Saturday, August 13, 2011

Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Mensejahterakan

Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Mensejahterakan


Oleh: Dr. Muhammad K Sadik (Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Komite Aksi Jaminan Sosial (KJAS) terkait Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Atas putusan tersebut, majelis hakim memerintahkan, RUU BPJS yang kini tengah dibahas di DPR segera disahkan. Selain itu, majelis juga meminta pemerintah segera membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat melakukan penyesuaian terhadap BPJS. Penyesuain tersebut terutama terhadap PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri dan PT Taspen untuk dikelola oleh badan hukum wali amanat dan dinikmati oleh seluruh penduduk Indonesia.
Sementara itu, puluhan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menggelar mimbar rakyat di alun-alun Kota Cimahi, Jumat (15/7). Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU BPJS. Ketua Komisi IV DPRD Kota Cimahi Masrokhan yang juga hadir dalam mimbar tersebut menyatakan dukungannya agar pemerintah segera mengesahkan RUU BPJS tersebut (pikiran-rakyat.com, 15/7).
Jika dicermati, UU SJSN tersebut sebenarnya justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Karena itu berbeda dengan Komite Aksi Jaminan Sosial (KJAS) yang menuntut segera ditetapkannya UU BJPS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui pernyataan persnya justru menuntut pencabutan terhadap UU SJSN tersebut. Karena menurutnya, ada dua fakta penting dalam UU SJSN yang membahayakan masyakarat jika UU ini diterapkan, yaitu:

Pertama, UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, Pasal 5 dan Pasal 17. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.
Mewujudkan Sistem yang Mensejahterakan


Negara-negara kapitalisme dunia seperti Eropa dan AS telah menerapkan jaminan sosial melalui mekanisme asuransi. Menurut ideologi kapitalisme, kalau seluruh rakyat telah mengikuti asuransi maka berarti kondisi sosial mereka (kesehatan, pendidikan, hari tua, dan sebagainya) telah memperoleh jaminan dari negara. Konsep ini tentu saja merugikan rakyat karena sumber pembiayaannya berasal dari mobilisasi dana rakyat sendiri sedangkan negara tidak ikut campur dalam membiayai jaminan sosial tersebut. Pada sisi lain, negara telah membebankan pajak pada rakyat dan sumber daya alamnya dikuras, sehingga rakyat menanggung beban yang sangat berat.


Sistem rusak yang bersumber dari kapitalisme inilah sebenarnya yang menjadi landasan bagi UU SJSN di atas. Perlu dicatat bahwa UU SJSN dan BPJS menganut sistem kepesertaan wajib. Artinya, setiap rakyat wajib menjadi peserta jaminan sosial. Sehingga buruh, petani, nelayan dan kelompok miskin lainnya wajib menjadi peserta SJSN yang harus membayar jaminan sosialnya kepada BPJS. Misalnya untuk buruh, pengusaha wajib memungut dari gaji buruh tersebut untuk dibayarkan kepada BPJS. Karenanya, secara logis semestinya seluruh elemen masyarakat menolak dan menuntut pencabutan terhadap UU SJSN ini, karena UU ini telah ‘melegalkan’ bagi negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Artinya, rakyat akan bertanggung jawab sendiri terhadap kesejahteraannya melalui mekanisme asuransi. Lantas apa peran dan fungsi negara bagi rakyat kalau UU ini jadi diterapkan?


Konsep jaminan sosial dalam sistem kapitalisme di atas berbeda secara diametral dengan konsep jaminan sosial dalam sistem Islam. Menurut pandangan Islam, negara yakni Khilafah Islamiyah wajib menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan (Muslim dan Non-Muslim), disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. Politik ekonomi yang dijalankan oleh Khilafah lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, politik ekonomi Islam tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidupnya.
Disamping itu, kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material saja, namun juga dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Sehingga masyarakat masyarakat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi dua keadaan tersebut, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya, serta terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.


Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya merupakan hasil sistem ekonomi semata, melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah Swt telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat pula dibaca sebagai perjuangan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat. Wallaahua’alam.[]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/22/sistem-jaminan-sosial-yang-tidak-mensejahterakan/

Dibalik skenario penggerebekan Ponpes UBK

BIMA (Arrahmah.com) – Kasus Pondok Pesantren Umar Bin Khattab yang disebut-sebut sebagai pondok “teroris” pada dasarnya adalah skenario para yang telah ditata rapi oleh para mata-mata.

Berawal dari kasus penusukan yang diklaim telah dilakukan oleh santri UBK, padahal pelaku tersebut adalah Mantan santri UBK yang baru keluar tahun 2011 yang melakukan tindakan atas inisiatif sendiri bukan atas perintah orang atau kelompok lain, apalagi instruksi dari elemen ponpes UBK.

Berbekal insiden tersebut, polisi menggunakan dalih untuk memata-matai ponpes UBK yang bermanhaj Dakwah wal Jihad, yang pada dasarnya kegiatan spionase terhadap pondok tersebut telah berlangsung lama.
Hal tersebut terlihat dari bunyi salah satu pernyataan yang dirilis UBK Media yang mengatakan, “Pondok ini sejak dulu hingga peristiwa kejadian yang menewaskan Ust. Firdaus (semoga Allah menerima beliau) merupaka target jasus-jasus (mata-mata, -red) dari kepolisian karena mereka mencurigai pondok ini merupakan sarang “terroris” sehingga hampir setiap hari kami selalu saja di mata-matai oleh puluhan intelejen lokal maupun dari luar Bima”.
Isu penyerangan pondok UBK
Sejak penangkapan pelaku penusukan anggota polisi beredar dan ditahan di Mapolres Kabupaten Bima tepatnya di desa panda kecamatan pali belo, tersebar “kabar” bahwa akan ada penyerangan terhadap pondok pesantren UBK yang akan dilakukan oleh keluarga mantan santri tersebut.
Pihak ponpes UBK memperkirakan bahwa isu tersebut tidak lepas dari campur tangan intelejen.
“tentunya semua ini tidak lepas dari arahan intelejen yang memang sudah sejak lama membenci pondok ini”, demikian pernyataan mereka.
Menanggapi kabar tersebut semua orang yang berada di pondok segera mempersiapkan sesuatu untuk mengantisipasi serangan tersebut. Terlebih lagi pondok UBK terdiri atas santri yang berumur belasan tahun, anak-anak, serta akhwat.

Terkait hal tersebut untuk meminimalisir korban, serentak seluruh simpatisan pondok yang terdiri dari ikhwah-ikhwah lokal berkumpul di pondok UBK dengan tujuan untuk menjaga pondok dari kemungkinan serangan, serta seluruh santri diliburkan, namun ada sebagian yang tetap bertahan di pondok.

Hingga keputusan dibuat dalam rangka mempersiapkan kemungkinan “serangan” yang akan terjadi.

“…yaitu segala jenis senjata tajam yang dimiliki oleh ikhwah dan santri yang selama ini dipersiapkan karena perintah Alloh dalam Qs.08:60 untuk menghadapi kemungkinan serangan kaum kaffir dari pulau NTT yang mayoritas kristen terhadap kaum muslimin di Bima akhirnya dikumpulkan di pondok UBK dengan tujuan mengantisipasi serangan dari keluarga mantan santri tersebut”, jelas rilis UBK Media.

Berbagai senjata tajam juga termasuk satu bom rakitan, dan Molotov dipersiapkan karena isu yang beredar adalah bahwa senjata yang akan digunakan oleh kelompok penyerang adalah senjata api rakitan.

Aparat menggeledah pondok pada saat yang “tepat”
Ketika semua senjata terkumpul dan santri telah bersiap menghadapi segala kemungkinan serangan, terjadilah ledakan yang menewaskan Ust. Firdaus. Saat yang “tepat” itulah polisi menurunkan seluruh anggotanya untuk menggeledah pondok UBK karena mereka mengira bahwa bom yang meledak itu ditujukan untuk mereka.

Namun pihak Ponpes membantah hal tersebut, “kami katakan denga tegas TIDAK BENAR apa yang diperkirakan aparat”.

Belum lagi klaim polisi terkait ditemukan denah, lagi-lagi pihak ponpes UBK membantah klaim tersebut. Dan menegaskan bahwa jika memang pihak UBK berencana menyerang seluruh kantor polsek yang ada di Bima, tentu mereka akan mempersiapkannya dengan terstruktur.

Namun memang pada dasarnya pihak Ponpes UBK tidak pernah berniat untuk menyerang kantor Polsek terlebih tempat wisata yang di klaim aparat kepolisian.

“Kami tidak ingin isti’jal dalam mengambil suatu amalan, buktinnya Ust. Abrori al Ayubi (semoga Alloh membebaskan beliau) menyerahkan diri dengan cara menginformasikan keberasaanya kepada aparat, itu merupakan bentuk tanggung jawab terhadap semua masalah yang terjadi”, jelas rilis UBK Media.

Skenario untuk memojokkan pesantren UBK

Semua skenario, yang diawali dari penusukan anggota polisi oleh “Mantan santri”, yang diikuti oleh isu penyerangan pondok UBK, hingga penggerebekan pada saat yang “tepat”, telah berhasil memberikan polisi alasan untuk memojokkan POnpes UBK.
Hal tersebut terbukti, setelah penggerebekan pun barang bukti yang diklaim polisi adalah barang bukti yang pada dasarnya telah dipersiapkan oleh aparat sendiri.
Barang bukti berupa senjata tajam dan bom Molotov telah dijelaskan bagaimana keberadaannya bisa terdapat dalam ponpes UBK. Tetapi barang bukti bom pipa yang ditemukan di Bukit Batu Pahat yang terdiri dari 12 buah chasing bom pipa ukuran 1,5 inci, 6 chasing bom pipa ukuran 1 inci bentuk L, 3 buah chasing bom pipa ukuran 1,5 inci bentuk L. Serta 5 chasing bom pipa ukuran 1 inci, 10 baterai 9 volt panasonic atau abc, 1 baterai hp nokia, 3 pecahan chasing bom pipa bentuk L, 7 rangkaian kabel listrik 50 cm. Adalah “barang bukti” yang diletakkan oleh aparat sendiri”.
“Mengenai bom pipa yang ditemukan di pegunungan oleh aparat, itu merupakan kebohongan dan lagi-lagi srategi aparat untuk memojokan posisi kami yang tidak ingin dakwah kami tersebar di Bima, jelas-jelas bom pipa itu diletakan oleh aparat sendiri. Sehingga seolah-olah pihak pondok yang merakit dan menyembunyikanya” demikian bantahan ponpes UBK.

Mengaitkan UBK dengan JAT adalah strategi penyebutan UBK dan JAT dengan stigma “teroris”

Skenario tersebut tidak hanya berhenti sampai disitu. Dari barang bukti yang ditemukan polisi, polisi mengklaim keberadaan rompi dan vcd JAT yang ditemukan di pondok UBK adalah salah satu hal yang menjadikan dalih untuk menghubungan keduanya (UBK dan JAT).
Padahal dengan jelas Jubir JAT, Sonhadi pada Jumat (15/7) terkait penemuan VCD deklarasi JAT Bekasi yang ditemukan di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa masyarakat dapat memiliki rekaman video tersebut jika membeli majalah JAT.

“Jadi vcd itu memang bonus,” katanya.

Hal tersebut senada dengan pernyataan dalam rilis UBK Media, “Mengenai klaim polisi bahwa kami terkait denga JAT itu tidak benar, dan tidak bergabung bersama JAT, siapapun bisa membeli majalah JAT yang di temukan di pondok UBK tersebut karena terjual secara inklusif”.

Tampaklah disini bahwa stigma “teroris” pada dasarnya hanya akal-akalan dan skenario “pihak lain” untuk memojokkan kelompok-kelompok tertentu. Tujuannya sudah jelas, yakni untuk membentuk opini masyarakat agar “mewaspadai” kelompok dakwah Islam yang memperjuangkan syariat dan kebangkitan Islam. Hingga harapan kedepannya adalah tindakan represif terhadap “kelompok teroris” tersebut mendapat persetujuan dari masyarakat yang termakan “wacana terorisme”.

Namun siapakah dalang besar dibalik segala skenario tersebut? Tentu saja hal tersebut tak terlepas dari peran musuh Islam yang telah mencabik-cabik kaum Muslimin, siapa lagi kalau bukan Amerika dan sekutunya. Wallohua’lam. (rasularasy/arrahmah.com)

http://arrahmah.com/read/2011/07/21/14161-dibalik-skenario-penggerebekan-ponpes-ubk.html

Baca Juga:
UBK Media: "Bom pipa diletakkan oleh aparat sendiri"
Ponpes UBK Bima rilis pernyataan tentang insiden ledakan
JAT sesalkan sikap polisi yang kaitkan JAT dengan Ponpes Umar Bin Khattab

Anak Dalam Naungan Khilafah Islamiyah

Anak Dalam Naungan Khilafah Islamiyah

Oleh: Lajnah Maslahiyah DPP MHTI

Nasib Anak Indonesia Masih Buruk dan Mengenaskan…..



Anak pemegang estafet kepemimpinan suatu bangsa dimasa mendatang pastilah menjadi asset yang tak ternilai harganya. Baik-buruk suatu bangsa di masa datang ditentukan oleh kualitas anak-anak di masa sekarang. Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk terbesar ke 4 di dunia, memiliki potensi anak-anak yang sangat luar biasa. Secara jumlah, struktur penduduk Indonesia yang berjumlah besar, memiliki jumlah anak yang mencakup 30 persen dari total penduduk Indonesia. Bila negara mampu mencetak mereka sebagai generasi yang berkualitas maka kemajuan negeri ini sudah di depan mata.

Namun fakta berbicara lain, nasib anak bangsa Indonesia masih sangat buruk dan mengenaskan. Gambaran ini dapat terlihat dari fakta dibawah ini:

* 5,4 juta anak Indonesia masih dalam kondisi terlantar, menurut data kementerian sosial (anataranews, com/5/7/2011);
* Jumlah anak Indonesia yang terancam putus sekolah saat ini mencapai 13 juta yang terdiri dari usia tujuh sampai 15 tahun, demikian data BKKBN Tahun 2010 (beritasore.com/4/8/2010). Ditambah lagi sedikitya 37.294 anak-anak TKI tidak mendapatkan pendidikan selama berada di negeri Jiran Malaysia (republika.co.id/20 juli 2010)

* Setiap tahun 7000 anak berurusan dengan hukum, dan 6000 org di antaranya masuk ke penjara, baik penjara anak, penjara dewasa, maupun tempat-tempat tahanan lainnya. (Hadi Supeno,2010)( Buku:Kriminalisasi Anak:Tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama,2010)).
* Riskesdas 2010 juga menemukan tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9 persen atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk (antaranews.com/25 jan 2011).
* Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan sejak 2008 hingga 2010, sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa sekolah dasar (SD) kelas 4, 5, dan 6 di wilayah Jabodetabek mengaku pernah mengakses informasi pornografi. Sekitar 24 persen mengaku melihat pornografi melalui media komik. Selain itu, sekitar 22 persen melihat pornografi dari situs internet, 17 persen dari games, 12 persen melalui film di televisi, dan enam persen lewat telepon genggam. (vivanews.com/3/10/2010)

Kapitalisme biang Kerusakan dan Keburukan

Kelemahan manusia sebagai pembuat aturan terlihat pada kebijakan yang dikeluarkannya, saling berbenturan dan gagal menyelesaikan masalah. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya sekedar lips servis demi membangun citra bahwa sistem ini masih bersifat manusiawi untuk menutupi kezholiman-kebobrokan dan keserakahannya. Disisi lain banyak kebijakan dan program yang dikeluarkan seakan-akan peduli terhadap anak, namun membahayakan ‘aqidah dan akhlak. Misal slogan anak Indonesia berakhlak mulia, bagaimana mungkin akan dicapai sementara situs, film, dan gambar porno, mudah diakses mereka. Bagaimana anak Indonesia bisa sehat jika menutup pabrik minuman keras dan menghabisi jaringan bisnis narkoba saja tidak mampu. Alih-alih melakukan itu semua, faktanya ternyata Negara membiarkan bisnis haram itu terjadi dan malah difasilitasi.

Hal lain, ketika hak anak untuk hidup diperbincangkan, aborsi dilegalkan. Atas nama Kehamilan yang Tidak diinginkan (aib), janin-jani hasil perzinahan diizinkan untuk dilenyapkan hak nya untuk hidup, apa bedanya dengan masa pra Islam di arab yang membunuh anak perempuan karena dianggap aib????. Bayangkan saja, secara nasional, jumlah remaja yang melakukan praktik aborsi mencapai 700-800 ribu remaja dari total 2 juta kasus aborsi (detik.com, 9/4/2009). Padahal konvensi Hak anak dan UU Perlindungan anak mengatakan anak yang berhak mendapatkan perlindungan adalah termasuk janin yang ada dalam kandungan. Fakta maraknya aborsi menggambarkan negara dan dunia Internasional tidak memberikan hak hidup secara adil pada setiap anak, buktinya 2 juta janin hasil aborsi telah dihilangkan haknya untuk hidup dalam rangka menutupi perbuatan buruk yang dilakukan oleh ibunya.. Seharusnya bukan janin yang mendapatkan hukuman tetapi orangtuanyalah yang harus dihukum karena telah berzina. Dengan demikian hak hidup bagi anak dalam sistem kapitalisme hanyalah bersifat kamuflase.


Bagaimana dengan iming-iming bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan?. Adanya kebijakan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak dan disosialisasikan melalui program Education For All (EFA) atau Pendidikan untuk Semua (PUS) ternyata hanya bisa dirasakan oleh sebagian anak, terbukti dengan adanya anak-anak yang masih belum bisa mengakses bangku sekolah. Ditambah lagi masih ada yang putus sekolah karena tidak bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan alasan tidak ada dana. Berdasarkan UU No 23 tahun 2000 dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas pendidikan. Naumn nyatanya Negara telah gagal memberikan pendidikan bagi semua anak Indonesia. Meski ada yang gratis tidak semua bisa mengaksesnya. Dan bila bicara mutu maka sangat jauh dari yang diharapkan. Bahkan ada pernyataan yang mengatakan, “Bila mau mendapatkan pendidikan yang bermutu harus mau mengeluarkan biaya yang tinggi “. Ini adalah gambaran hakikat negara kapitalisme yang selalu menstandarkan segala sesuatu dengan untung-rugi atau manfaat semata.

Sekalipun negara dalam UUD pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa anak terlantar merupakan tanggung jawab negara. Kenyataannya anak-anak terlantar semaikn tahun angkanya bertambah bahkan mengenaskan. Hasil survei terakhir Kementerian Sosial pada tahun 2006 menunjukkan jumlah total anak telantar dan hampir telantar di Indonesia mencapai angka yang fantastis, yakni 17.694 juta jiwa atau 22,14 persen dari jumlah semua anak usia di bawah 18 tahun yang ada di Indonesia. Data terakhir dari kementerian sosial menyebutkan ada 5.4 juta anak di negeri ini yang terlantar pada tahun 2010.(antaranews.com/5/7/2011). Menurut Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak DKI Jakarta Sunarto, setiap tahun jumlah anak jalanan di Jakarta bertambah 20-40 persen. Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena kemiskinan (90%) sebagaimana dilansir oleht Ketua Forum Komunikasi Rumah Singgah DKI Jakarta Agusman (kompas.com/24/10/2010). Mereka tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, dan rumah yang layak. Bahkan mereka dibiarkan melakukan perbuatan amoral yang menjijikkan (pornografi dan pornoaksi) bahkan menjadikan mereka sebagai korban dan pelaku sekaligus dari kebejatan moral tersebut. Orangtua mereka tidak difasilitasi dengan pekerjaan yang layak untuk mampu memenuhi kebutuhan pokok, selain itu orangtua tidak di bimbing untuk mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua yang mendidik dan menjaga anaknya dari siksaan api neraka.

Negara, sekalipun telah menggalakkan program rumah singgah untuk anak-anak jalanan, namun program ini tidak lebih dari komoditi politik bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan citra positif tanpa kejelasan langkah nyata untuk menuntaskan permasalahan anak-anak jalanan. Bagaimana bisa mewujudkan kota yang layak bagi anak, bila perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak dilakukan dengan matang bahkan lebih di dominasi memenuhi kebutuhan pemilik modal dalam penataan kota. Sudah sangat gamblang bagaimana kota lebih banyak di dominasi pembangunan fisik yang berbau kapitalistis semisal perkantoran, supermarket, mall yang menjulang tinggi.

Inilah hakikatnya Negara kapitalis yang bersikap regulator belaka yang tidak bergigi dan bertaring tajam. Tidak heran jika persoalan tidak kunjung usai. Berikutnya yang menjadi korban adalah anak-anak, generasi masa depan.


Saatnya Anak Indonesia berada dalam Naungan Khilafah…..


Rasulullah SAW sang “TELADAN MANUSIA” telah menyatakan bahwa anak merupakan buah hati dan makhluk suci. “Anak adalah ‘buah hati’, karena itu termasuk dari wangi surga” (HR Tirmidzi). Beliau telah menetapkan dan memberi contoh langsung bahwa negara lah yang menjadi penanggung jawab utama bagi semua kebutuhan rakyatnya termasuk anak. Dalam hadits riwayat Imam bukhari-muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR.Bukhari dan Muslim).


Anak sebagai bagian dari masyarakat juga harus mendapatkan hak-haknya secara utuh dan benar sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Berikut adalah hak-hak anak yang wajib dipenuhi:

1. MEMPEROLEH JAMINAN HIDUP YANG BAIK KETIKA DI DALAM RAHIM DAN SETELAH LAHIR
2.

Islam benar-benar memberikan hak hidup bagi setiap anak dengan jaminan yang pasti. Sejarah membuktikan, saat Islam datang maka kebiasaan orang Arab yang membunuh anak perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt berfirman:

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (الإسراء: 31)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).


Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri). Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga.” (HR Al Bukhary).

Terhadap anak hasil perzinahan, Islam telah menghukum ibunya bukan anaknya, ini terdapat dalam kisah wanita Al-Ghamidiyah, yang datang pada Nabi bahwa dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau melahirkan“. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. Nabi berkata” Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya“. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim).


1. HAK UNTUK MENDAPATKAN NAFKAH

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(يَقُوتُ مَنْ يُضَيِّعَ أَنْ إِثْمًا بِالْمَرْءِ كَفَى)

Artinya: “Seseorang dianggap berdosa jika dia tidak menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[1]

أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ عَلَى دِينَارٌ الرَّجُلُ عِيَالِهِ يُنْفِقُهُ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى الرَّجُلُ دَابَّتِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَلَى يُنْفِقُهُ وَدِينَارٌ أَصْحَابِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهلَّهِ

Artinya: “Dinar (uang) yang paling afdhal yang diinfakkan oleh seorang laki-laki adalah dinar yang diinfakkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, dinar yang diinfakkan kepada hewan tunggangannya (untuk berjihad) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan kepada teman-temannya (yang sedang berjihad) di jalan Allah.”[2]

Bagi seorang ayah yang mampu bekerja, Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Adapun saat ayah dalam kondisi tidak mampu baik karena cacat, sakit keras atau lemah, maka kewajiban memberi nafkah berpindah kepada ahli waris atau keluarga terdekat yang mampu sebagaimana firman Allah:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

Saat ayah atau ahli waris atau kerabat dekat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok anak, Islam telah menetapkan kewajiban atas Negara. Negara memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan harta yang ada di baitul mal baik dari pos zakat, atau -jika pos zakat kosong-diambil dari pos pemasukan lainnya. Dalam pandangan Islam, Negara bertindak sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan bertanggungjawab mewujudkan kemashlahatan bagi mereka melalui penerapan hukum Islam secara kaffah. Rasulullah SAW bersabda

:

الإمام راع و هو مسؤل عن رعيته

“Seorang imam seperti penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya” (al-hadits).

Jika baitul maal (kas negara) banar-benar kosong, maka negara akan mewajibkan pemenuhannya kepada seluruh kaum Muslim yang mampu. Firman Allah:

وفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم

Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian.(TQS. adz-Dzariyat [51]: 19).


Islam juga membentuk suasana saling tolong menolong di masyarakat untuk membantu orang yang kelaparan atau fakir miskin. Rasulullah saw bersabda:

Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)


Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar).


1. HAK UNTUK MENDAPATKAN JAMINAN KEAMANAN

Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya, menjaganya dari berbagai gangguan dan memberikannya rasa aman. Orang tua juga harus terus memantau keadaan anaknya dan mencarinya jika dia hilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu ketika dia hilang di pasar Bani Qainuqa’ dan berkata, “Dimana Laka’? Panggilkan Laka[?"

Orang tua juga tidak boleh menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu yang bisa merusak mental dan agamanya, seperti mengancamnya dengan pisau atau perkataan kasar dan mengatakan kepadanya ketika malam datang, "Awas hantu?".

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يُرَوّْعَ مُسْلِمًا

Artinya: "Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim (yang lain)." Perkataan "Awas hantu !!!" ternyata dapat menumbuhkan rasa takut yang berlebih terhadap sesuatu yang tidak jelas. Jenis takut yang seperti ini dilarang dalam agama.


1. HAK UNTUK MENDAPATKAN PENDIDIKAN

Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan terhadap makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi . dengan fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 283-284). Jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka mendapatkan hak yang sama baik mereka berasal dari keluarga yang kaya maupun yang miskin. Mereka mendapatkan pendidikan yang gratis, guru yang profesional, sarana-prasarana yang lengkap berikut biaya hidup dan fasilitas yang memadai bila mereka tinggal di asrama. Pendidikan yang mereka terima juga mencetak mereka menjadi generasi yang berkepribadian Islam, memiliki tsaqofah Islam dan menguasai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan dan negara khilafah.

Rasulullah SAW untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di madinah telah mengambil kebijakan untuk menyediakan guru yang cukup melalui tawanan Badar dengan memberi kompensasi kebebasan bila mereka mengajarkan anak-anak muslim membaca. Begitu juga dengan apa yang dilakukan Umar dengan menggaji 3 orang guru sebanyak 15 dinar untuk mengajarkan anak-anak di madinah.


Negara juga akan memastikan apakah setiap orangtua mampu memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan baik. Islam telah menetapkan pendidikan seorang anak dimulai dari keluarga, rumah adalah sebagai sekolah pertama bagi anak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:


Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik." (HR.At-Tirmidzy).


"Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga ke liang lahat"


Peran keluarga untuk mendidik anak sangatlah besar, baik yang dilakukan oleh ayah maupun ibu semuanya telah diatur dengan jelas. Hal ini digambarkan oleh Imam Al-Ghazali, "Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan diakhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orang tuanya."


Seorang ayah mendapatkan kewajiban untuk mendidik anggota kelaurga agar terhindar dari api neraka, sebagaimana firman Allah Swt:


"Wahai orang-orang yang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu'(TQS: A-t-Tahrim:6).


Seorang ibu memilki peran yang sangat luar biasa dalam mendidik anak-anaknya, mereka adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebagaimana gambaran dari suatu syair ""Ibu ibarat sekolah, jika engkau persiapkan diri berarti engkau telah mempersiapkan suatu generasi yang kokoh dan kuat."(Hafidz ibrahim)


Sehingga orangtua dituntut untuk memiliki ilmu agar bisa mendidik anaknya dengan baik atau menyekolahkan anaknya dengan memilihkansekolah yang terbaik. Apabila ada orangtua yang tidak trampil dalam mendidik anaknya maka negara akan menyediakan berbagai fasilitas berupa kursus, latihan-latihan bahkan berbagai perlengkapan-perlengkapan yang memudahkan orangtua untuk bisa menjalankan tugasnya. Bahkan bila ada orangtua yang lalai dalam menjalankan peran mendidik ini, Islam telah mengingatkan akan ganjaran sanksi yang akan diterima oleh orangtua baik di dunia dan diakhirat. Didunia, orangtua akan mendapatkan peringatan dari negara untuk harus menjalankan kewajibannya, kalau tidak akan medapatkan sanksi tegas.

Orangtua juga tahu kapan saatnya menerapkan sanksi bagi anak saat melakukan pelanggaran sesuai dengan ajaran teladan Rasulullah SAW. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وا ضْرِبُوهُمْ عَلَيْها أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُو بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Artinya: "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun. Pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat ketika umur mereka sepuluh tahun. Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka."[3]

Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman yang tidak membekas di kulit dan bukan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang ketika memukul anaknya. mereka memukul anaknya sampai berbekas di kulit, bahkan ada yang memukul anaknya sampai cacat.

Adanya pengenalan dan penerapan sanksi merupakan cara melindungi anak dari perilaku yang menyimpang dan merusak sehingga tidak merugikan dirinya dan manusia yang lainnya. Jelas ini tidak ada dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan pada HAM, standarnya tidak jelas bahkan mengandung standar yang tidak jelas bahkan kontraproduktif antara yang satu dengan yang lainnya.



1. HAK UNTUK SEHAT\

Secara umum anak memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah dan bermutu. Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim). Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).



Kesehatan sebagaimana pendidikan juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, termasuk anak. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sejak berada dalam kandungan, lahir sampai dewasa. Kewajiban memelihara kesehatan anak dalam rahim dan bayi merupakan tanggung jawab seorang Ibu secara langsung dan keterlibatan ayah. Selama kandungan, ibu wajib memperhatikan asupan makan yang cukup bagi janin dengan memperhatikan kehalalan dan kethoyyibannya. Allah SWT telah berfirman:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…”(TQS:2:168)

Sedangkan saat dia lahir, anak memiliki hak untuk mendapatkan ASI, sebagaimana penjelasan dalam firman Allah SWT yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi rezki (makanan) dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. Dan orang yang mendapatkan warisan pun berkewajiban demikian…” (QS Al-Baqarah: 233).



Selama masa pemerintahan Khalifah Umar, ada kebijakan untuk memberikan upah setiap kali seorang anak selesai masa menyusui. Namun, suatu hari Umar (ra) mendengar seorang bayi menangis kemudian dia meminta kepada ibu anak itu untuk “Bertakwalah kepada Allah SWT atas bayi Anda dan rawatlah dia”. Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah dari Negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Umar merevisi kebijakan itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Umar (ra) takut Allah SWT akan meminta pertanggung jawabannya dan dia berkata sambil menangis “bahkan atas bayi-bayi ya Umar!” - yang berarti bahwa ia akan diminta pertanggungjawabkan karena tindakannya merugikan anak-anak.


Pada masa Nizhamul Muluk, di Kota Ray didirikan rumah sakit bersalin terbesar untuk seluruh Persia, selain didirikan sekolah tinggi ilmu kebidanan. Para bidan desa mendapat pembinaan 2 hari dalam sepekan oleh dokter-dokter ahli kandungan. Dokter ahli kandungan yang terkenal antara lain Az-Zahrawi, Abu Raihan Albairuni (374 H) dan Bahrum Tajul Amin (380 H). Kedua sarana ini dibangun atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid kepada al-Masawaih, dokter yang menjabat menteri kesehatan.


Ada ruangan perawatan khusus untuk anak-anak dan bayi, ruangan untuk pemeriksaan kandungan dan melahirkan. Ruangan juga dibagi berdasarkan jenis penyakit, seperti penyakit dalam, trauma dan fraktur dan penyakit menular. Pada masing-masing bagian bertugas seorang atau lebih dokter dan masing-masing tim dokter ini diketuai seorang dokter kepala. Semua dokter di rumah sakit dikepalai seorang dokter yang disebut “Al-Saur”. Para dokter ini ditugaskan secara bergiliran, pagi dan malam hari, agar mempunyai waktu istirahat yang cukup.



Semua ruangan dilengkapi dengan peralatan kedokteran dan peralatan yang dibutuhkan dokter. Rumah sakit juga dilengkapi perpustakaan yang menyediakan buku-buku kedokteran, seperti farmakologi, anatomi, fisiologi, hukum kedokteran dan berbagai ilmu lain yang terkait dengan kedokteran. Contoh rumah perpustakaan terbesar adalah perpustakaan Rumah Sakit Ibnu Tulun di Kairo, yang mengkoleksi 100.000 buku. Rumah sakit itu dilengkapi pula dengan laboratorium dan apotik yang memberikan obat berdasarkan resep dokter. Terdapat pula dapur dan berbagai ruangan lain yang dibutuhkan untuk pelayanan yang optimal. Sejumlah karyawan rumah sakit bekerja sebagai pekerja kesehatan, asisten atau dresser, servents, cleaning cervice, pembantu pasien.



5. HAK MENDAPATKAN PERLAKUAN YANG BAIK


5.1. Memperlihatkan rasa senang saat kelahiran anak



Ketika seorang anak dilahirkan sudah sepantasnya seorang ayah dan ibu menunjukkan rasa senangnya. Bagaimanapun keadaan anak itu, baik laki-laki maupun perempuan. Terkadang sebagian orang tua memiliki rasa benci jika yang dilahirkan adalah perempuan. Perlu kita ketahui ini, rasa kebencian itu merupakan sifat jahiliah yang masih dimiliki oleh sebagian kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan di dalam Al-Qur’an tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Quraisy di masa Jahiliah. Mereka membunuh bayi-bayi perempuan mereka yang baru dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apabila seseorang di antara mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, maka hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dia akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah! Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)

Terkadang Allah menguji sang Ayah dan sang Ibu dengan anak yang cacat. Mereka diuji dengan kebutaan, kebisuan, ketulian atau cacat yang lainnya pada sang Anak. Orang yang paham bahwa itu adalah ujian, maka dia akan berlapang dada untuk menerimanya dan tetap merasa senang. Sebaliknya orang yang tidak paham, maka dia tidak akan senang, tidak rida bahkan terkadang bisa sampai mengarah ke perceraian atau pembunuhan sang Anak.

5.2.Memperoleh nama dengan nama yang baik

Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW:


“Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik”.

“Baguskan namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hiban).


Nama itulah yang mewakili diri anak untuk kehidupannya kelak. Oleh karena itu, janganlah salah dalam memilihkan nama. Islam telah mengajarkan agar memilih nama-nama islami dan menjauhi nama-nama yang mengandung unsur penyerupaan dengan agama lain atau penyerupaan dengan pelaku-pelaku kemaksiatan. Sudah sepantasnya seorang muslim bangga dengan nama islaminya. Pemberian nama oleh orangtua kepada anaknya merupakan do,a dan harapan yang ingin terwujud. Dengan demikian sangat baik bila memberikan nama-nama, seperti: ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahim dan sejenisnya, nama-nama para nabi, nama-nama sahabat yang terkenal dll. Begitu pula untuk anak perempuan, banyak sekali nama wanita-wanita solehah, seperti: Fatimah, Khadijah, Aisyah dll.

5.3 Di aqiqah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

Artinya: “Seorang anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama dan dicukur kepalanya.”[4]. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang kewajiban berakikah, sudah sepantasnya sebagai seorang muslim untuk selalu berusaha mengikuti semua sunnah/ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.



5.4 Mendapatkan perlakuan yang adil


Orang tua wajib berlaku adil terhadap semua anaknya. Dalilnya adalah sebagai berikut:

Suatu hari An-Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar, “Ayahku telah memberikanku hadiah.” Kemudian ‘Amrah binti Rahawah (Ibunya) berkata, “Saya tidak rida sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi saksi.” Kemudian Ayah An-Nu’man pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, “Saya telah memberi hadiah kepada anakku dari istriku yang bernama ‘Amrah binti Rawahah. Dia menyuruhku untuk memintamu, Ya Rasulullah, sebagai saksi pemberian ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memberikan hadiah kepada semua anakmu seperti itu juga?” Ayahnya pun berkata, “Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada Allah! Berbuat adillah terhadap semua anakmu.” Kemudian ayahnya pun kembali dan mengambil kembali hadiahnya.


5.5. Mendapatkan kasih sayang


Anak juga termasuk keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dia adalah manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperlakukan seperti hewan yang hina. Dia harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk memberikan julukan-julukan atau panggilan-panggilan jelek kepadanya, seperti ucapan ‘anjing’, ‘babi’, ‘goblok’ dan sejenisnya.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam, memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)



5.6 Mendapatkan hak bermain



Anak pun punya hak untuk bermain. Orang tua sudah sepantasnya memberikan waktu-waktu bermain untuk anaknya, baik di pagi, siang ataupun sore hari. Ketika waktu maghrib datang, orang tua diperintahkan untuk “memegang” anaknya dengan tidak membiarkan anaknya bermain di luar rumah sampai datang waktu ‘isya’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Jika malam atau awal malam datang maka ‘peganglah’ anak-anak kalian. Sesungguhnya setan-setan menyebar pada saat itu. Jika waktu isya’ telah masuk maka biarkanlah mereka.”[4]Setelah waktu isya’ datang tidak sepantasnya anak-anak bermain, karena waktu itu adalah waktu tidur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bersenda gurau pada saat itu.



Orang tua juga harus memperhatikan jenis permainan anaknya, jangan sampai dia bermain dengan permainan yang mengandung unsur dosa, seperti: adu kelereng dan kartu (yang mengandung unsur perjudian), memanah ayam atau sejenisnya dll. Orang tua sebaiknya memilihkan permainan yang bermanfaat untuk diri anaknya kelak dan mengandung unsur pembelajaran. Orang tua juga harus memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan bermain. Anak-anak sangat mudah menerima rangsangan orang-orang di sekitarnya. Syaikh ‘Abdulmuhsin Al-Qasim[5] berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan siapa dia bergaul (berinteraksi).

5.7 Memperlakukan anak yatim dengan baik

Islam tidak memperbolehkan kaum muslimin mengabaikan keberadaan anak yatim. Ia adalah aset umat yang harus diselamatkan dan dipelihara agar tidak menderita. Allah telah menyiapkan kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bagi orang yang merawat anak-anak malang ini. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Aku dan orang-orang yang menanggung anak yatim, berada di surga seperti ini (lalu beliau mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, seraya memberi jarak keduanya).” (H.R. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).


Dalam Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan untuk memperhatikan anak yatim. Dari mulai anjuran untuk memperlakukan dengan lembut, menyisihkan harta, mendidik, hingga merawat serta membesarkan mereka.

Rasulullah SAW melaksanakan langsung praktek memperlakukan anak yatim dengan baik, sebagaimana dikisahkan dalam shiroh Rasulullah SAW:



Di pagi hari yang cerah, Rasulullah Saw. bersama istrinya (Aisyah r.a.) hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Di jalan, mereka melihat seorang bocah murung di tengah kerumunan anak-anak yang ceria merayakan datangnya Idul Fitri. Bocah murung tersebut terlihat termenung dengan penampilan kucel dan pakaian lusuh.

Rasulullah Saw. (yang tidak tega melihat bocah tersebut) mendekat seraya berkata (sambil mengusap kepala sang bocah), “Wahai bocah, kenapa wajahmu tampak bersedih padahal disekelilingmu banyak anak-anak yang begitu bahagia merayakan Idul Fitri?” Bocah tersebut diam sejenak dan meneteskan air matanya sebelum menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana diriku tak bersedih? Ketika teman-temanku bergembira ria merayakan Idul Fitri, aku tidak punya siapa-siapa. Wahai Rasulullah, aku hanyalah sebatangkara. Aku tak memiliki ibu yang dijadikan tempat mengadu. Ayahku pun sudah tiada. Hidupku tak menentu. Aku hanya mengharapkan belas kasihan Allah sebagai Tuhan pemberi rezeki. Terkadang aku tak mendapatkan makanan satu atau dua hari. Aku hanya mengharapkan uluran tangan para dermawan untuk mendapatkan sesuap makanan.”



Mendengar rintihan hati sang bocah, Rasulullah berkata sambil meneteskan air mata, “Wahai anak yang malang, maukah engkau tinggal bersama kami? Maukah engkau aku jadikan sebagai anakku? Dan maukah engkau menjadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?” Mendengar jawaban Rasulullah, spontan bocah tersebut berubah wajahnya menjadi berseri-seri. Harapan hidupnya sudah terbuka. Dirinya tidak merasa sendiri lagi. Bergantilah air mata sedih menjadi air mata kegembiraan.



Pemeliharaan dan pembinaan anak yatim bukan hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat fisik semata, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Pembinaan yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah psikisnya, seperti memberikan perhatian, kasih sayang, perlakuan lemah lembut, bimbingan akhlak, dan lain sebagainya. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman,:

“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9).

Dalam ayat lain ditegaskan,

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Q.S. Al-Maa’uun [107]: 1-2)

Artinya, kewajiban memberikan kasih sayang, pengajaran sopan santun, dan segala perlakuan yang baik berbanding lurus dengan kewajiban pemberian materi. Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita untuk memperlakukan anak yatim dengan baik.

Dengan demikian hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah sajalah anak-anak Indonesia termasuk anak-anak di dunia mampu menjalani kehidupannya dengan bahagia, ceria, menyenangkan dan berkualitas, karena adanya jaminan ya

Wanita, Pra dan Pasca Islam

Artikel Buletin An-Nur :

Wanita, Pra dan Pasca Islam
Rabu, 06 Juli 11

Kedudukan wanita Sebelum Islam

Yang dimaksud dengan masa sebelum Islam adalah masa jahiliyah, yaitu suatu
keadaan yang suram dan jauh dari risalah serta hilangnya jalan kebenaran,
yang dialami bangsa arab khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya.
Umat manusia hidup dalam kebobrokan moral, kecuali beberapa orang ahli
kitab, dan kondisi kaum wanita saat itu sangat memilukan. Mereka hidup
dalam keadaan menderita, merana dan teraniaya bahkan ada di antara mereka
yang dikubur dalam keadaan hidup hingga mati. Sebuah bentuk kebencian
masyarakat terhadap anak perempuan dan membiarkan hidup terhina,
sebagaimana firman Allah, artinya,“Dan apabila seseorang dari mereka
diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah)
mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya
ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang
mereka tetapkan itu.” (QS. al-Nahl :58-59)

Allah berfirman, artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. at-Takwir:
8-9).

Apabila anak perempuan selamat dari pembunuhan keji tersebut, maka ia
hidup dalam keadaan terhina dan tidak berhak mendapatkan harta warisan
dari kerabatnya, meskipun harta warisan mereka sangat melimpah ruah,
sementara wanita hidup miskin. Tradisi bangsa Arab saat itu, hanya memberi
harta warisan kepada kaum laki-laki saja, bahkan sang wanita dianggap
warisan seperti harta benda, dan ada pula seorang laki-laki menikah dengan
banyak wanita tanpa memperhatikan prinsip keadilan, sehingga kaum wanita
hidup menderita dan teraniaya.

Kedudukan Wanita Pasca Islam

Setelah Islam datang, seluruh bentuk penindasan terhadap kaum wanita
dihapus dan kaum wanita diberikan hak-hak hidup secara wajar, Allah
berfirman, artinya,“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan.” (QS. al-Hujurat:13).

Allah menjelaskan dalam ayat di atas bahwa wanita memiliki kedudukan yang
setara dengan laki-laki dan memperoleh hak-hak kemanusian dan juga wanita
memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam masalah pahala dan dosa
akibat dari amal perbuatan mereka. Allah berfirman, artinya, “Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl:
97)

Allah berfirman, artinya, “Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan
perempuan.”(QS. al-Ahzab: 73)

Dan Allah menyatakan haram menjadikan wanita sebagai bagian dari harta
warisan sebagaimana firman Allah, artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah
kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata.” (QS. an-Nisa’:19)

Bahkan Islam telah menjadikan kaum wanita sebagai makhluk merdeka bukan
diwariskan namun mewarisi sebagaimana firman Allah, artinya, “Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.” (QS. an-Nisa’:7)

Dan firman Allah, artinya, “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang anak saja, maka ia memperoleh separoh
harta.” (QS. an-Nisa’:11). Hingga akhir penjelasan hak waris kaum wanita
baik ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan istri.

Dalam hal menikah, laki-laki hanya boleh menikahi empat wanita dengan
syarat mampu bersikap adil dan mampu mempergauli mereka secara baik
sebagaimana firman Allah, artinya, “Dan bergaullah dengan mereka secara
patut.” (QS. an-Nisa’:19)

Begitu juga Allah menjadikan mahar sebagai hak murni wanita dan harus
diberikan kepadanya secara sempurna kecuali jika ia memberikan dengan suka
rela kepada sang suami karena Allah berfirman, artinya, “Berikanlah mas
kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagian makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’:4)

Allah juga menjadikan wanita sebagai penanggung jawab rumah suami dan
anak-anaknya sebagaimana sabda Rasulullah, “Dan seorang wanita adalah
penanggung jawab atas rumah suaminya. Dan akan diminta pertanggung
jawabannya.” (HR. Bukhari).

Dan Allah mewajibkan kepada para suami untuk memberi nafkah dan pakaian
yang baik dan wajar kepada istrinya.

Target Musuh Islam Untuk Merusak Kesucian dan Kehormatan Wanita.

Musuh-musuh Islam bahkan musuh kemanusiaan, dari kalangan orang-orang
kafir dan munafik yang mengidap penyakit hati sangat terusik dengan
kondisi wanita muslimah yang tetap menjaga kesucian, kehormatan dan harga
dirinya. Mereka ingin menjadikan kaum wanita sebagai media yang dapat
merusak orang-orang yang lemah iman dan sebagai pemuas nafsu bejat,
sebagaimana firman Allah, artinya,“Dan Allah hendak menerima taubatmu
sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenarannya).” (QS. an-Nisa’:27).

Sebagian kaum muslimin yang mengidap penyakit di dalam hatinya, ada yang
menginginkan agar wanita menjadi barang dagangan dan alat pemuas nafsu
syahwat serta sebagai barang murahan yang bisa dinikmati, baik keindahan
tubuh maupun kecantikan parasnya atau perbuatan yang lebih buruk dari itu,
maka mereka berusaha keras mengeluarkan kaum wanita dari rumahnya dengan
bekerja di kantor atau pabrik bersama kaum laki-laki, menjadi perawat
mendampingi dokter laki-laki, pramugari, pengajar pada sekolah yang
ikhtilath(campur-baur pria dan wanita), pemain sinetron atau film,
penyanyi, penyiar radio atau presenter siaran televisi dengan penampilan
yang mengundang fitnah. Di antara kaum wanita ada yang menjadi komoditi
bisnis para budak seks melalui cover-cover majalah atau menjadi foto model
surat kabar maupun majalah dengan penampilan sensual guna menaikkan oplah
dan popularitas media tersebut.

Sebagian pelaku bisnis ada yang sengaja menjadikan gambar-gambar wanita
cantik dan sensual sebagai iklan produk, gambar-gambar tersebut terpampang
pada bungkus dan kemasan produk-produk mereka. Tawaran yang sepintas
menggiurkan wanita ini membuat sebagian kaum wanita tidak betah tinggal di
rumah dan memilih menjadi wanita karier, sehingga para suami terpaksa
menyerahkan urusan rumah dan pendidikan anaknya kepada para pembantu dan
timbullah berbagai fitnah dan kejahatan di rumah. Maka berhati-hatilah
terhadap tipu daya setan. (Redaksi)

[Sumber: Disadur dari kitab Tanbihaatul Ala Ahkami Takhtashu bil
Mukminaat, DR. Fauzan bin Abdullah Al Fauzan dengan sedikit perubahan]

YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35 PostCode:12810 Jakarta Selatan -
Indonesia
Phone: 62-21-78836327. Fax: 62-21-78836326. e-mail: info @alsofwah.or.id |
website: www.alsofwah.or.id | Member Info Al-Sofwa
Artikel yang dimuat di situs ini boleh di copy & diperbanyak dengan syarat
tidak untuk komersil.

Pemda Terancam Bangkrut Karena Kapitalisme

Pemda Terancam Bangkrut Karena Kapitalisme

Oleh: M. Ishak
Beberapa Pemerintah Daerah diisukan terancam `bangkrut'. Pasalnya APBD yang menjadi sumber pembiayaan mereka termasuk dana perimbangan dari APBN, sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.
Berdasarkan data Departemen Keuangan 2010, daerah yang belanja pegawainya lebih dari 50% dari total belanjanya, sebanyak 290 kabupaten/kota dari 491 kabupaten/kota (59%). Konsekuensinya, porsi belanja modal mereka sangat minim. Padahal selain investasi swasta, belanja modal merupakan sumber utama pembangunan suatu daerah. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur publik seperti jalan, irigasi, sekolah dan rumah sakit umum misalnya, sangat bergantung pada belanja modal pemerintah daerah.

Tidak heran jika dibeberapa kabupaten/kota, pasien miskin yang mendapat Jamkesmas/jamkesda tidak lagi dapat dilayani sebagaimana mestinya seperti di RSUD Garut dan Ciamis, di wilayah Jawa Barat, dan Ponorogo di Jawa Timur. Alasannya tunggakan Pemda terhadap rumah sakit sudah sangat besar sementara biaya operasional RS kian menipis. Demikian pula, akibat keterbatasan anggaran tersebut banyak jalan kabupaten yang kondisinya sudah rusak parah namun tak kunjung diperbaiki.

Penyebab

Salah satu penyebab keterbatasan anggaran tersebut adalah pemberlakukan Otonomi Daerah (otoda) pasca orde reformasi. Dalam konsep Otoda, masing-masing daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola APBD mereka secara otonom. Meski demikian, bukan berarti pemerintah pusat tidak campur tangan. Pemerintah pusat tetap berhak atas dana bagi hasil atas pajak dan non pajak dari setiap daerah. Pendapatan non pajak sendiri mencakup pendapatan dari sumber daya alam (pertambangan, kehutanan, minyak dan gas).

Uniknya dalam PP No. 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, untuk pendapatan pajak daerah, mayoritas diberikan kepada pemda yaitu PBB sebesar 90% dan BPHTB 80%. Demikian pula dengan pertambangan umum, kehutanan dan perikanan, jatah pemerintah daerah sebesar 80% dari total penerimaan dari sektor tersebut. Sementara untuk minyak dan gas mayoritas dikuasai oleh pemerintah pusat. Rinciannya, minyak sebesar 85% dan gas sebanyak 70%.

Entah argumentasi apa yang melandasi peraturan tersebut. Namun yang pasti pembagian seperti ini telah menimbulkan ketimpangan ekonomi antara daerah. Daerah-daerah yang potensi ekonominya besar termasuk kaya sumber daya alam, seperti daerah-daerah di Kalimantan Timur dan Riau menikmati pendapatan berlimpah. Sebaliknya, daerah-daerah miskin, seperti di NTT dan beberapa daerah di NTB, pendapatan yang mereka terima amat minim walaupun telah ditopang oleh dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi.

Selain besarnya alokasi anggaran untuk pegawai seperti yang disebutkan di atas, distribusi anggaran yang tidak proporsional itu diperparah dengan belanja pemerintah pusat dan daerah pada pos-pos yang tidak produktif lainnya seperti pembayaran utang dan bunganya. Akibatnya dana yang semestinya mengucur ke rakyat justru mengalir ke institusi asing yang menjadi pemilik modal.

Faktor lain yang juga signifikan menguras anggaran daerah adalah penyalahgunaan anggaran melalui korupsi dana APBD. Untuk yang terakhir ini, indikatornya mudah dibaca. Berjubelnya pejabat dan mantan pejabat daerah yang yang meringkuk di balik jeruji besi membuktikan hal itu. Meskipun tidak sedikit dari mereka yang lolos bahkan tidak tersentuh jerat hukum akibat bobroknya sistem peradilan negara ini. Padahal dari hasil pemeriksaan BPK atas keuangan daerah yang dilakukan setiap tahun, bertumpuk-tumpuk data indikasi penyalahgunaan anggaran oleh oknum pemerintah daerah.

Maraknya fenomena `calo anggaran' juga merupakan ekses dari buruknya sistem distribusi anggaran di negara ini. Selain DAU dan DAK, dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan departemen/non departemen pusat kedaerah merupakan sasaran bancakan korupsi. Pasalnya dana yang terakhir ini bersifat eksklusif dimana tidak setiap daerah mendapatkannya. Akibatnya dalam proses penganggaran dan pencairannya, banyak dipenuhi aroma KKN antara pemerintah pusat, pemda dan pihak legislatif.

Dengan demikian, daerah yang kaya bisa mendapatkan jatah lebih banyak sementara daerah yang betul-betul membutuhkan justru tidak kebagian. Kasus dihapusnya sejumlah daerah yang berhak atas Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Badan Anggaran DPR beberapa waktu lalu menjadi bukti kesekian kalinya akan boboroknya distribusi keuangan di negara ini.

Fenomena di atas jelas menunjukkan betapa buruknya sistem keuangan negara di negeri ini. Persoalan tersebut bukan semata disebabkan oleh prinsip dan implementasi otoda sehingga pemerintah harus kembali menganut sistem sentralistik sebagaimana pada pasa masa Orde Baru. Masalahnya bukan disitu. Sistem keuangan pemerintah di masa orde baru juga terbukti menimbulkan ketimpangan distribusi antara pusat dan daerah. Sementara saat ini ketimpangan tersebut beralih menjadi ketimpangan antar daerah yang kaya dan miskin. Akibatnya hak-hak pelayanan pemerintah terhadap penduduk di daerah tersebut terbengkalai. Dengan demikian masalah utamanya adalah kacaunya sistem kapitalisme yang menjadi fondasi sistem keuangan pemerintah negara ini.

Perspektif Islam

Hal di atas tentu berbeda dengan sistem keuangan pemerintah dalam Islam. Di dalam sistem tersebut, yang menjadi dasar adalah aqidah Islam. Dengan demikian, seluruh aturan-aturan mengenai keuangan negara bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, Ijma' Sahabat dan Qiyas.

Secara spesifik, beberapa prinsip sistem keuangan negara dalam sistem pemerintah Islam antara lain:

1. Pengeluaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dibagi menjadi pengeluaran yang bersifat persisten (terus menerus) yang tidak terikat oleh kondisi keuangan baitul mal dan pengeluaran yang menyesuaikan dengan kondisi keuangan baitul mal. Pada kategori pertama, jika terjadi kekurangan anggaran dari Baitul Mal, maka khalifah diperkenankan untuk menarik pajak dari rakyat yang kaya hingga dana untuk menutupi pengeluaran tersebut terpenuhi. Pos-pos tersebut yaitu: pelaksanaan jihad dan persiapannya, belanja industri militer, belanja untuk orang fakir miskin dan ibnu sabil; gaji tentara, hakim, guru, pegawai negara lainnya serta insentif orang-orang yang melakukan pelayanan kepada kaum muslim; pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan perlindungan umat yang menimbulkan dhahar jika tidak ditunaikan seperti sekolah, rumah sakit, jalan umum; serta belanja untuk bencana seperti bencana alam, kelaparan, serangan tiba-tiba dari musuh dan sebagainya. Pada pengeluaran kedua, disesuaikan dengan anggaran seperti pembangunan jalan alternatif yang keberadaannya tidak mendesak;

2. Seluruh pendapatan yang diperoleh dari pos-pos pemasukan baik yang diperoleh oleh pusat ataupun yang berasal dari daerah dihimpun dalam Baitul Mal. Dana-dana tersebut disimpan berdasarkan jenis sumbernya. Selanjutnya dana-dana tersebut didistribusikan berdasarkan peruntukannya masing-masing. Hal ini karena masing-masing sumber tersebut telah diatur penggunaannya oleh syara' sehingga tidak boleh dicampur dengan yang lain. Dana zakat misalnya, hanya boleh didistribusikan pada delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran. Sementara pendapatan dari harta milik umum dapat dibelanjakan sesuai dengan ijtihad khalifah;

3. Adapun distribusi keuangan ke tiap-tiap daerah-daerah disesuaikan dengan kebutuhan mereka dan bukan berdasarkan pendapatan mereka. Dengan demikian, bisa jadi suatu daerah yang pendapatannya kecil akan mendapatkan jatah yang lebih banyak dari daerah yang kaya karena kebutuhannya yang lebih besar. Distribusi tersebut juga tidak lagi memperhatikan apakah suatu daerah itu dihuni mayoritas muslim atau ahlu dzimmah, daerah yang baru yang ditaklukkan atau daerah lama, dan sebagainya;

4. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran, dibentuk biro perencanaan anggaran (diwan muwazanah al-ammah) yang menyusun anggaran berdasarkan pandangan khalifah, biro audit (diwan muhasabah al-ammah) yang mencatat dan menilai kondisi keuangan negara dari sisi anggaran dan realisasinya. Adapula biro pengawasan (diwan muraqabah) yang melakukan evaluasi dan pemeriksaan terhadap data keuangan negara, seluruh departemen dan biro negara beserta pegawainya yang berkaitan dengan urusan administrasi;

5. Lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya adalah sistem keuangan daulah khilafah merupakan satu kesatuan dan berhubungan erat dengan sistem lainnya. Penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran negara misalnya secara efektif dapat diberantas melalui penerapan sistem sanksi (`uqubat) yang kredibel. Dengan demikian, autaran-aturan tersebut disamping aturan lainnya mampu menghasilkan pengelolaan keuangan negara yang tidak hanya syar'I namun juga berkeadilan, transparan dan akuntabel.

sumber : situs resmi hti

Bukan Teroris Kalau Kamu Kulit Putih

Bukan Teroris Kalau Kamu Kulit Putih

Diposting pada Ahad, 24-07-2011 | 23:26:49 WIB
Duarrr, ada bom meletus lagi. Belum hilang berita bom itu, datang lagi kabar penembakan massal, masih di satu lokasi (negara_red). Norwegia, tiba-tiba nama negara itu jadi headline media massa di hampir seluruh dunia moderen (yang sudah terdapat listrik dan internet).

