Saturday, July 12, 2014

Bincang santai masalah hukum pemilu

Van Ar Rahman
"Bincang santai masalah hukum PEMILU..."

Mari kita bahas masalah PEMILU. Kita santai aja ya, bro nggak usah pakai emosi. Hehe... ‪#‎Cekidot‬

Assalamualaikum. (Alhamdulillah salam saya masih tetap, nggak pakai salam yang berapa jari itu?)

Bro and sist... Jika yang dibahas adalah pemilu, maka kembalikan pada dasar pemilu, yaitu akad wakalah (perwakilan). Wakalah sendiri hukumnya mubah. Iya kan?

Dalam hal ini rukun wakalah ada empat.

1. Orang yang mewakilkan
2. Orang yang diwakilkan
3. Hal yang diwakilkan
4. ijab qobul

Dalam hal pemilu legislatif maka:

1. Caleg
2. Rakyat
3. Fungsi legislatif
4. Ijab qobul

Mari kita lihat detil No 3. Yakni fungsi legislatif. Fungsi legislatif ada tiga.

1. Fungsi anggaran
2. Fungsi pengawasan
3. Fungsi legislasi

Untuk No 1. hukumnya mubah. No 2. hukumnya juga mubah, bahkan bisa menjadi wajib jika muhasabah lil hukkam, koreksi terhadap pemerintah.
Nah, kkhusus untuk yang no 3 hukumnya haram. Mengapa haram? Karena yang berhak membuat hukum hanya Allah. Sepakat? Udah, ah anggap sepakat aja..

‪#‎Next‬

Walhasil, dengan salah satu rukun yang fasad, maka fasad pula keseluruhan wakalah tersebut.

Kesimpulannya adalah, melakukan akad wakalah semacam ini menjadi bathil, yaitu ikut dalam pemilihan LEGISLATIF.

Bagaimana dengan ikut PEMILU PRESIDEN? Ah, sama aja alias sami mawon... Karena presiden yang akan terpilih nantinya akan menerapkan dan menjalankan sistem pemerintahan dan hukum buatan manusia. Ini bathil, mengapa? Karena di atas tadi sudah kita sepakati bersama bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah..

Sekian, Wallaahua'lam bishshawab...

keseimbangan dan kesesuaian


Keseimbangan dan Kesesusian

Published on Wednesday, 09 July 2014 12:04
Oleh : Muhaimin Iqbal

Isu besar dunia yang tidak jelas dasar pemikirannya adalah isu pemanasan global yang katanya disebabkan antara lain oleh emisi carbon dioksida (CO2) ke udara yang terus bertambah. Isu ini sebagiannya sudah terbantahkan melalui riset yang dilakukan oleh Commonwealth Scientific and Industrial Organization, bahwa CO2 di udara yang naik 14 % dalam rentang waktu 1982-2010 ternyata malah membuat permukaan bumi lebih hijau 11 % oleh apa yang disebut CO2 Fertilization Effect. Ini semua hanya bisa menguatkan keimanan kita bahwa ada yang menjaga keseimbangan dan kesesuaian di alam yang juga menuntut peran manusia sebagai khalifah di bumi.

Maka Sayyid Abul Ala Maududi ketika menjelaskan keseimbangan alam raya yang meliputi langit dan bumi yang dimaksud oleh Ayat 7-9 dari surat Ar-Rahman, dia bisa mengkaitkan keseimbangan di alam itu dengan keadilan manusia sampai ke hal yang sekecil-kecilnya seperti ketika berdagang harus adil dengan timbangannya dlsb.

“Dan langit telah ditinggikanNya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan (timbangan) itu”.

Contoh sederhananya kesimbangan di alam yang kita bisa dan harus ikut menjaganya – ya yang terkait dengan CO2 tersebut di atas. Perhatikan ilustrasi sederhana di samping.

Manusia bernafas membutuhkan O2 dan mengeluarkan CO2. Sebaliknya Tanaman melakukan Photosynthesis dengan membutuhkan CO2 dan mengeluarkan O2. Maka keberadaan manusia (dan hewan) dan tanaman-tanaman yang saling melengkapi ini ikut terjaga dengan adanya keseimbangan CO2 dan O2 di alam selama beribu-ribu tahun.

Tetapi manusia terus bertambah, otomatis CO2 yang dikeluarkannya juga terus bertambah. Lebih dari itu manusia juga mengotori udara dengan sejumlah aktivitas lainnya seperti ketika membakar energi fosil untuk kendaraannya, memasak, menerangi rumahnya (karena listrik PLN-nya juga butuh bahan bakar) dlsb.dlsb.

Lantas apa atau siapa yang menyerap CO2 yang berlebihan itu bila jumlah pepohonannya tidak bertambah atau bahkan berkurang ? Inilah yang kemudian dikambing hitamkan oleh manusia modern sebagai penyebab pemanasan global atau global warming yang katanya terjadi karena efek rumah kaca oleh membesarnya jumlah CO2 di udara.

Global warming sendiri masih perlu dibuktikan keberadaannya, dan kalau toh terbukti perlu dicari alasannya yang lebih masuk akal. Yang jelas bukan karena CO2, mengapa ? Selain terbantahkan oleh hasil riset tersebut di atas, juga oleh alasan berikut :

CO2 memiliki specific gravity 1.53 sementara specific gravity dari udara adalah 1. Sesuatu yang memiliki specific gravity lebih besar dari udara tidak akan naik ke atas dengan sendirinya.

Jadi CO2 yang dikeluarkan manusia beserta segala macam aktivitasnya – tidak terbang ke atas membentuk rumah kaca yang kemudian menimbulkan pemanasan global, tetapi malah cenderung lari ke bawah menuju permukaan tanah.

Fenomena ini juga Anda dapat lihat ketika sedang menyaksikan konser di atas panggung yang menggunakan efek asap dari dry ice. Dry ice adalah CO2 yang dipadatkan, setelah menjadi asap – kemana asap tersebut pergi ? Tidak ke atas, tetapi cenderung ke bawah menutupi lantai panggung. Kalau ke atas kan wajah artis yang keren-keren malah tertutupi asapnya !

Sifat CO2 yang cenderung lari kebawah ini menjadi sangat menarik bila dikaitkan dengan CO2 Fertilization Effect yang terungkap dari hasil penelitian tersebut di atas. Karena tanaman membutuhkan CO2 untuk melakukan aktifitas photosynthesis-nya, bila CO2 itu berlimpah – maka tanaman-tanaman juga akan meningkat aktivitas photosynthesisnya, yang berarti tumbuh lebih cepat.

Tetapi karena sifat CO2 yang lebih berat dari udara yang akan cenderung menuju permukaan tanah, maka tanaman-tanaman yang diuntungkan dengan berlebihnya CO2 - yaitu kandungan CO2 yang cukup tinggi sehingga mampu menimbulkan CO2 Fertilization Effect bukan sekedar untuk photosynthesis biasa - adalah tanaman-tanaman yang pendek mendekati permukanann tanah. Tanaman apakah ini ? itulah rumput-rumputan dan sejenisnya.

Dari sinilah seluruh keseimbangan dan kesesuaian di alam itu nampak tersusun dengan sangat indahnya. Mengapa seluruh nabi menggembala domba, mengapa akan datang masanya harta terbaik adalah domba, mengapa pekerjaan terbaik kedua setelah berjihad adalah menggembala domba, mengapa ada ayat di Al-Qur’an yang megisyaratkan kita untuk menggembala – semuanya menjadi nyambung dengan fenomena CO2 tersebut di atas !

Dengan bertambahnya manusia beserta seluruh aktivitasnya, CO2 yang dikeluarkan terus bertambah. Pertambahan ini mengakibatkan bertambahnya hijauan di permukaan bumi – utamanya hijauan yang rendah mendekati permukaan tanah yaitu jenis rumput-rumputan.

Tetapi manusia tidak secara langsung makan rumput, manusia makan berbagai hasil tanaman tingkat tinggi baik berupa padi-padian, biji-bijian dan buah-buahan. Manusia butuh daging, butuh air dan terus butuh energi.

Maka penyambung missing link antara rerumputan yang pertumbuhannya didorong oleh berlimpahnya CO2 tersebut diatas dengan terus meningkatnya kebutuhan Food, Energy and Water (FEW) manusia avdalah di kegiatan menggembala – pekerjaan mulia yang dilakukan seluruh nabi dan diisyaratkan di Al-Qur’an (QS 16:10).

