Sultan Abdul hamid II , khalifah kaum muslim di era khilafah
Utsmaniyah , adalah orang yang membangun jalur kereta apu dari
Damaskus , suriah hingga ke Madinah al munawwarah , saudi arabia.
Pembangunan infrastruktural ini bertujuan untuk memberikan pelayanan
kepada tamu Allah ke baitullah . Memang benar , dengan adanya jalur
kereta api ini jamaah haji asal syam ( suriah , libanon ,yordania ,
palestina ) hanya membutuhkan waktu 4 - 5 jam perjalan darat , jika
sebelumnya , mereka membutuhkan waktu hingga 40 hari.
Proyek ini di mulai tahun 1900 M, lalu mulai di buka dan di gunakan
pada tahun 1908M. Pada tahun yang sama wali damaskus , yang ketika di
jabat oleh shadiq pasha , telah berhasil membangun jaringan telegrap
dari damaskus hingga madinah al munawwarah, keberhasilan ini smakin
mempertebal keyakinan umat untuk mendukung proyek jalur kereta api ,
yang di sebut sebut sebagai '' kereta api religius '' karena di
gunakan untuk memfasilitasi perjalan jamah haji dari dan ke damaskus
makkah.
Proyek ini di perkirakan menelan dana sebesar 3;5 juta lira utsmaniyah
atas sumbangan rakyat dan donasi negeri negeri islam lainya . Sultan
hamid II telahmerogoh kocek sendirinya sebesar 320 lira utsmaniyah ,
sedangkan pemuka mesir Abbas hilmi telah menyumbang material , kaum
muslim pun bahu membahu menyumbangkan hartanya .
Tahun 1900M , pembangunan di mulai dari daerah Mazirib , harun syuriah
, lalu di'ra suriah sampai ke madinah . Para jamaah haji asal syam ,
asia dan anatolia yang hendak ketanah suci pun bisa menempuh perjalan
melalu jalur ini. Dari damskus , jalur kereta api pun berpencar di
bashari selatan suriah , menuju dua jalur kearah selatan menuju
yordania , dan ke arah barat , menuju palestina . Ketika itu nablus,
hafoa dan akka merupakan stasiun pemberhentian yang sangat penting .
Dari hafia , jalur ketreta api ini menghubungkan ke mesir.
Tercatat nama nama masinisnya dalam sejarah hingga kini seperti kapten
Mahmub ali al husaini al madani , yang menjadi masinis kereta non
105.S.H ada juga kapten Ya'qub afandi. Dua duanya mengoperasikan
kereta api terakhirnya masing masing pada tahun 1336 H ,
jalur kereta api ini beroperasi selam kurang lebih 9 tahun . Ketika
terjadi perang dunia I , vitalitas dan bahayanya jalur ini di rasakan
oleh militer inggris , bahkan jalur kereta api ini sangat membantu
tentara khalifah utsmaniyah dalam menghadapi tentara inggris . Karena
itu , untuk melemahkan kontrol khilafah , inggrispun sengaja memutus
jalur kereta api ini .
Lawrence of arabia , mata mata inggris yang di susupkan dalam
mengobarkan pemberontakan arab , adalah orang yang berhasil memutus
jalur kereta tersebut pada tahun 1917M . Revolusi arab , yang di
pimpin oleh Syarif husein pun berhasil di kobarkan , ketika sarana
komunikasi dan dukungan militer tersebut putus . Inilah yang
menyebabkan wilayah Arab dari Khilafah Ustmaniyah. ( Har. Dr berbagai
sumber )
di ambil dari tabloid mediaumat edisi 69, 4 - 7 november 2011.
Artikel ini terkumpulkan dari milis islam mediaumat@yahoogroups.com ( http://asia.groups.yahoo.com/group/mediaumat/message/), bersumber dari website website islami eramuslim , voa-islam ,mediaumat, syabab.com , dan akun akun facebook yg ideologis atau dari penulis yang Adil dalam mendiskripsikan permasalahan masa kini dan lain sbagainya.
Monday, January 9, 2012
Kontroversi E-KTP: Untungkan Intelijen AS & Ancam Kemananan Nasional?
Kontroversi E-KTP: Untungkan Intelijen AS & Ancam Kemananan Nasional?
VOA-ISLAM.COM – Pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sedang berlangsung. Sosialisasi proyek berbiaya Rp5,84 triliun itu terus digalakkan. Salah satu manfaat yang menjadi ‘jualan’ pemerintah adalah, e-KTP akan mampu berkontribusi bagi keamanan nasional, khususnya dalam menekan ruang gerak para teroris.
Terduga ‘teroris’ kerap ditemui dengan banyak identitas palsu. Dengan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), identitas palsu diklaim akan segera dapat diketahui karena tertolak oleh sistem.
Keyakinan tersebut masih menjadi perdebatan, karena di era teknologi informasi yang semakin canggih, data keamanan nasional tingkat tinggi sekalipun rentan terhadap aktivitas para peretas dan pencuri data. Kasus bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa menjadi contoh.
Namun pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP ala Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP dilakukan negara?
Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perhatian publik selama ini tertuju pada dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP. Seperti pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional, pemenang tender sudah dirancang sedari awal. Sejumlah rapat, yang dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor (termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi jauh sebelum pemenang tender diumumkan.
L-1 IDENTITY SOLUTIONS
TERLEPAS dari semua itu, ada baiknya kita mencermati keberadaan L-1 dalam proyek e-KTP (L-1 mengutus seorang Lead Solution Architect ke Indonesia selama pengadaan e-KTP), bukan dalam konteks kolusi proyek tapi keamanan nasional.
L-1 Identity Solutions Inc., perusahaan besar dengan nama besar, tapi kredibilitas meragukan. L-1, yang berbasis di Stamford, Connecticut, AS, adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar. Perusahaan, yang berdiri pada Agustus 2006 ini mengambil spesialisasi dalam bidang teknologi identifikasi biometrik (seperti sidik jari, retina, dan DNA). L-1 juga menyediakan jasa konsultan dalam bidang intelijen.
Pendapatan L-1 per tahun diperkirakan mencapai angka US$1 miliar pada 2011. Stanford Washington Research Group, dalam lapoannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar selama periode 2006-2011.
L-1 menebar proyek hingga ke lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan SIM. Sejumlah kalangan menyebut L-1 kian memonopoli bisnis identitas di AS, dan secara global, apalagi setelah mereka diakuisisi Safran Morpho, perusahaan keamanan multinasional asal Prancis, pada Juli 2011.
Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1, secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka, pada umumnya, memiliki latar belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman.
L-1 mencatat nama George Tenet, mantan Direktur CIA, dalam dewan direktur. Pada 2006, CEO L-1 Robert V LaPenta pernah berujar, “Anda tahu, kami tertarik dengan CIA, dan kami memiliki Tenet.” Tenet terkenal berkat kemahiran berdusta. Dia terungkap memberi informasi intelijen palsu kepada diplomat AS soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak, yang kemudian berujung pada invasi Irak 2003.
Ada nama lain, seperti Laksamana James M Loy sebagai direktur. Karir Loy merentang dari komandan US Cost Guard (1998-2002), wakil menteri untuk Keamanan Transportasi (2002-2003), dan wakil menteri keamanan dalam negeri (2003-2005).
Robert S Gelbard, salah satu anggota dewan direktur, pernah menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden AS untuk Balkan pada masa pemerintahan Bill Clinton. Yang lebih menarik, mantan wakil menteri luar negeri 1993-1997 itu pernah bertugas di Indonesia sebagai duta besar pada 1999-2001.
Nama direktur lainnya adalah BG (Buddy) Beck, bekas anggota Dewan Sains Pertahanan (DBS), yang memberi rekomendasi perkara iptek kepada militer AS. Lalu, Milton E Cooper, mantan kepala Dewan Penasehat Sains Nasional, lembaga yang menginduk kepada militer. Dan Louis H Freeh, mantan direktur FBI (1993-2001).
Safran Morpho, pemilik baru L-1 juga tak terlalu ‘bersih’ dalam urusan figur kontroversial. Di sana duduk Michael Chertoff, mantan menteri Keamanan Dalam Negeri AS pada masa pemerintahan George W Bush, sebagai penasehat strategis. Chertoff adalah salah seorang perancang USA PATRIOT Act, undang-undang yang menumbuhsuburkan pengawasan dan penyadapan oleh FBI terhadap telepon, e-mail, dan data pribadi lainnya. Chertoff juga pendukung maniak pemindaian seluruh tubuh (full body scanning) (teknologi pemindai “full body” yang diterapkan AS mampu menunjukkan permukaan telanjang kulit di bawah pakaian, termasuk lekuk payudara dan kemaluan. Bahkan, versi terbaru dilaporkan bisa menghadirkan image “full color”).
Nama di atas tentu saja tak bisa secara langsung dihubungkan dengan potensi ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional Indonesia. Namun, kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Paman Sam sudah seharusnya menjadi perhatian.
...kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Paman Sam sudah seharusnya menjadi perhatian...
Di AS sendiri, muncul gerakan publik “Stop Real ID”. Gerakan itu menolak proyek “Real ID” (semacam e-KTP). Demikian pula di India. Koalisi LSM pemerhati hak sipil membentuk gerakan yang menolak proyek Unique Identity Number (UID) yang disebut “Aadhaar”. Gerakan itu mereka sebut “Say No to Aadhaar”. Baik Real ID di AS maupun Aadhaar di India melibatkan L-1 Identity Solutions sebagai vendor dan konsultan.
POTENSI ANCAMAN
POTENSI ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional, lebih jauh, bisa dilihat dengan memperhatikan indikasi berikut.
Pertama, adanya upaya untuk secara internasional berbagi data biometrik. Amerika Serikat, pada khususnya, adalah negara yang bersikeras untuk berbagi data biometrik dengan negara lain.
Dalam kesaksian di hadapan Subkomite Keamanan Dalam Negeri DPR AS pada 2009, Kathleen Kraninger (Deputi Asisten Menteri untuk Kebijakan) dan Robert A Mocny (Direktorat Perlindungan Nasional US-VISIT) menyatakan sebagai berikut:
...Amerika Serikat, pada khususnya, adalah negara yang bersikeras untuk berbagi data biometrik dengan negara lain...
“Untuk memastikan bahwa kita mampu menghancurkan jaringan teroris sebelum mereka sampai ke Amerika Serikat, kita harus berada di depan dalam mengendalikan standar biometrik internasional. Dengan mengembangkan sistem yang kompatibel, kita akan mampu berbagi informasi teroris internasional dengan aman demi memperkuat pertahanan kita.”
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh S Magnuson pada 2009 pada majalah “National Defense”, berjudul “Defense Department Under Pressure to Share Biometric Data”, pemerintah AS mengklaim telah memiliki kesepakatan bilateral dengan sekitar 25 negara untuk berbagi data biometrik.
“Setiap kali pemimpin negara lain mengunjungi Washington dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri akan memastikan bahwa mereka menandatangani kesepakatan (berbagi data biometrik) tersebut.”
Washington tampaknya tak hanya menempuh cara formal. Seperti pernah diungkap dalam kabel diplomatik AS—yang dibocorkan Wikileaks—Kementerian Luar Negeri AS menginstruksikan diplomat AS untuk secara rahasia mengumpulkan identifikasi biometrik para diplomat negara lain.
FBI tak ketinggalan. Seraya mengklaim ingin membuat “dunia lebih aman”, FBI mendesak inisiatif berbagi data biometrik di antara negara-negara.
Kedua, lemahnya undang-undang terkait pengamanan database kependudukan, terutama jika memperhatikan upaya berbagi data dengan negara lain.
UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sangat minim mengatur isu perlindungan dan keamanan data. Isu berbagi data dengan negara lain sama sekali tak diatur. Bahkan, lebih jauh, UU tersebut ‘memberi’ celah bagi pemegang kekuasaan untuk “mengubah”, “meralat”, dan “menghapus” tanpa sepengetahuan sang pemilik data, warga negara itu sendiri. Ini rentan bagi upaya manipulasi data demi kepentingan tertentu.
...lagi-lagi, hak konstitusional warga negara untuk dilindungi privasinya terganggu...
Aturan turunannya lebih buruk lagi. PP 37/2007 membuka peluang bagi siapa pun, termasuk pihak swasta, untuk memperoleh dan menggunakan database kependudukan dengan syarat yang ringan: izin menteri. Di sini lagi-lagi, hak konstitusional warga negara untuk dilindungi privasinya terganggu. Tak ada satu klausul pun dalam peraturan itu yang mewajibkan adanya pengetahuan si pemilik data.
Tekanan negara Abang Sam terhadap Indonesia untuk berbagi data biometrik sangat mungkin terjadi. Apalagi mantra “perang melawan teroris” masih terlampau sakti bagi sebagian besar pejabat Indonesia yang tak punya nyali. Terlebih kata ‘berbagi’ kerap tak berlaku timbali balik, alias sepihak demi keuntungan negara yang lebih kuat.
Menjual privasi demi keamanan negara (aman dari teroris, katanya) mungkin bisa dianggap sikap patriotis seorang warga negara. Namun, seperti dikatakan salah seorang “founding father” AS, Benjamin Franklin:
“People willing to trade their freedom for temporary security deserve neither and will lose both” (orang ingin menjual kebebasannya dengan keamanan yang sementara justru tidak akan mendapatkan semua dan kehilangan keduanya).
Apakah kita mau kehilangan keduanya? [wid/itimes]
http://www.voa-islam.com/counter/intelligent/2011/11/11/16650/kontroversi-ektp-untungkan-intelijen-as-ancam-kemananan-nasional/
VOA-ISLAM.COM – Pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sedang berlangsung. Sosialisasi proyek berbiaya Rp5,84 triliun itu terus digalakkan. Salah satu manfaat yang menjadi ‘jualan’ pemerintah adalah, e-KTP akan mampu berkontribusi bagi keamanan nasional, khususnya dalam menekan ruang gerak para teroris.
Terduga ‘teroris’ kerap ditemui dengan banyak identitas palsu. Dengan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), identitas palsu diklaim akan segera dapat diketahui karena tertolak oleh sistem.
Keyakinan tersebut masih menjadi perdebatan, karena di era teknologi informasi yang semakin canggih, data keamanan nasional tingkat tinggi sekalipun rentan terhadap aktivitas para peretas dan pencuri data. Kasus bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa menjadi contoh.
Namun pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP ala Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP dilakukan negara?
Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perhatian publik selama ini tertuju pada dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP. Seperti pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional, pemenang tender sudah dirancang sedari awal. Sejumlah rapat, yang dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor (termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi jauh sebelum pemenang tender diumumkan.
L-1 IDENTITY SOLUTIONS
TERLEPAS dari semua itu, ada baiknya kita mencermati keberadaan L-1 dalam proyek e-KTP (L-1 mengutus seorang Lead Solution Architect ke Indonesia selama pengadaan e-KTP), bukan dalam konteks kolusi proyek tapi keamanan nasional.
L-1 Identity Solutions Inc., perusahaan besar dengan nama besar, tapi kredibilitas meragukan. L-1, yang berbasis di Stamford, Connecticut, AS, adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar. Perusahaan, yang berdiri pada Agustus 2006 ini mengambil spesialisasi dalam bidang teknologi identifikasi biometrik (seperti sidik jari, retina, dan DNA). L-1 juga menyediakan jasa konsultan dalam bidang intelijen.
Pendapatan L-1 per tahun diperkirakan mencapai angka US$1 miliar pada 2011. Stanford Washington Research Group, dalam lapoannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar selama periode 2006-2011.
L-1 menebar proyek hingga ke lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan SIM. Sejumlah kalangan menyebut L-1 kian memonopoli bisnis identitas di AS, dan secara global, apalagi setelah mereka diakuisisi Safran Morpho, perusahaan keamanan multinasional asal Prancis, pada Juli 2011.
Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1, secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka, pada umumnya, memiliki latar belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman.
L-1 mencatat nama George Tenet, mantan Direktur CIA, dalam dewan direktur. Pada 2006, CEO L-1 Robert V LaPenta pernah berujar, “Anda tahu, kami tertarik dengan CIA, dan kami memiliki Tenet.” Tenet terkenal berkat kemahiran berdusta. Dia terungkap memberi informasi intelijen palsu kepada diplomat AS soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak, yang kemudian berujung pada invasi Irak 2003.
Ada nama lain, seperti Laksamana James M Loy sebagai direktur. Karir Loy merentang dari komandan US Cost Guard (1998-2002), wakil menteri untuk Keamanan Transportasi (2002-2003), dan wakil menteri keamanan dalam negeri (2003-2005).
Robert S Gelbard, salah satu anggota dewan direktur, pernah menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden AS untuk Balkan pada masa pemerintahan Bill Clinton. Yang lebih menarik, mantan wakil menteri luar negeri 1993-1997 itu pernah bertugas di Indonesia sebagai duta besar pada 1999-2001.
Nama direktur lainnya adalah BG (Buddy) Beck, bekas anggota Dewan Sains Pertahanan (DBS), yang memberi rekomendasi perkara iptek kepada militer AS. Lalu, Milton E Cooper, mantan kepala Dewan Penasehat Sains Nasional, lembaga yang menginduk kepada militer. Dan Louis H Freeh, mantan direktur FBI (1993-2001).
Safran Morpho, pemilik baru L-1 juga tak terlalu ‘bersih’ dalam urusan figur kontroversial. Di sana duduk Michael Chertoff, mantan menteri Keamanan Dalam Negeri AS pada masa pemerintahan George W Bush, sebagai penasehat strategis. Chertoff adalah salah seorang perancang USA PATRIOT Act, undang-undang yang menumbuhsuburkan pengawasan dan penyadapan oleh FBI terhadap telepon, e-mail, dan data pribadi lainnya. Chertoff juga pendukung maniak pemindaian seluruh tubuh (full body scanning) (teknologi pemindai “full body” yang diterapkan AS mampu menunjukkan permukaan telanjang kulit di bawah pakaian, termasuk lekuk payudara dan kemaluan. Bahkan, versi terbaru dilaporkan bisa menghadirkan image “full color”).
Nama di atas tentu saja tak bisa secara langsung dihubungkan dengan potensi ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional Indonesia. Namun, kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Paman Sam sudah seharusnya menjadi perhatian.
...kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Paman Sam sudah seharusnya menjadi perhatian...
Di AS sendiri, muncul gerakan publik “Stop Real ID”. Gerakan itu menolak proyek “Real ID” (semacam e-KTP). Demikian pula di India. Koalisi LSM pemerhati hak sipil membentuk gerakan yang menolak proyek Unique Identity Number (UID) yang disebut “Aadhaar”. Gerakan itu mereka sebut “Say No to Aadhaar”. Baik Real ID di AS maupun Aadhaar di India melibatkan L-1 Identity Solutions sebagai vendor dan konsultan.
POTENSI ANCAMAN
POTENSI ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional, lebih jauh, bisa dilihat dengan memperhatikan indikasi berikut.
Pertama, adanya upaya untuk secara internasional berbagi data biometrik. Amerika Serikat, pada khususnya, adalah negara yang bersikeras untuk berbagi data biometrik dengan negara lain.
Dalam kesaksian di hadapan Subkomite Keamanan Dalam Negeri DPR AS pada 2009, Kathleen Kraninger (Deputi Asisten Menteri untuk Kebijakan) dan Robert A Mocny (Direktorat Perlindungan Nasional US-VISIT) menyatakan sebagai berikut:
...Amerika Serikat, pada khususnya, adalah negara yang bersikeras untuk berbagi data biometrik dengan negara lain...
“Untuk memastikan bahwa kita mampu menghancurkan jaringan teroris sebelum mereka sampai ke Amerika Serikat, kita harus berada di depan dalam mengendalikan standar biometrik internasional. Dengan mengembangkan sistem yang kompatibel, kita akan mampu berbagi informasi teroris internasional dengan aman demi memperkuat pertahanan kita.”
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh S Magnuson pada 2009 pada majalah “National Defense”, berjudul “Defense Department Under Pressure to Share Biometric Data”, pemerintah AS mengklaim telah memiliki kesepakatan bilateral dengan sekitar 25 negara untuk berbagi data biometrik.
“Setiap kali pemimpin negara lain mengunjungi Washington dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri akan memastikan bahwa mereka menandatangani kesepakatan (berbagi data biometrik) tersebut.”
Washington tampaknya tak hanya menempuh cara formal. Seperti pernah diungkap dalam kabel diplomatik AS—yang dibocorkan Wikileaks—Kementerian Luar Negeri AS menginstruksikan diplomat AS untuk secara rahasia mengumpulkan identifikasi biometrik para diplomat negara lain.
FBI tak ketinggalan. Seraya mengklaim ingin membuat “dunia lebih aman”, FBI mendesak inisiatif berbagi data biometrik di antara negara-negara.
Kedua, lemahnya undang-undang terkait pengamanan database kependudukan, terutama jika memperhatikan upaya berbagi data dengan negara lain.
UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sangat minim mengatur isu perlindungan dan keamanan data. Isu berbagi data dengan negara lain sama sekali tak diatur. Bahkan, lebih jauh, UU tersebut ‘memberi’ celah bagi pemegang kekuasaan untuk “mengubah”, “meralat”, dan “menghapus” tanpa sepengetahuan sang pemilik data, warga negara itu sendiri. Ini rentan bagi upaya manipulasi data demi kepentingan tertentu.
...lagi-lagi, hak konstitusional warga negara untuk dilindungi privasinya terganggu...
Aturan turunannya lebih buruk lagi. PP 37/2007 membuka peluang bagi siapa pun, termasuk pihak swasta, untuk memperoleh dan menggunakan database kependudukan dengan syarat yang ringan: izin menteri. Di sini lagi-lagi, hak konstitusional warga negara untuk dilindungi privasinya terganggu. Tak ada satu klausul pun dalam peraturan itu yang mewajibkan adanya pengetahuan si pemilik data.
Tekanan negara Abang Sam terhadap Indonesia untuk berbagi data biometrik sangat mungkin terjadi. Apalagi mantra “perang melawan teroris” masih terlampau sakti bagi sebagian besar pejabat Indonesia yang tak punya nyali. Terlebih kata ‘berbagi’ kerap tak berlaku timbali balik, alias sepihak demi keuntungan negara yang lebih kuat.
Menjual privasi demi keamanan negara (aman dari teroris, katanya) mungkin bisa dianggap sikap patriotis seorang warga negara. Namun, seperti dikatakan salah seorang “founding father” AS, Benjamin Franklin:
“People willing to trade their freedom for temporary security deserve neither and will lose both” (orang ingin menjual kebebasannya dengan keamanan yang sementara justru tidak akan mendapatkan semua dan kehilangan keduanya).
Apakah kita mau kehilangan keduanya? [wid/itimes]
http://www.voa-islam.com/counter/intelligent/2011/11/11/16650/kontroversi-ektp-untungkan-intelijen-as-ancam-kemananan-nasional/
Awas! Ada Intelijen Asing Bermain Secara Terencana di Papua
Awas! Ada Intelijen Asing Bermain Secara Terencana di Papua
Written by Redaksi Sabtu, 12 November 2011 02 :35
Syabab.Com - Anggota Komisi I, Tjahjo Kumolo mengatakan, sebagaimanan dilansir Republika, ada intelijen asing yang bermain di Papua. “Saya kira operasi intelijen yang cukup terencana, sistematis dan berlanjut. Mulai Poso, Maluku, Papua, ini akan terus ada,†katanya, di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat, 11/11/11 . Menurutnya, harus dicermati kalau Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geopolitik cukup strategis. Sehingga banyak kepentingan terhadap Indonesia. Termasuk untuk memecah belah Indonesia. Sayangnya, ia tidak memberitahu negara mana yang melakukan intelijen di Papua.
Hanya saja, ia tak membantah ketika ditanya mengenai keberadaan Freeport yang merupakan dominasi perusahaan Amerika Serikat. “Kan anda sudah jawab sendiri,†jawabnya. Tjahjo pun mendorong agar ada kontra-intelejen. Pemerintah pusat pun harus solid secara terpadu. “Saya kira Papua ini jangan dilihat remeh. Jangan dilihat dari sekedar kongres rakyat Papuanya, pembunuhan seorang kapolres, enam anggota BIN yang tahu-tahu hilang diterjang ombak, kerusuhan pekerja di Freeport,†lanjutnya. Menurutnya, semua itu merupakan proses entry point untuk masuk ke Papua. Jika tidak ada masalah atau gejolak, maka akan sulit untuk masuk ke Papua. Untuk itu, ia pun menyarankan agar mengedepankan jalan dialog. Pemerintah harus lebih proaktif merangkul tokoh Papua karena kalau tidak ini akan membahayakan.
Bahkan, kalau perlu Presiden agar hadir ke Papua dan melakukan dialog. “Tidak saatnya lagi operasi intelijen atau tindakan keamanan yang melebihi porsi yang dapat menyebabkan masalah. Karena apapun masalah kesejahteraan yang harus diutamakan,†tandas Sekjen PDI Perjuangan ini. Sementara itu, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia dalam komentar politiknya sebagaimana dimuat di situs resmi mereka menegaskan lagi, negara demokrasi yang membiarkan penjajah menghancurkan negara. "Inilah potret negara demokrasi pembebek yang membiarkan penjajah menghancurkan negara, hanya Khilafah negara adidaya yang menghentikan penjajahan ini," tegasnya. Sejak awal terkait berbagai kasus tentang Papua, Hizbut Tahrir Indonesia memang sudah mewanti-wanti adanya upaya disintegrasi negeri Muslim terbesar di dunia ini melalui campur tangan asing.
Atas berbagai persoalan Papua ini, terutama persoalan disintegrasi negeri ini, HTI termasuk partai politik yang sangat aktif untuk mengungkap berbagai rencana asing di kawasan timur Indonesia tersebut. Seperti aksi pada hari Sabtu, 09/08/2008 , HTI mengadakan aksi unjuk rasa di depan Kedubes AS di Jakarta untuk menolak intervensi AS di Papua. Berbagai poster dan spanduk menyampaikan pesan mereka, seperti, "Hizbut Tahrir Indonesia Menolah Campur Tangan AS di Papua", "Cegah Disintegrasi Papua!", "Tolak Campur Tangan AS di Papua". [m/rep/htipress/syabab.com]
sumber syabab.com
Written by Redaksi Sabtu, 12 November 2011 02 :35
Syabab.Com - Anggota Komisi I, Tjahjo Kumolo mengatakan, sebagaimanan dilansir Republika, ada intelijen asing yang bermain di Papua. “Saya kira operasi intelijen yang cukup terencana, sistematis dan berlanjut. Mulai Poso, Maluku, Papua, ini akan terus ada,†katanya, di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat, 11/11/11 . Menurutnya, harus dicermati kalau Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geopolitik cukup strategis. Sehingga banyak kepentingan terhadap Indonesia. Termasuk untuk memecah belah Indonesia. Sayangnya, ia tidak memberitahu negara mana yang melakukan intelijen di Papua.
Hanya saja, ia tak membantah ketika ditanya mengenai keberadaan Freeport yang merupakan dominasi perusahaan Amerika Serikat. “Kan anda sudah jawab sendiri,†jawabnya. Tjahjo pun mendorong agar ada kontra-intelejen. Pemerintah pusat pun harus solid secara terpadu. “Saya kira Papua ini jangan dilihat remeh. Jangan dilihat dari sekedar kongres rakyat Papuanya, pembunuhan seorang kapolres, enam anggota BIN yang tahu-tahu hilang diterjang ombak, kerusuhan pekerja di Freeport,†lanjutnya. Menurutnya, semua itu merupakan proses entry point untuk masuk ke Papua. Jika tidak ada masalah atau gejolak, maka akan sulit untuk masuk ke Papua. Untuk itu, ia pun menyarankan agar mengedepankan jalan dialog. Pemerintah harus lebih proaktif merangkul tokoh Papua karena kalau tidak ini akan membahayakan.
Bahkan, kalau perlu Presiden agar hadir ke Papua dan melakukan dialog. “Tidak saatnya lagi operasi intelijen atau tindakan keamanan yang melebihi porsi yang dapat menyebabkan masalah. Karena apapun masalah kesejahteraan yang harus diutamakan,†tandas Sekjen PDI Perjuangan ini. Sementara itu, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia dalam komentar politiknya sebagaimana dimuat di situs resmi mereka menegaskan lagi, negara demokrasi yang membiarkan penjajah menghancurkan negara. "Inilah potret negara demokrasi pembebek yang membiarkan penjajah menghancurkan negara, hanya Khilafah negara adidaya yang menghentikan penjajahan ini," tegasnya. Sejak awal terkait berbagai kasus tentang Papua, Hizbut Tahrir Indonesia memang sudah mewanti-wanti adanya upaya disintegrasi negeri Muslim terbesar di dunia ini melalui campur tangan asing.
Atas berbagai persoalan Papua ini, terutama persoalan disintegrasi negeri ini, HTI termasuk partai politik yang sangat aktif untuk mengungkap berbagai rencana asing di kawasan timur Indonesia tersebut. Seperti aksi pada hari Sabtu, 09/08/2008 , HTI mengadakan aksi unjuk rasa di depan Kedubes AS di Jakarta untuk menolak intervensi AS di Papua. Berbagai poster dan spanduk menyampaikan pesan mereka, seperti, "Hizbut Tahrir Indonesia Menolah Campur Tangan AS di Papua", "Cegah Disintegrasi Papua!", "Tolak Campur Tangan AS di Papua". [m/rep/htipress/syabab.com]
sumber syabab.com
PERSIAPAN TAHUN BARU :
PERSIAPAN TAHUN BARU :
Anakku.. jangan marah jika ayah bundamu tak membelikanmu TEROMPET ala
YAHUDI, jangan sedih jika ayah dan bunda tak membelikanmu lonceng"an
ala org2 NASHRANI, Jangan pula engkau murung karena ayah tidak belikan
kembang api karena itu menyerupai MAJUSI, dan janganlah kecewa jika
ayah dan bunda tdk membawamu dikeramaian tahun baru..krn itu hari2
besar dan Tasyabuh terhadap musuh2 Allah!! Apakah engkau rela jika
ayah bundamu dlemparkan kedalam neraka, karena ayah dan bunda tidak
mendidikmu diatas ISLAM? Banggalah wahai anakku, bersyukurlah wahai
buah hatiku,karna ALLAH telah mentakdirkan kita hidup diatas agama
ISLAM, agamanya seluruh para NABI DAN RASUL.., Berbahagialah wahai
permataku..didalam KETERASINGAN kita akan tetap bertahan!I Wallahi
musta'an.
Anakku.. jangan marah jika ayah bundamu tak membelikanmu TEROMPET ala
YAHUDI, jangan sedih jika ayah dan bunda tak membelikanmu lonceng"an
ala org2 NASHRANI, Jangan pula engkau murung karena ayah tidak belikan
kembang api karena itu menyerupai MAJUSI, dan janganlah kecewa jika
ayah dan bunda tdk membawamu dikeramaian tahun baru..krn itu hari2
besar dan Tasyabuh terhadap musuh2 Allah!! Apakah engkau rela jika
ayah bundamu dlemparkan kedalam neraka, karena ayah dan bunda tidak
mendidikmu diatas ISLAM? Banggalah wahai anakku, bersyukurlah wahai
buah hatiku,karna ALLAH telah mentakdirkan kita hidup diatas agama
ISLAM, agamanya seluruh para NABI DAN RASUL.., Berbahagialah wahai
permataku..didalam KETERASINGAN kita akan tetap bertahan!I Wallahi
musta'an.
Bukan SARA, Murni Hukum
Bukan SARA, Murni Hukum
Tuesday, 27 December 2011 15:15
GKI Yasmin tak bisa memenuhi persyaratan hukum yang dibutuhkan dalam pendirian
tempat ibadah.
Warga Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, sebenarnya tak pernah
mempersoalkan kebebasan beragama. Mereka resah dengan GKI Yasmin karena merasa
ditipu. Tanda tangannya ada yang dipalsukan dan ada yang disalahgunakan.
Ternyata syarat pendirian gereja lainnya pun tidak terpenuhi. Ini murni masalah
hukum semata.
"Maka warga Bogor meluruskan pemda agar tidak berjalan semaunya, kan negeri ini
ada aturannya," ujar Ketua Lajnah Faaliyah Kota Bogor Imam Syafi'i yang
menyayangkan pemda begitu mudah mengeluarkan IMB padahal persyaratannya tidak
sesuai aturan.
Bila merujuk pada Instruksi Gubernur Jawa Barat No 28 Th 1990. Ada enam syarat
untuk penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) tempat ibadah. Pertama, pendapat
tertulis kepala kantor departemen agama. Kedua, sesuai tata guna dan tata ruang.
Ketiga, 40 KK domisili pengguna. Kelima, izin dari masyarakat. Keenam, pendapat
tertulis MUI, DGI, Parisada, Hindu Dharma, MAWI, WALUBI, ulama/rohaniawan.
Sedangkan bila merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No 9 Tahun 2006 –lebih populer disebut dengan SKB 2 Menteri, poin ketiga
di atas menjadi minimal 90 orang dan poin kelima minimal 60 warga sekitar yang
disahkan oleh lurah setempat. Dan poin keenam diganti dengan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB).
Nah, berdasarkan hasil penelusuran Forum Komunikasi Muslim Bogor (Forkami)
ternyata dari enam syarat itu hanya poin kedua dan poin kelima saja yang
terpenuhi. Jadi sebenarnya GKI Yasmin ini ilegal. "Karena harus enam-enamnya
terpenuhi!" ujar Agus Susmanto, Wakil Ketua Forkami.
Agus pun menunjukkan salinan bukti otentik yang mendukung pernyataannya. Di
antaranya adalah surat jawaban kepada Forkami dari Kantor Agama Kota Bogor
(Nomor Kd.10.17/6/BA.00.02/500/2010); FKUB (Nomor 10.01/FKUB/Kot.Bo/VI/2010);
MUI Kota Bogor (Nomor 026/Sek/MUI/Kobo/2010). Semuanya menyatakan belum pernah
memberikan rekomendasi tertulis. Bahkan MUI menyatakan menolak memberikan
rekomendasi.
Sementara poin kelima pun didapat dengan cara yang tidak jujur (lihat Boks).
Sehingga warga merasa marah lantaran tanda tangannya dipalsukan. Sedangkan
persyaratan poin dua yang dikantongi GKI Yasmin otomatis hangus. Lantaran
Rekomendasi Walikota Bogor (Nomor 601/389-pem) 15 Februari 2006 itu pada angka
12 berbunyi:
Apabila pemohon tidak memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan dan
apabila dalam pelaksanaan pembangunan dan kegiatan gereja atas nama GKI Jabar
seluas 1.720 m2 yang terletak di jalan KH Abdullah Bin Nuh No 31 Taman Yasmin
Kel Curug Mekar Kec Bogor Barat menimbulkan keresahan, maka rekomendasi ini
batal dengan sendirinya/tidak berlaku lagi, segala resiko dan hal-hal menjadi
tanggung jawab pemohon.
Di samping itu, menurut Badan Pertanahan Nasional (Nomor 400. 141. 2006) tanggal
14 Maret 2006 angka 8 disebutkan surat tidak keberatan warga yang diproses
untuk pembuatan IMB tertanggal 8 Januari 2006 dan 15 Januari 2006. Belakangan
terbukti surat tersebut hasil pemalsuan dan manipulasi. "Pelakunya pun telah
divonis bersalah di PN Bogor pada 20 Januari 2011," ujar Agus.
Maka pada 14 Februari 2008, Dinas Tata Kota mengeluarkan surat pembekuan IMB
pembangunan gereja setelah warga resah dan menyampaikan surat permohonan
pembatalan IMB. GKI kemudian menggugat pembekuan itu ke Mahkamah Agung. MA
memenangkannya.
Namun, menurut Agus, putusan Mahkamah Agung pada 9 Desember 2010 lalu adalah
proses pembekuan IMB. "Sama sekali bukan soal keabsahan IMB GKI Yasmin,"
pungkasnya.
Jadi, kasus GKI Yasmin ini murni masalah hukum. Tidak ada kaitannya dengan
subyektifitas bahwa Muslim itu tidak bisa memeberikan toleransi terhadap agama
lain, tetapi yang ada ini adalah murni pelanggaran hukum dan ini harus
diselesaikan dalam jalur hukum.
"Maka siapapun akan takut, selama hukum itu ditegakkan," tegas Ahmad Iman, Ketua
Forkami. Maka tidak aneh kalau GKI dan kelompok liberal selalu berusaha
menyeretnya ke ranah konflik SARA.[] joko prasetyo
Mengapa Hanya Munir Karta?
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun
2006 –lebih populer disebut dengan SKB 2 Menteri—salah satu syarat untuk
memperoleh izin pembangunan tempat ibadah adalah minimal memperoleh 60 tanda
tangan tidak keberatan dari warga sekitar.
Namun sayang, ternyata tanda tangan yang dikumpulkan untuk pendirian Gereja
Kristen Indonesia (GKI) di Jalan KH R Abdullah Bin Nuh, Curug Mekar, dekat
Perumahan Taman Yasmin, Kota Bogor diperoleh secara tidak jujur.
Berdasarkan penelusuran Forum Keluarga Muslim Indonesia (Forkami) setidaknya ada
tiga macam modus kecurangan yang dilakukan oleh pihak pengumpul tanda tangan
tidak keberatan pendirian GKI Yasmin itu.
Pertama, tanda tangan daftar hadir sosialisasi akan didirikannya gereja dibajak
menjadi daftar persetujuan. Makanya betapa kagetnya Muhammad Adjuk (65 tahun)
ketika Wakil Ketua Forkami Agus Susmanto menanyakan apakah dirinya
menandatangani Surat Pernyataan Tidak Keberatan Masyarakat (SPTKM) yang
dikumpulkan oleh Mardjuki (sesepuh warga setempat) tertanggal 8 Januari 2006
yang ditandatangani 48 orang. Dengan tegas Adjuk mengatakan, "Tidak!" .
Namun ia mencoba mengingat kembali dan, "Ooh hari itu memang saya diundang ke
kelurahan tetapi tidak tahu untuk apa, setelah di kelurahan barulah saya tahu
ada rencana pembangunan gereja," ujar sekuriti Perumahan Taman Yasmin Sektor V
yang rumahnya sekitar 200 meter dari gereja bermasalah itu.
Veteran Trikora dan Dwikora Irian Barat ini mengaku membubuhkan tanda tangan
tetapi bukan tanda tangan tidak keberatan masyarakat. "Yang saya tanda tangani
itu blanko kosong, warga lainnya juga tanda tangan di situ sebagai bukti
kehadiran dan mendapatkan uang transpor Rp 100.000," ungkapnya kepada Media Umat
(14/10).
Berbekal salinan SPTKM tersebut Forkami dan Adjuk menelusuri warga lainnya. Dan
ternyata banyak juga yang senada dengan Adjuk. Oleh karena itu Adjuk pun
didaulat warga menjadi Ketua Pelapor Kasus GKI Yasmin.
Kedua, adanya pemalsuan tanda tangan. Setidaknya ada daftar tersebut sedikitnya
lima orang mengaku tidak hadir tetapi ada nama dan tanda tangannya. Seperti yang
diungkapkan Idrus. Dirinya tidak hadir, karena sedang sakit. Tetapi di SPTKM 8
Januari 2006 itu tercantum nama dan tanda tangannya.
