Wednesday, July 24, 2019

AKIBAT TIDAK BISA MEMBEDAKAN THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH

AKIBAT TIDAK BISA MEMBEDAKAN THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH


Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu “alat” untuk memenuhinya kebutuhan dan “aktivitas” yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel, bisa digantikan yang lain). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi berbagai “alat” dan “aktivitas” yang begitu banyak ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat atau sia-sia.

Contohnya adalah lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari alat dan aktivitas yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Alat di sini tentu maknanya adalah berupa makanan. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya.

Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum seember air atau tidur 10 jam, tetap itu tidak akan bisa menjadi “obat” lapar. Jadi, aktivitas makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain. Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari (sahur dan berbuka), atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju manusia. Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah hilangnya rasa lapar, dan bukan aktivitas makan itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan “memenuhi aktivitas makan”. Misalnya, kita makan siang. Kita makan siang semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena “jam makan siang”. Seandainya saja, kita makan pagi (sarapan) terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan (karena sudah jam makan siang), maka aktivitas makan siang ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah “terwujudnya aktivitas makan”, dalam hal ini aktivitas makan siang adalah bagian dari cara makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam). Tetapi jika kita makan siang, padahal kita masih kenyang karena makan pagi terlalu banyak, itu artinya kita makan siang bukan dalam rangka memenuhi tujuan makan yaitu “hilangnya rasa lapar”, tetapi dalam rangka memenuhi yang lainnya. Bisa saja tujuannya adalah “mewujudkan prinsip makan tiga kali sehari (makan pagi, siang, malam)”, atau bisa juga karena “ingin memenuhi selera makan karena ada menu baru”, dan sebagainya. Padahal, hukum asal makan adalah untuk “menghilangkan rasa lapar”. Ini contoh yang pertama.

Contoh lain adalah berkelompok. Berkelompok adalah indikasi yang menunjukkan adanya naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (bersama kelompoknya). Dari sisi dasar pendiriannya, ada begitu banyak jenis kelompok dalam kehidupan manusia. Ada kelompok yang didirikan atas dasar kepentingan materi, dan ada kelompok atas dasar kepentingan non-materi (atas dasar kepentingan kesamaan ide atau ideologi, kepentingan kesamaan nasib, kesamaan kepentingan perasaan, kepentingan kesamaan nasab, dan sebagainya). Sebuah kelompok didirikan karena manusia merasa nyaman dengan adanya kesatuan atau berbagai kesamaan tadi. Sedangkan dari sisi bentuknya, kelompok juga memiliki beberapa jenis. Ada keluarga, ada ormas, ada partai politik, ada majelis taklim, ada pula negara. Berbagai kelompok tadi didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu. Apa tujuannya? Itu sangat bergantung pada jenis kelompoknya. Jika sebuah negara didirikan, maka tujuan-tujuannya meliputi kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Dengan kata lain, tujuannya adalah menjaga jiwa, akal, dan kehormatan masyarakat. Inilah tujuan dari orang-orang yang mendirikan negara. Tanpa adanya negara (kekuasaan), maka berbagai tujuan tadi akan susah terwujud. Maka negara merupakan “alat” baku untuk tercapainya tujuan-tujuan tadi. Mengapa negara disebut sebagai alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan berbagai tujuan tadi, kecuali dengan adanya negara (kekuasaan, politik). Tidak bisa dengan model pendirian ormas, partai politik, majelis taklim, dan sejenisnya. Kalau pun ada ormas, partai politik, dan majelis taklim yang ingin berbuat nyata untuk masyarakat, aktivitasnya juga pasti sangat terbatas, tidak bisa menjangkau seluruh warga masyarakat. Misalnya dengan menggalang bantuan sosial atau kemanusiaan atau pendidikan atau kesehatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah atau rumah sakit. Hal-hal semacam ini hanya berlaku terbatas, tidak seluruh warga negara bisa dijangkau. Mengapa terbatas? Ya karena tidak memiliki kekuasaan, karena itu tidak kuasa (terbatas) dalam memenuhi seluruh kepentingan warga masyarakat. Berbeda jika hal-hal semacam itu dilakukan oleh negara (kekuasaan). Jika negara sudah berdiri, maka berbagai cara akan ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuan-tujuannya di atas tadi, bukan hanya yang bisa dijangkau ormas, parpol, atau lembaga sosial. Caranya bisa bermacam-macam, bisa mendirikan berbagai macam sekolah, rumah sakit, bandara, membangun berbagai BUMN untuk mengelola sumber daya alam, memberikan permodalan untuk masyarakat, mendirikan lembaga-lembaga penjaga keamanan (baik keamanan dalam/polisi dan keamanan luar negeri/
tentara), mendirikan lembaga peradilan, mendirikan lembaga-lembaga administrasi negara, dan sebagainya. Ini semua adalah cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendirian negara. Karena itu bisa diambil kesimpulan, keberadaan negara, sebenarnya bukanlah tujuan. Karena tujuannya didirikannya negara adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika negara bukan tujuan, lalu negara itu sebagai apa? Jawabannya, negara merupakan “alat” baku untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi. Mengapa disebut alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi selain dengan adanya negara.
Buruknya kondisi suatu negara, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, bisa jadi juga merupakan akibat dari tidak dipahaminya konsep ini secara benar. Misalnya, munculnya jargon NKRI harga mati. Jargon ini secara nyata telah menunjukkan bahwa NKRI adalah tujuan. Pernyataan ‘harga mati’ inilah yang mengindikasikan bahwa negara adalah tujuan. Sebab, istilah harga mati merupakan ungkapan untuk menunjukkan kerasnya usaha dalam hal mempertahankannya, sedangkan tidak ada suatu usaha keras ditempuh selain untuk meraih tujuan. Sehingga diambil kesimpulan bahwa dari pernyataan tersebut, bahwa keberadaan NKRI adalah tujuan. Dan apa yang bisa dilakukan seseorang ketika tujuannya sudah tercapai? Jawabannya, tidak akan ada lagi usaha keras yang dia tempuh, kecuali hanyalah aktivitas-aktiv
itas kecil saja. Maka wajar jika setelah NKRI tegak, maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, hanya dilakukan dengan sekedarnya. Mengapa? Ya, karena tujuan sudah tercapai. Akibatnya, rakyat akan merasakan kerugian yang luar biasa, baik rugi sumber daya alam (sumber daya alam dirampok asing) maupun rugi sumber daya manusianya (akhlak atau moralitas rakyat rusak karena pengaruh paham asing). Ini sebagai akibat dari salah memahami, bahwa keberadaan negara disangka tujuan. Padahal, tidak tepat jika menjadikan negara sebagai tujuan.

Sama halnya juga dengan memahami kekuasaan. Ketika menjelang pemilu, suasana di negara demokrasi begitu semarak, ramai. Partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, atau calon kepala daerah yang akan tampil “bertarung” dalam panggung demokrasi, akan mengeluarkan segala daya dan upaya untuk bisa meraih kekuasaan, memenangkan pertarungan. Biaya miliyaran mereka keluarkan, hanya untuk tercapainya tujuan. Apa tujuannya? Yaitu kekuasaan. Sampai di sini, siapa pun memahami, bahwa kekuasaan memang tujuan dari para peserta pertarungan demokrasi. Padahal, jika kita memahami konsep normal suatu pemikiran asal, kekuasaan seharusnya tidak dianggap sebagai tujuan. Sebab, tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Ini tujuan asalnya, dan bukan meraih kekuasaan. Kekuasaan, hanyalah jalan baku untuk bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kenapa jalan baku? Ya, seperti dijelaskan di atas, karena hanya dengan kekuasaanlah berbagai tujuan bisa terwujud, bukan dengan jalan yang lain. Kesalahan dalam memahami mana tujuan dan mana jalan baku dalam bernegara, akan berakibat pada terbengkalainya kepentingan rakyat. Kita bisa melihat, setelah seseorang jadi penguasa (memenangkan pertarungan demokrasi), apakah kebijakan mereka benar-benar akan berpihak kepada rakyat? Tentu kita bisa melihatnya sendiri. Utang negara yang semakin menggunung. Siapa yang harus membayar? Tentu rakyat. Subsidi energi (listrik dan BBM) dicabut. Siapa yang harus menanggung? Tentu rakyat. Sumber daya alam mengeluarkan hasil yang melimpah. Siapa yang menikmati? Tentu bukan rakyat. Ini terjadi, sebagai akibat dari memahami kekuasaan sebagai tujuan. Padahal, sebagaimana layaknya memahami negara, kekuasaan hanyalah jalan baku untuk mencapai tujuan-tujuan.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri, manusia harus betul-betul memperhatikan aktivitas dan alat yang akan digunakan untuk memenuhinya; mana yang merupakan cara baku, cara tidak baku, alat yang tepat untuk memenuhi, alat yang tidak tepat untuk memenuhi; serta tujuan dari dilakukannya aktivitas tersebut. Jika hal tersebut tidak dipahami dengan baik, maka niscaya kehidupan manusia tidak akan berjalan efektif, efisien, terukur, dan terarah. Bisa dibayangkan, antara yang baku dengan yang tidak baku kebolak balik; mengira alat adalah tujuan padahal alat hanyalah sarana meraih tujuan; aktivitas baku tertukar dengan aktivitas tidak baku dan mengira memenuhi aktivitas baku sebagai tujuan. Ini semua adalah kekacauan hidup sebagai akibat dari tidak dipahaminya “cara-cara menjalani kehidupan”. Akhirnya, tujuan hidup manusia menjadi semakin kabur, tidak jelas mau seperti apa, tidak jelas mau dibawa kemana. Jika ketidakjelasan hidup ini dianut individu, maka hal itu hanya akan berdampak pada dirinya sendiri. Tetapi jika hal semacam ini dianut oleh suatu bangsa, atau pemimpin masyarakat, maka dampaknya akan sangat luas.

KHILAFAH, BUKANLAH TUJUAN

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan penjelasan tentang hal ini. Beliau membedakan mana yang termasuk tujuan, sarana, cara, dan jalan. Tujuan adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau “alat” yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah). Dalam Islam, thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana prasarana atau “alat-alat” yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.

Contohnya adalah Khilafah. Khilafah adalah jalan baku untuk mencapai tujuan perjuangan Islam. Disebut jalan baku, karena tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan, selain dengan Khilafah. Maka, khilafah adalah sebuah thariqah atau metode untuk tercapainya tujuan yang hendak dicapai. Apa tujuan yang hendak dicapai? Tujuan yang hendak dicapai adalah menerapkan syariat Islam secara keseluruhan atau menghadirkan kehidupan Islam. Disebut “menghadirkan kehidupan Islam” sebab, kehidupan yang Islami tidak akan terwujud tanpa penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Inilah tujuan yang (seharusnya) hendak dicapai oleh banyak organisai pergerakan Islam. Jadi, Khilafah bukanlah tujuan. Khilafah adalah sebuah metode (thariqah) atau jalan untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuannya (ghayah), tidak lain adalah menerapkan syariat Islam. Mengapa penerapan syariat Islam dijadikan tujuan? Sebab, menerapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Allah berfirman:
ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ
“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. al-Maidah: 48)
ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….” (QS. al-Maidah: 49)
Apa yang diturunkan Allah? Tidak lain adalah wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunah, dan apa yang ditunjukkan keduanya, yaitu ijma’ sahabat dan qiyas. Wahyu Allah ini meliputi akidah (keyakinan), dan syariah (tata aturan hidup bagi manusia). Syariah meliputi tiga aspek : (1) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, yang tercakup dalam aturan berakidah dan aturan beribadah; (2) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi aturan-aturan tentang makanan-minuman, pakaian, dan akhlak; dan (3) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia, yang meliputi muamalat dan uqubat (sistem sanksi). Muamalat dalam Islam meliputi fiqh muamalah (fikih ekonomi), fiqh munakahah (fikih sosial/
pergaulan pria dan wanita), dan fiqh siyasah (fikih berpolitik, bagaimana mengatur tatanan masyarakat). Sedangkan uqubat (sistem sanksi) adalah dalam rangka menjaga agar penerapan muamalat Islam berjalan baik. Inilah ruang lingkup dari syariat Islam yang wajib untuk diterapkan.
Karena menerapkan syariat Islam adalah wajib, dan kaum muslimlah yang akan menerapkannya, maka kaum muslim harus terbangun kesadarannya (sadar bahwa syariat Islam wajib diterapkan). Jika terbangunnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka berdakwah di tengah-tengah kaum muslim agar terikat dengan syariat Islam, merupakan jalan baku (thariqah) untuk membangun kesadaran kaum muslim.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika Khilafah atau mendirikan Khilafah merupakan tujuan (sesuatu yang ingin dicapai dan ending dari segala usaha), maka jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam tidak perlu melakukan aktivitas dakwah. Organisasi tersebut cukup membentuk laskar-laskar kemiliteran. Jika dirasa sudah cukup kuat, maka tibalah saatnya melakukan kudeta, kepung istana negara, sandera kepala negara, lalu deklarasikan berdirinya Khilafah. Tercapailah tujuan. Tidak perduli, apakah umat siap atau tidak diterapkan syariat Islam. Tidak perduli dalam perjalanan Khilafah apakah terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam atau tidak. Sebab, itu bukanlah tujuan. Karena yang menjadi tujuannya adalah Khilafah. Inilah yang akan terjadi, jika Khilafah dijadikan tujuan (ghayah). Dan dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pemahaman seperti ini adalah salah.
Tetapi jika “menerapkan syariat Islam” atau “menerapkan kehidupan Islam” adalah tujuan dari perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, maka metode (thariqah) yang harus ditempuh tidak lain adalah dengan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat tentang wajib dan pentingnya syariat Islam. Justru penerapan syariat Islam inilah yang merupakan inti dari aktivitas setelah Khilafah berdiri. Maka, tujuan belum dikatakan tercapai (berhasil), jika setelah Khilafah berdiri, justru terjadi banyak pelanggaran syariat Islam. Jadi, bisa diambil kesimpulan, bahwa Khilafah tidak boleh dijadikan tujuan perjuangan jamaah dalam Islam, tetapi yang harus menjadi tujuannya adalah agar umat menerapkan syariat Islam.

Dari pemahaman tersebut, maka kelompok atau jamaah dakwah Islam seperti HTI yang berjuang ingin menegakkan Khilafah, tidak akan menjadikan Khilafah menjadi tujuan perjuangan. Tetapi bagi ormas HTI, Khilafah “sekedar” metode atau thariqah atau jalan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Karena itulah, HTI tidak akan dan tidak akan pernah memiliki atau membentuk laskar atau sayap militer dalam bentuk apa pun. Jika sampai ada aktivitas semacam ini, itu artinya HTI telah keluar (melanggar) prinsip-prinsip dalam seluruh aktivitasnya, dan tentulah akan bertentangan dengan konsep thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah yang digagas pendirinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, pernyataan mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam sidang PTUN yang menyatakan bahwa HTI memiliki sayap milter yang disembunyikan, jelas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta alias dusta. Allah berfirman :
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)

Agar umat terbangun kesadaran akan penting dan wajibnya menerapkan syariat Islam, maka harus ada dakwah. Pembahasan tentang dakwah ini begitu luas, baik dari sisi objek (sasaran), materi dakwah, maupun cara/gaya berdakwah. Dalam konteks objek atau sasarannya, maka sasaran dakwah itu ada dua, yaitu kaum muslim dan nonmuslim. Dakwah untuk orang nonmuslim adalah dakwah untuk mengajak mereka masuk ke dalam Islam. Sedangkan dakwah kepada sesama orang Islam adalah dakwah untuk mengajak mereka agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup dengan aturan agama Islam. Sementara itu dari sisi materi dakwahnya, ini sangat bergantung pada pemahaman da’i terhadap kondisi realitas yang ada. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah masalah akidah maka materi dakwahnya berfokus pada pembinaan akidah. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah kerusakan akhlak, maka dakwahnya berfokus pada pembinaan akhlak. Jika seorang da’i menganggap bahwa akar permasalahan umat adalah politik (ketiadaan Khilafah), maka fokus dakwahnya adalah pada bidang politik Islam. Begitu seterusnya. Semua materi dakwah memang sangat bergantung dari pemahaman seorang da’i tentang realitas kondisi umat.

Sedangkan untuk cara atau gaya dakwah, ini sangat berkaitan dengan cara penyampaiaan materi-materi dakwah. Cara atau gaya dakwah merupakan bentuk dari uslub dalam dakwah. Ada dakwah yang dilakukan dengan cara tatsqif jama’i (pembinaan secara umum) seperti mengadakan pengajian umum di masjid atau aula, seminar di gedung pertemuan, muktamar di lapangan besar; ada pula yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian (halqah). Ada dakwah yang dilakukan dengan penyiaran di media massa (televisi, koran, majalah, radio), ada dakwah yang dilakukan melalui penyampaian syair-syair (nasyid). Ada yang dilakukan di indoor (di dalam ruangan), ada juga yang outdoor (di ruang terbuka). Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang dengan model terbuka. Dan sebagainya. Semua ini masuk dalam ranah (uslub) dalam berdakwah. Tetapi tanpa dibedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah; maka akan muncul keruwetan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas. Karena itu, dalam berdakwah, setiap da’i hendaknya tetap memandang mana thariqah, mana uslub, mana wasilah, dan mana ghayah. Ini penting untuk dipahami, sebagaimana pentingnya memahami bahwa persoalan lapar itu hanya bisa diselesaikan dengan makan, dan bukan minum. Makan pun tidak harus dengan nasi, tetapi bisa juga dengan roti atau singkong. Makan pun tidak harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam), karena bisa juga dengan dua kali sehari (sahur dan berbuka), empat kali sehari (makan pagi, makan siang, makan sore, makan malam), atau seperlunya saja (makan hanya pada saat lapar). Jangan sampai seorang da’i terjebak dalam aktivitas, namun tanpa memahami realitas atau hakikat dari aktivitas tersebut; apakah termasuk thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.

‘DAKWAH BISA TERSELENGGARA DI RUANG PUBLIK’ BUKANLAH TUJUAN

Dakwah secara terbuka di tempat umum, misalnya dengan mengadakan pengajian akbar di lapangan besar dengan alasan bisa menampung banyak orang. Dilihat dari sisi aktivitasnya, ini termasuk uslub berdakwah. Bukan thariqah dakwah yang bersifat baku. Dakwah seperti ini memang menguntungkan, karena bisa mendatangkan banyak peserta dan pesan dakwah bisa tersebar secara meluas. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tujuan (ghayah) dari aktivitas dakwah, adalah untuk membangun kesadaran umat akan Islam, baik akidah maupun syariahnya. Tujuan (ghayah) dari dakwah, bukanlah “terselenggaran
ya acara dakwah”. Sehingga seandainya saja ada penguasa kafir yang melarang penggunaan ruang publik untuk aktivitas dakwah seperti Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno, sesungguhnya itu bukanlah akhir dari dakwah. Kejadian seperti ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dakwah ini telah berakhir, atau merupakan bencana bagi Islam. Kurang pas lagi, jika kemudian diikuti dengan pandangan, misalnya, “Berarti kelak kita harus mendukung calon kepala daerah muslim agar dakwah di ruang publik bisa dilegalkan.” Sikap seperti ini seringkali muncul sebagai ikutan dari adanya kejadian yang menghalangi dakwah. Padahal, jika dipikir lebih mendalam, sikap seperti ini sama artinya dengan menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” (misalnya Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno), adalah thariqah (hal yang baku) yang tidak bisa tidak, harus terlaksana. Atau, menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” adalah ghayah (tujuan, akhir dari segala sesuatu), yang ketika gagal terlaksana maka berakhir sudah segala-galanya. Padahal, ini (dakwah di ruang publik) bukanlah thariqah melainkan ‘sekedar’ uslub dalam berdakwah, yang jika kurang berhasil dalam uslub ini maka harus dipikirkan uslub lain, agar tujuan (ghayah) dari dakwah bisa tercapai. Apa itu? Yaitu tercapainya kesadaran umat akan Islam. Lebih jauh lagi, secara politik, sikap seperti di atas justru akan bisa menyebabkan kekalahan politik umat. Umat akan menjadi mudah dibelokkan dari satu sikap ke sikap lain, umat akan menjadi lebih mudah untuk dibeli kepentingan-kepentingannya hanya karena kondisi-kondisi seperti di atas. Umat akan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik tertentu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, karena memang jumlah suaralah yang menjadi tolok ukur kemenangan di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, jamaah-jamaah dakwah Islam diharapkan dapat membimbing umat menuju sikap berpegang pada prinsip, agar perjuangan umat tidak kehilangan arah, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.
Keberadaan jamaah dakwah dalam rangka mewujudkan tujuan dakwah merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, hal ini merupakan perintahdari Allah:
ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

MASUK JAMAAH DAKWAH, BUKANLAH TUJUAN

Karena itulah, di dunia ini ada begitu banyak jamaah dakwah, entah berbentuk organisasi massa atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dan dakwah, atau juga berbentuk partai politik. Di Indonesia sendiri, jamaah dakwah itu ada NU, Muhammadiyah, Persis, MTA, HTI, FPI, Dewan Dakwah, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut merupakan wasilah dalam rangka mewujudkan ghayah, yaitu kesadaran umat akan pentingnya menjadikan Islam (baik akidah maupun syariahnya) sebagai jalan hidup. Maka, orang boleh-boleh saja mau ngaji di mana pun dia mau jika memang ingin turut berperan dalam rangka aktivitas penyadaran umat. Bisa masuk NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al-Quran), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Dewan Dakwah, atau yang lainnya. Jadi, kalau ada orang yang mengira bahwa orang diajak masuk jamaah dakwah tertentu adalah untuk dicuci otaknya, atau masuk jamaah dakwah tertentu adalah semata-mata demi kepentingan jamaah tersebut, ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah mengira bahwa jamaah dakwah adalah ghayah (tujuan). Orang tersebut mengira, orang diajak ngaji di NU semata-mata untuk kepentingan NU, orang ngaji di Muhammadiyah semata-mata untuk kepentingan Muhammadiyah, orang ngaji bersama FPI semata-mata untuk kepentingan FPI, orang ngaji bersama HTI semata-mata untuk kepentingan HTI, orang ngaji bersama MTA semata-mata untuk kepentingan MTA. Sampai-sampai ditambahi pernyataan “Kelompok-kelom
pok dakwah itu adalah bid’ah, mereka berpecah belah, tidak usah ikut firqah-firqah tersebut.” Dikiranya, ngaji dengan jamaah-jamaah dakwah tersebut tujuannya semata-mata demi besarnya tubuh jamaah tersebut (semoga Allah menghilangkan pikiran-pikiran seperti ini). Ini pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami jamaah dakwah. Bahkan, keliru atau salah kaprah pemahamannya, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah. Ruwet. Padahal, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut di atas, bukanlah ghayah atau tujuan orang ngaji (semoga setiap jamaah tidak menjadikan besarnya jamaah sebagai tujuan). Jamaah dakwah hanyalah wasilah (sarana) untuk tujuan yang sebenarnya. Apa itu? Yaitu agar orang yang ngaji semakin memahami Islam, baik akidah maupun syariahnya. Adapun adanya perbedaan atau keragaman jamaah dakwah (ada banyak jamaah dakwah), itu dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami realitas persoalan-persoalan umat. Perbedaan cara pandang terhadap persoalan umat inilah yang berimbas pada perbedaan fokus aktivitasnya, sebagaimana sudah disinggung di atas. Jadi, kalau mau ngaji bersama jamaah-jamaah dakwah, ya dipersilakan saja. Asal tetap memahami, bahwa masuk ke dalam jamaah tersebut bukanlah tujuan, tetapi jamaah dakwah hanyalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan yang sebenarnya. Mau memilih yang mana? Ya, itu tergantung pada masing-masing orang, sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri terhadap permasalahan umat dan jalan apa yang akan ditempuh oleh masing-masing jamaah dakwah.

Wallahu a’lam.

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN MENURUT IMAM AN-NAWAWI DALAM KITABNYA “AR-RAUDHAH”

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN MENURUT IMAM AN-NAWAWI DALAM KITABNYA “AR-RAUDHAH”*

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Batasan “Ghibah”

“Ghibah” adalah menyebut seseorang di belakang, tentang apa yang tidak disukainya.
[Lihat, al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 304].
Hukum asal “Ghibah” adalah haram.

Keharaman ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﺛْﻢٌ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠَﺴَّﺴُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻐْﺘَﺐ ﺑَّﻌْﻀُﻜُﻢ ﺑَﻌْﻀًﺎ ۚ ﺃَﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥ ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻟَﺤْﻢَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻣَﻴْﺘًﺎ ﻓَﻜَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮﻩُ ۚ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺗَﻮَّﺍﺏٌ ﺭَّﺣِﻴﻢٌ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Q.s. al-Hujurat: 12]

Makna “Ghibah” dinyatakan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ﺃَﺗَﺪْﺭُﻭْﻥَ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻐِﻴْﺒَﺔُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﺍَﻟﻠﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ . ﻗَﺎﻝَ : ﺫِﻛْﺮُﻙَ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﺑِﻤَﺎ ﻳُﻜْﺮِﻩُ . ﻗِﻴْﻞَ : ﺃَﻓَﺮَﺃَﻳْﺖَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﺃَﺧِﻲْ ﻣَﺎ ﺃَﻗُﻮْﻝُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮْﻝُ ﻓَﻘَﺪْ ﺍِﻏْﺘَﺒْﺘَﻪُ، ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻓِﻴْﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﻬَﺘَّﻪُ .
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka [para sahabat] menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Baginda saw. bersabda, “Ketika kamu menyebut saudaramu apa yang tidak dia sukai.” Ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika apa yang aku katakan itu memang ada pada saudaraku.” Baginda saw. menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu memang ada padanya, maka kamu benar-benar telah melakukan ghibah kepadanya. Jika apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, maka kamu benar-benar telah memfitnahnya.” [Hr. Muslim]

Menurut al-Hasan, sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi,

“Ghibah” itu ada tiga bentuk. Semuanya disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu “Ghibah”, “Ifk” dan “Buhtan”. “Ghibah” adalah membicarakan saudaramu, yang memang faktanya seperti itu. Sedangkan “Ifk” adalah membicarakannya, sebagaimana informasi yang sampai kepadamu tentang dirinya. Adapun “Buhtan” adalah membicarakannya yang tidak sesuai dengan faktanya. [Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, hal. Juz II/2878-2879]

“Ghibah” yang Dibolehkan
Dalam kitab, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, dan al-Adzkar, Imam an-Nawawi menyatakan,

“Ghibah” itudibolehkan karena ada enam alasan. Saya telah menjelaskannya dengan berbagai bukti, apa yang terkait dengannya, dan beberapa jalan keluarnya dalam bagian akhir kitab al-Adzkar:

Pertama, mengadukan kezaliman. Boleh bagi orang yang dizalimi untuk mengadukan kezaliman kepada Sultan [Khalifah], Qadhi [hakim] dan yang lain, yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menegakkan keadilan dari pelaku yang telah mezaliminya. Maka, dia bisa mengatakan, “Saya telah dizalimi Si Fulan. Dia telah melakukan begini kepada saya.”

Kedua, meminta bantuan untuk mengubah kemunkaran, mengembalikan orang yang maksiat agar kembali ke jalan yang benar. Maka dia bisa mengatakan kepada siapa saja yang diharapkan, dengan kemampuannya, bisa menghilangkan kemunkaran. “Si Fulan telah melakukan perbuatan begini, maka cegahlah dia dari perbuatan itu.” Atau sejenisnya.
Ketiga, meminta fatwa. Misalnya, mengatakan kepada Mufti, “Saya telah dizalimi Si Fulan, atau ayahku, atau saudaraku begini. Apakah dia berhak melakukan itu, atau tidak?

Lalu, bagaimana caranya saya bisa melepaskan diri dari kezalimannya, dan mengelakkan kezalimannya terhadap diriku?” dan sejenisnya.
Begitu juga, dia mengatakan, “Isteriku telah melakukan begini denganku.” Atau, “Suamiku telah memukulku, dan mengatakan kepadaku begini.”
Semuanya ini boleh, karena dibutuhkan. Untuk lebih berhati-hati, hendaknya dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang, suami, atau orang tua dengan tindakannya begini?” Meski demikian, jika dinyatakan secara definitif juga boleh. Berdasarkan hadits Hindun, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, “Abu Sufyan itu orang yang pelit..” [al-Hadits].
Keempat, memberi peringatan kepada kaum Muslim akan keburukannya. Itu antara lain tampak pada beberapa aspek:

Antara lain, menyatakan cacat orang yang memang cacat, baik perawi, saksi maupun pengarang. Itu boleh berdasarkan ijmak, bahwa wajib, karena untuk melindungi syariah.

Antara lain, jika Anda diminta pendapat seseorang tentang keluarganya, syarikah, titipannya, atau titipan orang padanya, atau mu’amalahnya dengan pihak lain, maka Anda wajib menyebutkan kepadanya apa yang Anda tahu tentangnya sebagai nasihat.
Jika tujuan tersebut tercapai dengan Anda mengatakan, “Kamu tidak pantas bermu’amalah dengannya, atau berkeluarga dengannya, atau jangan melakukan ini, atau sejenisnya.” Jika menambah dengan menyebut keburukannya tidak cukup, jika tujuannya tidak tercapai, kecuali dengan terus terang secara definitif, maka sebutkanlah sebagai bentuk nasihat.
Antara lain, jika Anda melihat seseorang membeli barang yang cacat, atau budak yang tukang mencuri, pezina, atau pemabuk, lalu Anda mengingatkan pembelinya, jika dia belum mengetahuinya, sebagai bentuk nasihat, bukan untuk tujuan menyusahkan atau merusaknya.

Antara lain, Anda melihat orang yang belajar fiqih, bolak-balik mendatangi orang fasik dan ahli bid’ah untuk menjadikannya rujukan ilmu, Anda mengkhawatirkan bahaya orang itu, maka Anda wajib memberi nasihat kepadanya, dengan menjelaskan keadaannya dengan tujuan untuk memberi nasihat.

Antara lain, orang yang mempunyai kekuasaan, yang tidak menunaikannya sebagaimana mestinya, karena memang tidak mampu, atau fasik. Anda mengingatkannya kepada orang yang mempunyai kemampuan menjadi penguasa, agar bisa menggantikannya, atau dia mengetahui keadaannya, tetapi tidak menjadikannya sebagai pelajaran, atau mengharuskannya untuk meluruskannya.
Kelima, orang yang mendemonstrasikan kefasikan, atau bid’ahnya, seperti minum khamer, menyita harta milik masyarakat, menarik pajak, mengendalikan perkara-perkara yang batil, maka boleh disebutkan apa yang dia demonstrasikan itu, sedangkan yang lain tidak boleh, kecuali ada alasan lain.

Keenam, memperkenalkan nama. Jika orang itu dikenal dengan gelar, seperti al-A’masy [rabun], al-A’raj [pincang], al-Arzaq, al-Qashir [pendek], dan sebagainya. Boleh mengenalkannya dengan gelar itu. Tapi, haram menyebut gelar tersebut, jika dimaksud untuk melecehkannya. Jika bisa memperkenalkan dengan gelar lain, tentu lebih baik.

Inilah ringkasan apa yang diperbolehkan tentang “Ghibah”. Wallahu a’lam. [Lihat, Imam an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, juz III/192-193; al-Adzkar, hal. 235]

Khatimah

Ini ketentuan tentang “Ghibah” yang diperbolehkan, menurut Imam an-Nawawi.
Mengenai rincian dalilnya telah beliau uraikan dalam kitab al-Adzkar [Lihat, al-Adzkar, hal. 235-236].

Bahkan, dalam penjelasannya, Imam an-Nawawi juga menyatakan, pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, dan ulama’ lain. Wallahu a’lam.

PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA SUNNI SEPUTAR KESATUAN KHILAFAH

PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA SUNNI SEPUTAR KESATUAN KHILAFAH _(WIHDAT AL-KHILAFAH)_ ATAU BERBILANGNYA IMAM _(TA’ADDUD AL-A`IMMAH)_**
*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi**

*Pendahuluan*

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pendapat-pendapat ulama-ulama Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) seputar kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ atau berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_. Yang dimaksud dengan kesatuan Khilafah adalah adanya Khilafah yang satu (tunggal) bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Sedangkan yang dimaksud berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi adanya lebih dari satu orang imam atau khalifah sebagai kepala negara Khilafah.
Istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ dan berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ sesungguhnya memiliki makna yang sama, ibarat dua sisi mata uang. Karena memang telah terdapat dalil-dalil syar’i yang membicarakan dua sisi tersebut, yaitu dalil yang mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ di satu sisi, dan dalil yang melarang berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ di sisi lain. (Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman Al-Dumaiji, _Al-Imamah Al-’Uzhma ‘Inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah_, hlm. 564-566; Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_, hlm. 313-320; ‘Abdul ‘Aziz Al-Kayyath, _Al-Nizham Al-Siyasi fi Al-Islam_, hlm. 134-136).
Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika para ulama telah menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian satu sama lain untuk makna yang sama. Sebagian ulama dalam kitab-kitabnya menggunakan istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_, seperti Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi dalam kitabnya _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_ (hlm. 313-dst). Semakna dengan istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ ini adalah istilah kesatuan negara _(wihdat al-daulah)_ yang digunakan oleh Syekh Muhammad Ihsan Sammarah dalam kitabnya _Al-Nizham Al-Siyasi fi Al-Islam_ (hlm. 58). Sedang sebagian ulama lainnya menggunakan istilah berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_, seperti Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman Al-Dumaiji dalam kitabnya _Al-Imamah Al-’Uzhma ‘Inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah_ (hlm. 558-dst) dan Shalah al-Shawi dalam kitabnya _Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah_ (hlm. 75-77).
*Jumhur Ulama Sunni Mewajibkan Kesatuan Khilafah (Wihdat Al-Khilafah)*
Jumhur (mayoritas) ulama Sunni baik golongan ulama yang terdahulu (salaf) maupun ulama yang terkemudian (khalaf), telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_. Dengan perkataan lain, jumhur ulama Sunni tersebut telah berpendapat bahwa berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Memang ada sebagian ulama Sunni yang membolehkan berbilangnya imam, namun pendapat ini adalah pendapat yang _syadz_ (nyeleneh, menyempal) alias keluar dari pendapat _mainstream_ (arusutama) sebagai pendapat yang benar (haq). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_, hlm. 314; Shalah al-Shawi, _Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah,_ hlm. 75.).
Berikut ini sebagian ungkapan _(‘ibaarah)_ original dari ulama-ulama Sunni yang telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ atau dengan kata lain yang melarang berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_;
1.Imam Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya _Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah_ berkata :
ﺇﺫﺍ ﻋﻘﺪﺕ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ ﻟﻢ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﺇﻣﺎﻣﺘﻬﻤﺎ ، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻸﻣﺔ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ ، ﻭﺇﻥ ﺷﺬ ﻗﻮﻡ ﻓﺠﻮﺯﻭﻩ
“Jika diadakan akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang Imam (Khalifah) di dua negeri, maka tidaklah sah akad Imamah bagi keduanya, karena tidak boleh ada bagi umat Islam dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama, meskipun ada satu kaum yang berpendapat syadz (menyimpang) lalu membolehkan hal tersebut [adanya dua Imam].” (Imam Mawardi, _Al-Ahkam Al-Sulhaniyyah_, hlm. 9).
Dalam kitabnya yang lain, yaitu _Adab Al-Dunya wa Al-Diin,_ Imam Mawardi berkata :
ﻭﺫﻫﺐ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺷﺮﻋﺎ
“Jumhur ulama berpendapat bahwa mengangkat dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama hukumnya tidak boleh menurut syara’.” (Imam Mawardi, _Adab Al-Dunya wa Al-Diin,_ hlm. 150-151).
2.Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata dalam kitabnya _Al-Muhalla_ :
ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻻ ﺇﻣﺎﻡ ﻭﺍﺣﺪ
“Dan tidak halal ada di dunia ini kecuali satu orang Imam (Khalifah) saja.” (Ibnu Hazm, _Al-Muhalla_, Juz IX, hlm. 360).
Dalam kitabnya yang lain, yaitu _Maratib Al-Ijma’,_ Imam Ibnu Hazm berkata :
ﻭﺍﺗﻔﻘﻮﺍ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ، ﻻ ﻣﺘﻔﻘﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻔﺘﺮﻗﺎﻥ ، ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻧﻴﻦ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﺍﺣﺪ
“Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa tidak boleh ada dua orang Imam (Khalifah) pada kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia, baik keduanya bersepakat maupun bertentangan, baik keduanya berada di dua tempat yang berbeda maupun berada di satu tempat yang sama.” (Ibnu Hazm, _Maratib Al-Ijma’_, hlm. 144).
3. Qadhi As-Simnaani (w. 499 H) dalam kitabnya _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_ berkata :
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺪﺩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺮ
“Tidak boleh ada lebih dari satu orang Imam [Khalifah] pada waktu yang sama.” (Ali bin Muhammad As-Simnani, _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_, Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah, Cet. II, 1984, Juz I, hlm. 29).
4. Imam Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya yang berjudul _Syarah Al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim_ :
ﺍﺗﻔﻖ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻌﻘﺪ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ ...
“Para ulama telah sepakat (ittifaq) bahwa tidak boleh ada akad untuk dua orang khalifah pada waktu yang sama...” (Imam Nawawi, _Syarah Al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim_, Juz XII, hlm. 233).
Dalam kitab _Mughni Al-Muhtaj,_ karya Imam Syamsuddin Al-Khathib Al-Syirbini (w. 977 H), diriwayatkan perkataan Imam Nawawi dari kitab _Minhaj al-Thalibin_ sebagai berikut :
ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻭﻟﻮ ﺑﺄﻗﺎﻟﻴﻢ ﻭﻟﻮ ﺗﺒﺎﻋﺪﺕ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻭﺗﻔﺮﻕ ﺍﻟﺸﻤﻞ
“Tidak boleh akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang Imam (Khalifah) atau lebih meskipun mereka berada di wilayah-wilayah [yang berbeda] atau berada di dua tempat yang berjauhan, sebab yang demikian itu adalah perpecahan pendapat dan terpecahnya kesatuan.” (Imam Syamsuddin Al-Khathib Al-Syirbini, _Mughni Al Muhtaj,_ Juz IV, hlm. 132).
5. Imam Syihabuddin Al-Qaraafi (w. 684 H) dalam kitabnya _Al-Dzakhiirah_ berkata :
ﺇﺫﺍ ﻋﻘﺪﺕ ﻻﺛﻨﻴﻦ ﺑﺒﻠﺪﻳﻦ ﻟﻢ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﺇﻣﺎﻣﺘﻬﻤﺎ ﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﺍ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻨﻬﻤﺎ
“Jika diadakan akad [Imamah/Khilafah] bagi dua orang [Imam] di dua negeri, maka tidak sah akad Imamah [Khilafah] keduanya, karena ada larangan adanya dua orang Imam [Khalifah] pada waktu yang sama, sesuai sabda Rasulullah SAW,’Jika dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Imam Syihaabuddin Al-Qaraafi, _Al-Dzakhiirah_, Dar Al-Gharb Al-Islami, Cet. I, 1994, Juz X, hlm.26).
6. Imam Al-Iiji (w. 756 H) dalam kitabnya _Al-Mawaaqif fi ‘Ilm Al-Kalaam_ berkata :
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻘﻊ ...
“Tidak boleh akad [baiat] bagi dua orang Imam [Khalifah] di satu wilayah yang sama...” (Imam Abdurrahman bin Ahmad Al-Iiji, _Al-Mawaaqif fi ‘Ilm Al-Kalaam,_ Beirut : ‘Aalam Al Kutub, hlm. 400).
7. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya _Tafsir Ibnu Katsir_ berkata :
ﻓﺄﻣﺎ ﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻣﻦ ﺃﺗﺎﻛﻢ ﻭﺃﻣﺮﻛﻢ ﺟﻤﻴﻊ ﻳﺮﻳﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﺮﻕ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ ﻛﺎﺋﻨﺎ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ
“Adapun mengangkat dua orang Imam (Khalifah) atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang datang kepada kamu sedang urusan kamu terhimpun [di bawah satu Imam], sedang yang datang itu hendak memecah belah di antara kamu, maka bunuhlah dia siapapun juga dia itu.” (Imam Ibnu Katsir, _Tafsir Ibnu Katsir [Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim],_ Juz I, hlm. 222).
8. Imam Taftazani (w. 791 H) dalam kitabnya _Syarah Al-‘Aqa`id Al-Nasafiyyah_ berkata :
ﻭﻏﻴﺮ ﺟﺎﺋﺰﻫﻮ ﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻣﺴﺘﻘﻠﻴﻦ ﻳﺠﺐ ﺇﻃﺎﻋﺔ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻧﻔﺮﺍﺩ ﻟﻤﺎ ﻳﻠﺰﻡ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﻣﺘﻀﺎﺩﺓ
“Adalah tidak boleh mengangkat dua orang Imam (Khalifah) yang masing-masing berdiri sendiri (independen) satu sama lain yang masing-masingnya sama-sama wajib ditaati. Karena hal itu akan mengharuskan ketaatan pada hukum-hukum yang bertentangan.” (Imam Taftazani, _Syarah Al-‘Aqa`id Al-Nasafiyyah,_ hlm. 158).
9. Imam Qalqasyandi (w. 821 H) berkata dalam kitabnya yang berjudul _Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya_ :
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ
“Tidak boleh mengangkat dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama.” (Imam Qalqasyandi, _Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya,_ Juz IX, hlm. 288)
10. Imam Al-Sya’rani (w. 973 H) dalam kitabnya _Al-Mizan Al-Kubra_ berkata :
ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻓِﻲْ ﻭَﻗْﺖٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻓِﻲْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻣَﺎﻣَﺎﻥِ ﻻَ ﻣُﺘَّﻔِﻘَﺎﻥِ ﻭَﻻَ ﻣُﻔْﺘَﺮِﻗَﺎﻥِ
“Tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Imam al-Sya’rani, _Al-Mizan Al-Kubra,_ Juz II, hlm. 157).
11. Syekh Muhammad Al-Khudhori (w. 1345 H) dalam kitabnya _Itmam Al-Wafa` fi Sirat Al-Khulafa`_ :
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﺧﻠﻴﻔﺘﺎﻥ
“Demikian pula, kaum muslimin telah bersepakat (ijma’) bahwa tidaklah boleh kaum muslimin mempunyai dua orang Khalifah (Imam) pada waktu yang sama...” (Syekh Muhammad Al-Khudhori, _Itmam Al-Wafa` fi Sirat Al-Khulafa`_, hlm. 20).
12. Syekh Abdurrahman Al-Jaziri (w. 1360 H) dalam kitabnya _Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah_ berkata :
ﺇِﺗَّﻔَﻖَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔُ ﺭَﺣِﻤَﻬُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰَ ﻋَﻠﻰَ ﺃَﻥَّ ﺍْﻹِﻣَﺎﻣَﺔَ ﻓَﺮْﺽٌ ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﺑُﺪَّ ﻟِﻠْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻣِﻦْ ﺇِﻣَﺎﻡٍ ﻳُﻘِﻴْﻢُ ﺷَﻌَﺎﺋِﺮَ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﻳُﻨْﺼِﻒُ ﺍﻟْﻤَﻈْﻠُﻮْﻣِﻲْﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻓِﻲْ ﻭَﻗْﺖٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻓِﻲْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻣَﺎﻣَﺎﻥِ ﻻَ ﻣُﺘَّﻔِﻘَﺎﻥِ ﻭَﻻَ ﻣُﻔْﺘَﺮِﻗَﺎﻥِ
”Telah sepakat para imam [yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad] –semoga Allah merahmati mereka-- bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, _Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah_, Juz V, hlm. 366).
14. Syekh Muhammad Al-Amiin Al-Syanqithi (w. 1393) dalam kitabnya _Adhwa` Al-Bayan fi Iidhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an_ berkata :
ﻗﻮﻝ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻷﻋﻈﻢ ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﻛﻮﻧﻪ ﻭﺍﺣﺪﺍ
“Pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan kaum muslimin, bahwa tidak boleh berbilang Imam [ada lebih dari satu orang Imam/
Khalifah], bahkan wajib Imam itu satu orang saja.” (Muhammad Al-Amiin Al-Syanqithi, _Adhwa` Al-Bayan fi Iidhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an_, Juz I, hlm. 83).
Dari kutipan-kutipan pendapat ulama di atas, jelaslah bahwa jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan ulama Sunni berpendapat bahwa berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Dengan kata lain, jumhur ulama tersebut telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_. Kesimpulan ini dengan tepat dinyatakan oleh Qadhi As-Simnaani (w. 499 H) dalam kitabnya _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_ sebagai berikut :
ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺮ
“Telah terdapat ijma’ (kesepakatan) dari jumhur (mayoritas) ulama bahwa Imam [Khalifah] itu hanya boleh satu orang pada waktu yang sama.” (Ali bin Muhammad As-Simnani, _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_, Beirut : Mu`assasah Ar Risalah, Cet. II, 1984, Juz I, hlm. 62).
*Dalil Pendapat Jumhur Ulama*
Kewajiban kesatuan Khilafah _(wihdat al-Khilafah)_ didasarkan dalil syar’i yang kuat, yaitu As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW). Di antara dalil dari As-Sunnah, adalah sabda Nabi SAW :
ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ، ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﺍ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻨﻬﻤﺎ
“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, _Shahih Muslim_, hadits no 1853).
Imam Nawawi dalam _Syarah Shahih Muslim_ memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :
ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻴﻔﺔ، ﻓﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ ﻭ ﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻃﻠﺔ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ ... ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ
“Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah [sebelumnya], maka baiat untuk khalifah pertama hukumnya sah yang wajib dipenuhi. Sedang baiat untuk khalifah kedua hukumnya batal yang haram untuk dipenuhi...Inilah pendapat yang benar yang menjadi pendapat jumhur ulama.” (Imam Nawawi, _Syarah An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim,_ Juz XII, hlm. 231).
Adapun dalil Ijma’ Shahabat mengenai haramnya lebih dari satu khalifah _(ta’addud al-a`immah)_ bagi umat Islam, terwujud pada saat pertemuan para shahabat di Saqiifah Bani Saa’idah untuk membicarakan pemimpin umat pengganti Rasulullah SAW yang wafat. Pada saat itu, seorang shahabat dari golongan Anshar, yaitu Al-Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan,”Dari kami seorang pemimpin, dari kalian seorang pemimpin.” Abu Bakar Shiddiq RA kemudian membantah perkataan Al-Hubab Ibnul Mundzir tersebut dengan berkata :
ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻣﻴﺮﺍﻥ
“Sesungguhnya tidaklah halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin.” (HR Al Baihaqi, _Sunan Baihaqi_, Juz VIII, hlm. 145).
Perkataan Abu Bakar Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak ada satu orang pun shahabat Nabi SAW yang mengingkarinya, sehingga dengan demikian terwujudlah Ijma’ Shahabat bahwa umat Islam tidak boleh dipimpin kecuali oleh satu orang Imam (Khalifah) saja. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fil Al-Islam,_ hlm. 316; Ihsan Sammaarah, _Al-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam [Nizham Al-Khilafah Al-Rasyidah],_ hlm. 57).
*Pendapat Yang Membolehkan Berbilangnya Imam*
Sebagian ulama ada yang membolehkan berbilangnya Khalifah/Imam _(ta’addud al-a`immah)_. Mereka mengatakan jika kedua Imam berada di dua tempat yang berjauhan, maka boleh mengangkat dua Imam.
Pendapat ini berdalil dengan sejumlah dalil-dalil akli _(hujjah ‘aqliyyah)_, di antaranya sebagai berikut :
*Pertama*, mengangkat dua khalifah boleh jika ada _hajat_ (kebutuhan) untuk mengangkat dua khalifah. Ini merupakan pendapat Abu Ishaq Isfarayini dan Imam Haramain.
*Kedua*, mengangkat dua khalifah boleh jika terdapat _masaafah_ (jarak) yang jauh di antara dua khalifah. Ini pendapat Imam Haramain.
*Ketiga,* mengangkat dua khalifah boleh jika di antara dua Khalifah terdapat pemisah alami _(haajiz thabi’iy)_ seperti laut, atau ada musuh di antara keduanya, yang tidak mampu dikalahkan oleh salah satu dari keduanya. Ini pendapat Abdul Qahir Al-Baghdadi. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fil Al-Islam_, hlm. 313; Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al-Marakbi, _Al-Khilafah Al-Islamiyyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu’ashirah_, hlm. 65-67).
Namun pendapat yang membolehkan berbilangnya Imam _(ta’addud al-a`immah)_ ini tidak dapat diterima dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :
*Pertama,* pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah _(ta’addud al-a`immah),_ hanya didukung oleh dalil akli, bukan dalil syar’i, baik ayat Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Padahal masalah yang dibahas adalah *hukum syar’i* yang dalilnya wajib berupa dalil syar’i, bukan dalil aqli. Dalam pembahasan hukum syar’i, dalilnya wajib dalil syar’i, bukan dalil aqli, sesuai dengan definisi hukum syar’i itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻫﻮ ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺍﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ
“Hukum syar’i adalah khithaab (seruan/firman) dari Allah sebagai Pembuat Syariah yang berkaitan dengan perbuatan para hamba.” (Taqiyuddin Al-Nabhani, _Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah,_ Juz III (Ushul Fiqih), hlm. 37).
Yang dimaksud *Khithaabus Syaari’* adalah dalil syar’i, yaitu apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ dan Qiyas, bukan yang lain. Jadi dalil akli tidaklah dapat dianggap sebagai *Khithaabus Syaari’* yang menjadi dalil syar’i dari suatu hukum syar’i.
*Kedua,* pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah, pada sebagiannya, khususnya pendapat Al-Juwaini, Al-Isfaroyini, dan Al-Baghdadi, sebenarnya menunjukkan hukum dalam kondisi darurat _(rukhsah),_ seperti adanya lautan atau musuh yang memisahkan dua khalifah. Jadi pendapat tersebut bukan menunjukkan hukum asal _(‘aziimah)._
Artinya, sebenarnya pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah itu, mengakui hukum asal _(‘aziimah)_ yang ada, yaitu wajibya kesatuan Khilafah (wihdatul Khilafah) dan haram Khilafah lebih dari satu (berbilang). Syekh Al-Marakby menganalisis pendapat tersebut dengan berkata :
ﻓﺎﻷﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﺳﺘﺪﻋﺖ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺫﻟﻚ ﺟﺎﺯ .. ﻓﺎﻟﺘﻌﺪﺩ ﻣﺤﻈﻮﺭ ﺃﺻﻼ ﺃﺑﺎﺣﺘﻪ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﻓﺈﺫﺍ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺣﺮﻡ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩ
“[Pendapat yang membolehkan berbilangnya Khilafah tersebut] hukum asalnya sebenarnya tak membolehkan berbilangnya Khilafah. Jika kondisi darurat mengharuskan berbilangnya Khilafah, barulah boleh ada lebih dari satu Khilafah. Jadi berbilangnya Khilafah hukum asalnya haram, yang dibolehkan oleh kondisi darurat. Maka jika kondisi darurat ini lenyap, haram hukumnya Khilafah lebih dari satu.” (Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al-Marakbi, _Al Khilafah Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu’ashirah_, hlm. 65-66)
*Ketiga,* pendapat yang mewajibkan kesatuan Khilafah (wihdat al-khilafah), didukung oleh dalil-dalil syar’i yang sangat kuat dari As Sunnah dan Ijma’ Shahabat, seperti telah diuraikan di atas.
*Kesimpulan*
Dari seluruh uraian dia atas dapat diambil 2 (dua) kesimpulan penting :
*Pertama*, jumhur (mayoritas) ulama Sunni baik golongan ulama yang terdahulu (salaf) maupun ulama yang terkemudian (khalaf), telah mewajibkan kesatuan Khilafah (wihdat al-khilafah). Dengan perkataan lain, jumhur ulama Sunni tersebut telah berpendapat bahwa berbilangnya imam (ta’addud al-a`immah) adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam.
*Kedua,* pendapat yang membolehkan berbilangnya imam (ta’addud al-a`immah) adalah pendapat yang lemah dan *syadz*, yang hanya didukung oleh dalil akli, dan tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i yang kuat dan mu’tabar, yaitu Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. _Wallahu a’lam._
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Pengajian Bapak-Bapak, pada hari Senin 26 Maret 2018, di Musholla Al-Husna, Suryodiningratan, Kec. Mantrijeron, Yogyakarta.
**Dosen Ushul Fiqih STEI Hamfara Yogyakarta.

_KH. Dr. Ir. Achmad Nawawi, MA (Ketua MUI Depok)_

HTI PENGAMAL PANCASILA SEJATI*

_KH. Dr. Ir. Achmad Nawawi, MA (Ketua MUI Depok)_

_Selama bergaul dengan syabab Hizbut Tahrir, saya tidak menemukan bahwa HTI anti Pancasila atau tuduhan-tuduhan miring lainnya._

*Analisa ringan saya tentang ide yang ditawarkan HTI dengan Pancasila sbb:*
.
_1. Pada sila pertama dari Pancasila jelas terlihat bahwa HTI memiliki komitmen kuat untuk mempertahankan kalimat Tauhid. Pada s.ila pertama ini ditunjukkan bahwa kalimat *"Ketuhanan Yang Maha Esa"* adalah kalimat Tauhid, yakni_ ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ .
.
2_ . Pada sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab, HTI selalu menunjukkan keadilan, bahkan menuntut keadilan di semua sektor kehidupan sebagai masukan kepada penyelenggara negara. Tujuannya adalah agar negeri ini (Indonesia) menjadi bangsa yang terdepan dalam menegakkan keadilan hukum, ekonomi, pendidikan, dll. Begitu juga HTI menginginkan agar bangsa kita sebagai bangsa yang terdepan dalam adab (berakhlak mulia). Dan ini juga (beradab) telah dimainkan oleh para syabab HTI. Mereka para pemuda gerakan Islam yang memuliakan dan melayani ulama, para tokoh, mengedepankan tata krama sopan santun dan berdialog untuk kemajuan. Hal ini saya secara pribadi merasakan kehangatan persaudaraan tsb. Inilah yang membuat HTI dicintai alim ulama (para kyai, habaib, ustadz) dan para tokoh._
.
_3. Pada sila ke-3, saya tidak pernah mendengar dari para aktifis HTI mempermasalahkan persatuan di negeri ini. HTI sangat anti perpecahan, apalagi sampai NKRI dipecah menjadi beberapa koloni negara2 bagian kekuatan asing, seperti lahirnya Papua merdeka dll. Yang terbaca justru HTI menginginkan menjadi kuat dalam persatuan, sehingga tidak menutup kemungkinan negara/bangsa lain tanpa paksaan akan bergabung dengan negeri kita untuk melawan penjajahan di atas dunia sebagai yang termaktub dalam amanah pembukaan UUD 1945._
.
_4. Pada sila ke-4 malah semakin terlihat jika HTI cinta pada kepemimpinan yang hikmah dengan azas musyawarah (lihat Ali Imron ayat 159). Boleh saya sampaikan disini bhw tertera dalam teks Pancasila tidak ada pernyataan bahwa negara Indonesia dalam mempertahankan kepemimpinan menggunakan sistem demokrasi ala Barat yang liberal, yang pemilihan langsung oleh rakyat. Yang ada justru dengan PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN, yang dalam Islam ditunjuk melalui lembaga AHLU AL-HALLI WA AL-AQDI. Saya melihat bahwa pembentukan MPR merupakan representasi lembaga AHLU AL-HAALLI tsb, meskipun untuk sekarang semakin menghilang peranan dan fungsinya karena adanya amandemen dari UUD 1945._
.
_5. Pada sila ke-5 saya malah semakin melihat bahwa HTI ingin menjadikan Indonesia menjadi negara terkuat di dunia dengan mewujudkan keadilan sosial. Hal ini terbaca dengan seringnya HTI menyuarakan adanya perampokan SDA Indonesia yang super kaya dan makmur, bahkan bisa dikatakan sebagai surganya dunia. Dan ini oleh HTI tidak boleh dikuasai pihak asing. Jadi dalam hal ini HTI meminta pemerintah untuk mengevaluasi ulang kerjasama dengan pihak asing, seperto dengan Freeport dll-nya._
Jika *usulan HTI ini* dijadikan rujukan para penyelenggara negara, *_maka kemakmuran dan kenyamaan rakyat dalam arti luas akan semakin terasa. Yang merasakan bahagia tinggal di Indonesia tidak hanya pada kelompok tertentu, seperi tidak hanya umat Islam, tapi juga semua umat beragama._*
Inilah yang disebut *BALDAH THOYIBAH WA ROBBUN GHOFUR...* Dan ini akan mewujudkan RAHMATAN LIL ALAMIN."

STATEMENT SAID AQIL SIROJ DILURUSKAN OLEH ULAMA DARI MESIR

STATEMENT SAID AQIL SIROJ DILURUSKAN OLEH ULAMA DARI MESIR

Masih punya malu kah kamu SAS ????
Baru baru ini Grand syekh Al Azhar kembali datang berkunjung ke Indonesia untuk yang kespekian kalinya.

Diantara kunjungannya Syekh Ahmad Tayyib diundang untuk berkunjung ke kantor PBNU. Di tempat acara dipasang banner dengan kata kata dari bahasa arab yg kurang lebih artinya :

"Dari Islam Nusantara menuju kedamaian Alam semesta."

KH Said Aqil pun berbicara dengan bahasa Arab guna menjelaskan kepada syekh Ahmad Thayyib tentang apa itu Islam Nusantara. Beliau menjelaskan bahwa Islam nusantara adalah Islam orang Nusantara Indonesia, Malaysia, Brunei yang penuh toleransi anti ektrimisme dan radikal, Tidak sama dengan islam Arab (sambil tertawa ringan).

Kemudian Syekh Ahmad Thayyib pun langsung menjawab secara tegas meluruskan pernyataan dari Said Aqil, Beliau mengatakan :

"Seandainya saja Allah tahu bahwa bangsa Indonesia lebih pantas dari bangsa Arab untuk menerima dan mengemban Risalah penutup kenabian, maka Risalah tidak akan diturunkan kepada Nabi Muhammad. (disambut oleh tawa para hadirin).
Syekh Ahmad menjelaskan kembali :

"Allah yang maha tahu dan Allah memilih Bangsa Arab untuk mengemban dan melanjutkan dakwah Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa sallam karena Allah tahu bangsa Arab lah yang mampu menyebarkan agama ini sampai ke seluruh penjuru dunia.

"Berbeda dengan nabi nabi yang Allah utus sebelumnya yang memang masa kenabiannya terbatas dan jangkauan dakwahnya juga terbatas contohnya seperti nabi nabi bani israil maka dipilih nabi dari selain bangsa arab. Namun ketika diutus Nabi Muhammad nabi yang syariatnya akan selalu dijunjung hingga akhir zaman dan wajib di imani oleh seluruh manusia di seluruh penduduk bumi maka Allah memilih bangsa Arab yang pertama menerima dakwah ini dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia."

Syekh Ahmad Thayyib melanjutkan :

"Sungguh tidak sah iman kalian kecuali kalian mencintai orang Arab ini (yakni nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wa sallam) lebih dari kalian mencintai diri kalian keluarga kalian bangsa kalian dll. dalam arti lain kalau kalian anti dan sentimen terhadap bangsa Arab maka tidak sah iman kalian."

"Kami belajar tentang sejarah masuknya Islam disini. Bukankah yang membawa Islam ke negeri kalian ini adalah orang orang Arab? seandainya saja orang orang Arab itu tidak datang kesini dan mengajarkan kalian bagaimana ajaran Islam maka mungkin kalian sampai saat ini masih berada dalam keyakinan umumnya orang orang Timur Asia yang keyakinannya bertentangan dengan kebenaran (animisme, dinamisme, menyembah patung, pohon dll)."

"Bukankah anda tahu bahwa Rasulullah SAW marah besar ketika orang orang saling membangga-banggakan sukunya ada yang mengucap saya dari suku Aus saya dari Khazraj nabi marah sampai memerah wajahnya. Maksudnya agar Ummat Islam tidak fanatik kesukuan tapi menganggap semua muslimin adalah saudara tanpa membeda bedakan suku dan ras."
Islam Nusantara sangat menyesatkan. Ingin menjauhkan muslimin dari sumbernya langsung. Rasulullah orang Arab, para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in dominan orang Arab. Ketika propaganda untuk membenci Arab disebar maka hakikatnya adalah memutus jalur sanad sehingga ilmu akan hilang. Sebagaimana orang2 syiah berdalil hanya yang sampai kpd imam mereka.

Semoga Allah menjaga keduanya agar tetap berada di jalan yang hak dan menjauhkan muslimin dari faham yang menyesatkan dan kembali kepada Islam yg dibawa oleh orang Arab (Rasulullah dan para sahabatnya).
Semoga Bermanfaat...

