Friday, March 10, 2023

Benarkah Ibn ‘Aqil Menyatakan Nabi Tidak Membangun Pemerintahan

 Tanya Jawab

Benarkah Ibn ‘Aqil Menyatakan Nabi Tidak Membangun Pemerintahan?


4 Maret 2023


Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman


Muslimah News, TANYA JAWAB — Soal:


Ada yang mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. itu tidak mensyariatkan politik dan wahyu pun tidak menurunkan ihwal politik. Benarkah Ibn ‘Aqil menyatakan demikian? Kalau iya, apa dan bagaimana konteksnya? Berikutnya, benarkah Nabi Muhammad saw. tidak mensyariatkan politik, dan wahyu pun tidak menjelaskan ihwal politik?


Jawab:


Pertama: Pernyataan Abû al-Wafâ’ ibn ‘Aqîl (w. 513 H/1119 M) harus dikutip dengan lengkap. Dengan itu kita tahu bunyi teks dan konteksnya dengan tepat. Ini sebagai bagian dari amanah ilmu. Dalam kalimatnya, beliau menyatakan,


اَلسِّيَاسَة مَا كَانَ مِنَ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَه أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْه الرَّسُولُ صلى الله عليه وسلم وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ


“Politik (siyasah) adalah semua tindakan, yang dengan itu manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan meskipun hal itu belum pernah disyariatkan oleh Rasulullah saw. dan tidak diturunkan oleh wahyu.”1


Konteks penjelasan tersebut harus dipahami, kemudian dibaca secara utuh, sebagaimana pembahasan para fukaha pada masa lalu. Tidak dipahami dalam konteks logika orang sekarang yang menolak syariat karena akibatnya fatal.


Ibn ‘Aqil menyatakan,


فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ (لَا سِيَاسَة إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ) أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْع فَصَحِيحٌ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ. فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُه عَالِمٌ بِالسِّيَرِ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ الله وَجْهَهُ الزَّنادِقَةُ فِي الْأَخَادِيدِ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .


“Jika yang Anda maksud dengan pernyataan Anda, (Tidak ada politik kecuali harus sesuai dengan syariat), dalam arti politik tidak boleh bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh syariat, maka itu benar. Namun, jika yang Anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang disebutkan oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para Sahabat Nabi. Para Khulafaurasyidin telah banyak melakukan kebijakan sendiri, terkait dengan hukuman bunuh dan jenis hukuman berat lainnya yang tidak dibantah/ditentang oleh siapa saja yang menguasai sirah. Kebijakan pembakaran semua mushaf (pada zaman ‘Utsman) semata-mata pendapat yang dibangun berdasarkan kemaslahatan. Demikian pula ‘Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid dan ‘Umar bin Al-Khathab yang pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.”2


Jadi, konteks pembahasannya terkait topik ‘siyasah’ (politik). Sejauh mana politik dibahas oleh syariat. Bukan syariat tidak membahas politik atau bahkan wahyu tidak menjelaskan politik. Itulah yang sebenarnya yang dibahas oleh Ibn ‘Aqil.


Perlu dicatat juga bahwa nas syariat, yaitu Al-Qur’an dan Sunah, tidak menggunakan istilah ‘siyasah’ kecuali dengan konotasi ri’aayah as-syu’uun (mengurusi urusan [masyarakat]). Ini sebagaimana yang digunakan dalam hadis Nabi saw.,


كَانَتْ بَنُوْ إِسَرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءِ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ


“Dulu Bani Israil diurus (urusannya) oleh para nabi. Ketika seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguhn setelah aku tidak ada lagi nabi. Yang ada adalah para khalifah hingga jumlahnya banyak.” 3


Dalam hadis ini Nabi saw. menggunakan istilah “tasuusuhum al-anbiyaa” (mereka diurus oleh para nabi). Makna kata “siyaasah” dengan konotasi bahasa inilah yang juga digunakan oleh syariat. Oleh karena itu, para ulama, ketika membahas masalah politik, menggunakan konotasi tersebut. Ibn Jarîr ath-Thabarî (w. H), ketika menjelaskan alasan mengapa ‘Umar bin al-Khaththâb ra. menjadikan urusan Khilafah kepada enam orang yang beliau pilih, menyatakan,


لَمْ يَكُنْ فِي أَهْلِ الإِسْلاَمِ أَحَدٌ لَهُ مِنَ الْمَنْزِلَةِ فِي الدِّيْنِ وَالْهِجْرَةِ وَالسَّابِقَةِ وَالْعَقْلِ وَالْعِلْمِ، وَالْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَةِ؛ مَا لِلسِّتَّةِ الَّذِيْنَ جَعَلَ عُمَرُ الأَمْرَ شُوْرَى بَيْنَهُمْ


“Tidak ada seorang pun kaum muslim yang mempunyai kedudukan dalam agama, hijrah, senioritas, intelektual, ilmu, dan pengetahuan tentang politik sebagaimana yang dimiliki oleh enam orang sahabat yang ‘Umar jadikan urusan musyawarah di antara mereka.” 4


Ibn Hajar rahimahullah juga menggunakan kata siyaasah dengan konotasi tersebut,


وَالَّذِيْ يَظْهَرُ مِنْ سِيْرَةِ عُمَرَ فِي أُمَرَائِهِ الَّذِيْنَ كَانَ يُؤَمِّرُهُمْ فِي الْبِلاَدِ أَنَّهُ كَانَ لاَ يُرَاعِي الأَفْضَلَ فِي الدِّيْنِ فَقَطْ، بَلْ يَضُمُّ إِلَيْهِ مَزِيْدَ الْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَة مَعَ اِجْتِنَابِ مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ مِنْهَا


“Yang tampak dari sirah ‘Umar ketika beliau mengangkat para pemimpin, yang beliau angkat untuk menjadi pemimpin di daerah, beliau tidak hanya memperhatikan yang paling baik agamanya, tetapi termasuk pengetahuannya yang lebih dalam politik, selain menjauhi apa yang menyalahi syariat.”5


Oleh karena itulah beberapa tindakan yang dilakukan oleh para Khulafaurasyidin ra. yang termasuk kategori “siyasah”, sebagaimana yang dibahas oleh Ibn ‘Aqil di atas, adalah apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, ia mengangkat ‘Umar bin al-Khaththab untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah, setelah meminta pandangan penduduk Madinah.


Begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Umar. Ia mengangkat enam orang sahabat terbaik untuk memusyawarahkan siapakah yang paling layak menggantikan dirinya, bukan dengan menunjuk satu orang sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar.


Begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Ia membakar semua mushaf, lalu menjadikan satu mushaf sebagai Mushaf Imam. Mushaf itu ia gandakan menjadi tujuh mushaf untuk disebarkan ke beberapa kota demi menghindari perpecahan dan konflik di tengah-tengah umat.


Begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Umar. Ia pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj karena ketampanannya bisa menjadi fitnah bagi kaum wanita, padahal Nashr tidak bersalah. Namun, hal itu semata demi mewujudkan kemasalahatan, yaitu menjaga kesucian jiwa, dan mencegah mudarat, yaitu terjadinya perzinaan. Semua itu bagian dari tindakan politik, yang sebelumnya tidak dicontohkan.


Oleh karena itu, di kalangan fukaha ada dua pandangan tentang ranah politik ini. Pertama: Sebagaimana yang disampaikan oleh Abu al-Wafa’ Ibn ‘Aqil di atas,6


اَلسِّيَاسَة مَا كَانَ مِنَ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْه الرَّسُولُ صلى الله عليه وسلم وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ


“Politik (siyasah) adalah semua tindakan, yang dengan itu manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan meskipun hal itu belum pernah disyariatkan oleh Rasulullah saw. dan tidak diturunkan oleh wahyu.”


Meski demikian, beliau memberikan batasan, yakni,


مَا لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الْوَحْيُ


“…selama tidak menyalahi apa yang dinyatakan oleh wahyu.” 7


Pandangan senada dengan apa yang dinyatakan oleh Ibn ‘Aqil adalah apa yang disampaikan oleh Ibn Nujaim al-Hanafi (w. H) ketika membahas sanksi untuk perbuatan zina,


وَظَاهِرُ كَلاَمِهِمْ هَاهُنَا أَنَّ السِّيَاسَةَ هِيَ فِعْلُ شَيْءٍ مِنَ الْحَاكِمِ لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا، وَإِنْ لَمْ يَرِدْ بِذَلِكَ الْفِعْلُ دَلِيْلٌ جُزْئِيٌّ


“Dari redaksi pernyataan mereka di sini tampak bahwa politik (siyasah) adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang penguasa demi kemaslahatan yang menurut dia tepat, sekalipun itu tidak dinyatakan oleh dalil juz’i (untuk kasus tersebut).”8


Kedua: Pandangan yang melihat ranah politik dipersempit dan dibatasi dalam urusan jinayah atau sanksi yang berat. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Alauddin ath-Tharablusi al-Hanafi,


السِّيَاسَةُ شَرْعٌ مُغَلَّظٌ


“Politik itu merupakan syariat yang diperberat.”


Berangkat dari pembahasan konotasi politik dan ranahnya, sebagaimana yang dibahas oleh para fukaha di atas, maka mereka kemudian membagi politik, dari aspek sumber atau rujukannya, menjadi dua. Pertama: Siyasah Diniyyah (politik syariat). Kedua”: Siyasah ‘Aqliyyah (politik produk akal manusia).


Ibn Khaldun telah menjelaskan tentang keharusan adanya peraturan perundang-undangan politik yang ditetapkan dalam negara, yang diterima oleh semua pihak. Oleh karena itu, beliau menyatakan,


فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الْقَوَانِيْنُ مَفْرُوْضَة مِنَ الْعُقَلاَءِ وَأَكَابِرِ الدَّوْلَةِ وَبُصَرَائِهَا كَانَتْ سِيَاسَة عَقْلِيَّةً، وَإِنْ كَانَتْ مَفْرُوْضَةً مِنَ الله بَشَارِعٍ يُقَرِّرُهَا وَيُشَرِّعُهَا كَانَتْ سِيَاسَة دِيْنِيَّةً


“Ketika perundang-undangan ini ditetapkan dari (akal) kaum intelektual, para pemuka dan cerdik pandai negara, maka ia disebut Siyasah ‘Aqliyyah (politik produk akal manusia). Jika ia ditetapkan dari Allah, dengan syariat yang ditetapkan dan disyariatkan, maka ia merupakan politik syariat.”9


Berangkat dari sini, maka Ibn Khaldun pun menjelaskan konotasi kekuasaan politik (al-Mulk as-Siyasi) dengan menyatakan,


اَلْمُلْكُ السِّيَاسِيُّ هُوَ حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى النَّظَرِ الْعَقْلِيِّ فِي جَلْبِ الْمَصَالِحِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَدَفْعِ الْمَضَارِّ، وَالْخِلاَفَةُ هِيَ حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى النَّظَرِ الشَّرْعِيِّ فِي مَصَالِحِهِمْ الأُخْرَوِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ الرَّاجِعَةِ إِلَيْهَا


“Kekuasaan politik itu membawa semua orang mengikuti pandangan (kebijakan) akal dalam mengupayakan kemaslahatan duniawi serta mencegah kemudaratan. Khilafah itu membawa semua orang untuk mengikuti pandangan (kebijakan) syariat mengenai kemasalahatan dunia dan akhirat dengan kembali padanya.” 10


Dari sini sebenarnya sejak dulu para ulama sudah memahami konotasi politik dan ranahnya dengan tepat dan presisi. Lebih jauh, mereka menjelaskan bahwa Siyasah Syar’iyyah (politik syariat) itu, sebagaimana umumnya problem kehidupan yang dihadapi para fukaha, menghadapi dua masalah: Pertama, masalah yang telah dijelaskan oleh nas syariat. Kedua, masalah yang belum dinyatakan secara spesifik dan tegas di dalam nas-nas syariat.


Khilafah, sebagai bentuk negara, sistem pemerintahan, dan strukturnya, misalnya, termasuk masalah yang telah dinyatakan oleh nas. Adapun kebijakannya untuk merespons berbagai perkembangan zaman dikembalikan pada ijtihad Khalifah. Nah, dalam konteks ini, nalar para fukaha itu sudah sangat jelas.


Di sini mereka membedakan politik menjadi dua. Pertama: Ketentuan syariat yang bersifat global (syara’i’ kulliyah). Dalam konteks ini Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa syariat ini tidak berubah mengikuti perubahan waktu dan tempat.


Kedua: Ketentuan politik yang bersifat parsial (siyasah juz’iyyah), yang mengikuti kemaslahatan tertentu, yang bisa berubah, sesuai dengan konteks waktu dan tempatnya.


Jadi, jelaslah apa dan bagaimana konteks pembahasan yang disampaikan oleh Abu al-Wafa’ Ibn ‘Aqil di atas. Dengan demikian, apa yang diklaim oleh orang yang mencatut pernyataan beliau itu jelas keliru dan salah alamat. Dengan kata lain, makna pemikiran yang dimaksud oleh Abu al-Wafa’ Ibn ‘Aqil tidak bisa dijangkau, atau dipahami dengan baik sehingga kesimpulannya jadi keliru.


Masalah berikutnya: Apakah Nabi saw. tidak mendirikan negara, bentuk dan sistem pemerintahan? Menjawab pertanyaan ini sebenarnya jauh lebih mudah. Penyebabnya, warisan dan jejaknya tidak bisa dihapus. Selain bukti empiris dan historis, juga ada bukti normatif.


Baca, misalnya, kitab Al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah, karya Imam Al-Mawardi, atau karya Imam Al-Farra’. Baca kitab As-Siyaasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyyah. Baca kitab Rawdhatu ath-Thaalibiin wa ‘Umdah al-Muftin, karya Imam an-Nawawi, Bab Bughaat dan Imaamah.


Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, warisannya dilanjutkan oleh para sahabat. Oleh karena itu, ijmak sahabat, yang dinyatakan oleh para ulama usul fikih sebagai perkara qath’i, tidak mungkin ditolak. Baca Al-Bahr al-Muhiith, karya Imam az-Zarkasyi. Wallahualam. [MNews/Rgl]


Catatan kaki:


1 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


2 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


3 HR Muslim


4 Lihat, Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk


5 Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari


6 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


7 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


8 Lihat, Ibn Nujaim, Al-Asybah wa an-Nadhair, hal. ; Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar


9 Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah


10 Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah

No comments: