Friday, August 12, 2011

Kontes-Kontes Kecantikan, Penistaan Martabat dan Kehormatan Perempua

Syabab.Com - Maraknya ajang kontes kecantikan dan dukungan dari pemerintah atas penyelenggaraannya semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kapitalis. Betapa besar kerusakan moral, akhlak dan jatuhnya kehormatan bangsa yang telah dihasilkan dari kebebasan mengumbar aurat ini melalui kontes kecantikan ini. Berbagai ajang kontes kecantikan digelar secara berkala di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Salah satunya Pemilihan Putri Indonesia (PPI). Malam Grand Final PPI XV/2010 Jumat 8 Oktober 2010 lalu telah menobatkan Nadine Alexandra Dewi Ames sebagai Putri Indonesia (PI) yang baru.

Pandangan yang mendukung digelarnya kontes serupa juga disampaikan oleh Menbudpar Jero Wacik ketika mengijinkan Putri Pariwisata mengikuti ajang Miss Tourism International 2010 yang di dalamnya ada sesi menari mengenakan bikini.

“Kita harus bijak memaknai ajang pemilihan putri-putrian di Indonesia. Di era demokrasi, kami tidak punya kewenangan untuk melarang dan memberi ijin, tapi sepanjang untuk kepentingan kreatif masyarakat tidak masalah,” kata Jero Wacik, di Jakarta, Rabu (6/10).

Berbagai elemen masyarakat yang menyampaikan kecaman keras kepada pemerintah dan penyelenggara tak digubris. Selain memunculkan pro dan kontra karena menjadikan kemolekan tubuh sebagai ukuran utama penilaian, kontes-kontes putri-putrian juga menyisakan pertanyaan tentang makna martabat dan kemuliaan perempuan.

Bagaimana pandangan Muslimah HTI tentang PPI dan kontes-kontes sejenis? Bagaimana pula seharusnya kontribusi perempuan dalam mengangkat martabat kaumnya? Berikut petikan wawancara dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Ustadzah Iffah Ainur Rochmah.

Bagaimana pandangan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia terhadap berbagai kontes kecantikan termasuk Pemilihan Putri Indonesia kali ini?

Jubir MHTI: Sekali lagi Muslimah HTI menyampaikan keprihatinan mendalam atas terus berlangsungnya kontes-kontes kecantikan yang mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan. Kami sangat prihatin dan akan terus mengingatkan masyarakat agar menyikapi secara tepat salah satu kerusakan sosial ini. Kontes-kontes kecantikan hanya menambah penistaan martabat dan kehormatan perempuan.

Dalam pandangan kami, maraknya ajang kontes kecantikan dan dukungan dari pemerintah atas penyelenggaraannya semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kapitalis. Materi, uang dan kenikmatan fisik dijadikan berhala teragung. Perempuan dipandang dan diarahkan menjadi komoditas ekonomi . Karenanya bisa dieksploitasi oleh pihak mana pun yang ingin meraih keuntungan materi darinya. Salah satunya melalui industri pornografi yang dikemas bergengsi dalam ajang putri-putrian. Tindak lanjut dari pemilihan puti-putri kecantikan itu, kita tahu, telah menjerumuskan banyak remaja putri kita menjadi artis-artis porno.Para pemenang mendapat kontrak iklan yang mengumbar aurat, menonjolkan sensualitas dan bahkan sekadar mempromosikan produk underwear.

Ketika negara membiarkan bahkan mendukung penyelenggaraannya, berarti negara telah abai melindungi rakyat dari berbagai penyakit sosial dan membiarkan merebaknya paham kebebasan; terutama kebebasan perilaku. Lebih buruk lagi jika negara menganggap ada keuntungan dengan tambahan dari pemasukan pajak iklan dan produk.

Ada sebagian kalangan menganggap kompetisi semacam ini juga bisa mengangkat martabat perempuan bahkan mengangkat nama bangsa di dunia internasional. Bagaimana pandangan ustadzah?

Jubir MHTI: Benar, ajang semacam ini bisa menghasilkan manfaat jika ukurannya materi; yakni bisa membuat seseorang terkenal, bisa mendongkrak penjualan produk dari perusahaan pengiklan dan bahkan menghasilkan devisa bagi negara dari sektor pariwisata. Tapi ingatlah betapa besar kerusakan moral, akhlak dan jatuhnya kehormatan bangsa yang telah dihasilkan dari kebebasan mengumbar aurat ini. Apakah martabat dan nama bangsa seperti ini yang ingin kita pertahankan?

Tahun ini Yayasan Puteri Indonesia (YPI) mengangkat tema “Cintai Negeri Melalui Penggunaan dan Penghargaan Karya Anak Bangsa.” Melalui tema tersebut, diharapkan para peserta bisa menjadi panutan bagi remaja putri dalam berkontribusi menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap karya anak bangsa.

Seperti apa sosok perempuan yang bisa menjadi panutan bagi remaja putri Indonesia?

Jubir MHTI : Remaja putri kita harus menyadari kebobrokan faham kebebasan yang saat ini menjadi idola mereka. Kebebasan mengumbar aurat hanya menghasilkan banyak pelecehan, perkosaan dan kriminalitas. Kebebasan meraih popularitas dan materi dengan menjadi bintang iklan, dan bintang sinetron hanya menghasilkan kebahagiaan semu. Industri fashion yang mendorong perempuan mengenakan pakaian seminim mungkin hanya memenuhi hasrat syahwat laki-laki. Semua itu justru mematikan potensi intelektual, potensi keahlian danmerusak akhlak remaja putri.

Kami mendorong dan membina agar remaja muslimah segera menempatkan diri sebagai role model bagi remaja putri Indonesia. Jadilah remaja yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, mematuhi aturan-aturan syariat Islam. Berkreatifitas dan berkaryalah dengan landasan keteguhan memegang prinsip Islam, memaksimalkan intelektualitas dan berorientasi tulus member manfaat bagi umat manusia. Jangan berbangga denganpenampilan fisik dan ukuran proporsional badan, atau pun popularitas akibat mengumbar aurat.

Apa kontribusi yang bisa dimainkan oleh perempuan agar mampu mengangkat martabat kaumnya?

Jubir MHTI : Perlindungan atas kehormatan dan martabat perempuan di masyarakat bukan pilihan, melainkan kewajiban. Semua itu terbukti gagal diwujudkan dalam masyarakat kapitalis yang mendewakan materi. Hanya Khilafah Islamiyah lah yang mampu memberikan kehormatan sejati bagi perempuan. Selama 1400 tahun masa Khilafah perempuan dilindungi, aman dan mulia. Perempuan tidak dipandang sebagai komoditas dan obyek seks laki-laki. Maka merupakan tanggung jawab kita semua sebagai muslimah, bersama dengan kaum laki-laki, untuk berjuang sekuat tenaga mengembalikan Khilafah Islamiyah yang kini tidak ada. Wallahu a’lam bi as shawab. [htipress/syabab.com]


http://syabab.com/keluarga/rumahku-surgaku/1149-kontes-kontes-kecantikan-penistaan-martabat-dan-kehormatan-perempuan.html

Dunia Barat dan Penguasa Muslim Harus Malu terkait Kasus Dr. Aafia S

Syabab.Com - Kasus Dr. Aafia Siddiqui benar-benar membuat hati serasa terkoyak, perut terlilit, dan kemarahan terbangkit bagi siapapun yang masih memiliki harga diri. Pengalaman buruk yang dialami ibu dari tiga orang anak kembali menjadi catatan tragedi “Perang melawan Teror” (“War on Terror”), atau “Perang terhadap Islam”. Kasus ini harus membuat siapapun atau pemerintah manapun yang menganggap diri mereka sebagai pejuang hak asasi manusia di dunia untuk menjadi malu.


