Monday, February 12, 2024

Golput memang bukan solusi.

 GOLPUT MEMANG BUKAN SOLUSI


Oleh: Prof. Fahmi Amhar.


Golput memang bukan solusi. 

Tetapi Memilih kandidat yang tidak jelas mau memperjuangkan islam atau tidak, apalagi.. (bukan solusi jg)


Solusi yg sebenarnya saat ini adalah berjuang tidak hanya di saat jelang pemilu, tetapi seharusnya berjuang bertahun-tahun tanpa henti menyebarkan pemikiran (aqidah & tsaqafah Islam), mengubah perasaan ummat (dengan nafsiyah Islam), menanamkan kebiasaan (amal syar'iyah & ahlaqul karimah) dan menumbuhkan kebersamaan (ukhuwah & jama'ah). Maka nanti pada saatnya, dengan pertolongan Allah, tanpa kudeta, juga tanpa pemilu, sistem akan diubah oleh para pemegang kekuasaan yang telah berubah pola pikirnya. Dan rakyat yang akan membelanya, yg juga telah berubah pola pikirnya. Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah, _uswah hasanah_ kita. (Ini yg dimaksud "Thoriqoh Ummah")


*Ingat:* Afrika Selatan meninggalkan sistem apartheid, itu tanpa pemilu. Uni Soviet meninggalkan sistem komunisme, itu tanpa pemilu. Dan Soeharto tahun 1998 mundur juga bukan karena pemilu. 


Sebaliknya, Aljazair atau Mesir ternyata juga gagal berubah, meski pemilu dimenangkan.


Jangan memberhalakan pemilu, apalagi demokrasi...

Friday, February 9, 2024

Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada ?

 Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada ?


Oleh : M. Shiddiq al-Jawi


Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) mempunyai ushul fiqih ? 

Pertanyaan ini harus dijawab dulu, jangan-jangan setelah capek-capek mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. 

Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong.


Untuk itu patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. 

Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. 

(asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3, Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24) 


Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi'i, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tata cara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum. 

(al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10)


Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu :

(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas dan seterusnya.


(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.


(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).


(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tata cara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).


Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka mempunyai ushul fikih sendiri ?


Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan bahwa ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal (mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain dan yang lainnya) tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan. 

(Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn, hlm. 268) 


Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih dalam definisi yang sesungguhnya.


Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dan kawan kawan, 2004 : 85-88). 

Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). 

Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru), tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti langit dan bumi. 

Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West : The Making of an Image, hlm. 53) yang menegaskan, 

“The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” 

(Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, http://www.insistnet.com)


Walhasil ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya, akan tetapi barang kali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih ? 

Hasan at-Turabi misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung : Mizan, 2003). 

Jauh sebelum itu, pada 70-an Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974 juga Ahmad Kamal Abul Majid dan tokoh liberal lainnya dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977 telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995 : 266).


Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru, Nurcholish Madjid dan kawan kawan misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). 

Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal :

(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]).


(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat).


(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik). 

(www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003)


Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal ?

Jawabnya tegas : tidak ! 

Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih (seperti kaidah-kaidah ushul di atas) sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur, bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. 

Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.


Paradigma Ushul Fikih Liberal


Mengapa ushul fikih mereka palsu ? 

Sebab paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme yang menjadi pangkal peradaban Barat, peradaban kaum penjajah. 

Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.


Karenanya tidak aneh jika Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. 

Abdul Moqsith Ghazali juga begitu, kaidah baru yang diusulkannya seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik) harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadits cocok dengan selera publik (baca : demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.


Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah yang panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.


Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda :

Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular, itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq dan sebagainya. (Busthami M. Said, 1995 : 127-161) 

Mereka berpendapat bahwa umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi dan nasionalisme. 

(Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004 : 19-dan seterusnya). 

Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat. 

(William Montgomery Watt, 1997 : 147-256).


Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr dan sebagainya. 

(Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996 : 115-dan seterusnya). 

Menurut mereka kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan inilah tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. 

Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme dan gender dianggap mutlak benar dan dijadikan standar, tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.


Sebenarnya ini modus yang sangat jahat, akan tetapi kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi dan bahkan ijtihad. 

Ketua Tim Pengarus utamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).


Padahal draft tersebut (yang konon menggunakan ushul fikih alternatif) telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam, misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54) dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep gender, pluralisme, HAM dan demokrasi. 

Mengapa semua itu terjadi ? 

Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. 

Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.


Penutup


Secara intelektual perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal, sebab mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. 

Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar ngutang ke luar negeri, bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]


Daftar Pustaka


1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut : Darul Bayariq.


2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir : Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta : Qalam.


3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut : Darul Fikr.


4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo : Duta Rohmah.


5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung : Mizan


6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta : Gema Insani Press.


7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut : Darul Fikr.


8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus : Darul Fikr.


9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” http://www.islamlib.com


10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” http://www.insistnet.com


11. Madjid, Nurcholish dan kawan kawan. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation.


12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi : Wacanalazuardi Amanah.


13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta : Rajagrafindo Persada.


Source :

Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal

Wednesday, February 7, 2024

Pemikiran

 Judulnya BACA PELAN-PELAN yah....


"Pemikiran"


Dulu waktu Anda belum bergabung dengan Hizbut Tahrir, anda selalu disinggung karena masih bersikap apatis terhadap dakwah, membuka aurat dan lainnya. Kini, setelah masuk dalam jamaah, Anda juga tidak berhenti diuji. Bahkan, kini lebih berat lagi.


Apakah yang mereka katakan bahwa Dakwah Pemikiran / Ideologi tidak akan menegakkan Khilafah? Tunggu, jangan terburu-buru menyimpulkan, menyalahkan bahkan mencaci dan menghina, karena semuanya adalah tanda dari kemalasan berpikir.


Mari kita simak FAKTANYA!


----------


1. Syeikh Taqiyyudin sudah menjelaskan dalam Kitab Takatul Hizby, bahwa yang meruntuhkan Khilafah tahun 1924 adalah karena lemahnya pemahaman kaum Muslim. Dan itu …. | Pemikiran.


2. Banyak gerakan dakwah dari gerakan bersenjata, sosial, pendidikan, ahlak, dan lainnya yang sudah mencoba menegakkan Khilafah namun gagal. Itu karena lemahnya … | Pemikiran.


3. Khilafah Utsmaniy, dikalahkan bukan karena lemahnya tentara atau kurangnya persenjataan. Tapi, karena … | Pemikiran.


4. Tentara Khilafah Utsmaniy sangat kuat dan disegani, bahkan dikatakan takkan terkalahkan, namun Khilafah jatuh karena lemahnya bahasa Arab, berhentinya kaum muslim dari aktifitas ijtihad. Dan itu … | Pemikiran.


5. Ratusan tahun Barat mencari kelemahan kaum Muslim, perang demi perang, puluhan kali perang salib, Khilafah tidak bisa dikalahkan. Namun akhirnya jatuh karena lemahnya kaum Muslim akan …. | Pemikiran.


6. Barat mengetahui bahwa cara terbaik mengalahkan Khilafah bukan dengan peperangan fisik, tapi dengan …. | Pemikiran.


7. Mereka berpikir keras untuk meruntuhkan Khilafah, ratusan tahun akhirnya ditemukan bahwa cara yang paling ampuh adalah dengan menjauhkan Alquran dari dada kaum Muslim. Dan itu … | Pemikiran.


8. Kaum Muslim dilemahkan dari sisi pemahaman tentang Islam, diberikan pemahaman Asing. Itu … | Pemikiran.


9. Oleh sebab itu, kaum Muslim sebelum dipecah-belah menjadi beberapa bagian Negara kecil seperti sekarang, mereka dicekoki pemahaman asing seperti nasionalisme. Dan itu … | Pemikiran.


10. Arab meminta lepas dari Turki Utsmaniy, Turki memerdekakan diri oleh Kamal At-Tarturk dan menjadi Negara sekuler. Itu karena … | Pemikiran.


11. Sebelumnya, didirikan sekolah Orientalis, kaum orientalis disebar ke seluruh penjuru dunia Islam dan bertujuan untuk melemahkan Kaum muslim dari segi … | Pemikiran.


12. Dari pemahaman yang rancu tentang Islam, lemahnya pemikiran akhirnya mereka mengadopsi hukum-hukum Barat. Dan itu karena lemahnya … | Pemikiran.


13. Kaum Muslim dinistakan seperti sekarang karena mereka lemah akan pemahaman yang benar tentang Islam. Dan itu juga disebabkan oleh … | Pemikiran.


14. Sulitnya (bukan mustahil) perjuangan mengembalikan Daulah Islam juga karena banyak kaum muslim yang tidak paham bahwa Khilafah / Daulah itu wajib ditegakkan dan meninggalkan hukum-hukum sekarang. Itu juga karena … | Pemikiran.


15. Kaum muslim dicekoki pemahaman asing dari mulai sekolah dasar dengan kurikulum liberal dan sekuler hingga mereka dibentuk menjadi apatis terhadap islam. Itu juga masalah … | Pemikiran.


16. Banyak orang Islam tapi tidak mau menerapkan hukum Islam, tidak sholat, tidak menutup aurat dan lainnya. Juga akibat dari lemahnya … | Pemikiran.


17. Barat merencanakan ini ratusan tahun dan kini bisa terlihat hasilnya. Kaum muslim terbagi 42 negara dan seakan tidak pernah bersatu dahulunya, karena mereka tidak memahami sejarah yang memang sudah diputarbalikkan oleh Barat dan antek. Itu masalah … | Pemikiran.


18. Jika Barat menghancurkan Khilafah, melemahkan pemahaman kaum Muslim, dan men-sekulerkan dan meliberlakan Kaum Muslim dengan pemikiran, bukankah solusinya juga … | Pemikiran.


19. Barat mengetahui senjata tidak akan mempan terhadap Khilafah, begitu juga senjata tidak akan mempan untuk menegakkan Khilafah. Namun yang akan menegakkan adalah … | Pemikiran.


20. Kita lihat sejarah, waktu Rosul dakwah di Makkah, saat belum menjumpai Nushroh. Apa yang beliau dakwahkan? … | Pemikiran.


21. Apa yang ditakutkan oleh kaum Quraisy terhadap Rosul dan Sahabat? Mereka tidak memiliki senjata. Tapi karena mereka membawa … | Pemikiran.


22. Quraisy memahami betul bahwa apa yang dibawa oleh Rosul dan Sahabat akan membuat mereka kalah baik dari sisi jumlah, pengaruh dan … | Pemikiran.


23. Oleh sebab itu, kaum muslim disiksa, dicaci, dihina, diburu, dibunuh oleh Quraisy. Itu bukan karena mereka membawa senjata atau melakukan perlawanan. Tapi karena … | Pemikiran.


24. Kemudian, apa yang dilakukan Mus’ab di Madinah hingga suku Aus dan Khazraj masuk Islam dan siap menjadi Nushroh untuk menyebarkan Islam, dimana ini sebelum Khilafah tegak. Apakah Mus’ab datang dengan senjata? atau… | Pemikiran.


25. Sekarang, Barat juga mengetahui, seberapapun kuatnya kelompok bersenjata, selama pemahaman tentang Islam masih lemah, maka itu sama saja. Dan itu disebabkan … | Pemikiran.


26. Berkaca dari runtuhnya Khilafah Utsmaniy, kurang apa mereka coba? Mereka memiliki tentara superpower, menjadi adidaya. Namun kalah akibat lemahnya … | Pemikiran.


27. Maka, bagi Barat, seberapapun banyak dan kuat kelompok bersenjata mengancam mereka, jika itu bukan oleh Khilafah, maka akan tetap melanggengkan hegemoni Barat di Negara-negara Islam. Afghanistan banyak klan Mujahidin namun Demokrasi masih berjalan. Itu karena masyarakat lemah akan … | Pemikiran.


28. ISIS sudah berjuang keras, namun hanya sebatas beberapa wilayah dari Iraq dan Suriah saja yang dikuasai, sistem Demokrasi masih berjalan disebagian besar wilayah Iraq dan Suriah. Ini karena … | Pemikiran.


29. Dan, yang dimaksud Amerika, Eropa dan Rusia takut dengan Hizbut Tahrir bukanlah takut dalam arti Hizb sebagai gerakan tanpa senjata. Tapi kareana … | Pemikiran.


30. Oleh sebab itu, di Amerika, Eropa dan Rusia banyak syabab yang ditangkap dan dipenjara bukan karena membawa senjata. Mereka takut dengan apa yang dibawa Hizb, yaitu … | Pemikiran.


31. Mereka sadar betul dengan apa yang dibawa Hizb akan menyatukan seluruh negeri-negeri Muslim dan Khilafah akan tegak. Ini yang mereka takutkan. Bukan Hizb sendiri tapi apa yang diemban. Itu … | Pemikiran.


32. Mereka mengetahui bahwa ideology Islam yang menyadarkan seluruh muslim bersatu. Ketika bersatu, sudah pasti Khilafah tegak. Itu … | Pemikiran.


33. Mereka mengetahui jika umat Islam sadar akan kekuatan agama dan ideology Islam akan bisa menyatukan kaum Muslim dan mampu menegakkan Khilafah. Dan itu juga … | Pemikiran.


34. Jadi, umat Islam dipecah belah oleh pemikiran maka disatukan kembali juga dengan … | Pemikiran.


35. Oleh sebab itu, jika ingin memahami fakta tentang konstalasi politik dalam dan luar negeri, harus dengan jeli dan harus dengan kecermelangan dan kejernihan … | Pemikiran.


36. Bukan dengan semangat saja, melihat darah dan senjata menjadi wah. Dan bukan begitu cara memahami alur peta politik luar negeri. Harus dengan mendalamnya pemahaman tentang fakta. Itu juga … | Pemikiran.


37. Itulah yang dikatakan sebagai politikus muslim yang ulung dan negarawan yang handal. Sebab dengan … | Pemikiran.


38. Itupula yang menyebabkan Hizbut Tahrir tidak bisa dipidanakan dengan alasan kekerasan atau sabotase dan teroris. Karena apa yang dibawah Hizb adalah … | Pemikiran.


39. Ingat, satu peluru menembus paling banyak dua kepala dengan Magnum Sniper Rifle Kaliber 7.62×51 mm NATO. Namun, dengan Dakwah memahamkan kaum muslim, satu ide, jutaan kepala bisa dirubah, itu terbukti dengan jumlah Hizb yang berkembang pesat. Itu juga … | Pemikiran.


40. Apa yang dibawa Rosul tentang Islam juga … | Pemikiran.


41. Bahkan, Dakwah adalah … | Pemikiran.


42. Jihad juga untuk menyebarkan … | Pemikiran.


43. Semua bersimpul dari … | Pemikiran.


44. Jadi, jangan hina dakwah yang mengedepankan persatuan kaum Muslim dengan tegakknya Khilafah melalui … | Pemikiran.


45. Maka, Khilafah akan tegak sebagaimana janji Rosul bahwa Khilafah yang kedua adalah sama persis seperti Khilafah yang pertama, dari mulai permulaan, perjuangan, penyebaran dan penerapan. Itu semua adalah … | Pemikiran.

Monday, January 22, 2024

TERKUKUNG DEMOKRASI

 TERKUKUNG DEMOKRASI


Oleh: Ustdz Azizi Fathoni 


memperihatinkan memang situasi yang seperti sekarang ini..


umat seakan terkungkung oleh aturan main demokrasi, pilihannya hanya siapa pemimpin terbaik diantara yang ada, tidak diberi kesempatan memilih sistem apa yang terbaik diantara sistem-sistem yang ada


Angin seolah berhembus ke arah pengharusan nyoblos dengan ancaman dosa bagi yang tidak.. padahal sisi lain yang harus menjadi pertimbangan adalah, bahwa 


1. tidak menerapkan hukum Allah adalah dosa besar, jika disertai keyakinan akan menyebabkan kekafiran, kalau tidak disertai keyakinan jatuhnya kepada kezaliman atau kefasiqan 


(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ [المائدة: 44]) 

(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [المائدة: 45]) 

(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [المائدة: 47])


تفسير الماوردي = النكت والعيون (2/ 43)

قال ابن عباس رضي الله عنه: أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً به فهو كافر , ومن لم يحكم مقراً به فهو ظالم فاسق


Ibnu 'Abbas: "barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dengan disertai pengingkaran terhadap hukum Allah tersebut maka dia kafir, sedangkan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah namun masih mengakuinya maka dia zhalim dan fasiq".


التفسير المنير للزحيلي (5/ 125)

ومن أخطر أنواع الظلم: الحكم بغير ما أنزل الله


ٍSyaikh Wahbah Az-Zuhaili: "Diantara macam kezaliman yang paling bahaya adalah: berhukum dengan selain hukum Allah."


2. pemilu dalam sistem demokrasi adalah wasilah untuk berkuasanya seseorang yang akan menerapkan hukum atau bahkan membuat hukum kufur, karena menerapkah hukum kufur adalah haram bahkan menyebabkan kekufuran jika disertai keridhaan maka wasilah yang mengantarkan kepadanya yaitu mencalonkan dan memilihnya hukumnya juga haram. berlaku kaidah mengatakan

 

الوسيلة إلى الاحرام محرمة

"wasilah kepada keharaman hukumnya adalah haram" 


atau juga kaidah 


للوسائل حكم المقاصد

"hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuannya"


maka haram mencalonkan pun haram pula memilih penguasa yang tidak menerapkan syari'at Islam. Kecuali apabila calon benar-benar secara terang-terangan menyatakan akan menerapkan hukum-hukum Allah, maka bisa boleh memilihnya atau bahkan memungkinkan wajib. 


3.lantas kalau tidak memilih apakah dosa? Jawabnya: ya, kalau diam saja tidak memperjuangkan Khilafah sebagai alternatif satu-satunya pengganti demokrasi. ini yang dimaksud tidak boleh abai terhadap urusan politik, tapi berpolitik tidak harus dengan aturan main demokrasi, justru harus dengan politik Islam saja. 


4. apakah memilih sudah dalam taraf dharurat? Jawabnya: belum, karena dikatakan dharurat yang membolehkan mengambil keharaman adalah, pertama: jika menyangkut hidup dan mati atau membahayakan jiwa, kedua: tidak ada jalan lain selain itu. Selain pertama tidak benar-benar terealisasi (kalau tidak memilih tidak mati atau terluka), juga karena ada jalan lain yang bisa ditempuh umat untuk mewujudkan kepemimpinan yang syar'ie, yaitu berjuang untuk mengubah sistem kufur demokrasi menjadi sistem Islam, khilafah. 


5. bukankah khilafah masih lama, sedangkan memilih pemimpin ini mendesak tinggal menghitung hari? jawabnya: justru jauh lebih mendesak khilafah, karena kewajiban khilafah sudah jatuh tempo sejak hampir 100 tahun yang lalu, bahkan lebih menurut hitungan kalender hijriyah.


6. apa bahayanya jika umat terus memilih dalam konteks demokrasi? jawabnya: akan berlarut-larut dalam kemasiatan tidak menerapkan hukum Allah. Kata al Imam Ibnu Hajar al

 Haitami:


والتمادي في الفسق فسق

"Berlarut-larut dalam kefasikan itu merupakan kefasikan."


dan terus menerus menjadikan umat menaruh harapan kebaikan dan kemuliaan dari aturan main demokrasi, padahal kemuliaan hanya akan didapatkan dari Islam.


تفسير ابن كثير ت سلامة (4/ 40)

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه: "نحن قوم أعزنا الله بالإسلام فمتى. ابتغينا بغير الإسلام أذلنا الله"


Umar bin Khaththab "kita adalah umat yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka saat kita mencari kemuliaan dengan selain Islam maka Allah justru akan menghinakan kita."


7. Apakah ada dalil bahwa kita diperintahkan berlepas diri sistem atau aturan main kufur? jawabnya: ada hadits Hudzaifah bin Yaman, bertanya kalau saja nanti umat islam tidak memiliki persatuan "jama'ah" dan tidak pula dipimpin olah khalifah "imam": hindari semua kelompok yang mengajak kepada neraka/kesesatan meski harus memegang kebenaran seperti menggigit akar pohon.


صحيح البخاري (9/ 51)

حذيفة بن اليمان، يقول: كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأله عن الشر، مخافة أن يدركني، فقلت: يا رسول الله، إنا كنا في جاهلية وشر، فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: «نعم» قلت: وهل بعد ذلك الشر من خير؟ قال: «نعم، وفيه دخن» قلت: وما دخنه؟ قال: «قوم يهدون بغير هديي، تعرف منهم وتنكر» قلت: فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال: «نعم، دعاة على أبواب جهنم، من أجابهم إليها قذفوه فيها» قلت: يا رسول الله صفهم لنا، قال: «هم من جلدتنا، ويتكلمون بألسنتنا» قلت: فما تأمرني إن أدركني ذلك؟ قال: «تلزم جماعة المسلمين وإمامهم» قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: «فاعتزل تلك الفرق كلها، ولو أن تعض بأصل شجرة، حتى يدركك الموت وأنت على ذلك»


jika Alqur'an dan kekuasaan terpisah (diterapkan hukum sekular), ikutlah al-Qur'an saja walaupun kondisi menjadi sangat buruk akibat hukum dan penguasa kufur: sebab mati dalam ketaatan (dalam hal ini berlepas diri dari demokrasi dan memperjuangkan sistem Islam) lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan (hidup dengan mengikuti aturan main demokrasi tidak menerapkan hukum Islam, karena slogannya: negara berdemokrasi bukan negara agama) 


المعجم الكبير للطبراني (20/ 90)

عن معاذ بن جبل، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «خذوا العطاء ما دام عطاء، فإذا صار رشوة في الدين فلا تأخذوه، ولستم بتاركيه، يمنعكم الفقر والحاجة، ألا إن رحى الإسلام دائرة، فدوروا مع الكتاب حيث دار، ألا إن الكتاب والسلطان سيفترقان، فلا تفارقوا الكتاب، ألا إنه سيكون عليكم أمراء يقضون لأنفسهم ما لا يقضون لكم، إن عصيتموهم قتلوكم، وإن أطعتموهم أضلوكم» قالوا: يا رسول الله، كيف نصنع؟ قال: «كما صنع أصحاب عيسى ابن مريم، نشروا بالمناشير، وحملوا على الخشب، موت في طاعة الله خير من حياة في معصية الله»


Intinya, wajib berlepas diri dari paham atau sistem demokrasi, dan wajib memperjuangkan sistem islam sebagai penggantinya.


*tulisan di atas asalnya adalah respon sy atas postingan seorang tokoh di salah satu WAG, repost di sini semoga bermanfaat bagi umat.

By: Ustdz Azizi Fathoni

Saturday, January 20, 2024

Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain

 *Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين)*

Oleh: Ustadz M. Yasin Muthahhar 


Sebagian ulama dan intelektual muslim ada yang melegalisasi beberapa aktifitas yang diharamkan. Baik untuk dirinya atau untuk orang lain dengan menggunakan Qaidah Ahwanusy syarroini (أهون الشرين) yaitu: melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang buruk, Aqalu al-dhararain (أقل الضررين): yaitu melakukan yang paling sedikit bahayanya dari dua perkara yang berbahaya, Akhafu al-mafsadatain (أخف المفسدتين),yaitu melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang merusak, atau Dar’ul mafsadat al akbar bil mafsadat al ashghar (درء المفسدة الأكبر بالمفسدة الأصغر),yaitu menangkal kerusakan yang paling besar dengan melakukan kerusakan yang paling kecil (Qaidah-Qaidah tersebut maknanya sama). Contohnya:

1. membolehkan lokalisasi zina dan judi dengan alasan jika tidak dilokalisasi akan menimbulkan bahaya yang lebih besar yaitu menyebarluasnya perzinaan dan perjudiaan di tengah masyarakat. 

2. Membolehkan ada di parlemen atau memilih pemimpin/wakil rakyat muslim yang sekuler dengan alasan jika itu tidak dilakukan akan munccul bahaya yang lebih besar yaitu kepemimpinan dan parlemen akan dikuasai oleh non muslim. 

Apa makna yang sebenarnya dari Qaidah tersebut dan bagaimana menerapkannya?Tulisan ini akan membahas hakikat makna syar’iy dari Qaidah tersebut. 

Ulama yang mengambil Qaidah ini telah memahami batasan-batasan dan objek-objek pengamalannya. Karena itu Qaidah ini tidak bisa dijadikan seolah-olah secara mutlak selalu syar’iy untuk diterapkan atau diamalkan tanpa terikat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Kemudian Qaidah ini dijadikan sebagai legalisasi terhadap beberapa perkara yang diharamkan untuk menipu kaum muslimin. 

Qaidah syar’iyah bukan nash syara melainkan hanya sebatas hukum syara. Karena Qaidah ini redaksinya dibuat oleh manusia yaitu ahli fiqh atau mujtahid. Nash syara itu hanya ada dua yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Namun akan sangat tepat hukum syara ini jika disebut dengan istillah dengan Qaidah Syariyyah (Syekh Atho Bin Khlail : Taisiril Wushul Ila Al-Ushul hal 48) bukan hukum syara. Karena pada faktanya Qaidah ini selain merupakan hukum syara juga bersifat umum dan global, bisa ditujukan pada bagian-bagiannya(juz/afrad) yang tercakup oleh lafadznya yang umum atau mutlak. 

Berdasarkan hal ini apabila terjadi perbedaan pendapat tentang Qaidah ini atau tentang penerapannya maka wajib merujuk kepada sumbernya yaitu nash-nash syara. Nash syara inilah yang akan menjelaskan maknanya, batasan penerapannya, objek-objeknya dan pengecualiannya.

Qaidah ini -dengan redaksi yang berbeda-beda- menurut ulama yang mengadopsinya dikembalikan kepada satu makna yaitu kebolehan melakukan salah satu dari dua perkara yang diharamkan atau melaksanakan yang lebih sedikit keharamannya. Namun tidak mutlak begitu saja melainkan dibatasi dengan kondisi jika kita tidak bisa menghindari kecuali melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan. Karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita. Atau pada kondisi dimana kita bisa menghindari dua perkara yang diharamkan itu tetapi jika kita menghindari keduanya maka akan terjadi keharaman yang lebih besar lagi. Itulah syarat/batasan pengamalan Qaidah ini. 

Adapun yang menjadi landasan Qaidah ini adalah sesuatu yang telah diketahui dengan gamblang dari agama (معلوم من الدين بالضرورة) ini yaitu perkara yang diharamkan harus ditinggalkan dan perkara yang diwajibkan harus dilaksanakan. Jika perkara yang diharamkan itu banyak maka semuanya harus ditinggalkan. Begitu juga jika perkara yang diwajibkan itu banyak maka semuanya harus dilaksanakan. Hal ini juga berlaku pada perkara yang dimakruhkan atau perkara yang disunnahkan dengan tetap membedakan bahwa yang makruh tidak bisa diharamkan dan sunnah tidak bisa diwajibkan. 

Para ulama hanya membolehkan melakukan “yang paling ringan dari dua perkara yang diharamkan padahal statusnya tetap haram atau membolehkan melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang dimakruhkan padahal statusnya makruh, atau mengambil yang lebih ringan dari dua perkara yang buruk, merusak, atau berbahaya(akhaful mafsadatain)” pada kondisi jika tidak mungkin meninggalakan dua perkara yang diharamkan itu secara bersamaan atau pada kondisi jika dengan meninggalkan kedua-duanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. 

Allah berfirman: 

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

“Manusia tidak dibebani kecuali sesuai dengan batas kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286). 

إتقوا الله مااستطعتم

“Bertaqwalah kepada Allah sebatas kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16). 

Dari nash-nash tersebut jelaslah makna Qaidah “أهون الشرين ” dan bagaimana cara menerapkannya. Berdasarkan dua ayat di atas, juga bisa disimpulkan keharusan melakukan yang lebih wajib meski berakibat ditinggalkannya kewajiban lain yang lebih ringan, jika dua kewajiban tersebut tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Dengan kata lain kita harus melakukan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan yang lebih kecil. 

Berkaitan dengan permasalahan ini kita perlu memperhatikan bahwa maslahat dan mafsadat bukan berarti manfaat dan bahaya menurut perasaan manusia melainkan maslahat dan mafsadat yang sesuai dengan perintah atau larangan Allah. Imam Gazali pernah berkata: “Kemaslahatan menurut asalnya adalah manfaat dan bahaya menurut selera dan perasaan. Namun yang dimaksud di sini bukan itu, karena mengambil manfaat dan menolak mafsadat seperti itu adalah tujuan manusia dan kemaslahatan manusia untuk menghasilkan tujuan-tujuan mereka. Yang dimaksud dengan maslahat yang sebenarnya adalah menjaga tujuan-tujuan syariat yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta. 

Berdasarkan penjelasan di atas menggunakan Qaidah “أهون الشرين ” untuk menfatwakan kebolehan melakukkan perkara yang diharamkan bukan pada kondisi-kondisi yang telah disebutkan tadi adalah fatwa yang bertentangan dengan wahyu yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur. 

Rasulullah saw bersabda: 

من أفتى بغير علم لعنته ملائكة السماء والأرض

Siapa yang memberikan fatwa tanpa ilmu maka ia akan dilaknat oleh malaikat langit dan bumi(hadits hasan ditakhrij oleh Asy Suyuti dalam kitab Al Jamiush shagir). 

Karena itu pendapat yang mengatakan (tentang pemilu) “pilihlah si A meski sekuler, kafir, fasik dan jangan pilih si B, karena si A mendukung kita dan Si B tidak mendukung kita” atau perkataan sejenisnya adalah perkataan yang tertolak secara syar’i, siapa pun yang mengatakannya. Yang harus dikatakan dalam maslah ini adalah dua pilihan yang dilontarkan kepada kita itu, kedua-duanya adalah perkara yang diharamkan. Karena kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum muslim dalam menyampaikan pendapat. Karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan, seperti membuat hukum (at-tasyri; legislasi), menyetujui program-program yang diharamkan dan menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Dengan kata lain orang yang sekuler akan melarang yang ma’ruf dan memerintahkan kemungkaran. Maka kita tidak boleh memilih kedua-duanya. Karena memilih si A atau memilih si B sama saja haramnya. Dan karena tidak memilih si A atau si B ada dalam batas kemampuan kita. 

Dalam permasalahan ini tidak bisa dikatakan: apabila kita tidak memilih atau tidak mendukung si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Sebagaimana kita tidak boleh mengatakan apabila kita tidak membuka kedai tempat minum khamr dan memanfaatkannya maka kedai itu akan dibuka oleh orang lain yang tidak berfihak kepada kita. Yang harus kita dilakukan dalam maslah ini adalah meninggalkan dua perkara yang diharamkan itu dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya. 

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk[453]. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 105)

Imam At Tirmidzi dalam kitab shahihnya, Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim bahwa Abu Bakar pernah berkhutbah : wahay saudara-saudara kalian membaca ayat ini tapi meletakan bukan pada tempatnya. Aku pernah mendangar bahwa Rasulullah saw bersabda:

إن الناس إذا رأوا المنكر ولم يغيِّروه أوشك أن يعمهم الله بعقاب»

“jika manusia melihat kemungkaran tapi mereka tidak merubahnya maka Allah akan meliputi mereka dengan siksanya. 

Berdasarkan ayat dan hadits di atas maka dua perkara yang diharamkan harus ditinggalkan dan kita harus mengajak orang lain untuk meninggalkannya. Dalam kondisi seperti itu. Qaidah ” أهون الشرين ” tidak bisa diamalkan. 

Sungguh menggelikan jika ada orang yang mengatakan kalau kita tidak memilih salah satunya berarti kita berdiam diri tidak melakukan apapun. Jawaban atas perkataan seperti ini adalah: “jika anda diminta memilih dua perkara yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun-tidak ada pilihan ketiga yakni melakukan yang baik- maka yang wajib anda lakukan adalah anda harus diam dan menjaga diri anda dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, anda harus menjaga lisan anda dari merubah agama Allah. Bukankah Rasulullah pernah bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam”. Yang menjadi asal adalah anda harus berbuat sesuatu-tidak diam-. Anda harus memerintahkan kepada yang baik mencegah dari yang mungkar dan berusaha mewujudkan yang layak untuk dipilih atau berusaha untuk merubah situasi secara menyeluruh. Karena yang wajib adalah anda tidak boleh menghukumi atau dihukumi kecuali dengan Islam. Maka bangkitlah untuk memperbaiki keadaan umat”. 

Kondisi yang dibolehkan oleh orang-orang yang salah dalam menerapkan Qaidah ini sama seperti halnya ketika seseorang dihadapkan pada dua makanan. Yang pertama adalah bangkai dan yang kedua adalah daging babi. Apakah makna Qaidah “ahwanusy syaraini” -berkaitan dengan keadaan ini - adalah ia harus mencari mana yang lebih ringan keharamannya dari dua perkara itu, kemudian ia memakannya? Atau karena kedua-duanya adalah perkara yang diharamkan maka harus ditinggalkan keduanya? Benar, keduanya adalah haram. Yang harus ia lakukan adalah bersungguh-sungguh mencari makanan yang dihalalkan atau bersabar tidak memakan keduanya kecuali jika dengan tidak memakan salah satu dari keduanya(dan tidak ada pilihan ketiga) ia akan sampai pada kondisi yang membahayakan(dharar). Maka berlakulah Qaidah di atas.

Contoh penerapan Qaidah “أهون الشرين ” yang benar: 

1. Jika ada seorang ibu yang sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janin secara bersamaan, dan kondisinya mendesak harus ada keputusan yang cepat yaitu: menyelamatkan ibu tapi akan mengakibatkan kematian janin atau menyelamatkan janin tapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan akan mengakibatkan kematian kedua-duanya maka dalam kondisi ini Qaidah “ أهون الشرين “ harus diterapkan. Yaitu dengan cara menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin. Hal yang harus diperhatikan dalam hal ini bahwa menentukan perbuatan yang lebih ringan keharamannya tidak bisa merujuk kepada perasaan atau keinginan manusia (suami atau orang tua-nya) melainkan harus merujuk kepada ketentuan syariat. Karena syariat selain menjelaskan perkara yang halal dan haram , juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya. 

2. Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan di bunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mampu mencegah kemunkaran tersebut namun di saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya. Maka pada kondisi ini kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu mencegah kemunkaran tapi akan mengakibatkan ditinggalkannya kewajiban atau melaksanakan kewajiban tapi berakibat terjadinya kemungkaran yang bisa kita cegah. Sementara waktu yang ada tidak memungkinkan kita untuk melakukan dua perkara itu secara bersamaan, maka pada kondisi ini kita harus mengamalkan Qaidah “ أهون الشرين “. Pertimbangan memilih mana yang lebih ringan bahayanya dalam hal ini juga harus merujuk kepada ketentuan syariat yang telah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih utama daripada menunaikan kewajiban. Andai saja kita bisa melaksanakan dua kewajiban itu (kewajiban mencegah kemungkaran dan kewajiban shalat di akhir waktu) secara bersamaan maka kita harus melakukan keduanya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita harus melakukan yang lebih wajib kemudian diam dari kewajiban yang lebih ringan, seperti memilih untuk melaksanakan kewajiban menegakkan khilafah namun meninggalkan kewajiban yang lebih ringan seperti taat kepada suami. 

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa menentukan hukum mana yang lebih kuat dan mana yang lebih ringan harus merujuk kepada ketentuan syariat. 

Syariat telah menetapkan menjaga dua nyawa lebih utama daripada menjaga salah satunya. Menjaga tiga nyawa lebih utama daripada menjaga dua nyawa. Menjaga nyawa harus didahulukan daripada menjaga harta. Menjaga darul Islam yang termasuk ke dalam menjaga agama lebih utama dari menjaga nyawa dan harta. Begitu juga jihad dan khilafah yang termasuk ke dalam menjaga agama merupakan hal mendesak yang harus didahulukan dari yang lainnya. Imam Asy- Syatibi berkata dalam al-Muwafaqat: Jiwa manusia itu terhormat, harus dijaga, dan dituntut selamatkan. Sehingga jika ada pilihan antara menyelamatkan jiwa dan mengorbankan harta untuk memperahankannya atau antara mengorbankan jiwa dan menyelamatkan harta, maka menyelamatkan jiwa lebih utama. Namun jika menyelamatkan jiwa berlawanan dengan kematian (baca:kerusakan) agama maka menghidupkan (menyelamatkan) agama lebih utama meski mengakibatkan kematian jiwa, seperti jihad melawan kaum kafir atau membunuh orang murtad. Atau seperti upaya menyelamatkan satu nyawa berlawanan dengan kematian orang banyak. 

Demikianlah hakikat dari Qaidah “ أهون الشرين “, dan bagiamana menerapkannya. Contoh-contoh lainnya bisa dibaca pada kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh. 

Yang tidak boleh luput dari perhatian kita berkaitan dengan kaidah ini adalah bahwa yang menjadi pemicu menggunakan Qaidah “ أهون الشرين “ untuk melegalisi perbuatan yang diharamkan adalah ketidaktahuan terhadap hakikat sebenarnya dari Qaidah ini. Selain itu, juga ada upaya merubah hukum-hukum Islam dengan cara menerapkannya bukan pada tempatnya. Kondisi inilah yang menjadi cobaan bagi umat secara umum dan bagi kita secara khusus sebagai pengemban dakwah. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Friday, January 19, 2024

TAS TIDAK DIRAGUKANNYA, ASY-SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI ADALAH SEORANG ULAMA BESAR AHLUSSUNNAH

 PENGAKUAN TERBARU DARI ULAMA BESAR ATAS TIDAK DIRAGUKANNYA, ASY-SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI ADALAH SEORANG ULAMA BESAR AHLUSSUNNAH


Berikut ini adalah keterangan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah-, dalam status FB beliau tertanggal 19 Juli 2020.

Berikut ini adalah keterangan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah-, dalam status FB beliau tertanggal 19 Juli 2020. Beliau menuliskan:


سماحة العلامة المجتهد أبو إبراهيم تقي الدين النبهاني( ت 1398 هـ) رحمه الله تعالى :


Tentang Yang Mulia al-Allamah al-Mujtahid Abu Ibrahim Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398 H) -semoga Allah merahmati beliau-.


سألني اليوم أحد المحبين فقال : ما رأيكم عن الشيخ تقي الدين النبهاني واتباعه ؟


Hari ini aku ditanya oleh salah seorang Muhibbin (sebutan bagi para pecinta ulama): "Bagaimana pendapat anda tentang Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan para pengikutnya?"


فأجبته بقولي : سماحة الشيخ تقي الدين النبهاني عالم علامة مجتهد مجدد مصنف رضي الله عنه ورحمه وقد ترجمته في حاشية ترجمتي لجده لأمه الشيخ يوسف بن اسماعيل النبهاني بالجزء الثاني من "التشنيف" ( 2/ 662-669).


Maka aku menjawabnya dengan berkata: "Yang Mulia Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang ulama yang sangat tinggi ilmunya, seorang mujtahid, seorang mujaddid, sekaligus seorang penulis. Semoga Allah meridhai dan merahmati beliau. Sudah saya jelaskan biografi beliau di hasyiyah (catatan kaki) saat menjelaskan biografi kakek beliau dari jalur Ibu. Yaitu Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, tepatnya di juz dua dari kitab At-Tasynîf halaman 662-669."


ثم قال السائل : هل الشيخ تقي الدين النبهاني من أهل السنة شيخي الحبيب ؟


Lalu si Penanya berkata: "Wahai Guruku tercinta, apakah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani itu tergolong Ahlussunnah?"


فقلت : نعم هو من أجل وأفضل علماء أهل السنة وكان داعيا للتقريب على بصيرة.


Aku jawab: "Ya, beliau termasuk ulama besar Ahlussunnah yang terkemuka. Beliau juga termasuk juru dakwah yang mengajak kepada persatuan dengan berdasarkan ilmu."


وزدت هنا : كان رحمه لله تعالى عالما عاملا فردا في بابه، ذا استقلالية في الفكر لايقلد في الأصلين فضلا عن الفروع ،


Dan di sini aku tambahkan: "Beliau -semoga Allah merahmati- adalah seorang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, satu-satunya ahli di bidangnya, memiliki independensi dalam berfikir, tidak ber-taqlid dalam dua bidang ushul (ushuluddin dan ushulul fiqh), apalagi dalam perkara furu'.


وله مصنفات نافعة جدا منها كتابه الكبير " الشخصية الإسلامية " في ثلاثة مجلدات . و" نظام الإسلام " ، والنظام الإجتماعي في الإسلام " ، و" النظام الإقتصادي في الإسلام" ، و" التفكير" ، و" مفاهيم سياسية " وغير ذلك .


Beliau juga memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat. Diantaranya adalah kitab beliau yang tebal Asy-syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (Kepribadian Islam) yang terdiri dari tiga jilid, Nizhâmul Islam (Aturan Hidup Islam), an-Nizhâm al-Ijtimâ'i fil Islâm (Sistem Pergaulan Islam), an-Nizhâm al-Iqtishâdi fil Islâm (Sistem Ekonomi Islam), at-Tafkîr (Perihal Berfikir), Mafâhîm Siyâsiyyah (Konsepsi-konsepsi Politik), dan lain-lain.


وهو صاحب مشروع إسلامي واضح المعالم . وكان من أجل الدعاة للإسلام على نور وبصيرة ، وفي اتباعه علماء وطلبة علم ودعاة .


Beliau adalah seorang konseptor Islami yang memiliki pandangan jelas. Beliau termasuk pengemban dakwah yang mengajak kepada Islam berdasarkan cahaya dan ilmu. Diantara pengikut beliau ada para ulama, para pelajar, dan para pengemban dakwah.


وقال لي صديقي السَّيدُ يوسفُ الرِّفاعيُّ الكويتيُّ: "التقيتُ بالشيخ تقيِّ الدين النبهانيِّ، وكان له عقلٌ لو وُزِّع على المسلمين المعاصرين لكفاهم".


Sahabatku as-Sayyid Yusuf ar-Rifa'i al-Kuwaiti pernah berkata kepadaku: "Aku pernah bertemu dengan Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau memiliki kepandaian yang apabila dibagikan kepada seluruh kaum muslimin yang hidup saat ini, niscaya mencukupi (menjadikan mereka pandai -penj.)."


وقد ظلم في حياته وبعد وفاته . ولد في بلدة " إجزم " من قضاء حيفا الإسلامية المحتلة سنة 1328 ، وتوفي ببيروت سنة 1398، ودُفن بمقبرة الأوزاعيِّ رحمه الله تعالى.


Sungguh beliau telah terzalimi semasa hidupnya dan setelah wafatnya. Beliau terlahir di daerah Ijzim yang masuk wilayah Haifa yang dikuasai penjajah pada tahun 1328. Beliau wafat di Beirut pada tahun 1398, dan dimakamkan di pemakaman al-Auza'i, semoga Allah merahmati beliau.


Alih bahasa: Azizi Fathoni


Nb. Silahkan dishare, Syaikh Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah- sudah mengizinkan.


Malang. 20 Juli 2020.

Wednesday, January 17, 2024

"GEMBIRA DENGAN KEMATIAN TOKOH KESESATAN"

 "GEMBIRA DENGAN KEMATIAN TOKOH KESESATAN"


abu zaid


(Anak Bertanya kepada Bapaknya)


Anak: Ayah, ketika tokoh kesesatan dan musuh Islam mati bagaimana sikap kita? 


Ayah: Hal itu pernah terjadi di jaman Nabi Muhammad SAW Nak. 


Teladan Nabi Muhammad SAW saat orang yang menebar kerusakan di muka bumi meninggal, dengan mengucapkan maka Beliau SAW mengucapkan:


يستريح منه العباد والبلاد والشجر والدواب


“Orang-orang beriman, negeri, pepohonan, serta binatang-binatang lega dengan kematiannya” (HR. Bukhari dan Muslim).


Anak: jadi kita bergembira ya Yah. 


Ayah: alhamdulillah lega begitu Nak. 


Anak: bukan kah ada larangan mencela mayat Ayah? 


Ayah: betul Nak. Tapi Imam Badruddin Al Aini menjelaskan sebagai berikut:

فإن قيل : كيف يجوز ذكر شر الموتى مع ورود الحديث الصحيح عن زيد بن أرقم في النهي عن سب الموتى وذكرهم إلا بخير ؟ وأجيب : بأن النهي عن سب الأموات غير المنافق والكافر والمجاهر بالفسق أو بالبدعة ، فإن هؤلاء لا يحرُم ذكرُهم بالشر للحذر من طريقهم ومن الاقتداء بهم


“Jika ada yang menanyakan, ‘Apa boleh menyebut-nyebut keburukan mayit, padahal ada hadis sahih dari sahabat Zaid bin Arqom Radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan larangan mencela mayit dan perintah menyebutkan kebaikan-kebaikannya?’


Saya jawab,


‘Larangan mencela mayit yang dijelaskan oleh hadis tersebut, berlaku kepada selain munafik, kafir, orang yang terang-terang melakukan tindakan fasik atau bidah (kesesatan). Mayit-mayit yang seperti itu tidak haram menyebut mereka dengan buruk, agar masyarakat berhati-hati dari ajarannya dan tidak menjadikannya sebagai teladan'” (‘Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, 8: 282, Darul Kutub Ilmiyah 1421 H).


Anak: kalo contoh sikap para ulama

Bagaimana Ayah? 


Ayah: ada banyak riwayat Nak. Bahwa para ulama gembira dengan kematian tokoh kesesatan. Diantaranya adalah:


Salamah bin Syabib berkata, “Aku pernah duduk di dekat ‘Abdurrazaq As-Shan’ani, lalu tibalah kabar kematian Abdul Majid (tokoh sesat di zamannya). Lantas ‘Abdurrazaq mengatakan,


الحمد لله الذي أراح أُمة محمد من عبد المجيد


“Segala puji bagi Allah yang telah melegakan Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kematian Abdul Majid” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9: 435, Mu-assasah Ar-Risalah 1402 H).


Saat tiba kabar kematian Wahb Al-Qurasyi (tokoh kesesatan), kepada Abdurrahman bin Mahdi, beliau Rahimahullah berkata,


الحمد لله الذي أراح المسلمين منه


“Segala puji bagi Allah yang telah mengistirahatkan kaum muslimin dari gangguannya” (Tarikh Madinah Dimasq 63: 422, Darul Fikr 1415 H).


Di dalam Bidayah wan Nihayah (12: 338) Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang kematian pemuka Syi’ah Rafidhah di zaman beliau yang bernama Hasan bin Shafi At-Turki,


أراح الله المسلمين منه في هذه السنة في ذي الحجة منها، ودفن بداره، ثم نقل إلى مقابر قريش فلله الحمد والمنة، وحين مات فرح أهل السنة بموته فرحاً شديداً، وأظهروا الشكر لله، فلا تجد أحداً منهم إلا يحمد الله


“Allah telah melegakan kaum muslimin dari kesesatannya di tahun ini, di bulan Dzulhijjah. Dia dikubur di rumahnya, lalu dipindah ke pemakaman Quraisy. Segala puji bagi Allah. Di saat kematiannya, ahlussunnah beriang gembira. Mereka menampakkan syukur kepada Allah. Tak ada satu pun ahlussunnah, kecuali memuji Allah atas kematiannya.”


Anak: alhamdulillah ananda faham Ayah. Terimakasih Ayah. 


Ayah: alhamdulillah Nak, Sama sama Nak[]

Wednesday, December 13, 2023

10 Hal Tentang Syaikh Taqiyuddin An Nabhani

 10 Hal Tentang Syaikh Taqiyuddin An Nabhani


1. Nama lengkapnya adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim, P4le5t1na.


2. Masa kecil beliau mendapat didikan ilmu dan agama dari ayahnya seorang syaikh yang faqih fid din, dan juga dari kakeknya yaitu Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani, seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani.


3. Syaikh Taqiyuddin telah hafal Al Qur'an sejak usia 13 tahun.


4. Beliau memulai pendidikannya di sekolah dasar negeri di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sekolah di Akko untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah.


5. Pada tahun 1928 Syaikh Taqiyuddin meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat cemerlang.


6. Tahun berikutnya beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar.


7. Pada tahun 1940, Beliau diangkat sebagai Musyawir (Pembantu Qadhi) hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi di Mahkamah Ramallah.


8. Pada tahun 1948, beliau kembali ke Palestina dan diangkat sebagai Qadhi (Hakim) di Mahkamah Syar'iyah Al Quds.


9. Sejak remaja Syaikh Taqiyuddin sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syekh Yusuf An Nabhani. Pengalaman itulah yang mengantarkannya mendirikan partai politik berasas Islam, H1zbut Tahrir di Al Quds (Yerusalem) pada tahun 1953.


10. Syekh Taqiyuddin An Nabhani meninggal dunia pada tahun 1398 H/ 1977 M dan dimakamkan di Al Auza'i Beirut.


Inilah sekilas tentang sosok Syaikh Taqiyuddin An Nabhani rahimahullata'ala. Semoga beliau berada diposisi yang tinggi bersama Rasulullah  ﷺ dan para Sahabat. Semoga beliau menjadi imam atas umat yang sedang meneruskan perjuangan beliau. Aamiin.

Monday, December 11, 2023

hukum uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? Apa bedanya antara uang muka (DP/’urbūn)

 Hukum Uang Tanda Jadi (Hāmisy Jiddiyyah) dan Bedanya dengan DP (‘Urbūn)


KH M Shidiq Al Jawi


Tanya:


 Ustaz, mohon dijelaskan hukum uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? Apa bedanya antara uang muka (DP/’urbūn) dengan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? (Hamba Allah)


Jawab:


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah earnest money. Definisi uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh calon pembeli kepada calon penjual sebelum terjadinya akad jual beli, sebagai tanda keseriusan untuk melakukan akad jual beli, dengan ketentuan jika akad jual belinya terjadi, uang tanda jadi akan mengurangi total harga, dan jika akad jual belinya tidak terjadi, uang tanda jadi itu wajib dikembalikan oleh calon penjual kepada calon pembeli. (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115).


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) hukumnya boleh (jā’iz) asalkan memenuhi empat syarat sebagai berikut.


Pertama, uang tanda jadi diberikan oleh calon pembeli kepada calon penjual sebelum terjadinya akad jual beli.


Kedua, uang tanda jadi statusnya adalah titipan (wadī’ah) di tangan calon penjual, jadi uang itu tidak boleh di-tasharruf-kan (dimanfaatkan) oleh calon penjual, misalnya digunakan untuk berjual beli, dijadikan gaji karyawan, dan sebagainya.


Ketiga, uang tanda jadi itu mengurangi total harga jika calon pembeli jadi melakukan akad jual beli.


Keempat, uang tanda jadi wajib dikembalikan kepada calon pembeli jika calon pembeli itu tidak jadi membeli (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115).


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) ini mempunyai persamaan dan perbedaan dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn).


Persamaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn) adalah bahwa uang tanda jadi dan DP sama-sama akan mengurangi total harga jika akad jual belinya terjadi atau tidak dibatalkan oleh pembeli. (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118).


Adapun perbedaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn), terdapat dalam tiga hal sebagai berikut.


Pertama, perbedaan dari segi waktunya, apakah sebelum atau sesudah akad jual beli. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) diberikan saat pra-akad (sebelum terjadinya akad jual beli) (qabla injāzi al-bay’).


Sedangkan DP (urbūn) diberikan pasca-akad atau bersamaan saat akad (berbarengan atau sesudah terjadinya akad jual beli) (ma’a injāzi al-bay’ aw ba’dahu) (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118).


Kedua, perbedaan dari segi terjadi perpindahan hak milik (naqlul milkiyyah, transfer of ownership) atau tidak. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) jika diberikan, sifatnya adalah titipan (amanah), yaitu wadī’ah, di tangan pihak penjual. Artinya, uang tersebut belum menjadi hak milik pihak penjual, dan dengan demikian pihak penjual tidak boleh melakukan tasharruf (pemanfaatan) uang tersebut, misalnya digunakan untuk berjual beli sesuatu, atau untuk menyewa sesuatu, atau diberikan sebagai gaji karyawan, dsb.


Adapun DP (urbūn), jika diberikan, sudah menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian pihak penjual berhak melakukan tasharruf (pemanfaatan) terhadap uang DP tersebut (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115-116).


Ketiga, perbedaan dari segi jika akad jual beli tidak terjadi atau dibatalkan. Jika akad jual beli tidak terjadi, uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) wajib hukumnya dikembalikan oleh penjual kepada pembeli. Hal itu karena uang tanda jadi itu sebenarnya belum menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian, penjual wajib mengembalikannya jika akad jual beli tidak terjadi.


Adapun DP (urbūn), jika akad jual belinya dibatalkan pembeli, DP itu sudah menjadi hak milik pihak kedua (penjual) sehingga oleh karenanya, tidak dikembalikan oleh penjual kepada pembeli (yakni, DP hangus). (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118). Wallahualam.[]

Wednesday, December 6, 2023

BERMUAMALAH DENGAN BANK (ISLAMI)

 BERMUAMALAH DENGAN BANK (ISLAMI)

  

Oleh : asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah


Sesungguhnya akad-akad di dalam Islam itu tidak rumit dan bukan tidak jelas. Tetapi akad-akad di dalam Islam itu mudah dan jelas dan telah dijelaskan di dalam syara’ secara jelas:


1- Penjual suatu barang haruslah pemilik barang itu, lalu dia tawarkan untuk dijual. Pembeli melihatnya dan jika dia menerima maka terjadikan akad, dan jika tidak, maka barang itu tetap milik pemiliknya itu. Tidak sahnya jual beli barang yang tidak dimiliki oleh penjualnya adalah tidak boleh di dalam Islam. Di antara dalil-dalilnya:


Dari Hakim bin Hizam, ia berkata:


«قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي مَا أَبِيعُهُ مِنْهُ، ثُمَّ أَبِيعُهُ مِنْ السُّوقِ»، فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ» رواه أحمد


“Aku katakan: “ya Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku memintaku menjual apa yang bukan milikku yang aku jual, kemudian aku membelinya dari pasar”. Beliau bersabda: “jangan engkau jual apa yang bukan milikmu”. (HR Ahmad).


2- Semisal itu, seandainya Khalifah ingin mendistribusikan kepemilikan umum kepada masyarakat, atau mendistribusikan kepada masyarakat makanan dari kepemilikan negara, dan masing-masing orang mengetahui bagiannya, maka orang tidak boleh menjual bagiannya lebih dahulu sebelum dia menerimanya dari negara.


Dan ini yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah saw:


Imam Malik telah mengeluarkan dari Nafi’ bahwa:


أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ ابْتَاعَ طَعَاماً أَمَرَ بِهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِلنَّاسِ، فَبَاعَ حَكِيمٌ الطَّعَامَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: (لَا تَبِعْ طَعَاماً ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَسْتَوْفِيَهُ)


Hakim bin Hizam membeli makanan yang diperintahkan oleh Umar bin al-Khaththab untuk orang-orang, lalu Hakim menjual makanan itu sebelum dia menerimanya dan hal itu sampai kepada Umar bin al-Khaththab maka Umar mengembalikannya kepadanya dan Umar berkata: “jangan engkau jual makanan yang engkau beli sampai engkau menerimanya”.


Imam Malik telah mengeluarkan bahwa bahwa telah sampai kepadanya bahwa:


أَنَّ صُكُوكاً خَرَجَتْ لِلنَّاسِ فِي زَمَانِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ مِنْ طَعَامِ الْجَارِ، فَتَبَايَعَ النَّاسُ تِلْكَ الصُّكُوكَ بَيْنَهُمْ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا، فَدَخَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَرَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَقَالَا: (أَتُحِلُّ بَيْعَ الرِّبَا يَا مَرْوَانُ؟ فَقَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ، وَمَا ذَاكَ؟ فَقَالَا: هَذِهِ الصُّكُوكُ تَبَايَعَهَا النَّاسُ ثُمَّ بَاعُوهَا قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا. فَبَعَثَ مَرْوَانُ الْحَرَسَ يَتْبَعُونَهَا يَنْزِعُونَهَا مِنْ أَيْدِي النَّاسِ وَيَرُدُّونَهَا إِلَى أَهْلِهَا)


Shukuk (cek) telah keluar untuk orang-orang pada zaman Marwan bin al-Hakam berupa makanan yang disimpan di al-Jâri (tempat di pantai yang di situ makanan dikumpulkan dan disimpan), lalu orang-orang memperjualbelikan shukuk (cek) itu di antara mereka sebelum mereka menerimanya, maka Zaid bin Tsabit dan seseorang dari shahabat Rasulullah saw masuk menemui Marwan bin al-Hakam, keduanya pun berkata: “Apakah engkau menghalalkan jual beli riba ya Marwan?” Marwan berkata: “Aku berlindung kepada Allah, apa itu?” Keduanya berkata: “shukuk (cek) ini diperjualbelikan orang-orang dan mereka menjualnya sebelum mereka menerimanya (makanan)”. Maka Marwan pun mengirim para penjaga untuk menelusuri shukuk (cek) itu, mereka ambil dari tangan orang-orang dan mereka kembalikan kepada pemiliknya”.


3- Tetapi muncul di negeri-negeri kaum Muslim lembaga-lembaga yang melakukan trik terhadap syara’ dan menyebut dirinya sendiri “islâmiy” seperti bank yang disebut “islamiy”. Lembaga itu bermuamalah secara haram tetapi tidak dengan cara ribawi seperti muamalah bank-bank ribawi, tetapi dia berjalan dengan cara haram yang lain:


a- Jika Anda pergi ke bank konvensional, Anda ingin utang, maka bank memberi Anda (utang) dengan bunga ribawi tertentu. Tetapi jika Anda pergi ke bank yang disebut “islamiy” dan Anda ingin utang, maka bank itu memberi Anda utang tanpa tambahan, tetapi karena bank manapun bukanlah lembaga yang membantu orang karena Allah, maka dia menginginkan tambahan, tetapi tidak secara gamblang sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional, sebab bank itu namanya islamiy! Dia tidak ingin bermuamalah dengan riba yang haram dengan pengharaman yang diketahui hingga oleh orang umum sekalipun. Melainkan bank itu berkata kepada Anda: “untuk apa Anda ingin utang?” Lalu Anda katakan: “untuk membeli mobil atau barang tertentu … sementara saya tidak memiliki harganya”. Maka bank berkata kepada Anda: “baik, kami belikan mobil (barang) itu dan kami bayar harganya secara kontan dan kami jual kepada Anda secara kredit dengan tambahan begini” dan dibuat kesepakatan dengan Anda sebelum bank membelinya. Artinya, jual beli antara bank dengan Anda secara angsuran (kredit) telah terjadi dan ditandatangani akadnya dan menjadi mengikat sebelum bank membeli barang tersebut, dan berikutnya Anda terikat untuk mengambilnya setelah bank membelinya. Artinya, akad jual beli telah dilakukan sebelum pemilikan bank atas barang itu. Anda tidak membelinya setelah bank memilikinya dan menawarkannya kepada Anda sehingga Anda bisa setuju atau tidak setuju. Melainkan di sini Anda tidak mampu menolaknya sebab pada asalnya barang itu dibeli untuk Anda bukan untuk bank. Jadi itu merupakan jual beli apa yang tidak dimiliki dan itu secara syar’iy tidak boleh… Tetapi, seandainya bank itu punya showroom mobil miliknya dan menawarkannya kepada orang-orang, dan dia jual kepada orang yang ingin secara angsuran (kredit) niscaya sah lah jual beli tersebut. Hanya saja bank bukanlah pedagang dengan makna yang telah dikenal, tetapi bank menginginkan keuntungan atas harta yang dia bayarkan. Maka bukannya bank itu mengambil bungan ribawi yang tidak sesuai dengan namanya yang “islâmiy”, malahan bank mendapatkannya dan lebih banyak dari itu melalui muamalah yang tidak syar’iy, yaitu jual beli apa yang tidak dimiliki yang diharamkan di dalam Islam!


b- Mereka menyebutnya “murâbahah”, padahal itu bukanlah demikian. Jual beli murâbahah secara syar’iy adalah Anda pemilik barang dan Anda tawarkan untuk dijual, lalu pembeli datang dan menawar harganya kepada Anda, maka Anda katakan kepadanya “beri saya untung sekian atas apa yang Anda beli itu”, lalu dia sepakat setelah dia menelaahnya atas harga yang bebankan untuk pembeliannya dan dia merasa tenteram dengan itu. Lalu dia membayar harga ini dan keuntungan yang Anda berdua sepakati. Seperti yang Anda lihat, barang itu dimiliki oleh penjual ketika dia menawarkannya kepada pembeli. Jelas bahwa ini bukan yang ditransaksikan oleh bank yang disebut islâmiy itu atau lembaga-lembaga serupa.


c- Kadang-kadang mereka menyebutnya “wa’dun -komitmen-“ dan bukan “bay’un -jual beli-“ dan ini rancu! Dan itu perkataan yang tidak benar. Sebab al-wa’du -komitmen- atau al-muwâ’adah -komitmen timbal balik- itu tidak bersifat mengikat. Tetapi di dalam muamalah bank, dia (wa’dun) itu bersifat mengikat. Kesepakatan dibuat sebelum bank memiliki barang. Oleh karena itu, orang tidak berkata kepada bank setelah bank memiliki mobil itu, orang itu mengatakan “saya tidak ingin membeli”. Ini tidak mungkin terjadi di dalam muamalah bank. Sebab akad telah terjadi sebelum pembeliannya (oleh bank), dan itu bersifat mengikat dan bukanlah wa’dun -komitmen-. Adapun al-wa’du bi al-bay’i -komitmen menjual- atau al-wa’du bi asy-syirâ`i -komitmen membeli- maka itu tentu saja tidak bersifat mengikat.


Al-wa’du bi asy-syirâ`i -komitmen membeli- adalah tidak bersifat mengikat. Melainkan yang mengikat itu adalah akad yang dilakukan dengan ijab dan qabul. Dan ini telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Yang terjadi di antara bank dan orang itu adalah akad jual beli yang mengikat bagi orang itu. Jadi jual beli secara riil dan praktis telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Dalilnya bahwa bank ketika memiliki mobil tersebut, orang itu tidak bisa menolak untuk membelinya. Ini menyalahi hukum syara’ yang menjelaskan jual beli di dalam Islam.


d- Dan kadang-kadang mereka menyebutnya pembelian dan bukan penjualan dan bahwa orang itu adalah orang yang menyuruh membeli (âmiru bi asy-syirâ`i). Dia berkata kepada bank, “beli untukku mobil …. “. Ini juga merupakan perkataan yang rancu. Sebab muamalah ini dengan sifat ini merupakan wakalah, yakni bahwa orang itu mewakilkan kepada bank dalam membeli untuknya mobil itu dengan harga sekian dengan imbalan upah tertentu untuk bank sebagai wakil membeli… Tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Sebab mobil itu dicatatkan dengan nama bank. Jadi bank lah yang membelinya dari show room. Dan bank menjualnya dengan angsuran (kredit) untuk orang itu. Dan mobil itu tetap dicatatkan dengan nama bank sampai orang itu membayar harganya yang disebut angsuran. Mobil itu tidak dicatatkan dengan nama orang itu. Dan bank adalah wakil orang itu dalam membeli dengan imbalan upah tertentu, tetapi tidak demikian sama sekali … Itu dari semua aspek bukanlah wakalah. Seandainya orang itu mampu secara finansial dan dia ingin mewakilkan kepada bank untuk membelikan mobil untuknya dengan upah sekian, seandainya orang itu mampu secara finansial atas yang demikian niscaya dia tidak datang ke bank tetapi niscaya dia lebih afdhal secara pengalaman dalam membeli dan lebih ringan upah (biaya)nya dari bank …


Oleh karena itu apa yang mereka namakan jual beli seperti itu tidak boleh. Ringkasnya, bahwa muamalah ini tidak boleh secara syar’iy.


Sungguh membuat saya takjub, komentar salah seorang mereka seputar bank islamiy. Dia mengatakan bahwa bank konvensional menarik harta orang-orang yang tidak peduli dengan transaksi dengan riba. Tinggallah orang-orang yang agamis (relijius) yang tidak bermuamalah dengan riba dan harta mereka tetap berada di luar bank-bank konvensional. Bank-bank yang disebut “islâmiy” lah yang menarik harta orang-orang yang agamis, dengan bank-bank ini memanfaatkannya dengan cara bukan riba yang pengharamannya diketahui oleh orang umum. Bank itu memanfaatkannya dengan cara muamalah yang tidak syar’iy. Tetapi mudah meyakinkan orang-orang sederhana bahwa itu berasal dari syara’ seperti dicari untuknya sebutan di dalam syara’ seperti al-murâbahah misalnya, dan itu tidak jelas seperti riba tetapi kadang tidak diketahui oleh banyak orang yang agamis sehingga mereka menduga kebolehannya.


Adapun tentang menempatkan harta sebagai amanah pada bank penjelasannya sebagai berikut :


Al-wasîlah ilâ al-harâm harâmun -wasilah kepada yang haram adalah haram-. Benar hal itu berlaku atas segala hal, baik perbuatan individual seperti seseorang melakukan secara sepihak, atau perbuatan dari dua pihak, yakni akad … Melainkan pembedanya adalah bahwa ketika Anda melakukan wasilah yang mengantarkan kepada yang haram, Anda bertanggungjawab atas keharaman ini. Dan ketika Anda menjadi satu pihak di dalam akad maka keharaman itu terjadi pada pihak yang menempuh wasilah yang mengantarkan kepada yang haram itu. Dan jika kedua pihak menempuh jalan ini maka dosanya atas keduanya.


Dan penempatan harta Anda sebagai amanah, yakni rekening giro tanpa bunga ribawi di bank, maka jika dalam dugaan kuat Anda bahwa bank akan menggunakan rekening giro Anda dalam riba maka tidak boleh Anda tempatkan amanah ini “rekening giro” pada bank tersebut. Hanya saja bank memisahkan antara amanah-amanah dengan bunga ribawi dan rekening giro tanpa bunga ribawi. Adapun harta yang ditempatkan dengan bunga maka digunakan dalam riba dan tidak diragukan dalam hal itu. Adapun rekening giro maka kadang digunakan, kadang dari rekening giro Anda atau dari rekening selain Anda. Hal itu karena rekening giro bisa ditarik kapan saja oleh pemiliknya … Oleh karenanya, itu menyerupai menempatkan amanah pada orang fasik. Jika Anda terpaksa untuk melakukan itu maka tidak ada dosa atas Anda. Dosa terhadapnya jika dia menggunakan amanah itu bukan pada tempatnya selama Anda tidak mengetahui hal itu atau rela. Begitulah bank, jika Anda tahu bahwa bank menggunakan rekening giro Anda di dalam riba maka tidak boleh.


Dan tentu saja yang lebih afdhal, Anda tidak menempatkannya di bank atau pada orang fasik itu. Tetapi semua ini jika bank itu terakadkan secara shahih, seperti merupakan milik individu, atau milik negara, atau syirkah yang islamiy, atau syirkah musâhamah (PT) yang terakadkan bagi pelakunya … dan bukan syirkah musâhamah (PT) yang memiliki akad yang batil. Dan jika tidak, maka bermuamalah dengannya adalah tidak boleh dalam semua kondisi.


Saudaramu,

Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah