺓِ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﺗﺤﻘﻴﻘﺎً ﻟﻤﻨَﺎﻁِ ﺍﻷﻧﻈﻤﺔِ ﺍﻟﺠﺒﺮﻳﺔ، ﻭﺑَﻴﺎﻧﺎً ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﻤﻄﻠﻮﺏَ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲَّ
“Adapun makna al-mulk al-jabri (pemimpin diktator) adalah [pemimpin yang] menegakkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Ini jelas sekali didasarkan pada dalaalah (pengertian) nash-nash syara’ mengenai definisi al-mulk al-jabriy. Apalagi jika melihat fakta yang terindera terhadap al-mulk al-jabriy itu yang menjadi penafsiran terhadap nubu`ah (ramalan) Rasulullah SAW, dan menjadi perwujudan terhadap realitas sistem-sistem diktator, dan juga sebagai penjelasan kepada kaum muslimin mengenai tuntutan syar’i mereka.” (Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba’da Hadm Al Khilafah, hlm. 38).
.
// Ciri-Ciri Pemimpin Diktator (Al-Mulk Al-Jabriy) //
.
Banyak nash-nash hadits Nabi SAW yang menjelaskan ciri-ciri atau sifat-sifat dari pemimpin diktator ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
.
✓ Pertama, tidak mempunyai kapabilitas untuk memimpin masyarakat banyak.
Pemimpin seperti ini oleh Nabi SAW disebut dengan ruwaibidhah. Kepemimpinan seperti ini sangatlah berbahaya dan sangat destruktif bagi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Karena pemimpin seperti ini dapat menjungkirbalik
kan segala nilai dan tatanan, yaitu orang yang jujur dikatakan pembohong, orang yang pembohong dikatakan orang jujur, pengkhianat dipercaya namun sebaliknya orang yang bisa dipercaya malah dianggap pengkhianat. Dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan :
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺳَﻴَﺄْﺗِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺳَﻨَﻮَﺍﺕٌ ﺧَﺪَّﺍﻋَﺎﺕٌ ﻳُﺼَﺪَّﻕُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺏُ ﻭَﻳُﻜَﺬَّﺏُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻕُ ﻭَﻳْﺆْﺗَﻤَﻦُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﺎﺋِﻦُ ﻭَﻳَﺨُﻮﻥُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﻷَﻣِﻴﻦُ ﻭَﻳَﻨْﻄِﻖُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﻟﺮُّﻭَﻳْﺒِﻀَﺔُ ﻗِﻴﻞَ : ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟﺮَّﻭَﻳْﺒِﻀَﺔُ . ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟﺘَّﺎﻓِﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟْﻌَﺎﻣَّﺔِ . ﺭﻭﺍﻩ ﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ 4036
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,”Akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya. Pada tahun-tahun itu pendusta dibenarkan, sebaliknya orang jujur didustakan, pengkhianat dipercaya sebaliknya orang yang terpercaya dianggap pengkhianat. Pada masa itu berbicara Ruwaibidhah.” Ada yang bertanya,”Apa itu Ruwaibidhah?” Rasul bersabda,”Orang bodoh yang bicara urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, nomor 4036).
.
✓ Kedua, tidak mengikuti petunjuk (hadyu) dan Sunnah Rasulullah SAW.
Pada faktanya di jaman modern ini, yang diikuti oleh pemimpin diktator bukanlah ajaran Islam (sunnah Rasulullah SAW), melainkan sistem demokrasi-sekular yang merupakan hadyu dan sunnah dari kaum kafir penjajah (Yahudi dan Nashrani) dari Barat. Kepemimpinan seperti ini disebut oleh Nabi SAW dengan istilah imaarat al-sufahaa` (kepemimpinan orang-orang bodoh). Orang yang mengikuti kepemimpinan orang-orang bodoh ini kelak tidak akan diakui Nabi SAW sebagai umatnya dan tidak akan dibolehkan menjumpai Nabi SAW di telaganya (al Haudh) di Hari Kiamat kelak. Na’uuzhu billah min dzaalik. Dalam kitab Al-Musnad oleh Imam Ahmad disebutkan :
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ : ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻟﻜﻌﺐ ﺑﻦ ﻋﺠﺮﺓ ﺃﻋﺎﺫﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺇﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﺃﻣﺮﺍﺀ ﻳﻜﻮﻧﻮﻥ ﺑﻌﺪﻱ ﻻ ﻳﻘﺘﺪﻭﻥ ﺑﻬﺪﻳﻲ ﻭﻻ ﻳﺴﺘﻨﻮﻥ ﺑﺴﻨﺘﻲ ﻓﻤﻦ ﺻﺪﻗﻬﻢ ﺑﻜﺬﺑﻬﻢ ﻭﺃﻋﺎﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻇﻠﻤﻬﻢ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﻟﻴﺴﻮﺍ ﻣﻨﻲ ﻭﻟﺴﺖ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﻻ ﻳﺮﺩﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺣﻮﺿﻲ ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﺪﻗﻬﻢ ﺑﻜﺬﺑﻬﻢ ﻭﻟﻢ ﻳﻌﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻇﻠﻤﻬﻢ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﻣﻨﻲ ﻭﺃﻧﺎ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺳﻴﺮﺩﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺣﻮﺿﻲ
Dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,’Hai Ka’ab bin ‘Ujrah, semoga Allah melindungi kamu dari imaarat al-sufahaa` (kepemimpinan orang-orang bodoh).’ Ka’ab bin Ujrah bertanya,”Apa itu imaarat al-sufahaa` wahai Rasulullah SAW?’ Rasulullah SAW menjawab,”[Imaarat al-sufahaa` itu] adalah para pemimpin yang akan datang setelah aku. Mereka itu tidak berteladan dengan petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Maka barangsiapa yang membenarkan perkataan mereka (Imaarat al-sufahaa`), dan membantu kezaliman mereka, maka dia tidak termasuk golonganku dan aku pun bukan termasuk golongannya, dan dia tidak akan mendatangi aku di telagaku (di Hari Kiamat kelak). Namun barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka (Imaarat al-sufahaa`), dan tidak membantu kezaliman mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya, dan dia akan mendatangi aku di telagaku (di Hari Kiamat kelak).” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III, hlm. 111, nomor 14.481).
.
✓ Ketiga, bertindak kejam dan biadab, yaitu tidak segan membunuh rakyatnya sendiri jika tidak mau tunduk kepada pemimpin diktator ini.
Pemimpin seperti ini dalam sebagian atsar dari para shahabat disebut dengan imaarat al-shibyaan alias kepemimpinan anak-anak, yakni kepemimpinan dari orang-orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana halnya anak-anak. Dalam kitab Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah terdapat atsar dari Abu Hurairah RA sebagai berikut :
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻠْﻌَﺮَﺏِ ﻣِﻦْ ﺷَﺮٍّ ﻗَﺪْ ﺍﻗْﺘَﺮَﺏَ : ﺇﻣَﺎﺭَﺓُ ﺍﻟﺼِّﺒْﻴَﺎﻥِ ﺇﻥْ ﺃَﻃَﺎﻋُﻮﻫُﻢْ ﺃَﺩْﺧَﻠُﻮﻫُﻢْ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ , ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺼَﻮْﻫُﻢْ ﺿَﺮَﺑُﻮﺍ ﺃَﻋَﻨْﺎﻗَﻬُﻢْ
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Celakalah orang Arab dari suatu kejahatan yang telah dekat, yaitu imaarat ash-shibyaan (kepemimpinan anak-anak), yakni kepemimpinan yang jika rakyat mentaati mereka, mereka akan memasukkan rakyatnya ke dalam neraka. Tapi jika rakyat tidak mentaati mereka, mereka akan membunuh rakyatnya sendiri.” (HR Ibnu Abi Syaibah, dalam Al Mushonnaf, nomor 37546).
.
// Menyikapi Pemimpin Diktator Menurut Sunnah Nabi SAW //
.
Islam tidak hanya menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri pemimpin diktator (al-mulk al-jabri), tetapi juga menjelaskan bagaimana umat Islam menyikapi pemimpin diktator (al-mulk al-jabri) yang tengah mencengkeram dan menindas umat Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW:
.
✓ Pertama, menjauhkan diri dari mereka.
Hal ini nampak jelas dari hadits Hudzaifah bin Al Yaman RA yang pernah mengatakan :
ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺴﺄﻟﻮﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ . ﻭﻛﻨﺖ ﺃﺳﺄﻟﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮ . ﻣﺨﺎﻓﺔ ﺃﻥ ﻳﺪﺭﻛﻨﻲ . ﻓﻘﻠﺖ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ﺇﻧﺎ ﻛﻨﺎ ﻓﻲ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ ﻭﺷﺮ . ﻓﺠﺎﺀﻧﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ . ﻓﻬﻞ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﺷﺮ؟ ﻗﺎﻝ ‏( ﻧﻌﻢ ‏) ﻓﻘﻠﺖ : ﻫﻞ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺸﺮ ﻣﻦ ﺧﻴﺮ؟ ﻗﺎﻝ ‏( ﻧﻌﻢ . ﻭﻓﻴﻪ ﺩﺧﻦ ‏) . ﻗﻠﺖ : ﻭﻣﺎ ﺩﺧﻨﻪ؟ ﻗﺎﻝ ‏( ﻗﻮﻡ ﻳﺴﺘﻨﻮﻥ ﺑﻐﻴﺮ ﺳﻨﺘﻲ . ﻭﻳﻬﺪﻭﻥ ﺑﻐﻴﺮ ﻫﺪﻳﻲ . ﻋﺮﻑ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺗﻨﻜﺮ ‏) . ﻓﻘﻠﺖ : ﻫﻞ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺷﺮ؟ ﻗﺎﻝ ‏( ﻧﻌﻢ . ﺩﻋﺎﺓ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺟﻬﻨﻢ . ﻣﻦ ﺃﺟﺎﺑﻬﻢ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻗﺬﻓﻮﻩ ﻓﻴﻬﺎ ‏) . ﻓﻘﻠﺖ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ﺻﻔﻬﻢ ﻟﻨﺎ . ﻗﺎﻝ ‏( ﻧﻌﻢ . ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺟﻠﺪﺗﻨﺎ . ﻭﻳﺘﻜﻠﻤﻮﻥ ﺑﺄﻟﺴﻨﺘﻨﺎ ‏) ﻗﻠﺖ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ﻓﻤﺎ ﺗﺮﻯ ﺇﻥ ﺃﺩﺭﻛﻨﻲ ﺫﻟﻚ ! ﻗﺎﻝ ‏( ﺗﻠﺰﻡ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺇﻣﺎﻣﻬﻢ ‏) ﻓﻘﻠﺖ : ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻟﻬﻢ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﻻ ﺇﻣﺎﻡ؟ ﻗﺎﻝ ‏( ﻓﺎﻋﺘﺰﻝ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﻛﻠﻬﺎ . ﻭﻟﻮ ﺃﻥ ﺗﻌﺾ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻞ ﺷﺠﺮﺓ . ﺣﺘﻰ ﻳﺪﺭﻛﻚ ﺍﻟﻤﻮﺕ، ﻭﺃﻧﺖ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ‏) . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ 1847
“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasululah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, khawatir keburukan akan menimpaku. Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? Rasulullah SAW menjawab,’Iya’ Maka aku bertanya,’Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan?’ Rasulullah SAW menjawab,”Iya, dan padanya [kebaikan] ada asap.” Aku bertanya,’Apa asapnya?’Rasulullah SAW bersabda,’Ada satu kaum yang berperilaku dengan selain sunnahku, dan berpetunjuk dengan selain petunjukku. Sebagian dari mereka kamu ketahui dan kamu akan mengingkarinya.” Aku bertanya,’Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?’Rasulullah SAW menjawab,’Iya, yaitu ada para dai (penyeru) di pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, mereka akan melemparkannya ke dalam Jahannam.’ Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, jelaskan sifat mereka kepada kami?’Rasulullah SAW bersabda,’Baik, mereka adalah satu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, mereka berbicara dengan lisan kita.’ .
.
Aku bertanya,’Lalu apa pendapat Anda jika hal itu menimpa diriku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Berpe
ganglah dengan jamaah kaum muslimin dan Imam mereka.’ Aku bertanya,’Lalu jika tidak ada lagi jamaah kaum muslimin dan Imam mereka?’ Rasulullah SAW bersabda,’Maka jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya, walaupun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu sedangkan kamu tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (HR Muslim, no 1847).
.
Dalam hadits tersebut terdapat dalil, bahwa dalam kondisi tiadanya Imam bagi kaum muslimin seperti saat ini, yang harus dilakukan umat Islam adalah menjauhkan diri (i’tizaal) dari mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Maka jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya.” Ini juga isyarat halus bahwa dalam kondisi tiadanya Imam bagi kaum muslimin seperti sekarang ini, metode perubahan yang semestinya dilakukan bukanlah dengan “masuk sistem” seperti yang ditempuh oleh sebagian kaum muslimin, melainkan justru harus “di luar sistem”.
.
✓ Kedua, tidak mendengar dan mentaati mereka.
Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW :
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﺣﺐ ﻭﻛﺮﻩ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﻤﻌﺼﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺃﻣﺮ ﺑﻤﻌﺼﻴﺔ، ﻓﻼ ﺳﻤﻊ ﻭﻻ ﻃﺎﻋﺔ
“Wajib atas orang muslim untuk mendengar (pemimpin) pada apa-apa yang dia senangi dan dia benci, kecuali kalau diperintahkan untuk berbuat maksiat. Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak bleh didengar dan ditaati.” (HR Muslim, no 1839).
.
✓ Ketiga, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits tentang imaarat as-sufaaha, khususnya mengenai orang-orang yang akan selamat di akhirat kelak, yaitu :
ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﺪﻗﻬﻢ ﺑﻜﺬﺑﻬﻢ ﻭﻟﻢ ﻳﻌﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻇﻠﻤﻬﻢ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﻣﻨﻲ ﻭﺃﻧﺎ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺳﻴﺮﺩﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺣﻮﺿﻲ
Sabda Rasulullah SAW,”…namun barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka (Imaarat al-sufahaa`), dan tidak membantu kezaliman mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya, dan dia akan mendatangi aku di telagaku (di Hari Kiamat kelak).” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III, hlm. 111, nomor 14.481).
.
✓ Keempat, berdoa kepada Allah agar selamat dari kepemimpinan mereka yang zalim dan kejam.
Hal ini sebagaimana doa Nabi SAW kepada sahabat bernama Ka’ab bin ‘Ujrah dalam hadits tentang imaarat as-sufahaa` di atas.
ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ : ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻟﻜﻌﺐ ﺑﻦ ﻋﺠﺮﺓ ﺃﻋﺎﺫﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ
Dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,’Hai Ka’ab bin ‘Ujrah, semoga Allah melindungi kamu dari imaarat al-sufahaa` (kepemimpinan orang-orang bodoh). (HR Ahmad).
.
// Penutup //
Ya Allah, kami berlindung berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan pemimpin diktator (al-mulk al-jabriy) yang ada sekarang ini, pemimpin yang ada setelah hilangnya pemimpin kami yang sesungguhnya, yaitu seorang Imam bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
.
Ya Allah, kami berlindung berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan imaarat al-sufahaa` (kepemimpinan orang-orang bodoh) yang ada sekarang ini, yang tidak berteladan dengan petunjuk Nabi-Mu dan tidak bersunnah dengan sunnah Nabi-Mu, tapi justru berteladan dan bersunnah dengan sunnah kaum penjajah kafir dari Yahudi dan Nashrani.
.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan imaarat ash-shibyaan (kepemimpinan anak-anak) yang ada sekarang ini, yakni kepemimpinan yang jika kami mentaati mereka, mereka akan memasukkan kami ke dalam neraka, tapi jika kami tidak mentaati mereka, mereka akan membunuh kami padahal kami adalah rakyatnya sendiri.
.
Ya Allah, tolonglah kami Ya Allah, dengan hadirnya sang pemimpin sejati bagi umat Islam ini, yaitu seorang khalifah yang dibaiat untuk menjalankan Kitab-Mu dan Sunnah Nabi-Mu dalam negara Khilafah yang Engkau ridhoi. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin. [ ]
.
Sumber foto : balista news
# RamadanBulanPerjuangan
# PerjuanganMenujuKebangkitan
# KebangkitanHanyaDenganIslam
=================================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
===============================
Facebook :
https://www.facebook.com/Wadah-Aspirasi-M
uslimah-1951240191859944/

Sanad keilmuan Pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah.

Sanad keilmuan Pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah.

Mereka menuduh:


“Para aktivis HTI tidak punya guru alias tidak punya sanad Ilmu. Karena mereka mengotak atik ayat/hadist dengan akal pikirannya sendiri”

Tanggapan/Jawaban:
Ternyata di manuskrip2 Nahdiyin (NU) ditemukan & menyebutkn bahwa KH Hasyim Ashari (pendiri NU) berguru kapada Syaikh Yusuf An-Nabhani (kakek dari Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir/HT).

Maka tak heran juga kalau di kalangan nahdiyin (NU), kitab2 dari kakek pendiri HT ini msh dkaji/
dipelajari.

HT didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, beliau adalah pewaris Ilmu dan sanad Ilmu dari ayahandanya Syaikh Ibrahim bin musthafa bin Ismail An-Nabhani.
Beliau juga mendapat Ilmu dan Sanad Ilmu dari Kakek (Datuk) beliau Syaikh Yusuf Bin Isma’il An-Nabhani pengarang kitab Afdhalu Ash-Shalawat ‘Ala Sayyid As-Sadat juga kitab Jami’ul Karamah al auliya’.

Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani berguru pada Banyak ulama’ terkemuka dimasanya, terutama kepada Syaikh Syamsuddin al-Ambabi al- Syafi’i, satu-satunya syaikh pada masanya yang mendapat julukan Hujjatul Ilmi dan guru besar Universitas Al-Azhar pada masa itu.

Beberapa Ulama’ Indonesia berguru pada Syaikh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani, baik langsung maupun tidak langsung, diantaranya ulama Betawi yaitu sayid Utsman bin Abdillah bin Aqil bin Yahya aI ‘Alawi, yang masyhur dengan nama julukan “Mufti Batawi”, Syaikh Hasan Krueng Kali (Aceh).

Selain itu Syaikh Taqiyuddin secara Khusus oleh Syaikh Yusuf An-Nabhani dititipkan kepada sahabat-sahabat beliau yang mengajar di Al Azhar sehingga Syaikh Taqiyuddin secara keIlmuan terjaga dan secara Sanad Ilmu, sanadnya tetap tersambung.

Setelah Syaikh Taqiyuddin Lulus dari Al azhar beliau mengajar kemudian jadi Qadhi baru setelah itu mendirikan HT.
Walau HT sebuah gerakan politik tetapi HT memiliki ke khasan yang “mungkin” tidak dimiliki gerakan lain yaitu terjaganya Sanad Ilmu para kadernya.

Ini bisa dilihat yang berhak memberi Halaqah (tasqif) dalam hizb adalah para Musrif yang sudah menjadi A’dho yakini orang yang telah memahami Tasqafah HT dan mengintegral dalam dirinya, Mereka ini menadapakan Ijazah (lisensi) untuk mengajarkan afkar mutabanat HT.

Sehingga Tsaqafah (ilmu) yang didapatkan oleh para Syabab HT adalah dari Musrifnya dari musrifnya lagi hingga ke pendiri dan pengarang kitab (Syaikh taqiyuddin An-Nabhani) syaikh Taqiyuddin sanadnya tersambung ke ayahnya, kakeknya, dan guru-guru Beliau di Al Azhar hingga tersambung sampai keRasulullah SAW.
Sehingga jalas bahwa HT bukan gerakan yang otodidak dalam memahami nash syara’.

Tetapi HT memahami Nash Syara’ sebagai mana para Ulama’ memahaminya.
Bukan hanya mencomot dari kitabnya saja tetapi HT memiliki sanad Ilmu terhadap pemahaman yang ada dalam kitab ulama’ ulama’ tersebut.

Hal ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Nashir al-Asad: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim…

Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili10).
Sehingga menuduh HT tidak memiliki sanad Ilmu adalah tuduhan ceroboh yang menunjukkan kalau penuduh tidak memahami silsilah pembinaan keilmuan dalam tubuh HT.
Lihat ini
[ Syamsul Arifin ] - Wallahu A’lam

MANHAJ SIRAH NABAWIYAH SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI* _(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

MANHAJ SIRAH NABAWIYAH SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI*
_(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

Oleh: Yuana Ryan Tresna


Sebagian kalangan mengatakan bahwa Sirah Nabawiyah tidak bisa dijadikan dalil, termasuk dalil bagi metode dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya aktivitas thalab al-nushrah. Untuk menjawab hal itu dapat kita kembalikan pada dua hal: (1) sirah nabawiyah adalah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits, dan (2) metode dakwah Nabi (termasuk thalab al-nushrah) juga termaktub pada kitab-kitab hadits induk yang statusnya shahih.

*Sirah Nabawiyah Bagian dari Hadits*
Imam Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I hlm. 351 menyatakan bahwa sirah adalah bagian dari hadits. Sirah pada dasarnya mengabarkan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana al-Qur’an. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah sirah nabawiyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan.

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan,
ﻭﺗﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻣﻦ ﺃﻫﻢ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺍﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﻪ، ﻷﻧﻬﺎ ﺗﺤﻮﻱ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ، ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻟﻪ ﻭﺃﻗﻮﺍﻟﻪ ﻭﺳﻜﻮﺗﻪ ﻭﺃﻭﺻﺎﻓﻪ، ﻭﻫﺬﻩ ﻛﻠﻬﺎ ﺗﺸﺮﻳﻊ ﻛﺎﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻓﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻣﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻊ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺟﺰﺀﺍً ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻣﺎ ﺻﺢ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻭﺩﺭﺍﻳﺔ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً، ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ، ﻫﺬﺍ ﻓﻀﻼً ﻋﻦ ﺍﻻﻗﺘﺪﺍﺀ ﺑﺎﻟﺮﺳﻮﻝ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻣﺄﻣﻮﺭﻭﻥ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ { ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ } . ﻓﺎﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﻭﺗﺘﺒﻌﻬﺎ ﺃﻣﺮ ﺷﺮﻋﻲ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352 (
“Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana al-Quran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah. Apalagi meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Kitab sirah yang dapat dijadikan rujukan tentu saja yang memiliki sumber dan jalur periwayatan. Terdapat perbedaan antara kitab sirah pada era periwayatan dan tadwin hadits dengan yang disusun pada zaman setelahnya. Penyusunan kitab sirah pada abad ke-2 sampai abad ke-4 adalah seperti apa yang dilakukan oleh para ulama hadits dalam menyusun (mengumpulkan) hadits. Para ulama juga telah melakukan seleksi atas periwayatan dalam kitab-kitab sirah tersebut. Menyebutkan mana yang shahih dan mana yang dha’if.
Terkait kitab sirah terdahulu, syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan sebagai berikut,
ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺪﺍﻣﻰ ﻛﺎﻧﺖ ﻃﺮﻳﻘﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺗﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ، ﻭﻗﺪ ﺑﺪﺃ ﺍﻟﻤﺆﺭﺧﻮﻥ ﺷﻔﻮﻳﺎً، ﻭﺑﺪﺃ ﺍﻟﺠﻴﻞ ﺍﻷﻭﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﺷﺎﻫﺪ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺃﻭ ﺳﻤﻊ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﺭﻭﺍﻫﺎ ﻳﺮﻭﻳﻬﺎ ﻟﻐﻴﺮﻩ، ﻭﺗﺤﻤﻠﻬﺎ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺠﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺑﻌﺪﻩ، ﻭﻗﻴّﺪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ ﻛﺎﻟﺘﻲ ﺗُﺮﻯ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺘﻰ ﺍﻵﻥ، ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻘﺮﻥ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺭﺃﻳﻨﺎ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻳﺒﺪﺀﻭﻥ ﻓﻲ ﺟﻤﻊ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ، ﻭﺿﻢ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺑﻌﺾ، ﻭﺗﺪﻭﻳﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ، ﺑﺬﻛﺮ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﺮﺍﻭﻱ، ﻭﻣﻦ ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ، ﺗﻤﺎﻣﺎً ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻧُﻘّﺎﺩﻩ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻓﻮﺍ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻟﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻌﻴﻔﺔ ﺍﻟﻤﺮﺩﻭﺩﺓ ﺑﻤﻌﺮﻓﺘﻬﻢ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻭﺍﻟﺴﻨﺪ . ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺑﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺻﺤﻴﺤﺎً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352 (
“Metode orang-orang terdahulu dalam sirah dan tarikh bersandar pada periwayatan berita-berita. Para sejarawan memulainya secara lisan, dan generasi pertama yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasul atau mendengar tentang beliau mulai meriwayatkannya kepada yang lain, lalu diterima oleh generasi sesudahnya. Setelah itu ada sebagian orang yang membatasi hadits-hadits yang berserakan seperti yang terlihat dalam kitab-kitab hadits sampai sekarang. Pada abad kedua kita melihat sebagian ulama mulai mengumpulkan khabar-khabar tentang sirah, sebagian digabungkan dengan sebagian lainnya. Pembukuan dilakukan melalui metode periwayatan, dengan menyebutkan nama rawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana yang dilakukan dalam hadits. Karena itu para ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita-berita tentang sirah yang shahih yang bisa diterima dari berita-berita sirah yang dla’if dan mardud melalui pengetahuan mereka terhadap para perawi dan sanadnya. Inilah yang dijadikan rujukan sebagai bukti bahwa sirah tersebut shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Adapun kitab sirah kontemporer, sudah tidak mengikuti metode periwayatan. Inilah perbedaannya dengan kitab sirah sebelumnya. Oleh karenanya memerlukan tahqiq atas kitab-kitab tersebut,
ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﺆﻟﻔﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺣﺪﻳﺜﺎً، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻳﺴﺮﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻓﻘﻂ ﺩﻭﻥ ﺫﻛﺮ ﺭﻭﺍﺗﻬﺎ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻻ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺒﻬﻢ ﻛﻤﺼﺪﺭ ﻟﻠﺴﻴﺮﺓ، ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﻳﺤﻘﻖ ﻋﻨﺪ ﻛﺘﺎﺑﺘﻪ ﻟﻸﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺮﻭﻳﺔ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻣﻦ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻮﺛﻮﻗﻴﻦ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻳُﺴﺘﺸﻬﺪ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺑﻞ ﻳُﺮﺟﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﺩﺛﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﻤﺮﻭﻳﺔ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ، ﺃﻭ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻷﻥ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨّﺔ ﻻ ﺗﺆﺧﺬ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﺤﻴﺤﺔ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352-353 (
“Hal ini berbeda dengan (metode) penyusunan sirah saat ini. Mereka hanya menyebutkan kejadian-kejadiannya saja tanpa menyebutkan para rawinya, sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sumber sirah, kecuali jika seorang penyusun mentahqiq (melakukan penelitian) ketika menulis berita-berita yang diriwayatkan dalam kitabnya dari (berita-berita) sirah, dan dia termasuk orang yang dipercaya. Jika tidak demikian maka perkataannya tidak bisa dijadikan sebagai bukti. Jadi harus kembali tentang kejadian yang disebutkannya pada kitab-kitab sirah yang diriwayatkan dengan metode periwayatan atau pada kitab-kitab hadits, karena berita-berita tentang Nabi merupakan Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika keberadaannya shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352-353)

*Pengujian Sirah Nabawiyah*

Karena sirah Nabawiyah adalah bagian dari hadits, maka pengujiannya sama dengan menguji keshahihan hadits. Pengujian keshahihan sebuah riwayat harus memenuhi lima hal: (1) para rawinya adil, (2) para rawinya dhabithh, (3) sanadnya tersambung, (4) tidak ada syadz, dan (5) tidak terdapat illat. Memang benar bahwa kebanyakan kitab sirah, kitab maghazi dan futuhat yang terdahulu (yang meriwayatkan dengan sanadnya) memiliki catatan ditinjau dari kualitas sanadnya. Seperti halnya Kitab Maghazi karya Ibnu Ishaq (w. 150 H) dan al-Waqidi (w. 207 H). Adapun kitab-kitab yang ada setelahnya kebanyakan merujuk kepada kitab sebelumnya. Sebut saja Sirah Ibnu Hisyam (w. 213 H) dari Ibnu Ishaq. Demikian juga Thabaqat Ibnu Sa’ad (w. 230 H) dan Tarikh al-Thabari (w. 310 H) dari riwayat al-Waqidi.

Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq) dalam pandangan para ulama jarh wa ta’dil dinilai beragam. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar dan ada yang mengatakan Abu Abdillah. Tahun wafatnya ada yang menyebutkan, 144 H, 150 H, 151 H, 152 H dan 153 H. Ada yang mendha’ifkan, dan ada juga yang menyatakan tsiqah. Muhammad bin Ishaq merupakan rawi dari kitab-kitab hadits Kutub al-Sittah. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim. Ibnu Ishaq juga merupakan rawi hadits dalam Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibni Majah.

Dalam Kitab Tahzib al-Kamal (24/405) karangan Imam al-Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dil Ibnu Ishaq. Muhammad bin Muslim al-Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq, orang yang paling tahu tentang sirah”. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah (dapat dipercaya). Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadits, tetapi di tempat lain beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dha’if. Muhammad bin Idris al-Syafi’i memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq, “Dia adalah amirul mukminin dalam hadits”. Ali bin al-Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadits, haditsnya di sisiku adalah shahih”. Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu. Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih al-Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah. Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya. Muhammad bin Sa’ad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Al-Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan, “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadits walaupun kadangkala meriwayatkan hadits-hadits batihl yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah, sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.

Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib (hlm. 825), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi (sirah). Imam al-Baihaqi dalam kitab Zad al-Ma’ad Juz 1 hlm. 99 menyatakan, ”Muhammad bin Ishaq, jika dia menyebutkan sama’nya (bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan “hadits Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadits menjadikannya sebagai hujjah”.

Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib al-Kamal. Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Yahya bin Sa’id Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu. Sulaiman al-Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadits, bukan hujjah pada sunan, dha’if ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadits Ibnu Ishaq hasan. Al-Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat. Al-Daraquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah. Al-Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah. Al-Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.
Tuduhan yang paling menonjol pada diri Ibnu Ishaq adalah karena dianggap ahli bid’ah yaitu penganut Syi’ah dan paham Qadariyah. Tuduhan Syi’ah sama sekali tdk berdasar. Sebenarnya riwayat ahli bid’ah tidak mengapa selama tidak mengantarkan pada kekafiran dan ia tidak mendakwahkan kebid’ahannya. Terlebih lagi setelah diteliti oleh para ulama, Ibnu Ishaq jauh dari pemikiran Qadariyah atau Mu’tazilah.

Sehingga walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil Ibnu Ishaq secara mendalam. Dalam kitab al-Duafa Wa al-Matrukin hlm. 41, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah,yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Dazahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4, hlm. 469.

Al-Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyid al-Nas dalam kitabnya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Siyar membuktikan lemahnya jarh dan kokohnya ta’dil atas Ibnu Ishaq. Selain itu al-Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al-Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkesimpulan, ”Aku telah memeriksa hadits Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dha’if, terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .

Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam merupakan wujud lain dari Maghazi wa Siyar Ibni Ishaq ulama tabi’ut tabi’in yang dianggap paling mumpuni soal sirah nabawiyah. Namun Ibnu Hisyam, tidak meriwayatkan langsung dari Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam merupakan murid dari Ziyad Al Baka’i, Ziyad ialah salah satu murid Ibnu Ishaq, sedangkan Ibnu Ishaq merupakan generasi tabi’ut tabi’in. Ibnu Hisyam pakar tentang nasab dan nahwu. Ia mempunyai kitab tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Kitab tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.

Adapun al-Waqidi, para ulama hadits menilai riwayat al-Waqidi derajatnya matruk, karena kelemahan al-Waqidi. Di akhir hayatnya terjadi ikhtilath dalam periwayatannya. Hanya saja, muridnya yakni Ibnu Sa’ad al-Baghdadi penulis kitab Thabaqat al-Kubra sering dianggap figur terpercaya, dan banyak meriwayatkan dari gurunya itu, namun riwayat al-Waqidi tidak diterima oleh para ulama hadits khususnya jika meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Walaupun demikian, dalam hal pengetahuan sejarah maupun sirahnya, para ulama sangat mengakui al-Waqidi, khususnya dalam hal sejarah peperangan Rasulullah, sehingga kitabnya bisa dipergunakan untuk memperkaya konstruksi sejarah Rasulullah. Itu pula sebabnya Ibnu Sa’ad dan al-Thabari ketika meriwayatkan hadits maupun khabar dari al-Waqidi memperkuatnya dengan riwayat lain.

Dengan demikian, sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun Maghazi al-Waqidi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya, terutama dalam bahasan peperangan Rasulullah.

*Mendudukkan Tarikh Islam*

Adapun tarikh Islam, maka sama saja dengan penjelasan sebelumnya, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’. Hal tersebut dari dua hal: (1) jika shahabat berijma’ dalam suatu perkara, maka hal tersebut adalah dalil syara, (2) adapun jika itu merupakan pendapat individu shahabat, maka itu adalah ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat adalah hukum syara. Merujuknya bukan dalam rangka menjadikannya sebagai dalil, tetapi merujuk ijtihad seorang mujtahid. Apalagi ijtihadnya shahabat adalah menempati kedudukan tertinggi dalam ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan realitas tasyri’ dari sisi hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang mujtahid.

Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan,

ﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﺣﺼﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻫﻮ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺤﺚ، ﻷﻥ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺩﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ، ﻷﻥ ﻫﻨﺎﻟﻚ ﻭﻗﺎﺋﻊ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺗﺠﺪﺩﺕ ﺑﺘﺠﺪﺩ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ، ﻭﻋﻮﻟﺠﺖ ﻣﺸﺎﻛﻞ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ، ﻓﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻣﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻊ . ﻭﺇﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍً ﻣﻦ ﺷﺆﻭﻥ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ، ﻭﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺬﻣﺔ، ﻭﺍﻟﺨﺮﺍﺝ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮ، ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﻛﻮﻥ ﺍﻷﺭﺽ ﻋﺸﺮﻳﺔ ﺃﻡ ﺧﺮﺍﺟﻴﺔ، ﺃﻱ ﺃﻳﻬﺎ ﻓﺘﺢ ﺻﻠﺤﺎً ﻭﺃﻳﻬﺎ ﻓﺘﺢ ﻋﻨﻮﺓ، ﻭﺍﻷﻣﺎﻥ، ﻭﺍﻟﻬﺪﻧﺔ، ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻐﻨﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﻔﻲﺀ ﻭﺃﺭﺯﺍﻕ ﺍﻟﺠﻨﺪ، ﻭﻣﺎ ﺷﺎﻛﻞ ﺫﻟﻚ، ﻛﻠﻪ ﺣﻮﺍﺩﺙ ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺻﺎﺭﺕ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ، ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻻﺗﺨﺎﺫ ﻣﺎ ﺃﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻪ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 355 (
“Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Kebanyakan dari urusan jihad, mu’amalah (dengan) ahlu dzimmah, al-kharaj, al-‘usyur, untuk mengetahui eksistensi apakah tanah ‘usyriyah ataukah kharajiyah, tentang keamanan, gencatan senjata dan hukum-hukum tentang ghanimah, fai’, gaji-gaji tentara dan yang semisalnya. Semua itu adalah kejadian-kejadian dan hukum-hukum yang telah dipraktikkan dalam Daulah (Islamiyah), sehingga perkara semacam ini harus diketahui agar sesuatu yang menjadi Ijma’ shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.

ﻭﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﻣﺎ ﺃﻧﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲ ﺣﻜﻤﺎً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ، ﻭﻟﻼﺋﺘﻨﺎﺱ ﺑﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻟﺮﺍﺷﺪﻳﻦ، ﻣﻦ ﺗﺴﻴﻴﺮ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﺍﻹﺩﺍﺭﺓ ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺳﺔ . ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺁﺗﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻘﻠﻴﺔ ﺣﻜﻢ، ﻭﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻳﻔﻬﻢ ﺗﻄﺒﻴﻖ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻋﻴﺔ، ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﻴﻦ، ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﻴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 355 (
“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, telebih lagi para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi dan politik. Mereka adalah sebaik-baik orang yang diberi oleh Allah intelektualitas untuk menentukan suatu hukum, dan sebaik-baik orang yang memahami penerapan hukum dalam Daulah terhadap rakyatnya, baik muslim maupun ahlu dzimmah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

*Terdapat pada Kitab Hadits*

Sirah adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan waktu mulai dari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dengan wafatnya. Hanya saja isinya atau fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk (meski tidak semua). Oleh karena itu penerimaan pada beberapa peristiwa yang dikabarkan dalam sirah adalah sudah pada level talaqathu al-'ulama bil qabul. Suatu yang para ulama telah menerimanya.

Kita bisa mengkaji terhadap beberapa kitab sirah yang masyhur seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh al-Thabari, Tarikh Ibnu Asaqir, Tarikh al-Kamil, Ansab al-Asyraf Al Baladzuri, Muruj al-Dzahab al-Masudi dan kitab-kitab sirah yang lain. Fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk. Maka pada konteks ini, menguji keshahihan fragmen-fragmen khabar dalam kitab sirah yang juga ada dalam Kutub Mashadir al-Ashliyyah (kitab induk hadits) adalah dengan kembali kepada pendapat para ulama hadits ketika melakukan takhrij dan pengujian sanad-sanad hadits.

*Manhaj Hadits yang Diadopsi Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani*

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita adalah, bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits (termasuk sirah nabawiyah)? Berikut uraiannya:
Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.

ﻳُﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻤﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺮﺍﻭﻳﺘﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺪﻻً ﺿﺎﺑﻄﺎً ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺳَﻠِﻢَ ﻣﻦ ﺃﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻭﺧﻮﺍﺭﻡ ﺍﻟﻤﺮﻭﺀﺓ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺘﻴﻘﻆ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﻐﻔﻞ، ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﻟﺮﻭﺍﻳﺘﻪ ﺇﻥْ ﺭﻭﻯ ﻣِﻦ ﺣﻔﻈﻪ، ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻟﻜﺘﺎﺑﺘﻪ ﺇﻥ ﺭﻭﻯ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ ﻭﻣﺎ ﻳﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ، ﺇﻥ ﺭﻭﻱ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 329 (
“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)

Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.

ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺍﺟﺘﻤﻌﺖ ﻓﻴﻪ ﺷﺮﻭﻁ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺑﺄﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺪﻻً ﺿﺎﺑﻄﺎً، ﺗُﻘﺒﻞ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ ﺑﻐﺾ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﻣﺬﻫﺒﻪ ﻭﻓﺮﻗﺘﻪ، ﺇﻻ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻔﺮﻗﺘﻪ ﺃﻭ ﻣﺬﻫﺒﻪ، ﻷﻥ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﻟﻠﻔﺮﻗﺔ ﻭﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ . ﺃﻣّﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﻳﺸﺮﺡ ﺍﻷﻓﻜﺎﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺘﺒﻨﺎﻫﺎ ﺑﺎﺩﻟﺘﻬﺎ، ﻓﺈﻧﻪ ﺗﻘﺒﻞ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ، ﻷﻧﻪ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﻄﻌﻦ ﺑﺮﻭﺍﻳﺘﻪ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 332 (
“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)

Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-defini
si tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.

ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ : ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﺼﻞ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺑﻨﻘﻞ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﺘﻬﺎﻩ، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺷﺎﺫﺍً ﻭﻻ ﻣﻌﻠﻼً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 337 (
“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)

ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﺨﺮّﺟﻪ ﻭﺍﺷﺘﻬﺮ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺍﺭ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ . ﺃﻱ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻳُﺘَّﻬﻢ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺷﺎﺫﺍً . ﻭﻫﻮ ﻧﻮﻋﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﺭﺟﺎﻝ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﻟﻢ ﺗﺘﺤﻘﻖ ﺃﻫﻠﻴﺘﻪ، ﻏﻴﺮ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻐﻔﻼً ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺨﻄﺄ، ﻭﻻ ﻫﻮ ﻣﺘﻬﻤﺎً ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ . ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﺘﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻣﺜﻠﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﻪ ﺁﺧﺮ ﻓﻴﺨﺮﺝ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﺷﺎﺫﺍً ﺃﻭ ﻣﻨﻜﺮﺍً، ﺛﺎﻧﻴﻬﻤﺎ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻠﻎ ﺩﺭﺟﺔ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﺍﻹﺗﻘﺎﻥ، ﻭﻻ ﻳُﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻨﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻣﻨﻜﺮﺍً، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﺷﺎﺫﺍً ﻭﻻ ﻣﻌﻠﻼً . ﻓﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻋﺪﻝ ﻗﻞ ﺿﺒﻄﻪ ﻣﺘﺼﻞ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻠّﻞ ﻭﻻ ﺷﺎﺫ . ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 338 (
“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).
ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺠﻤﻊ ﻓﻴﻪ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﻻ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﻄﻠﻘﺎً . ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﺯﺩﺍﺩ ﺿﻌﻔﺎً ﺇﻟﻰ ﺿﻌﻒ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 338 (
“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.

ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻫﻤﺎ ﺍﻟﻠﺬﺍﻥ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻬﻤﺎ، ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﻻ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ . ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻘﺒﻮﻻً ﺃﻭ ﻣﺮﺩﻭﺩﺍً ﻫﻮ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 339 (
“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)

Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangka
n banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.
ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺳﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺍﺗﻪ ﻭﻣﺘﻨﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ، ﺃﻱ ﻣﺘﻰ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎً ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻲﺀ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻘﻮﻯ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ ﺗﺮﺟﺢ ﻗﺒﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ، ﺃﻱ ﺑﺮﺍﻭٍ ﻇﻦ ﺗﻔﺮﺩﻩ، ﺃﻭ ﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ، ﻓﻼ ﻳﺘﻨﻄﻊ ﻓﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﻳﻤﻜﻦ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﻱ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮﻝ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 342 (
“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya.

Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)
Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.

ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺷﺮﻃﺎً ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺳﻨﺪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ . ﺇﺫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻨﺺ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳُﺮﻭﻯ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ . ﻓﻤﻦ ﻭﺟﺪ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺭﺩ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 345 (
“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)

Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.

ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻓﻴﻜﻔﻲ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﻟﻴﻠﻪ ﻇﻨﻴﺎً . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻓﺈﻧﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺗﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻛﺬﻟﻚ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻵﺣﺎﺩ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ . ﺇﻻ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻵﺣﺎﺩ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 346 (
“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.

ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻻ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺃﻧﻪ ﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ . ﺇﻻ ﺃﻥ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺎً ﺃﻭ ﺣﺴﻨﺎً ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﺪﻳﻪ ﺍﻷﻫﻠﻴﺔ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ . ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺭﻭﺍﺓ ﻳُﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﺛﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻳُﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﻏﻴﺮ ﺛﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ، ﺃﻭ ﻳﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻟﻴﻦ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻣﻌﺮﻭﻓﻴﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﺍﻵﺧﺮ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻭﺻﺤﺖ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺃﺧﺮﻯ . ﻭﻫﻨﺎﻟﻚ ﻃﺮﻕ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﻭﺻﺤﺖ ﻋﻨﺪ ﺁﺧﺮﻳﻦ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻢ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻭﻃﻌﻨﻮﺍ ﺑﻬﺎ، ﻭﺍﻋﺘﺒﺮﻫﺎ ﻣﺤﺪﺛﻮﻥ ﺁﺧﺮﻭﻥ ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺎ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻃﻌﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻗﺒﻠﻬﺎ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺎ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 346 (
“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah." (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.

ﻓﻴﺠﺐ ﺍﻟﺘﺄﻧﻲ ﻭﺍﻟﺘﻔﻜﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺒﻞ ﺍﻹﻗﺪﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﻌﻦ ﻓﻴﻪ ﺃﻭ ﺭﺩﻩ . ﻭﺍﻟﻤﺘﺘﺒﻊ ﻟﻠﺮﻭﺍﺓ ﻭﻟﻸﺣﺎﺩﻳﺚ ﻳﺠﺪ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻛﺜﻴﺮﺍً، ﻭﺍﻷﻣﺜﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺟﺪﺍً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 347 (
“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangka
n suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)

Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﺄﻱ ﺣﺪﻳﺚ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺘﺒﺮﺍً ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﻮﻓﻴﺎً ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻭﻳﻌﺘﺒﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 350 (
“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)

Itulah manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.

*Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan*

Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,
ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﻄﻠﻘﺎً
Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).

Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﺯﺩﺍﺩ ﺿﻌﻔﺎً ﺇﻟﻰ ﺿﻌﻒ .
Jadi itu (tidak bisanya hadits dha'if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,
ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً
Memberikan keterangan bahwa kedha'ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha'ifannya sangat berat.

Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.

Secara praktik, syaikh Taqiyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba'ah (lihat Syuruth A'imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),
ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﺨﺮّﺟﻪ ﻭﺍﺷﺘﻬﺮ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺍﺭ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ
dengan kesimpulan,
ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ .

Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta'ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),

ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺷﺮﻃﺎً ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺳﻨﺪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ . ﺇﺫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻨﺺ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳُﺮﻭﻯ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ . ﻓﻤﻦ ﻭﺟﺪ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ
Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,
ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﺃﻥ ﻳﺮﻭﻱ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺮﻭ ﻏﻴﺮﻩ . ﻷﻥ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻳُﻘﺒﻞ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﻩ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ
Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341),

menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,

ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺳﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺍﺗﻪ ﻭﻣﺘﻨﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ، ﺃﻱ ﻣﺘﻰ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎً ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻲﺀ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻘﻮﻯ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ ﺗﺮﺟﺢ ﻗﺒﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ، ﺃﻱ ﺑﺮﺍﻭٍ ﻇﻦ ﺗﻔﺮﺩﻩ، ﺃﻭ ﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ، ﻓﻼ ﻳﺘﻨﻄﻊ ﻓﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﻳﻤﻜﻦ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﻱ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮﻝ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ
Perhatikan ungkapan berikut,
ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ
Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.
Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan sepanjang kedha'ifannya tidak parah.

