Friday, June 17, 2011

Siapa yang Membahayakan NKRI ?

Siapa yang Membahayakan NKRI ?


Oleh: Harits Abu Ulya

(Pemerhati Kontra-terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Dalam sebuah wawancara Ansyaad Mbai dengan situs Kristen Reformata (di Posting 07 Juni 2011), kesekian kalinya Mbai mencoba menjelaskan cara pandangnya terhadap persoalan radikalisme dan terorisme.Di kota Makasar-Sulsel BNPT juga menggelar seminar nasional bertajuk Ayo Lawan Terorisme di Balai Prajurit M Yusuf, Makassar, Rabu (25 Mei 2011), tampil sebagai pemateri Kepala BNPT Ansyaad Mbai, Perwakilan Kedutaan Australia Andrew Barner, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Perwakilan Kadin Indonesia Wibawanto Nugroho, Ketua Komisi I DPR RI Luthfi Hasan Ishak dan dipandu guru besar UIN Prof Dr Hamdan Juhannis.

Mbai di hadapan ratusan remaja dan mahasiswa juga mengulang penjelasan yang sama seperti di berbagai forum sebelumnya. Penulis melihatnya wajar, ia harus bicara dimana-mana dengan konten seperti itu karena ia bekerja dan dibayar untuk itu setelah pensiun dari Polri. Tapi menjadi tidak wajar jika kita menguji pemikiran (doktrin) Mbai terkait persoalan terorisme dan akar masalahnya. Dalam wawancaranya dengan situs Reformata minimal ada beberapa point doktrin yang bisa kita uji kesahihannya.

Pertama; menurut Mbai cir-ciri radikalisme (mengutip pandangan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam), antara lain bahwa kelompok itu suka mengkafirkan orang. Jangankan yang berbeda agama, yang berbeda saja, dalam tata ibadah misalnya, itu sudah dianggapnya kafir. Kedua, mereka selalu mengatasnamakan Tuhan untuk menghukum yang lain. Tujuan gerakan mereka adalah ingin mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Ganti ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka, mengganti NKRI dengan khilafah. Ini ancaman bagi NKRI, karena itu Presiden selalu mengatakan, negara tidak boleh kalah.

Cara main kutip tanpa memperhatikan kredibilitas buku adalah sangat berbahaya. Lebih-lebih referensinya buku “Ilusi Negara Islam” terbitan LibForAll Foundation atau kerja bareng The Wahid Institut dengan Ma’arif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika yang diluncurkan 16 Mei 2009 banyak menuai kritikan. Empat peneliti asal Yogyakarta, Zuli Qodir, Adur Rozaki, Laode Arham, Nur khalik Ridwan, memprotes isi buku “Ilusi Negara Islam” tersebut. Buku itu dinilai tidak sesuai dengan yang diteliti dan isinya mengadu domba umat Islam. Aneh bukan? Buku yang memuat hasil penelitian mereka (4 orang di atas), tapi justru ketika jadi buku, isinya jauh dari apa yang ditelitinya. Isi dari buku telah menyimpang dari yang mereka teliti selain mereka juga tidak dilibatkan dalam proses penerbitan. Dan tujuan penerbitan dinilai telah bergeser dari riset yang semula bertujuan akademik kepada kepentingan politis. Dan ini diperkuat hampir semua peneliti daerah yang namanya tercantum dalam buku tersebut tidak pernah diajak untuk berdialog menganalisis temuannya dalam kerangka laporan hasil penelitian yang utuh. Dicatutnya para peniliti daerah hanya untuk melegitimasi kepentingan politis pihak asing. Sebagaimana dilakukan Holland Taylor dari Lib For All, Amerika Serikat yang begitu dominan bekerja dalam kepentingan riset dan penerbitan buku itu.

Serasa lebih aneh lagi dengan buku tersebut ketika mencantumkan Gus Dur menjadi editornya. Padahal, pada saat itu Gus Dur terganggu penglihatannya sehingga tidak mungkin Gus Dur bisa mengeditnya, kebablasan bukan?.

Penulis sendiri pernah menjadi salah satu penanggap dalam diskusi terbatas yang dilakukan Litbang Depag Pusat (Tahun 2010), membahas buku “Ilusi Negara Islam” dengan menghadirkan salah satu narasumbernya adalah Direktur The Wahid Institute. Banyak perserta diskusi mengkritisi dan tidak puas bahkan meragukan kredibilitas dan intelektualitas orang-orang The Wahid Institute jika mengacu kepada produk buku “Ilusi Negara Islam”. Sebuah buku yang substansinya sarat adu domba dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buku yang cacat secara ilmiah.

Nah, buku semacam inilah yang dijadikan referensi Ansyaad Mbai untuk menjelaskan doktrin-doktrinnya siapakah yang dianggap radikal atau bukan. Dengan sebuah parameter yang gegabah dan sarat dengan cara pandang yang tendensius. Jangan-jangan Mbai tidak memahami terminologi Radikal, Kafir, dan Ideologi? Meminjam istilah orang jawa: dengan buku “ilusi Negara Islam” Mbai “nggepuk nyilih tangan” (mukul pinjam tangan).

Bagi Mbai, seperti yang pernah ia ungkapkan juga di LokaKarya Sespim 27 Oktober 2009, pada umumnya jika seorang mempunyai persepsi (mindset) tentang adanya kondisi yang menindas secara terus menerus oleh Barat pimpinan AS terhadap Islam. Dan kemudian menganggap bahwa kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah maka cukup seorang bisa dilabeli Radikal bahkan teroris. Jika begini, berapa banyak para intelektual dan para pengamat politik yang radikal dan teroris ? Apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban dalam Islam “amar makruf nahi munkar”, berapa juta orang yang radikal jika mereka dengan beraninya mengkritisi setiap kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa atau oleh negara imperialis semacam Amerika? Rasanya naïf sekali menjadi manusia yang sempurna karena akalnya, kemudian membeku seraya melipat tangan tidak berbuat apa-apa untuk merubah kedzaliman yang terjadi. Bahkan terlihat lebay sekali memberikan label radikal jika ada seorang mengkafirkan orang lain karena berbeda dalam masalah ibadahnya. Jika kita melihat realitas; betulkah demikian? Apakah ada diantara kita hanya karena perbedaan dalam wilayah ibadah (furu’iyah) kemudian menjustice dengan sebutan kafir. Jangan-jangan ini hanya “ngibul”nya Mbai? Karena umat Islam mayoritas “melek akidah dan fiqh”, hanya layak seorang disebut kafir atau murtad jika mereka sudah menyimpang dalam masalah ushuli (I’tiqod) bukan masalah furu’iyah (cabang-cabang ritual ibadah). Lain kali Mbai, harus membuktikan ucapannya dan contohnya. Sekalipun ada, penulis yakin itu adalah orang-orang awam jahil yang baru belajar Islam.

Kemudian, jika orang-orang yang dengan mindset-nya layak dicap radikal-teroris membahayakan NKRI maka penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI atau yang jelas-jelas telah mengoyak NKRI? Orang-orang yang diduga radikal-teroris (dengan mindset versi Ansyaad Mbai) atau Seorang Presiden RI yang mengeluarkan keputusan politik “referendum Timor-timur” yang berakhir tragis lepasnya Timor-timur dari pangkuan NKRI? Atau keputusan Presiden RI dengan MoU Helsinky yang memberikan jalan lempang bangunan Federalisme Aceh? Penulis yakin, analisa dan data intelijen sedemikian rupa telah membaca arah perjuangan politik GAM dengan memanfaatkan MoU, dengan isu demokratisasi dan dukungan LSM-LSM komprador akan mudah Aceh menuju panggung referendum dan sangat mungkin federalism bisa diraih. Dalam konteks Indonesia yang masuk ancaman (terorisme) adalah kelompok yang mengusung semangat etno-nasionalism atau separatism seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan RMS selain kelompok yang dianggap memiliki visi Negara Islam (daulah Islam). Lantas pertanyaannya adalah; kenapa BNPT dengan Densus 88-nya tidak kerja keras menangkap memberangus mereka seperti halnya para aktifis yang disangka atau dituduh teroris? Berapa orang OPM yang ditangkap Densus-88? Sementara hingga saat ini lebih dari 600 orang aktifis Islam dalam bui rezim karena dikaitkan dengan “terorisme”.

Lantas siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI? Jika kita telisik banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kedaulatan NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong. Lihatlah; Pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Pemerintah tahun 2008 melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono saat itu mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN. Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan. Subsidi dicabut; bagian dari agenda penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara bertahap subsidi BBM yang telah dan akan dilakukan. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dll. SDA Indonesia dikangkangi Asing, di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Utang luar negeri; total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 mencapai Rp 1.697,44 triliun.

Dan dampak dari perkara diatas bisa kita lihat; 1.Kemiskinan; Akibat penjajahan baru, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). 2.Beban berat utang luar negeri; Dalam APBN 2011, pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247 triliun (Rp 116,4 triliun hanya untuk membayar bunga saja) (Detikfinance.com, 9/1/2011). 3.Kekayaan lebih banyak dinikmati asing; Penerimaan pajak, deviden dan royalti Pemerintah dari PT Freeport selama 2010 (sampai bulan September) adalah sebesar Rp 11,8 triliun (Kompas.com, 14/12/2010). Berapa penghasilan PT Freeport? Dengan saham 91,36%, penghasilan PT Freeport kira-kira Rp 106,2 triliun (Rp 11,8 triliun x 9). Hal yang serupa juga terjadi pada pengeloaan SDA migas dan tambang lainnya. 4.Kesenjangan; contoh di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT Exxon Mobile sejak 1978. Namun, Aceh menjadi daerah termiskin ke-4 di Indonesia dimana 28,5 % penduduknya miskin.

Dan kita tidak boleh amnesia (hilang ingatan), bahwa penjarahan kekayaan negeri ini bisa berjalan mulus diantaranya karena UU. Dan ini melibatkan para politikus yang di DPR dengan peran legislasinya. Padahal masing-masing undang-undang tersebut, bila dianalisis, berdampak pada kehancuran dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan; meningkatkan jumlah kemiskinan struktural, pengangguran, keegoisan, kebodohan, kematian, kelaparan dan chaos.

Sekali lagi, siapa yang membahayakan NKRI dengan segenap tumpah darah dan jiwa raga yang menghuninya?

Kedua; menurut Mbai, Dulu radikalisme ia anggap berkembang di pesantren atau di masjid. Ternyata keliru. Sekarang mereka justru tumbuh subur di perguruan tinggi. Bukan sekadar perguruan tinggi, tapi perguruan tinggi favorit. Bukan di jurusan sosial, tapi jurusan eksakta dan science.

Sadarkah kita, jika selama ini Ansyaad dkk telah melihat pesantren dan masjid sedemikian buruk? Bahkan sudah menjustice, tapi kemudian dianggap keliru. Kira-kira selama dalam payung “kaca mata” yang salah itu apa yang dilakukan oleh razim terhadap pesantren dan masjid? Sangat mungkin aparat intelijen yang dibayar dengan uang rakyat pekerjaanya adalah memata-matai rakyat yang mayoritas Muslim di negeri ini. Yang menjadi pertanyaan menarik, kenapa “kebangkitan” dan “kesadaran politik” begitu suburnya di kalangan kaum intelektual? Simpel jawabannya; mereka bukan orang awam yang bisa disumbat mulut, mata dan telinganya. Tapi kesadaran seperti ini bagi seorang Mbai menjadi bermasalah dan berbahaya bahkan layak dicap teroris atau minimal masih satu “linkmind” dengan kelompok radikal-teroris hanya karena ada kesamaan cara pandang terkait kondisi sosial politik baik dalam kontek global, regional maupun lokal.

Maka sekarang bisa dipastikan; kampus menjadi tempat favorit operasi intelijen BNPT dengan bendera Deradikalisasi. Apa bedanya dengan razim Orde baru kalau sikap penguasa melalui BNPT-nya seperti itu?

Ketiga; menurut Mbai, Dari hasil pemeriksaan kepada kelompok ini selama 10 tahun terakhir, jelas tujuan mereka adalah Negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam. Jadi sama dan sebangun dengan NII (Negara Islam Indonesia).

Betulkah mereka yang melakukan aksi “terorisme” hendak mendirikan negara Islam atau Khilafah Islam? Apakah membangun negara itu logikanya sama seperti membangun Mall, rumah sakit, gedung bioskop atau bangunan fisik lainnya? Jika hendak membangun negara Islam maka perlu bangunan dan infrastruktur itu dihancurkan. Atau dengan tindakan teror itu dengan mudahnya akan melahirkan ditrush terhadap penguasa dan kekuasaan akan begitu mudahnya beralih ke tangan mereka. Apalagi jika diukur dengan manhaj Kenabian dalam mendirikan negara, Rasulullah SAW tidak pernah mencontohkan “terror” menjadi jalan (metode) menegakkan negara.

Maka kesimpulan para “teroris” tujuannya adalah negara Islam perlu dikritisi, karena ada logika yang tidak nyambung. Apalagi jika diukur dengan timbangan metode Rasulullah SAW. Lagian masyarakat juga banyak yang tidak paham bagaimana pihak aparat kerap melakukan intimidasi mental dan fisik (siksaan) untuk membuat sebuah pengakuan yang akan dituangkan dalam BAP.

Menurut penulis, ini ada perang opini dan propaganda dalam terminologi jihad, negara Islam, dan syariah. Hingga sangking konyolnya, perampokan CIMB (tindak pidana criminal)-pun diungkap bahwa motif perampokan adalah mendirikan negara Islam. Sebuah lompatan konklusi yang sulit diterima nalar sehat. Adakah sebuah negara bisa dibangun dengan hasil rampokan 600 juta rupiah? Negara “antah barantah” mungkin.

Keempat; menurut Mbai, perlu mencontoh Malasyia dan Singapura untuk membuat perangkat hukum. Menurut Mbai di Malaysia keras sekali. Teroris dan radikalis tidak memiliki ruang gerak. Mahathir, mantan perdana menteri Malaysia tegas sekali. Semua ceramah, dakwah atau apa pun yang ditengarai menyebarkan permusuhan dan kebencian, itu ditangkap dan dimonitor

Ini tidak lebih sebagai ikhtiyar represif ala demokrasi. Jika ada regulasi yang meng-copy paste ala Malasyia atau Singaupura bisa jadi seorang nanti ceramah atau khutbah dan dimata-matai kemudian disimpulkan secara subyektif bahwa dia menghasut atau dianggap menyebar kebencian, maka bisa ditangkap dan dikenakan tuduhan terorisme karena dianggap satu rangkaian.

Dan menurut penulis, ini adalah cara pandang dan upaya paranoid dalam isu radikalisme dan terorisme. Sebuah pilihan solusi terhadap hilir dan abai pada persoalan hulunya. Sangat mungkin dengan munculnya regulasi yang sangat represif akan semakin menumbuhkan radikalisme seperti halnya hari ini. Dengan adanya lembaga semacam BNPT dan tindakan represif Densus88, “terorisme” bukan mengecil namun makin meng-eskalasi.

Kelima; menurut Mbai, penanganan radikalisme dan terorisme perlu upaya merubah prinsip teologisnya. Konsep Islam sebagai rahmat bagi semesta itu perlu dikedepankan terus.

Penulis tidak pernah mendengar dan membaca konsep Islam rahmatan versi Mbai itu seperti apa, dan bagaimana? Bisa jadi seorang Mbai belum paham atau tidak paham apa yang dimaksudkan Islam Rahmatan dan bagaimana mewujudkannya?

Apakah maksud Islam Rahmatan itu kehidupan kaum Muslim yang hanya mengambil aspek ritual dan membuang aspek politiknya? Apakah seorang Ansyaad Mbai pernah mengkaji tuntas al Qur’an dan Sunnah Rasul SAW hingga mendapatkan gambaran yang holistik dan integral tentang Islam? Islam itu Way of life, tapi bisa jadi Way of Life-nya seorang Ansyaad sebagai seorang muslim masih seperti orang buta yang meraba gajah dan hanya ketemu ekor dan pantatnya kemudian yakin sekali gajah itu ya seperti yang ia raba.

Sayang sekali, di banyak kesempatan seorang Mbai jarang membuka ruang dialog secara fair dan gayeng. Tapi yang terjadi sebaliknya, datang dan mengumbar “doktrin” lantas pergi. Lantas siapa sebenarnya yang menebar kebencian dan hasutan? Siapa yang menebar salah saham? Jika demikian terus adanya, alih-alih Ansyaad Mbai melakukan de-radikalisasi tapi justru ia melakukan radikalisasi terhadap umat Islam.

Waspadalah wahai umat Islam, siang dan malam orang-orang munafik mempersembahkan pengorbanan mereka demi umat ini tidak kembali kepada seruan Allah SWt dan Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bishowab

Saturday, May 14, 2011

Menggugat Hari Wafat Isa Almasih alias Hari Ulang Tahun Kematian Tuhan

Menggugat Hari Wafat Isa Almasih alias Hari Ulang Tahun Kematian Tuhan


Jum’at 22 April 2011 adalah hari libur nasional bertepatan dengan hari raya
umat kristiani, yaitu hari kematian Yesus Kristus alias hari wafat Isa Almasih.

Bagi umat Islam, istilah hari wafat Isa Almasih ini kurang tepat, karena menurut
aqidah Islam, Nabi Isa alaihissalam tidak mati dan tidak pula disalib. Agama
yang meyakini kematian Yesus di tiang salib adalah Kristen. Maka istilah yang
lebih tepat adalah Hari Kematian Yesus Kristus. Karena dalam pandangan Kristen,
Yesus adalah salah satu oknum Tuhan, maka istilah yang lebih pas lagi adalah
“Hari Ulang Tahun Kematian Tuhan Kristiani.” Di kalangan Kristen, hari
kematian Yesus itu masyhur dengan sebutan Jum’at Agung.

Ulang tahun kematian Yesus di tiang salib adalah salah satu inti iman Kristiani.
Dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli (Credo Nicaeano-Constantinopolitanum), umat
Kristen memakai tiga perkataan untuk menekankan keyakinan akan kematian Yesus:
“Dan kepada Yesus Kristus, Anaknya yang tunggal, Tuhan kita... disalibkan,
mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut.”

Sedemikian pentingnya makna salib dalam iman kristiani, sehingga tanpa adanya
penyaliban Yesus, maka gugurlah keyakinan Kristen tentang dosa waris, penebusan
dosa, Trinitas, dan ketuhanan Yesus.

Terkait dengan Hari Ulang Tahun Kematian Yesus, beberapa waktu lalu penulis
mendapati buku berjudul Memfitnah Yesus karya Dr Erwin Lutzer di toko buku
Gramedia. Buku setebal 167 halaman yang diterbitkan oleh Light Publishing
Jakarta ini adalah terjemahan dari edisi asli dalam bahasa Inggris Slandering
Jesus.

Secara khusus, buku apologetika kristiani ini didedikasikan untuk memerangi
berbagai pandangan teologi yang menentang doktrin Kristen tentang penyaliban,
kematian dan ketuhanan Yesus Kristus. Dengan telak, Erwin menuding paham-paham
tentang Yesus yang bertolak belakang dengan Kristen sebagai kebohongan.

Dalam bab II, secara khusus Erwin menghantam Al-Qur'an sebagai kebohongan,
karena membantah penyaliban Yesus. Dalam judul “Kebohongan 2: Yesus Tidak
Disalibkan.” Di bawah judul tersebut, ia mencantumkan terjemah Al-Qur'an surat
An-Nisa’ 157” (hlm. 39).

Menurut Erwin, kisah Al-Qur'an tentang kegagalan penyaliban Yesus adalah
kebohongan. Alasannya, jika Tuhan menggagalkan penyaliban dengan membuat orang
Yahudi salah tangkap, berarti Tuhan dalam Al-Qur'an bersalah atas tindak
penipuan. Erwin menulis:

“Menurut Al-Qur'an, orang-orang Yahudi tidak berhasil membunuh Yesus, yang
disebut sebagai rasul Tuhan. Beberapa penerjemah Muslim mengatakan bahwa
orang-orang Yahudi membunuh seseorang yang dibuat Yesus tampak seperti Yesus.
Tetapi hal ini akan membuat Tuhan bersalah atas penipuan dan ilusi. Mengapa
Tuhan mau ikut serta dalam suatu tindakan yang menipu dan tidak jujur dengan
menciptakan seseorang yang tampak seperti Yesus dan membuat orang yang tidak
bersalah ini mati sebagai ganti Yesus? Tuhan pastinya bersalah karena tindak
penipuan, memimpin orang-orang untuk percaya bahwa yang disalibkan itu adalah
Yesus padahal kenyataannya itu adalah orang lain.” (hlm. 41).

Ayat Al-Qur'an yang digugat DR Erwin adalah sbb: “Dan karena kekafiran mereka
(terhadap Isa) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina),
dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula)
menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa
bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan)
Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah
Isa” (Qs An-Nisa’ 157).

Menurut ayat tersebut, orang-orang kafir tidak berhasil menangkap dan menyalib
Nabi Isa, apalagi sampai membunuhnya. Karena yang mereka tangkap lalu mereka
salibkan ialah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa.

...laporan penyaliban dalam Bibel penuh kontradiktif dan keraguan...
Para mufassir memahamkan surat An-Nisa’ 157 bahwa Nabi Isa sama sekali tidak
disalib dan dibunuh, karena yang disalib dan dibunuh adalah orang lain yang
diserupakan dengan Nabi Isa. Prof Dr H Mahmud Yunus dalam Tafsir Al-Qur’anul
Karim menerjemahkan ayat tersebut, “Sebenarnya Isa itu bukan mereka bunuh atau
mereka salibkan, tetapi yang mereka salib itu, adalah orang yang serupa dengan
Isa, yang telah dibuat samar” (hlm. 94). Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
menyatakan, “Syubbiha artinya disamarkan. Yaitu diadakan orang lain, lalu
ditimbulkan sangka dalam hati orang yang hendak membunuh itu bahwa orang lain
itulah Isa” (Juz 6 hlm. 21).

Penyerupaan wajah orang lain menjadi Yesus sehingga proses penyaliban menjadi
salah alamat tersebut, juga didukung data-data dalam Bibel bahwa:

Penangkapan dilakukan pada waktu gelap (Yohanes 18:3).
Salah tangkap menjadi semakin mungkin, karena Yesus punya mukjizat dapat merubah
wajah (Matius 17:2).
Para tentara yang melakukan penangkapan tidak ada yang mengenal wajah Yesus,
sehingga mereka harus menyewa Yudas untuk menunjukkan siapa Yesus, dengan upah
30 keping uang perak (Matius 26:15).
KISAH PENYALIBAN YESUS PATUT DIRAGUKAN

Pernyataan Al-Qur'an bahwa orang-orang berselisih paham dan ragu-ragu tentang
pembunuhan Isa adalah kebenaran yang tak dapat disangkal. Buktinya, laporan
penyaliban dalam Bibel penuh kontradiktif dan keraguan, misalnya soal waktu
penyaliban.

Menurut Injil Markus 15:25, Yesus disalib pada jam 9: “Hari jam sembilan
ketika ia (Yesus) disalibkan.”
Padahal menurut Injil Yohanes 19:14, pada jam 12 Yesus masih belum disalib:
“Hari itu ialah hari persiapan Paskah, kira-kira jam dua belas.”
Sementara kedua Injil lainnya, yaitu Matius dan Lukas abstain tidak menulis
apapun tentang waktu penyaliban.
Kontradiksi penyaliban Yesus masih banyak lagi, bisa dibaca dalam buku Dokumen
Pemalsuan Alkitab terbitan Victory Press.

Penyelamatan terhadap Nabi Isa dari penyaliban adalah tindakan yang sangat tepat
dan terhormat. Bukankah Bibel sendiri mengakui bahwa orang yang mati di tiang
salib adalah manusia terkutuk:

“…Sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu
salib!” (Galatia 3: 13).

Penyelamatan Tuhan dalam terhadap Nabi Isa dari penyaliban orang-orang kafir
adalah tindakan yang Maha Tepat, bukan tipuan seperti tudingan Erwin Lutzer.

“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka
itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (Qs. Ali Imran 54).

Maka sungguh aneh tudingan Dr Erwin Lutzer bahwa Tuhan dalam Al-Qur'an melakukan
kesalahan dan penipuan. Rupanya Erwin lebih memihak orang kafir yang
menginginkan kematian Nabi Isa dengan cara yang terkutuk.

LAPORAN BIBEL TENTANG PENYALIBAN YESUS DIRAGUKAN

Setelah menuding Al-Qur'an berbohong soal keselamatan Yesus dari penyaliban, Dr
Erwin Lutzer, mencoba membandingkan validitas Al-Qur'an dan Bibel. Menurutnya,
Bibel lebih dipercaya karena Injil saksi mata sehingga laporannya lebih akurat
ketimbang Al-Qur'an yang ditulis lebih dari 500 tahun kemudian oleh seorang
Muhammad yang bukan saksi mata. Erwin menulis:

“Kitab Injil melaporkan mengenai kematian Yesus dengan kesadaran akan keadaan
yang sebenarnya dan secara mendetail yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
merupakan saksi mata dari peristiwa tersebut. Selain para tentara Romawi,
banyak orang yang berkumpul untuk melihat apa yang sedang terjadi saat itu”
(hlm. 44).

Dalam pernyataan tersebut, Lutzer berdusta terhadap para murid Yesus, karena
para murid Yesus bukanlah saksi mata penyaliban. Terbukti, menurut Bibel, ketika
Yesus dibekuk tentara kafir, semua muridnya lari tunggang-langgang meninggalkan
Yesus (Markus 14: 46-50).

...Lutzer berdusta terhadap para murid Yesus, karena para murid Yesus bukanlah
saksi mata penyaliban...
Bahkan ketika dihadapkan di pengadilan, Yesus sangat membutuhkan pembelaan para
muridnya. Tetapi semua murid Yesus tak satupun yang melakukan pembelaan. bahkan
Petrus, murid kesayangan Yesus, justru menyangkal dan mengaku tak kenal dengan
Yesus (Markus 14: 68-71).

Para penulis keempat Injil pun tak satupun yang menyaksikan peristiwa dengan
mata kepalanya. Semua penulis Injil ini bukan murid Yesus, bahkan Injil Markus
sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti siapa pengarangnya, karena ia
tidak menperkenalkan diri dalam Injil yang ditulisnya. Perhatikan komentar
Lembaga Biblika Indonesia dalam Tafsir Injil Markus berikut:

“Pengarang Injil Markus adalah murid Petrus dari Roma, yang menyebutnya
'Markus, anakku'” (I Petrus 5: 13). Belum jelas apakah Markus ini sama dengan
Yohanes Markus dari Yerusalem, anak Maria, yang tempatnya digunakan untuk
berkumpul dan berdoa jemaat Kristen pertama (Kisah Para Rasul 12: 12).

Tanpa memperkenalkan diri, Markus memulai penulisannya: “Inilah permulaan
Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.” Dalam karyanya, Markus tidak
menonjolkan diri. Juga tidak menyebut nama sendiri atau menambahkan sesuatu yang
dapat menyingkapkan kepribadiannya” (hlm. 9-10).

Jika pengarang Injil itu masih misterius, maka mempercayai karya tulisnya
sebagai dasar keimanan adalah kepercayaan yang misterius.

...Jika para penulis Injil itu adalah saksi mata terjadinya penyaliban Yesus,
maka bisa dipastikan kontradiksi kronologis itu tidak perlu terjadi...
KONTRADIKSI CERITA PENYALIBAN DALAM BIBEL

Kesimpulan bahwa para penulis Injil bukan saksi mata cerita penyaliban dalam
Bibel, semakin diperkuat dengan banyaknya kontradiksi kronologis kisah
penyaliban Yesus, misalnya:

a. Tulisan apa yang ada di atas kayu salib?

Injil Matius 27:37 melaporkan bahwa di atas salib Yesus terpampang tulisan
“Inilah Yesus Raja orang Yahudi”. Sedangkan Injil Markus 15: 26 melaporkan
bahwa tulisan itu berbunyi “Raja orang Yahudi”. Lukas 23:38 membaca bahwa
tulisan di salib Yesus adalah “Inilah raja orang Yahudi”. Sangat berbeda
dengan laporan Yohanes 19:19 “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi”. Ini
adalah pertentangan yang nyata.

b. Berapa orang yang mencaci maki Yesus di atas kayu salib?

Menurut Matius 27:44 dan Markus 15: 32, ada dua orang yang mencaci maki Yesus di
atas kayu salib. Sedangkan Lukas 3:39 me¬la¬por¬¬kan bahwa yang mencaci
Yesus hanya satu orang saja. Jelas kontradiksi, bukan?

c. Apakah Yesus mengecap anggur bercampur empedu?

Matius 27: 33-34 melaporkan bahwa Yesus mengecapnya. Sebaliknya, Markus 15: 23
melaporkan bahwa di atas tiang salib Yesus malah menolak anggur. Bukankah ini
sangat kontradiktif?

d. Apakah teriakan Yesus waktu disalib?

Menurut Matius 27: 46-52 dan Markus 15: 34-38, sebelum mati Yesus berteriak
“Eli, Eli, lama sabakhtani”, sedangkan Lukas 23: 45-46 mengatakan bahwa
teriakan Yesus itu adalah “Ya Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaku”.
Ini pertentangan ayat yang tidak bisa ditemukan, bukan??

e. Siapakah yang menurunkan tubuh Yesus dari tiang salib?

Matius 27: 59-60, Markus 15: 45-46 dan Lukas 23: 53 melaporkan bahwa yang
menurunkan mayat Yesus dari tiang salib adalah Yusuf Arimatea sendiri. Tetapi
Yohanes 19:38-42 membantah dan melapor¬kan bahwa yang menurunkan adalah Yusuf
Arimatea dan Nicodemus. Ini jelas dua versi kisah yang saling berbeda!!

Jika para penulis Injil itu adalah saksi mata terjadinya penyaliban Yesus, maka
bisa dipastikan kontradiksi kronologis itu tidak perlu terjadi. Adanya
kontradiksi kronologis itu membuktikan bahwa para penulis Injil itu bukanlah
saksi mata. Kemungkinan lainnya, kontradiksi itu terjadi bila para penulis Injil
adalah orang-orang yang ceroboh atau lemah ingatan.

...Daripada menggugat kitab suci agama lain, lebih bermanfaat bagi Dr Erwin
Lutzer jika ia menyelidiki dan memperbaiki kekisruhan Alkitab (Bibel)...
Maka, gugatan Dr Erwin Lutzer terhadap Al-Qur'an tidak relevan dan upaya
pemborosan energi. Daripada menggugat kitab suci agama lain, lebih bermanfaat
bagi Dr Erwin Lutzer jika ia menyelidiki keruwetan dan problematika Alkitab
(Bibel) yang mengisahkan penyaliban Yesus dengan seribu satu kerumitan. [a ahmad
hizbullah mag/voa-islam.com]

Baca berita terkait:

Menyoal Hari Ulang Tahun Kematian Tuhan
Mengimani Wajah Yesus yang Hangus di Wajan Babi
Foto Yesus Berhadiah Mobil BMW (Menjawab Testimoni Dusta Penginjil Sunda)
Syahadat Yesus Kristus: Islami ataukah Kristiani?
Kuis Natal Berhadiah Mobil BMW
Islam Adalah Geng Pemuja Setan dan Pembunuh Manusia? (Membedah Blog Kafir - 1)
Matematika Bibel atau Al-Qur'an yang Salah Hitung? (Membedah Blog Kafir - 2)
Soal Gereja Albertus Bekasi: Uskup Agung Berbohong di hadapan Jemaat Misa Natal
Mengaku Sarjana Islam, Pendeta Terbongkar Kedoknya
Misi Jelang Natal: Kristenkan Muslim dengan Tipuan
'Tuhan' Yesus versus Tuhannya Yesus
Menggugat Hari Wafat Isa Almasih alias Hari Ulang Tahun Kematian Tuhan

http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/04/21/4684/menggugat-hari-wafa\
t-isa-almasih-alias-ulang-tahun-kematian-tuhan/

Beda Islam & Kristen: Perang, Penjarahan, Perbudakan & Pembunuhan

Beda Islam & Kristen: Perang, Penjarahan, Perbudakan & Pembunuhan

Jawaban untuk Pendeta Antonius Richmon Bawengan (7)


Tanpa menyebutkan fakta dan dasar apapun, Pendeta Antonius Richmon Bawengan
mengumpat Islam sebagai agama sadis yang menghalalkan peperangan, pembunuhan,
penjarahan dan perbudakan. Mari kita buktikan, ajaran Islam ataukah Kristen yang
mengajarkan perangai sadistis itu.

Peperangan dalam Al-Qur'an dan Bibel


Al-Qur`an memang membolehkan peperangan sebagai alat pertahanan diri bila
diserang oleh musuh:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas” (Qs. Al-Baqarah 190).


“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu” (Qs. Al-Hajj 39).


Meski membolehkan perang bila terlebih dahulu diperangi musuh, namun Islam tetap
mengedepankan nilai kemanusiaan, sehingga tidak boleh kelewat batas dalam
perang. Beberapa batasan perang yang tidak boleh dilanggar menurut hadits Nabi
antara lain: dilarang membunuh wanita dan anak-anak, tidak boleh membakar,
merusak pepohonan, menyiksa dan memotong-motong anggota tubuh, dll.


Masalah perang bukan hal yang tabu dalam Bibel, sehingga dalam Perjanjian Lama
tertuang ayat khusus dengan perikop “Hukum Perang” dalam Ulangan 20:1-20,
yang mengatur tentang tawaran damai, penyerangan, pengepungan, pembasmian musuh
hingga harta jarahan perang.


....Aturan perang dalam Bibel pun berbeda dengan aturan Islam. Dalam Perjanjian
Lama, Bibel memerintahkan agar seluruh laki-laki dan perempuan harus ditumpas
habis....
Aturan perang dalam Bibel pun berbeda dengan aturan Islam. Dalam Perjanjian
Lama, Bibel memerintahkan agar seluruh laki-laki dan perempuan harus ditumpas
habis, kecuali wanita perawan. Wanita yang belum pernah bersetubuh ini boleh
diambil bagi mereka.


“Maka sekarang bunuhlah semua laki-laki di antara anak-anak mereka, dan juga
semua perempuan yang pernah bersetubuh dengan laki-laki haruslah kamu bunuh.
Tetapi semua orang muda di antara perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan
laki-laki haruslah kamu biarkan hidup bagimu” (Bilangan 31: 17-18).


Islam menghapus perbudakan, Paulus dan Yesus abstain


Salah satu misi Islam adalah menghapus perbudakan secara bertahap, karena
perbudakan sudah mengakar jauh sebelum Islam diturunkan. Cara Islam menghapus
perdudakan, antara lain:


Pertama, mewajibkan pembebasan budak sebagai sanksi bagi tindak pidana
pembunuhan. "Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)..." (Qs. An-Nisa 92).


Kedua, menjadikan pembebasan budak sebagai sanksi zhihar terhadap istri:
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur..." (Qs Al-Mujadilah 3).

Ketiga, menjadikan pembebasan budak sebagai Kafarat (denda) pelanggaran sumpah.
"...Maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak…" (Qs Al-Ma'idah
89).


Keempat, Membebaskan (memerdekakan) budak dengan (Qs At-Taubah 60).


Kelima, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW memerintahkan untuk membebaskan
budak. Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan
untuk membebaskan budak selama gerhana matahari dan gerhana bulan.


Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda: "Siapapun orang muslim yang
memerdekakan seorang budak muslim, niscaya Allah akan menyelamatkan setiap
anggota tubuhnya dari api neraka dengan setiap anggota tubuh budak tersebut"
(Muttafaq Alaihi dari Abu Hurairah RA).


"Setiap orang muslim yang memerdekakan dua orang budak muslimah, maka keduanya
akan menjadi penyelamatnya dari api neraka." (HR Tirmidzi dari Abu Umamah RA).


Semua fakta ini menunjukkan bahwa Islam memiliki misi menghapus perbudakan.
Selain itu, Islam tidak membedakan status sosial orang merdeka dan budak dalam
hal perkawinan. Sebagai sesama keturunan Adam, baik budak maupun orang merdeka
sama-sama memiliki hak untuk dinikahi (Qs An-Nisa 25). Dalam hal ini faktor
keimanan jauh lebih prioritas ketimbang status sosial. Terbukti, Allah sangat
memuliakan budak yang beriman, jauh melebihi orang merdeka yang tak punya iman.
Al-Qur'an surat Al-Baqarah 221 menegaskan bahwa budak mukmin/mukminah lebih baik
dan halal dinikahi daripada orang musyrik yang merdeka dan lebih menarik hati.


....Islam memiliki misi menghapus perbudakan, sementara dalam Bibel, Yesus
maupun Paulus sama sekali tidak mengemukakan solusi untuk menghapus
perbudakan.....
Dalam surat An-Nisa' 36 Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada budak
(hamba sahaya), satu paket dengan berbuat baik kedua orang tua, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, teman sejawat, dan ibnu sabil.


Semua fakta ini menunjukkan bahwa Islam memiliki misi menghapus perbudakan.
Sementara dalam Bibel, Yesus maupun Paulus yang sering diklaim sangat menekankan
ajaran kasih, sama sekali tidak mengemukakan solusi untuk menghapus perbudakan.
Paulus dalam suratnya hanya menekankan agar para budak takut, gentar patuh dan
taat tuannya.


"Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan
dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus" (Efesus 6:5).


"Orang-orang Kristen yang menjadi hamba, harus menganggap bahwa tuan mereka
patut dihormati, supaya orang tidak dapat memburukkan nama Allah atau pengajaran
kita. Hamba-hamba yang tuannya orang Kristen, tidak boleh meremehkan tuannya
karena mereka sama-sama orang Kristen. Malah mereka seharusnya melayani tuan
mereka itu dengan lebih baik lagi, sebab tuan yang dilayani dengan baik itu
adalah sama-sama orang percaya yang dikasihi. Semuanya ini haruslah engkau
ajarkan dan nasihatka" (1 Timotius 6:1-2, BIS).


Islam Melarang Penjarahan, Bibel Menganjurkan Penjarahan


Tudingan Richmon bahwa Islam membolehkan penjarahan, adalah fitnah dan bualan di
siang bolong. Karena tak satu ayat pun dalam Al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang
menghalalkan penjarahan. Justru Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya untuk memakan
harta sesama manusia dengan cara yang batil:


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil..." (Qs An-Nisa 29).


Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa cara-cara batil yang
dilarang itu meliputi segala jenis penghasilan yang tidak syar’i, seperti
berbagai jenis transaksi riba, judi, mencuri, penipuan dan kezaliman.


....Tak ada ajaran penjarahan dalam Islam, justru Bibel yang mengajarkan
penjarahan dalam perang....
Tak ada ajaran penjarahan dalam Islam, justru Bibellah yang mengajarkan
penjarahan dalam perang:


“Hanya perempuan, anak-anak, hewan dan segala yang ada di kota itu, yakni
seluruh jarahan itu, boleh kau rampas bagimu sendiri, dan jarahan yang dari
musuhmu ini, yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, boleh
kaupergunakan.... Demikianlah harus kaulakukan terhadap segala kota yang sangat
jauh letaknya dari tempatmu, yang tidak termasuk kota-kota bangsa-bangsa di
sini. Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan Tuhan, Allahmu,
kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan hidup apapun yang
bernafas" (Ulangan 20:14-16).


Pembunuhan sadis dalam Bibel


Omong kosong dan bohong besar tudingan Richmon bahwa Islam menghalalkan
pembunuhan. Justru Islam sangat menghormati nyawa manusia, bahkan nilai nyawa
satu orang sama dengan nyawa semua manusia di muka bumi (Qs. Al-Ma'idah 32),
sehingga pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan adalah dosa besar yang diancam
dengan neraka Jahanam (An-Nisa 93). Untuk mencegah tindak pidana pembunuhan,
Allah mensyariatkan qishas (Qs Al-Ma'idah 45).


....Tuhan dalam Bibel pernah memerintahkan pembunuhan secara sadis tanpa belas
kasihan untuk membalas dendam....

Ayat-ayat lebih dari cukup untuk menangkis tudingan Richmon bahwa Islam adalah
agama yang menghalalkan pembunuhan. Tudingan Richmon itu salah alamat,
seharusnya diarahkan kepada Bibel. Karena Tuhan dalam Bibel pernah memerintahkan
pembunuhan secara sadis tanpa belas kasihan untuk membalas dendam:


“Beginilah firman Tuhan semesta alam: Aku akan membalas apa yang dilakukan
orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka,
ketika orang Israel pergi dari Mesir. Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang
Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan
kepada­nya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun
anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai” (1 Samuel
15:2-3).


Jika Pendeta Richmon gampang menuduh tuhan sebagai penipu, beranikah ia menuding
Tuhan dalam Bibel sebagai Tuhan yang penipu karena memerintahkan pembunuhan
secara sadis, padahal di ayat lain (Keluaran 20:13, Ulangan 5:17, Imamat 24:17)
Tuhan melarang pembunuhan?


Dengan fakta-fakta tersebut, jelaslah bahwa tuduhan Pendeta Richmon sama sekali
mengada-ada. Entah roh jahat mana yang sedang berkarya dan bekerja dalam
dirinya? [ahmad hizbullah mag/suaraislam]


http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/04/19/14227/beda-islam-kristen\
-perang-penjarahan-perbudakan-pembunuhan/

Motif Durjana di Balik Isu Kekerasan Agama

Motif Durjana di Balik Isu Kekerasan Agama


-->Maraknyakekerasan dengan mengatasnamakan agama telah menyisakan sebuah pertanyaan
penting; siapa aktornya serta apa motif dan tujuan sejati dari seluruh aksi
kekerasan tersebut. Hanya saja, kebanyakan orang menyakini bahwa peristiwa
kekerasan berlatar belakang agama yang melanda negeri ini adalah hasil dari
sebuah rekayasa.

Selain itu, ada sebuah keajegan yang seakan-akan menjadi sebuah pola, yakni
setiap terjadi aksi kekerasan agama, kelompok-kelompok penjaja
demokrasi-sekularisme, liberalisme, dan pluralisme menjadikan momentum itu untuk
menyerang Islam dan para pejuang formalisasi syariah Islam. Melalui pemberitaan
dan opini media massa, mereka menjejalkan pemberitaan tak seimbang dan
opini-opini salah mengenai akar masalah dan solusi atas kekerasan yang berlatar
belakang agama dan keyakinan. Tidak berhenti di sini saja, mereka pun tanpa
malu-malu lagi menyodorkan gagasan-gagasan sampah untuk menyelesaikan persoalan
tersebut semacam pluralisme, Islam moderat, kerukunan antarumat beragama, dan
gagasan-gagasan lain yang tidak pernah bisa menyelesaikan masalah.

Memang benar, isu kekerasan dengan mengatasnamakan agama, dalam banyak hal,
telah dijadikan sarana efektif negara-negara kafir dan antek-anteknya, untuk
mewujudkan tendensi-tendensi ideologis-politis mereka. Di antaranya adalah:
Pertama: mengokohkan liberalisme, pluralisme, sekularisme, demokrasi, toleransi
keliru, paham moderat-sesat, dan lain sebagainya di tengah-tengah kaum Muslim.
Sejak dirilis fatwa sesat sekularisme, pluralisme dan liberalisme oleh Majelis
Ulama Indonesia, pelan namun pasti, kelompok pluralis-liberalis telah mengalami
pelemahan yang sangat parah. Mereka berusaha mencari-cari momentum untuk
mengokohkan paham-paham mereka. Momentum itu kembali mereka dapatkan ketika Gus
Dur, sang bapak pluralisme, mengalami kematian. Kematian Gus Dur mereka
manfaatkan sedemikian rupa untuk memulihkan keadaan mereka. Namun, keadaan
mereka tetaplah tidak tertolong. Pasalnya, gerakan-gerakan pengusung ide syariah
dan Khilafah Islamiyah tetap dicintai
dan didukung oleh kaum Muslim. Selain itu, kesadaran kaum Muslim terhadap
kewajibannya untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah terus meningkat secara
signifikan. Tidak hanya itu, umat juga sudah muak dengan demokrasi-sekular,
pluralisme, liberalisme, dan paham-paham ala Barat lainnya yang telah terbukti
menimbulkan kerusakan di Dunia Islam. Cara yang mungkin bisa dilakukan untuk
menghancurkan kepercayaan umat Islam terhadap syariah Islam dan
organisasi-organisasi yang memperjuang-kannya adalah dengan menciptakan
kekerasan-kekerasan atas nama agama Islam. Dengan cara seperti ini, mereka
berharap, umat Islam kembali phobi terhadap syariah Islam dan
organisasi-organisasi yang memperjuangkannya, lalu berpaling pada ajaran
pluralisme, demokrasi dan liberalisme. Tidak hanya itu, mereka juga berharap,
kemunculan berbagai tindak kekerasan atas nama agama tersebut akan menumbuhkan
simpati kepada kelompok-kelompok sesat, ala Ahmadiyah, Islam Liberal, dan
lain sebagainya.

Kedua: menciptakan legal frame untuk mendesakkan sejumlah undang-undang tentang
ormas, kerukunan beragama dan undang-undang lain sebagai payung legal kelompok
pluralis untuk membungkam dan memberangus ide maupun gerakan yang memusuhi
sekularisme, demokrasi, pluralisme dan liberalisme. Pasalnya, mereka tidak
mungkin bisa mengembangkan pluralisme, demokrasi, dan liberalisme secara
kultural. Ide-ide ini tidak memiliki akar dalam Islam. Atas dasar itu, mereka
membutuhkan instrumen politik untuk menyebarkan ide-ide mereka di tengah-tengah
masyarakat. Melalui instrumen politik inilah, mereka memaksa kaum Muslim untuk
mempelajari, menerima dan menerapkan ide-ide demokrasi, sekularisme, liberalisme
dan pluralisme. Selain itu, instrumen politik tersebut juga digunakan secara
efektif untuk memberangus organisasi yang memusuhi ide-ide mereka.

Ketiga: menghalangi penegakkan syariah dan Khilafah. Di banyak negara, para
penguasa sekular lazim menggunakan isu kekerasan untuk menghalang-halangi
perjuangan menegakkan kembali syariah dan Khilafah Islamiyah. Pasalnya, cara ini
adalah cara yang paling mudah untuk memberangus dan membekukan sebuah
organisasi. Di Rusia, Turki, Uzbekistan dan beberapa negara, misalnya, aktivis
Hizbut Tahrir ditangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara, karena tuduhan
melakukan tindak kekerasan, atau menginspirasi kekerasan. Padahal Hizbut Tahrir
tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
dakwahnya. Bahkan seluruh mata dunia telah menyaksikan, bahwa
peristiwa-peristiwa teror besar, semacam pengeboman WTC, Bom Bali 1 dan 2, dan
teror lainnya, ditengarai merupakan rekayasa Amerika Serikat untuk melegalkan
proyek antiterorismenya. Selanjutnya, pola-pola semacam ini diadopsi oleh para
penguasa antek Amerika Serikat untuk menghalang-halangi
perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyah, atas pesanan dan
intevensi AS.


Pandangan Islam

Pada dasarnya sekularisme, pluralisme, liberalisme, toleransi beragama dan
moderat Islam adalah paham-paham sesat yang bertentangan dengan Islam.
Sekularisme, sebagai sebuah gagasan yang memisahkan urusan agama urusan politik,
jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya, Islam tidak pernah memisahkan
agama dengan politik. Sebaliknya, Islam mengatur seluruh urusan umat manusia,
mulai dari urusan privat hingga urusan negara. Menempatkan Islam hanya dalam
ranah privat belaka berarti memberangus Islam secara keseluruhan.

Pluralisme dengan berbagai bentuk variannya juga bertentangan dengan Islam.
Pasalnya, Islam tidak mengakui truth claim (klaim kebenaran) agama-agama selain
Islam. Pandangan Islam terhadap para pemeluk agama selain Islam pada masa
sekarang pun sudah sangat jelas, yakni mereka adalah orang-orang kafir yang
kekal di neraka. Hanya saja. Islam tidak memaksa orang-orang kafir untuk memeluk
agama Islam, atau berusaha menghapus eksistensi dan truth claim (klaim
kebanaran) agama-agama selain Islam. Bahkan Islam membiarkan pemeluk agama
selain Islam untuk beribadah dan beragama menurut agama dan keyakinan mereka.
Islam juga tidak berkeinginan menyeragamkan keyakinan dan agama bagi rakyatnya.

Liberalisme (paham kebebasan) dalam semua aspeknya juga jelas-jelas bertentangan
dengan akidah dan syariah Islam. Pasalnya, perbuatan seorang Muslim tidaklah
bebas, tetapi harus selalu terikat dengan hukum-hukum syariah dalam keseluruhan
aspeknya. Seorang Muslim dilarang berbuat menurut kehendak dan hawa nafsunya.
Dalam hal berpendapat, seorang Muslim dilarang berbicara dan menyampaikan
pendapat yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Kaum Muslim juga
dilarang mengadopsi keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islamiyah, semacam
keyakinan adanya nabi dan rasul baru setelah Nabi Muhammad saw., serta keyakinan
bahwa orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini adalah Muslim.

Adapun mengenai paham moderat dan toleransi umat beragama sesungguhnya merupakan
derivasi ke sekian dari paham pluralisme dan liberalisme. Memang benar, Islam
mengajari kaum Muslim untuk menghormati agama dan keyakinan orang kafir. Islam
juga tidak melarang kaum kafir untuk menjalankan agama dan keyakinannya. Bahkan
Islam melarang kaum Muslim memaksa orang kafir masuk ke dalam agama Islam.
Namun, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama selain Islam.
Pasalnya, setelah Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah SWT, maka selain agama
Islam adalah batil (QS Ali Imran [3]: 85). Selain itu, gagasan Islam moderat dan
toleransi umat beragama adalah gagasan kaum Yahudi untuk meredam perlawanan dan
dakwah kaum Muslim terhadap segala bentuk kekufuran dan kezaliman yang dilakukan
oleh mereka dan para pendukungnya di Dunia Islam, khususnya di Palestina.

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa sekularisme, liberalisme,
pluralisme, moderat Islam dan gagasan toleransi antarumat beragama yang keliru
adalah paham sesat dan menyesatkan. Seorang Muslim wajib menolak dan menjauhi
sejauh-jauhnya paham-paham itu.


Solusi Negara Khilafah

Negara Khilafah adalah institusi syar’i yang diberi tugas untuk menjaga agama
dan mengatur seluruh urusan rakyat. Di antara tugas Negara Khilafah dalam hal
penjagaan agama adalah melindungi akidah kaum Muslim dari semua bentuk kekufuran
dan kesyirikan. Untuk itu, negara Khilafah wajib turut campur melindungi akidah
umat dengan cara;

(1) Memberikan informasi, penjelasan dan pendidikan yang benar dan utuh tentang
Islam sekaligus menjelaskan kebatilan agama dan keyakinan selain Islam. Untuk
mewujudkan tujuan ini, negara Khilafah menerapkan kurikulum pendidikan berbasis
akidah dan syariah Islam pada seluruh level pendidikan. Negara berkewajiban
mengawasi lembaga-pembaga pendidikan swasta agar mereka tidak menyimpang dari
kurikulum Khilafah.

(2) Melarang dan membekukan setiap organisasi yang berusaha menyebarkan ide-ide
sesat yang berpotensi merusak akidah dan persatuan umat seperti demokrasi,
pluralisme, sekularisme, liberalisme, nasionalisme dan lain-lain. Negara juga
membuat ketetapan yang menjelaskan sesat atau tidaknya sebuah pemikiran atau
keyakinan.

(3) Memberi sanksi yang keras—hingga taraf hukuman mati—bagi siapa saja,
baik individu maupun kelompok yang murtad dari agama Islam, ataupun berusaha
menyebarkan pemikiran dan ajaran sesat di tengah-tengah masyarakat. Pada masa
Abu Bakar ra., beliau pernah mengutus beberapa orang Sahabat untuk memerangi
orang-orang yang murtad dari Islam; di antaranya adalah orang-orang yang mengaku
dirinya sebagai nabi dan rasul, para penolak zakat, dan lain sebagainya. Abu
Bakar mengangkat Khalid bin Walid untuk memerangi Thulaihah bin Khuwailid. Saat
ia telah selesai melaksanakan tugasnya, ia disuruh memerangi Malik bin Nuwairah
(penolak kewajiban zakat) di Bathaah. Beliau juga mengangkat Ikrimah bin Abi
Jahal untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah, yang setelah selesai ia
ditugaskan untuk berangkat menuju Qadla’ah. Beliau pun mengangkat Muhajir bin
Abi Umayyah untuk memerangi al-’Ansiy; melindungi penduduk Yaman dari Qais bin
Maksyuuh. Setelah
selesai ia ditugaskan memerangi Bani Kindah di Hadlramaut. Beliau juga mengutus
Khalid bin Said bin al-’Ash ke Yaman dan al-Hamqatain di daerah Masyarif
asy-Syam. Beliau mengirim ‘Amru bin ‘Ash untuk memerangi kaum murtad di Bani
Qudhaa’ah, Wadi’ah, dan al-Harits. Beliau mengangkat Hudzaifah bin Mihshan
al-Ghalfani untuk memerangi kaum murtad di Daba yang terletak di ‘Amman.
Beliau mengutus ‘Urfajah bin Hartsamah untuk memerangi kaum murtad di Mahrah.
Beliau pun mengangkat Suwaid bin Muqarrin untuk memerangi kaum murtad di
Tihamah, Yaman. Adapun Tharifah bin Hajiz, beliau utus untuk memerangi kaum
murtad di Bani Sulaim. Beliau ra. juga mengirim al-’Ila’ al-Hadlramiy untuk
memerangi kaum murtad di Bahrain.1


Inilah beberapa langkah penting yang akan ditempuh Negara Khilafah untuk
mengatasi persoalan penodaan dan penggerusan akidah. Dengan cara-cara seperti
ini, akidah kaum Muslim tetap bisa dijaga dan dilindungi kemurniannya. WalLahu
a’lam bi ash-shawab. []


Catatan kaki:

1 Muhammad Hamidullah, Al-Watsa’iq as-Siyaasiyyah li al-’Ahd an-Nabawiy wa
al-Khulafa’ ar-Rasyidin, hlm. 338-339.

Peringatan, bukan Hinaan

Peringatan, bukan Hinaan

Oleh redaksi @ Thu, 24 Maret 2011 — Tulis komentar


“Sepeninggalku, tidak aku tinggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya
untuk lelaki melebihi wanita.”(Mutafaq ‘alaih) “Wanita itu kurang
agamanya.” “Kebanyakan penduduk neraka adalah wanita.” (al Hadits)


Jika dibaca dengan kacamata buram milik orientalis dan kaum liberal, mungkin
yang bakal tampak dari petikan hadits di atas adalah “Islam merendahkan kaum
perempuan. Hadits-hadits ini mestinya dinonaktifkan dari fungsinya sebagai dalil
karena sudah tidak sesuai dengan jaman. Jika tidak, Islam bisa tercoreng namanya
karena masih saja mendeskreditkan perempuan, padahal di zaman sekarang persamaan
gender telah menjadi tuntutan.”


Tapi kacamata seorang muslimah, wanita yang berserah diri kepada syariat-Nya,
tentunya tidak demikian. Imannya akan membuat lensanya lebih jernih dalam
membaca dan menyelami isi dari setiap kata yang disabdakan utusan-Nya, Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam. Pandangannya akan lebih dalam menembus sampai ke
dasar hikmah. Ada ‘material’ husnudzan, rasa berserah diri dan keyakinan
bahwa sabda Rasul n adalah al haq, yang menyusun potongan kaca yang dipakainya.
Dan inilah yang membuat objek yang tampil di retina hatinya berwujud sempurna,
tidak terbalik dan indah sebagaimana mestinya.


Oleh karenanya, image yang ditangkap dari hadits-hadits seperti di atas bukanlah
“Islam mendeskreditkan wanita”. Sama sekali bukan. Tapi yang tampak justru
ke dalaman rahmat dari sang pencipta kepada kaum Hawa. Sabda baginda itu
diterima sebagai pemberitahuan dan peringatan atas sisi lemah wanita yang sangat
krusial. Kelemahan pada wanita yang harus diwaspadai atau ditambal dengan sisi
kelebihan yang lain. Bukankah semua makhluk memang dicipta memiliki kelemahan?


Wanita itu fitnah atau godaan yang sangat besar bagi kaum lelaki. Terhadap
hadits ini, seorang muslimah tidak akan bersu’udzan bahwa Islam menganggap
wanita hanyalah makhluk penggoda dan pengganggu bagi lelaki. Tidak. Sabda ini
akan dipahami sebagai peringatan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bahwa potensi fitnah (godaan) dalam diri wanita sangatlah besar. Karenanya
wanita pun akan sadar dan waspada lalu menjaga agar potensi itu tidak menyelinap
keluar atau bahkan meledak. Wanita memang ditakdirkan untuk memiliki daya tarik
yang menggoda itu, tapi di sisi lain, wanita juga diwajibkan menjaganya.Nah,
Islam pun memberikan cara bagaimana menjaga diri agar potensi itu tidak keluar.
Ada jurus menjaga aurat, menundukkan pandangan, menjaga hubungan dengan lelaki,
menghindari make up berlebihan dan sebagainya. Dengan mengaplikasikan
jurus-jurus ini, yang akan merasa aman bukan hanya lelaki saja tapi juga wanita.


Kalau direnungkan secara mendalam, hadits ini bukan hanya peringatan bagi
lelaki, tapi juga wanita. Memang, yang terkena dampak fitnah wanita secara
langsung adalah lelaki. Hanya saja dalam beberapa kondisi, fitnah wanita yang
dibiarkan terumbar liar juga akan berimplikasi buruk terhadap sesama wanita.


Ambil contoh, saat anda sedang bersama suami, tiba-tiba datang atau lewat
seorang wanita yang membiarkan dua biji ‘kamera’ di kepala lelaki yang
menatapnya bebas menelusuri kulit kakinya hingga 50 % di atas lutut, atau kulit
lehernya hingga 50 % ke dadanya. Itu fitnah yang diumbar. Dan fitnah itu jelas
ditujukan kepada lelaki. Tapi apa yang anda rasakan jika suami anda melirik?
Sakit bukan? Lebih menyakitkan lagi jika kulit si wanita itu lebih bagus dari
milik anda. Bahkan wanita bercelana jins dan berkaus ketat yang tengah bersama
pacarnya di sebelah sana pun –misalnya ada-, boleh jadi akan mencubit
pacarnya, sambil pasang muka cemberut lagi mengancam jika pacarnya ikut-ikutan
melirik. Apa lagi jika masalahnya bukan sekadar melirik, selingkuh misalnya,
tentu akan lebih menyakitkan lagi. Jadi, wanita juga akan terganggu dengan
fitnah wanita yang tidak dijaga.


Nah, coba bandingkan jika yang hadir adalah seorang wanita berjilbab rapi dengan
warna kain yang tidak mencolok, atau bahkan memaki cadar misalnya. Adem. Anda,
suami anda dan juga semua orang di sekeliling anda akan merasakannya. Jadi, pada
dasarnya sabda Rasul n di atas adalah peringatan untuk wanita dari bahaya fitnah
wanita yang juga akan berdampak kepada wanita.


Soal status wanita yang diennya disebut “kurang” dan menjadi mayoritas ahli
neraka, Rasulullah ingin memberi peringatan pada sisi lemah wanita dalam hal
ini. Wanita secara kodrati mendapatkan haid dan menghalanginya dari ibadah
selama sekian waktu. Ini kelemahan. Dengan menyadari hal ini, wanita diharapkan
dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan sisi-sisi lebih yang diberikan kepadanya
untuk meningkatkan value(nilai) dirinya. Semangat inilah yang akan muncul dalam
diri muslimah dan bukan perasaan kecewa karena menganggap Islam menganak tirikan
wanita. Dan bukankah pada tataran praktis, tidak sedikit kaum wanita yang
kualitas diennya jauh lebih baik dari lelaki?

Kalau ternyata rasul mengatakan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka, itu
berarti Beliau ingin menyampaikan bahwa realitanya kebanyakan wanita tidak
mengikuti bimbingan rel syariat. Karena jika patuh pada syariat, dia akan masuk
jannah. Bahkan ratunya para bidadari surga adalah wanita-wanita shalihah yang
masuh jannah. Oleh karenanya, kalau tidak ingin merasa tersinggung dengan hadits
ini, caranya mudah yaitu dengan menjadi wanita shalihah.


Kesimpulannya, saat membaca hadits-hadits semacam ini yang harus dikedepankan
adalah iman. Para shahabiyah dulu tidak pernah komplain dengan hadits-hadits di
atas dan menganggapnya sebagai diskriminasi terhadap kaum perempuan. Keyakinan
mereka bahwa sabda Nabi adalah bimbingan ilahi memudahkan hati mereka menerima
dan mencoba mendulang hikmahnya. Jangan terkecoh dengan bualan kaum liberal,
mereka hanya ingin agar kita menentang syariat, merasa punya dalil saat
bermaksiat dan akhirnya celaka di akhirat.Wallahua’lam.


http://www.arrisalah.net/kajian/2011/03/peringatan-bukan-hinaan.html

Kebatilan Istilah "Demokrasi-Islam

Kebatilan Istilah "Demokrasi-Islam



Kami melihat sebagian kaum muslimin berbicara kepada umat, bahwa mereka adalah "pendukung demokrasi", "memperjuangkan demokrasi".

Setelah kami berdiskusi dengan sebagian orang tersebut; setelah kami bicara mengenai asal-usul landasan fiosofis, dan konsep praktis dari demokrasi; setelah kami paparkan contoh-contoh kasus dalam impementasinya yang rusak; setelah kami bandingkan dengan aqidah dan syariah Islam; dan setelah kami nyatakan pertentangannya dengan tauhid, maka sebagian dari mereka mengatakan: "kami tidak sedang memperjuangkan jenis demokrasi seperti yang anda sampaikan. Demokrasi seperti itu demokrasi barat, dan memang demokrasi barat bertentangan dengan Islam. Tapi kami mengusung demokrasi yang lain, yakni demokrasi Islam, demokrasi yang dipraktekkan oleh para Khulafaa'ur Rasyidiin".



Demi Allah, Ini adalah jawaban bathil yang harus dibungkam. Wallaahul musta'aan. Sebenarnya, istilah demokrasi-Islam merupakan istilah yang mengalami contradictio in terminis. Sebab, Demokrasi-Islam terdiri dari dua istilah yang mewakili dua konsep yang asing antara satu dengan yang lain. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang terbangun dari pandangan hidup tertentu (aqidah Islam). Sedangkan demokrasi merupakan model pemerintahan yang ditelorkan dari pandangan hidup yang lain (bukan aqidah Islam). Singkatnya, Islam adalah idiologi tersendiri, sedangkan demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari idiologi lain, yaitu liberalisme-sekuler (yang menjadi salah satu rival Islam).


Atas dasar itu, penggunaan istilah "demokrasi" yang ditempelkan pada istilah "Islam" adalah penggabungan yang sangat aneh. Hal itu sama anehnya dengan istilah "Marxisme-Islam", sama seperti menyebut lagu-lagu gereja dengan istilah "nasid-gereja", sama dengan menyebut tentara Amerika dengan sebutan "mujahid amerika", sama dengan menyebut seorang kristen yang rajin ke gereja dengan sebutan "seorang kristen yang sholeh". (Baca juga postingan karya Adian Husaini berjudul “Perangkap Istilah” dan “Pemurtadan Bahasa” di milis ini)



Bukankah itu merupakan penggunaan istilah yang kacau, di dalamnya terjadi pencampuradukan dua konsepsi yang sebenarnya tidak bisa dicampur. Marxisme adalah sesuatu, dan Islam adalah sesuatu yang lain, keduanya bertentangan secara diametral. Di Indonesia, nasid merupakan istilah untuk lagu-lagu Islami, sehingga tidak bisa digabungkan dengan istilah gereja. Istilah mujahid, dan sholihuun merupakan istilah yang secara spesifik digunakan untuk menyebut karakter tertentu dalam Islam, tidak bisa digunakan dalam konteks di luar Islam. Begitu pula dengan demokrasi yang merupakan anak kandung dari liberalisme-sekuler, adalah bukan Islam, bahkan musuh Islam. Sepert-itulah kejanggalan dari orang-orang yang menipu manusia dengan bermain kata-kata tanpa berfikir. Demokrasi-Islam adalah kamuflase yang memperdaya umat muslim. Dan penipuan itu harus segera diakhiri agar umat terentaskan dari kubangan lumpur.



Jawabnya, demokrasi merupakan istilah yang memiliki pengertian yang telah mapan. Pengertian itu digunakan oleh seluruh dunia untuk menyebut sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Ia merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari idiologi liberalisme-sekuler. Siapa saja yang memaknai demokrasi dengan

pengertian yang berbeda dari pengertian itu berarti dia telah menyimpang dari bahasa manusia, dia telah menggunakan istilah dengan seenak perutnya. Apakah anda akan membenarkan jika ada orang yang mengaplikasikan kata "mobil" untuk sebuah kendaraan yang ditarik oleh seekor kuda yang dikendalikan oleh laki-laki yang memegang cemeti?



Bukankah orang itu telah menggunakan sebuah kata dengan cara yang bertentangan dengan konvensi manusia? Maka demokrasi harus kita maknai sesuai dengan makna yang digunakan oleh disiplin ilmu politik, sesuai dengan konsep aslinya, jika kita tidak mau dikatakan bodoh. Dengan pengertian demokrasi yang asli, pemerintahan Umar bin Khothob tidak bisa disebut demokratis, sebab Umar bin Khothob (ra) tidak menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Beliau menjalankan pemerintahannya dengan menjadikan Al Qur'an dan As-sunah sebagai rujukan mutlak dalam mengambil kebijakan. Coba tanya kepada dunia dan ahli politik: "apakah kepala negara yang memutlakkan otoritas Al Qur'an dan As Sunah sebagai sumber hukum (bukan kehendak rakyat) dapat disebut negara yang demokratis? Mana bisa negara yang memutlakkan otoritas "wahyu" yang diyakini oleh penganut agama tertentu bisa disebut negara demokrasi? Mereka justru akan mengatakan: "pemerintahan Islam yang bersandar pada aturan syariah yang "kaku" itu tidak demokratis, karena tidak menghargai kebebasan".


Oleh karena itu, demokrasi bukan sekedar kata asing biasa, tapi ia merupakan istilah yang mapan, lahir dari pandangan tertentu, dan memiliki pengertian tertentu. Maka dari itu, istilah demokrasi tidak bisa diaplikasikan secara serampangan. Kenapa begitu? Karena jika digunakan secara ngawur, lepas dari konteks landasan filosofis dan konsepsi yang diwakilinya, maka penggunaannya akan tampak janggal. Seperti halnya kata presiden dan khalifah, kedua kata ini memiliki konsep tertentu, ia tidak bisa diaplikasikan di luar konteks yang sesuai dengan konsepnya. Oleh karena itu, kata presiden ini tidak bisa diganti dengan istilah lain yang memiliki konsep lain, seperti istilah khalifah. Kedua kata ini, yakni presiden dan khalifah, tidak bisa saling menggantikan, sebab keduanya mengandung konsep tersendiri, bahkan konsep yang dikandungnya merupakan konsep yang bersifat idiologis yang eksklusif. Umar bin Khothob tidak bisa diberi atribut "presiden", karena Umar (ra) memang bukan seorang presiden tapi seorang khalifah. Di lain pihak, Suharto dan Bush adalah seorang presiden, tidak bisa disebut khalifah Bush atau khalifah Suharto. Hal ini dikarenakan presiden merupakan sebuah isitilah yang penggunaannya relevan dalam negara demokrasi, dan khalifah, penggunaannya terbatas

pada negara khilafah. Jadi presiden dan khalifah bukan kata serapan biasa, keduanya tidak memiliki padanan istilah dalam bahasa yang berbeda.


Lain halnya dengan kata serapan biasa, ia bisa digunakan dengan bebas, seperti kata manajer (manager). Maka kata ini (manajer) bisa digunakan untuk mensifati siapa saja yang bertugas mengatur aktifitas sejumlah orang untuk mengerjakan tugas tertentu. Kata ini juga memiliki padanan kata dalam berbagai bahasa. Dengan demikian kata ini bisa secara universal dilekatkan pada siapa pun, karena kata manajer tidak terkait dengan faham atau idiologi apapun. Hal ini lain dengan istilah Demokrasi. Sebab istilah ini khusus ditujukan kepada sistem pemerintahan yang ditegakkan dan diyakini keshahihannya oleh orang-orang yang menganut faham liberalisme-sekuler. Sementara itu, umat Islam punya istilah khusus dalam menyebut sistem ketatanegaraan yang dimunculkan dari aqidah Islam, yaitu khilafah.


Jika demokrasi itu sama dengan Islam, dan khilafah yang asli pada masa khulafaur rasyidin dianggap sama dengan sistem demokrasi, maka seharusnya demokrasi dan sistem khilafah itu dianggap sebagai dua istilah yang memiliki konsep sama (sinonim). Ini jelas tidak bisa diterima, baik oleh umat Islam, maupun penganut demokrasi, maupun oleh semua orang yang masih berakal sehat.



Jika sistem khilafah adalah demokrasi, dan Amerika juga negara demokrasi, berarti sistem khilafah sama dengan sistem pemerintahan Amerika. Ya nggak? Katanya jika P = Q, sementara Q = R, maka seharusnya P = R., bukankah demikian? Jadi jika kita konsisten mengatakan bahwa khilafah = demokrasi, maka kita juga harus mengatakan bahwa Amerika identik dengan khilafah yang dipimpin oleh Khulafaaur Rasyidin itu. Sebab, semua orang di dunia ini mengatakan bahwa Amerika juga negara demokrasi, atau kalau anda tidak setuju dengan Amerika, taruhlah Yunani kuno sebagai ganti R. Padahal, nilai-nilai yang membangun Daulah Islam dengan nilai-nilai yang membangun Amerika atau Yunani itu sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Dan sebagian orang Islam tidak akan rela jika dikatakan bahwa pemerintahan khulafaaur rasyidiin setipe dengan sistem Amerika atau pun yunani, begitu pula sebaliknya, orang amerika juga tidak rela jika demokrasi yang mereka banggakan dianggap sama dengan model pemerintahan Islam yang mereka anggap Uncivilized.



Logika di atas jadi terlihat aneh karena salah satu premisnya salah total, yakni anggapan bahwa khilafah sama dengan demokrasi, maka jika premis-premisnya dihubungkan secara benar, konklusinya justru terlihat janggal, menggelikan, dan tidak sesuai dengan hasil penginderaan. Masak sih Yunani kuno atau amerika bisa disamakan dengan pemerintahan empat khulafaa' awal radliyallahu 'anhum? Jadi jelas, mengatakan bahwa Khulafa'ur Rasyidin telah menjalankan demokrasi merupakan salah satu pernyataan paling "unik" di dunia, saking "uniknya" layak untuk diluruskan. Hal yang sama parahnya pernah terjadi tatkala ada yang menyuarakan sosialisme Islam (Islam kiri), dan mengatakan bahwa pemerintahan Islam pada masa lalu adalah pemerintahan yang bersifat sosialis.



Akan tetapi, istilah demokrasi saat ini sudah sangat populer. Melawan demokrasi sama artinya dengan melawan semua manusia. Maka untuk mendekati dan meraih simpati publik sebagian orang tidak menampakkan perlawanan terhadap istilah demokrasi. Mereka mengatakan kepada khalayak: "Kami juga menganut demokrasi". Ketika kami menyapa mereka: "apakah kalian membela demokrasi? Padahal demokrasi itu begini dan begitu,.. bla, bla, bla..?".

Setelah itu mereka bebisik kepada kami: "Tunggu dulu, anda jangan tergesa-gesa menyalahkan kami, sebenarnya demokrasi kami berbeda dengan demokrasi yang dipahami oleh publik, kami meyakini demokrasi Islam".



Maka disamping melakukan perancuan konsep, mereka dengan sadar juga telah melakukan tindakan kamuflase di mata publik. Sebab mereka menggunakan sebuah istilah di depan publik, akan tetapi mereka memaknai istilah itu dengan arti yang berbada dengan apa yang dipahami oleh publik.



Ini seperti seorang sufi-ghulah yang ditanya orang-orang: "apakah anda sudah sholat?", ia menjawab: "sudah". Padahal yang dimaksud penanya adalah sholat maghrib, sedang sang sufi-ekstrim memaknai sholat sebagai "penyatuan batin antara manusia dengan Allah". Apakah ini pembicaraan yang nyambung? Bukankah sang sufi-x-trim telah menipu orang-orang?



Di samping itu, dengan tidak jujur kepada publik, mereka telah mungubur dan menyembunyikan fikrah Islam, dan menampakkan diri sebagai pendukung demokrasi. Jika nanti kesadaran umat telah pulih, dan umat tahu bahwa demokrasi adalah bathil, sementara hari ini mereka terlanjur mengatakan sesuatu yang bathil, apakah nanti umat akan percaya kepada mereka? Padahal telah diketahui bahwa mereka bertahun-tahun menyuarakan sesuatu yang bathil di depan umat? Tentu mereka tidak mau hal itu terjadi, maka mereka akan selalu berusaha menyembunyikan hakekat demokrasi, menjaganya agar tidak tampak bathil di mata umat. Dengan begitu, umat akan selalu melihat mereka sebagai pembela rakyat, pembela demokrasi. Dan selamanya mereka akan seperti itu. Tindakan ini mereka namakan "dakwah bijak", dakwah yang tidak frontal, kata mereka.



Apa ini yang disebut dakwah, menampakkan kebathilan sebagai sesuatu yang haq? Padahal, kita diajari untuk mengatakan sesuatu yang haq sebagai haq, dan bathil dikatakan bathil. Maka tidak heran jika mereka selalu membantah dengan bantahan yang tidak disandarkan pada skema pendalilan yang syar'i, seperti alasan dhorurat, mashlahat, daf'ul mafsadat, dsb, seraya mengesampingkan nash-nash yang qoth'i.



Allaahumma innaa nas'alukal hudaa wash-shiraathol mustaqiim, wa na'uudzubika minasy-syayaathiin!

Salaamun 'alal mursaliin, wa aakhiru da'waanaa anil hamdulillaahi

Rabbil 'aalamiin. Titok


http://titok.wordpress.com

Peradaban Emas Khilafah

Peradaban Emas Khilafah

-->Sepanjang sejarah Khilafah tidak semuanya lurus. Khalifah adalah manusia yang juga bisa menyimpang dari Islam. Namun, penyimpangan perilaku khalifah dari hukum syariah bukan karena kesalahan sistem Khilafahnya. Karena itu, kalau ada khalifah yang terbunuh, yang salah bukanlah sistem Khilafahnya, tetapi tindakan pembunuhan itulah yang menyimpang dari hukum syariah. Karena itu, menyerang sistem Khilafah berdasarkan praktiknya yang menyimpang dari syariah Islam tentu adalah kesalahan fatal.

Dalam sejarah sistem demokrasi Amerika Serikat, empat presidennya (Abraham Lincoln, James Abram Garfield, William McKinley, dan John F Kennedy) semuanya tewas terbunuh. Sejarah demokrasi AS juga mengalami perang saudara antara pihak Utara (Union) dengan Selatan (konfederasi). Lebih dari 500 ribu orang terbunuh dalam perang ini. Meskipun demikian, pengusung demokrasi tidak pernah menyalahkan sistem demokrasi karena adanya pembunuhan terhadap presidennya atau perang saudara tersebut.

Karena Khalifah bisa menyimpang, di dalam Islam mengoreksi Khalifah bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban. Hal ini karena Khalifah bukanlah sumber kedaulatan hukum seperti dalam sistem monarki. Khalifah adalah manusia biasa yang mungkin saja keliru. Dalam hadisnya Rasulullah saw. menyebut aktivitas mengoreksi penguasa lalim sebagai afdhal al-jihad (jihad paling utama) dan siapa pun yang meninggal karena mengoreksi pemimpin zalim sebagai sayyid asy-syuhada’.

Sekali lagi, kita harus membedakan sistem Khilafah dengan pelaksanannya dalam sejarah. Adanya penyimpangan dalam pelaksanaan sistem Khilafah tidaklah menggugurkan kewajiban menegakkan Khilafah. Sama seperti adanya orang yang keliru melaksanakan shalat bukan berarti menggugurkan kewajiban shalat. Kewajiban menegakkan Khilafah dan mengangkat kholifah tetaplah wajib adalah berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat.

Namun, dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran bahwa setiap pelanggaran atau penyimpangan dari hukum syariah, meskipun di era Khilafah, akan membawa masalah. Apalagi kalau kita tidak melaksanakannya sama sekali seperti sekarang ini. Kita menegaskan pula, Khilafah yang akan kita tegakkan adalah Khilafah yang berdasarkan manhaj Kenabian (‘ala minhaj an-Nubuwwah), bukan yang menyimpang. Kita tentu saja bertekad, tidak mengulangi penyimpangan-penyimpangan yang pernah dilakukan oleh Khalifah dalam sejarah Kekhilafahan masa lalu.

Mengangkat sebagian sejarah Khilafah yang gelap, tetapi menutup-nutupi sejarah panjang kejayaan Khilafah adalah cara pandang yang tidak obyektif dan juga ahistoris. Apalagi menyatakan sistem Khilafah membelenggu pemikiran umat tanpa disertai bukti-bukti. Bukankah justru dalam sistem Khilafah banyak bermunculan para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka dengan karyanya yang gemilang—seperti para Imam Madzhab terkemuka, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan banyak lagi lainnya?

Imam Syafii, misalnya, menurut al-Marwazi, karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam Al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah Al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah dan Ar-Risalah al-Jadidah.

Adapun Imam Ahmad bin Hanbal menyusun kitabnya yang terkenal, Al-Musnad. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, an-nasikh wa al-mansukh, tarikh, dll. Imam Ahmad juga menyusun kitab Al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab Ash-Shalah, kitab As-Sunnah, kitab Al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab Al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah, dll.

Cendekiawan Muslim lainnya di era Khilafah bukan hanya fakih di bidang agama, tetapi juga menghasilkan kaya ilmu sains yang diakui dunia. Karya mereka diakui memberikan sumbangan pada era renaisaince Eropa. Menurut Sir Thomas Arnold, tanpa peran Arab (Muslim)—tentu di era Kekhilafahan Islam, ed.—peradaban modern Eropa bisa jadi tidak bangkit sama sekali. “It is highly probable that, but for the Arabs (Muslims), modern European civilization would never have arisen at all.” (Sir Thomas Arnold and Alfred Guillaume, The Legacy of Islam, 1997).

Di bidang kedokteran terdapat Ibnu Sina. Dalam Encylopedia Britannica ditulis tentang karya Ibnu Sina ini: The Canon of Medicine (Al-Qanun fi ath-Thibb) adalah buku yang paling terkenal dalam sejarah kedokteran baik di Timur dan Barat. Buku ini digunakan Sekolah Medis di Timur dan Barat selama 500 tahun. Menurut Toby E Huff, The Canon of Medicine adalah buku pertama yang mengurai obat-obatan berdasarkan pengujian, uji coba obat eksperimental klinis, uji coba terkontrol secara acak, tes efikasi, analisis faktor risiko, dan gagasan tentang sindrom dalam diagnosis penyakit tertentu (Huff, Toby, The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West, Cambridge University Press, 2003).

Di bidang fisika terdapat Al-Kindi (abad IX M). Karya pakar fisika ini tentang fenomena optik diterjemahkan ke Bahasa Latin yang memberikan pengaruh besar Roger Bacon. Pakar fisika yang lain adalah Ibnu Haytam (965-1039 M). Di Barat dikenal dengan Alhazen. Ia adalah pakar di bidang optik dan pencahayaan. Sebanyak 200 judul buku tentang optic dan pencahayaan dinisbatkan kepada beliau. Teorinya lebih dulu 5 abad sebelum teori yang sama dikeluarkan Torricelli. George Sarton (1927) dalam bukunya, Introduction To The History of Science, Volume I: From Homer To Omar Khayyam, memberi gelar Ibnu Haytam dengan Fisikawan Terbesar Abad Pertengahan.

Selain itu, perpustakaan zaman Kehilafah amatlah mengagumkan. Perpustakaan Khalifah al-Hakim di Kairo, misalnya, menyediakan 1,6 juta volume buku. Mengenai hal ini, Bloom and Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf, membaca, dan menulis) Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Islam: A Thousand Years of Faith and Power).

Keemasan Khilafah ditulis secara jujur oleh sejarahwan dunia seperti Will Durant dalam Story of Civilization. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.”

Pertanyaannya, bagaimana mungkin karya-karya cemerlang ini lahir dari sistem Khilafah yang dituduhkan jumud atau terbelakang? Namun yang paling penting, kewajiban menegakkan Khilafah bukan didasarkan pada kemaslahatan yang bisa kita raih itu. Kewajiban menegakkan Khilafah adalah kewajiban syariah yang berdasarkan akidah Islam. Kewajiban Khilafah merupakan perkara ma’lum[un] min ad-din bi asdh-dharurah. Demikianlah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat khalifah (menegakkan Khilafah).” [Farid Wadjdi]