Saturday, June 26, 2021

Kenapa harus khilafah ?

 #Kenapa_Harus_Khilafah? 


Menarik untuk kita simak uraian tulisan ini bersama, tentunya dengan hati yang tenang serta dibarengi dengan kejujuran. 


Semakin santernya opini gaung KHILAFAH sebagai solusi seluruh problematika umat se antero dunia, membuat penulis merasa perlu untuk mendapatkan alasan alasan yang logis sebagai jawaban ilmiah mengapa gaung KHILAFAH semakin kuat terdengar di telinga. Ada beberapa hal yang menjadi kerangka dalam tulisan ini, hingga mampu mengantarkan kepada jawaban yang benar terkait pertanyaan sesuai dengan judul di atas. 1. Definisi KHILAFAH, 2. Melakukan pengujian secara logis terkait KHILAFAH adalah benar benar ajaran ISLAM, 3.Melakukan penalaran secara logis terkait penerapan sistem KHILAFAH, 4. Langkah langkah yang wajib di tempuh dalam merealisasikan nya, Serta 5. Kebahagiaan bagi pelaku dalam memperjuangkan nya. Baik kawan, kita mulai langsung ya. 


1.Definisi KHILAFAH


Secara bahasa khilafah diambil dari kata : kholafa – yakhlufu – khilaafatan; yang artinya adalah mengganti.


Secara Istilah Khilafah juga sering disebut dengan nama imamatul kubro. Diberi nama kubro karena untuk membedakan dengan imamatus shughro; yaitu imam di dalam sholat. Adapun imamatul kubro secara syar’i adalah :


رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلاَفَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Kepemimpinan secara umum baik dalam perkara keagamaan maupun perkara keduniaan sebagai pengganti kepemimpinan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.


Disebutkan juga oleh Syekh Rasyid Ridha dalam kitabnya Al-Khilafah bahwa pengertian khilafah menurut beliau adalah : 


الْخلَافَة، والإمامة الْعُظْمَى، وإمارة الْمُؤمنِينَ، ثَلَاث كَلِمَات مَعْنَاهَا وَاحِد، وَهُوَ رئاسة الْحُكُومَة الإسلامية الجامعة لمصَالح الدّين وَالدُّنْيَا


Al-Khilafah dan Al-Imamah Al-Udzmaa, dan Imarotul Mukminin, adalah tiga kata yang memiliki kesamaan makna; yaitu kepemimpinan pemerintahan Islam secara keseluruhan untuk kemaslahatan agama dan keduniaan.


Selain itu Al-Mawardi juga menyebutkan dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthoniyah bahwa pengertian khilafah menurut beliau adalah :


الْإِمَامَة مَوْضُوعَة لخلافة النُّبُوَّة فِي حراسة الدّين وسياسة الدُّنْيَا


Al-Imamah/Pemimpin adalah sebuah kedudukan untuk mengganti kenabian dalam hal peramutan agama dan mengatur politik keduniaan.


Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya KHILAFAH adalah sebuah sistem kepemimpinan dalam ISLAM, yang mana pemimpin nya bernama KHOLIFAH, sementara tugas nya adalah menjaga agama dan mengurusi urusan keduniaan dengan SYARI'AH. inilah bantahan berulang bagi gerombolan liberal yang menyatakan wajib mengangkat imam bukan kholifah.. Artinya alasan alasan yang demikian sudah usang dan terbantahkan dengan baik. 


2. Pengujian secara logis, apakah benar KHILAFAH adalah bagian dari ajaran ISLAM. 


Seluruh ulama Ahli Sunnah Wal Jamaah, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa menegakkan Khilafah hukumnya wajib. Adapun dalil dalam Alquran dan Hadis adalah sebagai berikut:


Dalil Alquran : QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49). Firman Allah surat Albaqarah ayat 30:


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah


Imam Qurthubi menafsirkan surat Albaqarah ayat 30 bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau Khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, pen) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Imam Qurthubi, Aljâmi’ li Ahkâm Alquran, 1/264).


Sabda Rasulullah Saw.:


منْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً


“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim)


Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang Imam (Khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).


Telak plak bahwa KHILAFAH adalah bagian dari Ajaran ISLAM, itu semua dapat dibuktikan dengan Aqwal Ulama terdahulu yang membahas terkait KHILAFAH, artinya mustahil jika KHILAFAH dianggap bukan bagian ajaran ISLAM sebagaimana Demokrasi kemudian di bahas dalam kitab kitab Ulama. Kalau Demokrasi memang bukan ajaran ISLAM, maka mustahil didapatkan pembahasan dalam kitab kitab Ulama membahas Demokrasi. 


Terlebih lagi Secara historis Khilafah sudah tegak selama 13  abad dan memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu lebih dari 2/3 dunia. Barat berhasil menghancurkannya tahun 1924 dan memecah belah menjadi 50 negara lebih. Masa kepemimpinan Rasulullah di Madinah selama 10 tahun (622 M – 632 M). Masa Khulafaur Rasyidin-29 tahun (632 M – 661 M) . Masa Khilafah Bani Umayyah sekitar 89 tahun. Masa Khilafah Bani Abbasiyah sekitar 549 tahuntahun, Selanjutnya Khilafah Utsmaniyah sampai  1924 M. Wilayah  mencapai 2/3 dunia, meliputi Sebagian Asia, Afrika dan Eropa. 


3.Penalaran secara logis terkait penerapan sistem KHILAFAH. 


Berikut nya setelah kita fahami definisi KHILAFAH, maka sekarang bagaimanakah jika KHILAFAH tegak untuk saat ini, apakah bisa, ataukah tidak?. Sesungguhnya hakikat Manusia menginginkan sebuah keadilan, ketenangan, kedamaian, ketentraman dalam menjalani kehidupan, sementara kehidupan mustahil dijalani secara individual secara terus menerus, artinya manusia butuh konsep peraturan hidup sebagai pengatur kehidupan. Hingga menjadi seperangkat aturan dalam bersosialisasi kepada sesama, inilah yang dimaksud konsep. Sementara itu konsep yang ada didunia ini hanya ada dua, konsep ISLAM ataukah Selain ISLAM (sekulerisme). Baiklah marilah kita uji mana lebih layak apakah konsep ISLAM (KHILAFAH), ataukah konsep sekulerisme jika diterapkan. 


Contoh dalam hukum Riba. 


ISLAM mengharamkan RIBA, Sementara Sekulerisme membolehkan bahkan mewajibkan RIBA sebagai Kompensasi pinjaman. Nah marilah kita uraikan hal ini. 


Secara sederhana riba adalah kelebihan nilai hutang dalam pembayaran nya dan disebutkan didalam aqod. Artinya adalah siapapun yang berhutang tentunya telah mengalami kekurangan, jika dalam pemberian pinjaman kepada seseorang yang kekurangan kemudian dibebankan biaya tambahan dalam jumlah nominal hutang adalah mutlak bisnis, bukan bantuan pinjaman. Artinya adalah dalam sistem sekulerisme justru menjadikan masyarakat miskin semakin tertindas dengan kebijakan kebijakan para pemilik modal, sementara pemilik modal berhubungan dengan bank bank nasional, selanjutnya bank bank nasional berhubungan dengan bank dunia. Artinya dunia ini dikendalikan oleh bank dunia. Akhirnya sungguh tenaga yang dicurahkan atas manusia dapat ditentukan nilainya dengan berparameter mutlak terhadap bank dunia. Maksudnya adalah usaha usaha peminjam modal dalam sistem Ribawi terpaksa menyisihkan tenaga dan usaha nya secara gratis untuk pemilik modal sebagai konsekuensi pinjamannya yang berbasis Riba, sementara RIBA terlegislasi dalam sistem Sekulerisme. Dari satu pemaparan ringan ini saja telah kita dapatkan bukti bahwa sekulerisme mustahil mensejahterakan umat, dimana hak hak mendapatkan penghidupan yang layak telah dijajah oleh para begundal kapital. 


Sementara itu RIBA hanya bisa di hilangkan secara totalitas dengan sistem pemerintahan KHILAFAH, sebab pijakan sistem pemerintahan KHILAFAH bersumber dari ajaran ISLAM. Dan ISLAM Mengharamkan RIBA. 


4. Langkah langkah yang wajib di tempuh dalam merealisasikan nya (KHILAFAH) 


Tak kenal maka tak sayang, begitulah pribahasa kuno yang tetap tidak kuno untuk digunakan, begitu juga KHILAFAH, jika ingin merealisasikan nya maka wajib di kenalkan kepada umat. Artinya langkah awal adalah berdakwah, aktifitas dakwah bukan sembarang dakwah, namun dakwah menyadarkan umat bahwasanya KHILAFAH adalah Bagian dari Ajaran ISLAM, serta akan menerapkan syariat ISLAM secara sempurna, sehingga Rahmatan lil Alamin terwujud. Disisi lain dalam pembinaan terhadap umat juga melakukan pembongkaran akan makar makar kaum liberal dalam menjaga kebijakan kebijakan zalim yang diterapkan atas umat yang di legislasi sistem sekulerisme. 


Inilah urgent nya dakwah memahamkan umat dengan menfisualisasikan kemuliaan ISLAM jika di terapkan, dan pastinya ini akan mendapatkan halangan dari kaum sekuler liberal sebab kaum liberal menjadikan hawa nafsu mereka sebagai kepuasan. Akan tetapi hal tersebut tidaklah berdampak apapun kecuali semakin cepat nya pertolongan ALLAH SWT. Secara Alamiah manusia akan mampu mengindera dengan kejujuran keburukan pemikiran liberal yang mengesampingkan SYARI'AH di Terapkan Secara KAFFAH. 


Langkah langkah yang wajib dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan kepada umat, bahwa Syari'ah telah mampu mengantarkan kedamaian dan kesejahteraan selama 13 abad. Berikut nya terus menerus mencatat kebijakan demi kebijakan hasil Hukum sekularisme, Demi ALLAH SWT jika kita jujur dan jeli maka akan sangatlah mudah membuktikan bahwa hukum hukum buatan manusia sangatlah banyak yang inkonsisten alias tidak adil. Jika umat telah faham maka dengan sendirinya umat akan bergabung dengan barisan penegakkan Syari'ah dan Khilafah, upss itu tanpa doktrin loh. 


Kesimpulan akhir, kenapa harus Khilafah?, 


1. Karena itu kewajiban. 


2. Karena dengan Khilafah lah satu satu nya cara menerapkan Syari'ah secara kaffah, bukan demokerasi ataupun monarki. ( ini juga sebagai bantahan kaum liberal yang hingga detik ini tidak mampu menunjukkan bukti satu negarapun yang menjadi penghamba demokerasi dan menjalankan Syari'ah secara kaffah). 


3.Hanya dengan KHILAFAH lah hukum hukum mampu ditegakkan seadil adilnya tanpa tendensius apapun kecuali hanya semata-mata takut Karena ALLAH SWT. Jadi jangan heran jika dalam demokerasi hukum bisa dibeli. 


4. Khilafah justru melarang disintegrasi, kesatuan adalah prioritas utama sebuah negara, penjajahan dalam bentuk apapun, baik fisik, ekonomi, kebudayaan, akan langsung mudah dideteksi dan segera bisa melakukan proteksi. 


5. Dengan Khilafah seluruh umat beragama dijamin dalam melaksanakan keyakinan nya, jadi tidak akan dijumpai kelompok arogan yang doyan bubarin kajian. Semuanya di selesaikan dengan hujjah bukan dengan kekolotan masing-masing. 


Sebenarnya masih banyak sekali keunggulan dan kemuliaan Khilafah, baik dalam hal pengelolaan SDA, Distribusi kekayaan, jaminan kelangsungan kebutuhan pokok dll. Semua ada dalam aturan Syari'ah. Dan yang paling akhir justru menjadi pejuang tegaknya syari'ah dan Khilafah adalah kemuliaan bagi pelakunya. Sebab sudahlah itu dijamin oleh Baginda Rasulullah SAW, dan juga ketika Khilafah tegak pun menjadi amal jariyah bagi pejuang nya . 


تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ


Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796))


Juga.. 


مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ


 “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” – Shahih Muslim nomor 1893 (كتاب الإمارة).


Wallahu A'lam Bi Showab

Semoga Bermanfaat

Alfaqir Sultan Alp Arslan

270621


#KhilafahAjaranIslam

#IslamRahmatanLilAlamin

#IndonesiaBerkahDenganSyariah

penghalang Hidayah

 Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh 


Semangat Subuh 


PENGHALANG HIDYAH

(Pelajaran dari Wafatnya Abu Thalib)


Kisah Kematian Abu Thalib, menginggatkan kita minimal 3 SEBAB PENGHALANG HIDAYAH


Abu Thalib adalah seorang yang berilmu, sangat dekat dan seringkali didakwahi oleh guru terbaik umat islam yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam. 


Namun mengapa Abu thalib tidak mendapat hidayah?


● SEBAB 1 : KAWAN YANG BURUK


Berteman dengan orang orang yang buruk dapat menjerumuskan seseorang dalam kesesatan dan terhalang mendapatkan hidayah


Allah Ta'ala Berfirman :


يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا


"... Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) TIDAK MENJADIKAN SI FULAN ITU SEBAGAI TEMAN DEKAT(KU)".

(QS. Al Furqon : 28)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 


الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ


"SESEORANG ITU TERGANTUNG AGAMA TEMAN DEKATNYA. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman dekatnya".

(HR Abu Dawud no. 4833 dan At-Tirmidzi no. 2378. ash-Shahîhah no. 927)


Abu thalib berteman dekat dengan Abu jahal. Seorang penentang dakwah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyesatkan abu thalib.


● SEBAB KE 2 : MENGAGUNGKAN BUDAYA NENEK MOYANG YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARI'AT ISLAM.


Abu thalib berkeinginan memeluk Agama Islam, tapi abu jahal teman dekatnya selalu menginggatkan tentang ajaran agama dan kebesaran nenek moyangnya.


Allah Ta'ala Berfirman :

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah (Al Qur'an dan Al Hadist)," 


Mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".

(QS. Al Baqarah : 170)


Kelak ketika kita dihisab dihari Kiamat, Allah TIDAK Akan menanyakan Kepada Kita :


"Apakah Kamu Mengamalkan Ajaran Orangtuamu"


"Apakah Kamu Mengamalkan Ajaran nenek moyangmu ".


Bukan itu  yang akan ditanyakan.

Tapi Yang akan Allah tanya dan mintai pertanggung jawaban kelak dihari kiamat yaitu " Apakah kita Menagamalkan apa Yang telah Allah Turunkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.


● SEBAB KE 3 : KARENA TAKUT CELAAN MANUSIA


Sebuah Syair yang pernah diriwayatkan dari Abu Thalib :

"Sungguh aku telah mengetahui agama Muhammad itu adalah sebaik baik Agama yang dipeluk oleh Manusia"


Lalu mengapa Abu Thalib Tidak masuk Islam?


"Kalaulah bukan takut celaan atau menghindari cacian orang, maka aku akan masuk Islam"


Salah satu sebab manusia tersesat karena takut dicela, dicaci dan takut dikucilkan oleh  keluarga , masyarakat dsb.


Berhati hatilah saudaraku dari penyebab terhalangnya Hidayah.


Sebagaimana orang-orang yang mewarisi ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terus ada hingga kiamat.


Begitu pula dengan pewaris pewaris Abu Jahal yang menentang ajaran Nabi akan terus bermunculan. 

Karakter Abu Jahal juga akan terus berulang dalam kurun zaman dan tempat.


Allahu A'lam


DI Al Islam.

Dikutip Dengan Sedikit Tambahan Dari Ceramah : Ustadz Sofyan Chalid Idham Ruray.


https://t.me/semangatsubuh


Selamat menjalankan ibadah sholat subuh, semoga Allah menerima amal ibadah kita Aamiin

Friday, June 25, 2021

LEMAHKAH HADITS-HADITS TENTANG PANJI RASULULLAH. SAW?

 LEMAHKAH HADITS-HADITS TENTANG PANJI RASULULLAH. SAW?


 Oleh:KH.Hafidz Abdurrahman


Soal: 


Benarkah hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah? Benarkah hadis-hadis tentang keduanya merupakan rekaan Hizbut Tahrir? Mohon penjelasan!


Jawab:


Jika ada yang menuduh bahwa hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah, apalagi kemudian menuduh bahwa itu merupakan rekaan Hizbut Tahrir, maka tuduhan itu jelas bukan dari orang yang mengerti hadis; jika tidak boleh disebut bodoh tentang ilmu hadis. Mengapa?


Pertama: Karena terdapat banyak hadis sahih, atau minimal hasan, yang menyebutkan bahwa Rayah (Panji) Rasul itu berwarna hitam dan Liwa’ (Bendera)-nya berwarna putih. Contohnya hadis berikut:

عَنْ ابنِ عَبَّاسِ قَالَ كاَنَتْ رَايَةَ رَسُوْلُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).

Dalam hadis lain dinyatakan:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ

Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah memasuki Kota Makkah, sedangkan Liwa’ [bendera]-nya berwarna putih (HR an-Nasa’i).


Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, at-Thabarani, Ibnu Abi Syibah dan Abu Ya’la. Hadis-hadis ini statusnya sahih. Dengan jelas, dinyatakan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih. At-Tirmidzi memberikan catatan untuk hadis yang dia riwayatkan, “Ini adalah hadis hasan gharîb dari arah ini, dari hadis Ibn ‘Abbas.”


Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadis. Semuanya berujung pada jalur sahabat Jabir dan Ibnu ‘Abbas ra.

Karena itu mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah saw. yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata justru merupakan tuduhan bodoh. Bisa karena bodoh tentang hadis-hadis tersebut atau bodoh tentang ilmu hadis. Jika orang tersebut paham hadis dan ilmu hadis, maka tuduhan seperti itu justru menunjukkan pengingkaran orang itu terhadap hadis-hadis tersebut, atau tuduhan palsu kepada Rasulullah saw. Ini tentu lebih parah lagi.


Para ulama pun sudah membahas hal ini ketika menjelaskan hadis-hadis di atas dalam kitab syarah dan takhrij-nya. Sebut saja, seperti ‘Ala’uddin al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummâl, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id, Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, al-Abadi dalam Tuhfah al-Ahwadzi, dan lain-lain.


Selain itu banyak hadis sahih lain yang berbicara terkait dengan Ar-Rayah dan Ar-Liwa, antara lain:

قَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ خَيْبَرَ (لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَة غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ)

Nabi saw. berdabda saat Perang Khaibar, “Sungguh besok aku akan memberikan Rayah [panji] ini kepada seorang kesatria yang melalui kedua tangannya, akan diberi kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, an-Nasa’i, at-Thabarani, dan lain-lain.

Kedua: Memang ada beberapa hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ dengan status hadis yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadis dari Harits bin Hassan al-Bakri yang berkata, “Kami telah tiba di Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di atas mimbar, sementara Bilal berdiri di depan bbeliau bersandar pada pedang di depan beliau. Si sana ternyata ada beberapa Rayah [panji] yang berwarna hitam. Aku bertanya, ‘Ini panji-panji apa?’ Mereka menjawab, ‘Panji ‘Amru bin al-‘Ash. Dia baru tiba dari peperangan.’” (HR Ahmad).


Mengomentari hadis ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth memberikan catatan, “Isnad-nya lemah, karena ‘Ashim bin Abi Nujud tidak pernah bertemu dengan Harits bin Hassan.”

Demikian juga dengan hadis dari Ibn ‘Abbas yang berkata, “Rayah [panji] Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih. Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”


Di sana ada rawi bernama Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin bin Sa’ad bin Muflih bin Hilal. Dialah yang disebut sebagai tertuduh melakukan pemalsuan.

Ketiga: Terkait hadis-hadis yang di dalamnya ada lafal berikut:

مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ

“Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”

Apakah semuanya berstatus lemah? Nanti dulu. Jika hanya satu hadis dan satu jalur seperti itu kemudian divonis lemah, maka vonis seperti hanya lahir dari orang yang bodoh tentang hadis, atau ilmu hadits. Pasalnya, hadis-hadis seperti ini banyak, tidak hanya satu. Jika ada satu yang lemah, tidak serta-merta semuanya. Ini karena dalam ilmu hadis dikenal syawâhid, yang bisa menguatkan status hadis lain.


Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahani dalam kitab Akhlâq an-Nabi saw. dari Ibnu ‘Abbas statusnya jelas sahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah memang lemah karena ada rawi bernama Muhammad bin Abi Humaid yang dinyatakan munkar oleh al-Bukhari, dinyatakan tidak tsiqah oleh an-Nasa’i, dan tidak ditulis hadisnya oleh Ibnu Ma’in. Namun, hadis dari jalur Ibnu ‘Abbas, semua rawinya dapat diterima.

Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’îf karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady). Namun, Ibnu Hibban menempatkannya dalam kitabnya, Ats-Tsiqqât; Abu Hatim mengatakan Shadûq; Abu Bakar al-Bazzar mengatakan Masyhur “Laysa bihi Ba’sa”. Karena itu, status Tafarrud-nya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadaratkan hadis karena keadaannya tsiqah atau shadâq (lihat: Muqaddimah Ibn Shalah).

Demikian juga ikhtilâth antara nama Hayyan bin Ubaidillah dan Haban bin Yassar sudah dijelaskan oleh para ulama, seperti dalam Târîkh al-Kabîr, Tahdzîb al-Kamal, Al-Kâmil fî adz-Dhu’afâ’, Mîzan al-I’tidâl, dan lain-lain. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilâth Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Jadi, kesimpulannya, hadis dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas jelas selamat.

Apalagi kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâhmerupakan ‘alamah (identitas) utama dalam Islam. Kalimat tersebut merupakan kalimat tauhid, yang dinyatakan dalam kesaksian seseorang ketika menjadi Muslim, dan dinyatakan setiap kali shalat.


Jadi, jika ada yang mengatakan, “Secara umum hadis-hadis yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas sahih” adalah tuduhan orang yang tidak paham hadis; tidak paham ilmu hadits. Kalaupun paham keduanya, tuduhan itu justru menunjukkan pengingkarannya terhadap hadis, bahkan tuduhan bohong kepada Nabi saw.


Keempat: Soal warna, hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih sudah jelas. Adapun hadis-hadis yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’îf, dan penggunaannya bersifat temporer, tidak terus-menerus.

Hadis riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning. Menurut penulis kitab Al-Badr al-Munîr, isnad-nya majhûl [tidak jelas].


Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani. Hadis ini lemah karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Saad yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut adz-Dzahabi.


Demikian juga hadits dalam riwayat ath-Thabarani menyebutkan bahwa warna Rayah Nabi saw. adalah merah. Hadis ini pun lemah karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.


Terakhir, hadis riwayat Ibnu Hibban, Ahmad dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan Ar-Rayah berwarna merah dan statusnya sahih, kejadiannya bersifat temporer, dan itu pada awal-awal urusan ini ketika pada masa Jahiliah, juga awalnya menggunakan Ar-Rayah warna hitam.


Poin-poin di atas semuanya terkait dengan hadis dan ilmu hadis. Selain itu, menentukan status bendera tersebut ada atau tidak, wajib atau tidak, ini merupakan masalah yang terkait dengan disiplin ilmu lain, yaitu Ushul Fiqih.


Keenam: Dalam kajian Ushul Fiqih, dikenal adanya qarînah, antara lain, bisa disebut qarînah mudâwamah[indikasi penggunaan atau dilakukan terus-menerus]. Sebagai contoh, tartib [urut-urutan] dalam rukun wudhu, shalat, haji dan umrah, misalnya, oleh mazhab Syafii dimasukkan sebagai perkara yang wajib, dan tidak boleh ditinggalkan. 

Pertanyaannya, dari mana Imam Syafii menetapkan semuanya itu sebagai rukun yang wajib dikerjakan? Jawabannya: dari qarînah mudâwamah. Pasalnya, Nabi saw. tidak pernah berwudhu, shalat, haji dan umrah, kecuali dengan urut-urutan seperti itu. Hal itu dilakukan terus-menerus, tidak pernah diselisihi. Alhasil, tindakan Nabi saw. yang terus-menerus d an tidak pernah menyelisihi itu sudah cukup menjadi qarînah, bahwa status perkara ini wajib.

Jika logika yang sama digunakan dalam kasus Ar-Rayah dan Al-Liwa’ tersebut, maka penggunaan Nabi saw. atas keduanya secara terus-menerus menunjukkan bahwa hukum menggunakan keduanya juga wajib. Kesimpulan ini ditarik dengan menggunakan logika dan kaidah Ushul Fiqih Imam Syafii. Jadi, aneh, kalau ada yang mengklaim sebagai pengikut mazhab Syafii, tetapi menolak hukum Ar-Rayah dan Al-Liwa’ ini.

WalLâhu a’lam.

Thursday, June 24, 2021

TANGGAPAN TERHADAP NADIRSYAH HOSEN TERKAIT HADITS PANJI RASULULLAH

 ADA LAGI OKNUM YANG LANCANG SEBAR FITNAH TENTANG BENDERA TAUHID ALIAS PANJI RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WA SALLAM  ALIAS LIWA DAN RAYAH.


SAYA SHARE ULANG TULISAN USTADZ YRT TENTANG TANGGAPAN BELIAU TERHADAP ORANG YANG SEMODEL DENGAN YBS. KARENA INTI PERKARANYA SAMA.


 

*TANGGAPAN TERHADAP NADIRSYAH HOSEN TERKAIT HADITS PANJI RASULULLAH

TANGGAPAN TERHADAP NADIRSYAH HOSEN TERKAIT HADITS PANJI RASULULLAH*


Oleh: Yuana Ryan Tresna


Membaca kultwit Nadirsyah Hosen (selanjutnya disingkat NH) terkait panji dan bendera Rasulullah sungguh sangat disayangkan karena hal tersebut lagi-lagi keluar dari seorang profesor, sebagai seorang pemilik strata tertinggi dalam lingkungan akademik. Ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya Nadirsyah Hosen juga membuat banyak komentar yang tergesa-gesa seperti masalah hadits kabar gembira khilafah, soal aksi bela Islam, dan kebolehan pemimpin kafir. Terakhir NH bicara soal panji dan bendera Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.


Kultwit NH selengkapnya di link berikut: https://chirpstory.com/li/352072


Mencermati gagasan dan komentar-komentar NH selama ini, telah mengantarkan saya pada suatu kesimpulan kalau NH tidaklah ahli-ahli bangetdalam soal agama, seperti dalam bidang hadits, tafsir dan ushul fiqih.


Berikut adalah beberapa catatan untuk NH:


Pertama, terdapat banyak hadits shahih atau minimal hasan yang menyebutkan bahwa rayah (panji) Rasul berwarna hitam dan liwa (bendera)nya berwarna putih, seperti,


Hadits riwayat Imam Tirmidzi,


عن ابن عباس قال كانت راية رسول الله -صلى الله عليه وسلم- سوداء ولواؤه أبيض


عن جابر أن النبى -صلى الله عليه وسلم- دخل مكة ولواؤه أبيض


Hadits riwayat Imam Nasa’i dengan redaksi yang berbeda,


عن جابر رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم دخل مكة ولواؤه أبيض


Hadits di atas selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Nasa’i dari Jabir, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, Thabarani, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Ya’la. Hadits ini shahih. Secara jelas dikatakan bahwa warna rayah adalah hitam dan liwa adalah putih. Dalam hal ini Imam Tirmidzi memberikan catatan untuk hadits yang ia riwayatkan,


هذا حديث حسن غريب من هذا الوجه من حديث ابن عباس


Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadits, dimana semuanya berujung pada rawi shahabat Jabir dan Ibnu Abbas ra.


Mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata, adalah bentuk kelancangan kepada Rasulullah dan para ulama yang sudah membahas hal ini ketika mereka semua menjelaskan hadits-hadits diatas dalam kitab syarah dan takhrijnya. Sebut saja seperti shahib Kanz al-Ummal, Majma’ al-Zawa’id, Fath al-Bari li Ibni Hajar, Tuhfah al-Ahwadzi, Umdah al-Qari, Faidh al-Qadir, dll.


Belum lagi ada banyak hadits shahih lain yang berbicara terkait rayah dan liwa,


قال النبي صلى الله عليه و سلم يوم خيبر ( لأعطين الراية غدا رجلا يفتح على يديه يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله )


Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tentu saja dengan status shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hiban, Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, Nasa’i, Thabarani, dll.


Saya tidak perlu menjelaskan keshahihan hadits-hadits di atas, karena perkaranya sudah jelas. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hadits yang disebut dha’if saja oleh NH.


Kedua, memang ada beberapa hadits yang berbicara rayah dan liwa dengan status hadits yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadits riwayat Imam Ahmad berikut,


عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ الْبَكْرِىِّ قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلاَلٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ فَقَالُوا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ


Dalam hal ini Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya memberikan catatan sebagai berikut,


إسناده ضعيف لانقطاعه عاصم بن أبي النجود لم يدرك الحارث بن حسان بينهما أبو وائل شقيق بن سلمة


Demikian juga dengan hadits riwayat Imam Thabarani berikut,


عن ابن عباس قال : « كانت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم سوداء ولواؤه أبيض ، مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله »


Disana ada rawi bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد بن مفلح بن هلال yang disebut sebagai tertuduh dusta متهم بالوضع. Rawi inilah yang disoal oleh NH.


Ketiga, apakah hadits مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله semuanya dha’if? Nanti dulu, dan tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus kaji dari semua jalur periwayatan.


Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam Akhlaq al-Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Abbas statusnya shahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah dha’if (ada rawi Muhammad bin Abi Humaid yang munkar oleh Imam Bukhari, tidak tsiqah oleh Imam Nasa’i, dan tidak ditulis haditsnya menurut Ibnu Ma’in). Adapun dari jalur Ibnu Abbas, semua rawinya dapat diterima:


 أحمد بن زنجوية بن مسى : قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا

 محمد بن أبي السري العسقلاني : قال ابن معين ثقة وقال الذهبي ثقة

 عباس بن طالب البصري : قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال ابن حجر بصري صدوق

 حيان بن عبيد الله بن حيان : قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال أبو بكر البزار ليس به باس

 أبو مجلز لاحق بن حميد: تابعي ثقة


Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazar mengatakan masyhur dan “laisa bihi ba’sa”. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Tulisan ini cukup untuk membantah tuduhan NH saja. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas selamat.


Terlebih lagi lafazh “لا إله إلا الله محمد رسول الله” merupakan ‘alamah atau ciri khusus dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi? Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan kalimat Allah Azza Wa Jalla.


Jadi ungkapan NH dalam twiternya, “Secara umum hadits-hadits yg menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidka berkualotas shahih” adalah ungkapan yang tidak bertanggung jawab dan “kurang piknik” pada kitab-kitab hadits.


Keempat, soal warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna rayah adalah hitam dan liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang sifatnya sementara


Hadits riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning.


حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِىُّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفْرَاءَ.


Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnadnya majhul.


Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani,


عن جدته مزيدة العصرية ، « أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عقد رايات الأنصار وجعلهن صفراء »


Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.


Demikian juga hadits dalam riwayat Thabarani menyebutkan bahwa warna rayah Nabi adalah merah,


“أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ”.

 


Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.


Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan rayah berwarna merah daan statusnya shahih, kasusnya sementara di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan rayah warna hitam,


وكان أمام هوازن رجل ضخم ، على جمل أحمر ، في يده راية سوداء ، إذا أدرك طعن بها ، وإذا فاته شيء بين يديه ، دفعها من خلفه ، فرصد له علي بن أبي طالب رضوان الله عليه ، ورجل من الأنصار كلاهما يريده


Kelima, apakah fungsinya hanya untuk perang? Memang awalnya begitu,rayah adalah panji-panji perang, dan liwa simbol kepemimpinan umum. Hal ini bertolak dari fakta bahwa liwa` dan rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang di jaman Rasulullah dan para Khulafa` Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar. Demikian juga, rayah dan liwa sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihadi quluubihim).


Keenam, terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait rayah dan liwa’.


Ketujuh, adapun penamaan al-rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits sebagai berikut:


Hadits riwayat Baihaqi


عن عائشة ، قالت : « كان لواء رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته سوداء ، قطعة مرط مرجل ، وكانت الراية تسمى العقاب


Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah


عن الحسن قال كانت راية النبي صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب


Hadits riwayat Ibnu Adiy


عن أبي هريرة كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب


Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.


Kedelapan, menggandengkan nama HTI dengan ISIS sebagai simbol pembawa rayah dan liwa’ sangat tidak fair. Tercium aroma untuk mengelompokkan HTI semisal dengan ISIS yang sudah dicitrakan buruk. HTI dan ISIS tentu saja sangat berbeda, baik pemikiran maupun metode dakwahnya. Terlebih lagi, rayah dan liwa adalah simbol umat Islam, dan sudah menjadi milik semua kelompok, bukan hanya HT.


Terakhir, NH rupanya hanya kritik dalil (hadits) panji dan bendera Rasululah, tetapi tidak menggugat dalil bendera negara bangsa yang tidak punya dalil sedikitpun, walau hanya atsar yang dha’if. Maka bersikap adil-lah wahai professor. NH lebih nyaman di bawah bendera ashabiyyah daripada di bawah panji tauhid. Cukuplah hadits riwayat Imam Muslim berikut sebagai pengingat,


من قتل تحت راية عمية يدعو عصبية أو ينصر عصبية فقتلة جاهلية


Wallahu a’lam. []


*  Pengasuh Majelis Kajian Hadits Khadimus Sunnah Bandung.

Wednesday, June 23, 2021

Keunggulan Majelis Umat

 REFLEKSI 100 TAHUN DUNIA TANPA KHILAFAH#12.


Keunggulan Majelis Umat


Majelis Umat dalam sistem Khilafah jauh berbeda dengan parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi tidak ada pada Majelis Umat, sementara parlemen dalam sistem demokrasi adalah sebuah badan legislatif.

Dalam sistem Khilafah, hukum yang dipakai adalah hukum syariah, bukan hukum yang dibuat oleh Majelis Umat. Pasalnya, kedaulatan ada di tangan Allah, hanya Dialah Yang berhak membuat hukum. Allah SWT berfirman:


إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ


Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS al-An‘am [6]: 57).


Saat ada perbedaan pendapat dalam memahami hukum syariah atas suatu masalah, kepala negara (khalifah)-lah yang berwenang untuk membuat keputusan, apakah masalah tersebut akan disatukan hukum syariahnya ataukah dibiarkan tetap berbeda di tengah-tengah umat. Majelis Umat hanya memiliki hak syura’ (musyawarah) sekaligus memiliki kewajiban untuk melakukan muhâsabah terhadap penguasa.1


Musyawarah dalam sistem Khilafah jauh berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi. Suara mayoritas anggota Majelis Umat, permufakatan mereka, bahkan suara mayoritas rakyat tidak menjadi penentu pemberlakuan suatu aturan atau tidak.


Dalam masalah-masalah tasyri’ (legalisasi hukum syariah), pijakannya hanyalah kekuatan dalil. Kaum Muslim yang menjadi anggota Majelis Umat memiliki hak mendiskusikan itu dan menjelaskan pandangan yang benar dan yang salah dalam masalah tersebut. Namun demikian, pandangan mereka tidak mengikat.


Rasulullah saw. memberikan contoh yang jelas dalam masalah ini. Saat kaum Muslim tidak sepakat dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, bahkan Umar bin al-Khaththab ra. terang-terangan menyampaikan keberatannya, keputusan Nabi tidak berubah, beliau berkata:


إِنيِّ رَسُولُ الله وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي


Sesungguhnya aku ini utusan Allah. Aku takkan bermaksiat kepada Dia. Dialah Penolongku (HR al-Bukhari).


Begitu pula perkara-perkara pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam dan analisis, yang memerlukan keahlian dan berbagai pengetahuan spesifik. Perkara-perkara demikian diambil pendapatnya dari para ahlinya masing-masing, bukan dari pendapat mayoritas. Demikian juga masalah finansial, pasukan dan politik luar negeri. Masalah-masalah ini ditangani sendiri oleh Khalifah menurut pendapat dan ijtihadnya, bukan menurut pendapat Majelis Umat. Khalifah dalam hal ini boleh merujuk kepada Majelis untuk meminta masukan. Majelis Umat juga berhak menyampaikan pendapatnya kepada Khalifah. Namun, pendapat Majelis dalam masalah-masalah ini tidaklah mengikat.


Dalilnya adalah saat Hubab bin al-Mundzir ra., dalam Perang Badar, mempertanyakan posisi pasukan kaum Muslim, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu tentang tempat ini? Apakah ini tempat yang diwahyukan oleh Allah kepada engkau sehingga kami tidak boleh bergeser maju atau mundur? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya?”


Rasul saw. menjawab, “Ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya.”


Kemudian Hubab menunjukkan suatu posisi yang lebih strategis. Nabi saw. pun kemudian mengikuti pendapat Hubab tanpa mengambil suara mayoritas kaum Muslim.2


Pendapat mayoritas bersifat mengikat hanya dalam perkara-perkara praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat dalam masalah politik dalam negeri yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam, seperti penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat; dalam aspek pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, perindustrian, pertanian, dll; penjagaan keamanan mereka; serta penghilangan bahaya musuh dari mereka, sebagaimana dalam kasus Perang Uhud, Nabi saw. mengikuti pendapat mayoritas untuk keluar Madinah menyongsong dan melawan musuh. Padahal beliau dan para sahabat senior tidak sependapat dengan hal tersebut. Namun kemudian, setelah sampai di medan Uhud Rasulullah saw. tidak menyerahkan strategi perang kepada pendapat mayoritas. Beliau mengatur sendiri strategi tersebut.3


Berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi, apapun yang diputuskan parlemen, itulah yang diterapkan pada masyarakat tanpa memandang halal-haramnya keputusan tersebut.


Keunggulan Majelis Umat


Sudah selayaknya setiap Muslim meyakini bahwa tidak ada ketentuan yang lebih baik daripada ketentuan Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 50). Hanya dengan memahami ayat ini, orang yang beriman akan meyakini keunggulan sistem hukum Allah SWT tanpa harus dijelaskan di mana letak keunggulannya. Hanya saja untuk menenteramkan hati, adakalanya penjelasan itu penting. Begitu juga dengan Majelis Umat dalam sistem Khilafah, jika direnungi, akan tampaklah keunggulannnya dibandingkan sistem parlemen dalam sistem demokrasi. Di antara keunggulannya adalah sebagai berikut:


Menutup peluang intervensi dan penjajahan.

Dalam Pemilu dalam sistem demokrasi, untuk menjadi wakil rakyat, mereka harus mengeluarkan biaya tinggi. Wajarlah ketika mereka sudah mendapatkan jabatan yang dikehendaki, hal utama yang dipikirkan adalah bagaimana bisa ‘balik modal’; bagaimana bisa melunasi utang atau bagaimana cara ‘membalas budi’ kepada pihak yang mendanai. Sementara itu, yang bisa mereka jual sebagai wakil rakyat hanyalah hak mereka untuk membuat peraturan (undang-undang). Inilah celah masuknya intervensi pemilik modal, bahkan menjadi celah ‘legalisasi’ penjajahan. Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menilai sumbangan dana pengusaha kepada parpol itu sebagai corruption and kick back. Pasalnya, sumbangan itu merupakan imbal balik. ‘’Bisa berupa kemudahan mendapat tender, fasilitas perbankan, atau macam-macam,’’ katanya.


Sudah menjadi praktik umum bahwa kepentingan pelaku usaha itu “ditanam” di banyak parpol. Hal ini untuk memastikan bahwa siapa pun yang menang, mereka akan memperoleh keuntungan.4


Bukan hanya pengusaha lokal, bahkan pengusaha asing pun banyak yang melakukan intervensi. Menurut anggota DPR, Eva Kusuma, selama 12 tahun pasca reformasi ada 76 undang-undang yang draft-nya dari asing.5 Tercatat pula 1800 Perda dihapus untuk memuluskan dominasi penjajah dengan mengatasnamakan investasi.6


Hal ini tidak akan terjadi dalam Majelis Umat karena kedaulatan berada di tangan syariah, Majelis Umat, bahkan Khalifah sekalipun, tidak punya wewenang untuk membuat aturan yang bertentangan dengan syariah.


Melayani umat, bukan melayani partai.

Majelis Umat adalah wakil langsung dari umat, bukan wakil partai. Fokus perhatiannya adalah bagaimana agar hak-hak dan kewajiban umat terpenuhi sesuai dengan aturan syariah. Motivasi yang diemban adalah saling menjaga dalam ketakwaan antara rakyat dan penguasa agar kewajiban dan hak-hak keduanya sebagaimana diatur syariah dapat dijamin pemenuhannya. Majelis Umat bukanlah penyalur keinginan manusia yang begitu beragam dan sulit dipertemukan. Majelis ini bukan pula penyambung lidah partai sebagaimana ditemui dalam parlemen saat ini ketika membuat kebijakan.


Hemat biaya.

Menurut Koordinator Investigasi dan advokasi Seknas FITRA, Uchok Sky Khadafi, untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp1,8 miliar pada tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp 5,2 miliar pada tahun 2012. Itu baru tahap penyusunan.7


Walaupun biayanya cukup besar, undang-undang yang dihasilkan banyak yang tidak layak. Dr. Bayu Dwianggono menyatakan bahwa dari 428 UU produk DPR itu setidaknya ada 14 UU yang tidak layak diundangkan8. Hal ini tidak akan terjadi dalam Majelis Umat pada sistem Khilafah. Alasannya, Allah SWT telah memberikan aturan (undang-undang) yang terbaik, tanpa perlu biaya.


Akuntabilitas lebih terjamin.

Fungsi Majelis Umat adalah mengontrol penguasa dan syura, bukan legislasi; bukan pula mengurus anggaran. Fungsi ini akan menjadikan mereka lebih fokus mengontrol Khalifah dalam menjalankan pemerintahan dan melayani rakyat dengan hukum-hukum syariah.


Khalifah memang berhak untuk mengadopsi suatu peraturan/undang-undang, tetapi undang-undang tersebut tentu wajib bersumber pada wahyu. Oleh karena itu anggota Majelis Umat dapat memberikan kritik atau masukan terhadap undang-undang yang akan diadopsi Khalifah meskipun pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat. Saat Majelis Umat benar-benar melihat peraturan yang diadopsi Khalifah adalah kezaliman yang bertentangan dengan hukum syariah, sementara Khalifah melihat itu sesuai dengan hukum syariah, maka mereka bisa membawa masalah ini ke Mahkamam Mazhalim. Mahkamah Mazhalim dapat membatalkan UU tersebut jika UU tersebut dianggap sebagai kezaliman. Begitu juga jika antara Khalifah dan umat timbul perbedaan penafsiran mengenai pengertian pasal-pasalnya, Khalifah tidak bisa memaksakan penafsirannya. Mahkamahlah yang berhak menentukan makna yang dimaksudkan oleh UU. Demikian pula, meskipun hakim-hakim Mahkamah Mazhalim diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah, Khalifah tidak dapat memberhentikan mereka ketika Khalifah menjadi tersangka atas kasus kezaliman yang dia lakukan.


Lebih efisien.

Pengambilan suatu keputusan dalam sistem demokrasi sering memerlukan waktu yang relatif lama; harus dibahas dan ditetapkan oleh parlemen dulu. Kalaupun sudah ditetapkan, tidak jarang ketetapan tersebut tidak bisa langsung dilaksanakan. Berbeda dengan Majelis Umat, kepala negara tidak mesti harus menunggu dan ‘menuruti’ pendapat Majelis Umat, dia bisa langsung melaksanakan apa yang dia pandang paling baik setelah minta masukan dari Majelis Umat.


Akan tetapi, berkaitan dengan perkara teknis yang berhubungan dengan urusan kesejahteraan masyarakat yang tidak memerlukan analisis mendalam, keputusan Majelis Umat bersifat mengikat sehingga wajib dilaksanakan.


Saat ada pejabat negara (mu‘âwin, wali dan ‘amil) yang dianggap tidak layak oleh Majelis Umat, mereka bisa mengadukan ketidakridhaannya. Khalifah wajib mengganti pejabat tersebut tanpa perlu mekanisme yang berbelit-belit dan tanpa harus ada kekeliruan yang dilakukan pejabat tersebut. Rasulullah saw. pernah mencopot ‘Ala’ bin al-Hadhrami ra. dari jabatannya sebagai amil Bahrain karena aduan utusan Abd al-Qais. Umar bin al-Khaththab juga pernah mencopot Saad bin Abi Waqash ra. dari jabatannya sebagai wali semata-mata karena adanya pengaduan masyarakat, Umar berkata, “Sungguh, aku tidak mencopot dia karena kelemahan atau suatu pengkhianatan.9”


Meminimalisasi konflik.

Dalam sistem demokrasi, peluang terjadinya konflik antara parlemen dan penguasa terbuka lebar, apalagi jika parlemen dikuasai oleh partai oposisi. Proses legislasi, penetapan anggaran dan berbagai kebijakan lain akan terhambat. Berbeda dengan Majelis Umat, dia tidak punya wewenang dalam legislasi maupun anggaran. Majelis Umat juga tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan Khalifah. Majelis Umat hanya bisa mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Mazhalim.


Penutup


Sejarah panjang penerapan Islam telah membuktikan bahwa sistem Khilafah adalah yang paling beradab walaupun masih ada kekurangan yang sifatnya manusiawi dalam menjalankannya. Walaupun ada kampanye hitam untuk menodai keunggulan sistem ini, kebenaran pasti akan mengemuka dan kerusakan pasti akan terbongkar, tepat pada saatnya yang telah ditentukan-Nya.


WalLahu a’lam. [M. Taufik N.T]


Catan kaki:


1. Syura adalah meminta pendapat atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan. Muhâsabah adalah melakukan penentangan/koreksi setelah keputusan diambil atau setelah kebijakan diterapkan.

2. Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, hlm. 598.

3. An Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/120.

4. Gatra, 19/2/2009.

5. Tempointeraktif.com, 20/8/2010.

6. Jurnal-ekonomi.org, 23/4/10.

7. Http://hukumonline.com, 31/12/12.

8. Http://politik.kompasiana.com , 27/9/14.

9. Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 163.

AL-ALLAMAH AL-QADHI SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI DAN AL-HAFIDZ AL-MUTAFANNIN AS-SAYYID 'ABDULLAH AL-GHUMARI SATU GURU, SATU KAMPUS, SAMA-SAMA MUJTAHID (Bagian 4)

 AL-ALLAMAH AL-QADHI SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI DAN AL-HAFIDZ AL-MUTAFANNIN AS-SAYYID 'ABDULLAH AL-GHUMARI SATU GURU, SATU KAMPUS, SAMA-SAMA MUJTAHID (Bagian 4)


Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman


Dalam al-Mausu'ah al-Ghumariyah, yang ditulis oleh al-'Allamah al-Muhaddits al-Mutafannin, as-Sayyid 'Abdullah bin Muhammad as-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, beliau menuturkan sanad keilmuan beliau.


Pada juz I/258, beliau menyebutkan guru beliau yang ke-31, yaitu al-Allamah Muhammad al-Khudhr bin Husain at-Tunisi (w. 1377 H). Beliau ini juga merupakan guru al-'Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika di Mesir. Al-Ghumari juga berguru kepada beliau saat di Mesir.


Selain itu, beliau juga menyebutkan guru beliau yang ke-49, yaitu al-'Allamah al-Qadhi Yusuf bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani (w. 1350 H). Beliau tak lain adalah kakek dan guru al-'Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.


Semua itu dituturkan sendiri oleh beliau di dalam kitabnya, al-Mausu'ah al-Ghumariyah, yang disusun oleh al-'Allamah al-Muhadits Syaikh Dr. Said Mamduh, yang juga mempunyai sanad ilmu yang nyambung kepada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.


Bedanya, al-'Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak pernah menulis sendiri biografinya, meski jika mau bisa. Karena beliau memiliki kecepatan menulis dan berbicara luar biasa. Tapi semua itu tidak beliau lakukan. Semua tulisan beliau bukan tentang dirinya, tapi tentang gagasan, visi, misi dan tujuannya membangun peradaban emas. Itulah yang beliau tulis.


Meski demikian, ada yang menarik, dari penilaian yang disampaikan oleh al-'Allamah al-Muhaddits Dr Mahmud Said Muhammad Mamduh as-Syafii, penerus al-'Allamah al-Mutafannin al-Muhaddits Sayyid al-Ghumari, dalam kitabnya, Tasynif al-Asma', juz II/755 dan 758, terhadap al-'Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani:


Penjelasan tentang al-'Allamah al-Mujtahid Taqiyuddin an-Nabhani: 


Di antara mereka (cucu al-'Allamah al-Qadhi Yusuf an-Nabhani) adalah cucu beliau, Yang Mulia Syaikh al-'Allamah, Mujtahid, Pembaharu, Qadhi, Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani bin Ibrahim, bin Musthafa, bin Ismail, bin Yusuf an-Nabhani Imam, Pendiri dan Rujukan Tertinggi Hizbut Tahrir.


Benar, Dakwah itu Merangkul Bukan Memukul

Dengan banyaknya bidang yang dikarang oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, maka karya pemikiran beliau lebih dari 30 kitab. Ini di luar Catatan Politik yang menyelesaikan berbagai isu politik dan sistem yang penting. Juga sejumlah nasyrah dan penjelasan pemikiran dan politik yang penting.


Saya (Syaikh Said Mamduh) telah diberitahu oleh Syaikh Abdul Aziz al-Khayyath, Menteri urusan Wakaf, Yordania, "Mata saya belum pernah menyaksikan sosok seperti an-Nabhani. Mereka telah memerangi beliau, baik ketika beliau masih hidup maupun sudah wafat. Ketika beliau wafat, saya mau membuat ucapan belasungkawa untuk beliau saja di koran tidak boleh."


Teman saya, Sayyid Yusuf ar-Rifa'i, Menteri urusan Wakaf Kuwait, berkata kepada saya, "Saya pernah bertemu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau mempunyai akal, yang kalau dibagikan kepada seluruh kaum Muslim saat ini, niscaya cukup."


Syaikh Said Mamduh menilai kedua ulama' ini sebagai mujtahid. Sama-sama menguasai berbagai disiplin ilmu. Sama-sama Alumni Azhari. Sama-sama mendapatkan Syahadah 'Alimiyiyah (selevel doktor), dan sama-sama Ghuraba'.


Bedanya, al-Hafidz al-Ghumari mahzab fikihnya Maliki, dan Sufi. Sedangkan al-'Allamah an-Nabhani, awalnya Syafii, meski beliau kemudian membangun ushul fikih sendiri, yang membuatnya dinobatkan oleh sebagian ulama' sebagai Mujtahid Mutlak. Selai itu, beliau adalah Siyasi. Tetapi, maqam tasawuf beliau, menurut salah seorang guru saya, luar biasa.


Dalam tulisannya, al-Allamah Syaikh Said Mamduh menuturkan, bahwa Syaikh Taqi mempunyai firasat yang sangat tajam. Bahkan, analisis politiknya malampui zaman. Sampai seorang Menteri di Yordania, ingin belajar khusus kepada beliau tentang ketajaman analisisnya ini. Sayang kemudian beliau tolak.


Seorang temen senior dari Kanada, asal Paletina, pernah bercerita kepada saya. Syaikh Yusuf al-Kandahlawi yang merupakan pendiri Jamaah Tabligh, sekaligus ahli hadits, pernah diberi kitab Syakhshiyyah Juz I. Beliau memberikan komentar, "Subhanallah, ini kitab yang luar biasa. Masih ada ulama' di zaman seperti ini yang bisa menulis kitab sehebat ini."


Memang benar. Bagi siapa saja yang pernah membaca kitab ini, dan kitab Muqaddimah Ibn Khaldun, bisa membayangkan betapa hebatnya kedua penulisnya. Itulah sekelumit warisan beliau.


(Bersambung)

KHILAFAH BUKAN DINASTI

 *KHILAFAH BUKAN DINASTI*


_Oleh : Yan S. Prasetiadi_


Cikampek, 10 Muharram 1442 H


Khilafah itu sama dengan dinasti atau kerajaan, padahal dalam ajaran Islam faktanya tidak seperti itu. Menyamakan Khilafah sebagai dinasti, kemungkinan besar karena kegagalan memahami fikih seputar Khilafah, sekaligus terpengaruh referensi sejarah yang ditulis para orientalis yang penuh distorsi.


Hari ini masih ada yang berpendapat Khilafah itu sama dengan dinasti atau kerajaan, padahal dalam ajaran Islam faktanya tidak seperti itu. Menyamakan Khilafah sebagai dinasti, kemungkinan besar karena kegagalan memahami fikih seputar Khilafah, sekaligus terpengaruh referensi sejarah yang ditulis para orientalis yang penuh distorsi.


Karena itu, tulisan berikut ini akan mencoba menjelaskan, perkara yang sangat esensial bahwa Khilafah bukanlah dinasti atau kerajaan. Sebab untuk masalah jejak Khilafah di nusantara, baik melalui dokumenter sekelas JKDN, ataupun melalui berbagai penelitian dan karya sejarah yang terbit sebelum JKDN sudah sangat mencukupi, untuk menunjukan terdapat jejak Khilafah di Nusantara.


Adapun mengenai bantahan segelintir pihak terhadap JKDN, itu persoalan lain, dan tidak subtansial. Pasalnya, bantahan itu muncul pasca dan hanya merespon JKDN, dan bukan semenjak dulu. Itu artinya, berbagai penelitian, karya sejarah, dan riwayat sebelumnya mengenai jejak Khilafah tidak terbantahkan.


Sangat perlu dipahami, umat Islam terlebih Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam memahami ajaran Islam seperti Khilafah, senantiasa merujuk pada praktik bernegara al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Imam al-Ghazali (w. 505 H) rahimahullah menyampaikan:


فأما الخلفاء الراشدون فهم أفضل من غيرهم وترتيبهم في الفضل عند أهل السنة كترتيبهم في الإمامة

Adapun al-Khulafa’ ar-Rasyidun mereka lebih utama dari khalifah yang lainnya dan menurut Ahlussunnah urutan keutamaan mereka sesuai urutan dalam Imamah. (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, cet. Dar al-Basha’ir, h. 512)


Dalil wajibnya mengikuti al-Khulafa’ ar-Rasyidun sangat jelas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, akan melihat banyak perselisihan. Maka kalian wajib berpegang pada Sunnah-Ku dan Sunnah Khulafa’ Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah dengan sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)


Dalam konteks empat Khalifah agung sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Khalifah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ridhwanuLlah ‘alaihim, nampak jelas ada dua konsep yang perlu diteladani umat Islam: Pertama, metode mengangkat Khalifah; dan kedua, prosedur teknis mengangkat Khalifah. Dari sini kita akan paham, Khilafah bukanlah dinasti seperti sebagian orang katakan.


Berkaitan metode mengangkat seorang Khalifah, sudah clear berdasarkan banyak dalil metode tersebut adalah baiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ


“Dulu Bani Israil diurus para nabi, setiap kali seorang nabi wafat diganti nabi selanjutnya. Namun sungguh sepeninggalku tidak ada nabi lagi, tapi akan ada para Khalifah yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya: “Apa yang engkau perintahkan untuk kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah baiat (khalifah) yang pertama, hanya yang pertama, lalu berikan hak mereka, karena Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)


Karena itu wajar jika imam as-Suyuthi (w. 911 H) rahimahullah, dalam Tarikh al-Khulafa’ hanya mencantumkan nama khalifah yang absah berdasarkan baiat, beliau berkata:


فلهذه الأمور لم أذكر أحدًا من العبيديين ولا غيرهم من الخوارج، وإنما ذكرت الخليفة المتفق على صحة إمامته وعقد بيعته، وقد قدمت في أول الكتاب فصولاً فيها فوائد مهمة

Karena beberapa alasan tersebut, dalam karya ini saya tidak menyebutkan satu orang pun dari kalangan ‘Ubaidiyyin dan kalangan Khawarij. Tetapi saya hanya menyebutkan Khalifah yang disepakati keabsahan kepemimpinan dan akad baiatnya. (Tarikh al-Khulafa, cet. Dar al-Ittiba’, h. 13)


Dalam konteks Khilafah Umayyah dan ‘Abbasiyyah, memang pernah terjadi pasang surut dalam pelaksanaan pengangkatan Khalifah termasuk dalam baiat. Ada sebagian besar penguasa yang berhasil dibaiat secara sempurna, namun ada juga sebagian oknum yang untuk menuju baiat, menggunakan cara-cara yang tidak pantas. Tapi tetap ujungnya adalah baiat sebagai penentu keabsahan jabatan Khilafahnya. Jadi walau bagaimana pun tetap harus dihargai, apapun masalah yang terjadi di masa lalu, sudah diselesaikan oleh ijtihad generasi muslim terdahulu. 

Pertimbangkanlah pernyataan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) rahimahullah berikut:


وقد اتفق أهل العلم على أن دولة بني أمية وبني العباس أقرب إلى الله ورسوله من دولتهم وأعظم علما وإيمانا من دولتهم وأقل بدعا و فجورا من بدعتهم وأن خليفة الدولتين أطوع لله ورسوله من خلفاء دولتهم


Ahli ilmu sepakat, Daulah Bani Umayyah dan Bani Abbas lebih dekat kepada Allah dan Rasul-Nya, ketimbang daulah mereka (ubaidiyyin-fatimiyyah). Dan lebih besar ilmu dan imannya daripada daulah mereka, lebih minim bid’ah dan maksiatnya daripada bid’ah mereka. Khalifah Daulah Umayyah dan Abbasiyyah lebih taat kepada Allah dan Rasul-Nya ketimbang klaim Khalifah daulah mereka. (Majmu’ al-Fatawa, cet. Majma’ al-Malik Fahd, 35/127)


Namun sekali lagi ditegaskan, bagi Ahlussunnah jika ada kekeliruan di masa pasca al-Khulafa’ ar-Rasyidun, maka rujukan yang benar untuk sistem Khilafah adalah kembali kepada empat orang Khalifah yang agung tersebut. Semisal dalam masalah wilayah al-‘ahdi alias putera mahkota yang dituduhkan sebagian pihak sebagai tanda Khilafah itu dinasti. Maka hal ini sudah jauh-jauh hari ditolak, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menyampaikan:


أترضون بمن استخلفت عليكم؟ فإني ما استخلفت عليكم ذا قرابة

No terhadap orang yang aku pilih sebagai penggantiku bagi kalian? Sungguh aku tidak memilih penggantiku dari orang yang punya hubungan kerabat! (Ibnu al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, cet. Dar al-Kitab al-‘Arabi, II/ 267)

Demikian juga Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, menyampaikan:


من ولي من أمر المسلمين شيئا فولى رجلا لمودة أو قرابة فقد خان الله ورسوله والمؤمنين

Siapa yang memimpin urusan kaum muslimin, lalu mengangkat seseorang lantaran rasa sukanya atau karena hubungan kerabat, sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. (Ibnu Taimiyyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, cet. Dar ‘Alim al-Fawa’id, h. 8)

 

Mengenai prosedur teknis mengangkat Khalifah, atau rincian dan bentuk-bentuk aktivitas menuju baiat, bisa ditemukan pula pada al-Khulafa’ ar-Rasyidun, yang bisa diringkas sebagai berikut:


Pertama, kaum muslimin mendiskusikan calon Khalifah di Saqifah bani Sa’idah, dengan kandidat: Sa’ad, Abu ‘Ubaidah, ‘Umar dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhum. Hasil diskusi tersebut, menetapkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibaiat sebagai Khalifah, lalu kaum muslimin mendatangi masjid membaiat di hari kedua, setelah baiat itu usai beliau resmi menjadi Khalifah seluruh umat Islam.


Kedua, ketika Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sakit menjelang wafat, beliau memanggil kaum muslimin meminta pendapat berkenaan Khalifah selanjutnya bagi umat. Musyawarah selama tiga bulan tersebut memunculkan dua nama kandidat: 'Ali bin Abi Thalib dan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhum. Setelah musyawarah selesai dan diketahui pilihan mayoritas kaum muslimin kepada 'Umar, beliau mengumumkan ‘Umar adalah calon Khalifah selanjutnya. Pasca wafat Abu Bakar, kaum muslimin segera hadir di masjid membaiat ‘Umar untuk menjabat Khilafah, berdasarkan baiat tersebut beliau resmi menjadi Khalifah kaum muslimin. Jadi karena baiat tersebutlah beliau menjadi Khalifah, bukan karena musyawarah atau pengumuman sebelumnya.


Ketiga, ketika ‘Umar ditikam musuh, kaum muslimin memintanya menunjuk pengganti, tapi ditolaknya. Lalu kaum muslim terus meminta hal tersebut, akhinya beliau menunjuk kandidat sebanyak enam orang. Setelah ‘Umar wafat, para calon tadi mewakilkan urusan kepada salah seorang dari mereka, yakni ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu. Maka ‘Abdurrahman merujuk kepada pendapat dan meminta masukan seluruh kaum muslimin, hasilnya beliau umumkan pembaiatan ‘Ustman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu, akhirnya seluruh kaum muslimin membaiat ‘Utsman menjadi Khalifah kaum muslimin. Jadi baiatlah yang menjadikan beliau Khalifah, bukan penunjukan pengganti atau pengumuman ‘Abdurrahman.


Keempat, saat ‘Utsman terbunuh, mayoritas umat Islam Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau akhirnya menjadi Khalifah kaum muslimin berdasarkan baiat tesebut. (al-Badrani, Dirasah al-Fiqh Ta’shil an-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, cet. Dar as-Salam, h. 48-49).


Berdasarkan metode pengangkatan yakni baiat, dan prosedur teknis pengangkatan serta pembaiatan Khalifah diatas. Bisa dibuktikan bahwa sistem pemerintahan Islam alias Khilafah, bukanlah sistem dinasti. 


Wallahu a’lam.

MAQASHID ASY-SYARIAH

 *MAQASHID ASY-SYARIAH*

 

_Oleh M. Shiddiq Al-Jawi_


 Pengantar Redaksi:


Dalam wacana keagamaan modern, istilah maqâshid asy-syarî‘ah sering dilontarkan terutama oleh para cendekiawan Muslim akhir-akhir ini. Istilah ini sebetulnya merupakan istilah lama yang digagas oleh Imam Asy-Syatibi, yang kemudian kembali dipopulerkan. Persoalannya, istilah tersebut tidak hanya sekadar dipopulerkan kembali, tetapi juga diberi muatan makna baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang dimaksud penggagas awalnya.


Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pandangan Taqiyuddin An-Nabhani tentang maqâshid asy-syar‘îah dalam kitab ushul fikihnya, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, pada bab, “Maqâshid asy-Syar‘îah”. Pandangan An-Nabhani secara umum berbeda dengan Asy-Syatibi, karena menurut An-Nabhani, maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Dalam kitab ushul fikihnya ini, An-Nabhani menolak dan mengkritik pandangan Asy-Syatibi secara mendasar. Kendati pun kemudian terkesan lebih ketat, konsep An-Nabhani tersebut menunjukkan keunggulannya. Sebab, di samping kekuatan hujahnya, konsepnya juga dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqâshid asy-syar‘îah secara gegabah untuk membenarkan ide-ide Barat yang kufur. Pandangan An-Nabhani ini mencakup 4 (empat) prinsip penting : (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqâshid asy-syar‘îah adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah penerapan syariat tidak selalu terwujud;  (4) hikmah penerapan syariat hanya bisa diketahui melalui dalil syariat.


 


Konsep maqâshid asy-syarî‘ah berasal dari  seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Asy-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-maqâshid. Menurut Asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah,  dalam pandangan beliau, menjadi maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/2-3).


Selanjutnya Asy-Syatibi membagi maqâshid menjadi tiga bagian, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsînât artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharûriyât  beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mâl) (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqâshid asy-syarî‘ah. (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, II/1046-1051).


Dalam perkembangan kontemporer, konsep maqâshid asy-syarî‘ah ternyata banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, bukan untuk menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh, tujuan menjaga agama (hifzh ad-dîn) ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam Liberal) sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama (the protection of the freedom of religion)”; tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql) diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir (the protection of the freedom of thought)”.(*) Jadi, konsep maqâshid asy-syarî‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.


Syariat dan Maslahat


            Sebelum memahami konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid asy-syarî‘ah, ada baiknya kita meninjau sekilas berbagai pendapat ulama tentang kaitan hukum syariat dengan kemaslahatan, yakni apakah hukum-hukum syariat itu didasarkan pada ‘illat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia? Muhammad Husain Abdillah dalam Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh (1995: 273) menyatakan bahwa para ulama dalam masalah ini terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat: Pertama, pendapat ulama Asy‘ariyah dan Azh-Zhahiriyah. Mereka menolak bahwa syariat didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan ungkapan lain, maslahat bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum syariat. Menurut mereka, mungkin saja Allah menetapkan suatu hukum syariat yang tidak mengandung maslahat. Hanya saja, mereka mengakui, bahwa studi yang komprehensif (istiqrâ’) menetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam lima perkara: menjaga agama, akal, keturunan, jiwa, dan harta.


Kedua, pendapat sebagian ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah. Mereka menetapkan bahwa maslahat layak menjadi ‘illat bagi hukum-hukum syariat. Akan tetapi, maslahat ini lebih dipahami sebagai pertanda hukum (amarah al-hukm), bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (bâ’its ‘ala al-hukm). Jadi, maslahat dipahami lebih dekat pada sebab (as-sabab) daripada ‘illat.


Ketiga, pendapat Muktazilah, Maturidiyah, ulama Malikiyah, dan sebagian ulama Hanabilah. Mereka memandang bahwa hukum-hukum syariat didasarkan pada ‘illat maslahat, tanpa ada taqyîd (pembatasan) adanya kehendak (irâdah) Allah Swt. Namun, mereka mensyaratkan, penetapan maslahat sebagai ‘illat syariat tidak boleh bertentangan dengan nash.


            Dari pemetaan pendapat ini, secara garis besar dapat dikatakan bahwa pendapat Taqiyuddin an-Nabhani mengenai kaitan maslahat dan syariat sama dengan pendapat pertama, yakni syariat tidak didasarkan pada ‘illat maslahat.  


Maslahat: Hikmah Penerapan Syariat


            Prinsip pertama konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan ‘illat penetapan syariat. Jadi, pada dasarnya An-Nabhani mengakui adanya hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari nash-nash al-Quran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi saw. adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra (17) ayat 82 dan QS al-Anbiya’ (21) ayat 107. Namun demikian, An-Nabhani dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-bâ‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (nâtijah), tujuan (ghâyah), atau akibat (‘âqibah) dari penerapan syariat (An-Nabhani, 1953: 359 & 363).


Mengapa demikian? Karena menurut An-Nabhani, nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt. berikut:


Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS  al-Anbiya’ [21]: 107).       


Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lîl (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lîl. Jadi, maksud ayat ini, bahwa hasil (an-nâtijah) diutusnya Muhammad saw. adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat (An-Nabhani, 1953: 359-360). Pandangan An-Nabhani ini berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam (Lihat: Al-Muwâfaqât, II/2-3).  


Maqâshid asy-Syarî‘ah: Tujuan Syariat Keseluruhan


            Prinsip kedua konsep An-Nabhani dalam maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (yaitu mewujudkan kemaslahatan) merupakan tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum.


Pandangan ini juga berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa kemaslahatan adalah ‘illat bagi syariat, baik secara keseluruhan maupun satu demi satu hukum secara rinci (Lihat: Al-Muwâfaqât, II/3).  


Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ (21) ayat 107 di atas, yang menurutnya dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari keseluruhan risalah. Tidak ada dalâlah (petunjuk) apa pun dari ayat tersebut atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’ [17]: 82) bahwa maslahat merupakan tujuan masing-masing hukum (An-Nabhani, 1953: 359-361).


Karena itu, An-Nabhani mengatakan, akan kita dapati ketika Asy-Syâri‘ (Allah) menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah  dari syariah sebagai keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum pada banyak hukum, yang bersifat khusus, yang hanya hanya bisa diketahui melalui dalil topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22]: 28); tujuan pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS al-Maidah [5] : 91); tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut [29]: 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah bahwa dihasilkannya rahmat (maslahat) hanya dihasilkan dari syariat secara keseluruhan, bukan syariat sebagai satu demi satu hukum. Dengan kata lain, tidak tepat dikatakan bahwa tujuan setiap nash syariat adalah mencapai kemaslahatan, karena kadang nash-nash syariat menjelaskan tujuan (hikmah)-nya secara khusus, seperti telah dicontohkan. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu-persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, maka ini hanya ditunjukkan oleh dalil akli, bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil akli.              


Hikmah Tidak Selalu Terwujud


            Prinsip ketiga An-Nabhani dalam konsep maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Jadi, ketika Allah menerangkan bahwa tujuan pensyariatan suatu hukum adalah begini, maksudnya Allah memberitahukan bahwa hikmahnya begini. Tidak berarti Allah mengatakan tujuannya pasti  terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat adalah hikmah ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 28). Namun kenyataannya, jutaan orang berhaji tidak menyaksikan manfaat bagi mereka. Mengenai khamr dan judi, Allah menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia (QS Al-Maidah [5]: 91). Namun faktanya, banyak penenggak khamr dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.


            Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan sebagai ‘illat. Kalau dijadikan ‘illat, maka kewajiban haji akan bergantung pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji hukumnya wajib, dan jika tak ada manfaatnya, haji menjadi tidak wajib. Keharaman khamr dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamr dan judi haram, jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamr dan judi menjadi mubah. Tentu ini tidak benar.     


            Atas dasar itu, prinsip ketiga ini semakin menegaskan, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan syariat) sesungguhnya bukanlah ‘illat atau motif pensyariatan hukum, melainkan hikmah atau hasil (natijah) dari penerapan hukum (An-Nabhani, 1953: 365).


Hikmah Hanya Diketahui Secara Syar‘î   


            Prinsip keempat konsep maqâshid asy-syarî‘ah An-Nabhani adalah bahwa hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga  hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya. Tidaklah mungkin bagi kita, baik secara akli maupun syar‘î, dapat mengetahui hikmah (tujuan) suatu hukum, kecuali jika kita mengetahuinya melalui nash, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah (An-Nabhani, 1953: 366).


            Jadi, tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk membentuk ketakwaan, sebab ini ditunjukkan oleh nash (QS al-Baqarah [2]: 183). Namun tidak tepat jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita bisa turut menghayati kehidupan kaum miskin yang sering kelaparan, karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada nash yang menunjukkannya.


Implikasi


            Apa implikasi dari prinsip-prinsip maqâshid asy-syarî‘ah menurut Taqiyuddin An-Nabhani di atas? Di antaranya adalah tidak menjadikan maslahat sebagai dalil hukum syariat. Jadi, tidaklah benar apa yang dikatakan sebagai kaidah fikih: Aynama takûnu al-maslahah fa tsamma syar‘ullâh (Dimana ada maslahat, disana ada hukum Allah) (Al-Khayyath, 1982). Kaidah itu, di samping sangat lemah dalilnya, juga berbahaya ketika diterapkan pada masyarakat kapitalistik saat ini yang didominasi paham utilitarianisme atau pragmatisme, yang menjadikan manfaat sebagai standar untuk mengukur salah benarnya perbuatan (Athiyat, 1996: 103-104; Suparman & S. Malian, 2003: 45-49). Bisa saja kemudian bunga bank yang sebenarnya termasuk riba yang haram, lalu dianggap mubah hanya karena maslahat (Al-Qardhawi, 2002: 54; Az-Zuhaili, 1996: 336).


            Implikasi penting lainnya, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah haruslah secara disiplin diketahui berdasarkan nash, bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘menjaga agama’ maksudnya adalah ‘menjaga kebebasan beragama’, atau ‘menjaga akal’ artinya ‘menjaga kebebasan berpikir’, jelas ini kesimpulan akal-akalan; tidak ada nilainya dalam pandangan syariat. Di samping itu, pemaknaan tersebut sebenarnya adalah penafsiran sesuka hati tanpa landasan dan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Itu hanya fantasi intelektual murahan, yang dilakukan oleh orang yang tidak malu untuk melakukan kedustaan dan manipulasi kebenaran. []


*Pernyataan ini penulis dengar langsung dari Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal), saat penulis satu forum dengannya sebagai panelis dalam diskusi panel di Unissula, Semarang,


Sabtu, 9 Agustus 2003.     


Daftar Pustaka


Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.


Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qanûn al-Wadh‘î. Beirut: Mu’assah Ar-Risalah.


Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram (Fawâ’id al-Bunûk Hiya ar-Ribâ al-Harâm). Alih bahasa Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.


An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah. Juz III (Ushûl al-Fiqh). Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.


Asy-Syatibi, Abu Ishaq.  Tanpa Tahun. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Ta‘lîq [Komentar] oleh Muhammad Al-Hidhr Husain. Juz II. Beirut: Darul Fikr.


Athiyat, Ahmad. 1996. Ath-Tharîq: Dirâsah Fikriyyah fî Kayfiyah al-‘Amal li Taghyîr Wâqi‘ al-Ummah wa Inhâdhihâ. Beirut: Darul Bayariq.


Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz  II. Beirut: Darul Fikr.


———-. 1996. ‘Fawâ’id al-Masharif (Al-Bunûk) Harâm Harâm Harâm.’ Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). hlm. 336-359. Beirut: Darul Fikr.


Suparman & S. Malian. 2003. Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Yogayakarta: UII Press.

Thursday, June 3, 2021

Mamahami Lafazh Kull Pada Hadits Bid’ah

 Mamahami Lafazh Kull Pada Hadits Bid’ah


Ustadz Azizi Fathoni 


Tanya:


Selama ini saya memahami kata kullu pada hadits “kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un]” bermakna semua. Namun sebagian kalangan memahami itu makananya sebagian, sehingga ada bid’ah hasanah yang tidak termasuk bid’ah dhalalah. Sebenarnya apa kata kullu bisa bermakna sebagian? kapan bermakna sebagian? Di hadits tersebut menggunakan makna yang mana?

(Ratna Winarsih - Malang)


Jawab:

Bismillahirrahmanirrahim

Saudari benar, bahwa lafazh kull secara bahasa memang berarti: semua, seluruh, atau segala. Al-Imam Al-Jurjani (w. 816 H) dalam kamus at-Ta’rîfat menjelaskan lebih lanjut:


وَكَلِمَةُ كُلٍّ عَامٌّ تَقْتَضِي عُمُوْمَ الْأَسْمَاءِ .


“Dan kata kull itu berlaku umum meliputi keumuman semua kata benda.”[1]


Maksudnya adalah apabila ia mengenai sebuah kata benda, maka itu akan menimbulkan makna umum pada kata benda tersebut. Sebagai contoh, lafazh kull dalam hadits Rasulullah saw berikut ini.


« كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى »  قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى »


“Semua umatku akan masuk surga kecuali siapa yang enggan.” Mereka (para sahabat ra) berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang enggan itu?  Beliau menjawab: “Siapa saja menaatiku ia akan masuk surga, dan siapa-siapa yang mendurhakaiku berarti ia telah enggan (masuk surga).”[2]


Ketika lafazh kull di situ mengenai lafazh ummatî (umatku) maka itu menimbulkan makna umum pada lafazh ummatî, yakni meliputi segenap umat Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali.


Namun kemudian perlu diketahui, bahwa dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada kaidah yang mengatakan:


 يَبْقَى الْعَامُّ عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ


“Dalil umum akan senantiasa berlaku umum selama tidak ada dalil pengkhususan.”[3]


Di titik inilah lafazh kull berpeluang untuk tidak meliputi secara mutlak keumuman kata benda yang dikenainya. Yaitu manakala ada atau ditemukan dalil takhshîsh. Baik dalil takhshîsh tersebut terdapat dalam satu nash bersama dalil yang menunjukkan keumuman (at-takhshîsh al-muttashil), maupun dalil takhshîsh tersebut terdapat pada nash lain yang berbeda (at-takhshîsh al-munfashil).   


Dalam hadits di atas, dalil takhshîsh terdapat pada nash hadits itu sendiri. Yaitu bagian illâ man abâ (kecuali siapa-siapa yang enggan). Sehingga keumuman lafazh kull[u] ummatî (semua umatku) di situ menjadi makhshush (terkenai pengkhususan). Yakni dikhususkan bagi yang tidak taat untuk tidak termasuk ke dalam cakupan kull di situ.


Pemahaman seperti ini juga berlaku pada hadits kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un] yang sedang ditanyakan. Asalnya ia berarti umum meliputi segala macam bid’ah tanpa terkecuali. Namun kemudian ditemukan dalil lain di luar nash umum tersebut yang menunjukkan adanya bid’ah yang tidak sesat. Di antaranya berupa Ijma’ Sahabat atas adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) di masa khalifah Umar bin Khaththab ra. Yaitu penyelenggaraan shalat tarawih secara terorganisir yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Dalam kesempatan itu Umar dengan jelas mengatakan:


« نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ »


“Ini merupakan sebaik-baik bid’ah.”[4]


Para sahabat tidak ada yang memprotes kebijakan dan pernyataan beliau ini, sehingga dipahami sebagai ijma’ akan adanya bid’ah yang bukan bid’ah dhalâlah. Ini menjadi mukhashshish (pengkhusus) bagi keumuman kata bid’ah pada hadits bid’ah dhalâlah. Berkenaan dengan hadits tersebut Al-Imam Al-Hafizh An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H) menerangkan:


( وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ) هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ ... أَنَّ الْحَدِيْثَ مِن الْعَامِّ الْمَخْصُوْصِ وَكَذَا مَا أَشْبَهَهُ مِن الْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ وَيُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِ الْحَدِيْثِ عَامًّا مَخْصُوْصًا قَوْلُهُ كُلُّ بِدْعَةٍ مُؤَكَّدًا بِكُلٍّ بَلْ يَدْخُلُهُ التَّخْصِيْصُ .


“(Sabda Nabi saw) dan semua bid’ah adalah sesat; ini merupakan redaksi umum yang terkenai takhshish (pengkhususan), yang artinya adalah bid’ah pada umumnya (bukan bid’ah secara mutlak, pentj.) … Bahwa hadits tersebut tergolong dalil umum yang terkenai pengkhususan, demikian pula halnya hadits-hadits serupa yang ada. Hal yang memperkuat pendapat kami ini adalah perkataan Umar bin Khaththab ra berkenaan shalat tarawih: “sebaik-baik bid’ah”. Sabda Nabi: “semua bid’ah” dengan penekanan menggunakan kata kull, tidak menghalangi untuk terbilangnya hadits tersebut sebagai hadits umum yang terkenai pengkhususan. Melainkan justru ia terkenai pengkhususan itu sendiri.”[5]


Jadi apabila dikembalikan pada pertanyaan di atas, maka jabawannya adalah bahwa lafazh kull tidak berarti sebagian, ia tetap bermakna semua, seluruh, atau segala. Hanya saja kemudian ia memungkinkan untuk di-takhshish (dikenai pengkhususan), sehingga itu menjadikannya tidak lagi bermakna umum secara mutlak alias tidak meliputi hal-hal yang dikhususkan darinya. Namun meski demikian kata tersebut tetap tidak berarti sebagian.


Di atas ini merupakan penjelasan menurut prespektif pendapat yang mengakui pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, yang itu adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i ra yang banyak diikuti oleh kalangan pesantren. Adapun menurut prespektif pendapat yang menganggap semua bid’ah adalah dhalalah tanpa terkecuali, mereka memahami kata bid’ah pada ungkapan Umar tersebut sebagai bid’ah secara bahasa bukan istilah[6]. Adapun kebolehan melakukannya, karena ia dipayungi oleh syari’at yang bersifat umum, sehingga bagi mereka apa yang dilakukan Umar itu tidak tergolong bid’ah secara istilah. Oleh sebab itu mereka tidak memberlakukannya sebagai mukhashshish bagi hadits bid’ah.


Walhasil, masing-masing dari dua kelompok tersebut sama-sama memahami kull berarti semua, seluruh, atau segala. Hanya bedanya, kelompok pertama memberlakukan takhshîsh atasnya sementara kelompok kedua tidak. Wallâhu a’lam[] 


05 Dzul Qa’dah 1436 H

Azizi Fathoni K 


[1] al-Jurjani, at-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 186.

[2] Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, nomor hadits 7280; Musnad Ahmad, Ahmad bin Hambal, nomor hadits 8713; Shahih Ibn Hibban, Ibnu Hibban, nomor hadits 17; al-Mustadrak, al-Hakim, nomor hadits 182.

[3] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol 1 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003), 252.

[4] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, nomor hadits 2010; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, nomor hadits 1100; Malik bin Anas, al-Muwaththa’, nomor hadits 279; al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, nomor hadits 3269.

[5] Abu Zakariya al-Nawawi, Syarh al-Nawawî ‘alâ Muslim, vol 6 (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1972), 154.

[6] Lihat Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah al-Harrani, vol 20 hlm 163


Sumber: 

http://malang-bersyariah.com/index.php/82-tanya-jawab/106-mamahami-lafazh-kull-pada-hadits-bid-ah

Wednesday, June 2, 2021

Membandingkan Sistem Peradilan Dalam Negara Khilafah Dan Negara Sekular

 Membandingkan Sistem Peradilan Dalam Negara Khilafah Dan Negara Sekular


Oleh Luthfi Afandi, S.H.[1]


Manusia dan Hukum


Para ahli hukum Barat, seperti Van Kan, meyakini bahwa dalam kehidupan bersama antar manusia yang saling berbeda kepentingan, keserasian hidup sering terganggu karena pertikaian. Karena itu, masyarakat mutlak membutuhkan aturan agar tercipta ketertiban, ketenteraman, dan keamanan.


Kaum sekular yang memisahkan agama dan kehidupan serta kaum mulhid (ateis/musyrik) meyakini hukum harus berasal dari akal manusia. Pandangan inilah yang menjadi dasar sistem peradilan dan hukum pidana sekular. Padahal, hukum harus berasal dari Sang Pencipta, Allah Yang paling mengetahui kemaslahatan hakiki bagi manusia; yang paling mengetahui hakikat baik danburuk. Inilah pandangan Islam dan yang menjadi dasar sistem peradilan dan pidana islam.


Sistem Hukum di Negara Sekular

Dalam negara sekular, dari aspek isi[ii] ada 2 macam pembagian hukum (hukum materil),[iii] yakni:


(1) Hukum Privat (Hukum Sipil), yang terdiri dari hukum perdata dan hukum dagang. Hukum ini memuat semua peraturan hubungan hukum antar orang di masyarakat, yang lebih menitikberatkan pada kepentingan individual yang prosesnya mengharuskan adanya gugatan pihak yang merasa dirugikan.


(2) Hukum Publik (Hukum Negara). Hukum ini mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan negara dengan perseorangan (warganegara). Prosesnya tidak mengharuskan ada gugatan dari pihak yang dirugikan. Hukum ini meliputi: hukum tata negara, hukum administrasi negara (tata usaha negara), hukum pidana, dan hukum internasional[iv] (perdata dan pidana internasional).


Hukum Pidana Sekular

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan individu, HAM, kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak[v]. Pidana dijatuhkan menurut teori Absolut (teori pembalasan) sebagai balasan atas kejahatan. Menurut teori relatif (teori tujuan), pidana dijatuhkan untuk menenteramkan masyarakat yang gelisah karena terjadi kejahatan dan untuk mencegah kejahatan.

Hukum Pidana Islam

Allah telah menetapkan serangkaian aturan (hukum) untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Orang yang melanggarnya di hadapan Allah dinilai berdosa dan telah melakukan kemaksiatan dan baginya ada sanksi di akhirat atau di dunia. Dengan demikian semua kemaksiatan merupakan tindakan kriminal yang layak mendapat sanksi.


Pelaksanaan sanksi (‘uqûbât) di dunia adalah tanggungjawab imam (khalifah) atau yang ditunjuk mewakilinya. Jadi, negaralah yang melaksanakannya. Sanksi di dunia berfungsi sebagai pencegah (zawâjir) dan penebus dosa (jawâbir), yakni mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal sekaligus menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku criminal yang telah dikenai snksi di dunia. Demikian sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Ubadah bin Shamit ketika menuturkan ihwal teks Baiat Aqabah I, yang di antaranya menyebutkan:


«وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَ مَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَّرَ لَهُ وَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ»


Siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa yang melanggarnya, lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa yang melanggarnya namun (kesalahan itu) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya; jika Ia menghendaki, Dia akan mengadzabnya. (HR al-Bukhari).


Obyek Hukuman dalam Islam

Hukuman/sanksi yang dijatuhkan oleh negara atas pelaku dosa dan kejahatan merupakan metode praktis (tharîqah ‘amaliyah) untuk melaksanakan perintah dan larangan Allah. Perbuatan-perbuatan yang akan dijatuhkan hukuman oleh syariat itu sendiri ada tiga, yaitu: (1) Meninggalkan kewajiban, seperti shalat dan jihad; (2) Melakukan keharaman, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw.; (3) Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti lalu-lintas dan izin mendirikan bangunan.


Bentuk Hukuman dalam Islam


Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yakni: (1) hudûd; (2) jinâyat; (3) ta‘zîr; (3) mukhâlafat.


Hudûd


Secara bahasa, hudûd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal. Secara syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan hudud dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat hak Allah. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:


(1) zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr muhshan/belum menikah]);


(2) homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);


(3) qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);


(4) minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);


(5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);


(6) membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.


(7) memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.


(8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syaratuntuk dipotong).


Jinâyât


Jinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:


(1) Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;


(2) Penganiayaan tanpa bverakhir dengan pembunuhan.


Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.[vi]


Ta‘zîr

Ta’zîr secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zîr adalah hukuman edukatif (ta‘dîb) dengan maksud menakut-nakuti (tankîf). Sedangkan secara syar‘î, ta’zîr bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.


Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) pelanggaran terhadap kemuliaan; (3) perbuatan yang merusak akal; (4) pelanggaran terhadap harta; (5) gangguan keamanan; (6) subversi; (7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.


Sanksi ta‘zîr dapat berupa: (1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8) peyitaan harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11) nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagain hak kekayaan (hurmân); (13) pencelaan (tawbîkh); (14) pewartaan (tasyhîr).


Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.


Mukhâlafât


Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara.[vii] Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.


Peradilan dalam Negara Sekular

Dalam sistem hukum positif (seperti di Indonesia), selain hukum materil juga dikenal hukum formil (hukum proses atau hukum acara), yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana tatacara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-cara hakim memberi keputusan.


Di Indonesia, hukum acara yang mengatur dan melaksanakan soal-soal peradilan disebut hukum acara pengadilan, yang terdiri dari:


(1) Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata Formal);


(2) Hukum Acara Pidana.


Sedangkan susunan kekuasaan pengadilan (di Indonesia) adalah:


(1) Pengadilan Sipil, yang terdiri dari Pengadilan Umum terdiri dari Pengadilan Negeri; Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung; Pengadilan Khusus, yang terdiri dari Pengadilan Agama (khusus untuk Muslim meliputi soal nikah, talak, rujuk, perceraian, nafkah, dll), Pengadilan Adat, dan Pengadilan Administrasi Negara.


(2) Pengadilan Militer, (khusus untuk anggota militer) yang terdiri dari Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung.


Pengambilan Keputusan oleh Hakim

Perkara-perkara di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung biasanya diadili oleh satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Sedangkan untuk perkara summier (perkara ringan, seperti kasus tilang) diadili oleh seorang hakim (tunggal). Keputusan diambil melalui musyawarah; jika tidak tercapai mufakat maka putusan diambil dengan suara terbanyak; jika masih belum berhasil, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.


Peradilan dalam Negara Islam


Peradilan dalam Negara Islam ada tiga macam. Masing-masing berhubungan dengan:


1. Qâdhî (biasa), yaitu hakim yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal muamalat (transaksi yang dilakukan antar dua orang/pihak) dan ‘uqûbât (sanksi hukum). Semua proses pengadilan hanya sah jika dilakukan di majelis (ruang) pengadilan dan harus ada pihak penuntut dan yang dituntut.


2. Qâdhî Hisbah/Muhtasib, yaitu hakim yang mengurusi perkara penyimpangan yang bisa membahayakan hak jamaah. Dalam menjalankan tugasnya ia didampingi oleh beberapa polisi untuk untuk melaksanakan perintah dan menjalankan keputusannya seketika itu juga. Pengadilan hisbah ini tidak memerlukan ruang sidang pengadilan, tidak perlu penuntut dan yang dituntut, melainkan semata karena ada hak umum yang telah dilanggar.


3. Qâdhi Mazhâlim, adalah hakim yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang merugikan negara atau kezaliman yang dilakukan oleh negara (penguasa, aparat, dan pegawai negara) terhadap individu warga negara.


Sistem Putusan


Pengadilan dalam Islam hanya diputuskan oleh seorang qâdhî (hakim). Sekalipun demikian, dalam sidang ia boleh didampingi oleh satu atau lebih hakim lain yang hanya berhak memberi masukan, sementara keputusan tetap berada di tangan hakim ketua sesuai dengan hasil ijtihadnya. Putusan ini merupakan hukum syariat atas kasus tersebut. Ia tidak bisa dibatalkan oleh siapapun kecuali jika bertentangan dengan nash-nash yang qath‘î atau dengan hukum yang diadopsi oleh Khalifah. Karena itu, dalam sistem pidana Islam tidak ada istilah pengadilan banding ataupun kasasi.


Dalam menjatuhkan vonis yang dijadikan sebagai bukti secara syar‘î adalah: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan. Selain itu tidak bisa dijadikan bukti secara syar‘î dan tidak bisa dijadikan dasar putusan oleh hakim.


Pengampunan (Abolisi) dalam Islam

Untuk kejahatan yang termasuk hudud tidak ada pengampunan secara mutlak. Ini didasarkan pada banyaknya hadis yang berbicara tentang masalah ini.


Sedangkan dalam masalah jinâyât, hak pengampunan (pemaafan) hanya berada di tangan korban atau ahli waris korban, tidak di tangan hakim ataupun Khalifah. Pengampunan dalam masalah jinâyât telah disebutkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 178; QS asy-Syura []: 40.


Sedangkan ta‘zîr, penetapan sanksinya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi (sebagai wakil Khalifah). Khalifah berhak (bukan wajib) memberikan sanksi ataupun pengampunan.


Adapun mukhâlafât sama seperti ta‘zîr dalam hal pemaafan. Tidak ada perbedaan di antara keduanya. []


[1] Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Direktur Liberation Youth Publishing Bandung.


[ii] Muderis Zaini, SH, Ikhtisar Tata Hukum Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional, 1988, hlm. 39.


[iii] Hukum materil adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan, misalnya; hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dll. Jika orang berbicara tentang hukum pidana atau hukum perdata maka yang dimaksud adalah hukum pidana materil dan hukum perdata materil.


[iv] Biasanya, jika orang berbicara tentang hukum internasional maka hampir selalu yang dimaksud adalah hukum publik internasional


[v] Lihat: Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Alumni, 1982, hlm. 55


[vi] Lihat perincian lebih lanjut dalam Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 87 dan seterusnya. Beirut: Dar al-Umah,


[vii] Sudah sama-sama dipahami bahwa Khalifah tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, mewajibkan yang sunnnah atau mubah; dan mengharamkan yang makruh. Ia hanya boleh melaksanakan pengaturan urusan rakyat dan mengatur kemaslahatan rakyat sesuai dengan hukum syariat.