Friday, August 12, 2011

Kehancuran Peradaban Barat

Kehancuran Peradaban Barat



Sejumlah ujian keimanan dan kesabaran kembali dialami umat Islam akhir-akhir ini, khususnya di sejumlah negara Barat seperti Inggris, Denmark, Swiss, Jerman, Prancis, Kanada, Belanda dan—tentu saja tak ketinggalan—Amerika Serikat. Selain pelecehan dan diskriminasi terhadap kaum Muslim oleh pemerintahan negara-negara Barat yang memang sudah lama berlangsung, paling tidak, ada tiga bentuk ujian lain yang akhir-akhir ini diterima umat Islam di sana.

1. Pelarangan cadar/hijab/burqa.

Di Prancis, pelarangan penggunaan cadar/hijab/burqa tinggal selangkah lagi. Prancis telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadikan penggunaan cadar (penutup wajah) di tempat umum sebagai sebuah bentuk pelanggaran, dengan ancaman denda sebesar 750 Euro, atau sekitar Rp 9 juta (Kantor Berita HT, 9/1/10).

Warga Muslimah Prancis yang bercadar banyak yang mengeluh atas tekanan pemerintah yang terus-menerus dilakukan kepada mereka. Mereka merasa keberadaan mereka sebagai warga negara tak diakui dan cenderung dilecehkan (Eramuslim, 15/7/09).

Sebelum Prancis, Jerman ‘lebih maju’ lagi. Tahun 2007, Pengadilan administratif Jerman mengesahkan larangan mengenakan jilbab di wilayah North Rhine-Westphalia. Sebelumnya, pengadilan yang sama juga memutuskan untuk mendukung larangan berjilbab. Dari 16 negara bagian di Jerman, delapan negara bagian menyatakan melarang jilbab (Eramuslim, 15/8/2007).

Pada tahun 2007 pula, Pemerintah Kanada mengajukan proposal undang-undang berisi larangan Muslimah mencoblos dalam bilik suara Pemilu jika mengenakan cadar/burqa (Eramuslim, 29/10/07).

Pemerintah Denmark baru-baru ini juga telah memutuskan membentuk sebuah komite untuk mengkaji fenomena cadar/burqa setelah adanya tuntutan dari kelompok konservatif di pemerintah Denmark yang mendesak adanya pelarangan penuh bagi Muslimah yang mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuh di tempat umum (Eramuslim, 19/1/10).

Di Belanda, tahun 2008 lalu, Kementerian Pendidikan Belanda pun mengajukan usulan kepada Parlemen agar memberlakukan larangan total terhadap cadar/burqa, baik di dalam maupun di luar sekolah. Pemerintah Belanda sendiri telah menyiapkan aturan berbusana di Negeri Kincir Angin itu dan akan melarang cadar di seluruh kantor kementeriannya (Eramuslim, 9/9/08).

2. Pelarangan menara masjid.

Lebih dari 57 persen pemilih Swiss beberapa waktu lalu (29/11) telah menyetujui adanya pelarangan pembangunan menara masjid. Swiss People’s Party (SVP), partai terbesar di Swiss, telah memaksa rakyat Swiss untuk melakukan referendum (pemungutan suara). Menjelang referendum, sebuah masjid di Jenewa untuk ketiga kalinya dirusak selama kampanye anti-menara masjid, seperti dilaporkan media setempat hari Sabtu lalu (Eramuslim, 13/11/09).

Seperti belum puas, Partai Rakyat Swiss (SVP) juga sedang menyiapkan kampanye-kampanye baru untuk membatasi ruang gerak kaum Muslim di negeri itu. Sejumlah tokoh SVP mengatakan bahwa mereka juga akan mendorong diberlakukannya larangan burqa, jilbab, sunat bagi perempuan dan melarang adanya dispensasi bagi Muslimah dalam pelajaran berenang.

Larangan pembangunan menara masjid di Swiss telah bergema di seluruh Eropa, dengan adanya seruan di Belanda, Belgia dan Italia untuk melakukan referendum yang sama untuk melarang simbol-simbol Islam. Di Belgia kelompok sayap kanan Vlaams Belang mengatakan akan menyerahkan keputusan kepada DPRD Flemish untuk melarang menara-menara di negeri itu. Di Italia Liga Utara yang anti-imigran juga menyerukan larangan yang sama (Eramuslim, 1/12/09).

3. Penggeledahan warga Muslim.

Setelah serangan bom bunuh diri di Yaman yang menewaskan sejumlah anggota badan intelijen Amerika Serikat (AS), AS kembali bersikap paranoid. Kini penumpang pesawat terbang yang berasal 14 negara yang diduga ’sumber teroris’ bakal diperiksa lebih ketat dari penumpang pesawat lainnya. Prosedur yang mulai berlaku efektif pada Senin (4/1) ini juga disebabkan oleh adanya percobaan peledakan pada Hari Raya Natal lalu. Saat itu seorang pria Nigeria bernama Abdulmutallab yang mengaku anggota kelompok Al-Qaeda berusaha meledakkan pesawat AS yang tengah menuju Detroit.

Dampaknya, penumpang yang berasal dari negara yang dianggap oleh AS sebagai ’sponsor terorisme’ seperti Iran, Sudan, Suriah, Afghanistan, Algeria, Irak, Libanon, Libia, Nigeria, Pakistan, Arab Saudi, Somalia dan Yaman bakal menjalani proses pemindaian yang ekstraketat. Hampir semua negara yang dicurigai itu merupakan negara Muslim. Para penumpang tersebut akan digeledah, tas mereka diperiksa dan tubuh mereka dipindai untuk mendeteksi adanya bahan yang mungkin dapat menjadi bahan peledak. (Media Indonesia, 4/1/2010).

Front Kedua Penasihat antiterorisme Obama, John Brennan, memperingatkan. “Saya bukan ingin mengatakan bahwa AS membuka front kedua. Ini adalah tindak lanjut dari upaya yang tengah berjalan sejak dimulainya pemerintahan Obama,” ujar Brennan (Koran Jakarta, 5/1/2010).

Bandara Heathrow di London, Inggris, juga memberlakukan pemeriksaan penumpang yang meliputi skrining seluruh badan sebelum penumpang naik ke atas pesawat. Selain AS dan Inggris, Belanda sudah lebih dulu menggunakan alat semacam “scanner” yang digunakan untuk memeriksa tubuh manusia bagi para penumpang dari Bandara Schipol, Amsterdam yang menuju AS (Eramuslim, 4/1/10).

Sinyal Kebangkrutan Peradaban Barat

Beberapa fakta di atas sesungguhnya menjelaskan beberapa hal. Pertama: sinyal kebangkrutan peradaban Barat. Barat menghadapi gelombang kebangkitan Islam—yang antara lain ditunjukkan dengan banyaknya warga Barat yang masuk Islam, menjamurnya pemakaian jilbab dan cadar, serta berdirinya banyak masjid—dengan amat kalap dan membabi-buta. Barat tidak sadar, bahwa dengan itu mereka sesungguhnya sedang menistakan peradaban mereka sendiri, yakni demokrasi, HAM dan kebebasan yang selama ini mereka agung-agungkan. Jelas, ini menjadi salah satu sinyal kebangkrutan peradaban mereka.

Kedua: Omong-kosong demokrasi, HAM dan kebebasan. Barat jelas-jelas mengingkari ajaran sekaligus prinsip hidup mereka sendiri, yakni demokrasi, HAM dan kebebasan. Buktinya, selain dalam kasus-kasus di atas, Barat sudah sering bertindak diskriminatif terhadap warga Muslim dengan terus berupaya menghambat kebebasan warga Muslim untuk mengekspresikan ajaran agamanya. Jelas pula, bahwa demokrasi, HAM dan kebebasan Barat hanyalah bualan belaka.

Ketiga: Sikap Barat di atas bukanlah sekadar pelarangan menara atau jilbab/burqa, tetapi bentuk nyata dari pertarungan peradaban (clash of civilization). Hal ini tampak nyata dari alasan-alasan yang dikemukan oleh pihak-pihak yang menolak menara masjid atau jilbab/burqa. Intinya, yang mereka tolak adalah ajaran Islam yang memang merupakan sebuah ideologi dengan sistem hukum yang didasarkan pada akidah Islam. Di Swiss, misalnya, pendukung pelarangan menara itu menyebut pembangunan menara akan mencerminkan pertumbuhan sebuah ideologi dan sistem hukum yang tidak sejalan dengan demokrasi Barat.

Keempat: lebih dari sekadar pertarungan peradaban, permusuhan adalah sikap Barat yang sebenarnya terhadap Islam dan kaum Muslim. Bahkan permusuhan Barat terhadap Islam dan kaum Muslim sangatlah keras. Fakta pelarangan jilbab/burqa dan menara masjid serta penggeledahan warga Muslim hanyalah secuil buktinya. Selama ini sikap permusuhan yang jauh lebih keras dan biadab terhadap Islam dan kaum Muslim sesungguhnya telah mereka pamerkan kepada dunia dengan penuh kecongkakan. Pelecehan terhadap Baginda Nabi saw. dalam bentuk kartun di Denmark, pembuatan film ‘Fitna’ yang melecehkan jihad di Belanda, penistaan al-Quran di Penjara Guantanamo, dll adalah di antara bentuk permusuhan mereka yang tidak bisa dianggap kecil.

Lebih dari itu, Perang Melawan Terorisme (Wor on Terorrism) yang nyata-nyata ditujukan terhadap umat Islam di berbagai negara yang telah menewaskan jutaan Muslim, khususnya di Irak dan Afganistan, adalah bukti lain tentang betapa kerasnya permusuhan Barat kafir tehadap Islam dan kaum Muslim. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:

«قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ»

Telah tampak kebencian dari lisan-lisan mereka (orang-orang kafir) dan apa yang tersembunyi di dalam dada mereka adalah lebih besar lagi (QS Ali Imran [3]: 118).

Allah SWT juga berfirman:

«وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ»

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka (QS al-Baqarah [2]: 120).

Sikap Umat Islam

Memperhatikan seluruh fakta di atas, umat Islam sudah seharusnya menyadari sejumlah hal di antaranya: Pertama, Barat kafir penjajah sesungguhnya tidak akan pernah berhenti memusuhi Islam dan umatnya. Apa yang mereka serukan ke tengah-tengah kaum Muslim seperti demokrasi, HAM, kebebasan, dialog antarperadaban Barat-Islam dll hanyalah omong-kosong belaka. Pasalnya, semua yang mereka serukan itu terbukti bertentangan dengan sikap mereka yang sebenarnya, sebagaimana terungkap di atas. Semua itu hanyalah tipuan agar kaum Muslim mau menerima nilai dan ajaran mereka.

Kedua, Islam dan umatnya akan tetap mengalami pelecehan, penistaan bahkan ancaman kekerasan dan pembunuhan dari negara-negara Barat kafir penjajah atau negara-negara yang mereka dukung (seperti Israel)—sebagaimana terjadi di Irak, Afganistan dan Palestina—selama Islam dan umatnya tidak memiliki pelindung, yakni sebuah institusi negara yang mempersatukan mereka di seluruh dunia. Itulah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Khilafahlah pemersatu dan pelindung umat dari segala ancaman, termasuk dari penjajahan Barat. Itulah yang diisyaratkan oleh Baginda Nabi saw. melalui sabdanya:

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan zalim serta melindungi orang-orang Mukmin (HR al-Bukhari dan Muslim)

Khilafah juga akan membebaskan umat dari seluruh persoalan kehidupan mereka dengan menerapkan syariah Islam dalam segala aspeknya. Karena itu, selain kewajiban syariah, perjuangan penegakan Khilafah semakin relevan dan penting untuk membangkitkan umat menuju masa depan yang lebih baik.

Ketiga, semuanya ini merupakan tanda ambruknya peradaban Barat, dan kembalinya kemenangan Islam. Dengan izin Allah, itu tidak akan lama lagi.[]

sumber : http://insantama.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94:kehancuran-peradaban-barat&catid=37:bina-nafsiyah

MENIMBANG IDEOLOGI

MENIMBANG IDEOLOGI
Dengan Nalar dan Fitrah Kemanusiaan
Oleh: Arief B. Iskandar

Pengantar
Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles). Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada situasi dimana ia senantiasa membutuhkan—dan bergantung pada—Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Mahamutlak (Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi, Wâjib al-Wujûd); Dialah Allah Swt.

Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Allah Swt. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah at-tadayyun), yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya, bahkan sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu
.
Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia "tahu diri"; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat ini, ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap: (1) Pengingkaran secara total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang Pencipta (ateisme). Ini tergambar pada manusia yang berpaham materialisme. Materialisme ini kemudian menjadi dasar pijakan ideologi Sosialisme-komunis. (2) Pengingkaran secara "setengah hati" terhadap eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada manusia yang berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi landasan ideologi Kapitalisme-sekular.

Padahal, alhamdulillah, dengan kasih-sayang-Nya, Allah Swt. telah lama—jauh sebelum kelahiran ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular—menurunkan wahyu-Nya kepada manusia untuk membimbing manusia kembali pada fitrahnya, kembali pada jatidirinya yang asli, yakni sebagai makhluk yang serba terbatas dan memiliki—secara built-in—religiusitas dalam dirinya. Wahyu itu tidak lain adalah Islam, yang akidahnya mengajari manusia untuk meyakini secara total dan sepenuh hati eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Akidah inilah yang kemudian menjadi basis ideologi Islam sebagai satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia.
Tulisan berikut tidak lain ingin membuktikan kembali "klaim" di atas—yakni bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi rasional dan sesuai dengan fitrah manusia—dengan cara membandingkan ketiga ideologi di atas, yakni Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam; melalui perspektif yang paling mendasar: akidah.

Realitas Ideologi

Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam. Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam.

Realitas Akidah Materialisme, Sekularisme, dan Islam

1. Materialisme.

Materialisme adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan materi belaka; materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk). Dalam perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik (Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, "Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya." (Vladimir Ilich, 1870-1924).

Oleh karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah ateis (mengingkari Tuhan). Bahkan, penganut akidah ini memandang bahwa keyakinan terhadap Tuhan (agama) adalah berbahaya bagi kehidupan. Dalam bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan "minuman keras" spiritual. Dalam manifesto politiknya, Lenin secara ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan spiritual yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972: 83-87).
Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan, bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia, alam, dan sarana kehidupan (alat-alat produksi). Dari sini muncullah ideologi Sosialisme-komunis, yang didasarkan pada akidah materialisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas manusia yang telah diingkarinya.

2. Sekularisme.

Sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang menetralkan (baca: memisahkan) agama dari kehidupan.
Secara historis, sekularisme merupakan akidah "jalan tengah" yang lahir pada Abad Pertengahan, sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka (dengan mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan yang menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam kehidupan. Dengan demikian, para penganut sekularisme sebetulnya tidak mengingkari Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar Tuhan (agama) tidak mengatur kehidupan mereka.

Pengingkaran terhadap otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah pandangan bahwa manusialah—melalui mekanisme demokrasi—yang berwenang secara mutlak untuk mengatur kehidupannya sendiri secara bebas, tanpa campur tangan Tuhan (agama). Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme-sekular, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek agama yang telah mereka singkirkan dari kehidupan.

3. Islam.

Islam adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia, dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia. Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah Swt.
Keyakinan terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam, yang juga berisi seperangkat aturan dalam berbagai aspek kehidupan manusia; termasuk yang menyangkut aspek religiusitas dan spiritualitas manusia, atau yang menyangkut agama.

Menimbang Ideologi Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam

Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia? Jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Sosialisme-komunis.

Dalam perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi ini jelas tidak rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang ada di dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas. Itulah Pencipta, Tuhan. (b) Manusia dan alam semesta memiliki keseimbangan, keteraturan, harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang semua itu tidak mungkin terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang menciptakan dan mengendalikannya.

Adapun secara fitrah, ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa dalam diri manusia ada naluri beragama (religiusitas), yang mendorongnya selalu cenderung untuk melakukan pengagungan/pemujaan kepada Zat Yang lebih tinggi dari dirinya; baik mereka akui atau tidak; baik yang mereka agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya atau "Tuhan" palsu. Pada faktanya, orang-orang ateis hanya mengalihkan pengagungan itu—yang seharusnya kepada Tuhan—menjadi kepada manusia.

2. Kapitalisme-sekular.

Dalam tinjauan nalar, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur manusia adalah juga tidak rasional. Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni Allah Swt. Apabila manusia tidak memahami hakikat dirinya sendiri, apalagi membuat aturan yang terbaik bagi dirinya. (b) Tuhan—dalam hal ini Allah Swt.—telah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui utusan (Rasul)-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Secara rasional, al-Quran dapat dibuktikan kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu, menjauhkan otoritas Tuhan Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan manusia adalah tidak rasional.

Adapun secara fitrah, manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri peraturan bagi kehidupannya, terbukti melahirkan banyak perbedaan, pertentangan, bahkan konflik. Peraturan yang dibuat juga sering berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu manusia. Lebih dari itu, fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, menciptakan banyak kerusakan, dan menimbulkan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada rakyat melalui mekanisme demokrasi.

3. Islam.
Dalam perspektif akal, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia adalah rasional. Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah Swt. itu ada, akal pun dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa. (b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.

Adapun secara fitrah, pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur manusia sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah; yang menjadikannya butuh pada yang lain. Keserbaterbatasan, keserbakurangan, dan keserbalemahan manusia ini pada faktanya membuktikan bahwa manusia membutuhkan berbagai peraturan bagi kehidupannya yang tidak berasal dari dirinya, tetapi bersumber dari al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.

Kesimpulan

Walhasil, dari paparan di atas, secara nalar (rasio, akal) maupun fitrah, juga berdasarkan realitas sejarah manusia, terbukti bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebaliknya, Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular adalah ideologi yang tidak rasional dan bertentangan dengan fitrah manusia; di samping terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak ekses negatif, kerusakan, dan kekacauan
.
Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah), yang memang telah sesuai dengan fitrah manusia, dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan kehidupan umat manusia. Keengganan manusia untuk diatur dengan aturan-aturan Allah hanyalah merupakan bukti kesombongan, kelancangan, dan kekurangajaran dirinya di hadapan Penciptanya, Allah Swt., Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu. Jika kita tetap bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan manusia dan tetap enggan diatur dengan aturan-aturan Allah, layaklah kita merenungkan kembali firman Allah Swt. berikut:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).

Ya, sekali ini kita patut merenungkan: Adakah hukum/aturan yang lebih baik dibandingkan dengan hukum/aturan-aturan Allah?! Apakah hukum/aturan-aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular—yang notabene buatan manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah—yang lebih baik ataukah hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!

Lalu mengapa kita tetap betah berkubang dalam sistem/aturan yang berasal dari Kapitalisme-sekular yang terbukti buruk ini dan tidak segera beranjak menuju sistem/aturan yang bersumber dari ideologi Islam sebagai ideologi penebar rahmat?! Telah butakah mata dan kalbu kita?! Na`ûdzu billah mindzâlik! []

Daftar Bacaan:

`Abduh, Ghanim, 1963, Naqd al-Isytirâkiyah al-Marksiyah, t.p., Al-Quds.
Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, Darul Bayariq, Beirut.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhâm al-Islâm, t.p., al-Quds.
Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al-Fikr al- Islâmi, t.p, Kairo.
Lenin, Collected Works, Progress Publishers, Moscow, 1972. Cet. ke-3.

http://www.globalmuslim.web.id/p/our-link.html

Kesejahteraan dalam Islam

Kesejahteraan dalam Islam

Kesejahteraan dalam pandangan Islam bukan hanya dinilai dengan ukuran material saja; tetapi juga dinilai dengan ukuran non-material; seperti, terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial.
Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria: Pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat; baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya. Kedua, terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.
Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya buah sistem ekonomi semata; melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial.
Allah Swt telah menjadikan agama ini sebagai dînul kâmil, agama yang sempurna. Syariahnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, sosial, maupun budaya. Bila syariah diterapkan secara kaffah oleh Daulah Khilafah, niscaya kesejahteraan hakiki, akan terwujud dalam kehidupan ini.

Pandangan Normatif
Syariah Islam memberikan tugas yang berbeda kepada individu, negara dan jamaah agar mereka berperan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan.

a. Tugas Individu.
Setiap Muslim didorong untuk mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada dirinya—tubuh, akal, waktu dan usia—yang merupakan anugerah Allah SWT. Setiap individu didorong agar menggunakan kaidah kausalitas untuk mewujudkan kesejahteraannya. Agar tercukupi kebutuhannya, setiap lelaki dewasa diwajibkan bekerja. Setiap orang wajib memperhatikan siapa saja keluarga dan kerabatnya yang menjadi tanggungannya. Negara dapat melakukan intervensi ketika ada seseorang yang terlantar, padahal ada anggota keluarganya yang berada.

b. Tugas Negara.
Negara adalah pihak berperan besar dalam mewujudkan kesejahteraan; di samping individu dan masyarakat. Dengan mengacu pada ketentuan syariah, Daulah Khilafah akan menerapkan berbagai kebijakan politik, untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Di antaranya adalah:
1. Politik kesehatan preventif. Negara akan memberikan fasilitas kesehatan gratis, yang dekat dengan rakyat, dan mempopulerkan gaya hidup sehat. Maka, kesehatan tak lagi menjadi barang langka, yang hanya dinikmati oleh mereka yang kaya.
2. Politik pendidikan terbuka. Pendidikan bebas biaya, disediakan bagi seluruh warga nagara. Negara menerapkan sistem pendidikan islami, yang berkualitas tinggi. Mencetak generasi berkepribadian Islami, yang menguasai staqafah, saint, dan teknologi. Dengan demikian, negara akan memiliki banyak sumberdaya manusia handal, yang siap membangun peradaban Islam nan gemilang.
3. Politik ketahanan pangan. Negara akan menerapkan kebijakan politik pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan; yang dapat mewujudkan ketahanan pangan. Para petani pun didorong dan difasilitasi, agar dapat menjalankan usaha, secara aktif dan produktif. Dengan demikian, kebutuhan pangan dalam negeri, dapat dipenuhi secara mandiri, tanpa bergantung dengan luar negeri.
4. Politik akses pasar terbuka. Negara menciptakan iklim yang kondusif dan fair, untuk menumbuhkan bakat-bakat bisnis di tengah masyarakat. Akses pasar akan dibuka seluas-luasnya, tanpa distorsi dan barier, untuk semua warga negara sehingga kegiatan perekonmian akan sangat dinamis.
5. Politik stabilitas alat tukar. Negara akan menerapkan mata uang berbasis emas dan perak, yang tahan dari guncangan nilai tukar dan inflasi. Dengan standart mata uang ini, kondisi ekonomi negara akan lebih stabil, kekayaan masyarakat dapat terlindungi, dan hegemoni mata uang asing dapat dihindari.
6. Politik anti-distorsi-pasar. Negara menjaga agar tidak ada distorsi dalam pasar. Untuk itu, negara akan membangun infrastruktur informasi yang memadai. Negara juga membuat pasar, yang bebas monopoli, kecuali monopoli negara untuk barang milik publik; juga bebas riba, bebas penipuan, dan perjudian.
7. Politik pembangunan industri berat. Negara akan membangun industri baja, industri persenjataan canggih, dan industri mesin-mesin produksi, serta transportasi berteknologi tinggi. Kebijakan ini tak lain, untuk menjadikan Daulah Khilafah, negara yang kuat, di bidang industri dan militer; sehingga mampu mengungguli kekuatan lawan.
8. Politik infrastruktur distribusi. Negara menjaga agar seluruh distribusi hasil produksi barang dan jasa berjalan lancar. Untuk itu, nagara akan membangun infrastruktur transportasi yang memadai menjangkau seluruh wilayah.
9. Politik perdagangan luar negeri pro-rakyat. Negara menjaga agar barang yang diproduksi di dalam negeri dan dibutuhkan masyarakat tidak diekspor, kecuali bila tersisa. Adapun impor, dibatasi hanya untuk barang-barang, yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, nilai tambah setiap barang dan penciptaan lapangan kerja, akan tetap berada di dalam negeri. Negara berupaya, agar produksi di dalam negeri tetap efisien, sehingga barang-barang dapat tersedia dengan murah dan berkualitas.
10. Politik Sumberdaya Alam. Negara mengelola seluruh sumberdaya alam milik umum, seperti tambang, hutan, dan lautan. Dengan kekayaan alam negeri-negeri Islam yang melimpah, negara akan memperoleh banyak dana, untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya. Negara juga akan mampu merealisasikan politik pemenuhan kebutuhan pokok, bagi setiap individu rakyat, berupa pangan, sandang, dan papan.
11. Politik penegakkan hukum berkeadilan. Negara tidak membedakan-bedakan individu rakyat, dalam aspek hukum, peradilah, maupun jaminan kebutuhan rakyat. Tujuan-tujuan luhur syariah akan diwujudkan, sehingga seluruh warga negara, baik muslim maupun non-muslim, akan terjaga kesucian agamanya. Akan terpelihara keluhuran akhlak dan kehormatannya. Juga akan terjaga, keselamatan harta dan jiwanya.

c. Tugas Jamaah.
Masyarakat sebagai jamaah memiliki dua fungsi. Pertama: untuk terus menghidupkan kultur bekerja keras di masyarakat. Kedua: untuk mengawasi agar pemerintahan tetap menerapkan syariah Islam yang menjamin pemenuhan kesejahteraan di masyarakat. []

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/14/kesejahteraan-dalam-islam/

Aktivis ************* Tidak Faham Demokrasi

Aktivis ************* Tidak Faham Demokrasi

Diposting pada Senin, 18-07-2011 | 15:47:50 WIB

Saya sangat tertarik ketika membaca tulisan dari seorang ikhwah yang berjudul "Aktivis ***** ****** Tidak Faham Demokrasi". Si penulis dengan panjang lebar menjelaskan (kekeliruan yang dia duga) demokrasi yang oleh para aktivis tersebut salah dalam memahami hakekat tentang demokrasi, ketika para aktivis tersebut mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kufur, dan menurut penulis tersebut bahwa mereka (para aktivis, red) salah dalam memahami hakekat demokrasi, sehingga terburu-buru ketika mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kufur.
Salah satu argumentasi yang penulis tersebut jadikan dasar adalah bahwa dia katakan tidak tepat ketika mengatakan bahwa Demokrasi merupakan buah dari system sekulerisme, karena Demokrasi lahir 600 tahun sebelum kemunculan sekulerisme, jadi tidak masuk akal. Pendapat ini sebenarnya terlihat benar dan masuk akal, namun apakah benar demikian adanya?
Sejarah Kemunculan Ide Demokrasi
Sewaktu duduk di bangku sekolah sejak tentu kita sudah mendapatkan penjelasan umum tentang demokrasi. Yakni sebuah ide yang muncul di Yunani kuno yakni sekitar abad ke 5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Secara kelahiran demokrasi, saya akui memang pada abad ke 5 SM, namun ini demokrasi yang memiliki pengertian bahwa sebuah system pemerintahan dimana yang dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun kemudian, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Atau ketika terjadi nya pertentangan antara para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Sehingga akhirnya munculah jalan tengah yang diambil oleh mereka yakni bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam urusan pemeriantahan atau yang kemudian dikenal dengan sekulerisme.
Nah, dalam ide sekulerisme itulah kemudian akhirnya memuat ide demokrasi dengan definisi yang berbeda, yakni system pemerintahan yang kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat, ini sebenarnya hampir sama dengan definisi sebelumnya yakni system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun definisi sebelumnya tidak setegas definisi yang sekarang, dimana definisi kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat adalah buah dari sekulerisme itu sendiri, ketika kedaulatan berada ditangan rakyat maka itu selaras dengan prinsip dari sekulerisme itu sendiri, itulah kenapa dikatakan bahwa aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.

Jadi ketika saya katakan bahwa demokrasi berasal atau lahir dari rahim ide kufur sekulerisme maka ini adalah demokrasi yang berdefiniskan sebagai sebuah pemerintahan yang kedaulatan dan kekuasaanya berada di tangan rakyat, bukan definisi sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena sebagaimana yang saya kemukakan di atas bahwa arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Artinya, system demokrasi yang dijadikan aturan oleh bebarapa Negara di dunia ini memang demokrasi yang telah mengalami perubahan istilah atau makna. Dan inilah yang dikritik oleh para pejuang Islam.
Sebagaimana yang juga dikatakan oleh Utsman Khalil dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8, beliau berkata :
"Sesungguhnyan egara-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di egara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini."
Atau sebagai mana yang dikatakan olehMuhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : "Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen."
Itulah kenapa, ketika kami mengkritisi demokrasi, kami selalu juga mendefisikan demokrasi itu sendiri sebagai sebuah system yang kekuasan dan kedaulatan berada di tangan rakyat, yang jelas ini menyalahi akidah seorang yang beragama Islam, dimana kedaulatan itu bukan berada ditangan rakyat,melainkan sang pembuat hokum yakni Allah swt.
Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS. Al An'aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai'at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah." (HR. Muslim)
Demokrasi Memiliki Makna Yang Khas
Sebagai sebuah ide asing yang datangnya bukan dari Islam, Demokrasi memiliki makna yang khas, yakni tentang pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan itu sendiri. Dewasa ini ketika kita berdiskusi tentang demokrasi maka bukan lagi membahas system pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, namun lebih ke arah pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan itu sendiri.
Nah, ketika demokrasi kita sepakati adalah sebuah ide yang memiliki makna yang khas,maka kita tidak boleh keluar dari makna itu.
Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),'Raa'ina', tetapi katakanlah `Unzhurna' dan `dengarlah'. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih." (QS Al Baqarah : 104)
"Raa'ina" artinya adalah "sudilah kiranya Anda memperhatikan kami." Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut "Raa'ina", padahal yang mereka katakan adalah "Ru'uunah" yang artinya "kebodohan yang sangat." Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan "Raa'ina" dengan "Unzhurna" yang sama artinya dengan "Raa'ina".
Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan
(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (QS. An-Najm : 3-4)
(2). Aqidah
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS. Al An'aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai'at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah." (HR. Muslim)

(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara', yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
(5). Kebebasan
Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu:
a. Kebebasan beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)
Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara' dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara' bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (QS. An Nisaa': 65)
Banyak para `ulama yang telah membuat buku untuk menunjukan kesalahan ide kufur demokrasi itu sendiri. Diantaranya :
1. Al-Hamlah Al-Amirikiyyah Li Al-Qadha` `Ala Al-Islam, Bab Ad Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1996;
2. Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min Wadh'i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1994;
3. Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair);
4. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura h. 246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir);
5. Qawaid Nizham Al-Hukmi fi Al- Islam (Bab Naqdh Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir);
6. Ad-Dimuqratiyyah fi Dhaw'i as-Syari'ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi;
7. Ad-Dimuqratiyyah wa Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih (ulama Hizbut Tahrir);
8. Ad-Da'wah Ila Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut Tahrir);
9. Syura Bukan Demokrasi (Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi, terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;.
10. Naqdh al-Judzur Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002);
11. Haqiqah Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif (1411 H);
12. Ad-Dimuqrathiyah wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi (1427 H);
13.Ad-Dimuqrathiyah Diin (Agama Demokrasi), karya Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II).
Bahkan, para `ulama lain pun mengkritik konsep demokrasi itu sendiri :
antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri' Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata :
"Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M."
Syaikh Abul A'la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :
"Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan. Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya."
Salah satu `ulama gerakan Islam FIS (Front Islamic du Salut) pengarang buku Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah . di dalam buku itu dengan sangat jelas beliau menggambarkan ide kufur demokrasi. Beliau mengatakab bahwa STANDAR KEBENARAN DEMOKRASI : SUARA MAYORITAS padahal di dalam Islam Kebenaran Tidak Ditentukan Oleh Banyaknya Pelakunya, Tetapi Oleh Dalil-Dalil Syar'i.
Kemudian ada Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : "Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen."
Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
"Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam."
Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :
"Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini."
`Adnan `Aly Ridha An-Nahwy telah mengatakan dalam kitabnya Syura Laa Ad-Dimuqrathiyah halaman 103 :
"Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit. Firman Allah SWT :

"Sesungguhnya (Al-Qur`an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman." (QS.Huud [11] : 17)
selanjutnya `Adnan `Aly Ridha An-Nahwy berkata :
"Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas, sekalipun yang menang tersebut kaum muslimin. Juga, ukuran kebenaran bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut. Islam telah memiliki manhaj rabbani, satunya-satunya pelindung bagi manusia walau dalam keadaan berbeda dan saling silang pendapat."
Bahkan, orang-orang kafir penganut ide demokrasi di dinegara asalnya sana saja tidak meyakini ide kedaulatan demokrasi bisa diterapkan. Coba kita simak penuturan mereka :
Benjamin Constan berkata :
"Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen."
Barchmi berkata :
"Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya."
Dougey berkata :
"Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan."
Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :
"Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar."
Jadi, siapakah yang sebenarnya tidak faham? apaakh para pengusung dan pembela demokrasi itu belum sadar akan fakta dari sistem kufur demokrasi yang di buat olehy manusia tersebut? Wallahu A'lam.

Adi Victoria
Al_ikhwan1924@yahoo.com

http://www.muslimdaily.net/artikel/ringan/7895/aktivis-************tidak-faham-demokrasi

Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Mensejahterakan

Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Mensejahterakan


Oleh: Dr. Muhammad K Sadik (Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Komite Aksi Jaminan Sosial (KJAS) terkait Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Atas putusan tersebut, majelis hakim memerintahkan, RUU BPJS yang kini tengah dibahas di DPR segera disahkan. Selain itu, majelis juga meminta pemerintah segera membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat melakukan penyesuaian terhadap BPJS. Penyesuain tersebut terutama terhadap PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri dan PT Taspen untuk dikelola oleh badan hukum wali amanat dan dinikmati oleh seluruh penduduk Indonesia.
Sementara itu, puluhan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menggelar mimbar rakyat di alun-alun Kota Cimahi, Jumat (15/7). Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU BPJS. Ketua Komisi IV DPRD Kota Cimahi Masrokhan yang juga hadir dalam mimbar tersebut menyatakan dukungannya agar pemerintah segera mengesahkan RUU BPJS tersebut (pikiran-rakyat.com, 15/7).
Jika dicermati, UU SJSN tersebut sebenarnya justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Karena itu berbeda dengan Komite Aksi Jaminan Sosial (KJAS) yang menuntut segera ditetapkannya UU BJPS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui pernyataan persnya justru menuntut pencabutan terhadap UU SJSN tersebut. Karena menurutnya, ada dua fakta penting dalam UU SJSN yang membahayakan masyakarat jika UU ini diterapkan, yaitu:

Pertama, UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, Pasal 5 dan Pasal 17. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.
Mewujudkan Sistem yang Mensejahterakan


Negara-negara kapitalisme dunia seperti Eropa dan AS telah menerapkan jaminan sosial melalui mekanisme asuransi. Menurut ideologi kapitalisme, kalau seluruh rakyat telah mengikuti asuransi maka berarti kondisi sosial mereka (kesehatan, pendidikan, hari tua, dan sebagainya) telah memperoleh jaminan dari negara. Konsep ini tentu saja merugikan rakyat karena sumber pembiayaannya berasal dari mobilisasi dana rakyat sendiri sedangkan negara tidak ikut campur dalam membiayai jaminan sosial tersebut. Pada sisi lain, negara telah membebankan pajak pada rakyat dan sumber daya alamnya dikuras, sehingga rakyat menanggung beban yang sangat berat.


Sistem rusak yang bersumber dari kapitalisme inilah sebenarnya yang menjadi landasan bagi UU SJSN di atas. Perlu dicatat bahwa UU SJSN dan BPJS menganut sistem kepesertaan wajib. Artinya, setiap rakyat wajib menjadi peserta jaminan sosial. Sehingga buruh, petani, nelayan dan kelompok miskin lainnya wajib menjadi peserta SJSN yang harus membayar jaminan sosialnya kepada BPJS. Misalnya untuk buruh, pengusaha wajib memungut dari gaji buruh tersebut untuk dibayarkan kepada BPJS. Karenanya, secara logis semestinya seluruh elemen masyarakat menolak dan menuntut pencabutan terhadap UU SJSN ini, karena UU ini telah ‘melegalkan’ bagi negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Artinya, rakyat akan bertanggung jawab sendiri terhadap kesejahteraannya melalui mekanisme asuransi. Lantas apa peran dan fungsi negara bagi rakyat kalau UU ini jadi diterapkan?


Konsep jaminan sosial dalam sistem kapitalisme di atas berbeda secara diametral dengan konsep jaminan sosial dalam sistem Islam. Menurut pandangan Islam, negara yakni Khilafah Islamiyah wajib menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan (Muslim dan Non-Muslim), disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. Politik ekonomi yang dijalankan oleh Khilafah lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, politik ekonomi Islam tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidupnya.
Disamping itu, kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material saja, namun juga dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Sehingga masyarakat masyarakat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi dua keadaan tersebut, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya, serta terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.


Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya merupakan hasil sistem ekonomi semata, melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah Swt telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat pula dibaca sebagai perjuangan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat. Wallaahua’alam.[]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/22/sistem-jaminan-sosial-yang-tidak-mensejahterakan/

Dibalik skenario penggerebekan Ponpes UBK

BIMA (Arrahmah.com) – Kasus Pondok Pesantren Umar Bin Khattab yang disebut-sebut sebagai pondok “teroris” pada dasarnya adalah skenario para yang telah ditata rapi oleh para mata-mata.

Berawal dari kasus penusukan yang diklaim telah dilakukan oleh santri UBK, padahal pelaku tersebut adalah Mantan santri UBK yang baru keluar tahun 2011 yang melakukan tindakan atas inisiatif sendiri bukan atas perintah orang atau kelompok lain, apalagi instruksi dari elemen ponpes UBK.

Berbekal insiden tersebut, polisi menggunakan dalih untuk memata-matai ponpes UBK yang bermanhaj Dakwah wal Jihad, yang pada dasarnya kegiatan spionase terhadap pondok tersebut telah berlangsung lama.
Hal tersebut terlihat dari bunyi salah satu pernyataan yang dirilis UBK Media yang mengatakan, “Pondok ini sejak dulu hingga peristiwa kejadian yang menewaskan Ust. Firdaus (semoga Allah menerima beliau) merupaka target jasus-jasus (mata-mata, -red) dari kepolisian karena mereka mencurigai pondok ini merupakan sarang “terroris” sehingga hampir setiap hari kami selalu saja di mata-matai oleh puluhan intelejen lokal maupun dari luar Bima”.
Isu penyerangan pondok UBK
Sejak penangkapan pelaku penusukan anggota polisi beredar dan ditahan di Mapolres Kabupaten Bima tepatnya di desa panda kecamatan pali belo, tersebar “kabar” bahwa akan ada penyerangan terhadap pondok pesantren UBK yang akan dilakukan oleh keluarga mantan santri tersebut.
Pihak ponpes UBK memperkirakan bahwa isu tersebut tidak lepas dari campur tangan intelejen.
“tentunya semua ini tidak lepas dari arahan intelejen yang memang sudah sejak lama membenci pondok ini”, demikian pernyataan mereka.
Menanggapi kabar tersebut semua orang yang berada di pondok segera mempersiapkan sesuatu untuk mengantisipasi serangan tersebut. Terlebih lagi pondok UBK terdiri atas santri yang berumur belasan tahun, anak-anak, serta akhwat.

Terkait hal tersebut untuk meminimalisir korban, serentak seluruh simpatisan pondok yang terdiri dari ikhwah-ikhwah lokal berkumpul di pondok UBK dengan tujuan untuk menjaga pondok dari kemungkinan serangan, serta seluruh santri diliburkan, namun ada sebagian yang tetap bertahan di pondok.

Hingga keputusan dibuat dalam rangka mempersiapkan kemungkinan “serangan” yang akan terjadi.

“…yaitu segala jenis senjata tajam yang dimiliki oleh ikhwah dan santri yang selama ini dipersiapkan karena perintah Alloh dalam Qs.08:60 untuk menghadapi kemungkinan serangan kaum kaffir dari pulau NTT yang mayoritas kristen terhadap kaum muslimin di Bima akhirnya dikumpulkan di pondok UBK dengan tujuan mengantisipasi serangan dari keluarga mantan santri tersebut”, jelas rilis UBK Media.

Berbagai senjata tajam juga termasuk satu bom rakitan, dan Molotov dipersiapkan karena isu yang beredar adalah bahwa senjata yang akan digunakan oleh kelompok penyerang adalah senjata api rakitan.

Aparat menggeledah pondok pada saat yang “tepat”
Ketika semua senjata terkumpul dan santri telah bersiap menghadapi segala kemungkinan serangan, terjadilah ledakan yang menewaskan Ust. Firdaus. Saat yang “tepat” itulah polisi menurunkan seluruh anggotanya untuk menggeledah pondok UBK karena mereka mengira bahwa bom yang meledak itu ditujukan untuk mereka.

Namun pihak Ponpes membantah hal tersebut, “kami katakan denga tegas TIDAK BENAR apa yang diperkirakan aparat”.

Belum lagi klaim polisi terkait ditemukan denah, lagi-lagi pihak ponpes UBK membantah klaim tersebut. Dan menegaskan bahwa jika memang pihak UBK berencana menyerang seluruh kantor polsek yang ada di Bima, tentu mereka akan mempersiapkannya dengan terstruktur.

Namun memang pada dasarnya pihak Ponpes UBK tidak pernah berniat untuk menyerang kantor Polsek terlebih tempat wisata yang di klaim aparat kepolisian.

“Kami tidak ingin isti’jal dalam mengambil suatu amalan, buktinnya Ust. Abrori al Ayubi (semoga Alloh membebaskan beliau) menyerahkan diri dengan cara menginformasikan keberasaanya kepada aparat, itu merupakan bentuk tanggung jawab terhadap semua masalah yang terjadi”, jelas rilis UBK Media.

Skenario untuk memojokkan pesantren UBK

Semua skenario, yang diawali dari penusukan anggota polisi oleh “Mantan santri”, yang diikuti oleh isu penyerangan pondok UBK, hingga penggerebekan pada saat yang “tepat”, telah berhasil memberikan polisi alasan untuk memojokkan POnpes UBK.
Hal tersebut terbukti, setelah penggerebekan pun barang bukti yang diklaim polisi adalah barang bukti yang pada dasarnya telah dipersiapkan oleh aparat sendiri.
Barang bukti berupa senjata tajam dan bom Molotov telah dijelaskan bagaimana keberadaannya bisa terdapat dalam ponpes UBK. Tetapi barang bukti bom pipa yang ditemukan di Bukit Batu Pahat yang terdiri dari 12 buah chasing bom pipa ukuran 1,5 inci, 6 chasing bom pipa ukuran 1 inci bentuk L, 3 buah chasing bom pipa ukuran 1,5 inci bentuk L. Serta 5 chasing bom pipa ukuran 1 inci, 10 baterai 9 volt panasonic atau abc, 1 baterai hp nokia, 3 pecahan chasing bom pipa bentuk L, 7 rangkaian kabel listrik 50 cm. Adalah “barang bukti” yang diletakkan oleh aparat sendiri”.
“Mengenai bom pipa yang ditemukan di pegunungan oleh aparat, itu merupakan kebohongan dan lagi-lagi srategi aparat untuk memojokan posisi kami yang tidak ingin dakwah kami tersebar di Bima, jelas-jelas bom pipa itu diletakan oleh aparat sendiri. Sehingga seolah-olah pihak pondok yang merakit dan menyembunyikanya” demikian bantahan ponpes UBK.

Mengaitkan UBK dengan JAT adalah strategi penyebutan UBK dan JAT dengan stigma “teroris”

Skenario tersebut tidak hanya berhenti sampai disitu. Dari barang bukti yang ditemukan polisi, polisi mengklaim keberadaan rompi dan vcd JAT yang ditemukan di pondok UBK adalah salah satu hal yang menjadikan dalih untuk menghubungan keduanya (UBK dan JAT).
Padahal dengan jelas Jubir JAT, Sonhadi pada Jumat (15/7) terkait penemuan VCD deklarasi JAT Bekasi yang ditemukan di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa masyarakat dapat memiliki rekaman video tersebut jika membeli majalah JAT.

“Jadi vcd itu memang bonus,” katanya.

Hal tersebut senada dengan pernyataan dalam rilis UBK Media, “Mengenai klaim polisi bahwa kami terkait denga JAT itu tidak benar, dan tidak bergabung bersama JAT, siapapun bisa membeli majalah JAT yang di temukan di pondok UBK tersebut karena terjual secara inklusif”.

Tampaklah disini bahwa stigma “teroris” pada dasarnya hanya akal-akalan dan skenario “pihak lain” untuk memojokkan kelompok-kelompok tertentu. Tujuannya sudah jelas, yakni untuk membentuk opini masyarakat agar “mewaspadai” kelompok dakwah Islam yang memperjuangkan syariat dan kebangkitan Islam. Hingga harapan kedepannya adalah tindakan represif terhadap “kelompok teroris” tersebut mendapat persetujuan dari masyarakat yang termakan “wacana terorisme”.

Namun siapakah dalang besar dibalik segala skenario tersebut? Tentu saja hal tersebut tak terlepas dari peran musuh Islam yang telah mencabik-cabik kaum Muslimin, siapa lagi kalau bukan Amerika dan sekutunya. Wallohua’lam. (rasularasy/arrahmah.com)

http://arrahmah.com/read/2011/07/21/14161-dibalik-skenario-penggerebekan-ponpes-ubk.html

Baca Juga:
UBK Media: "Bom pipa diletakkan oleh aparat sendiri"
Ponpes UBK Bima rilis pernyataan tentang insiden ledakan
JAT sesalkan sikap polisi yang kaitkan JAT dengan Ponpes Umar Bin Khattab

Anak Dalam Naungan Khilafah Islamiyah

Anak Dalam Naungan Khilafah Islamiyah

Oleh: Lajnah Maslahiyah DPP MHTI

Nasib Anak Indonesia Masih Buruk dan Mengenaskan…..