Dr. Aafia Siddiqui adalah ilmuwan biologi jaringan saraf dan dididik sebagai ahli genetik. Setelah belajar 10 tahun di Amerika Serikat (AS) dan menyabet gelar Doktor di bidang Neurosains Kognitif, Dr. Siddiqui yang berwarganegara Pakistan lalu pulang ke negeri asalnya. Lima tahun lalu pada bulan Maret 2003 ia menghilang bersama 3 anaknya yang berumur 7 tahun, 5 tahun, dan 6 bulan ketika ia berkunjung ke rumah ibunya di Karachi. Banyak yang menduga bahwa ia telah dijemput dalam perjalanannya menuju ke airport oleh dinas rahasia Pakistan, yang lalu menyerahkannya ke FBI atas instruksi pemerintahan Musharraf yang menerima imbalan uang atas dukungannya terhadap AS. Penahanan Dr. Siddiqui dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian dalam negeri Paksistan dan dua orang pejabat AS yang tidak disebut namanya dalam media massa Pakistan berbahasa Urdu. Anehnya, hanya berselang beberapa hari saja, rezim Pakistan dan AS menarik pernyataan mereka dan menyangkal memiliki pengetahuan perihal penahanan dan letak penahanan Dr. Siddiqui.



Selama 5 tahun, keberadaan Dr. Siddiqui dan tiga anaknya tidak diketahui hingga perwira kepoliisian Afghanistan di propinsi Ghazni menyatakan di bulan Juli 2008 bahwa Dr Siddiqui ditangkap dengan tuduhan terorisme. Ia sekang disekap di penjara di Brooklyn, New York– Dr Siddiqui yang memiliki dual kewarganegaraan AS dan Pakistan kini menghadapi pengadilan AS dengan tuduhan usaha pembunuhan terhadap personil angkatan bersenjata AS di Afghanistan. Keberadaan tiga anaknya hingga kini belum diketahui.



Pengacaranya dan berbagai organisasi HAM (hak asasi manusia) meyakini bahwa setelah menghilang, Dr. Siddiqui disekap di pangkalan militer AS Bagram di Afghanistan. Organisasi tersebut dan keluarganya mengklaim bahwa selama itu dia telah disiksa hingga kehilangan pikiran. Mereka percaya bahwa dia adalah ‘Tahanan 650′ di Bagram, sebagaimana diceritakan oleh tahanan lainnya yang berhasil melarikan diri dari atau dilepaskan dari penjara, sebagai wanita yang disekap dalam tahanan secara sendirian, jeritan dan teriakannya kerap menghantui tahanan lainnya. Anggota parlemen Lord Nazir Ahmed yang mengangkat isu tentang kondisi Tahanan 650 di House of Lord, saat identitas tahanan 650 itu belum diketahui, berkata bahwa dia telah disiksa dan kerap diperkosa oleh sipir penjara. Lord Nazir juga mengatakan bahwa Tahanan 650 tidak diberikan toilet yang terpisah bahkan tahanan yang lain pun bisa melihat tubuhnya ketika mandi.

Penistaan terhadap saudara perempuan kita ini tidak berhenti di Bagram. Kini ia ditahan di Pusat Penahanan Metropolitan Brooklyn, dan dipaksa untuk diperiksa dengan melepaskan seluruh pakaiannya setiap kali ia hendak bertemu dengan pengacaranya, diplomat Pakistan, dan anggota keluarganya. Ini semua dilakukan bahkan ketika kantor penjara sudah melarang adanya kontak fisik antara dia dengan siapapun. Saudara perempuan kita ini menolak penistaan semacam ini dan akibatnya harus melepaskan haknya untuk bertemu dengan pengacaranya dalam banyak kesempatan.



Kini Aafia Siddiqui menghadapi prosesi “Pengadilan Kanguru” dan “Pengadilan Politik” di AS, suatu prosesi untuk menghindarkan malu bagi AS, bukan tentang terorisme. Pengacaranya, Elaine Whitfield Sharp berkomentar bahwa kliennya ditahan karena alasan politik dan semua tuduhan padanya ‘terbukti salah dan tidak bermakna’. Sangatlah aneh bahwa seorang perempuan yang digambarkan FBI selama 5 tahun sebagai wanita yang paling dicari dalam Perang melawan Teror dan diduga ditahan oleh pemerintah Afghan dengan tuduhan membawa instruksi membuat bom dalam tasnya dan menyimpan bahan kimia berbahaya dalam botol, kini akan menghadapi pengadilan dengan tuduhan kriminal biasa (percobaan pembunuhan dan penyerangan), yang tidak berhubungan dengan terorisme.



Tuduhan kriminal tersebut berasal dari cerita pemerintah AS bahwa selama diinterogasi di Afganistan, Dr. Siddiqui merebut senapan interogatornya dan menembaki perwira AS. Ia lalu ditembak di dada dan dilumpuhkan, namun sempat menendang tentara AS yang berusaha untuk menahannya. Kalau terbukti, Dr. Siddiqui akan menghadapi 20 tahun penjara untuk setiap tuduhan. Namun ada banyak ketidacocokan terhadap cerita ini dan polisi Afganistan yang hadir dalam peristiwa interogasi tersebut memberi versi lain. Beberapa diantaranya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara AS memaksa supaya Dr. Siddiqui ditransfer ke AS dan ketika polisi Afghan menolak, mereka dilucuti senjatanya. Mereka juga mengklaim bahwa tentara AS-lah yang menembak Dr. Siddiqui dengan alasan bahwa ia adalah pembom bunuh diri.



Ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang perempuan yang memiliki berat badan sekitar 45 kg, ditembak di dada dan digambarkan sebagai lemah dan renta hingga harus dituntun untuk masuk ke ruang pengadilan di AS mampu meronta dan menyerang sekelompok perwira AS yang menahannya. Pengacara Dr. Siddiqui, Elizabeth Fink menyatakan bahwa anggapan terhadap ‘perempuan 45 kg’ yang diduga mampu menimbulkan kekerasan sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah AS sangatlah ‘absurd’. IA Rehman, direktur Hak Asasi Manusia Pakistan, organisasi independen berkata bahwa cerita pemerintah AS adalah “kebohongan terbesar di abad 21.”



Tanggapan pemerintah dunia Barat dan penguasa Muslim, terutama pemerintah Pakistan terhadap peristiwa yang menimpa Dr. Siddiqui yang sangat memilukan ini sungguh memalukan. Banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa terjawab– Siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap penculikannya? Kenapa dia ditahan dalam waktu yang sangat lama di Bagram tanpa tuduhan dan tanpa pengacara? Kenapa dia diekstradiksi ke AS tanpa prosedur? Dimana 3 anak-anaknya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang pemerintah Barat, AS, dan Pakistan terkesan tidak peduli untuk mencari tahu jawabannya.



Ketidakpedulian dan penggunaan standar ganda oleh Barat, yang mengklaim sebagai penyeru hak asasi manusia diseluruh dunia, ternyata menutup mata terhadap perlakuan keji dan pelanggaran secara serius terhadap hak Dr. Siddiqui sebagai individu. Maka nampaklah bahwa slogan-slogan dunia Barat tentang hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, transparansi keadilan, prosedur hukum hanyalah sekedar alat yang digunakan pemerintah Barat — yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan begitu saja– demi kepentingan politik dan penaikan pamor di dunia internasional. Berani-beraninya pemerintah barat berlagak suci, padahal pada saat yang sama bau busuk mulai menyebar dari wilayah mereka sendiri? Maka sangat kurang ajar pemerintah semacam itu yang dengan seenaknya merendahkan perlakuan Islam terhadap wanita, padahal kasus Dr. Siddiqui justru menunjukkan tradisi abad pertengahan dalam sejarah mereka saat memburu dan menyiksa wanita penyihir masih melekat dalam diri mereka dan nampak di dalam perilaku mereka sendiri? Lalu siapa sebenarnya yang masih sangat kuno dalam perilakunya?

Keterlibatan pemerintah Pakistan dan ketidakpeduliannya terhadap perlakuan keji yang menimpa saudara perempuan seiman ini adalah suatu tindakan kriminal. Sangatlah memalukan bahwa pemerintah Pakistan telah menyerahkan kedaulatan dan warga negaranya sendiri ke Amerika. Sangatlah memalukan bahwa mereka telah menukar kehormatan saudara kita demi seonggok kertas dolar. Sungguh memalukan bahwa mereka telah menjual putri umat ini kepada mereka yang telah menebar kebencian terhadap Islam.



Pengkhianatan para penguasa muslim pun tidak mengenal batas. Mereka telah mengenyampingkan kebutuhan dan perlindungan hak-hak umat dengan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Bagaimana pemerintah rezim Musharaf bisa menerima fakta bahwa warganegaranya sendiri dilarikan ke Amerika dan menghadapi persidangan di sana tanpa mempertanyakan keabsahannya sama sekali? Pemerintah semacam ini hanya peduli bagaimana mempertahankan kedudukan mereka saja.

Mereka sudah kebal terhadap penderitaan, air mata dan jerit kesakitan umatnya, dan lebih menyibukkan diri mereka dalam urusan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Pemerintahan macam apa yang membiarkan anak-anak perempuannya untuk disiksa hingga kehilangan nalar? Pemerintah macam apa yang membiarkan tiga anak kecil untuk kehilangan ibunya –satu diantaranya baru berumur 1 bulan yang hanya tahu kehangatan dari pelukan ibunya? Sungguh, kisah pengkhianatan dan sifat pengecut para penguasa muslim tidak akan pernah terlupakan.



Kasus Aafia Siddiqui menunjukkan urgensi yang semakin genting untuk mengembalikan kembali institusi negara Khilafah. Para wanita umat telah merindukan kepemimpinan Islam yang akan melindungi kehormatannya, mengembalikan hak-haknya, menghilangkan perasaan takut dan menegakkan keamanan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Mereka menginginkan negara yang akan menghapus kesengsaraan, penderitaan, dan air mata dari penghinaan, menuju ke era baru yang penuh dengan harapan, kekuatan, dan keadilan bagi umat ini. Benar-benar, apabila terjadi, akan membuka era baru yang menghantarkan dunia kepada makna sejati kehidupan manusia, perlindungan terhadap martabat dan hak-haknya.



Anak-anak perempuan Umat ini sedang menunggu untuk memba’iat seorang Khalifah yang benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka dan melindungi yang lemah diantara mereka– seorang Khalifah yang akan mengirim anak-anak muda pemberani dari Umat ini untuk membebaskan wanita muslim dari penjara penindasan– pemimpin anak muda seperti Muhammed ibn Qasim yang di abad ke-8 diutus Khalifah dengan memimpin 6 ribu pasukan kavaleri untuk membebaskan wanita muslim yang dipenjara oleh Raja Delhi India. Dalam perjalanannya, ia dan pasukannya harus menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat dari mereka namun ia masih mampu untuk menundukkannya.



Maka, wahai para hamba Allah, mari tiap-tiap kita bekerja secara sungguh-sungguh, sebarkan seruan kita, dan berikan segala daya upaya untuk mengembalikan keberadaan negara Khilafah yang akan menghilangkan penderitaan saudara-saudara perempuan kita menuju harapan, menghilangkan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Allah Swt. berfirman:



“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Dia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang durhaka.” [TQS An-Nuur (24): 55]



Dr. Nazreen Nawaz
Perwakilan Media Perempuan – Hizb ut-Tahrir Inggris



http://syabab.com/keluarga/rumahku-surgaku/454-dunia-barat-dan-penguasa-muslim-harus-malu-terkait-kasus-dr-aafia-siddiqui-.html

Maqalah Ulama-Ulama Sunni Tentang Wajibnya Nashbul Khalifah

Maqalah Ulama-Ulama Sunni Tentang Wajibnya Nashbul Khalifah



1. Hukum Nashbul khalifah adalah Fardhu Kifayah



Pada point pertama ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi’I yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara’, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.



Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata2:

الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …

…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah.

Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan3:

فَقَالَ [ فَصْلٌ ] فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ انْعِقَادِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ .وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ، إذْ لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنْ الظَّالِمِ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا ، وَقَدَّمَا فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ الْكَلَامَ عَلَى الْإِمَامَةِ عَلَى أَحْكَامِ الْبُغَاةِ …

…maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya imamah. Mewujudkan imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.



Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata44

Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268:



(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …

…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …

Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan5:

…احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ



… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…



Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata6:

… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (”maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.




Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan7:

قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…

…perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…

Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan8:

فَصْلٌ فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَمَا مَعَهُ وَالْإِمَامَةُ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَجْرِي فِيهَا مَا فِيهِ مِنْ جَوَازِ الْقَبُولِ وَعَدَمِهِ .

…pasal tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya. Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam kebolehan menerima maupun tidaknya..

Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi berkata9:



…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…



…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: “bahwa para imam itu adalah dari Quraisy”. (syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…



Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu10:

… واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …



…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…

Berkata Imam ‘Alauddin Al-kasani Al-hanafi11:



… وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …



…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma’ shahabat ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam…



Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata12:



…وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ãÇ áÇíÊã ÇáæÇÌÈ ÇáÇ Èå Ýåæ æÇÌÈ ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula).



Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata13:



… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم …

ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …

وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.



…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …



Beliau berkata: …Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib.



Kemudian beliau menegaskan: …Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan ini jelas sekali.


Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al-baqarah ayat 30 berkata14:



…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …

… dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…



Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf15:

…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .

…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu’: fardhu kifayahlah yang paling tepat….



Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata16:

…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…



…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar….

Dalam kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan17:

…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ( شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ ) بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا حُرًّا مُكَلَّفًا عَدْلًا ذَكَرًا مُجْتَهِدًا ذَا رَأَى وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ وَنُطْقٍ لِمَا يَأْتِي فِي بَابِ الْقَضَاءِ…

…tentang syarat Imam yang agung dan tentang penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. (syarat Imam adalah yang layak untuk peradilan). Maka hendaknya dia muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, cerdas, mendengar, melihat dan bisa bicara, sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan pada bab tentang peradilan…

Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan18:



…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .



…(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar.

Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi19:



اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …

“ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib”.



Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab diatas menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain, yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.




2. Pelaksaan fardhu kifayah.

Suatu hal yang ma’lum bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan20:



المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما

” masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya”.



Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan21:

فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …

” Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama” artinya adalah “ja’alahu yaqumu”22) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …”.



Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah itu jika belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.



Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan23:

… وغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم واعلم ان غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف



“dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat (dalam hal ini)”.



Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka beban (kwajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa.

Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan24:



باب الجهاد. (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.

“Bab Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu ‘ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”



Disini Shahibu Fathil Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.



Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata25:

باب الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار ببلادهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإلا وجب لبعض طلب الجهاد بأحد أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه دارهم بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا بمكافئين لهم لو قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق وتقليد ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقط الحرج عنه إن كان من أهله وعن الباقين رخصة وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضل بفرض الكفاية كما قاله الرملي وفروض الكفاية كثيرة

“Kitab Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang tidak diragukan yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …”




Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki “kifayah”. Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang diwajibkan.



Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.




3. Allah SWT tidak akan mentaklifkan sesuatu melebihi isthitha’ah hamba-Nya



Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?



Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)

Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan26:

وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …

” … dan firman-Nya “

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها



adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya”.



Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut27:

التكليف هو الأمر بما يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الطاقة والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا يكلف العباد من وقت نزول الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا وهي في وسع المكلف وفي مقتضى إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.

“Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan”.

Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan28:



{ لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً ، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى : { يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر } وهو يدل على عدم وقوع التكليف بالمحال …

لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Kecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:

يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر

Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa taklif itu tidak jatuh pada hal yang mustahil (dilakukan) …”



Dalam tafsir Lubab At-ta’wil fi Ma’ani At-tanzil yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Khazin dinukil riwayat jawaban Imam Sufyan ibn Uyainah ketika ditanya pengertian ayat diatas. Beliau berkata29:



قال : إلاّ يسرها ولم يكلفها فوق طاقتها وهذا قول حسن ، لأن الوسع ما دون الطاقة وقيل معناه أن الله تعالى لا يكلف نفساً إلاّ وسعها فلا يتعبدها بما لا تطيق .

“beliau berkata kecuali Allah akan memudahkannya dan Allah tidak mentaklifkannya melebihi kemampuannya dan ini adalah ungkapan yang bagus. Karena (kata) al-wus’u itu adalah apa yang tidak melebihi kemampuan”.



“(Selanjutnya Imam Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar Asy-syaihi yang lebih dikenal dengan Al-khazin menjelaskan), juga dikatakan bahwa pengertian:

لا يكلف الله نفساً إلاّ وسعها

adalah bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mentaklifkan pada manusia kecuali dalam batas kemampuannya, maka Allah tidak memerintahkan manusia untuk beribadah dengan hal-hal yang di luar kemampuannya”

Para mufassir terkemuka diatas telah memaparkan secara gamblang pengertian Surah Al-baqarah ayat 286. Benar, bahwa Allah telah menegaskan bi nash ash-sharih bahwa Dia tidak akan mentaklifkan pada hamba-Nya perkara yang diluar kemampuannya. Bahkan pada Surah at-Taghabun ayat 16, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertaqwa sesuai dengan isthitha’ah kita. Allah berfirman:

لا يكلف الله نفساً إلاّ وسعهافاتقوا الله ماستطعتم … (التغابن: 16)

Imam Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan30:

وقوله تعالى “فاتقوا الله ما استطعتم” أي جهدكم وطاقتكم كما ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه”

“Dan firman-Nya Ta’ala:

فاتقوا الله ما استطعتم

maksudnya adalah dengan kesungguhan dan kemampuan kalian, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi Hurairah RA. Dia berkata: bahwa Rasulullah SAW: ” apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian, sedangkan perkara yang aku larang untuk kalian maka jauhilah … “.



Inilah yang ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak mentaklifkan pada kita suatu perkara yang diluar batas kemampuan kita. Pertanyaannya adalah, apakah nashbul khalifah litathbiqi syari’atillah merupakan kwajiban yang diluar batas ke-mampuan kita? Memang, kalau kwajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum Muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kwajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? kwajiban yang dibebankan terhadap kita kaum Muslimin secara umum? Artinya, selama kwajiban tersebut belum tertunaikan maka kwajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita. Seluruh kaum Muslimin.



Jadi nashbul khalifah adalah kwajiban kita semua. Tidak sungguh-sungguh untuk nashbul khalifah, tanpa udzur syar’i, secara syar’i terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang dibebankan Allah pada kita. Apatah lagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut.

Khulashatul qaul kwajiban nashbul khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal tersebut tanpa udzur syar’i berdosa. Wallahu a’lam bi ash-shawab.




(Footnotes)

1 Oleh Musthafa A Murtadlo

2 Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433).

3 Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzil Minhaj, juz 16 hal 287

4 Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268

5 Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233

6 Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi’I An-naisaburi, Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465

7 Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani, Hawasyi Asy-syarwani, juz 9 hal 74

8 Hasiyata Qalyubi wa ‘Umairah, juz 15 hal 102

9 Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi, Hasyiyah Al-bajayrimi ala Al-khatib, juz 12 hal 393

10 Imam Al-hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124

11 Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-hanafi, Bada’iush Shanai’ fii Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406

12 Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz 1 hal 221).

13 Al-imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 1 hal 264-265

14 Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, Tafsirul Lubab fii ‘Ulumil Kitab, juz 1 hal 204

15 Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al-mardawi Al-hambali, Al-inshaf fii Ma’rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hambal, juz 16 hal. 60 dan 459

16 Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 21 hal. 61

17 Hasyiyyatul Jumal, juz 21 hal 42

18 Al-allamah Asy-syeikh Musthafa bin Sa’ad bin Abduh As-suyuthi Ad-dimasyqi Al-hambali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381

19 Sayyid Husain Afandi, Al-husun Al-hamidiyyah, li Al-muhafadzah ala Al-aqa’id Al-islamiyyah, hal 189.

20 Imam Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Juz I hal 100

21 Imam Asy-syirazi, Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh hal 82,

22 Lihat Qamusul Maurid, bagian huruf “qaf”

23 Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab Juz V Hal 128,

24 Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, Juz IV hal 206

25 Syeikh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi al-Bantani al-Jawi, Nihayah Az-zain, hal 359

26 Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I hal 737

27 Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an Juz III hal 429

28 Al-Imam Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Juz I hal 316

29 Imam Al-khazin, Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar, Asy-syaihi, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, Juz I hal 330

30 Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz II hal 87

Lagi, Khilafah Eksis Hanya 30 Tahun?

Lagi, Khilafah Eksis Hanya 30 Tahun?