[5:45 01/07/2018] Mutmainah Wahyu H:

COPAS DARI WA ULAMA NU PROF BAHARUN
AKUI ISLAM NUSANTARA MEMBATALKAN KEISLAMANNYA

Wednesday, 20 Jun, 2018
Oleh: Ferry Is Mirza *)

ISLAM Nusantara belakangan digemakan di mana-mana. Tetapi, berhati-hatilah jika anda mengakui keberadaan agama Made in Indonesian ini. Karena, bila disertai dengan keyakinan maka bisa membatalkan keislaman kita atau kita keluar dari Islam.
Islam Nusantara diproklamirkan pada tahun 2016 oleh pimpinan organisasi Islam di negeri ini. Dan kini marak dibincangkan setelah beredar video seorang tokoh Islam Nusantara menjelaskan, "Islam Nusantara adalah agama yang sejati, sedangkan Islam Arab itu adalah agama penjajah".
Waspadalah ini. Jangan dianggap sepele, karena :

1. Mengandung arti tidak mengakui lagi agama yg diturunkn Allah kepada Nabi Muhammad SAW di Arab (Mekkah-Madinah).
2. Mendustakan ayat2 Al Quran bahwa Islam adalah agama sejati, satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
3. Mengandung kebencian kepada agama yang diturunkan Allah di Arab dan kebencian terhadap ajaran-ajarannya karena dianggap menjajah bangsa kita.
Dengan demikian pernyataan tersebut bermakna :
1. Tidak mengakui lagi Islam yang diajarkan Nabi Muhammad sebagai agama untuk bangsa ini.
2. Tidak mengakui berarti telah meninggalkan dan menggantinya dengan agama inovasi dan modifikasi sendiri yang disebut Islam Nusantara.
3. Bila mengakui Islam Nusantara sebagai agama yang sejati, maka telah rusaklah kalimat sahadat kita. Artinya, telah berada di luar area Islam yang disebarkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT.
Bila kita ikut-ikutan mengakui Islam Nusantara berarti ikut-ikutan keluar dari Islam Muhammad, kafir terhadap Islam Muhammad dan mempertuhankan ulama pendiri Islam Nusantara.
Oleh karena itu, wahai saudaraku, jagalah sahadatmu dengan menjaga akidah dan perkataanmu. Islam itu hanya satu, yaitu yang turun di Arab dan yang disebarkan oleh Rasulallah dan berlaku untuk seluruh umat manusia.
Jangan terkecoh pada Islam Nusantara yang dianggap sebagai agama yang sejati. Itu adalah tipu daya setan untuk menyesatkan dan merusak keislaman kita.
Jangan terbuai pada gelar pendirinya atau banyaknya pengikutnya. Tetapi percayalah hanya kepada Islam yang sejati yang diturunkan Allah SWT di tanah Arab.
Bila hatimu mengakui Islam Nusantara sebagai agama sejati, maka lebih baik berhentilah shalat, berhentilah berkiblat ke Masjidil Haram. Karena tiada gunanya bagi orang-orang yang mendustakan Islam, yang telah meninggalkan Islam. Sebab, bila sahadat kita telah rusak maka tidak akan diterima segala amal ibadah kita. Berpegang teguhlah pada Islam yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan ridhakan hatimu pada agama yang diridhai Allah.

* ) Ferry adalah wartawan senior NU, tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur
[5:45 01/07/2018] Mutmainah Wahyu H: FENOMENA ‘NDOMPLENG’…

Fenomena ‘ndompleng’ nama bangsa atau simbol negara untuk memuluskan langkah memerangi Islam
=====
Ini strategi lain yang digunakan oleh barisan pengecut dan munafiqun dalam merongrong Islam dari dalam.
Makanya,

– Yang tadinya namanya Islam Liberal, sekarang berganti menjadi Islam Nusantara.
– Yangg tadinya kesyirikan dan kemaksiatan, sekarang berganti nama menjadi bagian dari ‘kearifan lokal’.
– Ada yangg membaca Alquran dengan langgam jawa.
– Ada yang ibadah sai dengan membaca dzikir pancasila.
– Ada yang bershalawat untuk pancasila.
Dan masih banyak lagi, dan mereka akan mengembangkan varian-varian lain dari langkah ini.

Mereka mengambil langkah ini, agar orang-orang yang melawan mereka bisa dituduh sebagai oknum yang tidak pancasilais .. tidak setia kepada negara .. tidak menghargai kekayaan budaya bangsa!!
Paham kan .. bagaimana liciknya mereka?!
Mereka kira Allah tidak tahu apa isi hati mereka .. mereka kira Allah membiarkan agamaNya .. mereka kira Allah akan diam saja.

Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik baik pembuat makar, silahkan kalian berbuat makar terhadap agama Allah .. Allah pasti akan membalas makar kalian.

Katakan kepada mereka: bahwa taat kepada pemerintah yang sah selama bukan maksiat adalah akidah kita .. pancasila sebagai dasar negara, kita hormati dan junjung tinggi, karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam .. dan kita akan membela negara RI, sebagai bentuk pembelaan kita terhadap darah kaum muslimin sebagai mayoritas penduduknya.

Tapi tetap saja kami akan memerangi kesyirikan dan kemaksiatan .. meski kalian berusaha menempelkannya dengan bangsa kami dan simbol negara.

Karena setiap kesyirikan dan kemaksiatan akan menjadikan negara ini tidak aman, tidak berkah, bahkan runtuh, sebagaimana umat-umat terdahulu menjadi hancur dan binasa karena kesyirikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Ingatlah membela Islam, berarti menjaga keutuhan bangsa dan negara ini.
Silahkan dishare .. semoga bermanfaat.
Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
======= =======

Kenapa justru negara maju yg bukan berpenduduk mayoritas Islamlah yg islam

Seorang Teman bertanya :

Kenapa justru negara maju yg bukan berpenduduk mayoritas Islamlah yg islami; bersih, aman, makmur, minim korupsi dan suap.

Sy copaskan jawaban sy :
Suatu negara akan berhasil bangkit kalau sdh tegak ideologinya, mau komunis, sekuler (kapitalis) maupun Islam.
Ideologi islam belum ditegakkan di negeri2 kaum muslimin.

Negara2 yg maju dgn tingkat korup dan suap yg rendah, bersih aman san makmur itu karena mereka hidupnya sudah ideologis.
Ideologi = pemikiran mendasar yg melahirkan peraturan
Ideologi = perekat antara faham / pemikiran dan perbuatan
Ideologis = sadar hukum, takut hukum. Apa aturan yg pikir & ditulis, itu yg dijalankan.
Hidup ideologis = hidup yg berintegritas.
Ideologi dalam konteks negara adalah bagai pondasi pada bangunan. Tak akan kokoh dan hebat kalau tdk ada pondasi.
Indonesia pun bisa bangkit jadi maju kalau jadi negara yg ideologis.

Malaysia sedang menuju menjadi negara maju, dia bangkit, di atas ideologi sekuler. Singapur - Hongkong - Taiwan - Korea sdh lebih dulu.

China bangkit dengan ideologi komunisnya.
Indonesiapun kalau mau bisa² saja.
Pertanyaannya sekarang, kalau mau bangkit, Indonesia dengan umat islamnya ini mau bangkit maju di atas ideologi apa?
Kapitalisme, komunisme, atau Islam?
Mumpung belum ideologis, warga indo bisa pilih mau ideologi mana.

This is where "dakwah islam ideologi" comes in, supaya kaum muslimin indonesia cenderung kepada tegaknya ideologi islam.
*sy hanya mengembangkan bab pertama, paragraf pertama, kalimat pertama yg ada di kitab pertama yg dikaji di hizbut tahrir. "BANGKIT".

Kalimat ini yg akan menjadi solusi kebangkitan kaum muslimin.
Ada yg ingat bgmn bunyi lengkap kalimatnya?
Rahmawan Puspawijaya

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

Oleh : Ali Baharsyah


Jangan terburu2 menuduh PKI atau radikal kepada mereka yang tidak setuju pancasila. Kerena tokoh2 Islam pendiri bangsa Ini juga menolak Pancasila.
NU ketika masih bergabung dengan PPP pasca dibubarkannya Partai Masumi dianggap kelompok garis keras oleh rezim orde baru karena paling lantang menolak Pancasila.
Dibawah ini ada satu tulisan panjang tapi menarik dibawa ditulis oleh salah seorang staf UGM disarikan dari desertasi doctoral Faisal Ismail.
Selamat Membaca.
....
NU dan Pancasila: Dulu dan Kini
admin - Oktober 23, 2017
Azis Anwar | CRCS | Perspektif


Nahdlatul Ulama (NU) kini telah menjadi salah satu ormas Islam yang lantang mendukung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Diberitakan di website NU, peringatan Hari Santri 22 Oktober tahun ini mengambil tema Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI.
Di antara ormas-ormas Islam, NU paling keras suaranya dalam mendukung penerapan Perppu 2/2017 untuk membubarkan ormas yang mengampanyekan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Sepekan sebelum peringatan Hari Santri, dikabarkan lebih dari 20 ribu Nahdliyin berkumpul di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mendeklarasikan “Front Penggerak Pancasila”.

Terkait sikapnya dengan Pancasila, sesungguhnya NU mengalami pergulatan yang dinamis. Di awal-awal perumusan Pancasila, perwakilan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini berubah seiring perubahan rezim dan konfigurasi politik.


Masa Perumusan


Pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk membuat rancangan konstitusi (UUD), perwakilan NU kala itu, Kiai Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) ingin mempertahankan “tujuh kata” (“dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemelo
eknja”) setelah kata “Ketoehanan”, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hasil kesepakatan Panitia Sembilan.

Wachid Hasjim juga mengusulkan untuk dimasukkan dalam rancangan konstitusi bahwa presiden Indonesia harus seorang Muslim dan bahwa negara Indonesia berdasarkan Islam, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang kini tercantum di pasal 29 UUD ’45.

Perwakilan Indonesia Timur Johanes Latuharhary sempat keberatan dengan “tujuh kata” itu. Namun Wachid Hasjim bersikukuh bahwa itu sudah merupakan kesepakatan Panitia Sembilan. Sukarno, dengan berlinang air mata, membujuk agar yang tak setuju dengan Piagam Jakarta bersedia berkorban karena itu merupakan “hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Usulan Kiai Wahid Hasyim terpenuhi hingga akhir sidang BPUPK.

“Tujuh kata” beserta turunannya itu baru dicoret dalam pertemuan selama 15 menit yang diinisiasi oleh Mohammad Hatta pada pagi hari menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD. Dalam lobi singkat untuk mencoret “tujuh kata” itu, Mohammad Hatta membujuk tokoh Islam.