Pendapat pertama yang muncul adalah: ini pasti ulah teroris, MUSLIM. Saya sendiri, pertama mendengar berita ledakan itu tidak begitu "nafsu" mengulik beritanya. Hanya setelah berita kedua, yakni penembakan yang menewaskan 80 orang, saya jadi tertarik mencari tahu lebih jauh. Itu juga gara-gara Time Line Twitter saya dijejali kabar seperti itu.

Sebagai pegiat media yang kontinyu mengikuti perkembangan berita soal "teroris", serta perkembangan Islam di Eropa. Pertama saya agak heran, karena setahu saya penetrasi gerakan Al Qaidah di Norwegia tidak begitu kentara, juga perkembangan Islamnya biasa-biasa saja, tidak seperti di beberapa negara Eropa lainnya yang sudah secara terbuka, ada yang mendeklarasikan untuk menegakkan Syariah Islam.

Begitu pun dengan beberapa pendapat pengamat "terorisme" internasional lainnya. Mereka tidak yakin gerakan jihad global di balik serangan di Norwegia, seperti yang saya baca di situs jaringan Associated Press.

Tapi, seperti biasanya, di forum-forum jihad internasional sudah ada beberapa anggota yang memuji-muji serangan tersebut, beberapa bahkan mengklaim itu dilakukan sebuah gerakan jihad.

Di Indonesia, serentak media-media melansir berita aksi "terorisme" ini. Dan wacana yang disajikan pun masih seperti yang lalu-lalu, bahwa tudingan pertama diarahkan kepada gerakan jihad.

Namun, pelaku serangan itu langsung tertangkap hari itu juga, dalam investigasinya di depan penyidik, pelaku bernama Anders Behring Breivik ini mengaku sebagai seorang "KRISTEN FUNDAMENTALIS". Penonton pun kecewa, mereka sudah terlanjur berharap aksi "genosida kecil" ini dilakukan orang Islam.

Saya kemudian memantau komentar-komentar di beberapa media online. Lho koq sepi? Padahal biasanya Islam dimaki-maki jika ada berita terorisme. Karena pelaku di Norwegia ini seorang Kristen Militan, koq komentar beritanya sepi, apa mungkin di sensor oleh administrator websitenya??? Hanya Allah dan pimpinan redaksi medianya yang tahu.

Bahkan, nyata-nyata berita di detik ini di tutup fasilitas komentarnya http://www.detiknews.com/read/2011/07/23/154516/1687839/1148/teror-di-norwegia-tersangka-seorang-kristen-fundamentalis?991101mainnews . Huh, ga fair!

Di dunia Twitter juga seperti itu, biasanya gerombolan JIL (Jaringan Iblis Laknat) itu akan memaki habis agama Islam dan Jihad apabila ada berita terorisme. Tapi kali ini sepi ocehan mereka, paling pol hanya komentar "Semua Agama Tidak Mengajarkan Kekerasan".

Beberapa waktu lalu, saya menulis opini ringan yang dimuat di website ini (muslimdaily.net_red), soal Teroris dan OPM. sekarang terbukti sudah, jika seseorang melakukan pembunuhan massal, baik dengan bom atau penembakan dan dia seorang Muslim, maka gelar terhormat yang ia sandang adalah TERORIS. Tapi kalau pelaku pembunuhan massal adalah seorang Kristen atau kafir atau agama selain Islam, maka gelarnya hanya MADMAN alias orang gila.

GILA!
http://www.muslimdaily.net/opini/7927/bukan-teroris-kalau-kamu-kulit-putih

Seruan Tegaknya Khilafah dan Jihad Menggema Di Seminar Pembebasan Palestina

Seruan Tegaknya Khilafah dan Jihad Menggema Di Seminar Pembebasan Palestina

Hari sabtu kemarin, 23/7, Al Aqsha Working Group mengadakan perhelatan besar tentang Palestina bertajuk ” Acara yang diselenggarakan di gedung LIPI Jakarta ini menghadirkan beberapa pembicara dari Mancanegara, diantaranya Prof. Mahmoud Shiyam (Mantan Imam Besar Masjid Al Aqsa). DR. Hani Ar Rafiq Al Awad (Dosen Univ Islam Gaza).

Prof. Ali B. Panda (The State University of Mindanao, Philipinnes). DR. Ahmed Ali Bangga (Dosen IIUM Malaysia), dan Syekh Musthafa Al Qonoo (Penasehat Hamas dan PM. Palestina.) Sedangkan salah seorang perwakilan dari Indonesia diwakili KH. Yakhsyallah Mansur M.A (Ma’had Al Fatah).

Dalam kesempatan pertamanya, Prof. Mahmoud Shiyam, menyatakan bahwa apa yang dilakukan Yahudi terhadap bangsa Palestina saat ini, merupakan bentuk imperialisme Yahudi. Ia menekankan kepada umat muslim untuk segera bersatu dan bertawakal kepada Allah untuk bahu-membahu membebaskan tanah Palestina. “Karena Insya Allah permasalahan Palestina tidak akan selesai tanpa izin Allah.” ujarnya.

Sedangkan dalam kesempatan yang sama, DR. Hani Ar Rafiq Al Awad, meminta agar umat muslim menjadikan pembebasan Al Aqsha sebagai prioritas utama. Ia menyitir sebuah hadis yang mengatakan bahwa satu dari tiga mesjid Istimewa dalam Islam adalah mesjid Al Aqsa.

Ia merangsang kepekaan umat Islam untuk mau berkaca kepada sejarah bahwa Al Aqsa terus memanggil-manggil kita untuk dibebaskan, “Seperti ia pernah memanggil Shalahuddin Al Ayyubi,” ungkapnya.

Meski Palestina terus dibombardir Zionis Israel dan umat muslim senantiasa hidup dalam kondisi memprihatinkan, ia membangkitkan rasa optimisme akan datangnya pertolongan Allah untuk mengembalikkan Al Quds kepada kaum muslimin.

“Wahai saudaraku, berbahagia dan optimislah dengan pertolongan Allah yang akan memberikan Al Quds kepada kaum muslimin sesuai dengan janjiNya.” katanya, diikuti pekikan takbir oleh seluruh peserta.

Oleh karena itu, menurutnya, langkah pertama untuk membebaskan Al Aqsa adalah dengan jalan mendirikan Khilafah Islamiyah sebagai wadah persatuan umat muslim.

“Dan Khilafah tidak akan terjadi tanpa kita kembali kepada Al Qur’an dan membiarkan terjadinya perpecahan.”

Hal inipun diamini oleh DR. Ahmad Ali Bangga. Dengan membawakan tema,” dosen asal Sudan itu menekankan betapa kebtuhan khilafah sudah sangat mendesak. Tegaknya Khilafah menjadi kewajiban bagi Umat muslim, selain pembebasan Al Quds.

Namun sayang, dalam pandangannya, kondisi umat muslim saat ini banyak terpecah-pecah. Ia menuding ashobiyyah antara kelompok Islam menjadi pemicu dibalik ini semua.

“Padahal dalam berbagai ayat, Allah menyerukan kita untuk bersatu.” Tandasnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi kelompok kafir yang justru bersatu dalam melawan kaum muslimin,

“Kenyataannya kaum kafir bersatu, sedangkan umat muslim berpecah belah karena masing-masing bangga kepada kelompoknya sendiri-sendiri,” simpulnya kecewa.

Dan sejarah Islam mencatat perpecahan umat Islam, terjadi tidak lepas dari tangan-tangan Yahudi dalam rangka memperlemah umat Islam. Karenanya, Master dari Universitas Islam Omdurman, Sudan, ini memberikan tiga jalan solusi agar umat muslim bersatu.

“Pertama Iman kepada Allah, kedua berhijrah, dan ketiga Jihad.” Pungkasnya. (eramuslim.com, 25/7/2011)