Friday, May 31, 2024

PENGELOLAAN TAMBANG SESUAI SYARIAH ISLAM

 *PENGELOLAAN TAMBANG SESUAI SYARIAH ISLAM*


Buletin Kaffah No. 345 (22 Dzulqa’dah 1445 H/31 Mei 2024 M)


Salah satu kasus korupsi terbesar di negeri ini dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah korupsi tambang timah sebesar Rp 271 triliun. Kasus dugaan megakorupsi PT Timah senilai Rp 271 triliun ini hanyalah puncak gunung es dari kusutnya tata kelola tambang Indonesia. Sebelumnya, PT Pertamina, PT Antam, hingga PT PLN juga menjadi langganan kasus korupsi. Pelakunya mulai dari korporasi swasta hingga perorangan; menyeret pejabat teras kementerian hingga pimpinan tertinggi BUMN tambang, politisi dan kepala daerah.


Terkait tata kelola tambang yang karut-marut ini, KPK mengidentifikasi, dari sekitar 11.000 izin tambang di seluruh Indonesia, 3.772 izinnya bermasalah dan dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah pemberi izin. Akibatnya, negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah (Kompas.id, 31/3/2024).


Padahal menurut Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, mengutip pernyataan mantan Ketua KPK Abraham Samad, jika celah korupsi di bidang pertambangan bisa diatasi, setiap warga Indonesia bisa memperoleh Rp 20 juta per bulan. Abraham menilai pernyataannya itu merujuk pada analisis yang pernah dilakukan KPK 10 tahun lalu (News.detik.com, 21/3/2023).


*Akar Penyebab: Sistem yang Korup*


Di antara akar persoalan korupsi di sektor pertambangan adalah adanya aturan/sistem yang korup (rusak) berupa kebijakan swastanisasi bahkan liberalisasi atas nama investasi. Dalam upaya untuk menarik investasi, Pemerintah Indonesia aktif memberikan insentif untuk mendorong investasi swasta/asing. Salah satunya adalah pemberian konsesi penguasaan lahan kepada para investor di berbagai sektor seperti kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masa HGU dapat berlangsung paling lama selama 35 tahun, dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun, serta dapat diperbarui hingga 35 tahun. 


Di sektor pertambangan, Pemerintah telah memberikan berbagai keistimewaan investasi bagi para investor. Pada tahun 1967, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang mengatur pemberian konsesi tambang kepada pihak swasta. UU ini diinisiasi oleh kekosongan hukum ketika Freeport McMoRan ingin berinvestasi pada tambang emas dan tembaga di Papua. Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, yang kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Lalu pada tahun 2020, Pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU Minerba untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa perusahaan batubara raksasa swasta yang hampir habis masa konsesinya.


Pemerintah Indonesia juga mendorong investasi di sektor migas dengan memberikan konsesi pengelolaan migas kepada perusahaan swasta/asing. Berdasarkan UU No. 22/2001, jangka waktu Kontrak Kerja Sama Migas dapat berlangsung paling lama selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. 


*Dampak Negatif*


Kehadiran investasi swasta dan asing melalui berbagai insentif, termasuk dalam bentuk pemberian konsesi tersebut, telah menciptakan dampak negatif. Di antaranya: Pertama, menciptakan ketimpangan ekonomi yang luas. Sebagai contoh, total tanah yang diberikan oleh Pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang mencapai 36,8 juta hektar. Sebanyak 92 persen diberikan kepada korporasi, sementara yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektar atau sekitar 8% (Walhi dan Auriga, 2022). 


Kedua, menyebabkan penguasaan sektor-sektor ekonomi, di antaranya sektor pertambangan, hanya pada segelintir korporasi. Peran rakyat terpinggirkan. Bahkan peran BUMN dan BUMD pada berbagai sektor, seperti pertambangan dan perkebunan, cenderung minimalis dibandingkan dengan pelaku swasta/asing.


Ketiga, keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam tersebut, khususnya sektor pertambangan, lebih banyak mengalir kepada swasta/asing dibandingkan kepada negara. 


Keempat, mendorong peningkatan kerusakan lingkungan. Ini karena perusahaan-perusahaan swasta/asing hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sering tak peduli atas pencemaran air, udara dan tanah, yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan timah di Indonesia, misalnya, membiarkan lubang-lubang tambang mereka terbengkalai tanpa melakukan reklamasi. Eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang nikel telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Banjir menjadi sering terjadi. Air sungai dan laut menjadi keruh sehingga penduduk kesulitan mendapatkan air bersih dan kesulitan menangkap ikan yang menjadi mata pencaharian mereka. Inilah bencana ekologis yang—jika dinilai dengan uang—merugikan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah.


*Pengelolaan Tambang Sesuai Syariah*


Dalam pandangan Islam, tambang apapun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain adalah Hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra. Disebutkan demikian:


أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ


Sungguh dia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. Dia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).


Hadis ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah ushul:


العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ


Patokan hukum itu bergantung pada keumuman redaksi (nas)-nya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125). 


Berdasarkan hadis di atas, tambang apapun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing. Termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya. Lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.


Dengan pengelolaan berdasarkan syariah Islam, potensi pendapatan negara dari harta milik umum, khususnya sektor pertambangan, sangatlah besar. Secara ringkas, perhitungannya adalah sebagai berikut: 


Minyak: Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.


Gas Alam (Natural Gas): Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.


Batubara: Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun. 


Emas: Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun. 


Tembaga: Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.


Nikel: Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.


Berdasarkan perhitungan tersebut, maka potensi pendapatan dari harta milik umum (batubara, minyak mentah, gas, emas, tembaga dan nikel dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (dua kali lipat APBN yang 77% pemasukannya dari pajak). Ini jika ditambah dengan hasil hutan dan hasil laut. Pendapatan sebesar ini belum termasuk dari 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar (Lihat: Muis, “Sumber Penerimaan Negara Islam Tanpa Pajak dan Utang,” Al-Waie, Maret 2024). 


Agar semua itu bisa terwujud, jelas negara ini harus diatur oleh syariah Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi Kapitalisme sebagaimana saat ini, yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas sesuai ketentuan syariah Islam terhadap para koruptor—khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat)—wajib ditegakkan. 


Karena itu penerapan syariah Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah SWT telah memerintahkan semua Muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariah Islam secara menyeluruh (kâffah), sebagaimana firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 


Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Rasulullah saw. bersabda:


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ


Kaum Muslim berserikat (dalam hal kepemilikan) atas tiga perkara: padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad). []

Monday, May 20, 2024

Syarah Hadits “Umatku Terpecah di atas 73 Firqah

 SOAL - JAWAB

Syarah Hadits “Umatku Terpecah di atas 73 Firqah


Asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah


Soal:


Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.


Saya Abdullah dari Afganistan, semoga Allah senantiasa menjaga Anda ya syaikhuna.


Rasulullah saw bersabda:


«سَتَنَقْسِمُ أُمَّتِيْ إِلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَكُلُّهَا فِيْ النَّارِ مَا عَدَا وَاحِدًا»


“Umatku akan terpecah menjadi 73 firqah dan semuanya di neraka kecuali satu”.


Saya berharap Anda sudi menjelaskan hadits ini??


Abdullah Umar


Jawab:


Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.


Pertama, hadits yang Anda tanyakan bukan dengan redaksi yang ada di pertanyaan Anda. Di dalam pemaparan kami di dalam Jawab Soal yang telah kami publikasikan pada 24 Rabiul Akhir 1439 H atau 11 Januari 2018 M untuk hadits ini dengan berbagai riwayat, pada sebagiannya ada tambahan berbeda-beda. Kami simpulkan di akhirnya: “bahwa hadits terpecahnya umat menjadi 73 firqah tanpa tambahan adalah shahih… Dan bahwa tambahan pertama, “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidatan –semuanya di neraka kecuali satu-“ dinilai hasan oleh banyak ulama… Adapun tambahan kedua, “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan –semuanya di surga kecuali satu-“ maka telah didhaifkan oleh banyak ulama, sedangkan mereka yang menshahihkannya atau menilainya hasan sedikit sekali… Atas dasar itu, yang saya rajihkan adalah bahwa tambahan yang diambil adalah “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidatan –semuanya di neraka kecuali satu-“. Adapun tambahan yang lain, “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan –semuanya di surga kecuali satu-“ maka tidak diambil. Hal itu sesuai apa yang kami sebutkan dari riwayat-riwayat untuk kedua tambahan tersebut…). dan berdasarkan apa yang kami paparkan di Jawab Soal tersebut, maka riwayat-riwayat yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan istidlal adalah riwayat-riwayat berikut:


– Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan di Sunan-nya dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:


«تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً»


“Orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, dan orang Nashrani telah terpecah menjadi semisal itu dan umatku akan terpecah menjadi 73 firqah”.


Dan dalam bab ini ada riwayat dari Sa’ad, Abdullah bin Amru dan ‘Awf bin Malik. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata: “hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih”. Dan dalam riwayat at-Tirmidzi lainnya dari Abdullah bin Amru, ia berkata: Rasulullah saw bersada:


«… وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»


“… Dan sesungguhnya Bani Israel telah terpecah di atas 72 millah dan umatku akan akan terpecah di atas 73 millah, semua mereka di neraka kecuali satu millah”. Mereka berkata: “siapa dia ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “apa yang aku dan para sahabatku di atasnya”.


Abu Isa berkata: “hadits ini hasan gharib…” ……


– Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahihayn dari Abu ‘Amir Abdullah bin Luhayyi, ia berkata: kami beradu argumetasi dengan Muawiyah bin Abiy Sufyan … kemudian ia berdiri ketika shalat Zhuhur di Mekah, lalu ia berkata: Nabi saw bersabda:


«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ…»


“Sungguh Ahlul Kitab mereka telah terpecah dalam agama mereka di atas 72 millah, dan umat ini akan terpecah di atas 73 millah, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al-jama’ah”.


Al-Hakim berkata: “sanad-sanad ini telah ditegakkan hujjah dalam penshahihan hadits ini… Dan disetujui oleh adz-Dahabi.


– Abu Dawud dan Ibnu Majah mengeluarkan yang semisalnya di Sunan-nya.


Kedua: adapun makna yang kami rajihkan untuk hadits ini adalah sebagai berikut:


1. Kata al-firqah dan at-tafarruq kebanyakan penggunaannya di dalam syara’ dengan makna perbedaan di dalam akidah dan pokok agama dan perbedaan dalam hal-hal qath’i dan bukti-bukti yang jelas (al-bayyinât):


– Allah SWT berfirman:


﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴾


“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (TQS Ali Imran [3]: 105).


– Allah SWT berfirman:


﴿وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ﴾


“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata” (TQS al-Bayyinah [98]: 4).


– Allah SWT berfirman:


﴿إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ﴾


“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (TQS Ali ‘Imran [3]: 19).


– Allah SWT berfirman:


﴿إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ﴾


“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (TQS al-An’am [6]: 159).


2- Al-jama’ah di sini di dalam hadits-hadits ini, di dalam syara’ digunakan menyebut jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-muslimîn) masyarakat yang tegak berdasarkan akidah islamiyah. Dinyatakan nas-nas syar’iy yang menjelaskan makna ini. Di antaranya adalah hadits al-Muttafaq ‘alayh dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: “Rasululalh saw bersabda:


«لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ»، رواية مسلم


“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah rasulullah kecuali dengan satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah berzina, jiwa karena membunuh jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jama’ah” (HR Muslim).


Di dalam hadits yang mulia ini, Nabi saw menjelaskan bahwa meninggalkan jamaah adalah keluar dari agama dan meninggalkannya sebab Beliau menjadikan orang yang meninggalkan agamanya sebagai orang yang memisahkan dari (mufâriqu) jamaah, maka dari hal itu diketahui bahwa memisahkan dari (mufâriqu) jamaah dengan makna ini adalah kufur dan keluar dari agama dan millah …


– Dinyatakan di Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî oleh Ibnu Hajar sebagai berikut:


[ … Sabda beliau “al-mufâriqu li dînihi at-târiku li al-jamâ’ati -memisahkan dari agamanya meninggalkan jamaah-“, demikian di dalam riwayat Abu Dzar dari al-Kusymihani, sedangkan untuk yang selainnya: “wa al-mâriqu min ad-dîn -keluar dari agama-”. Tetapi menurut an-Nasafi, as-Sarakhsiy dan al-Mustamliy “wa al-mariqu li dînihi -keluar dari agamanya-”. Ath-Thaybiy berkata “al-mâriqu adalah at-târiku (yang meninggalkan) dari al-murûq yaitu al-khurûj (keluar). Dan di dalam riwayat Muslim “wa at-târiku li dînihi al-mufâriqu li al-jamâ’ati -meninggalkan agamanya memisahkan dari jamaah-”. Dan di dalam riwayat ats-Tsawri “al-mufâriqu li al-jamâ’ati -memisahkan agamanya-“ … dan yang dimaksudkan dengan jamaah adalah jamaah kaum Muslim (jamâ’ah al-muslimîn), yakni memisahkannya atau meninggalkannya dengan murtad jadi itu merupakan sifat untuk orang yang meninggalkan atau memisahkan … Al-Baydhawi berkata, at-târiku li dînihi -meninggalkan agamanya- merupakan sifat yang menegaskan al-mâriq yakni orang yang meninggalkan jamaah kaum Muslim (Jamâ’ah al-Muslimîn) dan keluar dari mereka semua …] selesai.


3. Sabda Rasul saw di riwayat-riwayat yang berbeda untuk hadits tersebut:


«وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي»، «وَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ»، «وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ»


“Dan umatku terpecah”, “dan umat ini terpecah”, “dan bahwa millah ini akan terpecah”.


Jelas darinya bahwa ummat atau millah di sini adalah Ummat Islam yang mengimani agama Islam. Rasul saw dalam satu riwayat telah menyandarkan kata ummat kepada diri beliau sendiri “ummatiy -ummatku-“. Dan beliau memakrifatkannya dalam riwayat lain bahwa “hâdzihi al-ummah -ummat ini-“, “wa hâdzihi al-millatu -dan millah ini-“. Dan jelas bahwa hadits tersebut tentang ummat tertentu dan tentang millah tertentu yaitu Ummat Islam ….


4- Ikhtilaf (perbedaan) di dalam Islam sebagaimana telah diketahui, ada yang tercela dan ada yang terpuji. Adapun ikhtilaf yang terpuji adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah ijtihadiyah berdasarkan ikhtilaf (perbedaan) dalam memahami nas-nas. Dan untuk orang yang tepat, di dalamnya ada dua pahala sedangkan untuk orang yang keliru ada satu pahala sebagaimana yang ada di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahîhnya dari Amru bin al-‘Ash ra bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:


«إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»


“Jika seorang hakim memutuskan dan ia berijtihad kemudian tepat maka untuknya dua pahala dan jika ia memutuskan dan berijtihad kemudian keliru maka untuknya satu pahala”.


Adapun ikhtilaf (perbedaan) yang tercela, di antaranya perbedaan (ikhtilaf) dalam akidah, bukti-bukti yang jelas dan nas-nas qath’iy, dan itu merupakan perbedaan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dan di antaranya adalah perbedaan (ikhtilaf) yang berdasarkan hawa nafsu seperti perbedaan penganut bid’ah yang mereka tidak sampai kafir karena bid’ah mereka. Dan di antaranya adalah perbedaan (ikhtilaf) terhadap imam dan ketaatan kepadanya sampai perbedaan-perbedaan lainnya yang tercela yang pelakunya tidak sampai keluar dari Islam karenanya…


Ketiga: berdasarkan catatan-catatan yang disebutkan di atas dan memperhatikannya, kita dapat memahami hadits yang mulia seputar terpecahnya Yahudi, Nashrani dan terpecahnya Ummat Islam …. Penjelasannya sebagai berikut:


1- Allah SWT mengutus Musa as dengan membawa agama yang haq kepada Bani Israel lalu orang yang beriman pun beriman kepadanya dan berkumpul bersamanya di atas akidah dan tauhid yang haq sehingga dengan itu mereka menjadi satu millah mukminah … Tetapi seiring waktu, keluar dari millah ini kelompok manusia yang bersama mereka berbeda dalam agama.


«إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً»


“Ahlul kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah”.


Mereka terpecah dalam akidah mereka, bukti-bukti yang jelas dan perkara-perkara qath’iy dari agama Musa as sehingga mereka keluar dari agama Musa dan menjadi kafir. Kelompok-kelompok yang keluar dari agama Musa dan menjadi banyak millah lain ini karena perbedaan pandangannya dalam pokok agama.


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً»


“Ahlul kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah”.


Mereka terpecah sampai 70 atau 71 firqah, semuanya merupakan millah kufur dan termasuk penghuni neraka. Adapun millah yang tetap berada di atas agama Musa as yakni di atas millah Musa as yaitu kelompok ke-71 atau ke-72 maka termasuk pengikut kebenaran (ahlu al-haqq), termasuk penghuni surga dan itu adalah firqah yang selamat dari para pengikut nabiyullah Musa as …


2- Demikian juga, Allah SWT mengutus Isa as dengan membawa agama yang haq kepada Bani Israel, lalu orang yang beriman pun beriman dan mereka berkumpul bersama Isa as di atas akidah dan tauhid yang haq dan dengan itu mereka menjadi satu millah mukminah … Tetapi seiring waktu keluar dari millah ini, kelompok-kelompok manusia dan mereka berbeda pendapat dalam agama, mereka memecahnya dalam akidahnya, bukti-bukti yang jelas dan perkara-perkara qath’iy agama Isa as sehingga mereka keluar dari agama Isa as dan menjadi kafir. Kelompok yang keluar dari agama Isa as dan menjadi millah-millah lain karena perbedaan pandangannya dalam perkara pokok agama, kelompok ini mencapai 71 firqah. Semuanya merupakan millah kufur dan termasuk penghuni neraka. Adapun millah yang tetap di atas agama Isa as yakni di atas millah Isa as yakni kelompok ke-72 maka termasuk pengikut kebenaran (ahlu al-haqq), termasuk penghuni surga dan itulah kelompok yang selamat dari para pengikut Isa as …


3- Kemudian Allah SWT mengutus nabi-Nya Muhammad saw dengan membawa agama yang haq dan akidah tauhid maka orang yang beriman pun beriman dan mereka berkumpul di atas akidah yang diimani oleh Nabi saw dan para sahabat beliau yang mulia sehingga mereka dengan berkumpulnya mereka ini menjadi Ummat Islam dan millah Islam dan al-jama’ah … Tetapi kaum-kaum dari kaum Muslim itu telah keluar (dan akan keluar) dari agama Muhammad saw dan mereka telah meninggalkan (dan akan meninggalkan) apa yang ditetapi oleh Nabi saw, para shahabat beliau dan jamaah kaum Muslim berupa keimanan kepada akidah Islam, mengambil perkara-perkara qath’i Islam dan bukti-buktinya yang jelas … dan setiap kaum dari mereka yang keluar dari Islam itu menjadi firqah dan millah yang berbeda dari millah Islam sebab mereka mengimani akidah-akidah yang menyalahi akidah Islam … Kelompok (firqah) yang para pengikutnya berasal dari pemeluk Islam kemudian mereka keluar dari Islam itu mencapai atau akan mencapai 72 firqah atau millah, dan semuanya merupakan firqah kafir dan mereka termasuk penghuni neraka … Dan tinggal firqah/millah ke-73 yaitu firqah induk yang merupakan al-Jamâ’ah dan millah Islam yang beriman dengan apa yang ditetapi oleh Nabi saw dan para shahabat beliau yang mulia, berpegang dengan perkara-perkara qath’i dari Islam dan bukti-bukti Islam yang jelas. Itulah Ummat Islam yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada al-Qadha’ dan al-Qadar baik dan buruknya berasal dari Allah SWT … Itulah Ummat Islam secara umum. Dialah kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dan termasuk penghuni surga, dan itu merupakan kelompok dan millah yang berhimpun di atas apa yang ditetapi oleh Nabi saw dan para shahabat beliau, dan itulah al-Jama’ah.


Keempat: berdasarkan penjelasan ini untuk makna hadits tersebut dan faktanya, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:


1- Kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) adalah Ummat Islam dengan pemahamannya yang umum, yaitu yang berhimpun di atas Akidah Islam dan perkara-perkara agama yang qath’iy dan bukti-buktinya yang jelas bagaimana pun para pengikutnya berbeda pandangan, pendapat dan madzhab dalam semua masalah-masalah cabang akidah dan hukum-hukum syara’ …… Dan sebab keselamatannya dan keberadaannya termasuk penghuni surga adalah keminanannya kepada akidah Islam, perkara-perkara qathliy Islam dan bukti-buktinya yang jelas … Atas dasar itu:


a- Ahlu as-sunnah wa al-jamâ’ah dari kalangan ahli kalam seperti al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah dan seluruh madzhab kalam, dan demikian juga mereka yang disebut dengan lafal “as-Salafiyah” dan ahlul hadits dan selain mereka, termasuk para pemlik pendapat dan madzhab-madzhab pemikiran yang islami …


Mereka semua termasuk kelompok yang selamat ini dengan izin Allah karena mereka termasuk para pengikut Muhammad saw yang mengimani akidah Islam, perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-buktinya yang jelas … Sementara perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari Islam.


b- Madzhba-madzhab fikhiyah yang berbeda baik hanafiyah, malikiyah, syafi’iyyah, hanbaliyah dan madzhab-madzhab selain mereka, dan para pengikut para mujtahid yang berbeda-beda … Mereka semua termasuk pengikut kelompok yang selamat dengan izin Allah SWT sebab mereka termasuk para pengikut Muhammad saw yang mengimani Akidah Islam, perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-buktinya yang jelas … Sementara perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari Islam.


c- Jamaah-jamaah Islamiyah dan gerakan-gerakan yang beraktifitas di lapangan pada masa kita ini seperti Hizbut Tahrir, al-Ikhwan al-Muslimun, Jamaah Tabligh, Jamaah-jamaah jihadiyah, jamaah-jamaah as-Salafiyah dan yang lainnya … semuanya termasuk pengikut kelompok yang selamat dengan izin Allah sebab mereka termasuk para pengikut Muhammad saw yang mengimani Akidah Islam, perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-bukti Islam yang jelas … Sementara perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka, tidak mengeluarkan mereka dari Islam.


Oleh karena itu, tidak boleh suatu kelompok dari Ummat Islam berdasarkan hadits yang mulia ini, mengklaim bahwa mereka adalah firqah yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dan kelompok yang selamat (ath-thâifah an-nâjiyah), sebab makna yang demikian itu mengeluarkan orang yang berbeda dengan mereka di antara kaum Muslim dari daerah Islam ke daerah kufur dan ini tidak boleh sama sekali. Semua kaum Muslim yang beriman dengan akidah Islam yang berpegang dengan perkara-perkara qath’iy Islam dan bukti-bukti Islam yang jelas, mereka termasuk pengikut kelompok yang selamat (al-firqah an-nâjiyah) dengan izin Allah.


4- Kelomok yang keluar dari Islam dan menjadi kafir dan dengan itu layak menjadi kelompok yang binasa, termasuk penghuni neraka adalah kelompok yang menyalahi agama dan memisahkan dari akidah kaum Muslim dan melampaui Islam, perkara-perkaranya yang qath’i dan bukti-buktinya yang jelas dan menyekutukan Allah dengan selain-Nya atau mengambil nabi setelah Muhammad saw atau mengingkari sunnah Rasulullah saw atau semacam itu … seperti orang-orang Druz, Nushairiyah. al-Bahaiyah, Qadiyaniyah dan kelompok-kelompok kafir lainnya yang telah keluar dari Islam … Yang mirip mereka dari orang-orang Yahudi yang telah keluar dari agama Musa as adalah kaum yang menjadikan ‘Uzair as sebagai putera Allah, dan dari para pengikut Isa as yang menjadikan Isa as sebagai putera Allah … Mereka telah keluar dalam akidah mereka dari akidah dan agama nabi Musa as dan Isa as dan dengan itu mereka menjadi termasuk orang-orang kafir.


Saya berharap makna hadits tersebut dengan penjelasan ini telah menjadi jelas, wallâh a’lam wa ahkam.


Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


16 Jumada al-Akhirah 1442 H


29 Januari 2021 M

Sunday, May 19, 2024

Syaikh Yusuf an-Nabhani. Siapakah beliau? Apakah beliau mempunyai hubugan dengan ulama Nusantara

 Hubungan erat Syaikhuna Yusuf an-Nabhani dengan Masyayikh Jawi dan Sadah Ba'alawi 👇


Oleh Nanal Ainal Fauz 


Kembali ke pembahasan Syaikh Yusuf an-Nabhani. Siapakah beliau? Apakah beliau mempunyai hubugan dengan ulama Nusantara

? Mari simak penjelasan berikut.


Imam Yusuf an-Nabhani adalah ulama terkemuka asal Beirut Lebanon. Lahir di daerah Ijzim Palestina (sekarang masuk wilayah Beirut) pada tahun 1265 H dan wafat dan dimakamkan di Beirut pada Ramadhan 1350 H.


Beliau adalah ulama yang sangat gigih dalam membela Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah. Imam an-Nabhani terkenal gandrung terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Banyak sekali kitab-kitab yang beliau tulis yang tentang al-Hadlrah an-Nabawiyyah. Seperti kitab Afdhal as-Shalawat Ala Sayyid as-Sadat, Sholawat ats-Tsana', Jami' ash-Shalawat, al-Anwar al-Muhammadiyyah, Sa'adat ad-Darain dan Hujjat Allah al-Balighah.


Dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan amaliah Ahlussunnah wal Jama'ah beliau menulis kitab Syawahid al-Haqq fi al-Istighatsah bi Sayyid al-Khalq, Raf'u al-Isytibah fi Istihalat al-Jihati Ala Allah, dan lainnya. Imam an-Nabhani juga menulis kitab dalam dua jilid yang memuat keramat-keramat para wali. Kitab tersebut bernama Jami' Karamat al-Auliya'.


Beliau juga menggubah Qashidah Asmaul Husna yang sangat populer di Jawa. Pernah dipopulerkan oleh KH. Ali Ma'sum Krapyak dan KH. Arwani Amin Kudus. Sampai sekarang masih dibaca di PP Krapyak Yogyakarta dan PP Yanbu'ul Quran Kudus juga pondok-pondok yang didirikan para alumni. Qashidah tersebut berjudul al-Muzdawajat al-Hasna fi al-Istighatsah bi Asma' Allah al-Husna. Mathla' qashidahnya adalah:

بِسۡمِ الۡإِلَٰهِ وَبِهِ بَدَيْنَا ٭ وَلَوۡ عَبَدۡنَا غَيۡرَهُ شَقِينَا

يَاحَبَّذَا رَبَّا وَحُبَّ دِينَا ٭ وَحَبَّذَا مُحَمَّدٌ هَادِيـنَا

لَوۡلَاهُ مَاكُنَّا وَلَابَقِينَا


*


Jika menilik data sejarah kita bakal menemukan ternyata beliau memiliki hubungan erat dengan ulama Nusantara. Antara lain sebagai berikut:


Pertama, Imam an-Nabhani berteman dengan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus al-Jawi. Bahkan beliau pernah memberi kalimat taqridz terhadap risalah Syaikh Abdul Hamid Kudus yang berjudul at-Tuhfat al-Mardliyyah fi Jawazi Tafsir al-Qur'an bi al-A'jamiyyah. Yaitu sebuah risalah yang menjawab permintaan fatwa apakah diperbolehkan menulis tafsir al-Quran dengan bahasa non Arab seperti bahasa Jawa dan Persi?. Inti jawabannya adalah: diperbolehkan.


Setelah membaca risalah ini Imam Yusuf an-Nabhani menulis kalimat taqridz:


الحمد لله وحده، قد اطلعت على هذا الجواب من العالم العامل الفاضل الكامل الشيخ عبد الحميد أفندي قدس الجاوي المكي أحد المدرسين في المسجد الحرام، فوجدته جوابا صميما لا شبهة فيه ولا ارتياب، وإني أتعجب ممن يتردد في جواز تفسير القرآن بالعجمية لا على وجه الترجمة لفظا بلفظ الممنوع؛ لأن التفسير على الوجه المذكور  لو كان ممنوعا شرعا لما كان لتبليغ الأعاجم معاني القرآن طريقة مطلقا، وهذا بديهي البطلان، لا يقول به أحد من ذوي العرفان.

حرر في ١٣ رجب سنة ١٣٢٢ هـ الفقير يوسف النبهاني رئيس محكمة الحقوق في بيروت.


"Segala puji hanya bagi Allah. Sungguh aku telah membaca jawaban dari al- 'Alim al-'Amil al-Fadhil al-Kamil Syaikh Abdul Hamid Afandi Kudus al-Jawi al-Makki, salah satu pengajar di Masjidil Haram. Saya mendapatinya sebagai jawaban tepat yang di dalamnya tidak ada syubhat dan keraguan. Saya heran terhadap orang yang meragukan diperbolehkannya mentafsiri Al-Quran dengan bahasa Ajam, sebagai tafsir bukan terjemah lafadz perlafadz al-Qur'an yang dilarang. Karena tafsir yang demikian seandainya dilarang, maka tidak akan ada cara untuk menyampaikan makna-makna al-Qur'an kepada orang-orang non Arab. Larangan ini bathil dan Salah secara Badihi.


Ditahrir 13 rojab 1322 H oleh al-Faqir Yusuf an-Nabhani, Kepala Mahkamah al-Huquq di Beirut."


Lalu Imam an-Nabhani membubuhi kalimat taqridznya dengan stempel beliau.


Kedua, Imam an-Nabhani adalah guru dari Syaikh Yasin al-Fadani dan ayah beliau. Yaitu Syaikh Isa bin Odek al-Fadani.


Syaikh Yasin al-Fadani pernah mendapat sanad dan ijazah dari Imam an-Nabhani. Syaikh Yasin pun juga mencatat nama Imam an-Nabhani sebagai guru dalam beberapa kitabnya. Antara lain kitab al-Kawakib ad-Darari.


Sedangkan ayahnya, Syaikh Isa al-Fadani, kisah pertemuan beliau dengan Imam an-Nabhani diabadikan oleh Syaikh Mukhtaruddin al-Falimbani yang tak lain adalah murid Syaikh Yasin al-Fadani, dalam kitab beliau yang berjudul Bulugh al-Amani fi at-Ta'rif bi Syuyukh wa Asanid Musnid al-'Ashr al-Fadani. Beliau berkata:


جاور بالمدينة المنورة أعواماً ولما زار والد شيخنا الشيخ الحاج محمد عيسى بن أوديق زيارته الأولى إلى المدينة اتفق به في الحرم النبوي وأنس به وزاره في منزله وجالسه وأخذ عنه في الأوراد والأذكار والصلوات وغيرها واستفاد منه وأجيز منه عامة شفهياً.


"Syaikh Yusuf an-Nabhani pernah tinggal di Madinah al-Munawwarah beberapa tahun. Ketika ayah Syaikhna al-Fadani, Syaikh Muhammad Isa bin Odek al-Fadani, pertama kali ziarah ke Madinah, tak sengaja bertemu dengan Syaikh an-Nabhani di Masjid an-Nabawi. Mereka pun mulai akrab. Lalu Syaikh Isa al-Fadani mengunjungi beliau dan mujalasah di kediamannya. Dari beliau Syaikh Isa al-Fadani mengambil ijazah wirid, dzikir, shalawat dan lain sebagainya. Syaikh an-Nabhani juga mengijazahi Syaikh Isa Ijazah Ammah secara lisan."


ثم في سنة ١٣٤٩ بعث إليه وهو ببيروت خطابا طلب فيه منه كتابة الإجازة لنفسه ولأولاده الثلاثة شيخنا محمد ياسين وأخويه محمد طه وإبراهيم فاستجاب وأجاز عامة وكتب الإجازة بخطه الشريف من بيروت في ١٩ رجب سنة ١٣٤٩ نصها مودع في بغية المريد من علوم الأسانيد.


"Kemudian pada tahun 1349 H, Syaikh Isa al-Fadani mengirim surat kepada Syaikh an-Nabhani yang saat itu sedang di Beirut, meminta menuliskan ijazah untuk diri Syaikh Isa dan ketiga anaknya; Syaikhna Muhammad Yasin, Muhammad Thaha dan Ibrahim. Syaikh an-Nabhani pun mengabulkan permintaannya. Beliau mengijazahi ijazah ammah dan menuliskan ijazah tersebut dengan tulisan beliau sendiri dari Beirut, tertanggal 19 Rajab 1349 H. Redaksi ijazah itu termuat dalam kitab "Bughyat al-Murid min 'Ulum al-Asanid" (karya Syaikh Yasin al-Fadani)."


Selain Syaikh Yasin al-Fadani dan ayahnya, ulama Nusantara yang juga pernah mengambil ilmu dari Imam an-Nabhani adalah Habib Ali bin Husain al-Attas Bungur, mahaguru dari para ulama Betawi pada masanya.


Habib Ali Bungur menyebutkan nama Imam an-Nabhani sebagai guru dalam beberapa tulisan beliau. Antara lain dalam ijazah beliau untuk KH. M. Utsman al-Ishaqi Surabaya dan Muallim Syafi'i Hadzami Jakarta. Bahkan, Habib Ali Bungur juga menulis sekilas profil Imam an-Nabhani dalam kitab mahakarya beliau Taj al-A'ras fi Manaqib al-Habib Shalih al-Attas.


Semoga keberkahan mereka menyertai kita semua. Amin


Pati, 19 Mei 2024

Monday, May 6, 2024

KUTEMUKAN JAWABANNYA SETELAH 15 TAHUN KUCARI

 KUTEMUKAN JAWABANNYA SETELAH 15 TAHUN KUCARI


Oleh : KH Ali Bayanullah, Al-Hafidz (Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Sumedang)


“Khilafah itu pernah ada, tapi kapan runtuhnya?”


“Semua Imam mahzab menyatakan mendirikan Khilafah itu fardhu kifayah, tapi mengapa Arab kerajaan, Indonesia republik, dan negeri Muslim lainnya pun tidak ada yang menerapkan Khilafah?”


Dua pertanyaan itu muncul di benak, tatkala membaca bab imamah atau bab Khilafah ketika aku diamanahi memegang kunci perpustakaan Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, saat nyantri di ponpes pimpinan KH Maimun Zubair. 


Saat itu, aku benar-benar haus ilmu. Maka kulahap kitab-kitab yang ada, bahkan kitab-kitab yang besar pun kubaca. Kemudian aku berpikir, mengapa bab Khilafah adanya di kitab-kitab besar, kalau di kitab-kitab kecil jarang sekali? Adanya di kitab Fathul Wahab karya Syeikh Zakaria Al-Anshori. Dan itu memang dijelaskan ada.


Di kitab Bisarwani juga ada. Begitu juga dalam kitab Hayatul Hayawan tapi di situ tidak sampai Bani Utsmaniyah, ke Bani Fatimiyah juga tidak sampai, cuma sampai Bani Abasiyah. Dalam kitab bisyarahnya Fathul Wahab seperti Fujairrumi Wahab juga dijelaskan masalah imamah, tetapi sayangnya tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara pengangkatan seorang Khalifah dan lain sebagainya.


Itu yang membuatku penasaran, ingin mengetahui. Dari buka-buka kitab itu ditambah pengetahuanku ketika di sekolah belajar sejarah Islam itu. Di situ Khilafah dibahas mulai dari Khulafaur Rasyidin. Kemudian Bani Umayah dan Bani Abasiyah.


Aku ingin mengetahui sejarahnya Khilafah dan bagaimana hancurnya. Dan bagaimana hubungannya ketika dulu, pada masa Nabi Muhammad SAW, kemudian diganti masa Khulafaurrasyidin, Kemudian bani Umayah dan Bani Abasiyah.


Lantas ke mana ini Khalifah? Sekarang kok tidak ada di dunia Islam. Itulah yang menjadikan aku terus penasaran. Karena apa? Karena Khilafah itu yang aku baca di kitab-kitab ketika di pesantren itu, ternyata wajib. Fardhu kifayah ini, semua imam mazhab menyatakan wajib tetapi mengapa sekarang tidak ada? Itulah yang membuatku penasaran.


Namun sayang, tidak ada satu pun kiai dan ustadz yang kutemui dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasaranku.


MENEMUKAN JAWABAN


Tahun 1993, aku kembali ke kampung halaman, menikah dan mengamalkan ilmu yang kudapat saat nyantri. Rasa penasaranku tidak hilang, namun aku pun bingung harus bertanya pada siapa? Terpaksa kupendam sendiri.


Suatu hari pada tahun 2002, ketika melintas Jalan Pamager Sari, Sumedang aku benar-benar dikagetkan dengan adanya spanduk yang bertuliskan “Syariah” dan “Khilafah” membentang di atas jalan.


Nah, penasaranku membuncah kembali. Tapi aku bingung, siapa yang memasang spanduk ini? Satu-satunya indikasi hanya kata “Hizbut Tahrir” berarti yang memasang spanduk ini Hizbut Tahrir? Tapi apa itu Hizbut Tahrir? Aku pun penasaran. Namun sayang, setiap orang yang kutemui dan kutanya, tidak ada yang mengenal “Hizbut Tahrir” itu.


Aneh, ada spanduk tetapi tidak ada orangnya. Padahal aku sangat berharap dari Hizbut Tahrir itulah pertanyaanku dapat terjawab. Sejak saat itu, pertanyaan yang menghantui benakku bertambah satu lagi, apa itu Hizbut Tahrir? Tapi lagi-lagi harus kupendam sendiri karena orang-orang di sekelilingku tidak ada yang dapat memberikan petunjuk.


Sampailah pada suatu saat di tahun 2005, seorang pemuda bernama Acep Muhyiddin bertandang ke rumahku. Ia menyatakan ingin bersilaturahmi. Namun betapa kagetnya aku ketika dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah aktivis Hizbut Tahrir! Alhamdulillah, betapa senangnya aku.


Aku pun bertanya tentang Hizbut Tahrir dan Khilafah. Subhanallah, meski lelaki itu berperawakan kecil tetapi ilmunya sangat besar. Aku pun langsung kagum dengan jawabannya yang begitu gamblang terkait dua pertanyaan besarku itu.


Begitu rinci ia menjelaskan bahwa Khilafah itu berdiri selama 13 abad, terhitung sejak Daulah Islam berdiri di Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah, kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, Bani Umawiyah, Bani Abbasiyah, dan berakhir pada 1924 saat ibu kotanya berada di Turki pada masa Bani Utsmaniyah.


Keruntuhuan itu terjadi bukan saja lantaran kemunduran kaum Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang mulia tetapi juga lantaran adanya konspirasi keji bangsa kafir penjajah Inggris dan para pengkhianat termasuk Mustafa Kamal Attaturk laknatullah. Sedangkan, Hizbut Tahrir adalah kelompok di antara kaum Muslim yang berjuang untuk mengembalikan tegaknya Khilafah itu.


Di kesempatan berikutnya, ia datang kembali membawa kitab yang menjelaskan konspirasi meruntuhkan Khilafah yakni kitab Kayfa Khudimatul Khilafah karya Amir Kedua Hizbut Tahrir Syeikh Abdul Qadim Zallum.


Subhanallah, dari penjelasan sang aktivis dan kitab karya amir kedua Hizbut Tahrir itu terjawab sudah teka-teki yang ada di dalam benakku selama 15 tahun ini. Kemudian aku pun mendapatkan berbagai kitab lainnya yang diterbitkan Hizbut Tahrir. Dari situ, aku yakin tidak ada alasan untuk menolak ajakan Hizbut Tahrir untuk sama-sama berjuang menegakkan syariah dan Khilafah.


BERDAKWAH


Sejak itu, kusampaikan kepada yang lain yang datang ke Darul Bayan (majlis taklim dan tahfidz Alquran asuhannya—red) bahwa aku punya kitab-kitab Hizbut Tahrir, bila isinya bertentangan dengan kitab-kitab pesantren maka aku orang pertama yang akan menentangnya. Tapi kalau memang cocok dengan kitab yang aku jadikan patokan, ayo sama-sama kita dukung perjuangan Hizbut Tahrir.


Tapi sayang, tidak semua kiai, ustadz dan ajengan yang kuajak menyambut ajakanku. Hanya sebagian saja di antara mereka yang mendukung. Kujelaskan pada mereka, bukankah kitab-kitab Hizbut Tahrir itu cocok dengan kitab-kitab yang selama ini kita pelajari di pesantren seperti Fathul Wahab, Fujurrami, Fujurrami Itsna, Sarwani, Muradhatut Thalibin?


