Saturday, October 26, 2019

HTI & FPI Anti Demokrasi Tapi Mencari Rejeki Di Negara Demokratis?:: ------------------------------

HTI & FPI Anti Demokrasi Tapi Mencari Rejeki Di Negara Demokratis?::
------------------------------
Oleh: Yunno Al-Haqirin

Kata-kata seperti ini sebuah pikiran kekanak-kanakan yang keluar dari seorang bocah SMP yang sudah kehabisan akal & kata-kata tapi masih ingin menang bacot. Tidak lebih dari itu.

Dan apabila kalimat ini keluar dari mulut seorang ulama, santri, atau profesor Islam, itu menandakan bahwa Al-Qur’an hanyalah sebuah dongeng tanpa hikmah bagi orang itu.

Sekedar dibaca, dihafal, ditilawahkan, tanpa diambil pelajarannya. Hanya sampai tenggorokan, tapi tidak menyentuh hati & akalnya.

Mengapa? Karena bagi orang-orang yang seperti ini, ukuran halal-haram, boleh-tidak, mungkin-mustahil, & benar-salahnya semua disandarkan pada hal-hal yang bersifat duniawi, bukan pelajaran atau hikmah dari Islam (termasuk kisah-kisah dalam Al-Qur’an).

Artinya, dengan watak, mental, & pemikiran seperti itu, orang-orang tersebut akan menjadi budak yang tunduk pada penguasa dunia sekaligus musuh para Nabi & Rasul pada jamannya. INGAT, dengan watak, mental, & pemikiran seperti di atas.

Apakah mereka akan mengatakan dengan lancang seperti:

“Wahai Ibrahim, kalau kamu tidak suka dengan sistem & peraturan di negaranya Namrudz, kenapa kamu tinggal & cari makan disini?”

“Wahai Musa, kalau kamu tidak suka dengan Fir’aun & peraturannya, kenapa kamu masih tinggal disini?”
“Wahai Nuh, pergi saja dari negara ini & jangan mencoba merubahnya kalau kamu tidak suka dengan warisan nenek moyang kami.

“Wahai Isa, kalau kamu tidak suka dengan undang-undang & konstitusi Romawi, jangan mencoba mengubahnya karena ini sudah kesepakatan bangsa Yahudi & Romawi.”

“Wahai Luth, kalau kamu tidak suka dengan kebebasan di negeri kami, keluar saja.”
“Wahai Muhammad, kalau kamu tidak suka dengan tradisi & peninggalan nenek moyang bangsa Quraisy, maka pergilah dari Makkah & jangan mencoba mengubah-ubah apapun dengan da’wahmu. Makkah harga mati!!!”

“Wahai Sulaiman, jangan kritik negara Bilqis karena dia punya negara & aturan sendiri. Jangan ikut campur.”

Dsb dll dst.

Maka jadilah Allah s.w.t yang maha agung yang “harus” tunduk, patuh, & menyesuaikan diri dengan aturan, hukum, & kemauan manusia.

Sebenarnya apabila orang-orang mau berpikir & jantan dalam mengakui kesalahan atau kekhilafannya, maka mudah saja. Cukup dengan mengatakan,
“kenapa bukan kalian yang keluar dari alam semestanya Allah sekarang juga kalau tidak suka hukum & ketentuan Allah?

 Menerapkan hukum syariat Islam secara kaffah itu wajib. Tegaknya Khilafah pun sudah menjadi janjiNya. Maka kalau kalian tidak suka, kenapa bukan kalian saja yang keluar dari alam semestanya Allah sekarang juga kalau masih punya rasa malu & rasa tahu diri?”

Dengan begitu, memang benar bahwa tugas para penda’wah adalah sama seperti tugas para Nabi & Rasul terdahulu, yaitu berda’wah, mengubah kejahiliyahan & kekafiran menjadi keimanan & ketaatan, membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia ataupun ciptaanNya, mengurus urusan umat dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t, serta menjalankan hukum dariNya dengan kaffah (meskipun kita tidak akan pernah bisa semulia mereka).

Para Nabi memang berda’wah di dalam keasingan sebuah negara, masyarakat, agama palsu, maupun sistem. Namun hal itu tidak membuat mereka “merasa tidak enakan” untuk tidak menyesuaikan diri dengan apapun yang tidak sesuai dengan segala yang telah diturunkan & diperintahkan oleh Allah s.w.t.

Allah, agamaNya, & hukumNya sudah pasti lebih tinggi dari apapun yang berada di dunia maupun alam semesta.

Karena itu, para pejuang yang menggunakan selendang para Nabi & Rasul -yaitu selendang da’wah- pasti tetap akan berda’wah & berjuang untuk menegakkan hukum Allah sekalipun mereka berada di negeri asing yang mereka masih harus mencari tempat tinggal & mencari makan di dalamnya.
Mengingat bahwa dunia ini adalah milik Allah, bukan milik “mereka”.

No comments: