Saturday, July 20, 2019

MANHAJ SIRAH NABAWIYAH SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI* _(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

MANHAJ SIRAH NABAWIYAH SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI*
_(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

Oleh: Yuana Ryan Tresna


Sebagian kalangan mengatakan bahwa Sirah Nabawiyah tidak bisa dijadikan dalil, termasuk dalil bagi metode dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya aktivitas thalab al-nushrah. Untuk menjawab hal itu dapat kita kembalikan pada dua hal: (1) sirah nabawiyah adalah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits, dan (2) metode dakwah Nabi (termasuk thalab al-nushrah) juga termaktub pada kitab-kitab hadits induk yang statusnya shahih.

*Sirah Nabawiyah Bagian dari Hadits*
Imam Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I hlm. 351 menyatakan bahwa sirah adalah bagian dari hadits. Sirah pada dasarnya mengabarkan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana al-Qur’an. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah sirah nabawiyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan.

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan,
ﻭﺗﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻣﻦ ﺃﻫﻢ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺍﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﻪ، ﻷﻧﻬﺎ ﺗﺤﻮﻱ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ، ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻟﻪ ﻭﺃﻗﻮﺍﻟﻪ ﻭﺳﻜﻮﺗﻪ ﻭﺃﻭﺻﺎﻓﻪ، ﻭﻫﺬﻩ ﻛﻠﻬﺎ ﺗﺸﺮﻳﻊ ﻛﺎﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻓﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻣﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻊ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺟﺰﺀﺍً ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻣﺎ ﺻﺢ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻭﺩﺭﺍﻳﺔ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً، ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ، ﻫﺬﺍ ﻓﻀﻼً ﻋﻦ ﺍﻻﻗﺘﺪﺍﺀ ﺑﺎﻟﺮﺳﻮﻝ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻣﺄﻣﻮﺭﻭﻥ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ { ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ } . ﻓﺎﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﻭﺗﺘﺒﻌﻬﺎ ﺃﻣﺮ ﺷﺮﻋﻲ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352 (
“Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana al-Quran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah. Apalagi meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Kitab sirah yang dapat dijadikan rujukan tentu saja yang memiliki sumber dan jalur periwayatan. Terdapat perbedaan antara kitab sirah pada era periwayatan dan tadwin hadits dengan yang disusun pada zaman setelahnya. Penyusunan kitab sirah pada abad ke-2 sampai abad ke-4 adalah seperti apa yang dilakukan oleh para ulama hadits dalam menyusun (mengumpulkan) hadits. Para ulama juga telah melakukan seleksi atas periwayatan dalam kitab-kitab sirah tersebut. Menyebutkan mana yang shahih dan mana yang dha’if.
Terkait kitab sirah terdahulu, syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan sebagai berikut,
ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺪﺍﻣﻰ ﻛﺎﻧﺖ ﻃﺮﻳﻘﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺗﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ، ﻭﻗﺪ ﺑﺪﺃ ﺍﻟﻤﺆﺭﺧﻮﻥ ﺷﻔﻮﻳﺎً، ﻭﺑﺪﺃ ﺍﻟﺠﻴﻞ ﺍﻷﻭﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﺷﺎﻫﺪ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺃﻭ ﺳﻤﻊ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﺭﻭﺍﻫﺎ ﻳﺮﻭﻳﻬﺎ ﻟﻐﻴﺮﻩ، ﻭﺗﺤﻤﻠﻬﺎ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺠﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺑﻌﺪﻩ، ﻭﻗﻴّﺪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ ﻛﺎﻟﺘﻲ ﺗُﺮﻯ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺘﻰ ﺍﻵﻥ، ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻘﺮﻥ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺭﺃﻳﻨﺎ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻳﺒﺪﺀﻭﻥ ﻓﻲ ﺟﻤﻊ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ، ﻭﺿﻢ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺑﻌﺾ، ﻭﺗﺪﻭﻳﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ، ﺑﺬﻛﺮ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﺮﺍﻭﻱ، ﻭﻣﻦ ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ، ﺗﻤﺎﻣﺎً ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻧُﻘّﺎﺩﻩ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻓﻮﺍ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻟﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻌﻴﻔﺔ ﺍﻟﻤﺮﺩﻭﺩﺓ ﺑﻤﻌﺮﻓﺘﻬﻢ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻭﺍﻟﺴﻨﺪ . ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺑﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺻﺤﻴﺤﺎً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352 (
“Metode orang-orang terdahulu dalam sirah dan tarikh bersandar pada periwayatan berita-berita. Para sejarawan memulainya secara lisan, dan generasi pertama yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasul atau mendengar tentang beliau mulai meriwayatkannya kepada yang lain, lalu diterima oleh generasi sesudahnya. Setelah itu ada sebagian orang yang membatasi hadits-hadits yang berserakan seperti yang terlihat dalam kitab-kitab hadits sampai sekarang. Pada abad kedua kita melihat sebagian ulama mulai mengumpulkan khabar-khabar tentang sirah, sebagian digabungkan dengan sebagian lainnya. Pembukuan dilakukan melalui metode periwayatan, dengan menyebutkan nama rawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana yang dilakukan dalam hadits. Karena itu para ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita-berita tentang sirah yang shahih yang bisa diterima dari berita-berita sirah yang dla’if dan mardud melalui pengetahuan mereka terhadap para perawi dan sanadnya. Inilah yang dijadikan rujukan sebagai bukti bahwa sirah tersebut shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Adapun kitab sirah kontemporer, sudah tidak mengikuti metode periwayatan. Inilah perbedaannya dengan kitab sirah sebelumnya. Oleh karenanya memerlukan tahqiq atas kitab-kitab tersebut,
ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﺆﻟﻔﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺣﺪﻳﺜﺎً، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻳﺴﺮﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻓﻘﻂ ﺩﻭﻥ ﺫﻛﺮ ﺭﻭﺍﺗﻬﺎ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻻ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺒﻬﻢ ﻛﻤﺼﺪﺭ ﻟﻠﺴﻴﺮﺓ، ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﻳﺤﻘﻖ ﻋﻨﺪ ﻛﺘﺎﺑﺘﻪ ﻟﻸﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺮﻭﻳﺔ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻣﻦ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻮﺛﻮﻗﻴﻦ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻳُﺴﺘﺸﻬﺪ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺑﻞ ﻳُﺮﺟﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﺩﺛﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﻤﺮﻭﻳﺔ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ، ﺃﻭ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻷﻥ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨّﺔ ﻻ ﺗﺆﺧﺬ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﺤﻴﺤﺔ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352-353 (
“Hal ini berbeda dengan (metode) penyusunan sirah saat ini. Mereka hanya menyebutkan kejadian-kejadiannya saja tanpa menyebutkan para rawinya, sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sumber sirah, kecuali jika seorang penyusun mentahqiq (melakukan penelitian) ketika menulis berita-berita yang diriwayatkan dalam kitabnya dari (berita-berita) sirah, dan dia termasuk orang yang dipercaya. Jika tidak demikian maka perkataannya tidak bisa dijadikan sebagai bukti. Jadi harus kembali tentang kejadian yang disebutkannya pada kitab-kitab sirah yang diriwayatkan dengan metode periwayatan atau pada kitab-kitab hadits, karena berita-berita tentang Nabi merupakan Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika keberadaannya shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352-353)

*Pengujian Sirah Nabawiyah*

Karena sirah Nabawiyah adalah bagian dari hadits, maka pengujiannya sama dengan menguji keshahihan hadits. Pengujian keshahihan sebuah riwayat harus memenuhi lima hal: (1) para rawinya adil, (2) para rawinya dhabithh, (3) sanadnya tersambung, (4) tidak ada syadz, dan (5) tidak terdapat illat. Memang benar bahwa kebanyakan kitab sirah, kitab maghazi dan futuhat yang terdahulu (yang meriwayatkan dengan sanadnya) memiliki catatan ditinjau dari kualitas sanadnya. Seperti halnya Kitab Maghazi karya Ibnu Ishaq (w. 150 H) dan al-Waqidi (w. 207 H). Adapun kitab-kitab yang ada setelahnya kebanyakan merujuk kepada kitab sebelumnya. Sebut saja Sirah Ibnu Hisyam (w. 213 H) dari Ibnu Ishaq. Demikian juga Thabaqat Ibnu Sa’ad (w. 230 H) dan Tarikh al-Thabari (w. 310 H) dari riwayat al-Waqidi.

Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq) dalam pandangan para ulama jarh wa ta’dil dinilai beragam. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar dan ada yang mengatakan Abu Abdillah. Tahun wafatnya ada yang menyebutkan, 144 H, 150 H, 151 H, 152 H dan 153 H. Ada yang mendha’ifkan, dan ada juga yang menyatakan tsiqah. Muhammad bin Ishaq merupakan rawi dari kitab-kitab hadits Kutub al-Sittah. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim. Ibnu Ishaq juga merupakan rawi hadits dalam Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibni Majah.

Dalam Kitab Tahzib al-Kamal (24/405) karangan Imam al-Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dil Ibnu Ishaq. Muhammad bin Muslim al-Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq, orang yang paling tahu tentang sirah”. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah (dapat dipercaya). Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadits, tetapi di tempat lain beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dha’if. Muhammad bin Idris al-Syafi’i memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq, “Dia adalah amirul mukminin dalam hadits”. Ali bin al-Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadits, haditsnya di sisiku adalah shahih”. Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu. Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih al-Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah. Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya. Muhammad bin Sa’ad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Al-Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan, “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadits walaupun kadangkala meriwayatkan hadits-hadits batihl yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah, sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.

Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib (hlm. 825), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi (sirah). Imam al-Baihaqi dalam kitab Zad al-Ma’ad Juz 1 hlm. 99 menyatakan, ”Muhammad bin Ishaq, jika dia menyebutkan sama’nya (bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan “hadits Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadits menjadikannya sebagai hujjah”.

Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib al-Kamal. Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Yahya bin Sa’id Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu. Sulaiman al-Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadits, bukan hujjah pada sunan, dha’if ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadits Ibnu Ishaq hasan. Al-Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat. Al-Daraquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah. Al-Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah. Al-Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.
Tuduhan yang paling menonjol pada diri Ibnu Ishaq adalah karena dianggap ahli bid’ah yaitu penganut Syi’ah dan paham Qadariyah. Tuduhan Syi’ah sama sekali tdk berdasar. Sebenarnya riwayat ahli bid’ah tidak mengapa selama tidak mengantarkan pada kekafiran dan ia tidak mendakwahkan kebid’ahannya. Terlebih lagi setelah diteliti oleh para ulama, Ibnu Ishaq jauh dari pemikiran Qadariyah atau Mu’tazilah.

Sehingga walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil Ibnu Ishaq secara mendalam. Dalam kitab al-Duafa Wa al-Matrukin hlm. 41, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah,yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Dazahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4, hlm. 469.

Al-Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyid al-Nas dalam kitabnya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Siyar membuktikan lemahnya jarh dan kokohnya ta’dil atas Ibnu Ishaq. Selain itu al-Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al-Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkesimpulan, ”Aku telah memeriksa hadits Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dha’if, terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .

Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam merupakan wujud lain dari Maghazi wa Siyar Ibni Ishaq ulama tabi’ut tabi’in yang dianggap paling mumpuni soal sirah nabawiyah. Namun Ibnu Hisyam, tidak meriwayatkan langsung dari Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam merupakan murid dari Ziyad Al Baka’i, Ziyad ialah salah satu murid Ibnu Ishaq, sedangkan Ibnu Ishaq merupakan generasi tabi’ut tabi’in. Ibnu Hisyam pakar tentang nasab dan nahwu. Ia mempunyai kitab tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Kitab tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.

Adapun al-Waqidi, para ulama hadits menilai riwayat al-Waqidi derajatnya matruk, karena kelemahan al-Waqidi. Di akhir hayatnya terjadi ikhtilath dalam periwayatannya. Hanya saja, muridnya yakni Ibnu Sa’ad al-Baghdadi penulis kitab Thabaqat al-Kubra sering dianggap figur terpercaya, dan banyak meriwayatkan dari gurunya itu, namun riwayat al-Waqidi tidak diterima oleh para ulama hadits khususnya jika meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Walaupun demikian, dalam hal pengetahuan sejarah maupun sirahnya, para ulama sangat mengakui al-Waqidi, khususnya dalam hal sejarah peperangan Rasulullah, sehingga kitabnya bisa dipergunakan untuk memperkaya konstruksi sejarah Rasulullah. Itu pula sebabnya Ibnu Sa’ad dan al-Thabari ketika meriwayatkan hadits maupun khabar dari al-Waqidi memperkuatnya dengan riwayat lain.

Dengan demikian, sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun Maghazi al-Waqidi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya, terutama dalam bahasan peperangan Rasulullah.

*Mendudukkan Tarikh Islam*

Adapun tarikh Islam, maka sama saja dengan penjelasan sebelumnya, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’. Hal tersebut dari dua hal: (1) jika shahabat berijma’ dalam suatu perkara, maka hal tersebut adalah dalil syara, (2) adapun jika itu merupakan pendapat individu shahabat, maka itu adalah ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat adalah hukum syara. Merujuknya bukan dalam rangka menjadikannya sebagai dalil, tetapi merujuk ijtihad seorang mujtahid. Apalagi ijtihadnya shahabat adalah menempati kedudukan tertinggi dalam ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan realitas tasyri’ dari sisi hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang mujtahid.

Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan,

ﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﺣﺼﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻫﻮ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺤﺚ، ﻷﻥ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺩﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ، ﻷﻥ ﻫﻨﺎﻟﻚ ﻭﻗﺎﺋﻊ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺗﺠﺪﺩﺕ ﺑﺘﺠﺪﺩ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ، ﻭﻋﻮﻟﺠﺖ ﻣﺸﺎﻛﻞ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ، ﻓﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻣﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻊ . ﻭﺇﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍً ﻣﻦ ﺷﺆﻭﻥ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ، ﻭﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺬﻣﺔ، ﻭﺍﻟﺨﺮﺍﺝ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮ، ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﻛﻮﻥ ﺍﻷﺭﺽ ﻋﺸﺮﻳﺔ ﺃﻡ ﺧﺮﺍﺟﻴﺔ، ﺃﻱ ﺃﻳﻬﺎ ﻓﺘﺢ ﺻﻠﺤﺎً ﻭﺃﻳﻬﺎ ﻓﺘﺢ ﻋﻨﻮﺓ، ﻭﺍﻷﻣﺎﻥ، ﻭﺍﻟﻬﺪﻧﺔ، ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻐﻨﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﻔﻲﺀ ﻭﺃﺭﺯﺍﻕ ﺍﻟﺠﻨﺪ، ﻭﻣﺎ ﺷﺎﻛﻞ ﺫﻟﻚ، ﻛﻠﻪ ﺣﻮﺍﺩﺙ ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺻﺎﺭﺕ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ، ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻻﺗﺨﺎﺫ ﻣﺎ ﺃﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻪ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 355 (
“Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Kebanyakan dari urusan jihad, mu’amalah (dengan) ahlu dzimmah, al-kharaj, al-‘usyur, untuk mengetahui eksistensi apakah tanah ‘usyriyah ataukah kharajiyah, tentang keamanan, gencatan senjata dan hukum-hukum tentang ghanimah, fai’, gaji-gaji tentara dan yang semisalnya. Semua itu adalah kejadian-kejadian dan hukum-hukum yang telah dipraktikkan dalam Daulah (Islamiyah), sehingga perkara semacam ini harus diketahui agar sesuatu yang menjadi Ijma’ shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.

ﻭﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﻣﺎ ﺃﻧﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲ ﺣﻜﻤﺎً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ، ﻭﻟﻼﺋﺘﻨﺎﺱ ﺑﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻟﺮﺍﺷﺪﻳﻦ، ﻣﻦ ﺗﺴﻴﻴﺮ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﺍﻹﺩﺍﺭﺓ ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺳﺔ . ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺁﺗﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻘﻠﻴﺔ ﺣﻜﻢ، ﻭﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻳﻔﻬﻢ ﺗﻄﺒﻴﻖ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻋﻴﺔ، ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﻴﻦ، ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﻴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 355 (
“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, telebih lagi para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi dan politik. Mereka adalah sebaik-baik orang yang diberi oleh Allah intelektualitas untuk menentukan suatu hukum, dan sebaik-baik orang yang memahami penerapan hukum dalam Daulah terhadap rakyatnya, baik muslim maupun ahlu dzimmah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

*Terdapat pada Kitab Hadits*

Sirah adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan waktu mulai dari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dengan wafatnya. Hanya saja isinya atau fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk (meski tidak semua). Oleh karena itu penerimaan pada beberapa peristiwa yang dikabarkan dalam sirah adalah sudah pada level talaqathu al-'ulama bil qabul. Suatu yang para ulama telah menerimanya.

Kita bisa mengkaji terhadap beberapa kitab sirah yang masyhur seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh al-Thabari, Tarikh Ibnu Asaqir, Tarikh al-Kamil, Ansab al-Asyraf Al Baladzuri, Muruj al-Dzahab al-Masudi dan kitab-kitab sirah yang lain. Fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk. Maka pada konteks ini, menguji keshahihan fragmen-fragmen khabar dalam kitab sirah yang juga ada dalam Kutub Mashadir al-Ashliyyah (kitab induk hadits) adalah dengan kembali kepada pendapat para ulama hadits ketika melakukan takhrij dan pengujian sanad-sanad hadits.

*Manhaj Hadits yang Diadopsi Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani*

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita adalah, bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits (termasuk sirah nabawiyah)? Berikut uraiannya:
Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.

ﻳُﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻤﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺮﺍﻭﻳﺘﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺪﻻً ﺿﺎﺑﻄﺎً ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺳَﻠِﻢَ ﻣﻦ ﺃﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻭﺧﻮﺍﺭﻡ ﺍﻟﻤﺮﻭﺀﺓ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺘﻴﻘﻆ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﻐﻔﻞ، ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﻟﺮﻭﺍﻳﺘﻪ ﺇﻥْ ﺭﻭﻯ ﻣِﻦ ﺣﻔﻈﻪ، ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻟﻜﺘﺎﺑﺘﻪ ﺇﻥ ﺭﻭﻯ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ ﻭﻣﺎ ﻳﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ، ﺇﻥ ﺭﻭﻱ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 329 (
“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)

Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.

ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺍﺟﺘﻤﻌﺖ ﻓﻴﻪ ﺷﺮﻭﻁ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺑﺄﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺪﻻً ﺿﺎﺑﻄﺎً، ﺗُﻘﺒﻞ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ ﺑﻐﺾ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﻣﺬﻫﺒﻪ ﻭﻓﺮﻗﺘﻪ، ﺇﻻ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻔﺮﻗﺘﻪ ﺃﻭ ﻣﺬﻫﺒﻪ، ﻷﻥ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﻟﻠﻔﺮﻗﺔ ﻭﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ . ﺃﻣّﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﻳﺸﺮﺡ ﺍﻷﻓﻜﺎﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺘﺒﻨﺎﻫﺎ ﺑﺎﺩﻟﺘﻬﺎ، ﻓﺈﻧﻪ ﺗﻘﺒﻞ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ، ﻷﻧﻪ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﻄﻌﻦ ﺑﺮﻭﺍﻳﺘﻪ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 332 (
“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)

Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-defini
si tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.

ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ : ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﺼﻞ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺑﻨﻘﻞ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﺘﻬﺎﻩ، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺷﺎﺫﺍً ﻭﻻ ﻣﻌﻠﻼً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 337 (
“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)

ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﺨﺮّﺟﻪ ﻭﺍﺷﺘﻬﺮ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺍﺭ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ . ﺃﻱ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻳُﺘَّﻬﻢ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺷﺎﺫﺍً . ﻭﻫﻮ ﻧﻮﻋﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﺭﺟﺎﻝ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﻟﻢ ﺗﺘﺤﻘﻖ ﺃﻫﻠﻴﺘﻪ، ﻏﻴﺮ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻐﻔﻼً ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺨﻄﺄ، ﻭﻻ ﻫﻮ ﻣﺘﻬﻤﺎً ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ . ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﺘﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻣﺜﻠﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﻪ ﺁﺧﺮ ﻓﻴﺨﺮﺝ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﺷﺎﺫﺍً ﺃﻭ ﻣﻨﻜﺮﺍً، ﺛﺎﻧﻴﻬﻤﺎ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻠﻎ ﺩﺭﺟﺔ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﺍﻹﺗﻘﺎﻥ، ﻭﻻ ﻳُﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻨﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻣﻨﻜﺮﺍً، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﺷﺎﺫﺍً ﻭﻻ ﻣﻌﻠﻼً . ﻓﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻋﺪﻝ ﻗﻞ ﺿﺒﻄﻪ ﻣﺘﺼﻞ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻠّﻞ ﻭﻻ ﺷﺎﺫ . ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 338 (
“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).
ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺠﻤﻊ ﻓﻴﻪ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﻻ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﻄﻠﻘﺎً . ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﺯﺩﺍﺩ ﺿﻌﻔﺎً ﺇﻟﻰ ﺿﻌﻒ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 338 (
“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.

ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻫﻤﺎ ﺍﻟﻠﺬﺍﻥ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻬﻤﺎ، ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﻻ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ . ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻘﺒﻮﻻً ﺃﻭ ﻣﺮﺩﻭﺩﺍً ﻫﻮ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 339 (
“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)

Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangka
n banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.
ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺳﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺍﺗﻪ ﻭﻣﺘﻨﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ، ﺃﻱ ﻣﺘﻰ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎً ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻲﺀ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻘﻮﻯ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ ﺗﺮﺟﺢ ﻗﺒﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ، ﺃﻱ ﺑﺮﺍﻭٍ ﻇﻦ ﺗﻔﺮﺩﻩ، ﺃﻭ ﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ، ﻓﻼ ﻳﺘﻨﻄﻊ ﻓﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﻳﻤﻜﻦ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﻱ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮﻝ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 342 (
“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya.

Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)
Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.

ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺷﺮﻃﺎً ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺳﻨﺪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ . ﺇﺫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻨﺺ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳُﺮﻭﻯ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ . ﻓﻤﻦ ﻭﺟﺪ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺭﺩ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 345 (
“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)

Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.

ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻓﻴﻜﻔﻲ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﻟﻴﻠﻪ ﻇﻨﻴﺎً . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻓﺈﻧﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺗﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻛﺬﻟﻚ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻵﺣﺎﺩ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ . ﺇﻻ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻵﺣﺎﺩ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 346 (
“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.

ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻻ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺃﻧﻪ ﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ . ﺇﻻ ﺃﻥ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺎً ﺃﻭ ﺣﺴﻨﺎً ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﺪﻳﻪ ﺍﻷﻫﻠﻴﺔ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ . ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺭﻭﺍﺓ ﻳُﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﺛﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻳُﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﻏﻴﺮ ﺛﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ، ﺃﻭ ﻳﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻟﻴﻦ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻣﻌﺮﻭﻓﻴﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﺍﻵﺧﺮ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻭﺻﺤﺖ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺃﺧﺮﻯ . ﻭﻫﻨﺎﻟﻚ ﻃﺮﻕ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﻭﺻﺤﺖ ﻋﻨﺪ ﺁﺧﺮﻳﻦ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻢ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻭﻃﻌﻨﻮﺍ ﺑﻬﺎ، ﻭﺍﻋﺘﺒﺮﻫﺎ ﻣﺤﺪﺛﻮﻥ ﺁﺧﺮﻭﻥ ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺎ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻃﻌﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻗﺒﻠﻬﺎ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺎ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 346 (
“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah." (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.

ﻓﻴﺠﺐ ﺍﻟﺘﺄﻧﻲ ﻭﺍﻟﺘﻔﻜﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺒﻞ ﺍﻹﻗﺪﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﻌﻦ ﻓﻴﻪ ﺃﻭ ﺭﺩﻩ . ﻭﺍﻟﻤﺘﺘﺒﻊ ﻟﻠﺮﻭﺍﺓ ﻭﻟﻸﺣﺎﺩﻳﺚ ﻳﺠﺪ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻛﺜﻴﺮﺍً، ﻭﺍﻷﻣﺜﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺟﺪﺍً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 347 (
“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangka
n suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)

Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﺄﻱ ﺣﺪﻳﺚ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺘﺒﺮﺍً ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﻮﻓﻴﺎً ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻭﻳﻌﺘﺒﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 350 (
“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)

Itulah manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.

*Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan*

Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,
ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﻄﻠﻘﺎً
Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).

Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﺯﺩﺍﺩ ﺿﻌﻔﺎً ﺇﻟﻰ ﺿﻌﻒ .
Jadi itu (tidak bisanya hadits dha'if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,
ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً
Memberikan keterangan bahwa kedha'ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha'ifannya sangat berat.

Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.

Secara praktik, syaikh Taqiyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba'ah (lihat Syuruth A'imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),
ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﺨﺮّﺟﻪ ﻭﺍﺷﺘﻬﺮ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺍﺭ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ
dengan kesimpulan,
ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ .

Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta'ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),

ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺷﺮﻃﺎً ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺳﻨﺪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ . ﺇﺫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻨﺺ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳُﺮﻭﻯ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ . ﻓﻤﻦ ﻭﺟﺪ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ
Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,
ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﺃﻥ ﻳﺮﻭﻱ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺮﻭ ﻏﻴﺮﻩ . ﻷﻥ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻳُﻘﺒﻞ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﻩ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ
Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341),

menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,

ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺳﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺍﺗﻪ ﻭﻣﺘﻨﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ، ﺃﻱ ﻣﺘﻰ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎً ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻲﺀ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻘﻮﻯ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ ﺗﺮﺟﺢ ﻗﺒﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ، ﺃﻱ ﺑﺮﺍﻭٍ ﻇﻦ ﺗﻔﺮﺩﻩ، ﺃﻭ ﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ، ﻓﻼ ﻳﺘﻨﻄﻊ ﻓﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﻳﻤﻜﻦ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﻱ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮﻝ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ
Perhatikan ungkapan berikut,
ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ
Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.
Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan sepanjang kedha'ifannya tidak parah.

*Metode Dakwah Nabi dan Thalab al-Nushrah*

Mengikuti metode dakwah Nabi dapat dilakukan dengan memahami kitab sirah dan kitab-kitab hadits. Tergambar secara jelas bagaimana tahapan dawah Nabi sebelum hijrah. Mulai tahapan pertama hingga tahapan terakhir. Termasuk di dalamnya adalah aktivitas thalab al-nushrah di akhir tahapan kedua jika tahapan dakwah dibagi menjadi tiga (marhalah tatsqif, marhalah tafa'ul ma'a al-ummah dan istilam al-hukm). Terkait thalab al-nushrah, syaikh Mahmud Abdulkarim Hasan dalam kitab al-Taghyir hlm. 56 menegaskan,

ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﺒﻴﻪ ﺑﻄﻠﺐ ﺍﻟﻨﺼﺮﺓ . ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ‏( ﺝ 7/ ﺹ 220 ‏) : ﺃﺧﺮﺝ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﻋﻠﻲِّ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ‏« ﻟَﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺮَﺽَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﺧَﺮَﺝَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺇِﻟَﻰ ﻣِﻨَﻰ ‏» ﻭﺭﻭﻯ ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ‏« ﻟَﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺮَﺽَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﺧَﺮَﺝَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺩَﻓَﻌْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺠْﻠِﺲٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺠَﺎﻟِﺲِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ‏» ﻭﺍﻟﻌﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﻞ ﻳﻌﻨﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺩﻋﻮﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺅﺳﺎﺀ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﻞ ﻟﻴﻘﺪﻣﻮﺍ ﺍﻟﺤﻤﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﺴﻨﺪ ﻟﻪ ﻭﻟﺪﻋﻮﺗﻪ . ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ‏( ﺹ : 56 (
Aktivitas dakwah Nabi, tahapannya dan daur thalab al-nushrah bukanlah rekaan. Tetapi ini perkara yang nyata termaktub dalam kitab-kitab sirah mu’tabar dan dalam kitab-kitab hadits. Ini adalah hukum syara’. Apakah ini termasuk teknis saja atau metode baku, maka hal ini wilayah kajian ushul fiqih. Dalam perspektif ilmu hadits, cukup membuktikan bahwa sumber yang dirujuk adalah layak dijadikan sebagai dalil. Kemudian dipahami bahwa thalab al-nushrah ini wajib karena adanya qarinah yang menunjukkan akan kewajiban.
Secara substansi, kita bisa memahami bahwa negosiasi Rasulullah dengan kabilah-kabilah arab adalah terkait kekuasaan, bukan yang lain. Mari perhatikan dialog dengan Bani Amir bin Sha'sha'ah berikut,
ﺃﺭﺃﻳﺖَ ﺇﻥْ ﻧَﺤْﻦُ ﺑَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻙَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻙَ، ﺛُﻢَّ ﺃَﻇْﻬَﺮَﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻚَ، ﺃَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻟَﻨَﺎ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻙَ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻀَﻌُﻪُ ﺣَﻴْﺚُ ﻳَﺸَﺎﺀُ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ : ﺃﻓَﺘُﻬﺪَﻑ ﻧﺤﻮﺭُﻧﺎ ﻟِﻠْﻌَﺮَﺏِ ﺩُﻭﻧَﻚَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﻇْﻬَﺮَﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻟِﻐَﻴْﺮِﻧَﺎ ! ﻟَﺎ ﺣَﺎﺟَﺔَ ﻟَﻨَﺎ ﺑِﺄَﻣْﺮِﻙَ؛ ﻓَﺄَﺑَﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺳﻴﺮﺓ ﺍﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ‏( 2/ 272 (
“Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”. (Sirah Ibni Hisyam, 2/272)

Mereka mengetahui bahwa nushrah tersebut adalah untuk menegakkan negara. Oleh karena itu mereka menginginkan menjadi penguasanya setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta nushrahnya:

ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﺑﻴﻦ ﺿﺮﺗﻴﻦ، ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﻣﺎ ﻫﺎﺗﺎﻥ ﺍﻟﻀﺮﺗﺎﻥ ‏» ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻧﻬﺎﺭ ﻛﺴﺮﻯ ﻭﻣﻴﺎﻩ ﺍﻟﻌﺮﺏ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺃﺧﺬﻩ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻛﺴﺮﻯ ﻻ ﻧﺤﺪﺙ ﺣﺪﺛﺎ ﻭﻻ ﻧﺆﻭﻱ ﻣﺤﺪﺛﺎ، ﻭﺇﻧﻲ ﺃﺭﻯ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺪﻋﻮ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻤﺎ ﺗﻜﺮﻫﻪ ﺍﻟﻤﻠﻮﻙ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﻧﺆﻭﻳﻚ ﻭﻧﻨﺼﺮﻙ ﻣﻤﺎ ﻳﻠﻲ ﻣﻴﺎﻩ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻓﻌﻠﻨﺎ، ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﻣﺎ ﺃﺳﺄﺗﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩ ﺇﺫ ﺃﻓﺼﺤﺘﻢ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ، ﻭﺇﻥ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻦ ﻳﻨﺼﺮﻩ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺃﺣﺎﻃﻪ ﻣﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺟﻮﺍﻧﺒﻪ ‏» ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻲ ‏( 2/ 297 ‏) , ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ﻻﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ‏( 1/ 88 ‏) , ﻛﻨﺰ ﺍﻟﻌﻤﺎﻝ ‏( 12/ 521 (
“Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engaku minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”. (Dala’il al-Nabawiyah, 2/297; al-Tsiqat Ibni Hibban, 1/88; Kanz al-Umal, 12/521).

Jadi mereka memahami bahwa nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab, sehingga mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.

Jika dirinci, sebenarnya thalab al-nushrah secara praktik memiliki dua tujuan: (1) melindungi dakwah, dan (2) menegakkan Islam atau menerima kekuasaan. Lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan melindungi dakwah dapat ditemukan dalam Sirah Ibni Hisyam riwayat dari Ibnu Ishaq dan Mustadrak al-Hakim. Adapun yang lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan menegakkan Islam atau menerima kekuasaan dapat ditemukan Sirah Ibni Hisyam, Tarikh al-Thabari, Mu’jam al-Thabarani, Zad al-Ma’ad. Thalab al-nushrah untuk tujuan kedua

*Catatan Akhir*
Dengan demikian, sirah nabawiyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada sirah nabawiyah adalah sah.

Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab sirah nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun tarikh Islam, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan berijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat yang merupakan hukum syara’. Adapun manhaj ushul hadits, penetapan keshahihan dan kedha’ifan hadits, dan penerimaan dan penolakan sebagai hujjah, syaikh Taqiyuddin berpijak pada manhaj ulama ahli hadits yang mu’tamad, manhaj Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.
Bandung, 8 Oktober 2018
# CatatanTambahan
# DirasahSyariyyah_4
@raudhah tsaqafiyyah

# Respon Muslim Hindia Belanda Atas Runtuhnya Khilafah*

# Respon Muslim Hindia Belanda Atas Runtuhnya Khilafah*
.
Pada 3 Maret 1924 Khilafah Utsmani diruntuhkan oleh antek penjajah Inggris Mustafa Kamal Pasha Attaturk _laknatullah!_ Sehari kemudian koran berbahasa Belanda memberitakannya. Gemparlah Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Selang beberapa waktu, berita serupa dalam bahasa Melayu pun bermunculan. Sikap pemberitaan maupun respon dari Indonesia bisa datang secara segera, meskipun teknologi transportasi dan komunkasi-informasi saat itu belum secanggih saat ini.
.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, Syarif Husein mantan Amir Makkah (mantan Gubernur Makkah) langsung mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Tentu saja mendapatkan penolakan keras dari dunia Islam karena semasa Khilafah Utsmani masih berdiri saja, dia _bughat_, melepaskan Hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya) dari pangkuan Khilafah Utsmani.
.
Umat Islam di Indonesia pun menggelar Kongres Al-Islam II yang diadakan pasa 19-21 Mei 1924. Dalam pidato pembukaan kongres, KH Agus Salim menegaskan, Kongres Al-Islam ini perlu mencari solusi atas permasalahan khilafah. Bagi Agus Salim keberadaan sebuah pemerintahan Islam yang merdeka adalah suatu hal yang penting.
.
*Komite Khilafah*
.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Sekitar pertengahan 1924, beberapa tokoh umat Islam di Surabaya menerima surat undangan dari ulama Al Azhar Mesir untuk kongres khilafah pada Maret 1925. Surat juga berisi tujuh belas poin penjelasan soal kekisruhan pasca runtuhnya Khilafah Turki Usmani.
.
“Secara garis besar ada dua hal yang ditekankan. Salah satunya adalah persoalan khilafah merupakan bagian dari syariat dan wajib untuk ditegakkan kembali,” ungkap sejarawan Septian AW kepada _Media Umat_, Senin (18/9/2017).
Maka pada 4 dan 5 Oktober para tokoh Islam mengadakan pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam, Genteng, Surabaya untuk membahasnya. Dihadiri oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, At-Tadibiyah, Tasfirul Afkar, Ta’mrul Masyajid, dll.
Tokoh Syarikat Islam (SI) Oemar Said Tjokroaminoto dalam pidatonya menyampaikan tentang perlunya umat Islam memiliki seorang khalifah dan perlunya peran aktif umat Islam di Indonesia untuk kepentingan khilafah.
.
Namun forum nampak kurang PD karena kuatir Mesir menganggap Nusantara hanya seperti lalat saja. Kemudian Haji Fakhruddin, seorang tokoh Muhammadiyah, memberi kepercayaan diri bagi umat Islam Indonesia. Jika memang benar orang Mesir memandang rendah orang Indonesia sebagai lalat, biarkan mereka tahu seperti apa lalat ini. Dia menegaskan, Islam tidak membuat perbedaan ras, orang Indonesia tidak kalah dari orang Mesir.
.
Lalu Tjokroaminoto pun mengingatkan forum akan pentingnya kongres di Mesir. “Belum pernah dalam sejarahnya diadakan sebuah kongres agama Islam sedunia, kongres ini akan menjadi yang pertama. Oleh karena hal ini menjadi suatu kewajiban umat Islam maka utusan sangat perlu dikirim ke Kairo. Ada banyak orang Indonesia yang cakap menjadi utusan dan tidak akan dihina,” tegasnya.
.
Forum setuju. Maka Fakhruddin mengusulkan agar mendirikan Komite Khilafah (Comite Chilafat). Terpilihlah Wondo Soedirdjo sebagai ketua komite dan KH Abdul Wahab Hasbullah [yang kelak pada 1926 mendirikan Nahdlatul Ulama] sebagai wakilnya.
.
Komite ini bertugas untuk menetapkan delegasi dan mandat yang dibawa, serta biaya delegasi. Dan juga menyiarkan pergerakan ini ke suluruh Hindia Belanda.
.
Lalu muncul cabang Komite Khilafah di berbagai daerah seperti: Yogyakarta, Babat, Cirebon, Pasuruan, Menes, Buitenzorg, Jampangkulon, Cianjur, Banjarmasin dan lainnya.
.
Kemudian pada 25-27 Desember 1924 digelarlah Kongres Al-Islam Luar Biasa di Surabaya. Dihadiri oleh utusan dan wakil dari 68 organisasi pada masa itu: Muhamadiyah dan cabangnya; Sarekat Islam dan SI lokal; Al-Irsjad dan cabangnya. Serta berbagai sub-Comite Chilafaat. Organisasi lokal Surabaya juga hadir seperti: Watonniyah, Attahdibiyah, Khoerriyah, Tarbiatul Aitam, Taswirul Afkar, Ta'mirul Masajid.
.
Dalam kongres yang berlangsung selama tiga hari tersebut didapat tiga kesepakatan. _Pertama_, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan khilafah. _Kedua_, aka
n terus didirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. _Ketiga_, akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachruddin dari Muhammadiyah dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
.
Namun dengan berbagai tekanan dan intrik dari penjajah, pada hari H ternyata Kongres Khilafah di Mesir diundur ---Dan hingga hari ini tak pernah terlaksana. Kaum Muslimin Hindia Belanda pun sedih.
.
*Terpalingkan dari Perjuangan*
.
Awal tahun 1925 Ibnu Saud (kelak mendirikan Kerajaan Arab Saudi ketiga) berhasil mengalahkan Syarif Husein dan menguasi Makkah. Ibnu Saud mengundang segenap perwakilan Muslim sedunia untuk hadiri Kongres Makkah.

“Tentu saja ini membuat senang kaum Muslimin di Nusantara, karena harapan punya khalifah baru akan segera terlaksana,” beber Septian.

Maka digelarlah Kongres Al Islam IV. Namun sangat disayangkan dalam kongres terjadi friksi ketika membahas mazhab yang dianut Ibnu Saud. Tarbiatul Aitam, Taswirul Afkar dan Ta'mirul Masajid merasa mazhab di Makkah tersebut sangat tidak toleran dengan perbedaan masalah cabang _(furu’iyah)_.

Friksi memanas berujung pada keluarnya ketiga organisasi itu dari kongres kemudian membentuk Komite Hijaz untuk membahas persoalan keberlangsungan mazhab di Makkah. Januari 1926 Komite Hijaz berubah menjadi Nahdhatul Ulama.
.
Jelang keberangkatan ke Makkah, digelarlah Kongres Al Islam V. Kongres tidak dihadiri utusan NU. Antusiasme terhadap Ibnu Saud semakin tinggi. Kongres memutuskan mengirim Tjokroaminoto (SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah) menjadi delegasi Hindia Belanda ke Kongres Makkah.
.
Namun sangat ironis, dalam Kongres Makkah, Ibnu Saud menolak dengan tegas ketika para utusan siap membaiatnya menjadi khalifah. “Ibnu Saud lebih menekankan pada pembahasan _bid’ah_, _khurafat_ dan tahayul dan sangat menyudutkan kaum Muslimin yang memiliki perbedaan tata cara ibadah yang sifatnya cabang,” ungkap Septian.
.
Alih-alih pulang membawa kabar akan persatuan dan kesatuan kaum Muslimin dengan terpilihnya seorang khalifah, para delegasi pulang dengan membawa semangat ‘perpecahan’ dengan memperuncing perbedaan dalam masalah cabang.
Sejak saat itu, tidak ada lagi opini di ruang publik akan kewajiban menegakkan kembali khilafah. Hingga pada tahun 2000 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berhasil menggalang 5000 kaum Muslimin dari berbagai Ormas untuk mengikuti Konferensi Khilafah Internasional di Istora Senayan Jakarta.
.
Kesadaran akan kewajiban bersatunya kaum Muslimin dalam naungan khilafah terus menggelinding bak bola salju. Untuk menahannya, pada 2017 rezim Jokowi pun mengkriminalisasi perjuangan mulia ini dengan mencabut SK Badan Perkumpulan HTI dengan semena-mena pakai Perppu Ormas. Serta mengancam menghukum 5-20 tahun penjara bagi anggota dan simpatisan yang masih mencoba mendakwahkan wajibnya khilafah.[] *joko prasetyo*

Sumber: _Tabloid Media Umat Edisi 204: Oh Ganjilnya Negeri Ini..._

2-15 Muharram 1439 H/22 September-5 Oktober 2017
https://www.facebook.com/joko.prasetyo.357/posts/1470052273112005

METODE UNTUK MEMERANGI HT MENURUT ZEYNO BARAN; APAKAH DIANTARA KITA MENJADI SALAH SATU AKTORNYA?

METODE UNTUK MEMERANGI HT MENURUT ZEYNO BARAN; APAKAH DIANTARA KITA MENJADI SALAH SATU AKTORNYA?