Kornelis, anaknya Mardjuki menyatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak pernah
mencantumkan tanda tangan meski di SPTKM itu nama dan tanda tangannya tertera.
"Saya tidak pernah tanda tangan SPTKM pada tanggal 8 Januari 2011, itu semua
perbuatan bapak saya tanpa persetujuan dari saya," ujar Kornelis saat di-BAP
pihak kepolisian. Selain itu Mardjuki pun memalsukan tanda tangan orang yang
sudah meninggal.
"Bahkan Epen yang sudah meninggal pun nama dan tanda tangannya ada!" tegas Agus
kepada Media Umat.
Ketiga, tanda tangan asli tetapi ketika pengumpulannya dikatakan bukan untuk
gereja tetapi untuk pembangunan RS Hermina (SPTKM tertanggal 15 Januari 2006).
Pelaku pengumpulnya adalah Ketua RT VII RW III saat itu Munir Karta. Untuk kasus
ini, Munir Karta pun divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor
(20/1/2011).
Ia dijatuhi vonis tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan, karena terbukti
telah memalsukan tanda tangan warga sebagai syarat izin pembangunan gereja.
Munir dijerat pasal 263 KUHP soal pemalsuan surat. Hakim yang diketuai oleh Budi
Santoso SH menilai, Munir telah meresahkan dan merugikan warga Curug Mekar.
Ketiga modus di atas sebenarnya bisa menyeret banyak orang ke dalam bui minimal
sampai ke tingkat lurah, jadi bukan hanya Munir Karta yang hanya seorang Ketua
RT saja. Semua modus sudah disampaikan Forkami ke polisi. "Namun sayang yang
sudah ditindaklanjuti hanya Munir Karta," ujar Ketua Forkami Ahmad Iman.[] joy
http://mediaumat.com/media-utama/3379-68-bukan-sara-murni-hukum.html
Tuesday, 27 December 2011 15:15
GKI Yasmin tak bisa memenuhi persyaratan hukum yang dibutuhkan dalam pendirian
tempat ibadah.
Warga Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, sebenarnya tak pernah
mempersoalkan kebebasan beragama. Mereka resah dengan GKI Yasmin karena merasa
ditipu. Tanda tangannya ada yang dipalsukan dan ada yang disalahgunakan.
Ternyata syarat pendirian gereja lainnya pun tidak terpenuhi. Ini murni masalah
hukum semata.
"Maka warga Bogor meluruskan pemda agar tidak berjalan semaunya, kan negeri ini
ada aturannya," ujar Ketua Lajnah Faaliyah Kota Bogor Imam Syafi'i yang
menyayangkan pemda begitu mudah mengeluarkan IMB padahal persyaratannya tidak
sesuai aturan.
Bila merujuk pada Instruksi Gubernur Jawa Barat No 28 Th 1990. Ada enam syarat
untuk penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) tempat ibadah. Pertama, pendapat
tertulis kepala kantor departemen agama. Kedua, sesuai tata guna dan tata ruang.
Ketiga, 40 KK domisili pengguna. Kelima, izin dari masyarakat. Keenam, pendapat
tertulis MUI, DGI, Parisada, Hindu Dharma, MAWI, WALUBI, ulama/rohaniawan.
Sedangkan bila merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No 9 Tahun 2006 –lebih populer disebut dengan SKB 2 Menteri, poin ketiga
di atas menjadi minimal 90 orang dan poin kelima minimal 60 warga sekitar yang
disahkan oleh lurah setempat. Dan poin keenam diganti dengan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB).
Nah, berdasarkan hasil penelusuran Forum Komunikasi Muslim Bogor (Forkami)
ternyata dari enam syarat itu hanya poin kedua dan poin kelima saja yang
terpenuhi. Jadi sebenarnya GKI Yasmin ini ilegal. "Karena harus enam-enamnya
terpenuhi!" ujar Agus Susmanto, Wakil Ketua Forkami.
Agus pun menunjukkan salinan bukti otentik yang mendukung pernyataannya. Di
antaranya adalah surat jawaban kepada Forkami dari Kantor Agama Kota Bogor
(Nomor Kd.10.17/6/BA.00.02/500/2010); FKUB (Nomor 10.01/FKUB/Kot.Bo/VI/2010);
MUI Kota Bogor (Nomor 026/Sek/MUI/Kobo/2010). Semuanya menyatakan belum pernah
memberikan rekomendasi tertulis. Bahkan MUI menyatakan menolak memberikan
rekomendasi.
Sementara poin kelima pun didapat dengan cara yang tidak jujur (lihat Boks).
Sehingga warga merasa marah lantaran tanda tangannya dipalsukan. Sedangkan
persyaratan poin dua yang dikantongi GKI Yasmin otomatis hangus. Lantaran
Rekomendasi Walikota Bogor (Nomor 601/389-pem) 15 Februari 2006 itu pada angka
12 berbunyi:
Apabila pemohon tidak memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan dan
apabila dalam pelaksanaan pembangunan dan kegiatan gereja atas nama GKI Jabar
seluas 1.720 m2 yang terletak di jalan KH Abdullah Bin Nuh No 31 Taman Yasmin
Kel Curug Mekar Kec Bogor Barat menimbulkan keresahan, maka rekomendasi ini
batal dengan sendirinya/tidak berlaku lagi, segala resiko dan hal-hal menjadi
tanggung jawab pemohon.
Di samping itu, menurut Badan Pertanahan Nasional (Nomor 400. 141. 2006) tanggal
14 Maret 2006 angka 8 disebutkan surat tidak keberatan warga yang diproses
untuk pembuatan IMB tertanggal 8 Januari 2006 dan 15 Januari 2006. Belakangan
terbukti surat tersebut hasil pemalsuan dan manipulasi. "Pelakunya pun telah
divonis bersalah di PN Bogor pada 20 Januari 2011," ujar Agus.
Maka pada 14 Februari 2008, Dinas Tata Kota mengeluarkan surat pembekuan IMB
pembangunan gereja setelah warga resah dan menyampaikan surat permohonan
pembatalan IMB. GKI kemudian menggugat pembekuan itu ke Mahkamah Agung. MA
memenangkannya.
Namun, menurut Agus, putusan Mahkamah Agung pada 9 Desember 2010 lalu adalah
proses pembekuan IMB. "Sama sekali bukan soal keabsahan IMB GKI Yasmin,"
pungkasnya.
Jadi, kasus GKI Yasmin ini murni masalah hukum. Tidak ada kaitannya dengan
subyektifitas bahwa Muslim itu tidak bisa memeberikan toleransi terhadap agama
lain, tetapi yang ada ini adalah murni pelanggaran hukum dan ini harus
diselesaikan dalam jalur hukum.
"Maka siapapun akan takut, selama hukum itu ditegakkan," tegas Ahmad Iman, Ketua
Forkami. Maka tidak aneh kalau GKI dan kelompok liberal selalu berusaha
menyeretnya ke ranah konflik SARA.[] joko prasetyo
Mengapa Hanya Munir Karta?
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun
2006 –lebih populer disebut dengan SKB 2 Menteri—salah satu syarat untuk
memperoleh izin pembangunan tempat ibadah adalah minimal memperoleh 60 tanda
tangan tidak keberatan dari warga sekitar.
Namun sayang, ternyata tanda tangan yang dikumpulkan untuk pendirian Gereja
Kristen Indonesia (GKI) di Jalan KH R Abdullah Bin Nuh, Curug Mekar, dekat
Perumahan Taman Yasmin, Kota Bogor diperoleh secara tidak jujur.
Berdasarkan penelusuran Forum Keluarga Muslim Indonesia (Forkami) setidaknya ada
tiga macam modus kecurangan yang dilakukan oleh pihak pengumpul tanda tangan
tidak keberatan pendirian GKI Yasmin itu.
Pertama, tanda tangan daftar hadir sosialisasi akan didirikannya gereja dibajak
menjadi daftar persetujuan. Makanya betapa kagetnya Muhammad Adjuk (65 tahun)
ketika Wakil Ketua Forkami Agus Susmanto menanyakan apakah dirinya
menandatangani Surat Pernyataan Tidak Keberatan Masyarakat (SPTKM) yang
dikumpulkan oleh Mardjuki (sesepuh warga setempat) tertanggal 8 Januari 2006
yang ditandatangani 48 orang. Dengan tegas Adjuk mengatakan, "Tidak!" .
Namun ia mencoba mengingat kembali dan, "Ooh hari itu memang saya diundang ke
kelurahan tetapi tidak tahu untuk apa, setelah di kelurahan barulah saya tahu
ada rencana pembangunan gereja," ujar sekuriti Perumahan Taman Yasmin Sektor V
yang rumahnya sekitar 200 meter dari gereja bermasalah itu.
Veteran Trikora dan Dwikora Irian Barat ini mengaku membubuhkan tanda tangan
tetapi bukan tanda tangan tidak keberatan masyarakat. "Yang saya tanda tangani
itu blanko kosong, warga lainnya juga tanda tangan di situ sebagai bukti
kehadiran dan mendapatkan uang transpor Rp 100.000," ungkapnya kepada Media Umat
(14/10).
Berbekal salinan SPTKM tersebut Forkami dan Adjuk menelusuri warga lainnya. Dan
ternyata banyak juga yang senada dengan Adjuk. Oleh karena itu Adjuk pun
didaulat warga menjadi Ketua Pelapor Kasus GKI Yasmin.
Kedua, adanya pemalsuan tanda tangan. Setidaknya ada daftar tersebut sedikitnya
lima orang mengaku tidak hadir tetapi ada nama dan tanda tangannya. Seperti yang
diungkapkan Idrus. Dirinya tidak hadir, karena sedang sakit. Tetapi di SPTKM 8
Januari 2006 itu tercantum nama dan tanda tangannya.
Kornelis, anaknya Mardjuki menyatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak pernah
mencantumkan tanda tangan meski di SPTKM itu nama dan tanda tangannya tertera.
"Saya tidak pernah tanda tangan SPTKM pada tanggal 8 Januari 2011, itu semua
perbuatan bapak saya tanpa persetujuan dari saya," ujar Kornelis saat di-BAP
pihak kepolisian. Selain itu Mardjuki pun memalsukan tanda tangan orang yang
sudah meninggal.
"Bahkan Epen yang sudah meninggal pun nama dan tanda tangannya ada!" tegas Agus
kepada Media Umat.
Ketiga, tanda tangan asli tetapi ketika pengumpulannya dikatakan bukan untuk
gereja tetapi untuk pembangunan RS Hermina (SPTKM tertanggal 15 Januari 2006).
Pelaku pengumpulnya adalah Ketua RT VII RW III saat itu Munir Karta. Untuk kasus
ini, Munir Karta pun divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor
(20/1/2011).
Ia dijatuhi vonis tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan, karena terbukti
telah memalsukan tanda tangan warga sebagai syarat izin pembangunan gereja.
Munir dijerat pasal 263 KUHP soal pemalsuan surat. Hakim yang diketuai oleh Budi
Santoso SH menilai, Munir telah meresahkan dan merugikan warga Curug Mekar.
Ketiga modus di atas sebenarnya bisa menyeret banyak orang ke dalam bui minimal
sampai ke tingkat lurah, jadi bukan hanya Munir Karta yang hanya seorang Ketua
RT saja. Semua modus sudah disampaikan Forkami ke polisi. "Namun sayang yang
sudah ditindaklanjuti hanya Munir Karta," ujar Ketua Forkami Ahmad Iman.[] joy
http://mediaumat.com/media-utama/3379-68-bukan-sara-murni-hukum.html
Perubahan Membutuhkan Opini Publik!
Perubahan Membutuhkan Opini Publik!
Tuesday, 27 December 2011 16:51
Muhammad Saleem,
Aktifis Hizbut Tahrir Inggris
Konferensi Rajab 1432 H yang secara maraton dilakukan di 29 kota besar Indonesia mengundang perhatian banyak pihak. Bukan hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Dari Jepang, hadir Prof Hasan Ko Nakata, sementara dari Inggris hadir Dr Muhammad Saleem. Aktifis Muslim Inggris ini hadir langsung di dua kota besar: Surabaya dan Jakarta. Di mana letak penting konferensi Rajab yang dilakukan di Indonesia bagi perjuangan syariah dan Khilafah di dunia dan sejauh mana peran konferensi ini dalam perubahan masyarakat? Media Ummat melakukan wawancara khusus dengan Dr Muhammad Saleem. Berikut petikannya.
Setelah anda menyaksikan secara langsung acara-acara Konferensi Rajab di Surabaya dan di Jakarta ini, apa kesan Anda?
Alhamdulillah. Saya melihat di Surabaya ada sekitar 30.000 peserta dan hari ini di Jakarta ada sekitar 25.000 peserta . Masya Allah, banyak kemajuan, ide khilafah telah merasuk ke dalam masyarakat dengan cukup baik. Saya melihat masyarakat dari berbagai lapisan hadir dalam acara ini, dari mulai ulama, mahasiswa, kaum muda, dan kaum wanita ikut serta dalam perjuangan ini. Saya mengucapkan selamat kepada HTI karena mampu menyelenggarakan demikian banyak konferensi. Saya kira acara-acara yang diadakan ini nyaris sempurna. Alhamdulillah.
Bagaimana tentang acara-acara yang diselenggarakan oleh HT di berbagai tempat di dunia?
Dalam bulan Rajab itu kita melihat banyak acara konferensi yang sejenis diselenggarakan. Mulai dari Australia, Belanda, juga di Inggris. Berbeda dengan Indonesia, isu yang berkembang di sini (negara-negara Barat, red) adalah mengenai pelarangan HT. Hal ini sanggat menggelikan. Bagaimana Anda bisa melarang pemikiran? Anda hanya bisa melarang aktivitas sekelompok orang yang memang ilegal, tapi HT adalah partai politik yang dikenal non-kekerasan. Hal ini menunjukkan sikap keras sistem kapitalisme yang secara moral sudah rusak dalam hal bahwa mereka mengakui adanya kebebasan berbicara.
Lantas apa sebenarnya yang melatarbelakangi upaya pelarangan ini?
Sebenarnya, persoalannya bukan kebebasan berbicara. Mereka melarang orang-orang yang berbicara dan mengungkapkan politik luar negeri Barat yang buruk. Inilah sebenarnya yang melatar belakangi ide pelarangan HT. Hal ini memang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Lembaga kajian mereka mengatakan mereka sebenarnya ingin membuat sesak nafas kelompok-kelompok semacam HT. Dan kebalikannya memberikan ruang bagi kelompok-kelompok liberal dari kaum Muslimin. Namun walaupun mereka melakukan semua hal ini, kami tetap melakukan aktivitas. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa kapitalisme telah kehilangan kemampuan untuk melawan ide dengan ide, tapi melakukan taktik-taktik seperti menekan, berusaha melarang.
Bagaimana dengan Konferensi Rajab di Eropa ?
Setahu saya, saat saya kembali nanti akan ada konferensi di London. Kita seharusnya melakukan konferensi di Birmingham namun dibatalkan karena beberapa alasan. Syabab Belanda juga akan mengadakan konferensi Insya Allah. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda pelarangan dan sepertinya akan berjalan. Para syabab di sana adalah orang-orang yang kuat. Mereka ada di negara di mana mereka mendapat tekanan seperti dari orang-orang yang membuat film yang menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW, negara penuh kebencian terhadap Islam. Walaupun para musuh Islam adalah para politisi tapi mereka bermoral rendah, dan kami tetap bangga. Insya Allah para syabab di sana bisa melalui segala rintangan itu. Insya Allah akan diadakan juga di Denmark, Kanada, Amerika dan Australia, bahkan di Mauritus juga diadakan konferensi khilafah. Ada banyak wilayah di mana para syabab ingin mengadakan konferensi semacam ini karena mereka hidup di bawah tekanan pemerintah zalim maka mereka tidak bisa mengadakan konferensi semacam ini.
Bagaimana pendapat Anda terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa khilafah tidak bisa tegak melalui konferensi-konferensi semacam ini maupun aktivitas demonstrasi di jalan?
Tidak semua orang adalah politisi. Kami mengikuti metode Rasulullah dan kami yakin bahwa metode itu benar. Kita tahu bahwa untuk bisa terjadinya perubahan harus dibentuk opini publik. Tidak ada perubahan tanpa adanya perubahan opini publik. Maka apa yang dilakukan oleh HT adalah mengubah opini publik itu. Kalau kita lihat laporan RAND Corporation dan lembaga-lembaga riset serupa ditemukan 75 persen kaum Muslimin menginginkan syariah. Hal ini menunjukkan argumen yang mengatakan bahwa khilafah tidak mungkin lemah. Tanpa dakwah tidak akan ada perubahan pergantian rezim seperti di Mesir. Kita saksikan bahwa cuma butuh waktu sedikit saja bagi rezim-rezim itu untuk bertumbangan satu persatu. Fakta berbicara sendiri. Mengenai ke mana arah perubahan di Timut Tengah itu soal lain. Tapi tudingan hal ini tidak mungkin terjadi, fakta di lapangan telah berbicara sendiri. Mereka bisa melihat sendiri hal itu.
Mengenai terjadinya revolusi di dunia Arab, menurut Anda apakah ini hanya merupakan reaksi ketidakpuasan masyarakat atas pemerintahnya yang opresif atau apakah ini menuju berdirinya khilafah?
Kita berdoa bahwa hal ini akan menuju terbentuknya khilafah. Tapi yang saya ingin katakan adalah bahwa masyarakat di sana dan di dunia Islam tahu apa yang mereka tidak inginkan. Sangat jelas bahwa mereka tidak ingin Ben Ali, tidak ingin Mubarak, tidak ingin Assad, tidak ingin Abdullah. Tapi umat masih belum jelas apa yang memang mereka inginkan. Tapi kita lihat bahwa Barat berusaha mengaburkan apa yang masyarakat inginkan atau yang tidak inginkan. Karena itu kita lihat terjadinya vakum pemerintahan di beberapa negera, tapi yang jelas mereka berusaha memastikan bahwa militer tetap berpihak pada Barat.
Ada yang mengatakan ‘revolusi’ di Timur Tengah tidak ada hubungannya dengan agama?
Memang, ada sebagian orang yang mengatakan bahwa revolusi di Tunisia, tidak ada hubungannya dengan Islam. Namun jika kita melihat apa yang terjadi di lapangan, kita saksikan seperti di Tahrir Square dari khutbah Jumat para imam yang menyerukan khilafah, mereka menginginkan syariah diterapkan. Yang terjadi adalah bahwa masyarakat telah begitu lama ditindas dan merupakan sifat alamiah manusia bahwa lama kelamaan kesabaran mereka akan habis. Maka ada khutbah yang disiarkan di televisi selama satu jam yang berbicara mengenai khilafah. Ada ulama di Yaman yang berbicara mengenai khilafah, dan di masjid-masjid Tunisia setiap malam membicarakan khilafah.
Ada contoh lain?
Contoh lain seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Orang-orang Afrika pribumi telah lama ditindas dan kemudian opini publik terbentuk dan menguat hingga suatu saat mereka tidak dapat lagi menahan perubahan itu sehingga akhirnya pemerintah Afsel mengikuti kemauan rakyatnya dan penduduk Afsel kemudian terbebaskan dari Apartheid. Sama halnya yang terjadi di dunia Muslim, perubahan ini seperti bola salju dan semakin membesar. Dan masalahnya cuma waktu.[]
sumber : http://mediaumat.com/mancanegara/3395-62-perubahan-membutuhkan-opini-publik.html
Tuesday, 27 December 2011 16:51
Muhammad Saleem,
Aktifis Hizbut Tahrir Inggris
Konferensi Rajab 1432 H yang secara maraton dilakukan di 29 kota besar Indonesia mengundang perhatian banyak pihak. Bukan hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Dari Jepang, hadir Prof Hasan Ko Nakata, sementara dari Inggris hadir Dr Muhammad Saleem. Aktifis Muslim Inggris ini hadir langsung di dua kota besar: Surabaya dan Jakarta. Di mana letak penting konferensi Rajab yang dilakukan di Indonesia bagi perjuangan syariah dan Khilafah di dunia dan sejauh mana peran konferensi ini dalam perubahan masyarakat? Media Ummat melakukan wawancara khusus dengan Dr Muhammad Saleem. Berikut petikannya.
Setelah anda menyaksikan secara langsung acara-acara Konferensi Rajab di Surabaya dan di Jakarta ini, apa kesan Anda?
Alhamdulillah. Saya melihat di Surabaya ada sekitar 30.000 peserta dan hari ini di Jakarta ada sekitar 25.000 peserta . Masya Allah, banyak kemajuan, ide khilafah telah merasuk ke dalam masyarakat dengan cukup baik. Saya melihat masyarakat dari berbagai lapisan hadir dalam acara ini, dari mulai ulama, mahasiswa, kaum muda, dan kaum wanita ikut serta dalam perjuangan ini. Saya mengucapkan selamat kepada HTI karena mampu menyelenggarakan demikian banyak konferensi. Saya kira acara-acara yang diadakan ini nyaris sempurna. Alhamdulillah.
Bagaimana tentang acara-acara yang diselenggarakan oleh HT di berbagai tempat di dunia?
Dalam bulan Rajab itu kita melihat banyak acara konferensi yang sejenis diselenggarakan. Mulai dari Australia, Belanda, juga di Inggris. Berbeda dengan Indonesia, isu yang berkembang di sini (negara-negara Barat, red) adalah mengenai pelarangan HT. Hal ini sanggat menggelikan. Bagaimana Anda bisa melarang pemikiran? Anda hanya bisa melarang aktivitas sekelompok orang yang memang ilegal, tapi HT adalah partai politik yang dikenal non-kekerasan. Hal ini menunjukkan sikap keras sistem kapitalisme yang secara moral sudah rusak dalam hal bahwa mereka mengakui adanya kebebasan berbicara.
Lantas apa sebenarnya yang melatarbelakangi upaya pelarangan ini?
Sebenarnya, persoalannya bukan kebebasan berbicara. Mereka melarang orang-orang yang berbicara dan mengungkapkan politik luar negeri Barat yang buruk. Inilah sebenarnya yang melatar belakangi ide pelarangan HT. Hal ini memang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Lembaga kajian mereka mengatakan mereka sebenarnya ingin membuat sesak nafas kelompok-kelompok semacam HT. Dan kebalikannya memberikan ruang bagi kelompok-kelompok liberal dari kaum Muslimin. Namun walaupun mereka melakukan semua hal ini, kami tetap melakukan aktivitas. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa kapitalisme telah kehilangan kemampuan untuk melawan ide dengan ide, tapi melakukan taktik-taktik seperti menekan, berusaha melarang.
Bagaimana dengan Konferensi Rajab di Eropa ?
Setahu saya, saat saya kembali nanti akan ada konferensi di London. Kita seharusnya melakukan konferensi di Birmingham namun dibatalkan karena beberapa alasan. Syabab Belanda juga akan mengadakan konferensi Insya Allah. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda pelarangan dan sepertinya akan berjalan. Para syabab di sana adalah orang-orang yang kuat. Mereka ada di negara di mana mereka mendapat tekanan seperti dari orang-orang yang membuat film yang menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW, negara penuh kebencian terhadap Islam. Walaupun para musuh Islam adalah para politisi tapi mereka bermoral rendah, dan kami tetap bangga. Insya Allah para syabab di sana bisa melalui segala rintangan itu. Insya Allah akan diadakan juga di Denmark, Kanada, Amerika dan Australia, bahkan di Mauritus juga diadakan konferensi khilafah. Ada banyak wilayah di mana para syabab ingin mengadakan konferensi semacam ini karena mereka hidup di bawah tekanan pemerintah zalim maka mereka tidak bisa mengadakan konferensi semacam ini.
Bagaimana pendapat Anda terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa khilafah tidak bisa tegak melalui konferensi-konferensi semacam ini maupun aktivitas demonstrasi di jalan?
Tidak semua orang adalah politisi. Kami mengikuti metode Rasulullah dan kami yakin bahwa metode itu benar. Kita tahu bahwa untuk bisa terjadinya perubahan harus dibentuk opini publik. Tidak ada perubahan tanpa adanya perubahan opini publik. Maka apa yang dilakukan oleh HT adalah mengubah opini publik itu. Kalau kita lihat laporan RAND Corporation dan lembaga-lembaga riset serupa ditemukan 75 persen kaum Muslimin menginginkan syariah. Hal ini menunjukkan argumen yang mengatakan bahwa khilafah tidak mungkin lemah. Tanpa dakwah tidak akan ada perubahan pergantian rezim seperti di Mesir. Kita saksikan bahwa cuma butuh waktu sedikit saja bagi rezim-rezim itu untuk bertumbangan satu persatu. Fakta berbicara sendiri. Mengenai ke mana arah perubahan di Timut Tengah itu soal lain. Tapi tudingan hal ini tidak mungkin terjadi, fakta di lapangan telah berbicara sendiri. Mereka bisa melihat sendiri hal itu.
Mengenai terjadinya revolusi di dunia Arab, menurut Anda apakah ini hanya merupakan reaksi ketidakpuasan masyarakat atas pemerintahnya yang opresif atau apakah ini menuju berdirinya khilafah?
Kita berdoa bahwa hal ini akan menuju terbentuknya khilafah. Tapi yang saya ingin katakan adalah bahwa masyarakat di sana dan di dunia Islam tahu apa yang mereka tidak inginkan. Sangat jelas bahwa mereka tidak ingin Ben Ali, tidak ingin Mubarak, tidak ingin Assad, tidak ingin Abdullah. Tapi umat masih belum jelas apa yang memang mereka inginkan. Tapi kita lihat bahwa Barat berusaha mengaburkan apa yang masyarakat inginkan atau yang tidak inginkan. Karena itu kita lihat terjadinya vakum pemerintahan di beberapa negera, tapi yang jelas mereka berusaha memastikan bahwa militer tetap berpihak pada Barat.
Ada yang mengatakan ‘revolusi’ di Timur Tengah tidak ada hubungannya dengan agama?
Memang, ada sebagian orang yang mengatakan bahwa revolusi di Tunisia, tidak ada hubungannya dengan Islam. Namun jika kita melihat apa yang terjadi di lapangan, kita saksikan seperti di Tahrir Square dari khutbah Jumat para imam yang menyerukan khilafah, mereka menginginkan syariah diterapkan. Yang terjadi adalah bahwa masyarakat telah begitu lama ditindas dan merupakan sifat alamiah manusia bahwa lama kelamaan kesabaran mereka akan habis. Maka ada khutbah yang disiarkan di televisi selama satu jam yang berbicara mengenai khilafah. Ada ulama di Yaman yang berbicara mengenai khilafah, dan di masjid-masjid Tunisia setiap malam membicarakan khilafah.
Ada contoh lain?
Contoh lain seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Orang-orang Afrika pribumi telah lama ditindas dan kemudian opini publik terbentuk dan menguat hingga suatu saat mereka tidak dapat lagi menahan perubahan itu sehingga akhirnya pemerintah Afsel mengikuti kemauan rakyatnya dan penduduk Afsel kemudian terbebaskan dari Apartheid. Sama halnya yang terjadi di dunia Muslim, perubahan ini seperti bola salju dan semakin membesar. Dan masalahnya cuma waktu.[]
sumber : http://mediaumat.com/mancanegara/3395-62-perubahan-membutuhkan-opini-publik.html
Syariat Islam Mengakomodasi Keragaman dan Kebhinekaan
Tuesday, 27 December 2011 15:37
Formalisasi syariat Islam dianggap sebagai ancaman bagi kebhinekaan.Lantas, benarkah bila syariat Islam diterapkan, semua orang dipaksa memeluk agama Islam? Benarkah formalisasi syariat Islam akan diiringi dengan penyeragaman (uniformisasi) agama, budaya, pemikiran, dan pandangan hidup? Benarkah akan terjadi peminggiran peran kelompok minoritas jika syariat Islam diterapkan dalam koridor negara?
Berikut paparan mengenai penerapan syariat Islam di tengah keragaman agama, keyakinan, dan budaya, ditinjau dari sisi sejarah dan nash-nash syariat. Juga mengetengahkan cara pandang dan solusi Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan pemikiran.
Inklusivitas Masyarakat Islam
Tatkala Rasulullah SAW menegakkan Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam. Masyarakat Madinah dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi "kebebasan mereka" dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.
Masyarakat Islam yang inklusif seperti ini terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah SAW. Dalam klausul 13-17 Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, "Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah akan memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama; mereka tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama."
Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak muamalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam Piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah SAW (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani 'Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.
Kelompok pluralis sendiri mengakui masyarakat Madinah sebagai model masyarakat inklusif. Bahkan, mereka menyepadankan masyarakat Madinah dengan civil society atau masyarakat plural. Walaupun penyepadanan masyarakat Madinah dengan civil society ini tidaklah tepat, hanya saja, pengakuan kaum pluralis terhadap masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang inklusif justru membuktikan bahwa mereka sebenarnya meyakini bahwa Daulah Islamiyyah menjamin dan melindungi keragaman, dan sama sekali tidak menghendaki adanya uniformisasi. Lantas, mengapa sekarang mereka justru membuat isu; penerapan syariat Islam dalam koridor negara akan mengancam keberagaman dan kebhinekaan? Mengapa pula mereka getol menyebarkan isu uniformisasi dan eksklusifitas bila syariat Islam diformalisasikan dalam undang-undang negara? Lalu, di mana letak konsistensi mereka dalam berpendapat?
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi SAW memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah, Jarba', Adzrah, Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Nabi SAW juga memberikan perlindungan, baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja', Najran, Muzainah, Aslam, Juza'ah, Jidzaam, Qadla'ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri'asy, dan masih banyak lagi.
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Khudaij, bahwasanya ia berkata, “Seorang laki-laki dari Anshor terbunuh di Khaibar. Walinya menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau SAW. Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Kamu harus menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhan atas saudaramu.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah di sana tidak ada seorangpun dari kaum Muslim akan tetapi hanya ada orang-orang Yahudi yang kadang-kadang bisa berbuat lebih kejam daripada ini. Rasulullah SAW bersabda, “Pilihlah 50 orang dari mereka Yahudi, dan suruhlah mereka bersumpah. Setelah itu, Rasulullah SAW membayarkan diyat pembunuhan kepada wali pihak yang terbunuh."
Saat itu, Khaibar telah menjadi bagian Negara Islam, dan penduduknya didominasi oleh orang-orang Yahudi. Ketika orang—orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah SAW pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka. Bahkan, beliau SAW membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan di Khaibar tersebut. Hadits ini menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW menegakkan keadilan hukum bagi warga negaranya tanpa memandang lagi perbedaan agama, ras, dan suku. Adapun non Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Islam, mereka tunduk dan patuh terhadap syariat Islam yang telah ditetapkan sebagai hukum negara. Mereka juga mendapatkan perlindungan dalam menjalankan peribadatan, dan keyakinan mereka. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam, atau diperintah untuk melenyapkan truth claim atas agama dan keyakinan yang mereka anut. Malah, mereka diberi kebebasan untuk menjalankan seluruh aktivitasnya sesuai dengan koridor hukum negara (syariat Islam).
Fragmen sejarah di atas membuktikan, bahwa formalisasi syariat Islam bukanlah ancaman bagi keberagaman, kebhinekaan, dan kelompok minoritas.
Zaman Kekhilafahan Islam
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah itu, tidak mendorong para Khalifah untuk melakukan uniformisasi warga negara, maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal, dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya, keyakinan, dan agama yang sangat besar, dan sewaktu-waktu bisa memunculkan "konflik agama". Akan tetapi, hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik.
Bahkan, penerapan syariat Islam saat itu, berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non Muslim. Dalam bukunya Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, "Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad SAW melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti." Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini, "Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Alquran anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)".
Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayangnya, peradaban yang inklusif dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi.
Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.
Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada Khilafah Islamiyyah atas bantuan pangan yang dikirimkan kepada mereka pasca perang melawan Inggris pada abad ke 18.
Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.
Pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865, khalifah memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah. Sebab, di Rusia mereka tidak mendapatkan kesejahteraan hidup.
Inilah sebagian fragmen sejarah yang menunjukkan, bahwa penerapan syariat Islam dalam koridor Negara tetap melindungi dan metolerir adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada uniformisasi, tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas, tidak ada pemaksaan atas non Muslim untuk masuk Islam, dan tidak ada pengusiran terhadap non Muslim dari wilayah kekuasaan Islam. Yang terjadi justru, perlindungan terhadap non Muslim, Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariat Islamnya benar-benar telah mewujudkan gagasan masyarakat inclusive tanpa menghapus truth claim agama, dan tanpa melakukan uniformisasi dan intimidasi.
Lalu, mengapa penerapan syariat Islam dalam koridor negara selalu dikesankan dengan upaya-upaya uniformisasi, pengusiran terhadap non Muslim, eksklusifitas, dan penghancuran terhadap pluralitas? Bukankah kesan tersebut jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan realitas sejarah? Barangkali, yang menyebarkan isu ini adalah orang yang awam terhadap sejarah Islam; barangkali a histories dan tidak jujur terhadap sejarah; atau barangkali ini adalah isu politis yang ditujukan untuk menghambat penerapan syariat Islam dalam koridor negara.[]
sumber : http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
Formalisasi syariat Islam dianggap sebagai ancaman bagi kebhinekaan.Lantas, benarkah bila syariat Islam diterapkan, semua orang dipaksa memeluk agama Islam? Benarkah formalisasi syariat Islam akan diiringi dengan penyeragaman (uniformisasi) agama, budaya, pemikiran, dan pandangan hidup? Benarkah akan terjadi peminggiran peran kelompok minoritas jika syariat Islam diterapkan dalam koridor negara?
Berikut paparan mengenai penerapan syariat Islam di tengah keragaman agama, keyakinan, dan budaya, ditinjau dari sisi sejarah dan nash-nash syariat. Juga mengetengahkan cara pandang dan solusi Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan pemikiran.
Inklusivitas Masyarakat Islam
Tatkala Rasulullah SAW menegakkan Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam. Masyarakat Madinah dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi "kebebasan mereka" dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.
Masyarakat Islam yang inklusif seperti ini terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah SAW. Dalam klausul 13-17 Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, "Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah akan memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama; mereka tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama."
Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak muamalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam Piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah SAW (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani 'Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.
Kelompok pluralis sendiri mengakui masyarakat Madinah sebagai model masyarakat inklusif. Bahkan, mereka menyepadankan masyarakat Madinah dengan civil society atau masyarakat plural. Walaupun penyepadanan masyarakat Madinah dengan civil society ini tidaklah tepat, hanya saja, pengakuan kaum pluralis terhadap masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang inklusif justru membuktikan bahwa mereka sebenarnya meyakini bahwa Daulah Islamiyyah menjamin dan melindungi keragaman, dan sama sekali tidak menghendaki adanya uniformisasi. Lantas, mengapa sekarang mereka justru membuat isu; penerapan syariat Islam dalam koridor negara akan mengancam keberagaman dan kebhinekaan? Mengapa pula mereka getol menyebarkan isu uniformisasi dan eksklusifitas bila syariat Islam diformalisasikan dalam undang-undang negara? Lalu, di mana letak konsistensi mereka dalam berpendapat?
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi SAW memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah, Jarba', Adzrah, Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Nabi SAW juga memberikan perlindungan, baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja', Najran, Muzainah, Aslam, Juza'ah, Jidzaam, Qadla'ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri'asy, dan masih banyak lagi.
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Khudaij, bahwasanya ia berkata, “Seorang laki-laki dari Anshor terbunuh di Khaibar. Walinya menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau SAW. Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Kamu harus menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhan atas saudaramu.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah di sana tidak ada seorangpun dari kaum Muslim akan tetapi hanya ada orang-orang Yahudi yang kadang-kadang bisa berbuat lebih kejam daripada ini. Rasulullah SAW bersabda, “Pilihlah 50 orang dari mereka Yahudi, dan suruhlah mereka bersumpah. Setelah itu, Rasulullah SAW membayarkan diyat pembunuhan kepada wali pihak yang terbunuh."
Saat itu, Khaibar telah menjadi bagian Negara Islam, dan penduduknya didominasi oleh orang-orang Yahudi. Ketika orang—orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah SAW pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka. Bahkan, beliau SAW membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan di Khaibar tersebut. Hadits ini menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW menegakkan keadilan hukum bagi warga negaranya tanpa memandang lagi perbedaan agama, ras, dan suku. Adapun non Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Islam, mereka tunduk dan patuh terhadap syariat Islam yang telah ditetapkan sebagai hukum negara. Mereka juga mendapatkan perlindungan dalam menjalankan peribadatan, dan keyakinan mereka. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam, atau diperintah untuk melenyapkan truth claim atas agama dan keyakinan yang mereka anut. Malah, mereka diberi kebebasan untuk menjalankan seluruh aktivitasnya sesuai dengan koridor hukum negara (syariat Islam).
Fragmen sejarah di atas membuktikan, bahwa formalisasi syariat Islam bukanlah ancaman bagi keberagaman, kebhinekaan, dan kelompok minoritas.
Zaman Kekhilafahan Islam
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah itu, tidak mendorong para Khalifah untuk melakukan uniformisasi warga negara, maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal, dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya, keyakinan, dan agama yang sangat besar, dan sewaktu-waktu bisa memunculkan "konflik agama". Akan tetapi, hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik.
Bahkan, penerapan syariat Islam saat itu, berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non Muslim. Dalam bukunya Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, "Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad SAW melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti." Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini, "Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Alquran anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)".
Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayangnya, peradaban yang inklusif dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi.
Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.
Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada Khilafah Islamiyyah atas bantuan pangan yang dikirimkan kepada mereka pasca perang melawan Inggris pada abad ke 18.
Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.
Pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865, khalifah memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah. Sebab, di Rusia mereka tidak mendapatkan kesejahteraan hidup.
Inilah sebagian fragmen sejarah yang menunjukkan, bahwa penerapan syariat Islam dalam koridor Negara tetap melindungi dan metolerir adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada uniformisasi, tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas, tidak ada pemaksaan atas non Muslim untuk masuk Islam, dan tidak ada pengusiran terhadap non Muslim dari wilayah kekuasaan Islam. Yang terjadi justru, perlindungan terhadap non Muslim, Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariat Islamnya benar-benar telah mewujudkan gagasan masyarakat inclusive tanpa menghapus truth claim agama, dan tanpa melakukan uniformisasi dan intimidasi.
Lalu, mengapa penerapan syariat Islam dalam koridor negara selalu dikesankan dengan upaya-upaya uniformisasi, pengusiran terhadap non Muslim, eksklusifitas, dan penghancuran terhadap pluralitas? Bukankah kesan tersebut jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan realitas sejarah? Barangkali, yang menyebarkan isu ini adalah orang yang awam terhadap sejarah Islam; barangkali a histories dan tidak jujur terhadap sejarah; atau barangkali ini adalah isu politis yang ditujukan untuk menghambat penerapan syariat Islam dalam koridor negara.[]
sumber : http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/3384-68-syariat-islam-mengakomodasi-keragaman-dan-kebhinekaan-.html
Subscribe to:
Posts (Atom)