(Komposisi anggota PPKI berbeda dari BPUPK. Jika anggota BPUPK dipilih berdasarkan latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, anggota PPKI tersusun terutama dari perwakilan kedaerahan dan organisasi. Dari 27 anggota PPKI, hanya 4 saja yang bisa dihitung “mewakili” Islam, yaitu Wachid Hasjim [NU], Ki Bagus Hadikoesoemo [Muhammadiyah], Kasman Singodimedjo [komandan PETA], dan Teuku Hasan [Aceh].)

Dalam Memoir-nya, Hatta menyatakan telah membujuk keempat tokoh Islam di PPKI itu untuk mencoret “tujuh kata”. Namun dalam catatan AB Kusuma, yang dikutip di buku Yudi Latif (kini kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila [UKP-PIP]), Wachid Hasjim tidak hadir dalam lobi itu karena sedang ke Surabaya dan barangkali Hatta lupa. Jika catatan AB Kusuma ini benar, berarti tidak ada perwakilan “golongan Islam” yang menandatangani Piagam Jakarta yang ikut dalam momen krusial pencoretan “tujuh kata” itu. Pada kenyataannya, nantinya pada sidang Badan Konstituante 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru, “kelompok Islam” menyatakan “kelompok Pancasila” telah melakukan intrik politik dalam pencoretan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta.


Masa Orde Lama


Di Badan Konstituante, NU bersama Masyumi berada dalam kelompok Islam yang mengadvokasi Islam sebagai dasar negara melawan kelompok Pancasila yang tersusun dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain.


Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU Kiai Ahmad Zaini menyatakan Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri (bapak dari Menteri Agama sekarang), menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.


Pendeknya, kelompok Islam (NU dan Masyumi) berpandangan bahwa Islam merupakan dasar yang lebih jelas dan komprehensif dibanding Pancasila. Persoalan dasar negara ini membuat sidang Konstituante menemui jalan buntu. Karena kegagalan tiap kelompok untuk memperoleh kuorum 2/3 dari total suara tiap kali diadakan pemungutan suara, Sukarno akhirnya membubarkan Konstituante melalui dekret presiden 5 Juli 1959. Dekret ini menyatakan UUD ‘45 kembali aktif sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45. (Ambiguitas makna “menjiwai” ini di kemudian hari masih mempengaruhi diskursus hubungan Islam dan negara dalam konstitusi dan perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.)


Masa Orde Baru


Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto ingin menerapkan Pancasila hampir di segala lini kehidupan: dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila. Mengklaim ingin melindungi Pancasila dari ancaman ideologi Islam, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi tiga, dengan semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi—Partai Masyumi pada saat itu sudah dibubarkan) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


Pada 1970-an, untuk menentang kebijakan rezim mengenai Pancasila, terutama mengenai penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pegawai negeri dan umum dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk siswa-siswi di sekolah, Kiai Bisri Syansuri, ketua Dewan Penasehat PPP dan Rais Syuriah NU, berfatwa wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memilih PPP, satu-satunya partai Islam, sekalipun berrisiko kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4, PPP dipimpin Kiai Bisri keluar dari sidang (walk out) sebagai bentuk protes. Pada 1970-an, orang-orang NU di dalam PPP dipandang sebagai orang-orang garis keras oleh rezim. NU pada dekade ini menjadi oposan paling kritis terhadap rezim, satu hal yang membuat rezim berupaya mempenetrasi PPP dan mengganti orang-orang NU dengan yang lebih bersahabat dengan rezim.


Perubahan Sikap


Posisi NU terhadap Pancasila mulai berubah pada dekade selanjutnya, 1980-an, terutama setelah rezim Orde Baru mengumumkan rencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa. PPP dan ormas-ormas Islam tentu menghadapi pilihan sulit: berkompromi agar partai/organisasi tetap hidup atau dibubarkan.


NU pada dekade itu mulai mengubah haluan sikapnya terhadap rezim, dari konfrontasi menjadi bersedia kompromi. NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 dan mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Keputusan penting lain dari muktamar itu ialah NU kembali ke “khittah1926” sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dan tak ingin lagi terlibat dalam “politik praktis”, yang kemudian diwujudkan dengan keluar dari PPP. Arsitek dari manuver ini adalah Kiai Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).
NU menjadi yang pertama dari semua ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh rezim. (NU merumuskan pada 1983, resmi pada 1984; Muhammadiyah merumuskan pada 1983 dan resmi pada muktamar 1985.) NU juga merumuskan argumen-argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Argumen-argumen ini bahkan kemudian diadopsi oleh Departemen Agama, diwujudkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas Islam lain.


Argumen bernada anekdotal dari Kiai Achmad Siddiq misalnya menyatakan: “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?”
Argumen yang lebih serius, misalnya dari Gus Dur, menyatakan bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. (Muhammadiyah punya istilah berbeda tapi kurang lebih sama maknanya: darul-‘ahdi was-syahadah atau negeri konsensus dan persaksian—istilah ini resmi diperkuat lagi dalam muktamar ke-47 Muhammadiyah pada 2015.) Dalam argumen ini, negara Pancasila adalah contoh dari darus-shulh atau darul-‘ahdi was-syahadah itu.

Ideologis atau Pragmatis?


Yang menjadi pertanyaan besar di sini dan membuat para analis berbeda pendapat ialah: apa yang melatarbelakangi keputusan NU untuk berubah haluan menjadi menerima Pancasila pada 1980-an itu? Apakah manuver ini bersifat tulus secara ideologis atau sekadar pragmatisme politis belaka?
Sebagian analis menyatakan itu tak murni ideologis dan lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu. Kalau saja Orde Baru tak memaksakan asas tunggal Pancasila, NU kemungkinan masih tak menerima Pancasila. Faktor lainnya ialah retaknya hubungan antara NU dan PPP. NU adalah basis mayoritas pendukung PPP namun orang NU kurang terakomodasi secara proporsional di kalangan elite PPP. Dengan kata lain, keputuan NU untuk kembali ke khittah 1926 juga memiliki latar belakang politik, yakni dishamorni dengan PPP. (Pada pemilu 1987, NU melakukan “aksi penggembosan” terhadap PPP dan membuat suara PPP jatuh.)

Namun penjelasan dari Gus Dur,

sebagaimana tertuang dalam pengantar terhadap buku Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila (1989), tampak ingin menunjukkan bahwa itu merupakan manuver ideologis yang selaras dengan ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah. Menurut Gus Dur, NU dalam Konstituante memperjuangkan Islam karena itu bagian dari “idealisme”. Tapi karena ia tak berhasil, harus ada pilihan lain, yaitu alternatif ketiga sebagai darus-shulh. Dalam penjelasannya, Gus Dur mengutip kaidah fikih (dan Gus Dur kerap kali mengutip beragam kaidah fikih untuk menjelaskan manuver politiknya) yang berbunyi “apa yang tak dapat diwujudkan semuanya, jangan tinggalkan semuanya” (ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu).
Saya pribadi tak sepenuhnya puas dengan penjelasan Gus Dur ini. Salah satu pertanyaan yang masih tersisa adalah: mengapa argumen seperti yang disampaikan Gus Dur itu tak muncul sejak awal perumusan Pancasila dan dalam sidang Konstituante? Andai saja demikian sedari awal, dan NU misalnya bergabung dengan kelompok Pancasila, kemungkinan Konstituante untuk mencapai kuorum lebih besar; kita punya konstitusi baru yang lebih kuat sebagai suatu produk konsensus; dan dampaknya besar terhadap diskursus umat Islam sejak republik ini baru berusia remaja.
Kendati demikian, di luar soal apakah ia merupakan manuver ideologis atau pragmatisme politik, yang jelas sikap rezim terhadap umat Islam sejak pertengahan 1980-an mulai melunak—kecuali tentu terhadap yang masih kukuh menolak asas tunggal Pancasila. Satu dekade terakhir Orde Baru kerap ditandai sebagai era “rapprochement” rezim dengan umat Islam: larangan jilbab bagi siswi-siswi sekolah dicabut; bisnis judi SDSB dibubarkan; dan rezim mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).


Kalau memakai perspektif utilitarian yang berpandangan bahwa keberhasilan manuver politik dinilai bukan dari idealisme ideologis melainkan pada hasilnya yang lebih bermaslahat secara umum (dalam hal ini, umat Islam), keputusan NU pada awal 1980-an itu berhasil. Dengan menerima Pancasila, rezim tak lagi punya alasan untuk menekan umat Islam secara umum, sehingga energi umat Islam bisa dialihkan ke hal lain, bahkan mengkritik kebijakan rezim Orde Baru lainnya. Pada kenyataannya, Gus Dur dan NU bisa tetap kritis terhadap Orde Baru. Bila Orde Baru mendirikan ICMI, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi.


Pascareformasi


Kini, hampir dua dekade pascareformasi, NU sudah menjadi salah satu pendukung kuat Pancasila. Suara-suara penolakan terhadap kebijakan pimpinan pusat di PBNU bukannya tidak ada (sejak dulu pun demikian—satu contoh yang terkenal: pada 1980-an, Kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan mufaraqah atau memisahkan diri/keluar dari NU yang dipimpin Gus Dur.)
Namun secara umum, figur-figur penting NU kini berada di belakang Pancasila. Rais Aam NU Kiai Ma’ruf Amin dan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil Siradj kini menjadi dua dari sembilan pengarah UKP-PIP.


Konfigurasi politik saat ini sudah berbeda dari zaman Orde Baru. Rival NU dalam persaingan antarormas Islam juga sudah berbeda. Corak penafsiran politis terhadap Pancasila pun lebih beragam. Di masa pascakemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, Pancasila cenderung dimaknai sebagai konsensus pemersatu semua kalangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan ragam sisi terang dan gelapnya. Di zaman Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi instrumen penjaga “stabilitas” politik. Pascareformasi, tafsir-tafsir dari beragam spektrum saling berebut untuk memaknai Pancasila. NU tampaknya berada dalam kalangan yang memaknai Pancasila sebagai simbol penjaga kebinekaan, kalau bukan malah instrumen “penggebuk” ormas “subversif”.
Apakah NU bisa merumuskan ulang tafsir Pancasila yang lebih dari sekadar itu, misalnya terkait persoalan sektarianisme internal umat Islam dan tafsir lain yang bukan sekadar soal kebinekaan dan hubungan agama negara melainkan juga “keadilan sosial” di sila kelima? Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang.[]


*Penulis adalah alumnus dan kini staf CRCS UGM. Sebagian besar data sejarah dalam tulisan ini diambil dari disertasi doktoral Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila di McGill University pada 1995. Gambar ilustrasi di atas diambil dari website NU.