Anak pemegang estafet kepemimpinan suatu bangsa dimasa mendatang pastilah menjadi asset yang tak ternilai harganya. Baik-buruk suatu bangsa di masa datang ditentukan oleh kualitas anak-anak di masa sekarang. Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk terbesar ke 4 di dunia, memiliki potensi anak-anak yang sangat luar biasa. Secara jumlah, struktur penduduk Indonesia yang berjumlah besar, memiliki jumlah anak yang mencakup 30 persen dari total penduduk Indonesia. Bila negara mampu mencetak mereka sebagai generasi yang berkualitas maka kemajuan negeri ini sudah di depan mata.

Namun fakta berbicara lain, nasib anak bangsa Indonesia masih sangat buruk dan mengenaskan. Gambaran ini dapat terlihat dari fakta dibawah ini:

* 5,4 juta anak Indonesia masih dalam kondisi terlantar, menurut data kementerian sosial (anataranews, com/5/7/2011);
* Jumlah anak Indonesia yang terancam putus sekolah saat ini mencapai 13 juta yang terdiri dari usia tujuh sampai 15 tahun, demikian data BKKBN Tahun 2010 (beritasore.com/4/8/2010). Ditambah lagi sedikitya 37.294 anak-anak TKI tidak mendapatkan pendidikan selama berada di negeri Jiran Malaysia (republika.co.id/20 juli 2010)

* Setiap tahun 7000 anak berurusan dengan hukum, dan 6000 org di antaranya masuk ke penjara, baik penjara anak, penjara dewasa, maupun tempat-tempat tahanan lainnya. (Hadi Supeno,2010)( Buku:Kriminalisasi Anak:Tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama,2010)).
* Riskesdas 2010 juga menemukan tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9 persen atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk (antaranews.com/25 jan 2011).
* Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan sejak 2008 hingga 2010, sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa sekolah dasar (SD) kelas 4, 5, dan 6 di wilayah Jabodetabek mengaku pernah mengakses informasi pornografi. Sekitar 24 persen mengaku melihat pornografi melalui media komik. Selain itu, sekitar 22 persen melihat pornografi dari situs internet, 17 persen dari games, 12 persen melalui film di televisi, dan enam persen lewat telepon genggam. (vivanews.com/3/10/2010)

Kapitalisme biang Kerusakan dan Keburukan

Kelemahan manusia sebagai pembuat aturan terlihat pada kebijakan yang dikeluarkannya, saling berbenturan dan gagal menyelesaikan masalah. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya sekedar lips servis demi membangun citra bahwa sistem ini masih bersifat manusiawi untuk menutupi kezholiman-kebobrokan dan keserakahannya. Disisi lain banyak kebijakan dan program yang dikeluarkan seakan-akan peduli terhadap anak, namun membahayakan ‘aqidah dan akhlak. Misal slogan anak Indonesia berakhlak mulia, bagaimana mungkin akan dicapai sementara situs, film, dan gambar porno, mudah diakses mereka. Bagaimana anak Indonesia bisa sehat jika menutup pabrik minuman keras dan menghabisi jaringan bisnis narkoba saja tidak mampu. Alih-alih melakukan itu semua, faktanya ternyata Negara membiarkan bisnis haram itu terjadi dan malah difasilitasi.

Hal lain, ketika hak anak untuk hidup diperbincangkan, aborsi dilegalkan. Atas nama Kehamilan yang Tidak diinginkan (aib), janin-jani hasil perzinahan diizinkan untuk dilenyapkan hak nya untuk hidup, apa bedanya dengan masa pra Islam di arab yang membunuh anak perempuan karena dianggap aib????. Bayangkan saja, secara nasional, jumlah remaja yang melakukan praktik aborsi mencapai 700-800 ribu remaja dari total 2 juta kasus aborsi (detik.com, 9/4/2009). Padahal konvensi Hak anak dan UU Perlindungan anak mengatakan anak yang berhak mendapatkan perlindungan adalah termasuk janin yang ada dalam kandungan. Fakta maraknya aborsi menggambarkan negara dan dunia Internasional tidak memberikan hak hidup secara adil pada setiap anak, buktinya 2 juta janin hasil aborsi telah dihilangkan haknya untuk hidup dalam rangka menutupi perbuatan buruk yang dilakukan oleh ibunya.. Seharusnya bukan janin yang mendapatkan hukuman tetapi orangtuanyalah yang harus dihukum karena telah berzina. Dengan demikian hak hidup bagi anak dalam sistem kapitalisme hanyalah bersifat kamuflase.


Bagaimana dengan iming-iming bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan?. Adanya kebijakan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak dan disosialisasikan melalui program Education For All (EFA) atau Pendidikan untuk Semua (PUS) ternyata hanya bisa dirasakan oleh sebagian anak, terbukti dengan adanya anak-anak yang masih belum bisa mengakses bangku sekolah. Ditambah lagi masih ada yang putus sekolah karena tidak bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan alasan tidak ada dana. Berdasarkan UU No 23 tahun 2000 dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas pendidikan. Naumn nyatanya Negara telah gagal memberikan pendidikan bagi semua anak Indonesia. Meski ada yang gratis tidak semua bisa mengaksesnya. Dan bila bicara mutu maka sangat jauh dari yang diharapkan. Bahkan ada pernyataan yang mengatakan, “Bila mau mendapatkan pendidikan yang bermutu harus mau mengeluarkan biaya yang tinggi “. Ini adalah gambaran hakikat negara kapitalisme yang selalu menstandarkan segala sesuatu dengan untung-rugi atau manfaat semata.

Sekalipun negara dalam UUD pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa anak terlantar merupakan tanggung jawab negara. Kenyataannya anak-anak terlantar semaikn tahun angkanya bertambah bahkan mengenaskan. Hasil survei terakhir Kementerian Sosial pada tahun 2006 menunjukkan jumlah total anak telantar dan hampir telantar di Indonesia mencapai angka yang fantastis, yakni 17.694 juta jiwa atau 22,14 persen dari jumlah semua anak usia di bawah 18 tahun yang ada di Indonesia. Data terakhir dari kementerian sosial menyebutkan ada 5.4 juta anak di negeri ini yang terlantar pada tahun 2010.(antaranews.com/5/7/2011). Menurut Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak DKI Jakarta Sunarto, setiap tahun jumlah anak jalanan di Jakarta bertambah 20-40 persen. Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena kemiskinan (90%) sebagaimana dilansir oleht Ketua Forum Komunikasi Rumah Singgah DKI Jakarta Agusman (kompas.com/24/10/2010). Mereka tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, dan rumah yang layak. Bahkan mereka dibiarkan melakukan perbuatan amoral yang menjijikkan (pornografi dan pornoaksi) bahkan menjadikan mereka sebagai korban dan pelaku sekaligus dari kebejatan moral tersebut. Orangtua mereka tidak difasilitasi dengan pekerjaan yang layak untuk mampu memenuhi kebutuhan pokok, selain itu orangtua tidak di bimbing untuk mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua yang mendidik dan menjaga anaknya dari siksaan api neraka.

Negara, sekalipun telah menggalakkan program rumah singgah untuk anak-anak jalanan, namun program ini tidak lebih dari komoditi politik bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan citra positif tanpa kejelasan langkah nyata untuk menuntaskan permasalahan anak-anak jalanan. Bagaimana bisa mewujudkan kota yang layak bagi anak, bila perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak dilakukan dengan matang bahkan lebih di dominasi memenuhi kebutuhan pemilik modal dalam penataan kota. Sudah sangat gamblang bagaimana kota lebih banyak di dominasi pembangunan fisik yang berbau kapitalistis semisal perkantoran, supermarket, mall yang menjulang tinggi.

Inilah hakikatnya Negara kapitalis yang bersikap regulator belaka yang tidak bergigi dan bertaring tajam. Tidak heran jika persoalan tidak kunjung usai. Berikutnya yang menjadi korban adalah anak-anak, generasi masa depan.


Saatnya Anak Indonesia berada dalam Naungan Khilafah…..


Rasulullah SAW sang “TELADAN MANUSIA” telah menyatakan bahwa anak merupakan buah hati dan makhluk suci. “Anak adalah ‘buah hati’, karena itu termasuk dari wangi surga” (HR Tirmidzi). Beliau telah menetapkan dan memberi contoh langsung bahwa negara lah yang menjadi penanggung jawab utama bagi semua kebutuhan rakyatnya termasuk anak. Dalam hadits riwayat Imam bukhari-muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR.Bukhari dan Muslim).


Anak sebagai bagian dari masyarakat juga harus mendapatkan hak-haknya secara utuh dan benar sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Berikut adalah hak-hak anak yang wajib dipenuhi:

1. MEMPEROLEH JAMINAN HIDUP YANG BAIK KETIKA DI DALAM RAHIM DAN SETELAH LAHIR
2.

Islam benar-benar memberikan hak hidup bagi setiap anak dengan jaminan yang pasti. Sejarah membuktikan, saat Islam datang maka kebiasaan orang Arab yang membunuh anak perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt berfirman:

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (الإسراء: 31)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).


Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri). Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga.” (HR Al Bukhary).

Terhadap anak hasil perzinahan, Islam telah menghukum ibunya bukan anaknya, ini terdapat dalam kisah wanita Al-Ghamidiyah, yang datang pada Nabi bahwa dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau melahirkan“. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. Nabi berkata” Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya“. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim).


1. HAK UNTUK MENDAPATKAN NAFKAH

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(يَقُوتُ مَنْ يُضَيِّعَ أَنْ إِثْمًا بِالْمَرْءِ كَفَى)

Artinya: “Seseorang dianggap berdosa jika dia tidak menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[1]

أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ عَلَى دِينَارٌ الرَّجُلُ عِيَالِهِ يُنْفِقُهُ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى الرَّجُلُ دَابَّتِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَلَى يُنْفِقُهُ وَدِينَارٌ أَصْحَابِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهلَّهِ

Artinya: “Dinar (uang) yang paling afdhal yang diinfakkan oleh seorang laki-laki adalah dinar yang diinfakkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, dinar yang diinfakkan kepada hewan tunggangannya (untuk berjihad) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan kepada teman-temannya (yang sedang berjihad) di jalan Allah.”[2]

Bagi seorang ayah yang mampu bekerja, Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Adapun saat ayah dalam kondisi tidak mampu baik karena cacat, sakit keras atau lemah, maka kewajiban memberi nafkah berpindah kepada ahli waris atau keluarga terdekat yang mampu sebagaimana firman Allah:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

Saat ayah atau ahli waris atau kerabat dekat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok anak, Islam telah menetapkan kewajiban atas Negara. Negara memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan harta yang ada di baitul mal baik dari pos zakat, atau -jika pos zakat kosong-diambil dari pos pemasukan lainnya. Dalam pandangan Islam, Negara bertindak sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan bertanggungjawab mewujudkan kemashlahatan bagi mereka melalui penerapan hukum Islam secara kaffah. Rasulullah SAW bersabda

:

الإمام راع و هو مسؤل عن رعيته

“Seorang imam seperti penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya” (al-hadits).

Jika baitul maal (kas negara) banar-benar kosong, maka negara akan mewajibkan pemenuhannya kepada seluruh kaum Muslim yang mampu. Firman Allah:

وفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم

Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian.(TQS. adz-Dzariyat [51]: 19).


Islam juga membentuk suasana saling tolong menolong di masyarakat untuk membantu orang yang kelaparan atau fakir miskin. Rasulullah saw bersabda:

Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)


Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar).


1. HAK UNTUK MENDAPATKAN JAMINAN KEAMANAN

Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya, menjaganya dari berbagai gangguan dan memberikannya rasa aman. Orang tua juga harus terus memantau keadaan anaknya dan mencarinya jika dia hilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu ketika dia hilang di pasar Bani Qainuqa’ dan berkata, “Dimana Laka’? Panggilkan Laka[?"

Orang tua juga tidak boleh menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu yang bisa merusak mental dan agamanya, seperti mengancamnya dengan pisau atau perkataan kasar dan mengatakan kepadanya ketika malam datang, "Awas hantu?".

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يُرَوّْعَ مُسْلِمًا

Artinya: "Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim (yang lain)." Perkataan "Awas hantu !!!" ternyata dapat menumbuhkan rasa takut yang berlebih terhadap sesuatu yang tidak jelas. Jenis takut yang seperti ini dilarang dalam agama.


1. HAK UNTUK MENDAPATKAN PENDIDIKAN

Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan terhadap makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi . dengan fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 283-284). Jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka mendapatkan hak yang sama baik mereka berasal dari keluarga yang kaya maupun yang miskin. Mereka mendapatkan pendidikan yang gratis, guru yang profesional, sarana-prasarana yang lengkap berikut biaya hidup dan fasilitas yang memadai bila mereka tinggal di asrama. Pendidikan yang mereka terima juga mencetak mereka menjadi generasi yang berkepribadian Islam, memiliki tsaqofah Islam dan menguasai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan dan negara khilafah.

Rasulullah SAW untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di madinah telah mengambil kebijakan untuk menyediakan guru yang cukup melalui tawanan Badar dengan memberi kompensasi kebebasan bila mereka mengajarkan anak-anak muslim membaca. Begitu juga dengan apa yang dilakukan Umar dengan menggaji 3 orang guru sebanyak 15 dinar untuk mengajarkan anak-anak di madinah.


Negara juga akan memastikan apakah setiap orangtua mampu memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan baik. Islam telah menetapkan pendidikan seorang anak dimulai dari keluarga, rumah adalah sebagai sekolah pertama bagi anak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:


Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik." (HR.At-Tirmidzy).


"Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga ke liang lahat"


Peran keluarga untuk mendidik anak sangatlah besar, baik yang dilakukan oleh ayah maupun ibu semuanya telah diatur dengan jelas. Hal ini digambarkan oleh Imam Al-Ghazali, "Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan diakhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orang tuanya."


Seorang ayah mendapatkan kewajiban untuk mendidik anggota kelaurga agar terhindar dari api neraka, sebagaimana firman Allah Swt:


"Wahai orang-orang yang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu'(TQS: A-t-Tahrim:6).


Seorang ibu memilki peran yang sangat luar biasa dalam mendidik anak-anaknya, mereka adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebagaimana gambaran dari suatu syair ""Ibu ibarat sekolah, jika engkau persiapkan diri berarti engkau telah mempersiapkan suatu generasi yang kokoh dan kuat."(Hafidz ibrahim)


Sehingga orangtua dituntut untuk memiliki ilmu agar bisa mendidik anaknya dengan baik atau menyekolahkan anaknya dengan memilihkansekolah yang terbaik. Apabila ada orangtua yang tidak trampil dalam mendidik anaknya maka negara akan menyediakan berbagai fasilitas berupa kursus, latihan-latihan bahkan berbagai perlengkapan-perlengkapan yang memudahkan orangtua untuk bisa menjalankan tugasnya. Bahkan bila ada orangtua yang lalai dalam menjalankan peran mendidik ini, Islam telah mengingatkan akan ganjaran sanksi yang akan diterima oleh orangtua baik di dunia dan diakhirat. Didunia, orangtua akan mendapatkan peringatan dari negara untuk harus menjalankan kewajibannya, kalau tidak akan medapatkan sanksi tegas.

Orangtua juga tahu kapan saatnya menerapkan sanksi bagi anak saat melakukan pelanggaran sesuai dengan ajaran teladan Rasulullah SAW. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وا ضْرِبُوهُمْ عَلَيْها أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُو بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Artinya: "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun. Pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat ketika umur mereka sepuluh tahun. Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka."[3]

Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman yang tidak membekas di kulit dan bukan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang ketika memukul anaknya. mereka memukul anaknya sampai berbekas di kulit, bahkan ada yang memukul anaknya sampai cacat.

Adanya pengenalan dan penerapan sanksi merupakan cara melindungi anak dari perilaku yang menyimpang dan merusak sehingga tidak merugikan dirinya dan manusia yang lainnya. Jelas ini tidak ada dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan pada HAM, standarnya tidak jelas bahkan mengandung standar yang tidak jelas bahkan kontraproduktif antara yang satu dengan yang lainnya.



1. HAK UNTUK SEHAT\

Secara umum anak memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah dan bermutu. Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim). Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).



Kesehatan sebagaimana pendidikan juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, termasuk anak. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sejak berada dalam kandungan, lahir sampai dewasa. Kewajiban memelihara kesehatan anak dalam rahim dan bayi merupakan tanggung jawab seorang Ibu secara langsung dan keterlibatan ayah. Selama kandungan, ibu wajib memperhatikan asupan makan yang cukup bagi janin dengan memperhatikan kehalalan dan kethoyyibannya. Allah SWT telah berfirman:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…”(TQS:2:168)

Sedangkan saat dia lahir, anak memiliki hak untuk mendapatkan ASI, sebagaimana penjelasan dalam firman Allah SWT yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi rezki (makanan) dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. Dan orang yang mendapatkan warisan pun berkewajiban demikian…” (QS Al-Baqarah: 233).



Selama masa pemerintahan Khalifah Umar, ada kebijakan untuk memberikan upah setiap kali seorang anak selesai masa menyusui. Namun, suatu hari Umar (ra) mendengar seorang bayi menangis kemudian dia meminta kepada ibu anak itu untuk “Bertakwalah kepada Allah SWT atas bayi Anda dan rawatlah dia”. Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah dari Negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Umar merevisi kebijakan itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Umar (ra) takut Allah SWT akan meminta pertanggung jawabannya dan dia berkata sambil menangis “bahkan atas bayi-bayi ya Umar!” - yang berarti bahwa ia akan diminta pertanggungjawabkan karena tindakannya merugikan anak-anak.


Pada masa Nizhamul Muluk, di Kota Ray didirikan rumah sakit bersalin terbesar untuk seluruh Persia, selain didirikan sekolah tinggi ilmu kebidanan. Para bidan desa mendapat pembinaan 2 hari dalam sepekan oleh dokter-dokter ahli kandungan. Dokter ahli kandungan yang terkenal antara lain Az-Zahrawi, Abu Raihan Albairuni (374 H) dan Bahrum Tajul Amin (380 H). Kedua sarana ini dibangun atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid kepada al-Masawaih, dokter yang menjabat menteri kesehatan.


Ada ruangan perawatan khusus untuk anak-anak dan bayi, ruangan untuk pemeriksaan kandungan dan melahirkan. Ruangan juga dibagi berdasarkan jenis penyakit, seperti penyakit dalam, trauma dan fraktur dan penyakit menular. Pada masing-masing bagian bertugas seorang atau lebih dokter dan masing-masing tim dokter ini diketuai seorang dokter kepala. Semua dokter di rumah sakit dikepalai seorang dokter yang disebut “Al-Saur”. Para dokter ini ditugaskan secara bergiliran, pagi dan malam hari, agar mempunyai waktu istirahat yang cukup.