HTI-Press. Kebutuhan akan tegaknya kembali Negara Khilafah semakin terasa, dan kini banyak umat Islam yang menyerukan hal tersebut. Namun beberapa kalangan menyatakan bahwa Negara Khilafah hanya sempat bertahan selama 30 tahun, dan kemudian lembaga setelahnya tidak pantas disebut Khilafah. Apakah pandangan ini memiliki landasan dalam pandangan Islam? Dan adakah justifikasi yang valid untuk tidak menegakkan Negara Khilafah di masa sekarang ini hanya karena adanya anggapan bahwa Khilafah hanya berlangsung selama 30 tahun?



Tidak diragukan lagi bahwa Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah Muhammad al-Mustafa saw di Madinah terus hidup hingga kehancurannya di tangan Mustafa Kamal Ataturk pada 3 Maret 1924. Kelangsungan sistem pemerintahan Islam, yakni sistem Khilafah, sejak masa Khulafaur Rasyidin dibuktikan oleh kenyataan dan naskah-naskah sejarah. Dalam konteks sejarah, kita harus mengingat struktur dalam sistem pemerintahan agar kita dapat mengkaji dengan baik apakah negara itu memang ada atau tidak. Struktur tersebut didasarkan kepada beberapa pilar, yakni Khalifah –sebagai kepala negara, Para Pembantu Khalifah (Mu’awin Tafwidl), Para Pelaksana Tugas dari Khalifah (Mu’awin Tanfidz), Amir Jihad, Para Gubernur (Wulat), Para Hakim (Qadhi), Departemen-departemen Negara, dan Majelis Negara (Majelis al-Ummah). Bila kita melakukan kajian sejarah, maka dapat kita lihat bahwa seluruh lembaga, kecuali Syura, tetap ada selama berabad-abad hingga kehancurannya di tahun 1924. Ketiadaan atau ketidakberdayaan lembaga Syura pasca masa Khulafaur Rasyidin tidak berarti bahwa sistem pemerintahan berubah, karena pemerintahan tetap dapat terlaksana tanpa adanya lembaga Syura, walau mendirikan lembaga tersebut merupakan hak setiap Muslim. Selama beberapa periode dalam sejarah, dimana tidak ada Khalifah karena terjadinya perang saudara atau pendudukan oleh tentara asing, Negara Khilafah tetap ada, karena struktur lainnya tetap ada.



Mengenai pandangan bahwa telah berlangsung sistem monarki (karajaan), memang benar bahwa bai’at –sebagai proses dalam pengangkatan Khalifah- telah disalahgunakan, namun hal tersebut tidak pernah mempengaruhi kelangsungan Negara Khilafah. Hal ini karena sekalipun seorang Khalifah meminta rakyat untuk membai’at puteranya sebelum ia mangkat, proses bai’at itu sendiri tetap ada dan berlangsung. Bai’at ini biasanya diberikan oleh kalangan berpengaruh atau perwakilan rakyat (Ahlul Halli wal ‘Aqdi), atau sebagaimana kita saksikan pada masa selanjutnya, dilakukan oleh Syaikhul Islam.



Jumhur ulama sepakat bahwa Khilafah tetap berdiri setelah berlalunya era Khulafaur Rasyidin, walau beberapa kalangan dari golongan Salafi tidak mengakui diberikannya gelar Khalifah kepada para penguasa berikutnya, karena hadits berikut yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang menerima dari Safinah, bahwa Rasulullah aaw bersabda:



“Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya”.

[Narasi yang sama dapat ditemukan dalam Sunan Abu Dawud (2/264) dan Musnad Ahmad (1/169)]

Menurut tafsiran jumhur ulama, hadits ini tidak berarti bahwa Negara Khilafah langsung lenyap setelah tiga puluh tahun, karena hal itu berarti bertentangan dengan nash lainnya.



Jabir bin Samurah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Islam akan tetap ada hingga Hari Akhir terjadi, atau saat kalian telah diperintah oleh dua belas Khalifah, mereka semua dari golongan Quraisy”. [Shahih Muslim].



Hadits ini mengindikasikan bahwa umat tidak akan hanya memiliki empat atau lima Khalifah, ini berarti Khilafah tidak hanya akan berlangsung selama tiga puluh tahun. Sehubungan dengan hadits ini, Qadhi Iyad berkata:



‘…Dijelaskan dalam hadits lainnya, ‘Khilafah setelahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan ada penguasa monarki’ Hadits ini tentu bertentangan dengan hadits yang menyebut ada dua belas Khalifah, karena dalam masa tiga puluh tahun hanya ada Khulafaur Rasyidin dan beberapa bulan saat bai’at diberikan kepada Hasan bin Ali. Jawabannya ialah: Apa yang dimaksud dengan ‘Khilafah akan berlangsung selama tigapuluh tahun’ adalah Khilafah Nubuwwah (Khilafah yang berlandaskan kenabian…)’ [Sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, 1821]



Sementara dalam hal rujukan pada dua belas Khalifah yang dimaksud, tidak berarti bahwa Khalifah hanya terbatas pada dua belas orang, sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi ‘Iyad:



‘Mungkin apa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah dalam hadits ini dan hadits lain yang sejenis ialah bahwa mereka adalah para Khalifah pada masa terkuat Khilafah, Kekuasaan Islam, saat segala urusan dijalankan dengan benar dan rakyat bersatu di bawah mereka yang menduduki jabatan Khalifah.’ [Tarikh al-Khulafa, karya Imam as-Suyuthi, p.14].

Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhari berkata:



‘Apa yang dikatakan oleh Qadhi Iyad merupakan pendapat terbaik diantara pendapat lain yang mengomentari hadits yang sama. Saya kira inilah pendapat terkuat karena didukung oleh sabda Nabi saw melalui sanad yang jelas: ‘Dan umat akan bersatu di bawah mereka…’ (Fathul Baari).

Kemudian Ibnu Hajar memberikan sebuah perhitungan historis tentang bagaimana umat berkumpul dan bersatu di bawah para Khalifah setelah berlalunya era Khulafaur Rasyidin. Ia mengemukakan bagaimana kecintaan umat terhadap Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan ia bahkan mengatakan, ‘Khulafa Bani Abbas’, yakni maksudnya para Khalifah dari golongan Abbasiyah.



Saifuddin al-Amidi, salah seorang ulama Syafi’i terkemuka dan pakar ilmu ushul, menuliskan dalam kitab al-Imamah min Abkar al-Afkar fi Ushuluddin (hal.306):



‘Dan beliau saw mengatakan: “Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya.” Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Khilafah hanya terbatas pada Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ra.) saja karena Khilafah hanya berlangsung tiga puluh tahun seperti dikatakan Nabi saw. Tidak ada pula hadits yang mengatakan bahwa tidak akan ada Khalifah setelah era Khulafaur Rasyidin. Apa yang dimaksud: ‘Khilafah setelahku’ bermakna tanggung jawab Imamah dengan mengikuti Sunnahku, tidak kurang atau lebih, ‘akan berlangsung selama tigapuluh tahun’, bertentangan dengan masa setelah itu, saat pemerintahan umumnya dipegang para raja.



Terlepas dari hal tersebut, kontinuitas Khilafah diindikasikan oleh dua hal berikut ini:



Pertama: Ijma di kalangan umat pada setiap zaman, yang mengakui kewajiban untuk mengikuti seorang Imam pada zamannya, dan bahwa Imam serta Khalifah wajib dipatuhi.



Kedua: Beliau saw bersabda: ‘Kemudian akan ada (tasiru) kerajaan (mulkan)’. Pronomina persona (dlamir) dalam frasa ‘tasiru mulkan’ merujuk pada Khilafah. Ini karena apa yang disebutkan (verba) tidak dapat dirujukkan kepada hal lainnya selain Khilafah, seperti dalam kalimat ‘kemudian Khilafah berubah menjadi kerajaan (Mulk)’. Kalimat ini menunjukkan bahwa Khilafah akan menjadi kerajaan. Hal yang menjadi rujukan dalam kalimat perlu disebut langsung di dalam kalimatnya. Pada poin pertama, Imam Amidi menjelaskan bahwa umat menyepakati, dan ini tentu berdasarkan pada nash, bahwa Imam pada setiap zaman harus ditaati dan karena itu, seseorang tidak dapat begitu saja berpendapat bahwa hadits tersebut hanya terbatas pada Khilafah setelahnya. Dan argumen kedua berlandaskan pada ilmu linguistik, hadits tersebut menyatakan suatu perubahan aspek Khilafah, bukan Khilafah itu sendiri. Bunyinya sama seperti kalimat ‘dan kemudian Tariq menjadi marah’, perubahan sifat Tariq pada keadaan marah tidak lantas mengubah nama Tariq menjadi Ali atau Umar. Tariq tetaplah Tariq, namun sifatnya saat itu berubah menjadi sedang marah.


Hal yang sama dapat dilihat pada kalimat hadits: ‘tsumma tasiiru mulkan’ (dan kemudian itu menjadi kerajaan) tidak berarti bahwa hal itu bermakna Khilafah lenyap. Bahkan dalam salah satu narasi, hadits tersebut berbunyi: ‘Khilafah berdasarkan kenabian akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian itu menjadi kerajaan.’ Dengan kata lain, apa yang lenyap ialah Khilafah yang berdasarkan kenabian, yakni Khilafah yang sempurna, bukan Khilafah itu sendiri!



Mengomentari pendapat bahwa para penguasa setelah Ali ra adalah para raja, Imam at-Tafthazani berkata, ‘Ini masalah yang pelik, karena dewan perwakilan umat (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) yang mewakili umat Islam tetap ada di zaman Khilafah Abbasiyah dan pada masa beberapa Khalifah Bani Marwan, semacam Umar bin Abdul Aziz misalnya. Mungkin maknanya di sini (merujuk pada hadits bahwa Khilafah hanya berlangsung 30 tahun) ialah selain dari Khilafah yang sempurna, dimana tidak ada perbedaan (pendapat) atau penentangan tentangnya (Khalifah yang benar) akan berlangsung selama tiga puluh tahun, dan mungkin setelahnya akan ada atau akan tidak ada Khilafah…Bila perbedaan terjadi setelah masa Khilafah tiga puluh tahun, maka setelah masa urutan dari Khulafaur Rasyidin, umat Islam tidak akan memilih pemimpin dan tidak akan patuh hingga mereka wafat tanpa berbai’at, maka kami kira telah dikemukakan bahwa apa yang dimaksudkannya ialah Khilafah yang sempurna.’


Seperti kita ketahui, seseorang yang mati tanpa berbai’at pada Khalifah maka matinya sama dengan mati jahiliyah, jadi bagaimana nasib umat setelah 30 tahun berlalu? At-Tafthazani menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa umat pada masa itu tidak berdosa, karena hadits hanya merujuk pada Khilafah yang sempurna.



Imam Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa (Sejarah Para Khalifah) menuliskan sejarah para Khalifah hingga wafatnya Khalifah Mutawakkil Abul ‘Izz pada 903 H dan pengangkatan puteranya, al-Mustamsik Billah. Ia menuliskan dalam pengantar kitab tersebut: ‘Inilah sejarah singkat yang berisi biografi para Khalifah, para Amirul Mukminin, yang menjadi pelayan umat sejak masa Abu Bakar as-Siddiq ra hingga saat ini’. Dan saat itu adalah 900 tahun setelah Hijrah!



Para ulama terkemuka sepanjang zaman memiliki hubungan baik dengan para Khalifah, seperti Abu Hanifah dan al-Mansur, atau ada pula yang bekerja untuk para Khalifah, seperti Qadhi Abu Yusuf yang menjadi Qadhi Qudhat (Kepala Hakim) di bawah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, atau mereka ikut berpartisipasi dalam pembai’atan Khalifah, seperti Imam Izz bin Abdussalam, yang memberikan bai’at kepada Mustansir Billah setelah kekalahan pasukar Tatar.



Saat menjelang akhir Khilafah Utsmaniyah, dimana kekuatan-kekuatan kafir besar berkonspirasi melawannya, Syaikhul Hindi, Maulana Mahmud Hasan (yang kemudian menjabat sebagai Kepala Darul ‘Ulum Deoband serta merupakan murid langsung dari Maulana Qasim Nanautavi, pendiri Darul ‘Ulum) pada tahun 1920, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya menyelamatkan Khilafah Utsmaniyah dari serangan musuh-musuh Islam.

Sang Maulana yang terhormat berkata: ‘Musuh-musuh Islam tidak meninggalkan secuil batu pun untuk digunakan menyerang kehormatan dan kejayaan Islam. Irak, Palestina, dan Suriah yang dibebaskan dengan susah payah oleh para sahabat Nabi dan pengikutnya dengan pengorbanan yang begitu besar, telah menjadi target rebutan para musuh Islam. Kehormatan Khilafah sedang terancam. Khalifatul Muslimin, yang biasanya menyatukan seluruh umat di planet ini, yang merupakan wakil Allah di bumi ini; menerapkan hukum-hukum Islam, melindungi hak dan kepentingan umat Islam, menyebarkan dan menjaga kesucian firman Allah di seisi semesta, telah dikepung dan dilemahkan oleh para musuh.’ [dari Fatwa Syaikhul Hindi Maulana Mahmud Hasan, 16 Safar 1339 H, 29 Oktober 1920 M, halaman 78 dalam terjemahan bahasa Inggris 'The Prisoners of Malta' karya Maulana Syed Muhammad Mian, diterbitkan oleh Jamiat Ulama-I-Hind]



Selain itu, Maulana Muhammad Ali Jauhar, pendiri Jami’atul Khilafah berkata tentang Khilafah: ‘Sultan Turki adalah Khalifah pengganti Nabi serta Amirul Mukminin, pemimpin orang-orang beriman, dan Khilafah sendiri merupakan wujud keberagamaan kita sebagaimana digariskan oleh Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.’ [Jauhar, Muhammad Ali, My Life a Fragment, hal.41].



Maulana Abul Kalam Azad pun menulis buku pada tahun 1920 yang berjudul ‘The Issue of Khilafat’. Dalam buku itu ia mengatakan: ‘Eksistensi Islam tidak akan berlangsung tanpa adanya Khilafah. Umat Islam India dengan segala upaya dan kekuatan yang dimilikinya harus berjuang demi tegaknya Khilafah.’ Dalam buku tersebut, beliau menuliskan daftar para Khalifah Islam sejak zaman Abu Bakar ra hingga saat ia menuliskan buku tersebut.

Jadi, kita bisa melihat bahwa para ulama sangat memiliki kepedulian pada upaya menjaga kontinuitas Khilafah hingga akhir zaman.



Berlangsungnya kewajiban menjaga Negara Khilafah setelah masa Khulafaur Rasyidin merupakan pilar ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, dan karenanya at-Tafthazani (yang kebetulan adalah ulama Syafi’i) dalam Syarah Aqidah karya Imam an-Nasafi (seorang ulama Hanafi) berkata: ‘Hal yang dapat disepakati adalah kewajiban untuk mengangkat seorang Imam. Perbedaan opini adalah pada masalah apakah pengangkatan harus dilakukan oleh Allah atau makhluk-Nya, dan apakah landasan ini [untuk pengangkatan] berdasarkan nash atau akal. Pendapat yang benar adalah makhluk harus mengangkat seorang Khalifah, karena sabda Nabi saw, ‘Siapapun yang mati tanpa berbai’at pada Khalifah maka matinya sama dengan mati jahiliyah.’

At-Tafthazani juga berkata: ‘Umat Islam harus memiliki seorang Imam, yang akan mengurusi segala urusan mereka, memelihara mereka dari apa yang diharamkan, memimpin mereka dalam peperangan, mempersenjatai mereka, menerima pengaduan mereka, menghukum mereka yang berlaku tidak adil, mencuri, dan merugikan orang lain, memimpin shalat Jum’at dan hari raya, menyelesaikan sengketa di antara makhluk, menerima bukti-bukti berdasarkan hukum, menikahkan para pemuda dan perempuan yang tidak memiliki wali, membagi harta, dan hal-hal lain semacam ini yang tidak dapat diselesaikan oleh orang-orang yang telah dipercaya menyelesaikannya.’ [Syarah ‘Aqidah an-Nasafiyyah, hal.147]

Apa yang dikatakan Imam at-Tafthazani digolongkan sebagai apa yang disepakati golongan Ahlussunnah wal Jamaah, dan nukilan kewajiban mengangkat Khalifah di atas cukup jelas, terlepas dari interpretasi sejarah manapun yang diyakini.

Dalil yang Tegas Tentang Kewajiban Khilafah

Dalil yang Tegas Tentang Kewajiban Khilafah

Kewajiban Khilafah adalah perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an , as Sunnah, dan ijmak Sahabat. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa Khilafah tidak memiliki pijakan nash. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)




Pertama, bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-kitab, as-sunah dan ijmak sahabat :

Dalil dari al-kitab, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :



فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)



وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).




Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.



Adapun dalil dari as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :



مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR. Muslim)



Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :



إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ

Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung (HR. Muslim)

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ” aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :



كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)



Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam. Ini merupakan tuntutan. Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :



وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)



Perintah mentaati imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.



Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.

Penguasa Terlaknat

Penguasa Terlaknat


Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang
kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan
kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka
yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka
dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim).


Bagaimana dengan pemimpin umat Islam sekarang? Tanpa ragu kita mengatakan
hampir sebagian besar pemimpin negeri Islam sekarang ini masuk dalam
kategori seburuk-buruk pemimpin. Sebagian besar pemimpin negeri Islam
justru membenci dan melaknat rakyatnya sendiri. Sebaliknya, rakyatnya pun
demikian. Mengapa rakyat membenci dan melaknat pemimpin mereka sendiri?


Pertama: sebagian besar pemimpin negeri Islam telah melalaikan hak-hak
utama rakyat yang menjadi tanggung jawab pemimpin. Lihatlah, sebagian
besar negeri Islam, meskipun kaya-raya, rakyatnya miskin. Mereka tidak
mendapat makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Padahal semua itu
merupakakan kebutuhan pokok manusia. Pendidikan pun sebagian besar mahal
dan tidak berkualitas. Di sisi lain tidak sedikit rakyat yang terlantar
menahan sakit keras hingga ajal menjemput karena biaya kesehatan yang
mahal.


Alih-alih memperhatikan rakyat, para penguasa itu beserta keluarga dan
kroni-kroni pendukung kekuasaannya justru memperkaya diri. Mereka tanpa
malu, di depan rakyat yang menderita, mempertontonkan kekayaaan hasil
kejahatan mereka; merampas kekayaan alam negara dan merampas hak rakyat
dengan cara korupsi, manipulasi dan kolusi.


Kedua: para penguasa zalim di negeri Islam telah menjadi penguasa pemalak
rakyat (jibayah) dan perampok kekayaan negara. Mereka membuat kebijakan
kapitalistik yang memperberat beban rakyat yang sudah berat. Mereka
megutip berbagai pajak dari rakyat. Mereka mengurangi dan mencabut apa
yang mereka klaim sebagai subsidi terhadap rakyat (meskipun hal itu
sebenarnya merupakan hak rakyat). Mereka melepaskan diri dari tanggung
jawab untuk mengurus rakyat, membiarkan rakyat mengurus diri mereka
sendiri. Ironisnya, semua ini mereka lakukan dengan cara menipu.


Di Indonesia hal yang nyata tampak dari UU UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kebijakan yang memalak rakyat atas
nama jaminan sosial. Hizbut Tahrir Indonesia dalam pernyataan persnya
dengan tegas mengkritik UU yang menipu rakyat ini. Hizbut Tahrir Indonesia
menilai, UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam
memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat serta mengubah jaminan
sosial menjadi asuransi sosial.


UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat menjadi komoditas bisnis.
Bahkan dengan sengaja UU ini akan menciptakan eksploitasi atas rakyat
sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Ini tentu sangat berbahaya
karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada
kuasa pasar yang rakus.


Ketiga: para pemimpin diktator ini telah memberikan jalan yang
seluas-luasnya bagi asing untuk merampok kekayaan alam negeri Islam.
Penguasa lalim itu lebih memilih tunduk pada kebijakan ekonomi dan politik
negara imperialis lewat organ-organ penjajahan mereka seperti IMF dan Bank
Dunia. Kekayaan alam negeri Islam dirampok atas nama pasar bebas,
kebebasan berinvestasi, privatisasi, hutang luar negeri untuk membangun
dan istilah-istilah muluk lainnya.


Ironisnya, semua itu dilegalkan oleh undang-undang negara. Padahal
kekayaan alam negeri Islam, kalaulah digunakan untuk kepentingan rakyat,
tentu lebih dari cukup. Namun, semua itu memang tidak akan pernah cukup
bagi bagi negara-negara rakus yang didukung oleh pemimpin negeri Islam
yang serakah.


Keempat: Sebagian besar pemimpin negeri-negeri Islam adalah diktator yang
represif. Kekuasaan mereka, mereka gunakan secara keji dan brutal untuk
menindas rakyat, membungkam aspirasi rakyat. Penguasa ini menangkap,
menyiksa, membunuh, mengadili secara lalim siapapun dari rakyatnya yang
dianggap mengancam dan berlawanan dengan kepentingan politiknya.


Para pemimpin diktator dan refresif ini bersikap keji, karena mereka telah
menjadi kaki tangan dan boneka negara-negara imperialis. Tuan-tuan mereka
ini telah memberikan tugas khusus kepada mereka: membungkam aspirasi
rakyat dan perjuangan rakyat untuk menegakkan syariah Islam dan Khilafah.
Sebab, penegakan syariah Islam mengancam kepentingan penjajahan Barat di
negeri negeri Islam.


Para penguasa lalim ini pun memberikan label jahat kepada rakyatnya
sendiri. Tujuannya, apalagi kalau bukan membenarkan pembunuhan terhadap
rakyatnya. Umat Islam yang memperjuangkan syariah Islam dan Khilafah
dituduh radikal, teroris, garis keras, ekstremis, militan mengancam negara
dan lain-lain. Kaum Muslim Palestina, Afganistan, Pakistan dan Irak, yang
berjuang membebaskan negeri Islam dari penjajah kafir Amerika dan
sekutunya dicap teroris.


Pemerintah boneka Pakistan dan Afganistan, atas nama perang melawan
militan dan teroris, membiarkan pesawat-pesawat tempur Amerika dan
sekutunya untuk membombardir rakyatnya sendiri.
Di Irak, penguasa boneka, untuk membela kepentingan Amerika, atas nama
membangun negara demokrasi, memberikan jalan kepada tentara-tentara asing
untuk dengan seenaknya membunuh hampir satu juta rakyat Irak. Tanah kaum
Muslim juga diberikan oleh penguasa boneka Saudi dan Turki untuk menjadi
pangkalan militer negara-negara imperialis. Dari sana pesawat Amerika dan
tentara-tentaranya membunuh umat Islam.


Menghadapi para penguasa lalim ini tentu umat Islam tidak boleh diam.
Penguasa lalim ini harus diberikan pilihan jelas: menerapkan syariah Islam
sehingga mereka dicintai dan didoakan oleh rakyat atau pilihan diturunkan.
Namun, perubahan yang harus dilakukan umat Islam tidak boleh berhenti
sekadar mengganti rezim (penguasa) yang lalim ini. Perubahan sekaligus
harus menyentuh sistem yang lalim yang memberikan legitimasi kepada
mereka. Caranya adalah dengan mengganti sistem Kapitalisme jahiliah dengan
sistem Islam di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. []
Tweet

sumber : dari mbah google

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/04/penguasa-terlaknat/

Kisah Seorang Pelacur Muslimah dan Bid’ah

Kisah Seorang Pelacur Muslimah dan Bid’ah



Kisah ini terjadi pada kisaran tahun 1980an. Singkatnya, ada seseorang yang bekerja di sebuah instansi yang bergerak di bidang pembinaan terhadap wanita-wanita tuna susila di negeri ini. Suatu hari, seperti biasanya dia bertugas mengunjungi tempat-tempat lokalisasi / prostitusi di sebuah kota di Jawa Timur. Namun kunjungan kali ini sangat berbeda dari biasanya. Di tengah-tengah kunjungannya itu, dia mendengar ada bacaan surat Al Ikhlas dibacakan pelan tapi masih terdengar dari balik sebuah kamar.



Mendengar bacaan itu, dia merasa penasaran untuk mencari sumber bacaan itu. Dia datangi kamar penghuni lokalisasi itu untuk melihat siapa yang membaca bacaan surat Al Ikhlas berulang-ulang dengan sangat fasih itu. Setelah mengetuk pintu, ia pun dipersilakan masuk oleh penghuni kamar.



Betapa kagetnya si pegawai itu melihat orang di dalam kamar lokalisasi itu adalah seorang wanita muda yang terbalut dengan jilbab kerudung. Singkatnya, terjawablah sudah pertanyaan si pegawai siapa gerangan yang membaca surat Al Ikhlas berulang-ulang. Si wanita pelacur 'muslimah' berjilbab itulah yang membacanya.



Dengan penuh keheran-heranan dan tandatanya besar, si pegawai pun memberanikan diri untuk bertanya kepada si pelacur muslimah, “Mbak, kenapa mbak melacur?” tanya si pegawai.

Mendengar pertanyaan dari si pegawai, si pelacur 'muslimah' tidak marah. Bahkan ia justru tersenyum tertawa.



Melihat si pelacur justru tertawa, si pegawai bertanya kembali, “Kamu tidak merasa bersalah dengan perbuatanmu ini?” tanya si pegawai, lagi.



“Tidak,” jawab si wanita pelacur itu mantap.



Mendengar jawaban mantap yang keluar dari lisan si wanita pelacur, maka si pegawai pun semakin penasaran untuk menelisik lebih jauh tentang latar belakang si wanita muda pelacur itu.



Singkatnya, tersingkaplah sejarah masa lalu si perempuan itu. Diketahuilah, sejak kecil si wanita itu sudah belajar nmengaji (membaca Al Quran) sejak dini di kampungnya. Dia belajar mengaji di bawah didikan kyai di kampungnya. Setelah lancar dan pintar mengaji, ketika umur 12 tahun, pak kyai di kampungnya itu pun memberikannya ijazah kelulusan karena berhasil mengkhatamkan Al Quran.

Di dalam ijazah itu, juga ada sebuah pesan, “Barangsiapa membaca Al Ikhlas 1000 kali setiap hari akan masuk surgatanpa hisab.”



Pesan itu juga dipesankan secara khusus oleh pak kyai yang memberinya ijazah khatam al Quran.

Selanjutnya sejak saat itu sampai hari itu, ia terus menerus rajin membaca surat al ikhlas setiap malam sebanyak 1000 kali tak pernah putus. Demikian akunya.



“Bagaimana saya harus merasa bersalah? Bahkan, sudah selayaknya saya justru merasa bersyukur kepada Allah karena diberikan pekerjaan yang ringan dan dengan penghasilanya pun lumayan,” jawabnya penuh kemantapan tanpa penuh keraguan.



“Dan saya jelas “min ahlil jannah” (penghuni surga_pen) karena sejak menerima ijazah itu saya tidak pernah tidak membaca qul huwallahu ahad (maksudnya: surat Al Ikhlas_pen) setiap harinya,” pungkasnya.



Terungkaplah ternyata alasannya kenapa ia sama sekali tidak merasa bersalah menjadi seorang pelacur bahkan justru bersyukur karena dimudahkan dalam mencari rejeki adalah karena ia MEYAKINI bahwa dia akan menjadi “ahli jannah” berbekal amalan bacaan surat Al Ikhlas 1000 kali setiap hari. Na'udzubillahi min dzalik.



Hikmah dan ibroh (pelajaran) dari kisah ini adalah bahwa ternyata pengaruh bahaya bid'ah bisa sangat menyesatkan dan mengerikan. Keyakinan si pelacur itu akan kepastiannya masuk surga atas amalan yang tidak berdasar itulah yang justru menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan. Na'udzubillahi min dzalik.



*Kisah ini adalah kisah nyata yang terjadi di Indonesia yang diperoleh dari ceramah ustadz Abdullah Sungkar dengan sedikit mengubah alur cerita namun tanpa mengurangi esensi ceritanya.



Ahmed Fikreatif (Blogger/Narablog)



http://www.muslimdaily.net/artikel/islami/7428/kisah-seorang-pelacur-muslimah-dan-bid%E2%80%99ah