Sunday, June 16, 2024

PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?

 *PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?*


*Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*


https://romliabulwafa.blogspot.com/2024/06/puasa-arafah-disyariatkan-tahun-ke-2.html?m=1


*Tanya :*

Ustadz, ada yang mengatakan bahwa puasa Arafah itu tidak terkait wukufnya jamaah haji di Arafah. Jadi definisi puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, baik bertepatan atau tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Alasannya, puasa Arafah disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah sedangkan wukuf di Arafah baru disyariatkan tahun ke-9 hijriyah saat Nabi SAW melaksanakan haji wada’. Bagaimana Ustadz, mohon penjelasannya? (Abdurrahman, Yogyakarta).


Ustadz, ada yang bilang bahwa Nabi SAW disebut melakukan puasa Arafah tanpa ada yang wukuf sehingga menjadi dalil puasa Arafah tidak terikat aktivitas (yaitu wukuf) dan tempat (yaitu Padang Arafah). Apakah itu bisa jadi dalil, Ustadz? Afwan Ustadz, saya 'curious' dengan argumentasi yang dibangun oleh sebagian pihak ini karena mungkin saya perlu juga insights dari Ustadz Shiddiq terkait dalil-dalil yang dipakai dalam tulisan mereka. (Ahmad Hanafi Rais, Yogyakarta).


*Jawab :*

Memang ada ulama yang berpendapat demikian, dan ada dalilnya dari hadits Nabi SAW bahwa beliau telah berpuasa Arafah sejak tahun ke-2 Hijriyah, padahal saat itu wukuf di Padang Arafah belum disyariatkan, karena Wukuf di Arafah baru disyariatkan dan dilaksanakan oleh Nabi SAW pada tahun ke-10 Hijriyah saat Nabi SAW melakukan haji Wada’. Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :


عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْن »(85) أخرجه أبو داود في «سننه»، كتاب الصوم، باب في صوم العشر (2/815)، رقم (2437)، وصححه الألباني، انظر: «صحيح أبي داود» (7/196)، رقم (2106).


Dari Hunaidah bin Khalid RA, dari isterinya, dari sebagian isteri-isteri Nabi SAW, dia berkata, "Rasulullah SAW (terbiasa) melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan puasa tiga hari pada tiap bulan dan hari Senin dan hari Kamis setiap awal bulan." (HR. Abu Dawud, dalam _Sunan Abū Dāwud,_ Bab Al-Shaum, Juz II, hlm. 815, nomor hadits 2437. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani, dalam _Shahīh Abū Dāwud,_ (7/196), nomor 2106).


Hadits ini dipahami dengan _wajhul istidlāl_ (cara penarikan kesimpulan hukum dari dalilnya) sebagai berikut : 


وَجْهَ الِاسْتِدْلالِ : أَنَّ زَوْجَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ذَكَرُتْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَصومُ تِسْعَ ذِي الحِجَّةِ ، وَهَذَا بِلَا رَيْبٍ كَانَ قَبْلَ حَجَّةِ الوَدَاعِ ، وَلَفْظَ « كَانَ » يَدُلُّ عَلَى الِاسْتِمْرارِ ، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى وَقْفَةَ النّاسِ بِعَرَفَةَ. (أبو محمد أحمد بن محمد بن خليل، النور الساطع من أفق الطوالع في تحديد يوم عرفة إذا اختلفت المطالع، ص 9)


“*Wajhul Istidlāl* : isteri-isteri Nabi SAW menyebutkan bahwa beliau telah terbiasa berpuasa pada tanggal kesembilan hijriyah pada bulan Dzulhijjah, dan tak ada keraguan lagi ini puasanya Nabi SAW ini terjadi sebelum Haji Wada’ (ketika wukuf baru disyariatkan), dan lafazh (كَانَ) (kāna) menunjukkan terus berlangsungnya puasa yang telah dilakukan Nabi SAW (sebelum haji Wada’), dan tidak sampai kepada kita berita dari Nabi SAW bahwa beliau memantau lebih dulu terjadinya wukuf yang dilakukan oleh jamaah haji di Arafah.” (Lihat : Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 9). 

(Lihat https://ketabpedia.com/تحميل/النور-الساطع-من-أفق-الطوالع-في-تحديد-ي-3/)


Dari dalil semacam inilah, sebagian ulama kemudian menyimpulkan definisi puasa hari Arafah yang tidak dikaitkan dengan terjadinya wukuf di Arafah. Hari Arafah akhirnya didefinisikan sebagai berikut :


يَوْمُ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمَ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ سَواَءٌ واَفَقَ هَذَا الْيَوْمُ وَقْفَةَ الْحاَجِّ بِعَرَفَةَ أَمْ لَمْ يَواَفِقْهُ، وَأَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ


“Hari Arafah adalah hari (tanggal) ke-9 bulan Dzulhijjah, baik hari itu bertepatan maupun tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, dan bahwa setiap-tiap negeri mempunyai rukyatnya masing-masing.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 6). (lihat : https://almoslim.net/node/281621).


Namun pendapat ini bagi kami kurang tepat _(ghayru sadīd),_ dengan 2 (dua) argumentasi sebagai berikut :


*Pertama*, memang benar, puasa Arafah yang dilakukan Nabi SAW sejak tahun ke-2 H hingga sebelum Haji Wada’ tahun ke-10 H, tidak dikaitkan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Tetapi fakta ini tidak dapat dijadikan dalil, karena proses _tasyrī’_ (pembentukan hukumnya) untuk hukum puasa ‘Arafah ini memang belum selesai (final). Proses pembentukan hukum puasa ‘Arafah baru selesai (final) saat Nabi SAW dan para shahabat Nabi SAW berwukuf di Arafah saat Haji Wada’ tahun ke-10 H. 


Pada saat itulah, terjadi kaitan atau hubungan _(al-irtibāth)_ antara puasa hari Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, yang sebelumnya tidak ada. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits, pada saat wukuf di Arafah yang dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H itu, di antara para shahabat Nabi SAW terjadi perdebatan apakah Nabi SAW berpuasa hari Arafah saat berwukuf di Arafah itu ataukah beliau berbuka (tidak berpuasa). Melihat perdebatan itu, lalu Ummu Al-Fadhl (ibunda Ibnu ‘Abbas RA) mengirimkan satu wadah berisi air susu kepada Nabi SAW melalui Ibnu ‘Abbas RA. Nabi SAW yang saat itu sedang duduk di atas unta, kemudian meminum air susu itu. Ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada umum bahwa mereka yang sedang menjalankan ibadah haji di Arafah, tidak disunnahkan berpuasa Arafah. (HR Al-Bukhari, no. 1661; Muslim, no.1123).


Dengan demikian, pada saat Haji Wada’ tahun ke-10 H itulah terbentuk ikatan antara puasa hari Arafah dengan wukuf di Padang Arafah, yang sebelumnya ikatan itu tidak ada. Maka dari itu, dan sejak saat itu, puasa Arafah tidak dapat lagi didefinisikan hanya berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, namun haruslah didefinisikan berpuasa pada tanggal ke-9 Dzulhijjah, yang harinya bertepatan dengan hari wukufnya jamaah haji di Padang Arafah.


Jadi kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berhujjah bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah tanpa ada wukuf di Arafah. Ini memang benar, tapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), karena tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa hari Arafah belum selesai. Pada saat Haji Wada’ di tahun ke-10 H itulah, baru selesai dan final tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa Arafah, yang akhirnya mengkaitkan puasa Arafah tidak hanya dengan aspek waktu (tanggal 9 Dzulhijjah) namun juga dikaitkan dengan aktivitas, yaitu wukufnya jamaah haji di Arafah, yang sebelumnya puasa hari Arafah dilaksanakan tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah.     


Analoginya kurang lebih sama dengan tahapan-tahapan pensyariatan hukum untuk khamr dan riba, yang awalnya tidak diharamkan, tapi pada akhirnya, kedua hal itu diharamkan secara bertahap _(gradual/tadarruj)._ Menurut Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya _At-Tibyān fi ‘Ulūmil Qur`ān,_ pengharaman khamr terjadi dalam 4 (empat) tahapan sebagai berikut; 

(1). Tahap kesatu, awalnya khamar dibolehkan, sesuai QS An-Nahl : 67; 

(2). Tahap kedua, turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamr karena mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya, sesuai QS Al-Baqarah : 219; 

(3) Tahap ketiga, turun ayat yang melarang khamr pada satu waktu (pada waktu sholat), namun masih dibolehkan pada waktu lainnya (di luar sholat), sesuai QS An-Nisā` : 43; 

(4) tahap keempat, tahap final, yaitu khamr diharamkan secara total, sesuai QS Al-Maidah : 90-91. (Muhammad ‘Ali Ash-Shābūnī, _At-Tibyān fī ‘Ulūmil Qur`ān,_ hlm. 23-25).


Berdasarkan empat tahapan itu, tentu yang berlaku untuk umat Islam sekarang hingga Hari Kiamat nanti, adalah hukum yang terakhir yang sudah final untuk khamr, yaitu hukum haram, berdasarkan QS Al-Mai`dah : 90-91. Kita tidak boleh lagi minum khamr dengan cara _setback_ atau mundur ke belakang dan berhujjah dengan ayat-ayat yang belum mengharamkan khamr secara tegas. 


Maka demikian pula, kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berpuasa Arafah tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah, dengan dalih bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah sementara wukuf di Arafah belum disyariatkan. Yang berlaku bagi umat Islam hingga Hari Kiamat tentunya adalah hukum terakhir, yaitu sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, yang mengkaitkan hari Arafah dengan wukuf di Arafah. Jadi, definisi syar'i yang lebih shahih untuk "Hari Arafah" _(yauma 'Arafah)_ adalah :


يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ


“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” _(yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzī yaqifu fīhi al hajīj bi-'arafah)._


Definisi inilah yang dianggap kuat _(rājih)_ oleh _Al-Lajnah Ad-Dāimah Lil Buhūts Al-'Ilmiyyah wal Iftā`_ (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul ‘Azīz bin Bāz. Definisi ini juga yang dipilih oleh _Lajnah Al-Iftā Al-Mashriyyah_ (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Husamuddin 'Ifanah, guru besar fiqih dari Al-Quds, Yerussalem, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 3).


*Kedua,* pendapat bahwa puasa Arafah itu yang penting patokan tanggalnya, yakni tanggal 9 Dzulhijjah, baik berbarengan dengan wukuf maupun tidak, telah mengabaikan (untuk tidak mengatakan melawan) nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah. Di antaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ : 


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ


"Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (HR. Al-Baihaqi, _Sunan Al-Baihaqi,_ Juz V, hlm.176). 


Yang dimaksud dengan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut adalah :


أَيْ : يَوْمَ تَقِفُوْنَ بِعَرَفَةَ


“Maksudnya : hari yang kalian berwukuf di Arafah.” (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm.18).


Dalam kitab _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ Syekh ‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari menafsirkan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut dengan makna yang sama, ketika beliau berkata :


أَنَّ الْمُراَدَ بِيَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الناَّسُ بِعَرَفَةَ


“Bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah, adalah hari yang orang-orang melakukan wukuf pada hari itu di Arafah.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 8).


Berdasarkan seluruh uraian di atas, tidak dapat diterima _(ghayr musallam)_ pendapat bahwa puasa Arafah itu adalah puasa yang dilakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, baik bersamaan dengan hari wukufnya jamaah haji di Arafah, ataukah tidak, karena pendapat ini : 

(1) didasarkan pada fakta sejarah pembentukan hukum puasa Arafah yang belum final, yang memang tidak mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, sejak tahun ke-2 H ketika awal disyariatkannya puasa Arafah. Padahal akhirnya, sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, puasa Arafah telah dikaitkan dengan aktivitas wukuf di Arafah.

(2) didasarkan pada pengabaian nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah.   

_Wallāhu a’lam._


*Yogyakarta, Jumat 8 Dzulhijjah 1445 (14 Juni 2024)*


*Muhammad Shiddiq Al-Jawi*


#Khilafah akan menyatukan kaum muslimin sedunia karena #KhilafahAjaranIslam

Tuesday, June 11, 2024

TASAWUF, ISTIQAMAH DAN KETENANGAN

 •TASAWUF, ISTIQAMAH DAN KETENANGAN 


KH. HAFIDZ ABDURRAHMAN MA.

.

Tasawuf itu ilmu tentang raqaiq (kelembutan hati). Hati lembut, ketika kita selalu menyadari hubungan kita dengan Allah. Dalam bahasa al-'Allamah al-Qadhi Syaikh  Taqiyuddin an-Nabhani, disebut "Idrak Sillah Billah"

.

Kesadaran hubungan kita dengan Allah itu disebut "Ruh". Sedangkan kesadaran, bahwa semua alam, manusia dan kehidupan itu makhluk Allah, adalah "Nahiyah Ruhiyah". Karena itu, dalam pandangan Islam, tak ada satu pun di dunia ini yang terpisah dengan Allah. Baik benda maupun perbuatan. 

.

Karena itu, falsafah Islam, sekaligus puncak Tasawuf Islam, itu adalah menyatukan materi (perbuatan dan benda) dengan Ruh (Allah dan titah-Nya), yang disebut Syaikh Taqi dengan "Mazju al-Madah bi ar-Ruh"

.

Imam al-Ghazali menyebut ada dua rukun Tasawuf, "Istiqamah", yaitu kemampuan kita mengorbankan kemauan hawa nafsu untuk diri kita. Sehingga bisa istiqamah dalam ketaatan. Kedua, "Sukun" (ketenangan), tidak terpengaruh dengan makhluk, tidak juga menganggu makhluk lain

.

Itulah rukun Tasawuf, kata Imam al-Ghazali, dalam nasihatnya kepada muridnya, dalam kitab "Ayyuha al-Walad"

.

Istiqamah lebih baik dari seribu karamah. Karena karomah lahir dari istiqamah. Istiqamah hanya bisa diraih dengan mengorbankan hawa nafsu semata untuk mengikuti maunya Allah. Dari istiqamah lahir ketenangan, fokus pada tujuan dan target, tidak lagi menoleh ke kanan-kiri. Tidak terpengaruh dengan apapun dan siapapun

.

Semoga kita semua diistiqamahkan oleh Allah dalam ketaatan. Hati, lisan dan pikiran kita dijadikan "sukun" dan fokus pada apa yang ada di sisi Allah, bukan dunia yang fana.


#JanganLelahBerdakwah #LiterasiPengembanDakwah

Thursday, June 6, 2024

Qawl Jadid Hizbut Tahrir

 Qawl Jadid Hizbut Tahrir


Soal:


Dalam Soal-Jawab yang telah dipublikasikan sebelumnya, telah dinyatakan kebolehan saudara ipar tinggal serumah dengan berpakaian mihnah, sementara dalam Kitab An-Nizham al-Ijtima’i yang terbaru tidak dibolehkan. Mana pendapat yang lebih rajih (kuat)?


Jawab:


Setelah kita membandingkan penjelasan dalam Soal-Jawab sebelumnya dengan penjelasan yang dituangkan dalam Kitab An-Nihzam al-Ijtima’i yang terbaru, edisi Muktamadah, memang ada perbedaan. Namun, perlu dicatat, keduanya sama-sama merupakan hukum syariah karena sama-sama merupakan hasil ijtihad mujtahid. Keduanya juga sama-sama merupakan pandangan Hizb pada zamannya.


Hanya saja, pendapat yang pertama merupakan qawl qadim (pendapat lama), yang diadopsi pada zaman kepemimpinan amir Hizbut Tahrir yang pertama, yaitu Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M). Ini bisa dibuktikan pada tanggal dan tahun pengeluaran Nasyrah tersebut. Masing-masing adalah Nasyrah Soal-Jawab tanggal 30/5/1967 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal 14/9/1968 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal  19/11/1968,  Nasyrah Soal-Jawab tanggal 11/5/1970 M, dan Nasyrah Soal-Jawab tanggal 8 Sya’ban 1388 H. Pendapat (qawl qadim) ini tidak lagi diadopsi oleh Hizb pada zaman kepemimpinan amir sekarang, yaitu Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusytah, sebagaimana yang tertuang dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah.


Ini bukan hal baru dalam khazanah fikih sebagaimana kita kenal pada era keemasan fikih Islam. Sebut saja, Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab (w. 23 H) dan Imam as-Syafii (w. 205 H) juga mempunyai dua qawl (pendapat), yaitu qawl qadim dan qawl jadid. Dua-duanya merupakan hukum syariah. Bahkan ketika orang yang telah diputuskan oleh Khalifah ‘Umar dengan hukum yang berbeda menuntut dianulir keputusannya, dengan tegas beliau menolak, seraya berkata: “Keputusan itu sudah sesuai dengan apa yang telah kami putuskan sebelumnya dan keputusan ini pun berdasarkan apa yang telah aku putuskan.” 1 


Adapun pendapat Hizb sekarang (qawl jadid), sebagaimana yang dituangkan dalam An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah, adalah sebagai berikut:


Mengenai masalah pertama, yaitu adanya beberapa saudara dan kerabat yang tinggal serumah antara satu dengan yang lain, kemudian masing-masing wanitanya tampak kepada kaum prianya dengan pakaian kerja sehingga tampak rambut, leher, lengan dan pundaknya serta bagian lain yang biasa ditampakkan oleh pakaian kerja. Aurat itu kemudian dilihat oleh saudara laki-laki suaminya, atau kerabatnya yang notabene bukan mahram-nya; sebagaimana aurat itu juga dilihat oleh saudara laki-laki, ayah dan mahram wanita itu yang lainnya. Adapun saudara laki-laki suaminya adalah orang asing (bukan mahram) bagi dia, sebagaimana laki-laki asing lainnya. Begitu juga, kerabat satu dengan yang lain kadang saling mengunjungi, semisal anak-anak paman dari ayah (‘am), anak-anak paman dari ibu (khal), dan sebagainya, yang notabene merupakan dzawi al-arham (kerabat yang mempunyai hubungan darah)2 yang bukan mahram, atau bukan dzawi al-arham (kerabat yang tidak mempunyai hubungan darah secara langsung). Mereka mengucapkan salam (tanda minta izin) kepada para wanita (di rumah), lalu duduk bersama mereka, sementara wanita-wanita itu mengenakan pakaian kerja. Tampak dari wanita-wanita itu lebih dari sekadar wajah dan kedua telapak tangannya, seperti rambut, leher, lengan, pundak dan lainnya. Mereka diperlakukan layaknya mahram.


Masalah ini telah menggejala dan telah menjadi bencana bagi kaum Muslim, terutama di kota-kota. Banyak yang mengira semuanya itu mubah. Padahal sejatinya yang mubah adalah memandangnya, dan yang memandang itu adalah para mahram dan orang-orang yang mengikutinya, yang notabene tidak mempunyai hasrat kepada wanita (at-tabi’in ghayra uli al-irbah). Terhadap selain mereka, para wanita itu tetap haram untuk menampakkan selain wajah dan kedua telapak tangannya.


Penjelasan detailnya tentang itu adalah, bahwa Allah SWT jelas telah mengharamkan kaum wanita secara mutlak dipandang atau dinikmati. Lalu, keharaman menikmati itu dikecualikan dari para suami. Kemudian keharaman memandang dikecualikan dari orang-orang, termasuk mereka adalah paman-paman dari ayah (a’mam) dan ibu (akhwal). Obyek kaum perempuan yang diharamkan bagi kaum pria pun dikecualikan, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Karena itu, menikmati atau memandang dengan syahwat secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi suami; dan memandang wajah dan kedua telapak tangan dengan pandangan biasa (tanpa disertai syahwat) secara mutlak hukumnya mubah. Adapun memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi para mahram yang telah disebutkan oleh Allah, dan orang yang statusnya sama dengan mereka.


Sebelumnya telah dijelaskan hukum syariah tentang kehidupan umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa teks. Adapun dalam kehidupan khusus, Allah telah membolehkan kaum perempuan untuk menampakkan lebih dari wajah dan kedua telapak tangannya, sebagaimana yang lazim ditampakkan saat bekerja. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian, di tengah hari dan sesudah shalat Isya (TQS an-Nur [24]: 58).


Allah SWT memerintahkan anak-anak yang belum balig dan budak untuk tidak memasuki rumah wanita tersebut dalam tiga (waktu) tadi. Kemudian Allah membolehkan mereka untuk memasukinya, selain dalam ketiga waktu ini. Sebabnya, Allah melanjutkannya dengan firman-Nya (yang artinya): Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian, tidak pula atas mereka, selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebagian kalian ada keperluan kepada sebagian yang lain (TQS an-Nur [24]: 58).


Ini tegas menyatakan, bahwa selain dalam ketiga keadaan (waktu aurat) ini, anak-anak dan budak perempuan tersebut boleh memasuki rumah perempuan ini tanpa izin, yaitu ketika perempuan tersebut berpakaian kerja. Dari sini bisa dipahami, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja, dan dalam pakaian kerja tersebut dia boleh menampakkan (apa yang lazim dia tampakkan) kepada anak-anak dan budaknya. Karena itu, tidak diragukan, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja. Dia secara mutlak tidak berdosa. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh dipandang (aurat yang lazim ditampakkan pakaian kerjanya) oleh anak-anak dan budaknya, dan dalam hal ini tidak ada masalah. Dia tidak harus menutupi auratnya dari mereka. Mereka juga tidak membutuhkan izin memasuki rumahnya. Sebabnya, ayat tersebut menyatakan, kebolehan anak-anak dan budaknya masuk tanpa izin, kecuali dalam tiga waktu aurat di atas.


Tidak boleh dikatakan, bahwa pembantu yang notabene orang merdeka bisa dianalogikan kepada budak, dengan ‘illat (alasan) bahwa mereka sama-sama “thawwafun” (mengitari kehidupan perempuan tersebut). Jelas tidak boleh dikatakan demikian, karena ‘illat ini merupakan ‘illat qashirah (terbatas), dengan bukti, bahwa anak-anak tadi setelah balig diwajibkan izin, padahal mereka “thawwafun”.


Adapun di luar mereka yang dikecualikan dalam ayat tersebut, yaitu selain anak-anak dan budak perempuan tersebut, maka Allah SWT telah menjelaskan hukum mereka dalam kehidupan khusus. Ketika meminta mereka untuk minta izin (saat memasuki rumahnya). Allah SWT berfirman (yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian hingga kalian meminta izin (dari penghuninya) dan mengucapkan salam kepada penghuninya (TQS an-Nur [24]: ).


Allah meminta kaum Muslim meminta izin (saat memasuki rumah) dan menyebutnya denga menggunakan kata “isti’nas” ketika ingin memasuki rumah orang lain. “Mafhum”-nya, jika dia hendak memasuki rumahnya sendiri, maka tidak perlu meminta izin. Sebab turunnya ayat ini adalah, ada seorang wanita Anshar, berkata, “Ya Rasulullah, ketika aku di rumahku dalam satu keadaan yang aku tidak ingin dilihat oleh siapapun, baik ayah maupun anakku, tiba-tiba ayahku masuk ke rumahku. Selalu saja, laki-laki dari keluargaku masuk ke rumahku, dan saya dalam keadaan seperti itu. Lalu, apa yang harus saya lakukan?” Lalu turunlah ayat “isti’dzan” ini.


Jika sebab turunnya ayat tersebut dikaitkan dengan “manthuq” (makna tersurat) dan “mafhum” (makna tersirat) ayat tersebut, maka tampak bahwa masalah dalam kehidupan khusus itu bukanlah masalah menutup aurat atau tidak, tetapi masalah penampilan dengan pakaian kerja, yang biasa dilakukan wanita. Dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi berpakaian kerja, Allah tidak memerintahkan wanita untuk tidak bekerja (dengan pakaian kerja), tetapi Allah memerintahkan kaum pria meminta izin, agar para wanita itu bisa menutup bagian yang lain, selain wajah dan kedua telapak tangannya, terhadap bukan mahramnya, karena perintah meminta izin itu bisa berkonotasi perintah untuk menutup aurat, dengan dalil sebab turunnya ayat ini. Jika seseorang memasuki rumah wanita tersebut, maka dia harus meminta izin, baik mahram atau bukan. Jadi, perintah meminta izin mempunyai konotasi agar wanita tersebut menutup auratnya kepada pria yang bukan mahram-nya. 


Mengenai pria memandang wanita dalam kondisi seperti ini merupakan masalah lain, yang terkait dengan hukum memandang, baik dalam kehidupan khusus maupun yang lain. Allah SWT telah mengharamkan pria yang bukan mahram untuk memandang selain wajah dan kedua telapak tangan, dan membolehkannya bagi mahram. Allah pun memerintahkannya untuk menundukkan pandangan terhadap bagian tubuh wanita itu, selain wajah dan telapak tangan. Allah juga mentoleransi pandangan mata yang tidak terbelalak (disertai syahwat). Tentang keharaman memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan sudah jelas. Begitu juga kewajiban menundukkan pandangan lebih dari itu juga sudah jelas dalam firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah kepada orang-orang Mukmin laki-laki agar mereka menundukkan pandangan mereka (TQS an-Nur [24]: 30).