Dengan menggembalakan ternak di rerumputan yang terus menebal, selain kita mendapatkan hasil langsung berupa daging – kotoran ternak juga memupuk padang rumput yang dilaluinya. Tanah yang terpupuk ini akan terus meningkat kesuburannya, sehingga bisa ditumbuhi segala macam tanaman berikutnya berupa tanaman musiman (padi, jagung dlsb) maupun segala macam buah-buahan (QS 16:11).

Hasil dari pepohonan tersebut yang berupa serat maupun karbohidrat, selain untuk pangan juga bisa diolah menjadi sumber energi – seperti bioethanol untuk jaman ini dan yang berupa minyak bisa diolah menjadi biodiesel. Bahwasanya energi itu berasal dari pohon-pohonan yang hijau inipun diisyaratkan di Al-Qur’an melalui setidaknya dua surat yaitu surat 36:80 dan surat 56 : 71-72.

Ketika pohon-pohon tumbuh, perakarannya akan mengelola dan bahkan memancarkan air bersih (QS 36:34) yang dari sini kebutuhan air kita akan terpenuhi. Setelah melibatkan CO2 yang lebih banyak, tumbuhnya rumput, aktivitas penggembalaan, tumbuhnya pepohonan, dihasilkannya Food, Energy and Water (FEW) – maka ilustrasi sederhana di atas menjadi sedikit lebih rumit seperti gambar di samping – tetapi semuanya tetap seimbang dan sesuai kebutuhannya masing-masing.

Jadi keseimbangan itu telah diciptakan dengan sangat indah olehNya (QS 55:7), kita hanya dilarang untuk merusaknya (QS 55:8). Dia Maha Kuasa untuk melakukan semuanya itu sendiri, tetapi manusia juga diciptakanNya untuk diuji siapa yang paling baik amalnya (QS 67:3).

Amal terbaik tentu saja adalah yang mengikuti petunjuk-petunjukNya, yang sesuai dengan kehendakNya dan sesuai syariatNya. Maka karena salah satu tujuan atau maqasid syariah itu adalah menjaga kehidupan – insyaAllah kita akan bisa bener-bener menjaga kelangsungan hidup di bumi ini – preserving life, bila kita mau mulai tahap demi tahap melakukan hal konkrit yang bisa kita lakukan.

Untuk ini kita sudah bener-bener mulai menggembala dan sebagian Andapun sudah terlibat didalamnya melalui project lambbank. InsyaAllah dalam waktu dekat kita akan membuat kegiatan menanam dalam skala besar – yaitu project iGrow – yang Andapun akan bisa terlibat di dalamnya. InsyaAllah.

Agar hari esuk tidak lebih buruk


Agar Hari Esuk Tidak Lebih Buruk…

Oleh : Muhaimin Iqbal
Ketika mendengar pengajian dari guru saya yang mengingatkan bahwa ‘… hari esuk senantiasa lebih buruk bagi orang yang terlibat dengan riba…’, saya tidak langsung bisa melihat buktinya di lapangan. Sampai saya membaca detil laporan resmi Nota Keuangan Dan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2014 - atau yang lebih dikenal dengan APBN-P 2014. Di situ nampak jelas visualisasi angka-angka yang menunjukkan hari esuk yang lebih buruk itu ! Bisakah ini diubah ?


Trend Beban Biaya Bunga RI

Sebagian indikator yang menunjukkan trend hari esuk yang lebih buruk itu dapat dilihat dari membengkaknya data pembayaran bunga dari hutang kita. Beban bunga saja bagi negeri ini yang harus dibayar tahun lalu baru senilai Rp 113 trilyun, tahun ini membengkak menjadi Rp 136 trilyun atau naik sekitar 20 %.

Dalam lima tahun terakhir beban bunga itu mengalami pertumbuhan rata-rata 8 %, yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi kita yang rata-ratanya hanya 6 %. Ingat bahwa uang sebesar Rp 136 trilyun dan mengalami pertumbuhan rata-rata 8 % ini baru untuk membayar bunga saja ! lha terus pokok pinjamannya seperti apa ? akan dibayar dengan apa ?

Dalam konteks negeri ribawi, nampaknya tidak ada konsep untuk membayar pokok hutang yang jelas. Hutang bisa terus menggelembung asal masih bisa membayar bunganya – mungkin begitu pemikirannya. Hal ini juga nampak dari pembiayaan negara kita untuk tahun 2014 yang saya baca dari laporan resmi tersebut di atas.

Ketika kita ngos-ngosan sekedar untuk membayar bunga pinjaman yang nilainya mencapai Rp 136 trilyun tersebut, pada saat yang bersamaan kita meminjam lagi dengan jumlahnya yang hampir 2 kali lipat. Tahun 2014 ini kita akan meminjam sebesar Rp 263 trilyun lagi untuk membiaya belanja negara kita.


Beban Bunga Yang Melampaui Pertumbuhan

Itulah mengapa melalui berbagai tulisan saya di situs ini, saya ‘teriak-teriak’ agar umat Islam menggunakan kekuatannya untuk ‘menekan’ agar siapapun yang terpilih nanti – atau siapapun yang didukungnya dalam pilpres kali ini – setidaknya mereka harus punya rencana untuk menghentikan riba ini, agar hari esuk kita tidak semakin buruk.

Lantas to be realistic, apakah bisa negeri ini membayar pokok hutangnya dan kemudian menghindarkan pembiayaan ribawi untuk belanja negaranya ? ingat bahwa pinjaman ribawi itu mengalir sampai jauh, sampai gaji-gaji pegawai dan pejabat dari pusat sampai daerah, dari eksekutif, judikatif sampai legislatif – semuanya bercampur baur dengan riba.

Jadi riba memang harus dihentikan bila kita ingin hari esuk yang lebih baik, tetapi bagaimana caranya ? dari mana sumber-sumber dana untuk membiaya belanja negeri ini ?

Negeri ini memang bukan atau belum menjadi negara Islam, tetapi tidak ada salahnya belajar dari negeri Islam – khususnya di awal pemerintahan Islam terbentuk di Madinah yang kemudian dilanjutkan pada era-era sesudahnya. Ada sejumlah sumber pendanaan yang sangat besar untuk memakmurkan rakyat tanpa melibatkan hutang dan tanpa bersandar berlebihan pada pajak – yang buntutnya menjadi beban rakyat juga.

Mari kita teliti satu per satu beberapa sumber pendapatan atau pembiayaan negeri Islam yang penting – yang sekiranya cocok untuk mengatasi problem pendapatan kita saat ini – yaitu problem pendapatan yang tidak cukup untuk membiayai belanja.

Pertama adalah ghonimah atau pendapatan dari perang. Dasarnya adalah surat Al-Anfaal 41 dimana secara spesifik menyebutkan 1/5 dari ghanimah adalah untuk Allah dan RasulNya. Di jaman ini berarti ini untuk negara yang bisa dipakai untuk menutupi berbagai keperluannya. Tetapi karena negeri ini tidak sedang berperang dengan negeri lain, maka pendapatan dari ghanimah ini tidak ada untuk saat ini.

Kedua adalah fai’ yaitu pendapatan dari penaklukan negeri lain tanpa melalui peperangan, dasarnya adalah surat Al-Hasr ayat 6 dan 7. Seluruhnya adalah untuk Allah dan RasulNya, keluarga Rasul, anak yatim, orang miskin dan orang dalam perjalanan. Berarti ini juga untuk negara yang bisa dipakai untuk membiayai kebutuhan-kebutuhannya terutama untuk mensejahterakan rakyat. Tetapi lagi-lagi, kita tidak sedang menaklukkan negeri lain tanpa peperangan – jadi untuk saat ini pendapatan dari fai’ ini juga tidak ada.

Ketiga adalah kharaj, yaitu pajak atau tepatnya sewa atas tanah-tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin – melalui perang ataupun tidak – tetapi tanah tersebut tetap digarap oleh non-muslim. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wasalllam atas tanah-tanah Fadak, Khaibar dan eks tanah Banu Nadhir. Pendapatan kharaj dari tanah-tanah tersebut dipakai untuk membiayai perang, menyantuni fakir miskin, orang dalam perjalanan dlsb.

Hal yang sama dilakukan ketika di jaman Khalifah Umar bin Khattab banyak melakukan penaklukan demi penaklukan. Tanah-tanah Iraq, Syria, Mesir dlsb. yang ditaklukkannya – tidak kemudian dibagi sebagai pendapatan ghanimah. Tanah-tanah tersebut menjadi milik pemerintahan kaum muslimin dan tetap digarap pemiliknya semula, tetapi mereka membayar kharaj ke pemerintahan Islam.

Kita memang bukan negeri Islam dan tidak memiliki tanah kharajiyah ini, tetapi negeri ini punya banyak lahan yang tidak atau kurang produktif – atau menggunakan istilah Al-Qur’an adalah tanah yang mati. Tanah-tanah seperti ini ini tetap milik negara dan sebenarnya bisa disewakan saja ke siapa saja yang bisa memakmurkannya – pendapatan sewa inilah yang bisa mengambil dari inspirasi kharaj dari negeri muslim di masa lampau.

Pendapatan dari menyewakan lahan kepada yang bisa memakmurkannya ini bisa menjadi amat sangat besar bagi negeri ini. Seorang teman saya yang sangat credible karena dia kepala cabang Bank Indonesia di Riau, dia pernah menghitung bahwa seandainya di lahan-lahan sawit yang mencapai 2.5 juta hektar di provinsi tersebut – dipakai untuk menggembala domba saja, maka ada potensi ekonomi yang nilainya mencapai Rp 1,000 trilyun dari aktifitas satu ini saja !

Padahal konon – menurut sata salah satu capres – ada hutan rusak yang luasnya 77 hektar di negeri ini. Lahan seperti ini bisa disewakan ke siapa saja yang sanggup memakmurkannya. Ketika lahan-lahan tersebut bener-bener bisa dimakmurkan, maka bisa dibayangkan potensi ekonominya. Dari pendapatan memakmurkan 77 juta hektar hutan rusak ini saja, menjadi sangat mungkin negeri ini punya sumber dana cukup untuk melunasi hutang-hutangnya dan membebaskan diri dari riba. Dari Al-Qur’an insyaAllah sudah ada ada blue print-nya untuk memakmurkan lahan-lahan yang mati ini sekalipun ! Bahkan operasionalisasi teknisnya sudah saya kumpulkan dalam dua buku Kebun Al-Qur'an dan The Mindset.

Keempat adalah zakat, namun sumber pendapatan yang satu ini unique sifatnya karena penggunaannya sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surat Al-Taubah ayat 60 yaitu untuk fakir, miskin, amil zakat, mualaf yang sedang dibujuk hatinya kedalam Islam, membebaskan budak, orang yang berhutang , untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan.

Meskipun sifatnya hanya titipan untuk dikelola dan disalurkan kepada 8 yang berhak tersebut, zakat yang dikumpulkan dan disalurkan dengan baik juga akan sangat meringankan beban yang harus ditanggung negara.

Kelima adalah Waqf, mirip dengan zakat – waqf bukanlah pendapatan bagi negara. Umumnya kegunaannya sudah spesifik untuk kepentingan umum seperti rumah sakit, pasar , bahkan jalan raya dan berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat di jaman modern ini.

Lagi-lagi meskipun bukan pendapatan negara, tetapi negara akan sangat diringankan bebannya bila kesadaran masyarakat untuk ber-waqf secara massif tumbuh.

Yang sudah kita jalankan di komunitas kami misalnya, ketika kami sakit – kami tidak menuntut pemerintah untuk menyantuni kami – bahkan kami berusaha menghindar dari ini karena keraguan kami atas obat yang diberikan dan pengelolaan dananya yang masih ribawi.

Lantas dengan apa kami berobat ?, insyaAllah dengan obat-obat yang diproduksi dengan dana waqf komunitas cukup bagi kami. Kalau inipun tidak cukup, insyaAllah kami masih bisa ber-taawun dengan sesama untuk memikulnya. Solusi ini kami sebut TAWAF, Taawun wa Waqf – meskipun masih sangat kecil tetapi sudah bukan lagi sekedar wacana !

Untuk sekolah anak-anak kami, kami-pun tidak minta dibantu satu sen-pun dari dana pemerintah. Gedung-gedung dan guru-guru kami insyaAllah cukup dibiayai dengan waqf dan infaq dari para mukhsinin di komunitas kami. Jadi kami tidak minta bagian sedikitpun dari anggaran pendidikan yang sangat besar yang dikeluarkan oleh pemerintah !

Bayangkan kalau hal ini dilakukan rame-rame oleh masyarakat Indonesia, Waqf dan infaq-nya sudah cukup untuk mengatasi berbagai kebutuhan dan persoalan yang ada di masyarakat. Barangkali ini adalah salah satu bukti bahwa bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa maka Allah pasti bukakan pintu barakah dari langit dan dari bumi (QS 7:96) itu !

Dengan lima hal tersebut di atas, insyaAllah sumber-sumber pendanaan untuk negeri ini amat sangat cukup – tanpa harus membebani generasi ini dan generasi anak cucu kita dengan riba – yang membuat hari esuk kita lebih buruk dari hari ini – naudzublillahi min dzaalik !

Bila yang lima hal tersebut belum juga cukup, baru ulama mengijinkan juga pajak kontemporer – yaitu pajak seperti yang diberlakukan oleh pemerintah saat ini. Tetapi ini bersyarat yaitu penggunaannya harus sangat jelas dan penarikannya harus adil. Tidak boleh ada pajak yang tidak jelas penggunaannya apalagi bila sampai pajak itu disalah gunakan/dikorupsi oleh oknum-oknumnya.

Maka menjadikan hari esuk lebih baik itu ada jalannya yang sangat jelas – ceto welo-welo - terang benderang seperti terangnya siang hari. Lantas mengapa kita memilih hari esuk yang lebih buruk dengan riba ? dengan pemerintahan yang biasa-biasa saja yang hanya akan melanjutkan tradisi ribanya ? mengapa tidak kita gunakan rame-rame suara kita untuk memberikan tuntutan agar siapapun yang kita dukung – harus peduli masalah eliminasi riba ini.

Kalau tidak kita gunakan suara umat ini untuk melindungi generasi dari trend hari esuk yang memburuk karena riba, lantas siapa yang akan memperbaikinya kelak ? Kalau bukan kita, siapa lagi ? kalau tidak sekarang, kapan lagi

Friday, July 11, 2014

Bahaya pluralisme


AHAYA PLURALISME
[Al-Islam 488] Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur (mantan Presiden RI ke-4), isu pluralisme kembali menjadi perbincangan. Selama beberapa hari hampir semua media cetak menjadikan pluralisme sebagai berita utama, baik dikaitkan langsung dengan sosok Gus Dur maupun tidak. Isu pluralisme kembali mencuat terutama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” yang patut menjadi teladan bagi seluruh bangsa. (Antara.co.id, 31/12/2009).

Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais pun menilai Gus Dur sebagai ikon pluralisme (Kompas.com, 2/1/2010).

Kalangan liberal tak ketinggalan. Salah seorang aktivisnya, Zuhairi Misrawi, menulis bahwa dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh Presiden Yudhoyono, akan sangat baik jika MUI mencabut kembali fatwa pengharaman terhadap pluralisme (Kompas.com, 4/1/2010).

Sejumlah kalangan pun menilai penting untuk memelihara nilai-nilai pluralisme pasca Gus Dur. Mantan Wakil Presien Jusuf Kalla (JK), misalnya, mengharapkan semangat kebersamaan dan pluralisme yang selalu dikobarkan Gus Dur tetap terjaga (Detik.com, 30/12/2009).

Pertanyaannya, bagaimana dengan MUI sendiri yang dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme (selain sekularisme dan liberalisme) adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut? Lebih penting lagi, bagaimana sesungguhnya pluralisme menurut pandangan Islam?

Hakikat Pluralisme

Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.

Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.
Di Balik Gagasan Pluralisme

Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.

Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.

Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu maraknya isu pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam.

Konflik Sebagai Alasan?

Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik. Namun, tidak benar jika seluruh konflik yang terjadi saat ini dipicu oleh faktor agama. Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering berlatar belakang ideologi dan politik. Dalam sekala internasional, konflik Palestina-Israel lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik antaragama (Islam, Yahudi dan Kristen). Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan Khilafah Islam. Konflik Palestina-Israel ini lebih bernuansa politik yang melibatkan penjajah Barat. Sejarah membuktikan, konflik Palestina-Israel bermula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja “ditanam” oleh penjajah Inggris di jantung Palestina dalam ranga melemahkan umat Islam. Konflik ini kemudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran Inggris, untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya, dengan begitu Barat dapat terus-menerus menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut sehingga umat Islam melupakan bahaya dominasi Barat—khususnya AS dan Inggris—sebagai penjajah mereka.

Dalam sekala lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku atau Poso beberapa tahun lalu, misalnya, juga lebih bernuansa politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain kaum penjajah Barat) untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, ketimbang berlatar belakang agama.
Sementara itu, dalam skala yang lebih luas dan global, konflik Barat-Timur (yang sering dianggap mencerminkan konflik Kristen-Islam), khususnya setelah Peristiwa 11 September 2001, juga jelas lebih berlatarbelakang ideologi dan politik ketimbang agama. Memang, sesaat setelah terjadinya Peristiwa 11 September, Presiden AS George W Bush pernah “keseleo” dengan menyebut secara jelas bahwa WoT (War on Terrorism) sebagai Crussade (Perang Salib) baru. Lalu setelah itu AS menyerang Afganistan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyerang Irak. Namun, banyak pakar Barat dan AS sendiri yang menjelaskan bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun Irak bahkan lebih bermotifkan ekonomi (yakni demi minyak)—di samping politik (demi dominasi ideologi Kapitalisme), dan bukan bermotifkan agama.

Karena itu, sangat tidak ‘nyambung’ jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut kemudian dipasarkan terus gagasan pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama dll. Pasalnya, akar konflik-konflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideologi dan politik—yakni dominasi Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS, atas Dunia Islam—ketimbang berlatar-belakang agama.
Pluralisme Menurut Islam


Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).

Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).

Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak berarti diakui benar.

Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah
naungan Islam. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.

Bahaya di Balik Gagasan Pluralisme



Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.

Karena itu, wajar jika KH Kholil Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati Pamekasan Jawa Timur, menilai pluralisme agama yang diusung Gus Dur berbahaya bagi umat Islam (Tempointeraktif.com, 30/12/2009).

Bahaya lainnya, pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu globalisasi. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan “agama baru” yang bernama pluralisme agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima Kapitalisme itu sendiri.

Inilah di antara bahaya yang terjadi, yang sesungguhnya telah dan sedang mengancam kaum Muslim saat ini ketika kaum Muslim kehilangan Khilafah Islamiyah sejak hampir satu abad lalu. Padahal Khilafahlah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam, melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk oleh pluralisme. []

Monday, March 10, 2014

Jangan Salahkan Islam

Jangan Salahkan Islam

gaulislam edisi 325/tahun ke-7 (12 Rabiul Awwal 1435 H/ 13 Januari 2014)
Hampir di setiap kesempatan mengisi acara remaja, saya selalu memberikan pertanyaan di awal pembahasan materi, atau di pertengahan, termasuk menjelang akhir penyampaian materi. Pertanyaan sederhana dan saya sekadar ingin mengetahui tingkat pengenalan dan pengetahuan mereka terhadap Islam. Umumnya saya menyodorkan pertanyaan yang kira-kira gampang dijawab. Misalnya meminta mereka untuk menyebutkan nama-nama sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. selain Khulafa ar-Rasyiddin. Eh, tapi malah banyak juga yang menjawab Ali bin Abi Thalib ra, Umar bin Khaththab ra, Usman bin Affan ra, dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Halah, entah mereka tidak mendengar pertanyaannya atau memang nggak tahu nama-nama sahabat mana saja yang tergolong al-Khulafa ar-Rasyidin dan sahabat mana yang bukan termasuk Khulafa ar-Rasyiddin.

Ada pula yang malah sama sekali nggak tahu nama-nama putri Rasulullah saw. Waduh, memprihatinkan memang. Tapi ketika ditanyakan nama-nama selebritis remaja, banyak yang serentak menjawab tahu dan menyebutkan namanya. Halah, musibah besar ini. Tapi yang jelas, pertanyaan seputar nama-nama sahabat Rasullah saw. itu rupanya merepotkan mereka. Bukan hanya di satu tempat lho. Tapi merata di seluruh tempat yang pernah saya kunjungi untuk mengisi acara remaja tersebut. Saya kemudian berpikir, bagaimana dengan pengetahuan mereka tentang Islam yang lebih dalam: fikih, syariat, dan akidah? Allahu’alam.
Sobat gaulislam, kondisi kita saat ini memang sudah sangat memprihatinkan. Baik luar maupun dalam. Faktor eksternal (luar) adalah tidak tersampaikannya informasi Islam dengan benar dan baik. Media massa umum lebih ‘senang’ menyampaikan informasi tentang Islam yang dianggapnya tidak baik menurut ukuran mereka. Isu terorisme yang secara tidak langsung pemberitaannya mengarah kepada keterkaitan kelompok tertentu dalam Islam yang harus bertanggungjawab terhadap teror tertentu. Lha, Islam memang sampai, tapi dengan persepsi yang buruk akibat ulah pelaku media massa yang melanggar aturan yang mereka buat sendiri dalam kaidah jurnalistik, yakni memberi opini sesuai keinginannya, bukan menyampaikan berita sebagai fakta apa adanya yang harus disampaikan.

Nah, faktor internalnya adalah, kelemahan kita sebagai muslim yang kayaknya jauh banget dengan Islam. Ada jurang luas membentang yang memisahkan kaum muslimin dengan Islam. Hal ini terjadi akibat melemahnya ikatan kaum muslimin terhadap Islam. Awalnya, sangat boleh jadi ketika lunturnya tradisi keilmuan di kalangan kaum muslimin. Akibatnya, karena malas belajar Islam kaum muslimin jadi nggak ngerti dengan Islam yang menjadi agamanya. Wajar kan kalo ada jarak yang sangat lebar antara Islam dengan kaum muslimin. Mengenaskan sekali.

Itu sebabnya, melihat fakta dari cerita di awal tulisan ini, kita seharusnya bisa menyadari bahwa kondisi remaja yang nggak ngeh dengan nama-nama sahabat Rasulullah saw. tersebut atau masyarakat pada umumnya yang nggak ngeh dengan Islam dan ajarannya, bukanlah murni seratus persen salah mereka. Tapi ini lebih karena lingkungan saat ini memang nyaris tak memberikan tempat untuk informasi Islam, bahkan sekadar untuk mengenalkan tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah saw. yang bisa dijadikan teladan bagi kita saat ini. Media massa lebih fokus dan giat bekerja untuk memberikan informasi kekinian yang memang bertabur fakta dan data produk kehidupan saat ini yang didominasi oleh Kapitalisme-Sekularisme.

Masa’ sih? Hehehe.. jangan kaget dan nyolot gitu dong. Coba aja perhatiin acara-acara televisi yang nyiarin acara keislaman. Sangat sedikit kalo nggak mau dibilang nggak ada. Bukan tak ada sama sekali. Ada sih acara-acara keislaman, tapi ditaronya menjelang shubuh atau sesaat setelah azan shubuh. Dimana orang yang baik-baik lagi persiapan pergi ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah, atau setidaknya lagi persiapan untuk shalat shubuh di rumah untuk kemudian berangkat kerja pagi bagi yang udah kerja. Bagi mereka yang abis begadang nonton sepakbola liga Eropa atau begadang main gaple ya jam segitu masih ngorok dengan tenang sambil ngimpi menang judi. Jadinya banyak yang nggak bisa nonton tuh acara. Setelah jam 6 pagi, jangan harap deh ada televisi yang nayangin siaran ceramah agama Islam. Palingan kalo Ramadhan aja kali ya yang frekuensi waktunya jadi meningkat.

So, wajar aja kalo kita lebih kenal nama-nama selebritis karena gosipnya hampir tiap hari. Udah gitu, tradisi belajar kaum muslimin juga terkategori melempem. Silakan aja bandingkan dengan acara konser musik. Jamaah yang hadir mendengarkan pengajian nggak sebanyak yang jejingkrakan nonton konser musik dari grup musik pujaannya. Jarang banget melihat ada remaja yang menjadi jamaah pengajian berebut tempat paling depan. Umumnya nyari tempat strategis untuk menyendiri dalam kantuk. Maka, dipilihlah tembok atau tiang buat nyender. Yeee… beda banget dengan mereka yang sregep berebut tempat paling depan saat nonton konser musik meski udah diusir-usir sama penjaga keamanan panggung. Tetep aja ngotot biar dapetin tempat strategis untuk memfoto idolanya atau sekadar bisa salaman. Astaghfirullah…

Salah paham tentang Islam

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, ada lagi penyakit yang menerpa kaum muslimin saat ini, yakni salah paham terhadap ajaran Islam. Intinya, Islam nggak dipahami dengan benar dan baik oleh kaum muslimin. Mengapa ini bisa terjadi? Setidaknya ada tiga faktor. Pertama, kaum muslimin salah mengambil jalan hidup, bukan Islam yang diambil, tapi ideologi selain Islam. Mereka menganggap bahwa Islam tak bisa menjadi alat perjuangan, sehingga tak perlu dilibatkan mengatur kehidupan. Kedua, kaum muslimin tidak utuh mempelajari Islam. Ketiga, adanya upaya sistematis mengaburkan pemahaman Islam yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam melalui tokoh-tokoh yang berasal dari kaum muslimin hasil didikan musuh-musuh Islam. Jadinya, lengkap sudah penderitaan kaum muslimin saat ini.

Faktor pertama yang memicu salah paham tentang Islam adalah karena kaum muslimin salah dalam mengambil jalan hidup. Halah, ini sih pastinya bukan cuma salah paham, tapi yang jelas udah salah jalan, karena salah mengambil sumber informasinya. Kayak orang mau bepergian ke suatu tempat, tapi peta jalannya salah. Ya, nggak nyampe tujuan. Tul nggak?

Beberapa bukti atas fakta ini adalah, banyaknya kaum muslimin yang memperjuangkan feminisme, demokrasi, sekularisme, kapitalisme, bahkan sosialisme dengan menganggap bahwa  hal itu lebih relevan untuk saat ini. Waduh, celaka banget tuh. Sebab, sejatinya ide-ide itu bertentangan dengan Islam dan bahkan menentang Islam. Itu tahapan idenya. Akibatnya dalam tataran praktik, nggak sedikit kaum muslimin yang bangga menyandang istilah “Kiri” (baca: kaum sosialis) hingga akhirnya mereka berjuang di masyarakat dengan cara-cara seperti yang dilakukan kaum sosialis (misalnya unjuk rasa anarkis dan menggunakan kekerasan fisik), ideologinya pun ya sosialisme-komunisme. Padahal dirinya muslim, lho. Kadang ada yang masih suka shalat juga.

Oya, nggak sedikit pula dari kaum muslimin yang merasa sudah menjadi manusia seutuhnya ketika memperjuangkan demokrasi. Maka, seks bebas tumbuh subur, pergaulan bebas antara laki dan perempuan jadi tradisi, pengingakaran terhadap agama juga marak. Menyedihkan sekali bukan? Inilah buah dari salah mengambil informasi jalan hidup, karena menganggap Islam tak mampu menyelesaikan kehidupan hingga akhirnya memilih kapitalisme dan juga sosialisme. Hmm.. kasihan banget!
Sobat gaulislam, untuk faktor kedua yang memungkinkan munculnya salah paham terhadap Islam adalah kaum muslimin tidak utuh mempelajari Islam. Setengah-setengah, gitu lho. Kasarnya sih, apa saja dari Islam yang menurutnya baik dan menyenangkan diambil, sementara yang bikin ribet bagi dirinya ditinggalin jauh-jauh. Ini namanya pilah-pilih sesuka nafsunya. Bukan atas pertimbangan akidah dan syariat Islam. Superkacau banget kan pemahamannya?

Shalat akan dilaksanakan kalo dengan shalat ia merasa tentram dan tenang. Jadi bukan atas pertimbangan hukum syara dan ketataan kepada Allah Ta’ala dalam melaksanakan shalat, tapi karena shalat membuat dia tenang. Itu sebabnya, ia akan mengambil ajaran Islam tentang shalat. Tapi jika menurut hawa nafsunya ajaran shalat itu bisa mengganggu aktivitasnya berbisnis, maka ia akan tinggalkan shalat itu. Karena menganggap waktu shalat itu mengganggu urusan penting yang dia kerjakan. Daripada memilih menghentikan sementara kepentingan bisnisnya untuk shalat, ia malah memilih kepentingan bisnis dan meninggalkan shalat.
Hmm.. bisa juga kasusnya adalah dalam berbagai produk syariat yang ada dalam Islam tapi dipilih-pilih juga sesuka hawa nafsunya. Sangat boleh jadi ada kaum muslimin yang rajin shalatnya. Benar memang, karena sudah melaksanakan salah satu ajaran Islam. Tapi, ia membenci ajaran Islam yang lain seperti aturan tentang bolehnya poligami. Setengah mati ia meneriakkan protes bahwa poligami itu menyengsarakan kaum perempuan. Ini kan aneh yang bapaknya ajaib alias aneh bin ajaib. Iya kan? Padahal, syariat tentang poligami ada dalam Islam. Meski derajat hukumnya hanya sebatas mubah dan itu pun bagi yang mampu saja mengamalkannya.

Itu sebabnya, setengah-setengah dalam mempelajari Islam berdampak tidak utuhnya pemahaman tentang Islam. Tanggung, gitu lho. Bukan tak mungkin pula jika akhirnya marak bermunculannya para pelaku malpraktik dalam ajaran Islam. Hukum yang wajib dilakukan malah ditinggalkan, tapi yang sunah dikerjakan seolah menjadi kewajiban. Contohnya, banyak para wanita yang getol shalat sunnah tahajjud, tapi kalo keluar rumah rambutnya dibiarkan bebas tanpa ditutupi kerudung dan bagian tubuhnya dengan sukses dilihat orang lain karena tak menutup aurat dengan sempurna. Piye iki? Harusnya kan yang wajib dilakukan, yang sunnah juga dikerjakan semampunya. Inilah yang disebut malpraktik alias salah prosedur dalam menjalankan syariat Islam, Bro.

Nah, mengenai faktor ketiga yang sangat mungkin memicu terjadinya salah paham terhadap Islam adalah banyaknya cendekiawan muslim yang menyampaikan Islam dengan pemahaman yang keliru. Islam yang disampaikan itu sudah dimodifikasi terlebih dahulu, sesuai selera dan keinginan mereka yang dipesankan dari musuh-musuh Islam. Mungkin saja cendekiawan muslim yang menyebarkan pemahaman Islam yang keliru ini nggak nyadar kalo dirinya diperalat oleh musuh-musuh Islam, atau bisa saja mereka tahu bahwa yang disampaikannya itu keliru tapi karena demi jabatan atau harta berlimpah yang dijanjikan kalangan tertentu yang membenci Islam, akhirnya ya mereka lakukan juga tugas salahnya tersebut.

Sobat gaulislam, bagi cendekiawan yang nggak nyadar kalo mereka udah menyampaikan Islam secara keliru, karena ia mempelajari Islam dari sumber yang salah. Ada semacam penyusup yang seolah-olah tahu dan paham Islam, tapi karena dianggap ulama atau cendekiawan akhirnya omongannya didengar meskipun sebenarnya menebarkan racun. Contohya, jihad diartikan sempit hanya secara bahasa yang bermakna sungguh-sungguh. Jihad menurut bahasa (haqiqah al-lughawiyah), sebagaimana dituturkan oleh Imam Naisaburi dalam kitab tafsirnya, adalah: “Mencurahkan seluruh tenaga untuk memperoleh maksud (yang dikehendaki).” (Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasati as-Syar’iyyah,jilid I/40). Definisi jihad menurut bahasa sangat umum, sehingga apapun usaha seseorang, dengan motivasi baik atau buruk sekali pun, bisa tergolong jihad.

Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syara’ (haqiqah as-syar’iyyah). Ratusan kata jihad tersebar di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dan pelaksanaan aktivitas jihad memiliki metode dan cara-cara tersendiri yang telah diatur secara sempurna oleh ajaran Islam. Dari sinilah muncul pengertian bahwa kata jihad memiliki makna syar’iy. Pengertian jihad menurut syara adalah:”Mencurahkan seluruh tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara membantunya dengan harta benda, pendapat, atau mendukung logistik (perbekalan), dan lain-lain.” (Ibnu ‘Abidin, Rad al-Muhtar, jilid III/336)
 
Jika demikian halnya, maka mana pengertian jihad yang lebih layak digunakan oleh kaum muslimin? Untuk memperoleh jawabnya, cukuplah kita merujuk pada perspektif syariat Islam.  Para ahli ushul fikih telah menyinggung kaidah: ”Makna syar’iy lebih utama diambil berdasarkan pengertian syara, dari pada pengertian bahasa maupun ‘urf” (‘Atha bin Khalil, Taysir al-Wusul ila al-Ushul, hlm. 296)  

Itu sebabnya, istilah jihad lebih layak digunakan berdasarkan pengertian syara, bukan berdasarkan pengertian bahasa. Jadi, jihad artinya adalah perang melawan orang-orang kafir yang memusuhi Islam.
Akibat salah persepsi ini, kaum muslimin nggak mau lagi ngomongin jihad dalam pengertian perang (apalagi melakukannya?) karena toh sudah bisa disebut jihad dengan melakukan suatu perbuatan asalkan sungguh-sungguh melakukannya. Ini jelas kekaburan makna dari aslinya. Sangat membahayakan pemikiran tuh!
Ini baru satu contoh lho. Belum yang lainnya seperti ada cendekiawan muslim yang berusaha keras memperjuangkan sekularisme, getol mendakwahkan demokrasi, nggak lelah terus menyebarkan liberalisme dalam Islam. Apakah mereka ulama? Ya, jika dilihat dari keilmuannya sangat boleh jadi mereka ulama. Tapi seperti kata Rasulullah saw. ulama itu ada dua jenis: ulama yang benar dan baik, tapi juga ada ulama yang jahat dan buruk perbuatan maupun pemikirannya. Waspadalah terhadap tipe jenis ulama yang jahat ini.
Oya, apakah ini salah Islam? Nggak kok. Ini murni salah pelakunya. Entah tanpa disadarinya atau disadarinya dengan sangat. Sebab, yang jelas adalah kesalahan dari mereka yang menyebarkan Islam dengan informasi yang keliru. Akibatnya, tentu banyak kalangan awam dari kaum muslimin yang mengikuti apa yang disampaikan ulama jahat ini dengan alasan hal itu memenuhi selera liberalnya sebagai muslim yang nggak mau terikat ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa agama hanya urusan pribadi dan tentunya negara nggak boleh sama sekali menerapkan aturan negara berdasarkan aturan agama untuk ngurus rakyat. Ya, inilah sekularisme, sobat. Berbahaya! Jauhi! [solihin | Twitter @osolihin]

Cinta Tanpa Maksiat 1

Cinta Tanpa Maksiat 1

gaulislam edisi 328/tahun ke-7 (3 Rabiul Tsani 1435 H/ 3 Februari 2014)

Udah deh, nggak usah ditutup-tutupin. Maksiat yang kamu lakukan suatu saat akan terbongkar juga. Nggak usah ngerasa bahwa kamu akan aman-aman saja atas apa yang kamu lakukan selama ini. Allah Ta’ala Mahatahu, lho. Awas, jangan coba-coba berbohong ya. Widiw, ngancem ceritanya nih. Hehehe.. sori, bukan nuduh, tapi sekadar membaca fakta saja. Jadi, kalo kamu nggak ngerasa berbuat salah, ya tulisan ini jangan dimasukkin ke hardisk, eh ke hati. Anggap saja sebagai bahan sentilan buat yang lain. Oke?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ngomongin soal cinta dan juga tentang maksiat, sepertinya hubungannya ama dekat lho. Gimana pun juga, masa remaja emang sedang hot-hotnya dengan perasaan suka terhadap lawan jenis. Rasa suka itu kemudian dirangsang sedemikian hebat melalui tayangan sinetron, lagu, film dan juga acara-acara di televisi lainnya yang memproduksi dan mengemas tentang cinta. Namun, karena tak dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan, akhirnya rasa cinta itu malah diarahkan kepada hal-hal yang maksiat. Misalnya pacaran.

Hah, pacaran itu maksiat? Lho, kamu baru tahu? Jadi, selama ini kamu nggak ngeh bahwa pacaran itu maksiat? Waduh, pantesan banyak yang kirim SMS curhat ke redaksi gaulislam malah minta saran soal pacaran. Wah, apa nggak ngeh kali ya kalo gaulislam di banyak tulisannya selalu menggempur para aktivis pacaran dan mengkampanyekan bahwa pacaran itu pintu gerbang menuju perzinaan. Okelah, mungkin itu pembaca baru gaulislam. Nggak apa-apa, dengan begitu kan gaulislam jadi punya ladang amal untuk terus mengingatkan para remaja tentang pentingnya memahami Islam dan menjauhi hal-hal yang maksiat. Pacaran itu maksiat, jadi harus dijauhi. Setuju? Ayo, yang setuju mana goyangnya, eh, mana suaranya?
Sobat gaulislam, sebelas tahun yang lalu (tahun 2003), saya pernah menulis buku Jangan Nodai Cinta. Buku ini saya tulis duet dengan teman saya. Alasan menulis buku tersebut, karena kami berdua (termasuk pihak penerbit) prihatin dengan banyaknya remaja yang terjerumus ke dalam kemaksiatan dengan alasan memperjuangkan cinta atau setidaknya atas nama cinta. Tahun-tahun itu, memang belum booming penyebaran informasi via facebook dan twitter, sehingga penyebaran promosi buku itu lebih banyak melalui majalah dan juga koran plus mengadakan acara di berbagai tempat. Saya dan kawan saya sempat berkeliling dari satu kota ke kota lain yang disponsori penerbit untuk mempromosikan buku Jangan Nodai Cinta, sekaligus sebagai bagian dari aktivitas dakwah agar para remaja paham apa itu cinta dan bagaimana mengekspresikannya. Alhamdulillah, meski tak disebar via jejaring sosial, saat itu buku kami terjual lebih dari 45 ribu eksemplar. Sebuah pencapaian yang wajib kami syukuri. Bahkan di tahun 2009 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia dan diterbitkan di Malaysia. Alhamdulillah. Semoga ada jejak kami yang masih tertinggal dalam ingatan para pembaca dan menularkannya kembali kepada yang lain, terutama kepada para remaja saat ini.

Ngomongin soal cinta bagi remaja seperti tak pernah ada habisnya. Saya menyadari juga ketika memutuskan menerbitkan buletin gaulislam bersama kawan-kawan bahwa tema remaja itu pasti “itu-itu saja”, khususnya soal pergaulan dan cinta di kalangan remaja. Tetapi alhamdulillah saya dan kawan-kawan nggak pernah bosan karena pembaca buletin ini terus berganti dari generasi ke generasi. Selain itu, selama kapitalisme-sekularisme masih menjadi ukuran gaya hidup bagi masyarakat di negeri ini, maka akan selalu ada celah untuk berbuat salah bagi masyarakat, maka gaulislam hadir untuk mengingatkannya. Akan menjadi penjaga Islam. Insya Allah.

Cinta buta membawa petaka
Seorang kenalan menulis status di sebuah grup yang saya ikuti. Dia menulis keprihatinannya soal kasus Asmirandah, selebriti yang kisah cintanya jadi jajanan empuk media massa. Apa isi tulisan yang disampaikan kenalan saya itu? Ini isinya: “Buat para pejuang garda depan Negara Islam Internasional, kasus Asmirandah mungkin hanyalah berita ecek-ecek yang tidak penting banget sih. Tapi mohon maaf, buat saya, itu cukup penting. Paling tidak, ketika mendadak harus jadi ustadz untuk mengisi pengajian majlis taklim, bisa jadi studi kasus. Maklum, majlis taklim kan member-nya rata-rata masih penyuka acara tivi yang begituan. Jadi, ijinkan saya prihatin, ternyata Andah sudah murtad demi pemuda tengik Jonas.”

Saya tulis apa adanya dari status facebook kenalan saya itu. Oya, sebenarnya bukan kenalan biasa. Beliau boleh dibilang guru menulis saya sejak lama. Maksudnya, saya banyak belajar juga dari beliau bagaimana cara menulis hanya dengan membaca tulisan-tulisan beliau. Unik ya? Ya, saya memang penyuka banyak tulisan, tentu saja menyukai juga penulisnya. Nah, beliau merasa gusar dengan fakta kasus Asmirandah yang berbelit-belit seperti itu. Ini awalnya soal cinta, tetapi karena tak dilandasi keimanan yang kokoh akhirnya malah mengorbankan keimanannya. Cinta buta memang membawa petaka. Waspadalah!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Remaja muslim saat ini juga banyak lho yang pacaran. Bahkan tak sedikit dari mereka sebenarnya sekolah di sekolah berlabel Islam. Alasan  mereka yang pacaran adalah karena cinta harus diekspresikan sebagaimana contoh yang mereka lihat di banyak tayangan televisi dan di kehidupan nyata masyarakat sekular. Kalo ekspresi cinta yang dilihat di tayangan televisi ya umumnya ekspresi yang salah. Pacaran kan dosa. Itu maksiat, Bro en Sis. Apa? Kamu nggak setuju? Apa kamu rela membiarkan dirimu dan banyak remaja lainnya terjerumus makin dalam di jurang kenistaan? Miris!

Hati-hati jebakan setan
Jebakan setan ada pada komunikasi dengan lawan jenis yang kebablasan. Bercanda awalnya, tetapi akhirnya menjadi kebiasaan dan akrab. Waspadalah! Tentu, yang dimaksud “lawan jenis” di sini adalah dengan yang bukan mahrom. Sebab, banyak pria-wanita saling menyuka awalnya dari bercanda, via SMS misalnya. Maka, waspadalah berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Jika harus berinteraksi, maka seperlunya saja sesuai kebutuhan. Jangan berlebihan.

Sobat gaulislam, komunikasi dan pertemuan yang tidak perlu antar lawan jenis yang bukan mahrom harus dijauhi. Jangan saling memberi peluang dengan alasan dakwah. Hati-hati! Sebab, mereka yang berkomunikasi secara intens dengan lawan jenis bisa saja tidak melakukan pacaran, tetapi jika isi komunikasinya sangat akrab, itu mengundang bahaya. Bukankah sudah banyak contoh buruk akibat pergaulan bebas antar lawan jenis bukan mahrom berawal dari komunikasi yang ‘nyerempet-nyerempet’ dan nggak perlu? Contohnya nih saling kirim SMS, “Eh, kamu sama aku kelihatannya cocok deh. Mungkin kalo kita nanti jadi suami-istri bisa bahagia. Hahaha….”. Atau isi SMS lainnya yang dikirim seorang ikhwan ke seorang akhwat sesama aktivis rohis, “Eh, apa bener ada anak rohis yang naksir aku?” Waduh, ini jelas interaksi yang kebablasan. Nggak boleh tuh!

Suatu ketika saya pernah menasihati seorang kenalan yang ngobrol dengan seorang teman perempuannya dengan begitu akrab di suatu tempat. Nasihat saya sederhana saja, meminta dia jangan bekhalwat alias berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Bener lho. Hati-hati, itu jebakan setan!
Suatu waktu saya juga sempat memergoki dua anak SMA (laki-perempuan sedang berduaan di anak tangga sebuah warnet). Saya katakan bahwa itu kemasiatan. Kedua anak SMA laki-perempuan berkerudung nampaknya kaget dan malu dan dia minta maaf ke saya. Saya jelaskan, bahwa tak perlu meminta maaf kepada saya karena yang harus kalian lakukan adalah memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan tak mengulangi perbuatan itu lagi. Waspadalah Bro en Sis, jebakan setan memang banyak ragamnya. Kuatkan iman kita.
Nah, masalahnya nih, menunggu remaja untuk sadar bahwa tindakan maksiat itu berbuah dosa dan petaka memang agak sulit, maka harus ada pihak yang mengingatkan dan menegurnya. Jika itu terjadi dalam sebuah komunitas atau institusi maka wajib ada teguran, peringatan hingga hukuman. Untuk apa adanya teguran dan hukuman? Tentu saja untuk menegakkan syariat Islam agar bisa menyelematkan kita semua.

Cinta itu fitrah
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, “Semua orang yang berakal sehat menyadari bahwa kenikmatan dan kelezatan yang diperoleh dari sesuatu yang dicintai, bergantung kepada kekuatan dorongan cintanya. Jika dorongan cintanya sangat kuat, kenikmatan yang diperoleh ketika mendapatkan yang dicintainya tersebut lebih sempurna.”

Ibnu Abbas berkata bahwa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk surga kecuali ia bersabar dan bersikap iffah karena Allah dan menyimpan cintanya karena Allah. Dan, ini tidak akan terjadi kecuali bila ia mampu menahan perasaannya kepada ma’syuq-nya (kepada orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut kepadaNya, dan ridha denganNya. Orang seperti ini yang paling berhak mendapat derajat yang disebutkan oleh Allah Ta;ala dalam al-Quran: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS an-Naazi’aat [79]: 40-41)

Tuh, catet! Maka, jangan coba-coba nekat mengekspresikan cinta di jalan yang salah, sebab cinta itu fitrah. Jika memang cinta karena Allah Ta’ala, maka kita tak akan berbuat maksiat dalam mengekspresikan cinta kita kepada lawan jenis. So, jauhi pacaran! Oya, insya Allah pekan depan kita bahas busuknya budaya jahiliyah bernama Valentine’s Day. Nantikan! [solihin | twitter @osolihin]

Ingat! Pacaran Itu Berbahaya

Ingat! Pacaran Itu Berbahaya

gaulislam edisi 331/tahun ke-7 (24 Rabiul Tsani 1435 H/ 24 Februari 2014)

Remaja mana yang tak pernah mendengar istilah pacaran? Mulai remaja perkotaan hingga pelosok desa, pasti pernah mendengar istilah ini. Tak peduli apakah ia bersekolah di sekolah umum yang serba bebas hingga pesantren yang identik dengan dunianya yang serba ketat dan terbatas. Semua pasti pernah mendengar istilah ini. Termasuk mungkin kamu yang saat ini baru membaca buletin gaulislam ini.
Lalu, dari sekian banyak remaja yang pernah mendengar istilah pacaran ini, berapa banyak sih yang ikut ‘ambil bagian’ di dalamnya? Baik itu para ‘eksekutor’ lapangan hingga simpatisannya? Jumlahnya ternyata banyak sekali alias mayoritas. Tapi mudah-mudahan, kamu bukan termasuk di dalamnya ya.
Sobat gaulislam, mungkin kamu bertanya-tanya, maksud eksekutor dan simpatisan pacaran itu apaan? Kok pacaran saja ada eksekutor dan simpatisannya? Bukankah eksekutor itu semacam algojo yang memenggal leher orang? Sedangkan simpatisan itu kan biasanya ada ketika musim pemilu.

Ah, sebenarnya itu hanya istilah saya saja. Eksekutor itu tepatnya pelaku utama pacaran. Dua orang yang katanya sedang dilanda cinta, dan menyalurkan cintanya tidak pada tempat dan waktu yang tepat. Disalurkan dengan rayu-rayuan, gandeng-gandengan, cipika-cipiki, hingga hubungan intim layaknya suami istri. Padahal mereka belum menikah. Naudzubillah.

Sedangkan simpatisan adalah mereka yang tidak sedang aktif melakukan pacaran karena berbagai sebab. Misalnya karena tidak laku, sudah menikah, dilarang ortu, dan lain sebagainya. Tapi mereka ini keukeuh sekali dalam menyebarkan dan mensosialisasikan ‘doktrin’ pacaran. Para simpatisan ini bisa berasal dari berbagai kalangan dan usia. Misalnya saja, guru, teman, bahkan kadang dari orang terdekat kita semisal saudara dan orang tua.

Maka berhati-hatilah. Eksekutor dan simpatisan pacaran ini, selain saat ini mayoritas, mereka juga menyebar alias ada di mana-mana. Bisa di sekolah, di kampus, di tempat kerja, di hotel, di kafe, di taman kota, di ladang, di balik rimbunnya pohon pisang. Halah!
Yang jelas, mereka bisa saja berada sangat dekat denganmu. Bisa sahabatmu hingga saudara dan orang tuamu. Mereka bisa saja makan satu meja denganmu. Tapi dari lisan mereka keluar berbagai pertanyaan, pernyataan, dan ajakan yang menggiring ke arah perbuatan nista bernama pacaran ini. Misalnya; “segede ini kok masih jomblo?” Atau “Kami khawatir kamu jadi perawan tua.” Atau “sebenarnya banyak yang naksir kamu.” Atau mungkin “Aku tak tega melihatmu sendiri. Jadilah pacarku.”

Beuh! Lihatlah, pertanyaan, pernyataan, dan ajakan itu seolah menebarkan aroma yang harum semerbak. Seolah menggambarkan simpati, kepedulian, dan perhatian. Padahal ketahuilah kawan, semuanya itu sejatinya hanyalah sampah belaka. Sampah beracun nan berbahaya yang jika engkau tergoda menelannya mentah-mentah, maka jalan hidupmu akan terseok-seok dalam sebuah jalan yang hina. Yang pada akhirnya akan menuntunmu dalam jurang kehancuran dan penyesalan yang dalam.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra: 32)
Mungkin akan ada yang berkilah bahwa pacaran itu bukanlah zina. Oke. Tetapi coba kita renungkan, akankah dua orang insan akan jatuh pada zina seandainya mereka tidak pacaran? Akankah mereka akan jatuh pada perbuatan zina jika sebelumnya mereka jarang bertemu, tidak pernah bersentuhan, tidak pernah saling merayu, juga tidak pernah saling peluk dan cium? Jawabannya tidak.
Maka berdasarkan ayat di atas, maka pacaran memang bukan zina, tapi ia lebih ke arah perbuatan mendekati zina. Dan sebagaimana Allah melarang zina, Dia juga melarang manusia dari perbuatan mendekati zina alias pacaran ini. Boleh dikata, pacaran adalah pintu gerbang menuju zina.

Mengapa tetap pacaran?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Namun sayang beribu sayang, meskipun Allah telah melarang manusia dari pacaran dan melakukan zina, akan tetapi masih saja banyak yang ‘doyan’ melakukannya. Menganggap segala larangan dan ancaman dari Allah sebagai angin lalu saja. Seolah-olah mereka tidak pernah mendengar larangan berpacaran ini sebelumnya.

Okelah, mungkin bisa dimaklumi seandainya yang melakukan pacaran adalah mereka yang tidak tahu bahwa pacaran itu haram. Tidak pernah mendapatkan informasi bahwa Allah melarang perbuatan ini. Namun akan sangat disayangkan jika yang melakukannya adalah mereka para remaja muslim yang pernah mendengar perihal larangan mendekati zina ini. Masihkah ada di hatinya rasa takut pada Allah Ta’ala? Ataukah mereka tidak sadar bahwa perbuatan ini tak ubahnya sebagai bentuk pembangkangan terhadap Pencipta mereka?
Mari kita ambil sebuah perumpamaan. Taruhlah misalnya ayah kita melarang kita merokok. Namun perintah itu malah kita abaikan. Kita malah merokok dan mengembuskan asapnya tepat di wajah ayah kita itu. Maka apa maknanya itu?

Maknanya adalah, kita menganggap adanya ayah kita sama dengan tidak adanya. Itu juga salah satu bentuk pembangkangan. Seolah-olah kita berkata pada ayah kita, “Siapa loe? Berani nglarang gue.”
Begitu pula dengan larangan Allah. Ketika Allah Ta’ala sudah melarang sesuatu dan kita tetap melakukannya, maka itu sama artinya kita menyepelekan Allah. Menganggapnya tidak ada. Atau menganggapnya ada tapi sengaja membangkang pada-Nya. Maka kalau sudah seperti ini, apa bedanya kita dengan iblis laknatullah alaih?

Padahal, Allah Ta’ala menurunkan Islam ini bukanlah untuk membuat susah hidup manusia. Islam ini diturunkan ke bumi sebagai bentuk nyata kecintaaan Allah pada manusia. Jika Allah memerintahkan sesuatu, maka pasti ada kebaikan di balik sesuatu itu. Begitu pula ketika Allah melarang sesuatu, pasti ada suatu bahaya atau hal-hal negatif yang akan terjadi manakala manusia melanggar larangan itu.

Begitu pula dengan pacaran ini. Allah Ta’ala melarang aktivitas ini karena ia menyimpan bahaya. Bahaya yang bisa saja menimpa manusia di dunia, lebih-lebih bahaya yang akan menimpanya ketika di akhirat.
Taruhlah di dunia seorang remaja melakukan pacaran. Maka yang pertama terenggut darinya adalah kesucian dan harga diri. Ia telah membiarkan harga dirinya diacak-acak dengan membiarkan orang asing yang masih bukan siapa-siapanya menyentuh dirinya atau bahkan lebih dari itu. Jika sudah seperti ini, maka ibaratnya, istri atau suami kita yang sesungguhnya kelak hanya akan menerima bekasnya alias sisa-sisanya saja.

Belum lagi ketika terjadi kehamilan di luar nikah. Karena belum ada ikatan pernikahan, maka biasanya rasa tanggung jawab rendah sekali atau bahkan hilang. Akhirnya terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Hal yang pertama terjadi biasanya aib atau cap buruk dari masyarakat. Masyarakat akan memandang seorang perempuan yang hamil di luar nikah adalah perempuan murahan yang hina.

Persoalan akan semakin runyam manakala si pacar yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Banyak kasus hamil di luar nikah yang mana pasangan laki-lakinya memillih kabur. Hilang entah ke mana.
Maka pada akhirnya, banyak perempuan yang memilih jalan menggugurkan kandungannya alias aborsi. Menghancurkan dan mengeluarkan janinnya secara paksa. Membuatnya berakhir di tempat sampah.
Padahal bagaimana pun juga, aborsi ini sama saja dengan membunuh. Menghilangkan nyawa dari makhluk kecil yang tidak tahu apa-apa. Tidak tahu sebab musabab kenapa dia harus dibunuh. Padahal kedua mata mungilnya saja belum sempat terbuka dan memandang dunia ini. Kejam sekali, bukan?

Itu baru contoh bahaya yang yang akan didapatkan di dunia. Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal buruk yang akan didapatkan di dunia. Belum lagi bahaya yang menunggu di akhirat. Melanggar larangan Allah, bukanlah sesuatu hal yang sepele. Allah Maha Adil. Jauh lebih adil dari hakim mana pun di dunia ini. Dia tidak akan melewatkan pelanggaran sekecil apa pun. Akan membalasnya dengan siksa-Nya yang pedih.
Maka sebelum semuanya terlambat, sebelum napas sampai di kerongkongan, ayo tinggalkan perbuatan mendekati zina alias pacaran ini. Sungguh sobat, bahaya atau mudharatnya itu sangatlah besar. Tidak hanya bahaya di dunia, belum lagi bahaya di akhirat.

Sobat gaulislam, bertobatlah segera. Jika saat ini kamu sedang mencintai seseorang dan berpacaran dengannya, maka segeralah menikah dengannya. Atau jika tidak, segera tinggalkan pacarmu itu. Putuskan hubungannya. Mari mendekat pada-Nya. Pasti kamu akan selamat. Selamat di dunia, lebih-lebih lagi selamat di akhirat.

Dan buat kamu yang hingga saat ini belum pernah berpacaran, pertahankan prestasimu itu. Jangan pernah sekalipun tergoda dengan bujuk rayu gombal nan manis. Menjomblo itu jauh lebih baik daripada menjerumuskan diri dalam pacaran. Karena sekali lagi ingatlah, pacaran itu bahaya.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Daripada kamu sibuk dalam persoalan yang hina dan nista itu, sangat baik bila fokuskan jalan hidupmu untuk beribadah dan belajar dengan baik. Tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Jadilah remaja yang shaleh/shalehah yang penuh dengan taburan prestasi. Baik itu prestasi di sekolah, maupun prestasi ibadah kepada Allah. Jika kamu bisa menjalaninya dengan benar dan baik, insya Allah kamu akan mendapatkan masa depan yang gilang gemilang. Prestasi hebat yang membanggakan. Baik itu masa depan di dunia maupun masa depan di akhirat. Oke? Siap! [Farid Ab | fardmedia.blogspot.com]