Semua ruangan dilengkapi dengan peralatan kedokteran dan peralatan yang dibutuhkan dokter. Rumah sakit juga dilengkapi perpustakaan yang menyediakan buku-buku kedokteran, seperti farmakologi, anatomi, fisiologi, hukum kedokteran dan berbagai ilmu lain yang terkait dengan kedokteran. Contoh rumah perpustakaan terbesar adalah perpustakaan Rumah Sakit Ibnu Tulun di Kairo, yang mengkoleksi 100.000 buku. Rumah sakit itu dilengkapi pula dengan laboratorium dan apotik yang memberikan obat berdasarkan resep dokter. Terdapat pula dapur dan berbagai ruangan lain yang dibutuhkan untuk pelayanan yang optimal. Sejumlah karyawan rumah sakit bekerja sebagai pekerja kesehatan, asisten atau dresser, servents, cleaning cervice, pembantu pasien.



5. HAK MENDAPATKAN PERLAKUAN YANG BAIK


5.1. Memperlihatkan rasa senang saat kelahiran anak



Ketika seorang anak dilahirkan sudah sepantasnya seorang ayah dan ibu menunjukkan rasa senangnya. Bagaimanapun keadaan anak itu, baik laki-laki maupun perempuan. Terkadang sebagian orang tua memiliki rasa benci jika yang dilahirkan adalah perempuan. Perlu kita ketahui ini, rasa kebencian itu merupakan sifat jahiliah yang masih dimiliki oleh sebagian kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan di dalam Al-Qur’an tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Quraisy di masa Jahiliah. Mereka membunuh bayi-bayi perempuan mereka yang baru dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apabila seseorang di antara mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, maka hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dia akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah! Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)

Terkadang Allah menguji sang Ayah dan sang Ibu dengan anak yang cacat. Mereka diuji dengan kebutaan, kebisuan, ketulian atau cacat yang lainnya pada sang Anak. Orang yang paham bahwa itu adalah ujian, maka dia akan berlapang dada untuk menerimanya dan tetap merasa senang. Sebaliknya orang yang tidak paham, maka dia tidak akan senang, tidak rida bahkan terkadang bisa sampai mengarah ke perceraian atau pembunuhan sang Anak.

5.2.Memperoleh nama dengan nama yang baik

Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW:


“Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik”.

“Baguskan namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hiban).


Nama itulah yang mewakili diri anak untuk kehidupannya kelak. Oleh karena itu, janganlah salah dalam memilihkan nama. Islam telah mengajarkan agar memilih nama-nama islami dan menjauhi nama-nama yang mengandung unsur penyerupaan dengan agama lain atau penyerupaan dengan pelaku-pelaku kemaksiatan. Sudah sepantasnya seorang muslim bangga dengan nama islaminya. Pemberian nama oleh orangtua kepada anaknya merupakan do,a dan harapan yang ingin terwujud. Dengan demikian sangat baik bila memberikan nama-nama, seperti: ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahim dan sejenisnya, nama-nama para nabi, nama-nama sahabat yang terkenal dll. Begitu pula untuk anak perempuan, banyak sekali nama wanita-wanita solehah, seperti: Fatimah, Khadijah, Aisyah dll.

5.3 Di aqiqah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

Artinya: “Seorang anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama dan dicukur kepalanya.”[4]. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang kewajiban berakikah, sudah sepantasnya sebagai seorang muslim untuk selalu berusaha mengikuti semua sunnah/ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.



5.4 Mendapatkan perlakuan yang adil


Orang tua wajib berlaku adil terhadap semua anaknya. Dalilnya adalah sebagai berikut:

Suatu hari An-Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar, “Ayahku telah memberikanku hadiah.” Kemudian ‘Amrah binti Rahawah (Ibunya) berkata, “Saya tidak rida sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi saksi.” Kemudian Ayah An-Nu’man pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, “Saya telah memberi hadiah kepada anakku dari istriku yang bernama ‘Amrah binti Rawahah. Dia menyuruhku untuk memintamu, Ya Rasulullah, sebagai saksi pemberian ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memberikan hadiah kepada semua anakmu seperti itu juga?” Ayahnya pun berkata, “Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada Allah! Berbuat adillah terhadap semua anakmu.” Kemudian ayahnya pun kembali dan mengambil kembali hadiahnya.


5.5. Mendapatkan kasih sayang


Anak juga termasuk keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dia adalah manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperlakukan seperti hewan yang hina. Dia harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk memberikan julukan-julukan atau panggilan-panggilan jelek kepadanya, seperti ucapan ‘anjing’, ‘babi’, ‘goblok’ dan sejenisnya.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam, memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)



5.6 Mendapatkan hak bermain



Anak pun punya hak untuk bermain. Orang tua sudah sepantasnya memberikan waktu-waktu bermain untuk anaknya, baik di pagi, siang ataupun sore hari. Ketika waktu maghrib datang, orang tua diperintahkan untuk “memegang” anaknya dengan tidak membiarkan anaknya bermain di luar rumah sampai datang waktu ‘isya’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Jika malam atau awal malam datang maka ‘peganglah’ anak-anak kalian. Sesungguhnya setan-setan menyebar pada saat itu. Jika waktu isya’ telah masuk maka biarkanlah mereka.”[4]Setelah waktu isya’ datang tidak sepantasnya anak-anak bermain, karena waktu itu adalah waktu tidur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bersenda gurau pada saat itu.



Orang tua juga harus memperhatikan jenis permainan anaknya, jangan sampai dia bermain dengan permainan yang mengandung unsur dosa, seperti: adu kelereng dan kartu (yang mengandung unsur perjudian), memanah ayam atau sejenisnya dll. Orang tua sebaiknya memilihkan permainan yang bermanfaat untuk diri anaknya kelak dan mengandung unsur pembelajaran. Orang tua juga harus memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan bermain. Anak-anak sangat mudah menerima rangsangan orang-orang di sekitarnya. Syaikh ‘Abdulmuhsin Al-Qasim[5] berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan siapa dia bergaul (berinteraksi).

5.7 Memperlakukan anak yatim dengan baik

Islam tidak memperbolehkan kaum muslimin mengabaikan keberadaan anak yatim. Ia adalah aset umat yang harus diselamatkan dan dipelihara agar tidak menderita. Allah telah menyiapkan kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bagi orang yang merawat anak-anak malang ini. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Aku dan orang-orang yang menanggung anak yatim, berada di surga seperti ini (lalu beliau mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, seraya memberi jarak keduanya).” (H.R. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).


Dalam Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan untuk memperhatikan anak yatim. Dari mulai anjuran untuk memperlakukan dengan lembut, menyisihkan harta, mendidik, hingga merawat serta membesarkan mereka.

Rasulullah SAW melaksanakan langsung praktek memperlakukan anak yatim dengan baik, sebagaimana dikisahkan dalam shiroh Rasulullah SAW:



Di pagi hari yang cerah, Rasulullah Saw. bersama istrinya (Aisyah r.a.) hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Di jalan, mereka melihat seorang bocah murung di tengah kerumunan anak-anak yang ceria merayakan datangnya Idul Fitri. Bocah murung tersebut terlihat termenung dengan penampilan kucel dan pakaian lusuh.

Rasulullah Saw. (yang tidak tega melihat bocah tersebut) mendekat seraya berkata (sambil mengusap kepala sang bocah), “Wahai bocah, kenapa wajahmu tampak bersedih padahal disekelilingmu banyak anak-anak yang begitu bahagia merayakan Idul Fitri?” Bocah tersebut diam sejenak dan meneteskan air matanya sebelum menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana diriku tak bersedih? Ketika teman-temanku bergembira ria merayakan Idul Fitri, aku tidak punya siapa-siapa. Wahai Rasulullah, aku hanyalah sebatangkara. Aku tak memiliki ibu yang dijadikan tempat mengadu. Ayahku pun sudah tiada. Hidupku tak menentu. Aku hanya mengharapkan belas kasihan Allah sebagai Tuhan pemberi rezeki. Terkadang aku tak mendapatkan makanan satu atau dua hari. Aku hanya mengharapkan uluran tangan para dermawan untuk mendapatkan sesuap makanan.”



Mendengar rintihan hati sang bocah, Rasulullah berkata sambil meneteskan air mata, “Wahai anak yang malang, maukah engkau tinggal bersama kami? Maukah engkau aku jadikan sebagai anakku? Dan maukah engkau menjadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?” Mendengar jawaban Rasulullah, spontan bocah tersebut berubah wajahnya menjadi berseri-seri. Harapan hidupnya sudah terbuka. Dirinya tidak merasa sendiri lagi. Bergantilah air mata sedih menjadi air mata kegembiraan.



Pemeliharaan dan pembinaan anak yatim bukan hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat fisik semata, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Pembinaan yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah psikisnya, seperti memberikan perhatian, kasih sayang, perlakuan lemah lembut, bimbingan akhlak, dan lain sebagainya. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman,:

“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9).

Dalam ayat lain ditegaskan,

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Q.S. Al-Maa’uun [107]: 1-2)

Artinya, kewajiban memberikan kasih sayang, pengajaran sopan santun, dan segala perlakuan yang baik berbanding lurus dengan kewajiban pemberian materi. Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita untuk memperlakukan anak yatim dengan baik.

Dengan demikian hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah sajalah anak-anak Indonesia termasuk anak-anak di dunia mampu menjalani kehidupannya dengan bahagia, ceria, menyenangkan dan berkualitas, karena adanya jaminan ya