*Metode Dakwah Nabi dan Thalab al-Nushrah*

Mengikuti metode dakwah Nabi dapat dilakukan dengan memahami kitab sirah dan kitab-kitab hadits. Tergambar secara jelas bagaimana tahapan dawah Nabi sebelum hijrah. Mulai tahapan pertama hingga tahapan terakhir. Termasuk di dalamnya adalah aktivitas thalab al-nushrah di akhir tahapan kedua jika tahapan dakwah dibagi menjadi tiga (marhalah tatsqif, marhalah tafa'ul ma'a al-ummah dan istilam al-hukm). Terkait thalab al-nushrah, syaikh Mahmud Abdulkarim Hasan dalam kitab al-Taghyir hlm. 56 menegaskan,

ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﺒﻴﻪ ﺑﻄﻠﺐ ﺍﻟﻨﺼﺮﺓ . ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ‏( ﺝ 7/ ﺹ 220 ‏) : ﺃﺧﺮﺝ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﻋﻠﻲِّ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ‏« ﻟَﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺮَﺽَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﺧَﺮَﺝَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺇِﻟَﻰ ﻣِﻨَﻰ ‏» ﻭﺭﻭﻯ ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ‏« ﻟَﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺮَﺽَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﺧَﺮَﺝَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺩَﻓَﻌْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺠْﻠِﺲٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺠَﺎﻟِﺲِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ‏» ﻭﺍﻟﻌﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﻞ ﻳﻌﻨﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺩﻋﻮﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺅﺳﺎﺀ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﻞ ﻟﻴﻘﺪﻣﻮﺍ ﺍﻟﺤﻤﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﺴﻨﺪ ﻟﻪ ﻭﻟﺪﻋﻮﺗﻪ . ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ‏( ﺹ : 56 (
Aktivitas dakwah Nabi, tahapannya dan daur thalab al-nushrah bukanlah rekaan. Tetapi ini perkara yang nyata termaktub dalam kitab-kitab sirah mu’tabar dan dalam kitab-kitab hadits. Ini adalah hukum syara’. Apakah ini termasuk teknis saja atau metode baku, maka hal ini wilayah kajian ushul fiqih. Dalam perspektif ilmu hadits, cukup membuktikan bahwa sumber yang dirujuk adalah layak dijadikan sebagai dalil. Kemudian dipahami bahwa thalab al-nushrah ini wajib karena adanya qarinah yang menunjukkan akan kewajiban.
Secara substansi, kita bisa memahami bahwa negosiasi Rasulullah dengan kabilah-kabilah arab adalah terkait kekuasaan, bukan yang lain. Mari perhatikan dialog dengan Bani Amir bin Sha'sha'ah berikut,
ﺃﺭﺃﻳﺖَ ﺇﻥْ ﻧَﺤْﻦُ ﺑَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻙَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻙَ، ﺛُﻢَّ ﺃَﻇْﻬَﺮَﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻚَ، ﺃَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻟَﻨَﺎ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻙَ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻀَﻌُﻪُ ﺣَﻴْﺚُ ﻳَﺸَﺎﺀُ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ : ﺃﻓَﺘُﻬﺪَﻑ ﻧﺤﻮﺭُﻧﺎ ﻟِﻠْﻌَﺮَﺏِ ﺩُﻭﻧَﻚَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﻇْﻬَﺮَﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻟِﻐَﻴْﺮِﻧَﺎ ! ﻟَﺎ ﺣَﺎﺟَﺔَ ﻟَﻨَﺎ ﺑِﺄَﻣْﺮِﻙَ؛ ﻓَﺄَﺑَﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺳﻴﺮﺓ ﺍﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ‏( 2/ 272 (
“Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”. (Sirah Ibni Hisyam, 2/272)

Mereka mengetahui bahwa nushrah tersebut adalah untuk menegakkan negara. Oleh karena itu mereka menginginkan menjadi penguasanya setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta nushrahnya:

ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﺑﻴﻦ ﺿﺮﺗﻴﻦ، ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﻣﺎ ﻫﺎﺗﺎﻥ ﺍﻟﻀﺮﺗﺎﻥ ‏» ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻧﻬﺎﺭ ﻛﺴﺮﻯ ﻭﻣﻴﺎﻩ ﺍﻟﻌﺮﺏ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺃﺧﺬﻩ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻛﺴﺮﻯ ﻻ ﻧﺤﺪﺙ ﺣﺪﺛﺎ ﻭﻻ ﻧﺆﻭﻱ ﻣﺤﺪﺛﺎ، ﻭﺇﻧﻲ ﺃﺭﻯ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺪﻋﻮ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻤﺎ ﺗﻜﺮﻫﻪ ﺍﻟﻤﻠﻮﻙ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﻧﺆﻭﻳﻚ ﻭﻧﻨﺼﺮﻙ ﻣﻤﺎ ﻳﻠﻲ ﻣﻴﺎﻩ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻓﻌﻠﻨﺎ، ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﻣﺎ ﺃﺳﺄﺗﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩ ﺇﺫ ﺃﻓﺼﺤﺘﻢ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ، ﻭﺇﻥ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻦ ﻳﻨﺼﺮﻩ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺃﺣﺎﻃﻪ ﻣﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺟﻮﺍﻧﺒﻪ ‏» ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻲ ‏( 2/ 297 ‏) , ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ﻻﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ‏( 1/ 88 ‏) , ﻛﻨﺰ ﺍﻟﻌﻤﺎﻝ ‏( 12/ 521 (
“Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engaku minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”. (Dala’il al-Nabawiyah, 2/297; al-Tsiqat Ibni Hibban, 1/88; Kanz al-Umal, 12/521).

Jadi mereka memahami bahwa nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab, sehingga mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.

Jika dirinci, sebenarnya thalab al-nushrah secara praktik memiliki dua tujuan: (1) melindungi dakwah, dan (2) menegakkan Islam atau menerima kekuasaan. Lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan melindungi dakwah dapat ditemukan dalam Sirah Ibni Hisyam riwayat dari Ibnu Ishaq dan Mustadrak al-Hakim. Adapun yang lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan menegakkan Islam atau menerima kekuasaan dapat ditemukan Sirah Ibni Hisyam, Tarikh al-Thabari, Mu’jam al-Thabarani, Zad al-Ma’ad. Thalab al-nushrah untuk tujuan kedua

*Catatan Akhir*
Dengan demikian, sirah nabawiyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada sirah nabawiyah adalah sah.

Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab sirah nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun tarikh Islam, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan berijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat yang merupakan hukum syara’. Adapun manhaj ushul hadits, penetapan keshahihan dan kedha’ifan hadits, dan penerimaan dan penolakan sebagai hujjah, syaikh Taqiyuddin berpijak pada manhaj ulama ahli hadits yang mu’tamad, manhaj Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.
Bandung, 8 Oktober 2018
# CatatanTambahan
# DirasahSyariyyah_4
@raudhah tsaqafiyyah