By: Choirul Anam
.
Menurut Zeyno Baran, ancaman paling serius bagi Amerika dan sekutunya adalah kebangkitan Islam dan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah. Sementara itu, gerakan yang dinilainya paling berbahaya adalah Hizbut Tahrir. Sebab, menurut dia, HT adalah satu-satunya organisasi yang sangat memahami Khilafah dan metode menegakkannya. HT bergerak dalam perang pemikiran (the war of ideas) yang sesungguhnya. HT bergerak di seluruh dunia dan telah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam perjuangannya, meski belum sampai pada suatu titik berdirinya Khilafah.
.
Karena itu, menurutnya, jika Amerika dan sekutunya tidak melakukan langkah yang tepat dalam “perang” yang sangat penting ini, tidak mustahil HT akan berhasil dalam misinya menegakkan Khilafah dalam waktu dekat ini.
.
Lalu, Baran dengan sangat “tulus” memberi nasihat (rekomendasi) kepada pemerintah Amerika dan sekutunya tentang metode memerangi HT yang dipandangnya cukup efektif dan efisien.
.
Rekomendasi ini telah diterapkan Amerika di seluruh dunia Islam. Untuk merealisasikannya, Amerika telah mengajak kerja sama dengan seluruh negara di dunia dan juga dengan umat Islam yang mau menggadaikan agamanya, baik mereka sadar atau tidak.
Banyak sekali umat Islam, baik sadar atau tidak, telah menjadi pion dan aktor penting dalam upaya memerangi Islam, menghalangi perjuangan penegakan Khilafah dan terutama untuk menghancurkan HT.
.
Rekomendasi Baran tersebut berupa suatu dokumen dengan judul “HIZB UT-TAHRIR; ISLAM’S POLITICAL INSURGENCY”. Dokumen ini memang tidak terlalu tebal hanya 144 halaman. Namun, untuk diterjemahkan semua dan diupload di FB terlalu panjang. Untuk mengetahui apa sesungguhnya isi dokumen tersebut, kami akan menerjemahkan bagian rekomenasi (recommendations) saja, sebanyak 5 halaman.
.
Semoga kita semua memahaminya, terutama saudara-saudara kita sendiri (umat Islam) yang terlibat dalam proyek Amerika karena ketidak-tahuannya. Semoga mereka memahami bahwa umat Islam adalah umat yang satu yang tidak boleh saling memusuhi dan memerangi. Semoga mereka tersadar, lalu berusaha melawan makar negara-negara Barat, bukan malah menjadi bagian dari makar mereka.
.
Meskipun makar negara-negara Barat untuk membendung laju perjuangan Khilafah sedemikian terstruktur dan terencana dengan sangat baik, namun makar mereka tak akan berhasil. Insya Allah, Khilafah Islam, institusi yang akan menyatukan umat Islam sedunia akan segera tegak dalam waktu yang tidak lama lagi. Sebab, Khilafah adalah janji Allah dan kabar gembira Rasulullah pada umatnya, meski mereka menghalang-halangi dan menertawakannya.
.
Berikut ini adalah terjemahan bebasnya. Mohon membaca dengan cermat dan bersabar karena lumayan panjang.
*****
_HIZB UT-TAHRIR; ISLAM’S POLITICAL INSURGENCY (HIZBUT TAHRIR; PEMBERONTAKAN POLITIK ISLAM)._
_REKOMENDASI-REKOMENDASI (RECOMMENDATION
S)_
Lanjutan…
_Tidak seperti dalam Perang Dingin, AS tidak dapat mencegah penyebaran ideologi HT melalui alat diplomasi tradisional (traditional diplomatic tools), yaitu hanya memfokuskan pada negara. Pemain utama (dalam perang) dengan satu miliar lebih umat Islam adalah pemain yang tidak memiliki negara (non-state actors, maksudnya adalah Khilafah).
.
Karena itu, AS harus mengubah strategi dalam berhubungan dengan umat Islam. Pemerintahan yang menindas, tidak legitimate, dan korup, tidak dapat digunakan lagi untuk memenangkan HATI DAN PIKIRAN umat Islam, terlebih lagi bagi mereka yang sudah memiliki kesadaran politik (political consciousness).
.
Karena itu, Amerika perlu berhubungan dengan umat Islam layaknya sebagai “masyarakat sipil”.
Hal ini akan mengantarkan pada pembentukan kerangka kerja baru (new framework) dari politik international._
_Pada saat yang sama, harus ada forum internasional yang terpercaya (legitimate international forum) dimana orang-orang Islam yang MODERAT dapat mengekspresikan pendapat mereka.
Di bawah kepemimpinan Presiden dari Malaysia dan Sekjen dari Turki, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dapat secara potensial digunakan untuk kepentingan ini.
.
Sebagai tambahan, PBB (United Nations) harus menambah negara-negara dengan mayoritas muslim sebagai anggota Dewan Keamanan (Security Council).
Saat ini, kebanyakan umat Islam percaya bahwa mereka mendapatkan perhatian hanya setelah terjadinya pengeboman oleh teroris. Jika kursi Dewan Keamanan (DK) diduduki oleh negara-negara seperti Indonesia atau Turki, maka persepsi (tentang Amerika) akan menjadi lebih baik.
.
(Penerjemah: Betapa hebatnya strategi ini. Dan inilah yang saat ini dimainkan oleh Amerika. Dan hasilnya, dunia Islam “mati kutu” tak berdaya. Seakan-akan mereka memberi kepercayaan kepada umat Islam, padahal hal itu adalah untuk membungkam umat Islam. Tak ada lagi, yang menginginkan syariah, apalagi Khilafah. Sebuah strategi yang teramat-sangat-sungguh mujarab sekali dalam membungkan mulut umat Islam)._
.
_Perang baru ini memerlukan kemampuan baru (new skill). Sebuah kursus dasar (basic training course) tentang budaya, nilai dan tradisi Islam sungguh sangat diperlukan bagai semua pegawai Amerika (American officials) saat berinteraksi dengan umat Islam.
Sebab, para angota HT sendiri telah disiapkan dengan baik (well prepared) dalam pertarungan ideologi ini, dengan training selama dua tahun (dalam halaqoh-halaqoh). Karena itu, diplomat, pegawai militer, dan pengambil kebijakan (policymakers) Amerika, harus disiapkan dan dibekali peralatan yang lebih baik. Dalam lingkungan dimana kecurigaan terhadap agenda jangka panjang AS di dunia Islam sangat berpengaruh, Amerika harus menangani masalah ini dengan sangat baik, terutama terhadap setiap isu yang berkaitan dengan Islam.
.
Pendekatan AS harus tidak rumit dalam interaksi sehari-hari, dan Amerika harus memperlakukan umat Islam dengan bermartabat dan hormat, hal ini merupakan titik awal yang besar dalam membungkam pernyataan HT bahwa Amerika arogan dan tidak adil terhadap dunia Islam.
.
Bahkan bagi umat Islam yang hidup dalam kemiskinan sekalipun akan merasa memiliki martabat (dignity) dan kebanggaan (pride) dalam hubungan mereka dengan peradaban besar (Kapitalisme). Jika, umat Islam ini didekati dengan cara yang keliru, maka kebanggaan ini akan dengan mudah hilang, dan berubah menjadi kebencian (hatred)._
.
_Pembuat kebijakan senior Amerika harus benar-benar menyadari bahwa mereka sedang ditarik ke dalam perang dengan Islam, yaitu disebabkan seringnya militer AS menyerang masjid, tempat suci, dan simbol-simbol umat Islam yang penting di Irak. Meskipun hal itu merupakan taktik (strategi) yang masuk akal untuk mencari pemberontak (insurgents) yang bersembunyi di tempat-tempat religius, namun Amerika justru akan kalah dalam perang ideologi (ideological war) jika Amerika terus melakukan hal ini.
.
Dari monograf (laporan) ini, jelas bahwa Amerika Serikat telah kalah dalam perang persepsi di dunia Islam. Operasi militer di tempat-tempat religius yang penting, dapat diartikan sebagai perang terhadap Islam itu sendiri (war on Islam).
Untuk meminimalisasi persepsi ini, pemimpin Amerika harus mempertimbangkan pertimbangan politik (political consideration) selain pertimbangan teknis saat membuat keputusan militer di negeri-negeri Muslim.
.
(Penerjemah: Menurut Baran, penyerangan secara militer terhadap umat Islam itu tidak masalah, asalkan jangan sampai melukai hati umat Islam. Untuk itu, Amerika harus “cerdas” dalam operasi militer saat membumi-hanguskan dunia Islam.
Kalau perlu Amerika harus mencari cara, meski yang menyerang adalah Amerika, tetapi yang disalahkan umat Islam sendiri, terutama HT)._
.
_Negara Barat tidak boleh mentoleransi penyebaran HT yang tidak toleran. HT telah berhasil menyebarkan gagasan-gagasan yang dipenuhi kebencian (hate-filled), anti-Semitik (anti Yahudi), anti konstitusional, semua itu akibat “toleransi” Barat kepada HT yang tidak toleran itu. HT telah menggunakan slogan Barat (West’s own slogan) dan prinsip-prinsipnya untuk melemahkan struktur sosial yang sangat fundamental bagi Barat.
Oleh karena itu, pemerintah, pendidik, dan tokoh-tokoh religius Barat harus memerangi ideologi yang dipenuhi dengan kebencian (hate-filled ideology).
Dengan senjata sosial (social weapon) yang sama, mereka gunakan untuk memerangi lainnya, yaitu intoleransi kelompok-kelompok non-Muslim.
.
_(Penerjemah: *Saat Baran mengatakan bahwa HT dan ideologinya dipenuhi kebencian, ini merupakan pendapat Baran sendiri yang sangat benci kepada HT dan Islam. Pendapat Baran ini sebenarnya tidak ada faktanya sama sekali. HT tidak membenci siapapun, HT hanya membenci aturan yang mendzalimi manusia, yakni Kapitalisme dan Sosialisme, dan HT berjuang untuk menggantinya dengan aturan yang dipenuhi kebaikan, yaitu syariah islam dan Khilafah)*.
.
_Negara barat harus mendukung peningkatan pendidikan bagi umat Islam MODERAT. Para ahli agama (theologians) dan para imam yang dididik dengan pemikiran Islam Moderat, seperti di Turki, Asia Tengah, Indonesia, atau Malaysia, akan memberikan interpretasi yang toleran tentang Islam, hal itu merupakan elemen paling menonjol dari Sufisme. Dengan demikian, mereka akan senang hati bersanding dengan agama dan budaya lain (other religions and cultures)_.
.
(Penerjemah: *Kelompok umat Islam yang akan dimainkan untuk melawan perjuangan syariah dan Khilafah adalah kelompok Sufi. Ini merupakan strategi untuk mengadu umat Islam. Ini merupakan strategi yang sangat jahat, dan strategi ini tampaknya sudah mulai diterapkan. Oleh karena itu, umat Islam yang menekuni Sufisme harus diingatkan dan diberitahu tentang strategi ini. Point utama yang dapat dijelaskan adalah bahwa HT yang memperjuangkan Khilafah didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin, yang merupakan cucu Syeikh Yusuf an-Nabhany, seorang tokoh Sufi Internasional dan penulis kitab Jami’ Karoomatil Auliyah, Ensiklopedi Karomah Para Wali)*.
.
_Struktur legal yang ada di Barat saat ini untuk melawan HT tidaklah mencukupi. Karena itu, diperlukan alat baru, seperti undang-undang yang dapat mempidanakan “kejahatan karena menyebarkan kebencian (hate crime)” dan “propaganda kebencian (hate propaganda)”. Hal paling utama, negara-negara Barat harus bersatu melarang HT secara keseluruhan. Larangan terhadap HT di Jerman saat ini dan di beberapa tempat lain, tidaklah memadai. Saat ini, HT sedang “berjualan yuridiksi” dan menjalankan aktivitasnya, tanpa perasaan takut terhadap tuntutan kriminal. Jika negara-negara Barat terus membiarkan HT, maka akan terjadi radikalisasi lebih jauh lagi, bukan hanya terhadap umat Islam di negara-negara luar, tetapi juga di tengah Eropa sendiri_.
.
(Penerjemah: *Betapa bingungnya mereka untuk melawan HT!. HT tidak pernah melakukan tindakan kekerasan, sehingga undang-undang di Barat sendiri tidak mampu mempidanakan dan melarang HT di sana. Mereka mencoba menggunakan istilah “hate crime atau kejahatan karena menyebarkan kebencian”, tetapi hal ini sangat subyektif dan tidak ada landasan secara ilmiah sama sekali. Sehingga hal itu ditentang oleh para pakar Barat sendiri)*.
.
_Penanganan Uni-Eropa (UE) pada Turki menjadi ujian penting bagi kebijakan Barat. Jika tradisi Muslim Turki yang menekankan pentingnya konvergensi suatu peradaban diterima oleh UE, maka HT akan kehilangan argumen yang menyatakan bahwa saat ini telah terjadi benturan peradaban (clash of civilizations).
.
Jika UE menerima Turki sebagai anggota, maka hal ini akan menunjukkan bahwa peradaban Islam dan peradaban Barat sangat selaras (fully compatible). Di lain pihak, jika sentimen anti-Muslim di UE terus meningkat, dan umat Islam Turki sendiri bergabung dengan pemikiran Barat, maka perang ideologi akan hilang dengan sendirinya._
*****
Begitulah strategi Amerika untuk menghancurkan HT sebagai gerakan dakwah yang memperjuangkan tegaknya syariah dan persatuan umat islam dunia dengan Khilafah. Dalam hal ini, Amerika akan membiayai dan menipu sekelompok umat Islam yang mau ditipu, agar mau berhadapan dengan HT dan menghabisi dakwah HT dengan segala cara.
.
Untuk itu, tidak ada cara lain, kecuali dengan menjelaskan skenario ini kepada seluruh umat Islam, terutama kepada mereka yang saat ini berada dalam permainan Amerika. Perjuangan untuk penegakan syariah dan Khilafah, merupakan perjuangan mulia untuk kebaikan umat Islam dan manusia seluruhnya, termasuk kepada kelompok Sufisme dan Thariqah. Syariah dan Khilafah inilah yang akan menebarkan keadilan yang seadil-adilnya, melindungi manusia dari kejamnya materialisme dan buasnya Kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan profit dan keuntungan.
.
Mereka harus disadarkan bahwa, *memusuhi umat Islam yang sedang memperjuangkan Islam, merupakan perang terhadap Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka berdzikir kepada Allah satu juta kali dalam setiap malam.*
Wallahu a’lam bish showab.

SURAT SRIWIJAYA UNTUK KHILAFAH

SURAT SRIWIJAYA UNTUK KHILAFAH
.
# WadahAspirasiMuslimah_ Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Kerajaan Hindu Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Mas'udi, seorang musafir (eksplorer) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya.
.
Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
.
Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan Khilafah Islam Bani Umayyah yang berkedudukan di Damaskus. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz tahun 718.
.
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam. Meski demikian, menurut sejarawan, surat ini bukan berarti raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasratnya untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu.
.
Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abd Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya. Nu’aim bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut:
.
“Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = Maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil"
.
"Kepada Raja Arab (‘Umar bin 'Abdul-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya"
.
Referensi: bit.ly/SriwijayaUntukKhilafah
.
# SejarahIslam

*MENDO’AKAN KEBURUKAN BAGI PENGUASA/ PEMIMPIN ZHALIM ADALAH SUNNAH YANG TERLUPAKAN.*

*MENDO’AKAN KEBURUKAN BAGI PENGUASA/
PEMIMPIN ZHALIM ADALAH SUNNAH YANG TERLUPAKAN.*

_Oleh: Maaher At-Thuwailibi_
Kata Allah dalam Al-Qur’an:
ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺠَﻬْﺮَ ﺑِﺎﻟﺴُّﻮﺀِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﻇُﻠِﻢَ ۚ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻌًﺎ ﻋَﻠِﻴﻤًﺎ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan secara terang-terangan, kecuali oleh ORANG YANG DI ZHALIMI. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS An-Nisa ayat 148).

Kata Nabi, Ada tiga do’a yang tidak ditolak oleh Allah alias dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang TERZHOLIMI, do’a musafir, dan doa buruk orang tua kepada anaknya. (HR.Imam Tirmidzi)

Siapa saja diantara kaum muslimin yang merasa dizhalimi oleh para penguasa lalim dan diktator, maka DOAKANLAH KEBURUKAN & KEHANCURAN UNTUK MEREKA karena sesungguhnya doa anda akan dikabulkan Allah dengan janji yang tak ada keraguan didalamnya.
Kata para penjilat, haram hukumnya mendo’akan keburukan atas pemimpin/penguasa zhalim. mendoakan keburukan atas pemimpin zhalim merupakan ciri-ciri khawarij, Begitu kata mereka. Doktrin oplosan yang telah lama usang!

Mendoakan keburukan dan kebinasaan atas penguasa zhalim adalah teladan para Nabi & Rasul.

*Mana dalilnya?*

*1=>* Nabi Musa ‘Alaihis Salam mendo’akan KEBINASAAN untuk Fir’aun:

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣُﻮﺳَﻰٰ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﺁﺗَﻴْﺖَ ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻭَﻣَﻠَﺄَﻩُ ﺯِﻳﻨَﺔً ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻟِﻴُﻀِﻠُّﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻠِﻚَ ۖ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺍﻃْﻤِﺲْ ﻋَﻠَﻰٰ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺷْﺪُﺩْ ﻋَﻠَﻰٰ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳَﺮَﻭُﺍ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟْﺄَﻟِﻴﻢَ
Musa berkata, “Yaa Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia.Yaa Tuhan Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Yaa Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih!” (QS.Yunus ayat 88)

*2=>* Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendo’akan para pemimpin:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻣَﻦْ ﻭَﻟِﻲَ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﻫَﺬِﻩِ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺷَﻴْﺌﺎً ﻓَﺮَﻓَﻖَ ﺑِﻬِﻢْ، ﻓَﺎﺭْﻓُﻖْ ﺑِﻪِ . ﻭَﻣَﻦْ ﺷَﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻓَﺎﺷْﻔُﻖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ .
“Yaa Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”. (HR. Imam Muslim).

Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang langsung dikabulkan oleh Allah), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa/pemimpin.” Akan tetapi, bukan berarti mendoakan keburukan atas penguasa/pemimpin yang betul-betul zhalim tidak ada contohnya/
teladannya dari Salafus Shalih. Ini yang sering disembunyikan oleh segelintir “mafia berjubah” yang menjadi ‘menghamba’ pada majikannya.

Mana contohnya Salaf yang mendo’akan keburukan kepada penguasa zhalim?
Imam besar Tabi’in, Al-Imam Hasan Al-Bashri Rahimahullah, mendoakan keburukan atas pemimpin zhalim di zamannya (yaitu Hajjaj Bin Yusuf Ats-Tsaqafi), beliau berdo’a:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻳَﺎ ﻗَﺎﺻِﻢَ ﺍﻟْﺠَﺒَﺎﺑِﺮَﺓِ ﺍﻗْﺼِﻢِ ﺍﻟْﺤَﺠَّﺎﺝَ ﺍﺑﻦ ﻳﻮﺳﻮﻑ ...

“Ya Allah yang maha perkasa dan kuasa, hancurkan dan binasakanlah Hajjaj Bin Yusuf...”

Lalu, setelah di doakan demikian oleh Imam Hasan Al-Bashri, *PENGUASA ALAM SEMESTA DZAT YANG MAHA KUASA ALLAH RABBUL ‘IZZAH WAL JALAALAH MENGABULKAN DO’A IMAM HASAN AL-BASHRI; Hajjaj Bin Yusuf (si gubernur zhalim) pun tewas tiga hari kemudian disebabkan perutnya dipenuhi cacing*.
Singkat Kata, mendoakan keburukan kepada orang zhalim (baik ia pemimpin atau bukan) adalah Sunnah para Nabi dan Rasul serta Salafus Shalih sejak dahulu..

Kata Imam An-Nawawi Rahimahullah:

ﻭَﻗَﺪْ ﺗَﻈَﺎﻫَﺮَ ﻋَﻠﻰَ ﺟَﻮَﺍﺯِﻩِ ﻧُﺼُﻮْﺹُ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُﻨَﺔِ ﻭَﺃَﻓْﻌَﺎﻝُ ﺳَﻠَﻒِ ﺍﻟْﺄُﻣَﺔِ ﻭَﺧَﻠَﻔِﻬَﺎ
“Telah jelas kebolehan hal tersebut, yaitu BOLEHNYA mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim, berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan teladan kaum Salaf maupun Khalaf”.

Yaa Allah Yaa Rabb..
Tiada ilah yang berhak disembah secara benar kecuali engkau, penguasa alam semesta. Raja segala raja. Maha kuasa dan perkasa, sebaik-baik pembuat makar..., Hancurkan & Binasakanlah segala bentuk kezhaliman diatas permukaan bumi ini. Yaa Allah Yaa Rabb, turunkan bala dan bencana-Mu bagi mereka yang menzhalimi wali-wali Mu diatas bumi ini.
*Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamin..*
*Jadi, tak ada keraguan untuk mendo'akan kebinasaan Pemimpin Zhalim dan Para Pendukungnya.. !*

# TENTANG_POLITIK_ISLAM # TENTANG_KHILAFAH


# TENTANG_POLITIK_ISLAM
# TENTANG_KHILAFAH

Di beberapa forum, kadang saya melihat jika bahas masalah politik, kepemimpinan dan pemerintahan, aroma diskusi menjadi agak sedikit tegang. Bahkan dalam sebuah pengajian, ketika membaca hadits-hadits terkait imarah dan imamah, panitia berbisik, “jangan terlalu bahas politik,!Padahal sedang ngaji Kitabul Imarah dalam Shahih Muslim.


Alhamdulillah, sekarang membahas politik islam tidak rancu lagi,di beberapa forum, dengan para ulama, kyai, ajengan, dll. mereka membuka kitab dan membahasnya dengan kepala dingin bersama Apapun hasil kajiannya itu adalah amanah ilmu.
Ajaran Islam itu mencakup semua hal,
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺗِﺒْﻴَﺎﻧًﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻭَﻫُﺪًﻯ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً ﻭَﺑُﺸْﺮَﻯ ﻟِﻠْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ
Sayyidina Abdullah Ibn Mas'ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal". (Imam Al-Hafizh Abul Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur'anil Adzim, juz IV hlm. 594).


Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Qur'an telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Saudaraku, kita juga makin paham mengapa tema terkait pemerintahan ini sangat asing di telinga umat, karena itu adalah simpul yang pertama kali lepas,
ﻟﺘُﻨْﻘَﻀَﻦَّ ﻋُﺮَﻯ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ، ﻋُﺮْﻭَﺓً ﻋُﺮْﻭَﺓً، ﻓَﻜُﻠَّﻤَﺎ ﺍﻧْﺘَﻘَﻀَﺖْ ﻋُﺮْﻭَﺓٌ، ﺗَﺸَﺒَّﺚَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺑِﺎﻟَّﺘِﻲ ﺗَﻠِﻴﻬَﺎ، ﻭَﺃَﻭَّﻟُﻬُﻦّ ﻧَﻘْﻀًﺎ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ، ﻭَﺁﺧِﺮُﻫُﻦَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ

"Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat" (HR. Ahmad)


Membahas ini memang harus hati-hati, jangan sampai tergelincir. Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i mengingatkan kita semua dalam kitab al-Irsyad,
ﺍَﻟْﻜَﻠَﺎﻡُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻣَﺔِ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮْﻝِ ﺍﻟْﺎِﻋْﺘِﻘَﺎﺩِ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻄْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﺰِﻝُ ﻓِﻴْﻪِ ﻳُﺮَﺑِّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨَﻄْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﺠْﻬَﻞُ ﺃَﺻْﻼ ﻣﻦ ﺃﺻﻮﻝِ ﺍﻟِّﺪﻳْﻦِ
“....Pembicaraan tentang imamah tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan), namun bahayanya bagi orang yang tergelincir di dalamnya melebihi bahayanya bagi orang yang tidak mengerti pokok-pokok agama.”


Kata kuncinya bagi kita sebenarnya hanya dua: ilmu dan dakwah. Jadi ketika kita belajar dan menyampaikan kembali kepada umat adalah karena amanah ilmu dan dakwah. Tidak perlu takut celaan orang-orang yang suka mencela. Meski eksesnya kadang tidak sederhana. Mengapa? Karena ini terkait kepentingan kekuasaan dan kekuatan. Makanya, umat sudah lama jauh (dijauhkan) dari politik.


Padahal politik adalah bagian dari ajaran Islam. Pengertian politik di dalam Islam didiskripsikan di dalam Mu'jamu Lughatil Fuqaha' dengan,
ﺭﻋﺎﻳﺔ ﺷﺌﻮﻥ ﺍﻻﻣﺔ ﺑﺎﻟﺪﺍﺧﻞ ﻭﺍﻟﺨﺎﺭﺝ ﻭﻓﻖ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺍﻻﺳﻼﻣﻴﺔ .
"Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam". (Muhammad Qal'aji, Mu'jamu Lughatil Fuqaha', juz I hlm. 253).
Makna seperti inilah yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺑَﻨُﻮ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ﺗَﺴُﻮﺳُﻬُﻢْ ﺍﻟْﺄَﻧْﺒِﻴَﺎﺀُ ﻛُﻠَّﻤَﺎ ﻫَﻠَﻚَ ﻧَﺒِﻲٌّ ﺧَﻠَﻔَﻪُ ﻧَﺒِﻲٌّ ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻧَﺒِﻲَّ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﻭَﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺧُﻠَﻔَﺎﺀُ ﺗَﻜْﺜُﺮُ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓُﻮﺍ ﺑِﺒَﻴْﻌَﺔِ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻓَﺎﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻭَﺃَﻋْﻄُﻮﻫُﻢْ ﺣَﻘَّﻬُﻢْ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺳَﺎﺋِﻠُﻬُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺍﺳْﺘَﺮْﻋَﺎﻫُﻢْ
Imam an-Nawawi dalam shahih Muslim bisyarhin Nawawi menjelaskan pengertian "tasusuhum al-anbiyaa'" dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya). (Imam Al-Hafizh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-Nawawi, Syarah An-Nanawi 'ala Shahihil Muslim, juz VI hlm. 316, syarah hadits nomor 3420).


Dalam hadits diatas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, bahwa yang mengatur atau yang memelihara urusan Bani Israil adalah para nabi, sedangkan untuk umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para khulafa', dan jumlahnya banyak.


Saudaraku, jadi karena amanah ilmu dan dakwahlah kita belajar fiqih thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena amanah ilmu dan dakwah pula kita belajar fiqih keluarga, jual beli, ijarah (sewa), dan pergaulan. Karena amanah ilmu dan dakwah juga kita belajar syariat jihad, hudud dan jinayat (pidana), qadha (peradilan), kepemimpinan, dan pemerintahan (khilafah). Sekali lagi, kita belajar dan menyampaikannya karena amanah ilmu dan dakwah. Bukan yang lain.
Saudaraku, tiap pekan saya ngisi kajian Ghayah wa al-Taqrib (Matan Abi Syuja) di salah satu majelis. Apakah isinya hanya thaharah dan shalat? Tidak. Padahal itu kitab paling ringkas dalam Madzhab Syafi’i. Isinya mulai bab thaharah, shalat, hingga membahas bab jihad, ghanimah, jizyah, dan qadha (peradilan). Buku Fikih Islam karya KH. Sulaiman Rasyid saja membahas mulai dari thaharah hingga pemerintahan. Sekarang kita jujur pada diri sendiri, apakah kita sudah khatam belajar fiqih dari thaharah hingga masalah perdagangan, jinayah, peradilan dan pemerintahan?


Demikian juga ketika mengkaji hadits, apakah kita sudah mengkaji sampai selesai? Tahukah kita bahwa dalam Shahih Bukhari ada Kitabul Ahkam dan dalam Shahih Muslim ada Kitabul Imarah? Tahukah kita dalam Sunan Abi Dawud ada Kitabul Aqdhiyyah, dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah ada Kitabul Ahkam, serta dalam Sunan Nasa’i ada kitabul Bai’ah? Jangan-jangan kita sebagai thullab, belajarnya tidak pernah tuntas.


Saudaraku, amanah ini ada di pundak kita. Amanah untuk mempelajari Islam secara baik, dan amanah untuk menyampaikannya kembali ke masyarakat. Seperti yang digambarkan oleh Syeikh Ali Bin Haj, ada dua hal penting amanah bagi ahli ilmu: pertama, ulama' yang memadukan ilmu dan amal; kedua, selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat. (Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Zhulmil Hukkam, hlm. 255-258).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, sanksi yang akan diberikan di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman terhadap Ilmu dengan sabda beliau,
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺭَﺟُﻞٍ ﻳَﺤْﻔَﻆُ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻓَﻴَﻜْﺘُﻤُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻣُﻠْﺠَﻤًﺎ ﺑِﻠِﺠَﺎﻡٍ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
"Tidaklah seorang laki-laki yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang) dari api neraka". (HR. Ibnu Majah).


Semoga nasihat ini menguatkan kita semua untuk terus belajar secara mendalam, mempercantik adab, dan meneguhkan dalam dakwah....


# Menyambut_Tegaknya_Khilafah
# Copas_Dari
# Cahaya_Peradaban_Muslim

*KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI ?*

*KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI ?*


Oleh : Ustadz Fathy Syamsudin Ramadhan
Salah satu kewajiban penting umat Islam adalah mentaati seorang penguasa Muslim. Nabi Muhammad saw di dalam hadits-hadits shahih telah menjelaskan ketetapan ini dengan sangat jelas. Para ulama salaf dan khalaf juga tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mentaati penguasa yang tetap menjalankan urusan pemerintahan sesuai dengan aqidah dan syariat Islam. Mayoritas ulama juga berpendapat, kaum Muslim wajib mentaati penguasa fasik dan dzalim, semampang mereka tidak mengubah salah satu sendi dari ajaran Islam. Mereka juga memahami bahwa ketaatan kepada penguasa bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak, namun dibatasi oleh batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. Para ulama juga sepakat, jika seorang penguasa telah menampakkan kekufuran yang nyata (kufran shurahan), maka kaum Muslim dilarang mentaati mereka, bahkan wajib memakzulkan mereka meskipun dengan menggunakan pedang.
Sayangnya, fatwa ulama-ulama ikhlash ini sering dipelintir untuk menghambat terjadinya suksesi kekuasaan dari kekuasaan kufur menuju kekuasaan Islam. Mereka menyerukan agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa-penguasa walaupun penguasa itu jelas-jelas telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Mereka juga menyeru kepada kaum Muslim untuk tidak mengkritik mereka dengan terang-terangan. Bahkan, mereka menyerang sekelompok kaum Muslim yang berani mengkritik para penguasa dengan terang-terangan.
Lalu, benarkah para penguasa sekarang tetap harus ditaati? Bagaimana pandangan Islam mengenai ketaatan kepada penguasa? Dan kapan seorang Muslim wajib melepaskan ketaatan dari penguasa, bahkan wajib memakzulkan mereka?

Taat Kepada Penguasa

Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻠًﺎ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”[al-Nisaa’:59]

Ketika menafsirkan surat al-Nisa’:59, Imam Nasafiy menyatakan:

ﻭﺩﻟﺖ ﺍﻵﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻷﻣﺮﺍﺀ ﻭﺍﺟﺒﺔ ﺇﺫﺍ ﻭﺍﻓﻘﻮﺍ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﺈﺫﺍ ﺧﺎﻟﻔﻮﻩ ﻓﻼ ﻃﺎﻋﺔ ﻟﻬﻢ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ” ﻻ ﻃﺎﻋﺔ ﻟﻤﺨﻠﻮﻕ ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺍﻟﺨﺎﻟﻖ ” . ﻭﺣﻜﻲ ﺃﻥ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺑﻦ ﻣﺮﻭﺍﻥ ﻗﺎﻝ ﻷﺑﻲ ﺣﺎﺯﻡ : ﺃﻟﺴﺘﻢ ﺃﻣﺮﺗﻢ ﺑﻄﺎﻋﺘﻨﺎ ﺑﻘﻮﻟﻪ : ﻭ ‏« ﺃﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ ‏» ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺯﻡ : ﺃﻟﻴﺲ ﻗﺪ ﻧﺰﻋﺖ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻋﻨﻜﻢ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻟﻔﺘﻢ ﺍﻟﺤﻖ . ﺑﻘﻮﻟﻪ ‏« ﻓﺈﻥ ﺗﻨﺎﺯﻋﺘﻢ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻓﺮﺩﻭﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ‏» ﺃﻱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭ ‏« ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ‏» ﻓﻲ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﺇﻟﻰ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺗﻪ } ﺫﻟﻚ { ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺮﺩ ﺃﻱ ﺍﻟﺮﺩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ
“Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiyatan kepada Allah.”[HR. Ahmad]. Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,” Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..” Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”[1]

Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dalam kitab Tafsirnya,Durr al-Mantsuur, Imam Syaukani dalam Fath al-Qadir, dan serta kalangan mufassir lainnya.
Ibnu al-‘Arabiy, dalam kitab Ahkaam al-Quran, menyatakan:

“Kemudian mereka diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri) yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan mutlak, akan tetapi yang dikecualikan dalam hal ketaatan dan apa yang diwajibkan kepada mereka….”[2]

Dalam kitab Minhaaj al-Sunnah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Sesungguhnya, Nabi saw telah memerintahkan untuk taat kepada imam (pemimpin) legal yang memiliki kekuasaan, dan mampu mengatur urusan masyarakat. Tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang tidak dikenal dan tidak legal. Tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan apapun, secara asal. “[3]

Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amriy), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:
ﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺃَﻣِﻴﺮِﻱ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﻰ ﺃَﻣِﻴﺮِﻱ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲ
“Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiyat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiyat kepadaku..”[HR. Bukhari]
..
Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ﺳَﻴَﻠِﻴْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﻭُﻟَﺎﺓٌ ﻓَﻴَﻠِﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟْﺒِﺮَّ ﺑِﺒِﺮِّﻩِ ﻭَﺍﻟْﻔَﺎﺟِﺮُ ﺑِﻔُﺠُﻮْﺭِﻩِ ﻓَﺎﺳْﻤَﻌُﻮْﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﺃَﻃِﻴْﻌُﻮْﺍ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻣَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻭَﺭَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺣْﺴَﻨُﻮْﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﺃًَﺳَﺎﺀُﻭْﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”
.
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:
ﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺃَﺛَﺮَﺓٌ ﻭَﺃُﻣُﻮﺭٌ ﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻧَﻬَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻤَﺎ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺗُﺆَﺩُّﻭﻥَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺗَﺴْﺄَﻟُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻟَﻜُﻢْ
“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.”[HR. Bukhari]
.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺮِﻩَ ﻣِﻦْ ﺃَﻣِﻴﺮِﻩِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻓَﻠْﻴَﺼْﺒِﺮْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥِ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﻓَﻤَﺎﺕَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎﺕَ ﻣِﻴﺘَﺔً ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔً
“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.”[HR. Bukhari]
Dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim telah dinyatakan, “Memisahkan diri dari mereka —maksudnya, para penguasa— hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian seperti pendapat saya ini”.[4]
.
Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kid) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apapun.
.
Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati?
.
Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq[5], dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

ﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀُ ﻓَﺘَﻌْﺮِﻓُﻮﻥَ ﻭَﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻥَ ﻓَﻤَﻦْ ﻋَﺮَﻑَ ﺑَﺮِﺉَ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻧْﻜَﺮَ ﺳَﻠِﻢَ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣَﻦْ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺗَﺎﺑَﻊَ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻘَﺎﺗِﻠُﻬُﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺻَﻠَّﻮْﺍ
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

“ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏( ﺳﺘﻜﻮﻥ ﺃﻣﺮﺍﺀ ﻓﺘﻌﺮﻓﻮﻥ ﻭﺗﻨﻜﺮﻭﻥ ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ﻭﻣﻦ ﺃﻧﻜﺮ ﺳﻠﻢ , ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻭﺗﺎﺑﻊ , ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺃﻓﻼ ﻧﻘﺎﺗﻠﻬﻢ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻻ . . . ﻣﺎ ﺻﻠﻮﺍ ” ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻴﻪ ﻣﻌﺠﺰﺓ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﺑﺎﻹﺧﺒﺎﺭ ﺑﺎﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ , ﻭﻭﻗﻊ ﺫﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﺃﺧﺒﺮ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏( ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺑﻌﺪﻫﺎ : ‏( ﻓﻤﻦ ﻛﺮﻩ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻓﺄﻣﺎ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻣﻦ ﺭﻭﻯ ‏( ﻓﻤﻦ ﻛﺮﻩ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻓﻈﺎﻫﺮﺓ , ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ : ﻣﻦ ﻛﺮﻩ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ﻣﻦ ﺇﺛﻤﻪ ﻭﻋﻘﻮﺑﺘﻪ , ﻭﻫﺬﺍ ﻓﻲ ﺣﻖ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺇﻧﻜﺎﺭﻩ ﺑﻴﺪﻩ ﻻ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﻓﻠﻴﻜﺮﻫﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ , ﻭﻟﻴﺒﺮﺃ . ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺭﻭﻯ ‏( ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻓﻤﻌﻨﺎﻩ – ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ – ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻭﻟﻢ ﻳﺸﺘﺒﻪ ﻋﻠﻴﻪ ; ﻓﻘﺪ ﺻﺎﺭﺕ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺇﺛﻤﻪ ﻭﻋﻘﻮﺑﺘﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﻐﻴﺮﻩ ﺑﻴﺪﻳﻪ ﺃﻭ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ , ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻓﻠﻴﻜﺮﻫﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ . ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏( ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻭﺗﺎﺑﻊ ‏) ﻣﻌﻨﺎﻩ : ﻟﻜﻦ ﺍﻹﺛﻢ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻭﺗﺎﺑﻊ . ﻭﻓﻴﻪ : ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻻ ﻳﺄﺛﻢ ﺑﻤﺠﺮﺩ ﺍﻟﺴﻜﻮﺕ . ﺑﻞ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺄﺛﻢ ﺑﺎﻟﺮﺿﻰ ﺑﻪ , ﺃﻭ ﺑﺄﻻ ﻳﻜﺮﻫﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ ﺃﻭ ﺑﺎﻟﻤﺘﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻴﻪ . ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ : ‏( ﺃﻓﻼ ﻧﻘﺎﺗﻠﻬﻢ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻻ , ﻣﺎ ﺻﻠﻮﺍ ‏) ﻓﻔﻴﻪ ﻣﻌﻨﻰ ﻣﺎ ﺳﺒﻖ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺑﻤﺠﺮﺩ ﺍﻟﻈﻠﻢ ﺃﻭ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻐﻴﺮﻭﺍ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻹﺳﻼﻡ .
“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala : Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya.
.

Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ” Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.[6]
.
Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:
ﻗِﻴﻞَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻨَﺎﺑِﺬُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻴْﻒِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺃَﻗَﺎﻣُﻮﺍ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ
“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!’ Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
.
Dalam riwayat lain, mereka berkata:
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻘَﺎﺗِﻠُﻬُﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺻَﻠَّﻮْﺍ
“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!’ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih sholat.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
ﺩَﻋَﺎﻧَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺒَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺧَﺬَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺃَﻥْ ﺑَﺎﻳَﻌَﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻓِﻲ ﻣَﻨْﺸَﻄِﻨَﺎ ﻭَﻣَﻜْﺮَﻫِﻨَﺎ ﻭَﻋُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﻳُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﺃَﺛَﺮَﺓً ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻧُﻨَﺎﺯِﻉَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]
.
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.
.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[7]
.
Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan “kufran bawahan” (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzaahiran baadiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[8]
‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat”, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka. Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[9]
Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan ‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: ” Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[10]
.
Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.” [11]
.
Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
.
Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;
.
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ : ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻻ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﻟﻜﺎﻓﺮ , ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻃﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﻧﻌﺰﻝ , ﻗﺎﻝ : ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﺗﺮﻙ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻴﻬﺎ , ..… ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﻓﻠﻮ ﻃﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻔﺮ ﻭﺗﻐﻴﻴﺮ ﻟﻠﺸﺮﻉ ﺃﻭ ﺑﺪﻋﺔ ﺧﺮﺝ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻮﻻﻳﺔ , ﻭﺳﻘﻄﺖ ﻃﺎﻋﺘﻪ , ﻭﻭﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻋﻠﻴﻪ , ﻭﺧﻠﻌﻪ ﻭﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﺎﺩﻝ ﺇﻥ ﺃﻣﻜﻨﻬﻢ ﺫﻟﻚ .
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.[12]
.
Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur. Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata. Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata. Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata. Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).
.
Status Penguasa Dalam Sistem Kufur
Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas. Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, dijelaskan sebagai berikut,” al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, “Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata,” Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, Imam Nawawi berkata,” al-Qaadhi berkata,” “Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid’ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.”.[13]
Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?
Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;
.
1. Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya “munaza’ah” (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam[14]. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata;
.
ﺩَﻋَﺎﻧَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺒَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺧَﺬَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺃَﻥْ ﺑَﺎﻳَﻌَﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻓِﻲ ﻣَﻨْﺸَﻄِﻨَﺎ ﻭَﻣَﻜْﺮَﻫِﻨَﺎ ﻭَﻋُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﻳُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﺃَﺛَﺮَﺓً ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻧُﻨَﺎﺯِﻉَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari dan Muslim]
.
1. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa. Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata “bawahan” (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.
.
2. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase “kekufuran nyata” yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan “kekufuran yang nyata”, baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme–, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai “kekufuran yang nyata”[15].
.

Kesimpulan
.
Berdasarkan penjelasan Dr. Mohammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme–, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat. Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.
.
Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;
“ ﻭﺃﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻫﻢ : ﺍﻷﺋﻤﺔ ، ﻭﺍﻟﺴﻼﻃﻴﻦ ، ﻭﺍﻟﻘﻀﺎﺓ ، ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﻭﻻﻳﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﻻ ﻭﻻﻳﺔ ﻃﺎﻏﻮﺗﻴﺔ ”
“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah[16] bukan kekuasaan thaghutiyyah[17]”.[18]
.
Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.
.
Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. [Fathy Syamsudin Ramadhan]
.
Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thaariq.


.
[1] Imam Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, surat al-Nisaa’:59
[2] Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, tafsir surat al-Nisaa’:59
[3] Minhaaj al-Sunnah, juz 1/115
[4] Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35.
[5] Yang dimaksud penguasa fasiq dan dzalim yang tetap harus ditaati adalah penguasa-pengua
sa yang masih menerapkan sistem Islam untuk mengatur urusan negara dan rakyat, namun berbuat dzalim dan fasiq. Dengan kata lain, selama mereka masih menerapkan sistem pemerintahan Islam, menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan dasar negara dan masyarakat, serta menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat; kaum Muslim wajib mentaati mereka, meskipun penguasa tersebut dzalim dan fasiq.
[6] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
[7] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
[8] Ibid, juz 13/8
[9] ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, hal. 257-258
[10] Ibid, hal. 258-260
[11] Ibid, hal. 259-260
[12] Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36
[13] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35-36.
[14] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36. Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13, hal. 8
[15] Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihaad wa al-Qitaal fi al-Siyaasah al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 130-131. Buku ini merupakan desertasinya untuk meraih gelar doctor dari Kuliah al-Imam al-Auza’iy, pada al-Dirasah al-Islaamiyyah di Beirut pada tahun 1412 H. Desertasi ini meraih gelar imtiyaaz ma’ al-tanwiih (summa cum laude); bahkan jika ada gelar yang lebih tinggi daripada summa cum laude tentu beliau akan meraihnya.
[16] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan syariat Islam.
[17] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan system kufur.
[18] Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166.