Yang dimaksud di sini adalah menundukkan pandangan terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan, dengan dalil, memandang keduanya dibolehkan. Dalam hadis al-Bukhari Said bin Abi al-Hasan berkata kepada al-Hasan, bahwa kaum perempuan non-Arab biasa menampakkan dada dan kepala mereka, maka berkata al-Hasan, “Palingkan pandanganmu.” Dalam hadis larangan duduk di jalan, Nabi saw. bersabda, “Tundukkan pandangan.” (HR Muttafaq ‘alaih). Artinya, para wanita itu kadang membuka bagian yang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, maka kalian wajib menundukkan pandangan, bukan tidak boleh memandang. Jadi, ketika Allah mengharamkan memandang, sebenarnya hanya mengharam-kan memandang lebih dari wajah dan telapak tangan; lebih spesifik, pandangan yang disengaja (syahwat). Mengenai pandangan yang tidak disengaja, maka hukumnya tidak haram. Allah juga tidak memerintahkan agar meninggalkannya, tetapi hanya memerintah-kan menundukkan pandangan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaknya mereka menundukkan pandangan (TQS  an-Nur [24]: 30).


Lafal “Min” berkonotasi “tab’idh” (sebagian), maksudnya, “Hendaknya mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka, atau sebagian penglihatan mereka.” “Mafhum”-nya, pandangan yang ditundukkan boleh, yaitu pandangan yang wajar, dan tidak disengaja (disertai syahwat).


Inilah qawl jadid (pendapat baru) Hizb sebagaimana yang diadopsi dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i.3 [KH. Hafidz Abdurrahman]


Catatan kaki


Lihat: al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. VI, 1422 H/20o2 M, hlm. 191.

Ibn Qudamah menjelaskan dzawi al-arham, yaitu kerabat yang tidak mempunyai bagian waris (fara’idh) maupun sisa (ashabah). Mereka berjumlah 11 orang, yaitu: (1) anak laki-laki anak perempuan/cucu laki-laki dari anak perempuan (walad al-banat); (2) keponakan laki-laki dari saudara perempuan (walad al-akhawat); (3) keponakan perempuan dari saudara laki-laki (banat al-ikhwah); (4) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu (walad al-ikhwah min al-umm); (5) bibi dari semua arah (‘ammat); (6) saudara laki-laki ayah seibu (‘am min al-umm); (7) paman dari ibu (akhwal); (8) bibi dari ibu (khalat); (9) anak-anak  perempuan paman dari ayah (banat al-a’mam); (10) kakek/bapaknya ibu (jadd abu al-umm); (11) semua nenek yang menurunkan satu ayah dari dua ibu (jaddah adlat bi abin bain ummain), atau menurunkan satu ayah ke atas. Mereka semuanya, dan keturunan mereka, disebut dzawi al-arham. Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, IX/82.

Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. IV, 1424 H/2003 M, hlm. 47-50.

Sunday, June 2, 2024

MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI

 MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI


Majalah Tau’iyah yang diterbitkan An-Najah Center Sidogiri edisi Sya’ban 1441 H telah memuat tulisan berjudul “Hizbut Tahrir: Perbedaannya dengan Kita” yang ditulis oleh Achmad Arief. Penulis terlihat begitu tendensius meski berusaha tampil ilmiah dengan kutipan-kutipan referensi. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penulis terlihat tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya; ke-Dua, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan ke-Tiga, menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut.


Penulis menyebutkan beberapa permasalahan yang diklaim sebagai “pendapat menyimpang pendiri Hizbut Tahrir” lalu kemudian dibantahnya sendiri. Berikut beserta tanggapannya.


Permasalahan Pertama: Qada’-Qadar dari Filsafat Yunani


Menurut penulis, Hizbut Tahrir menganggap teori qadha’ dan qadar Ahlussunnah wal Jamaah mengadopsi dari para filsuf Yunani. “Semua persoalan ilmu kalam diadopsi dari para filsuf Yunani, termasuk masalah qadha’ dan qadar.” (Lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa konsep qadha qadarnya Ahlussunnah itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan filsuf yunani. Sambil menyebutkan referensi Mukhtasharul I’tiqad lil Baihaqi, hlm 231.


Tanggapan: Maksud Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak demikian. Beliau mengatakan di kitab tersebut tidak seperti yang diketengahkan terjemahannya oleh penulis itu.


فَإننا لا نكاد نجد مسألة من مسائل علم الكلام إلا كانت ناشئة عن مسألة سبق للفلاسفة اليونان أن بحثوها


“Sungguh kita nyaris tidak menemukan satupun di antara permasalahan ilmu kalam melainkan itu muncul dari permasalahan yang sudah pernah dibahas oleh kaum filsuf Yunani.” (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66)


Maksudnya disitu adalah terkait pengambilan tema atau topiknya. Bukan mengadopsi pendapat filsuf tanpa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits seperti yang disangkakan.


Terbukti di halaman-halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh kaum Jabariyah untuk menetapkan perbuatan manusia itu ciptaan dan atas kehendak Allah, dan berdalil dengan ayat-ayat tertentu untuk teori kasab di antaranya Al-Baqarah 286 (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/73). Sampai sini tampak jelas klaim penulis adalah tidak benar.


Permasalahan ke-Dua: Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan


Menurut penulis, Hizbut Tahrir meyakini semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia. Tidak ada campur tangan Allah dan ketetapan Allah tidak ada kaitan dengannya. (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa semua perbuatan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan-Nya (tanpa menafikan ikhtiyar manusia). Sambil menyebutkan referensi Al-I’tiqad ‘ala Madzhabis Salaf Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm 53-54.


Tanggapan: Tuduhan tersebut tidak sebagaimana adanya. Sebab, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membagi perbuatan manusia itu menjadi dua: 1) perbuatan yang berada di bawah kendali manusia dan 2) perbuatan yang berada di luar kendali manusia. Jadi tidak “semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia” sebagaimana klaim penulis.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani juga memiliki pemaknaan khusus untuk Istilah qadha’ dan istilah qadar dalam konteks sebagai sebutan yang berdampingan (al-qadha’ wal qadar) dengan masing-masing memiliki makna khusus yang berbeda. Bahwa qadha itu perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia, dan qadar itu adalah khashiyatul asya` (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Sehingga perkataan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu tidak termasuk qadha’ di situ maksudnya adalah makna khususnya ini, yaitu tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia. Bukan bermaksud makna qadha’ secara mutlak sebagai ketetapan Allah atas segala sesuatu seperti yang dipersepsikan penulis.


Tampak di sini penulis gagal memahami konsep qadha’ dan qadar yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sehingga salah dalam tuduhannya. Apalagi dengan narasi jahat mengopinikan Hizbut Tahrir menganut “Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan”.


Permasalahan ke-Tiga: Para Nabi Tidak Maksum


Penulis menyebutkan bahwa menurut Hizbut Tahrir para nabi tidak maksum sebelum diangkat menjadi nabi. “Para nabi dan rasul itu maksum setelah menjadi nabi dan rasul. Sedangkan sebelum menjadi nabi dan rasul mereka tidak maksum.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 1/136). Lalu pendapat itu dibantahnya dengan mengutip pendapat salah satu ulama Ahlussunnah, Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuki dalam Hasyiyahnya atas kitab Ummul Barahin.


Tanggapan: Padahal masalah tersebut termasuk perkara khilafiyah bahkan di kalangan ulama Ahlussunnah sendiri. Pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir itu merupakan pendapat salah satu imam besar Ahlussunnah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dan pendapat tersebut disahihkan oleh Al-Imam Saifuddin Al-Amidi rahimahumallah.


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ …. وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي.


“Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, mayoritas sahabat kami (ulama Ahlussunnah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya tidak. … dan pendapat yang benar adalah apa yang diutarakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.” (Lihat: Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. 1/169-170)


Bahkan itu merupakan pendapat mayoritas Ahlussunnah, menurut keterangan Al-Imam Ibnu Hajib dan dibenarkan pula oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


“Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal hal itu tidak mustahil. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar (al-ashahh) adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani).” (Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. vol 6 hlm 13)


Juga menurut keterangan Al-‘Arif biLLah Asy-Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhani, yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri:


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ … وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. … Meski para muhaqqiq dari kalangan ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil berkenaan dengan mereka (para nabi) itu (yang secara zhahir melakukan kesalahan). Memang benar, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.” (al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177)


Jika menurut penulis bahwa pendapat “anbiya tidak maksum sebelum masa kenabian mereka” itu keliru, apakah berarti penulis menganggap mayoritas ulama Ahlussunnah yang berpendapat demikian itu sesat atau menyimpang sebagaimana pelabelannya terhadap Hizbut Tahrir? 


Permasalahan ke-Empat: Khilafah Harga Mati


Penulis menganggap Hizbut Tahrir ekstrem dalam menyikapi khilafah, sampai-sampai menganggap semua orang muslim dosa besar karena tidak menegakkan khilafah. “Berpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa besar dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua orang muslim dosa besar karenanya.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 2/19). Lalu klaim itu dibantahnya dengan mengutip perkataan Imamul Haramain Al-Juwaini bahwa hukum mengangkat pemimpin itu wajib bila mampu (Ghiyatsul Umam fi Iltiyatsizh Zhulam hlm 55), dan mengutip perkataan Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang diterjemahkan “Kajian tentang khilafah tidak begitu penting, sebab persoalan ini adalah persoalan fikih (ranah ijtihad) bukan persoalan yang secara tegas disampaikan oleh al-Qur`an dan Hadits. Selain itu kajian khilafah juga mengakibatkan fanatisme kepemimpinan yang jelas berdampak buruk dan lebih selamat tidak mengkajinya.” (Lihat: al-Iqtishad fil I’tiqad, hlm 200).


Tanggapan: Singkatnya ada dua perkara yang perlu diluruskan: 1) bentuk wajibnya khilafah dan dengan apa kewajiban tersebut menjadi gugur; 2) besarnya kewajiban khilafah dan gagal paham atas perkataan Al-Imam Al-Ghazali.


Pertama; bentuk wajibnya khilafah adalah bersifat kifa`ie (fardhu kifayah), sehingga tidak gugur kewajiban tersebut dari pundak setiap muslim sebelum tercapai kifayah (batas kuantitas serta kualitas) orang-orang yang mengusahakannya sampai benar-benar terwujud. Adapun ungkapan Imamul Haramain Al-Juwaini sama sekali tidak menafikan hal itu, karena dikatakan tidak mampu itu jika sudah ada usaha maksimal namun belum juga terlaksana. Tidak tiba-tiba tanpa ada usaha serius dan maksimal mengklaim tidak mampu. Juga ketidak-mampuan umat mewujudkannya di suatu masa tidak menjadikan umat di masa-masa berikutnya menjadi tidak wajib mengusahakan.


Ke-dua; Penulis serampangan dalam mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali untuk menjustifikasi tidak pentingnya khilafah. Padahal maksud beliau dengan ungkapan imamah bukan termasuk al-muhimmat adalah bahwa imamah bukan termasuk perkara pokok akidah yang menentukan sah-tidaknya keislaman. Ini sebagaimana beliau nyatakan sendiri di bagian sebelumnya di kitab tersebut:


ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺘﻘﺪاﺕ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮﺓ ﺣﻘﻬﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻬﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ


“Sebab akidah yang ringkas itu seharusnya hanya berisikan perkara pokok (al-muhimm) yang harus ada demi keabsahan akidah saja.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 376)


Lebih spesifik lagi beliau menyebut ilmu rasional (‘aqli), terminologi (lafzhi), dan juga fiqih (fiqhi) dengan mengatakan tidak muhimm:


وكل ذلك ليس بمهم


“Semua itu tidak ‘muhimm’.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 377)


Maksud beliau bukan menganggap ilmu fiqh –termasuk di dalamnya khilafah– itu tidak penting, melainkan bahwa ilmu fiqih bukan termasuk bahasan pokok akidah. Lebih daripada itu, jika penulis mau jujur al-Imam al-Ghazali sendiri menyatakan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban imamah itu termasuk perkara syari’at yang bersifat mendesak/urgen (min dharûriyyâtisy-syar’i).


فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.


“… maka wajibnya mengangkat seorang khalifah itu adalah termasuk perkara syariat yang sangat penting/mendesak (dharûriyyât asy syar’), yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 395)


Jadi bagaimana bisa beliau dipahami menganggap perkara khilafah tidak penting sedangkan di waktu yang sama mengatakan bahwa dia tergolong perkara syariat yang sangat penting/mendesak yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan.


Adapun terkait ungkapan beliau bahwa pembahasannya menyebabkan fanatisme dan lebih baik tidak dibahas adalah masih dalam konteks akidah ini. Yaitu lebih baik tidak membahasnya dalam konteks akidah karena yang seharusnya khilaf di dalamnya sebatas khilâf fiqhî, karena dibahas dalam konteks akidah, akan menjadi dianggap sebagai khilâf ‘aqâ`idî yang memicu fanatisme.


Adapun meninggalkan kewajiban khilafah dapat mengakibatkan dosa besar, hal itu bisa dipahami dari banyaknya kewajiban terbengkalai tanpa adanya khilafah apabila semuanya diakumulasikan. Jika satu saja mayat muslim tidak dimakamkan secara syar'ie dapat mengakibatkan dosa karena hukumnya fardhu kifayah, maka bagaimana dengan banyak mayat jika tidak dimakamkan secara syar'ie. Demikian pula lah saat satu saja pencuri yang terbukti dan mencapai nishab bila tidak dihukum secara syar'ie dengan dijatuhi hadd potong tangan, maka bagaimana dengan banyaknya pencuri yang tidak dihukum secara syar'ie? Belum jumlah kasus hudud dan jinayat lainnya, semisal perzinahan, liwath, peminum khamr, riddah, pembunuhan, dsb. Sedangkan hukuman tersebut hanya bisa terlaksana dengan sempurna dalam sistem khilafah. Anggaplah tidak menerapkan per kasusnya adalah dosa kecil, tapi bagaimana jika jumlahnya banyak, ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu?


ﻭاﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺇﺫا ﺃﻛﺜﺮﺕ ﺻﺎﺭﺕ ﻛﺒﻴﺮﺓ


"Sedangkan dosa kecil itu bila berjumlah banyak maka akan menjadi dosa besar." (Syarh Shahîh Muslim, vol 2 hlm 67)


Besarnya dosa mengabaikan pendirian khilafah juga disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi'î.


تنصيب الإمام بهذا الشكل الذي رأيت، ولتحقيق المهام التي تحدثنا عنها واجب متعلق بأعناق المسلمين حيثما كانوا، فإن لم ينهضوا به تحقيقاً لأمر الله عز وجل باؤوا جميعاً بإثم كبير، إذ هو ـ بالإضافة إلي الضرورات الدينية والاجتماعية والسياسية المختلفة ـ شعيرة كبري من شعائر الإسلام التي يجب أن تكون بارزة حية في بلاد المسلمين.


"Mengangkat seorang khalifah dalam bentuk yang telah anda lihat (di atas), demi merealisasikan kepentingan yang telah kami ulas (sebelumnya), adalah wajib dan mengikat setiap muslim di manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit mewujudkannya demi melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla niscaya mereka semua akan terkena dosa besar. Karena khilafah itu –disamping terkait berbagai kepentingan mendesak agama, permasalahan sosial dan politik– juga merupakan syi’ar terbesar Islam di antara syi’ar-syi’ar lainnya yang wajib tampak dan hidup di negeri kaum muslimin."

Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi'î, vol 8 hlm 277-278.


Nah, berdasarkan uraian di atas terbukti sudah kesalahan tuduhan tersebut, yang tidak lain disebabkan karena tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut. Sehingga jadilah tulisan yang provokatif mendeskriditkan Hizbut Tahrir agar dianggap bukan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dijauhi masyarakat. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikanmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah itu lebih mendekati takwa. [Azizi Fathoni K.]


÷÷÷÷÷

https://mediaumat.news/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir-di-majalah-tauiyah-sidogiri/amp/


https://tsaqofah.id/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir-di-majalah-tauiyah-sidogiri/


https://news.visimuslim.org/2021/04/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir.html?m=1


CHANNEL TELEGRAM: 

https://t.me/tsaqofah_id


TSAQOFAH.ID

Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam


Follow, like, comment, and share:

https://yubi.id/tsaqofahid


===

Saturday, June 1, 2024

Pancasila ?

 Sebagian orang menganggap bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa, termasuk dalam hal ini adalah para ulama. Sehingga Pancasila seolah menjadi patung yang dikeramatkan, tidak boleh ada yang mengkritik dan menentang. Padahal, seandainya kita mau jujur saja dengan sejarah, niscaya kita akan menemukan fakta bahwa sebenarnya Pancasila bukanlah hasil kesepakatan bersama.


Mari kita cerna sejarah!


Jika kita mau jujur, sesungguhnya konsep Pancasila bukanlah hasil kesepakatan para pendiri bangsa, melainkan hasil paksaan Soekarno dan Hatta. Para ulama di Tim Sembilan dipaksa untuk menerimanya. Padahal mereka hanya menghendaki syariat Islam sebagaimana yang tertuang di dalam Piagam Jakarta.


Andai memang benar para ulama sepakat dengan Pancasila, niscaya mereka tidak akan bersusah payah memperjuangkan Piagam Jakarta di parlemen negara. Tetapi faktanya mereka tetap memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta, meskipun Pancasila sudah ditetapkan pihak istana. Bahkan ada pula yang kemudian berjuang di luar konstitusi negara, dengan membentuk Negara Islam Indonesia (NII)


Nahdlatul Ulama sendiri baru menerima Pancasila pada tahun 1983, ketika Gus Dur menjadi pimpinannya. Berarti puluhan tahun ke belakang sebelum itu NU masih anti Pancasila. Mereka masih menghendaki Piagam Jakarta. Ini pula yang pernah disampaikan Gus Sholah pada tahun 2013 di pesantrennya.


Maka buka mata, buka telinga!


Stop mempolitisasi Pancasila untuk menolak syariah dan khilāfah. Apalagi para pendiri bangsa sendiri pun belum pernah menyatakan kata sepakat atas keabsahannya.


Apabila dikatakan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, maka jangan halang-halangi mereka yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Jika masih saja tetap menghalangi dengan mengatasnamakan Pancasila, maka wajar saja apabila kalangan agamis di Tim Sembilan dahulu ternyata begitu semangat untuk menggantikannya


mustanir.net/pancasila


#GarudaPancasila #Pancasila #HariPancasila #HariLahirPancasila #HariKelahiranPancasila #KelahiranPancasila #SejarahPancasila #SejarahIslam #PolitikIslam #SyariatIslam #SyariahIslam #IndonesiaBersyariah #IndonesiaMilikAllah #IndonesiaBertauhid #SekularismeMerusakTauhid #NKRI

Friday, May 31, 2024

PENGELOLAAN TAMBANG SESUAI SYARIAH ISLAM

 *PENGELOLAAN TAMBANG SESUAI SYARIAH ISLAM*


Buletin Kaffah No. 345 (22 Dzulqa’dah 1445 H/31 Mei 2024 M)


Salah satu kasus korupsi terbesar di negeri ini dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah korupsi tambang timah sebesar Rp 271 triliun. Kasus dugaan megakorupsi PT Timah senilai Rp 271 triliun ini hanyalah puncak gunung es dari kusutnya tata kelola tambang Indonesia. Sebelumnya, PT Pertamina, PT Antam, hingga PT PLN juga menjadi langganan kasus korupsi. Pelakunya mulai dari korporasi swasta hingga perorangan; menyeret pejabat teras kementerian hingga pimpinan tertinggi BUMN tambang, politisi dan kepala daerah.


Terkait tata kelola tambang yang karut-marut ini, KPK mengidentifikasi, dari sekitar 11.000 izin tambang di seluruh Indonesia, 3.772 izinnya bermasalah dan dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah pemberi izin. Akibatnya, negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah (Kompas.id, 31/3/2024).


Padahal menurut Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, mengutip pernyataan mantan Ketua KPK Abraham Samad, jika celah korupsi di bidang pertambangan bisa diatasi, setiap warga Indonesia bisa memperoleh Rp 20 juta per bulan. Abraham menilai pernyataannya itu merujuk pada analisis yang pernah dilakukan KPK 10 tahun lalu (News.detik.com, 21/3/2023).


*Akar Penyebab: Sistem yang Korup*


Di antara akar persoalan korupsi di sektor pertambangan adalah adanya aturan/sistem yang korup (rusak) berupa kebijakan swastanisasi bahkan liberalisasi atas nama investasi. Dalam upaya untuk menarik investasi, Pemerintah Indonesia aktif memberikan insentif untuk mendorong investasi swasta/asing. Salah satunya adalah pemberian konsesi penguasaan lahan kepada para investor di berbagai sektor seperti kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masa HGU dapat berlangsung paling lama selama 35 tahun, dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun, serta dapat diperbarui hingga 35 tahun. 


Di sektor pertambangan, Pemerintah telah memberikan berbagai keistimewaan investasi bagi para investor. Pada tahun 1967, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang mengatur pemberian konsesi tambang kepada pihak swasta. UU ini diinisiasi oleh kekosongan hukum ketika Freeport McMoRan ingin berinvestasi pada tambang emas dan tembaga di Papua. Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, yang kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Lalu pada tahun 2020, Pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU Minerba untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa perusahaan batubara raksasa swasta yang hampir habis masa konsesinya.


Pemerintah Indonesia juga mendorong investasi di sektor migas dengan memberikan konsesi pengelolaan migas kepada perusahaan swasta/asing. Berdasarkan UU No. 22/2001, jangka waktu Kontrak Kerja Sama Migas dapat berlangsung paling lama selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. 


*Dampak Negatif*


Kehadiran investasi swasta dan asing melalui berbagai insentif, termasuk dalam bentuk pemberian konsesi tersebut, telah menciptakan dampak negatif. Di antaranya: Pertama, menciptakan ketimpangan ekonomi yang luas. Sebagai contoh, total tanah yang diberikan oleh Pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang mencapai 36,8 juta hektar. Sebanyak 92 persen diberikan kepada korporasi, sementara yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektar atau sekitar 8% (Walhi dan Auriga, 2022). 


Kedua, menyebabkan penguasaan sektor-sektor ekonomi, di antaranya sektor pertambangan, hanya pada segelintir korporasi. Peran rakyat terpinggirkan. Bahkan peran BUMN dan BUMD pada berbagai sektor, seperti pertambangan dan perkebunan, cenderung minimalis dibandingkan dengan pelaku swasta/asing.


Ketiga, keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam tersebut, khususnya sektor pertambangan, lebih banyak mengalir kepada swasta/asing dibandingkan kepada negara. 


Keempat, mendorong peningkatan kerusakan lingkungan. Ini karena perusahaan-perusahaan swasta/asing hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sering tak peduli atas pencemaran air, udara dan tanah, yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan timah di Indonesia, misalnya, membiarkan lubang-lubang tambang mereka terbengkalai tanpa melakukan reklamasi. Eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang nikel telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Banjir menjadi sering terjadi. Air sungai dan laut menjadi keruh sehingga penduduk kesulitan mendapatkan air bersih dan kesulitan menangkap ikan yang menjadi mata pencaharian mereka. Inilah bencana ekologis yang—jika dinilai dengan uang—merugikan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah.


*Pengelolaan Tambang Sesuai Syariah*


Dalam pandangan Islam, tambang apapun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain adalah Hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra. Disebutkan demikian:


أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ


Sungguh dia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. Dia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).


Hadis ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah ushul:


العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ


Patokan hukum itu bergantung pada keumuman redaksi (nas)-nya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125). 


Berdasarkan hadis di atas, tambang apapun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing. Termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya. Lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


Dengan pengelolaan berdasarkan syariah Islam, potensi pendapatan negara dari harta milik umum, khususnya sektor pertambangan, sangatlah besar. Secara ringkas, perhitungannya adalah sebagai berikut: 


Minyak: Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.


Gas Alam (Natural Gas): Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.


Batubara: Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun. 


Emas: Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun. 


Tembaga: Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.


Nikel: Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.


Berdasarkan perhitungan tersebut, maka potensi pendapatan dari harta milik umum (batubara, minyak mentah, gas, emas, tembaga dan nikel dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (dua kali lipat APBN yang 77% pemasukannya dari pajak). Ini jika ditambah dengan hasil hutan dan hasil laut. Pendapatan sebesar ini belum termasuk dari 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar (Lihat: Muis, “Sumber Penerimaan Negara Islam Tanpa Pajak dan Utang,” Al-Waie, Maret 2024). 


Agar semua itu bisa terwujud, jelas negara ini harus diatur oleh syariah Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi Kapitalisme sebagaimana saat ini, yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas sesuai ketentuan syariah Islam terhadap para koruptor—khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat)—wajib ditegakkan. 


Karena itu penerapan syariah Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah SWT telah memerintahkan semua Muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariah Islam secara menyeluruh (kâffah), sebagaimana firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 


Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Rasulullah saw. bersabda:


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ


Kaum Muslim berserikat (dalam hal kepemilikan) atas tiga perkara: padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad). []

Monday, May 20, 2024

Syarah Hadits “Umatku Terpecah di atas 73 Firqah

 SOAL - JAWAB

Syarah Hadits “Umatku Terpecah di atas 73 Firqah


Asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah


Soal:


Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.


Saya Abdullah dari Afganistan, semoga Allah senantiasa menjaga Anda ya syaikhuna.


Rasulullah saw bersabda:


«سَتَنَقْسِمُ أُمَّتِيْ إِلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَكُلُّهَا فِيْ النَّارِ مَا عَدَا وَاحِدًا»


“Umatku akan terpecah menjadi 73 firqah dan semuanya di neraka kecuali satu”.


Saya berharap Anda sudi menjelaskan hadits ini??


Abdullah Umar


Jawab:


Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.


Pertama, hadits yang Anda tanyakan bukan dengan redaksi yang ada di pertanyaan Anda. Di dalam pemaparan kami di dalam Jawab Soal yang telah kami publikasikan pada 24 Rabiul Akhir 1439 H atau 11 Januari 2018 M untuk hadits ini dengan berbagai riwayat, pada sebagiannya ada tambahan berbeda-beda. Kami simpulkan di akhirnya: “bahwa hadits terpecahnya umat menjadi 73 firqah tanpa tambahan adalah shahih… Dan bahwa tambahan pertama, “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidatan –semuanya di neraka kecuali satu-“ dinilai hasan oleh banyak ulama… Adapun tambahan kedua, “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan –semuanya di surga kecuali satu-“ maka telah didhaifkan oleh banyak ulama, sedangkan mereka yang menshahihkannya atau menilainya hasan sedikit sekali… Atas dasar itu, yang saya rajihkan adalah bahwa tambahan yang diambil adalah “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidatan –semuanya di neraka kecuali satu-“. Adapun tambahan yang lain, “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan –semuanya di surga kecuali satu-“ maka tidak diambil. Hal itu sesuai apa yang kami sebutkan dari riwayat-riwayat untuk kedua tambahan tersebut…). dan berdasarkan apa yang kami paparkan di Jawab Soal tersebut, maka riwayat-riwayat yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan istidlal adalah riwayat-riwayat berikut:


– Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan di Sunan-nya dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:


«تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً»


“Orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, dan orang Nashrani telah terpecah menjadi semisal itu dan umatku akan terpecah menjadi 73 firqah”.


Dan dalam bab ini ada riwayat dari Sa’ad, Abdullah bin Amru dan ‘Awf bin Malik. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata: “hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih”. Dan dalam riwayat at-Tirmidzi lainnya dari Abdullah bin Amru, ia berkata: Rasulullah saw bersada:


«… وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»


“… Dan sesungguhnya Bani Israel telah terpecah di atas 72 millah dan umatku akan akan terpecah di atas 73 millah, semua mereka di neraka kecuali satu millah”. Mereka berkata: “siapa dia ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “apa yang aku dan para sahabatku di atasnya”.


Abu Isa berkata: “hadits ini hasan gharib…” ……


– Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahihayn dari Abu ‘Amir Abdullah bin Luhayyi, ia berkata: kami beradu argumetasi dengan Muawiyah bin Abiy Sufyan … kemudian ia berdiri ketika shalat Zhuhur di Mekah, lalu ia berkata: Nabi saw bersabda:


«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ…»


“Sungguh Ahlul Kitab mereka telah terpecah dalam agama mereka di atas 72 millah, dan umat ini akan terpecah di atas 73 millah, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al-jama’ah”.


Al-Hakim berkata: “sanad-sanad ini telah ditegakkan hujjah dalam penshahihan hadits ini… Dan disetujui oleh adz-Dahabi.


– Abu Dawud dan Ibnu Majah mengeluarkan yang semisalnya di Sunan-nya.


Kedua: adapun makna yang kami rajihkan untuk hadits ini adalah sebagai berikut:


1. Kata al-firqah dan at-tafarruq kebanyakan penggunaannya di dalam syara’ dengan makna perbedaan di dalam akidah dan pokok agama dan perbedaan dalam hal-hal qath’i dan bukti-bukti yang jelas (al-bayyinât):


– Allah SWT berfirman:


﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴾


“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (TQS Ali Imran [3]: 105).


– Allah SWT berfirman:


﴿وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ﴾


“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata” (TQS al-Bayyinah [98]: 4).


– Allah SWT berfirman:


﴿إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ﴾


“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (TQS Ali ‘Imran [3]: 19).


– Allah SWT berfirman:


﴿إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ﴾


“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (TQS al-An’am [6]: 159).


2- Al-jama’ah di sini di dalam hadits-hadits ini, di dalam syara’ digunakan menyebut jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-muslimîn) masyarakat yang tegak berdasarkan akidah islamiyah. Dinyatakan nas-nas syar’iy yang menjelaskan makna ini. Di antaranya adalah hadits al-Muttafaq ‘alayh dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: “Rasululalh saw bersabda:


«لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ»، رواية مسلم


“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah rasulullah kecuali dengan satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah berzina, jiwa karena membunuh jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jama’ah” (HR Muslim).


Di dalam hadits yang mulia ini, Nabi saw menjelaskan bahwa meninggalkan jamaah adalah keluar dari agama dan meninggalkannya sebab Beliau menjadikan orang yang meninggalkan agamanya sebagai orang yang memisahkan dari (mufâriqu) jamaah, maka dari hal itu diketahui bahwa memisahkan dari (mufâriqu) jamaah dengan makna ini adalah kufur dan keluar dari agama dan millah …


– Dinyatakan di Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî oleh Ibnu Hajar sebagai berikut:


[ … Sabda beliau “al-mufâriqu li dînihi at-târiku li al-jamâ’ati -memisahkan dari agamanya meninggalkan jamaah-“, demikian di dalam riwayat Abu Dzar dari al-Kusymihani, sedangkan untuk yang selainnya: “wa al-mâriqu min ad-dîn -keluar dari agama-”. Tetapi menurut an-Nasafi, as-Sarakhsiy dan al-Mustamliy “wa al-mariqu li dînihi -keluar dari agamanya-”. Ath-Thaybiy berkata “al-mâriqu adalah at-târiku (yang meninggalkan) dari al-murûq yaitu al-khurûj (keluar). Dan di dalam riwayat Muslim “wa at-târiku li dînihi al-mufâriqu li al-jamâ’ati -meninggalkan agamanya memisahkan dari jamaah-”. Dan di dalam riwayat ats-Tsawri “al-mufâriqu li al-jamâ’ati -memisahkan agamanya-“ … dan yang dimaksudkan dengan jamaah adalah jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-muslimîn), yakni memisahkannya atau meninggalkannya dengan murtad jadi itu merupakan sifat untuk orang yang meninggalkan atau memisahkan … Al-Baydhawi berkata, at-târiku li dînihi -meninggalkan agamanya- merupakan sifat yang menegaskan al-mâriq yakni orang yang meninggalkan jamaah kaum Muslim (Jamâ’ah al-Muslimîn) dan keluar dari mereka semua …] selesai.


3. Sabda Rasul saw di riwayat-riwayat yang berbeda untuk hadits tersebut:


«وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي»، «وَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ»، «وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ»


“Dan umatku terpecah”, “dan umat ini terpecah”, “dan bahwa millah ini akan terpecah”.


Jelas darinya bahwa ummat atau millah di sini adalah Ummat Islam yang mengimani agama Islam. Rasul saw dalam satu riwayat telah menyandarkan kata ummat kepada diri beliau sendiri “ummatiy -ummatku-“. Dan beliau memakrifatkannya dalam riwayat lain bahwa “hâdzihi al-ummah -ummat ini-“, “wa hâdzihi al-millatu -dan millah ini-“. Dan jelas bahwa hadits tersebut tentang ummat tertentu dan tentang millah tertentu yaitu Ummat Islam ….


4- Ikhtilaf (perbedaan) di dalam Islam sebagaimana telah diketahui, ada yang tercela dan ada yang terpuji. Adapun ikhtilaf yang terpuji adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah ijtihadiyah berdasarkan ikhtilaf (perbedaan) dalam memahami nas-nas. Dan untuk orang yang tepat, di dalamnya ada dua pahala sedangkan untuk orang yang keliru ada satu pahala sebagaimana yang ada di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahîhnya dari Amru bin al-‘Ash ra bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:


«إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»


“Jika seorang hakim memutuskan dan ia berijtihad kemudian tepat maka untuknya dua pahala dan jika ia memutuskan dan berijtihad kemudian keliru maka untuknya satu pahala”.


Adapun ikhtilaf (perbedaan) yang tercela, di antaranya perbedaan (ikhtilaf) dalam akidah, bukti-bukti yang jelas dan nas-nas qath’iy, dan itu merupakan perbedaan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dan di antaranya adalah perbedaan (ikhtilaf) yang berdasarkan hawa nafsu seperti perbedaan penganut bid’ah yang mereka tidak sampai kafir karena bid’ah mereka. Dan di antaranya adalah perbedaan (ikhtilaf) terhadap imam dan ketaatan kepadanya sampai perbedaan-perbedaan lainnya yang tercela yang pelakunya tidak sampai keluar dari Islam karenanya…


Ketiga: berdasarkan catatan-catatan yang disebutkan di atas dan memperhatikannya, kita dapat memahami hadits yang mulia seputar terpecahnya Yahudi, Nashrani dan terpecahnya Ummat Islam …. Penjelasannya sebagai berikut:


1- Allah SWT mengutus Musa as dengan membawa agama yang haq kepada Bani Israel lalu orang yang beriman pun beriman kepadanya dan berkumpul bersamanya di atas akidah dan tauhid yang haq sehingga dengan itu mereka menjadi satu millah mukminah … Tetapi seiring waktu, keluar dari millah ini kelompok manusia yang bersama mereka berbeda dalam agama.


«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً»


“Ahlul kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah”.


Mereka terpecah dalam akidah mereka, bukti-bukti yang jelas dan perkara-perkara qath’iy dari agama Musa as sehingga mereka keluar dari agama Musa dan menjadi kafir. Kelompok-kelompok yang keluar dari agama Musa dan menjadi banyak millah lain ini karena perbedaan pandangannya dalam pokok agama.


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً»


“Ahlul kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah”.


Mereka terpecah sampai 70 atau 71 firqah, semuanya merupakan millah kufur dan termasuk penghuni neraka. Adapun millah yang tetap berada di atas agama Musa as yakni di atas millah Musa as yaitu kelompok ke-71 atau ke-72 maka termasuk pengikut kebenaran (ahlu al-haqq), termasuk penghuni surga dan itu adalah firqah yang selamat dari para pengikut nabiyullah Musa as …


2- Demikian juga, Allah SWT mengutus Isa as dengan membawa agama yang haq kepada Bani Israel, lalu orang yang beriman pun beriman dan mereka berkumpul bersama Isa as di atas akidah dan tauhid yang haq dan dengan itu mereka menjadi satu millah mukminah … Tetapi seiring waktu keluar dari millah ini, kelompok-kelompok manusia dan mereka berbeda pendapat dalam agama, mereka memecahnya dalam akidahnya, bukti-bukti yang jelas dan perkara-perkara qath’iy agama Isa as sehingga mereka keluar dari agama Isa as dan menjadi kafir. Kelompok yang keluar dari agama Isa as dan menjadi millah-millah lain karena perbedaan pandangannya dalam perkara pokok agama, kelompok ini mencapai 71 firqah. Semuanya merupakan millah kufur dan termasuk penghuni neraka. Adapun millah yang tetap di atas agama Isa as yakni di atas millah Isa as yakni kelompok ke-72 maka termasuk pengikut kebenaran (ahlu al-haqq), termasuk penghuni surga dan itulah kelompok yang selamat dari para pengikut Isa as …


3- Kemudian Allah SWT mengutus nabi-Nya Muhammad saw dengan membawa agama yang haq dan akidah tauhid maka orang yang beriman pun beriman dan mereka berkumpul di atas akidah yang diimani oleh Nabi saw dan para sahabat beliau yang mulia sehingga mereka dengan berkumpulnya mereka ini menjadi Ummat Islam dan millah Islam dan al-jama’ah … Tetapi kaum-kaum dari kaum Muslim itu telah keluar (dan akan keluar) dari agama Muhammad saw dan mereka telah meninggalkan (dan akan meninggalkan) apa yang ditetapi oleh Nabi saw, para shahabat beliau dan jamaah kaum Muslim berupa keimanan kepada akidah Islam, mengambil perkara-perkara qath’i Islam dan bukti-buktinya yang jelas … dan setiap kaum dari mereka yang keluar dari Islam itu menjadi firqah dan millah yang berbeda dari millah Islam sebab mereka mengimani akidah-akidah yang menyalahi akidah Islam … Kelompok (firqah) yang para pengikutnya berasal dari pemeluk Islam kemudian mereka keluar dari Islam itu mencapai atau akan mencapai 72 firqah atau millah, dan semuanya merupakan firqah kafir dan mereka termasuk penghuni neraka … Dan tinggal firqah/millah ke-73 yaitu firqah induk yang merupakan al-Jamâ’ah dan millah Islam yang beriman dengan apa yang ditetapi oleh Nabi saw dan para shahabat beliau yang mulia, berpegang dengan perkara-perkara qath’i dari Islam dan bukti-bukti Islam yang jelas. Itulah Ummat Islam yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada al-Qadha’ dan al-Qadar baik dan buruknya berasal dari Allah SWT … Itulah Ummat Islam secara umum. Dialah kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dan termasuk penghuni surga, dan itu merupakan kelompok dan millah yang berhimpun di atas apa yang ditetapi oleh Nabi saw dan para shahabat beliau, dan itulah al-Jama’ah.


Keempat: berdasarkan penjelasan ini untuk makna hadits tersebut dan faktanya, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:


1- Kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) adalah Ummat Islam dengan pemahamannya yang umum, yaitu yang berhimpun di atas Akidah Islam dan perkara-perkara agama yang qath’iy dan bukti-buktinya yang jelas bagaimana pun para pengikutnya berbeda pandangan, pendapat dan madzhab dalam semua masalah-masalah cabang akidah dan hukum-hukum syara’ …… Dan sebab keselamatannya dan keberadaannya termasuk penghuni surga adalah keminanannya kepada akidah Islam, perkara-perkara qathliy Islam dan bukti-buktinya yang jelas … Atas dasar itu:


a- Ahlu as-sunnah wa al-jamâ’ah dari kalangan ahli kalam seperti al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah dan seluruh madzhab kalam, dan demikian juga mereka yang disebut dengan lafal “as-Salafiyah” dan ahlul hadits dan selain mereka, termasuk para pemlik pendapat dan madzhab-madzhab pemikiran yang islami …


Mereka semua termasuk kelompok yang selamat ini dengan izin Allah karena mereka termasuk para pengikut Muhammad saw yang mengimani akidah Islam, perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-buktinya yang jelas … Sementara perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari Islam.


b- Madzhba-madzhab fikhiyah yang berbeda baik hanafiyah, malikiyah, syafi’iyyah, hanbaliyah dan madzhab-madzhab selain mereka, dan para pengikut para mujtahid yang berbeda-beda … Mereka semua termasuk pengikut kelompok yang selamat dengan izin Allah SWT sebab mereka termasuk para pengikut Muhammad saw yang mengimani Akidah Islam, perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-buktinya yang jelas … Sementara perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari Islam.


c- Jamaah-jamaah Islamiyah dan gerakan-gerakan yang beraktifitas di lapangan pada masa kita ini seperti Hizbut Tahrir, al-Ikhwan al-Muslimun, Jamaah Tabligh, Jamaah-jamaah jihadiyah, jamaah-jamaah as-Salafiyah dan yang lainnya … semuanya termasuk pengikut kelompok yang selamat dengan izin Allah sebab mereka termasuk para pengikut Muhammad saw yang mengimani Akidah Islam, perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-bukti Islam yang jelas … Sementara perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka, tidak mengeluarkan mereka dari Islam.


Oleh karena itu, tidak boleh suatu kelompok dari Ummat Islam berdasarkan hadits yang mulia ini, mengklaim bahwa mereka adalah firqah yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dan kelompok yang selamat (ath-thâifah an-nâjiyah), sebab makna yang demikian itu mengeluarkan orang yang berbeda dengan mereka di antara kaum Muslim dari daerah Islam ke daerah kufur dan ini tidak boleh sama sekali. Semua kaum Muslim yang beriman dengan akidah Islam yang berpegang dengan perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-bukti Islam yang jelas, mereka termasuk pengikut kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dengan izin Allah.


4- Kelomok yang keluar dari Islam dan menjadi kafir dan dengan itu layak menjadi kelompok yang binasa, termasuk penghuni neraka adalah kelompok yang menyalahi agama dan memisahkan dari akidah kaum Muslim dan melampaui Islam, perkara-perkaranya yang qath’i dan bukti-buktinya yang jelas dan menyekutukan Allah dengan selain-Nya atau mengambil nabi setelah Muhammad saw atau mengingkari sunnah Rasulullah saw atau semacam itu … seperti orang-orang Druz, Nushairiyah. al-Bahaiyah, Qadiyaniyah dan kelompok-kelompok kafir lainnya yang telah keluar dari Islam … Yang mirip mereka dari orang-orang Yahudi yang telah keluar dari agama Musa as adalah kaum yang menjadikan ‘Uzair as sebagai putera Allah, dan dari para pengikut Isa as yang menjadikan Isa as sebagai putera Allah … Mereka telah keluar dalam akidah mereka dari akidah dan agama nabi Musa as dan Isa as dan dengan itu mereka menjadi termasuk orang-orang kafir.


Saya berharap makna hadits tersebut dengan penjelasan ini telah menjadi jelas, wallâh a’lam wa ahkam.


Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


16 Jumada al-Akhirah 1442 H


29 Januari 2021 M

Sunday, May 19, 2024

Syaikh Yusuf an-Nabhani. Siapakah beliau? Apakah beliau mempunyai hubugan dengan ulama Nusantara

 Hubungan erat Syaikhuna Yusuf an-Nabhani dengan Masyayikh Jawi dan Sadah Ba'alawi 👇


Oleh Nanal Ainal Fauz 


Kembali ke pembahasan Syaikh Yusuf an-Nabhani. Siapakah beliau? Apakah beliau mempunyai hubugan dengan ulama Nusantara

? Mari simak penjelasan berikut.


Imam Yusuf an-Nabhani adalah ulama terkemuka asal Beirut Lebanon. Lahir di daerah Ijzim Palestina (sekarang masuk wilayah Beirut) pada tahun 1265 H dan wafat dan dimakamkan di Beirut pada Ramadhan 1350 H.


Beliau adalah ulama yang sangat gigih dalam membela Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah. Imam an-Nabhani terkenal gandrung terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Banyak sekali kitab-kitab yang beliau tulis yang tentang al-Hadlrah an-Nabawiyyah. Seperti kitab Afdhal as-Shalawat Ala Sayyid as-Sadat, Sholawat ats-Tsana', Jami' ash-Shalawat, al-Anwar al-Muhammadiyyah, Sa'adat ad-Darain dan Hujjat Allah al-Balighah.


Dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan amaliah Ahlussunnah wal Jama'ah beliau menulis kitab Syawahid al-Haqq fi al-Istighatsah bi Sayyid al-Khalq, Raf'u al-Isytibah fi Istihalat al-Jihati Ala Allah, dan lainnya. Imam an-Nabhani juga menulis kitab dalam dua jilid yang memuat keramat-keramat para wali. Kitab tersebut bernama Jami' Karamat al-Auliya'.


Beliau juga menggubah Qashidah Asmaul Husna yang sangat populer di Jawa. Pernah dipopulerkan oleh KH. Ali Ma'sum Krapyak dan KH. Arwani Amin Kudus. Sampai sekarang masih dibaca di PP Krapyak Yogyakarta dan PP Yanbu'ul Quran Kudus juga pondok-pondok yang didirikan para alumni. Qashidah tersebut berjudul al-Muzdawajat al-Hasna fi al-Istighatsah bi Asma' Allah al-Husna. Mathla' qashidahnya adalah:

بِسۡمِ الۡإِلَٰهِ وَبِهِ بَدَيْنَا ٭ وَلَوۡ عَبَدۡنَا غَيۡرَهُ شَقِينَا

يَاحَبَّذَا رَبَّا وَحُبَّ دِينَا ٭ وَحَبَّذَا مُحَمَّدٌ هَادِيـنَا

لَوۡلَاهُ مَاكُنَّا وَلَابَقِينَا


*


Jika menilik data sejarah kita bakal menemukan ternyata beliau memiliki hubungan erat dengan ulama Nusantara. Antara lain sebagai berikut:


Pertama, Imam an-Nabhani berteman dengan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus al-Jawi. Bahkan beliau pernah memberi kalimat taqridz terhadap risalah Syaikh Abdul Hamid Kudus yang berjudul at-Tuhfat al-Mardliyyah fi Jawazi Tafsir al-Qur'an bi al-A'jamiyyah. Yaitu sebuah risalah yang menjawab permintaan fatwa apakah diperbolehkan menulis tafsir al-Quran dengan bahasa non Arab seperti bahasa Jawa dan Persi?. Inti jawabannya adalah: diperbolehkan.


Setelah membaca risalah ini Imam Yusuf an-Nabhani menulis kalimat taqridz:


الحمد لله وحده، قد اطلعت على هذا الجواب من العالم العامل الفاضل الكامل الشيخ عبد الحميد أفندي قدس الجاوي المكي أحد المدرسين في المسجد الحرام، فوجدته جوابا صميما لا شبهة فيه ولا ارتياب، وإني أتعجب ممن يتردد في جواز تفسير القرآن بالعجمية لا على وجه الترجمة لفظا بلفظ الممنوع؛ لأن التفسير على الوجه المذكور  لو كان ممنوعا شرعا لما كان لتبليغ الأعاجم معاني القرآن طريقة مطلقا، وهذا بديهي البطلان، لا يقول به أحد من ذوي العرفان.

حرر في ١٣ رجب سنة ١٣٢٢ هـ الفقير يوسف النبهاني رئيس محكمة الحقوق في بيروت.


"Segala puji hanya bagi Allah. Sungguh aku telah membaca jawaban dari al- 'Alim al-'Amil al-Fadhil al-Kamil Syaikh Abdul Hamid Afandi Kudus al-Jawi al-Makki, salah satu pengajar di Masjidil Haram. Saya mendapatinya sebagai jawaban tepat yang di dalamnya tidak ada syubhat dan keraguan. Saya heran terhadap orang yang meragukan diperbolehkannya mentafsiri Al-Quran dengan bahasa Ajam, sebagai tafsir bukan terjemah lafadz perlafadz al-Qur'an yang dilarang. Karena tafsir yang demikian seandainya dilarang, maka tidak akan ada cara untuk menyampaikan makna-makna al-Qur'an kepada orang-orang non Arab. Larangan ini bathil dan Salah secara Badihi.


Ditahrir 13 rojab 1322 H oleh al-Faqir Yusuf an-Nabhani, Kepala Mahkamah al-Huquq di Beirut."


Lalu Imam an-Nabhani membubuhi kalimat taqridznya dengan stempel beliau.


Kedua, Imam an-Nabhani adalah guru dari Syaikh Yasin al-Fadani dan ayah beliau. Yaitu Syaikh Isa bin Odek al-Fadani.


Syaikh Yasin al-Fadani pernah mendapat sanad dan ijazah dari Imam an-Nabhani. Syaikh Yasin pun juga mencatat nama Imam an-Nabhani sebagai guru dalam beberapa kitabnya. Antara lain kitab al-Kawakib ad-Darari.


Sedangkan ayahnya, Syaikh Isa al-Fadani, kisah pertemuan beliau dengan Imam an-Nabhani diabadikan oleh Syaikh Mukhtaruddin al-Falimbani yang tak lain adalah murid Syaikh Yasin al-Fadani, dalam kitab beliau yang berjudul Bulugh al-Amani fi at-Ta'rif bi Syuyukh wa Asanid Musnid al-'Ashr al-Fadani. Beliau berkata:


جاور بالمدينة المنورة أعواماً ولما زار والد شيخنا الشيخ الحاج محمد عيسى بن أوديق زيارته الأولى إلى المدينة اتفق به في الحرم النبوي وأنس به وزاره في منزله وجالسه وأخذ عنه في الأوراد والأذكار والصلوات وغيرها واستفاد منه وأجيز منه عامة شفهياً.


"Syaikh Yusuf an-Nabhani pernah tinggal di Madinah al-Munawwarah beberapa tahun. Ketika ayah Syaikhna al-Fadani, Syaikh Muhammad Isa bin Odek al-Fadani, pertama kali ziarah ke Madinah, tak sengaja bertemu dengan Syaikh an-Nabhani di Masjid an-Nabawi. Mereka pun mulai akrab. Lalu Syaikh Isa al-Fadani mengunjungi beliau dan mujalasah di kediamannya. Dari beliau Syaikh Isa al-Fadani mengambil ijazah wirid, dzikir, shalawat dan lain sebagainya. Syaikh an-Nabhani juga mengijazahi Syaikh Isa Ijazah Ammah secara lisan."


ثم في سنة ١٣٤٩ بعث إليه وهو ببيروت خطابا طلب فيه منه كتابة الإجازة لنفسه ولأولاده الثلاثة شيخنا محمد ياسين وأخويه محمد طه وإبراهيم فاستجاب وأجاز عامة وكتب الإجازة بخطه الشريف من بيروت في ١٩ رجب سنة ١٣٤٩ نصها مودع في بغية المريد من علوم الأسانيد.


"Kemudian pada tahun 1349 H, Syaikh Isa al-Fadani mengirim surat kepada Syaikh an-Nabhani yang saat itu sedang di Beirut, meminta menuliskan ijazah untuk diri Syaikh Isa dan ketiga anaknya; Syaikhna Muhammad Yasin, Muhammad Thaha dan Ibrahim. Syaikh an-Nabhani pun mengabulkan permintaannya. Beliau mengijazahi ijazah ammah dan menuliskan ijazah tersebut dengan tulisan beliau sendiri dari Beirut, tertanggal 19 Rajab 1349 H. Redaksi ijazah itu termuat dalam kitab "Bughyat al-Murid min 'Ulum al-Asanid" (karya Syaikh Yasin al-Fadani)."


Selain Syaikh Yasin al-Fadani dan ayahnya, ulama Nusantara yang juga pernah mengambil ilmu dari Imam an-Nabhani adalah Habib Ali bin Husain al-Attas Bungur, mahaguru dari para ulama Betawi pada masanya.


Habib Ali Bungur menyebutkan nama Imam an-Nabhani sebagai guru dalam beberapa tulisan beliau. Antara lain dalam ijazah beliau untuk KH. M. Utsman al-Ishaqi Surabaya dan Muallim Syafi'i Hadzami Jakarta. Bahkan, Habib Ali Bungur juga menulis sekilas profil Imam an-Nabhani dalam kitab mahakarya beliau Taj al-A'ras fi Manaqib al-Habib Shalih al-Attas.


Semoga keberkahan mereka menyertai kita semua. Amin


Pati, 19 Mei 2024

Monday, May 6, 2024

KUTEMUKAN JAWABANNYA SETELAH 15 TAHUN KUCARI

 KUTEMUKAN JAWABANNYA SETELAH 15 TAHUN KUCARI


Oleh : KH Ali Bayanullah, Al-Hafidz (Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Sumedang)


“Khilafah itu pernah ada, tapi kapan runtuhnya?”


“Semua Imam mahzab menyatakan mendirikan Khilafah itu fardhu kifayah, tapi mengapa Arab kerajaan, Indonesia republik, dan negeri Muslim lainnya pun tidak ada yang menerapkan Khilafah?”


Dua pertanyaan itu muncul di benak, tatkala membaca bab imamah atau bab Khilafah ketika aku diamanahi memegang kunci perpustakaan Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, saat nyantri di ponpes pimpinan KH Maimun Zubair. 


Saat itu, aku benar-benar haus ilmu. Maka kulahap kitab-kitab yang ada, bahkan kitab-kitab yang besar pun kubaca. Kemudian aku berpikir, mengapa bab Khilafah adanya di kitab-kitab besar, kalau di kitab-kitab kecil jarang sekali? Adanya di kitab Fathul Wahab karya Syeikh Zakaria Al-Anshori. Dan itu memang dijelaskan ada.


Di kitab Bisarwani juga ada. Begitu juga dalam kitab Hayatul Hayawan tapi di situ tidak sampai Bani Utsmaniyah, ke Bani Fatimiyah juga tidak sampai, cuma sampai Bani Abasiyah. Dalam kitab bisyarahnya Fathul Wahab seperti Fujairrumi Wahab juga dijelaskan masalah imamah, tetapi sayangnya tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara pengangkatan seorang Khalifah dan lain sebagainya.


Itu yang membuatku penasaran, ingin mengetahui. Dari buka-buka kitab itu ditambah pengetahuanku ketika di sekolah belajar sejarah Islam itu. Di situ Khilafah dibahas mulai dari Khulafaur Rasyidin. Kemudian Bani Umayah dan Bani Abasiyah.


Aku ingin mengetahui sejarahnya Khilafah dan bagaimana hancurnya. Dan bagaimana hubungannya ketika dulu, pada masa Nabi Muhammad SAW, kemudian diganti masa Khulafaurrasyidin, Kemudian bani Umayah dan Bani Abasiyah.


Lantas ke mana ini Khalifah? Sekarang kok tidak ada di dunia Islam. Itulah yang menjadikan aku terus penasaran. Karena apa? Karena Khilafah itu yang aku baca di kitab-kitab ketika di pesantren itu, ternyata wajib. Fardhu kifayah ini, semua imam mazhab menyatakan wajib tetapi mengapa sekarang tidak ada? Itulah yang membuatku penasaran.


Namun sayang, tidak ada satu pun kiai dan ustadz yang kutemui dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasaranku.


MENEMUKAN JAWABAN


Tahun 1993, aku kembali ke kampung halaman, menikah dan mengamalkan ilmu yang kudapat saat nyantri. Rasa penasaranku tidak hilang, namun aku pun bingung harus bertanya pada siapa? Terpaksa kupendam sendiri.


Suatu hari pada tahun 2002, ketika melintas Jalan Pamager Sari, Sumedang aku benar-benar dikagetkan dengan adanya spanduk yang bertuliskan “Syariah” dan “Khilafah” membentang di atas jalan.


Nah, penasaranku membuncah kembali. Tapi aku bingung, siapa yang memasang spanduk ini? Satu-satunya indikasi hanya kata “Hizbut Tahrir” berarti yang memasang spanduk ini Hizbut Tahrir? Tapi apa itu Hizbut Tahrir? Aku pun penasaran. Namun sayang, setiap orang yang kutemui dan kutanya, tidak ada yang mengenal “Hizbut Tahrir” itu.


Aneh, ada spanduk tetapi tidak ada orangnya. Padahal aku sangat berharap dari Hizbut Tahrir itulah pertanyaanku dapat terjawab. Sejak saat itu, pertanyaan yang menghantui benakku bertambah satu lagi, apa itu Hizbut Tahrir? Tapi lagi-lagi harus kupendam sendiri karena orang-orang di sekelilingku tidak ada yang dapat memberikan petunjuk.


Sampailah pada suatu saat di tahun 2005, seorang pemuda bernama Acep Muhyiddin bertandang ke rumahku. Ia menyatakan ingin bersilaturahmi. Namun betapa kagetnya aku ketika dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah aktivis Hizbut Tahrir! Alhamdulillah, betapa senangnya aku.


Aku pun bertanya tentang Hizbut Tahrir dan Khilafah. Subhanallah, meski lelaki itu berperawakan kecil tetapi ilmunya sangat besar. Aku pun langsung kagum dengan jawabannya yang begitu gamblang terkait dua pertanyaan besarku itu.


Begitu rinci ia menjelaskan bahwa Khilafah itu berdiri selama 13 abad, terhitung sejak Daulah Islam berdiri di Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah, kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, Bani Umawiyah, Bani Abbasiyah, dan berakhir pada 1924 saat ibu kotanya berada di Turki pada masa Bani Utsmaniyah.


Keruntuhuan itu terjadi bukan saja lantaran kemunduran kaum Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang mulia tetapi juga lantaran adanya konspirasi keji bangsa kafir penjajah Inggris dan para pengkhianat termasuk Mustafa Kamal Attaturk laknatullah. Sedangkan, Hizbut Tahrir adalah kelompok di antara kaum Muslim yang berjuang untuk mengembalikan tegaknya Khilafah itu.


Di kesempatan berikutnya, ia datang kembali membawa kitab yang menjelaskan konspirasi meruntuhkan Khilafah yakni kitab Kayfa Khudimatul Khilafah karya Amir Kedua Hizbut Tahrir Syeikh Abdul Qadim Zallum.


Subhanallah, dari penjelasan sang aktivis dan kitab karya amir kedua Hizbut Tahrir itu terjawab sudah teka-teki yang ada di dalam benakku selama 15 tahun ini. Kemudian aku pun mendapatkan berbagai kitab lainnya yang diterbitkan Hizbut Tahrir. Dari situ, aku yakin tidak ada alasan untuk menolak ajakan Hizbut Tahrir untuk sama-sama berjuang menegakkan syariah dan Khilafah.


BERDAKWAH


Sejak itu, kusampaikan kepada yang lain yang datang ke Darul Bayan (majlis taklim dan tahfidz Alquran asuhannya—red) bahwa aku punya kitab-kitab Hizbut Tahrir, bila isinya bertentangan dengan kitab-kitab pesantren maka aku orang pertama yang akan menentangnya. Tapi kalau memang cocok dengan kitab yang aku jadikan patokan, ayo sama-sama kita dukung perjuangan Hizbut Tahrir.


Tapi sayang, tidak semua kiai, ustadz dan ajengan yang kuajak menyambut ajakanku. Hanya sebagian saja di antara mereka yang mendukung. Kujelaskan pada mereka, bukankah kitab-kitab Hizbut Tahrir itu cocok dengan kitab-kitab yang selama ini kita pelajari di pesantren seperti Fathul Wahab, Fujurrami, Fujurrami Itsna, Sarwani, Muradhatut Thalibin?


Itukan kitab-kitab yang tidak asing karena dikaji di pesantren. Itu yang kuambil sebagai patokan. Ternyata semuanya malah sama. “Jadi mengapa kita harus menolak ajakan Hizbut Tahrir?” ujarku pada mereka.


Yang menolakku itu setidaknya ada tiga tipe. Pertama, yang tidak percaya diri. Sebenarnya mereka senang dengan ajakanku. “Sebenarnya memang harusnya begitu. Ini memang harusnya dirubah, hukum di kita ini harus dirubah dengan Islam, ya tapi mangga wae (silakan saja), saya belum mampu,” ujar mereka.


Kedua, mereka itu menjalankan agama bukan mengikuti manhaj agama, tapi yang diikuti itu adalah figur. Padahal aku sudah banyak memberikan dalil tentang bagaimana wajibnya Khilafah kepada ustadz-ustadz, ajengan-ajengan itu. Mereka jawab, “ya ini dalil tidak salah, cuma pemahaman Anda yang salah”. Tapi ketika kutanya pemahaman yang benar terhadap dalil tersebut itu seperti apa mereka tidak bisa jawab.


Bahkan ada yang berkata, ”Ya pokoknya kita sudah punya gurulah.” Tetapi ketika ditanya penjelasan gurunya seperti apa? dia diam saja. Mungkin mereka anggap perjuangan Khilafah ini perjuangan yang nyeleneh yang tidak pernah diperjuangkan oleh guru-guru mereka. Ini yang kutangkap dari pemahaman mereka.


Yang ketiga, kuatir kehilangan jamaah.


Kukatan kembali kepada mereka jadi salah besar kalau sistem Khilafah itu ide Hizbut Tahrir. Ini bukan ide Hizbut Tahrir tapi itu syariah Islam yang telah hilang kemudian dimunculkan kembali oleh Hizbut Tahrir. Jadi mestinya perjuangan Khilafah itu, harus diawali dari pesantren. Karena kitab-kitabnya itu banyak di pesantren itu. Nah itu yang menjadi keheranku, kenapa tidak muncul dari pesantren?


Mereka yang menolak ajakanku itu malah tidak datang lagi, aku pun tidak diundang lagi untuk acara-acara di pesantren mereka. Namun, aku tidak berputus asa. Aku tetap mengajak mereka dan umat untuk turut berjuang bersama Hizbut Tahrir. Allahu Akbar![]


BIODATA SINGKAT AL-HAFIDZ PEJUANG KHILAFAH


Nama : KH Ali Bayanullah, Al Hafidz

Lahir : Sumedang, 1967


Pendidikan : 

1975-1978 Madrasah Ibtidaiyyah, Sumedang, Jawa Barat

1978-1981 Madrasah Tsanawiyah, Sumedang, Jawa Barat

1981-1987 Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat

1987-1991 Pondok Pesantren Al Anwar (KH Maimun Zubair), Sarang, Rembang, Jawa Tengah

1991-1993 Ponpes Tahfidz Alquran Darul Furqan (KH Abdul Qadir Umar Basyir), Janggalan, Kudus, Jawa Tengah


Jabatan : 

1993-sekarang Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Citeureup, Sumedang, Jawa Barat

Wednesday, May 1, 2024

Implementasi Struktur Daulah Islam: Pada Masa Rasul saw

 Implementasi Struktur Daulah Islam: Pada Masa Rasul saw.


Dalil Wajibnya Menegakkan Institusi Politik Pemerintahan Islam.


Sejak Rasul saw tiba di Madinah, beliau memerintah kaum Muslim, memelihara semua kepentingan mereka, mengelola semua urusan mereka, dan mewujudkan masyarakat Islam. Beliau juga mengadakan perjanjian dengan Yahudi, dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Quraisy, penduduk Ailah, Jirba’, dan Adzrah. Beliau memberikan janji kepada manusia tidak akan menghalanghalangi orang yang berhaji ke Baitullah dan tidak boleh ada seorang pun yang takut dalam bulan-bulan haram. Lalu beliau mengutus Hamzah bin Abdul Muthallib, ‘Ubaidah bin al-Harits dan Sa’ad bin Abi Waqash dalam berbagai ekspedisi untuk memerangi Quraisy. Beliau juga mengutus Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah untuk memerangi Romawi. Beliau mengutus Abdurrahman bin ‘Auf untuk memerangi Daumatul Jandal dan mengutus ‘Ali bin Abi Thalib beserta Basyir bin Sa’ad ke daerah Fidak. Selanjutnya Rasul saw mengutus Abu Salamah bin ‘Abdul Asad ke Qathna dan Najd, mengutus Zaid bin Haritsah ke Bani Salim lalu ke Judzam kemudian ke Bani Fuzarah di Lembah Qura terakhir ke Madyan, mengutus ‘Amru bin Al ‘Ash ke Dzati Salasil di wilayah Bani ‘Adzrah dan mengutus yang lainnya ke berbagai daerah. Beliau sering memimpin sendiri pasukan dalam berbagai peperangan terutama perang yang sangat besar.


Beliau mengangkat para wali untuk berbagai wilayah setingkat propinsi dan para amil untuk berbagai daerah setingkat kota. Beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi wali di kota Makkah setelah difutuhat dan Badzan bin Sasan setelah dia memeluk Islam menjadi wali di Yaman, mengangkat Mu’adz bin Jabal al-Khazraji menjadi wali di Janad, mengangkat Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash menjadi amil di Sanaa, Ziyad bin Labid bin Tsa’labah al-Anshari menjadi amil di Hadhramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy’ariy menjadi amil di Zabid dan ‘Adn, ‘Amru bin Al-‘Ash menjadi amil di Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi amil di Sanaa, ‘Adi bin Hatim menjadi wali Thuyyia, al-’Alla bin al-Hadhramiy menjadi amil di Bahrain dan Abu Dujanah sebagai amil Rasul saw di Madinah. Ketika mengangkat para wali, beliau saw memilih mereka yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan disandangnya, selain hatinya telah dipenuhi dengan keimanan. Beliau juga bertanya kepada mereka tentang tata cara yang akan mereka jalani dalam mengatur pemerintahan. Diriwayatkan dari beliau saw pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal al-Khazraji saat mengutusnya ke Yaman, “Dengan apa engkau akan menjalankan pemerintahan?” Dia menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.” Selanjutnya beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman kepada utusan Rasulullah terhadap yang Allah dan Rasul-Nya cintai”. Diriwayatkan dari beliau saw pernah mengangkat ‘Abban bin Sa’id menjadi Wali di Bahrain, lalu beliau berpesan kepadanya, “Bersikap baiklah kepada ‘Abdul Qais dan muliakanlah orang-orangnya”.


Beliau saw selalu mengirim para wali dari kalangan orang yang terbaik dari mereka yang telah masuk Islam. Beliau memerintahkan mereka untuk membimbing orang-orang yang telah masuk Islam dan mengambil zakat dari mereka. Dalam banyak kesempatan beliau melimpahkan tugas kepada para wali untuk mengurus berbagai kewajiban berkenaan dengan har ta, memerintahkannya untuk selalu menggembirakan masyarakat dengan Islam, mengajarkan al-Quran kepada mereka, memahamkan mereka tentang agama dan berpesan kepada seorang wali supaya bersikap lemah lembut kepada masyarakat dalam kebenaran serta bersikap tegas dalam kezaliman. Juga agar wali tersebut mencegah mereka bila di tengah-tengah masyarakat muncul sikap bodoh yang mengarah kepada seruan-seruan kesukuan dan primordialisme, lalu mengubah seruan mereka hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Beliau juga memerintahkan wali untuk mengambil seperlima harta dan zakat yang diwajibkan kepada kaum Muslim. Orang Nasrani dan Yahudi yang masuk Islam dengan ikhlas dari dalam dirinya dan beragama Islam, maka dia adalah bagian dari kaum Mukmin. Hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum Mukmin. Siapa saja yang tetap dalam kenasranian atau keyahudiannya, maka sesungguhnya dia tidak akan diganggu. Di antara pesan yang disampaikan Rasul kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman adalah, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan Ahli Kitab. Jadikanlah seruan pertama yang akan engkau sampaikan kepada mereka adalah menyembah Allah SWT. Jika mereka telah mengenal Allah SWT, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang yang kaya dan diserahkan kepada orang-orang fakirnya. Jika mereka menaatinya, maka ambillah dari mereka. Dan jagalah kehormatan harta mereka. Takutlah pada doa orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara mereka dan Allah tidak ada penghalang”.


Kadang-kadang beliau saw mengirim petugas khusus untuk urusan harta. Setiap tahun beliau mengutus Abdullah bin Rawahah ke Yahudi Khaibar untuk menghitung hasil pertanian mereka. Mereka pernah mengadu kepada Rasul saw gara-gara Ibnu Rawahah begitu teliti dalam melakukan perhitungan, lalu berencana untuk menyuap Ibnu Rawahah. Kemudian mereka mengumpulkan sejumlah perhiasan yang digunakan istri-istri mereka seraya berkata, “Ini dipersembahkan untuk anda dan ringankanlah beban kami serta longgarkanlah dalam pembagian”. Abdullah berkata, “Hai orang-orang Yahudi! Sesungguhnya kalian adalah mahluk Allah SWT yang paling aku benci. Perhiasan-perhiasan yang kalian sodorkan kepadaku agar aku membuat keringanan kepada kalian sama sekali tidak membebaniku. Adapun risywah yang kalian ajukan kepadaku sesungguhnya itu adalah haram dan kami tidak akan memakannya!”. Mereka menanggapi, “Ya, dengan begitulah langit dan bumi tegak”.


Beliau saw selalu mengungkap keadaan para wali dan amil serta mendengarkan informasi tentang mereka. Beliau telah memberhentikan al-’Alla’ bin al-Hadhrami, amil beliau di Bahrain, karena utusan ‘Abdul Qais mengadukannya kepada beliau. Beliau saw senantiasa mengontrol para amil dan mengevaluasi pendapatan serta pengeluaran mereka. Beliau mengangkat seseorang untuk tugas penarikan zakat. Ketika kembali, petugas tersebut menghitung bawaannya dan berkata, “Ini bagian anda dan yang ini dihadiahkan untukku”. Nabi saw menanggapi, “Tidak patut seseorang yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan dengan sesuatu yang Allah kuasakan kepada kami, lalu dia berkata, ‘Ini bagian anda dan yang ini dihadiahkan untukku.’ Kenapa dia tidak diam saja di rumah bapak dan ibunya, lalu menunggu, apakah akan datang hadiah kepadanya atau tidak?!” Beliau melanjutkan, “Siapa saja yang kami tugasi untuk suatu pekerjaan dan kami telah memberikan upah kepadanya, maka apa yang dia ambil selain upah itu adalah ghulul”.


Penduduk Yaman pernah mengadu tentang Mu’adz yang suka memanjangkan shalat (ketika jadi imam), lalu beliau menegurnya dan bersabda, “Siapa saja yang memimpin manusia dalam shalat, maka ringankanlah!”. Beliau saw telah mengangkat para Qadhi yang bertugas menetapkan keputusan hukum di tengah-tengah masyarakat. Beliau mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Qadhi di Yaman, ‘Abdullah bin Naufal menjadi Qadhi di Madinah dan menugaskan Mu’adz bin Jabal serta Abu Musa al-Asy’ariy sebagai Qadhi di Yaman. Beliau bertanya kepada keduanya, “Dengan apa kalian berdua akan menetapkan hukum?” Keduanya menjawab, “Jika kami tidak menemukan hukum dalam al-Kitab dan as-Sunah, kami akan mengqiyaskan satu perkara dengan perkara lainnya. Mana yang lebih dekat pada kebenaran, itulah yang akan kami gunakan”. Nabi saw lalu membenarkan keduanya. Ini menunjukkan bahwa beliau memilih para Qadhi dan menetapkan tata cara bagi mereka dalam memutuskan suatu perkara. Beliau tidak cukup dengan mengangkat para Qadhi melainkan menetapkan juga mahkamah mazhalim.


Beliau saw mengatur langsung kemaslahatan masyarakat dan mengangkat para petugas pencatat untuk mengelola kemaslahatankemaslahatan tersebut. Mereka itu menempati posisi setingkat kepala biro. Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian bila ada perjanjian dan penulis perjanjian perdamaian bila ada perjanjian damai. Mu’aiqib bin Abi Fatimah adalah petugas pembubuh stempel beliau serta pencatat ghanimah. Hudzaifah bin al-Yaman bertugas mencatat hasil pertanian Hijaz. Zubair bin ‘Awwam bertugas mencatat harta zakat. Mughirah bin Syu’bah mencatat berbagai hutang dan muamalah. Syurahbil bin Hasanah bertugas membuat berbagai naskah perjanjian yang ditujukan kepada para raja. Beliau mengangkat seorang pencatat atau kepala untuk setiap urusan kemaslahatan yang ada, walau sebanyak apapun jumlahnya.


Beliau saw banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya. Beliau selalu bermusyawarah dengan para pemikir dan berpandangan luas, orang-orang yang berakal serta memiliki keutamaan, memiliki kekuatan dan keimanan serta yang telah teruji dalam penyebarluasan dakwah Islam. Mereka adalah 7 orang dari kaum Anshar dan 7 lagi dari Muhajirin. Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Sulaiman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal. Beliau juga kadang-kadang bermusyawarah dengan selain mereka, hanya saja merekalah yang lebih banyak dijadikan tempat mencari pendapat. Mereka itu berkedudukan sebagai sebuah majelis tempat melakukan aktivitas syuro.


Beliau saw telah menetapkan beberapa pungutan atas kaum Muslim dan selain mereka. Juga pungutan atas tanah, buah-buahan dan ternak. Pungutan tersebut antara lain berupa zakat, ‘usyur, fai-iy, kharaj, dan jizyah. Sedangkan harta anfal dan ghanimah dimasukkan ke Baitul Mal. Beliau mendistribusikan zakat kepada delapan golongan yang disebutkan dalam al-Quran dan tidak diberikan kepada selain golongan tersebut, serta tidak digunakan untuk mengatur urusan negara. Beliau membiayai pemenuhan kebutuhan masyarakat dari fai-iy, kharaj, jizyah dan ghanimah. Itu semua sangat memadai untuk mengatur pengelolaan negara serta penyiapan pasukan militer. Negara tidak pernah merasa memerlukan tambahan harta selain itu.


1_153644789250e76bccDemikianlah Rasul saw telah menegakkan sendiri struktur Daulah Islam dan telah menyempurnakannya semasa hidupnya. Negara memiliki kepala negara, para mu’awwin, para wali, para qadhi, militer, kepala biro, dan majlis tempat beliau melakukan syuro. Struktur ini, baik bentuk maupun wewenangnya, merupakan thariqah yang wajib diikuti dan secara globalnya ditetapkan berdasarkan dalil mutawatir. Beliau saw menjalankan fungsi-fungsi kepala negara sejak tiba di Madinah hingga beliau saw wafat. Abu Bakar dan ‘Umar adalah dua orang mu’awwin beliau. Para sahabat telah sepakat, setelah beliau saw wafat, untuk mengangkat seorang kepala negara yang akan menjadi Khalifah bagi Rasul saw dalam aspek kepemimpinan negara saja, bukan aspek risalah maupun nubuwah. Karena hal tersebut telah ditutup oleh beliau saw. Demikianlah, Rasul saw telah membangun struktur negara secara sempurna selama hidupnya dan meninggalkan bentuk pemerintahan serta struktur negara yang keduanya dapat diketahui serta nampak jelas sekali.


Sumber:


Taqiyuddin An-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, cet. 7, Dar al-Ummah – Beirut 2002


Sirah Ibnu Hisyam