Itukan kitab-kitab yang tidak asing karena dikaji di pesantren. Itu yang kuambil sebagai patokan. Ternyata semuanya malah sama. “Jadi mengapa kita harus menolak ajakan Hizbut Tahrir?” ujarku pada mereka.


Yang menolakku itu setidaknya ada tiga tipe. Pertama, yang tidak percaya diri. Sebenarnya mereka senang dengan ajakanku. “Sebenarnya memang harusnya begitu. Ini memang harusnya dirubah, hukum di kita ini harus dirubah dengan Islam, ya tapi mangga wae (silakan saja), saya belum mampu,” ujar mereka.


Kedua, mereka itu menjalankan agama bukan mengikuti manhaj agama, tapi yang diikuti itu adalah figur. Padahal aku sudah banyak memberikan dalil tentang bagaimana wajibnya Khilafah kepada ustadz-ustadz, ajengan-ajengan itu. Mereka jawab, “ya ini dalil tidak salah, cuma pemahaman Anda yang salah”. Tapi ketika kutanya pemahaman yang benar terhadap dalil tersebut itu seperti apa mereka tidak bisa jawab.


Bahkan ada yang berkata, ”Ya pokoknya kita sudah punya gurulah.” Tetapi ketika ditanya penjelasan gurunya seperti apa? dia diam saja. Mungkin mereka anggap perjuangan Khilafah ini perjuangan yang nyeleneh yang tidak pernah diperjuangkan oleh guru-guru mereka. Ini yang kutangkap dari pemahaman mereka.


Yang ketiga, kuatir kehilangan jamaah.


Kukatan kembali kepada mereka jadi salah besar kalau sistem Khilafah itu ide Hizbut Tahrir. Ini bukan ide Hizbut Tahrir tapi itu syariah Islam yang telah hilang kemudian dimunculkan kembali oleh Hizbut Tahrir. Jadi mestinya perjuangan Khilafah itu, harus diawali dari pesantren. Karena kitab-kitabnya itu banyak di pesantren itu. Nah itu yang menjadi keheranku, kenapa tidak muncul dari pesantren?


Mereka yang menolak ajakanku itu malah tidak datang lagi, aku pun tidak diundang lagi untuk acara-acara di pesantren mereka. Namun, aku tidak berputus asa. Aku tetap mengajak mereka dan umat untuk turut berjuang bersama Hizbut Tahrir. Allahu Akbar![]


BIODATA SINGKAT AL-HAFIDZ PEJUANG KHILAFAH


Nama : KH Ali Bayanullah, Al Hafidz

Lahir : Sumedang, 1967


Pendidikan : 

1975-1978 Madrasah Ibtidaiyyah, Sumedang, Jawa Barat

1978-1981 Madrasah Tsanawiyah, Sumedang, Jawa Barat

1981-1987 Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat

1987-1991 Pondok Pesantren Al Anwar (KH Maimun Zubair), Sarang, Rembang, Jawa Tengah

1991-1993 Ponpes Tahfidz Alquran Darul Furqan (KH Abdul Qadir Umar Basyir), Janggalan, Kudus, Jawa Tengah


Jabatan : 

1993-sekarang Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Citeureup, Sumedang, Jawa Barat

Wednesday, May 1, 2024

Implementasi Struktur Daulah Islam: Pada Masa Rasul saw

 Implementasi Struktur Daulah Islam: Pada Masa Rasul saw.


Dalil Wajibnya Menegakkan Institusi Politik Pemerintahan Islam.


Sejak Rasul saw tiba di Madinah, beliau memerintah kaum Muslim, memelihara semua kepentingan mereka, mengelola semua urusan mereka, dan mewujudkan masyarakat Islam. Beliau juga mengadakan perjanjian dengan Yahudi, dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Quraisy, penduduk Ailah, Jirba’, dan Adzrah. Beliau memberikan janji kepada manusia tidak akan menghalanghalangi orang yang berhaji ke Baitullah dan tidak boleh ada seorang pun yang takut dalam bulan-bulan haram. Lalu beliau mengutus Hamzah bin Abdul Muthallib, ‘Ubaidah bin al-Harits dan Sa’ad bin Abi Waqash dalam berbagai ekspedisi untuk memerangi Quraisy. Beliau juga mengutus Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah untuk memerangi Romawi. Beliau mengutus Abdurrahman bin ‘Auf untuk memerangi Daumatul Jandal dan mengutus ‘Ali bin Abi Thalib beserta Basyir bin Sa’ad ke daerah Fidak. Selanjutnya Rasul saw mengutus Abu Salamah bin ‘Abdul Asad ke Qathna dan Najd, mengutus Zaid bin Haritsah ke Bani Salim lalu ke Judzam kemudian ke Bani Fuzarah di Lembah Qura terakhir ke Madyan, mengutus ‘Amru bin Al ‘Ash ke Dzati Salasil di wilayah Bani ‘Adzrah dan mengutus yang lainnya ke berbagai daerah. Beliau sering memimpin sendiri pasukan dalam berbagai peperangan terutama perang yang sangat besar.


Beliau mengangkat para wali untuk berbagai wilayah setingkat propinsi dan para amil untuk berbagai daerah setingkat kota. Beliau mengangkat ‘Atab bin Usaid menjadi wali di kota Makkah setelah difutuhat dan Badzan bin Sasan setelah dia memeluk Islam menjadi wali di Yaman, mengangkat Mu’adz bin Jabal al-Khazraji menjadi wali di Janad, mengangkat Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash menjadi amil di Sanaa, Ziyad bin Labid bin Tsa’labah al-Anshari menjadi amil di Hadhramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy’ariy menjadi amil di Zabid dan ‘Adn, ‘Amru bin Al-‘Ash menjadi amil di Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi amil di Sanaa, ‘Adi bin Hatim menjadi wali Thuyyia, al-’Alla bin al-Hadhramiy menjadi amil di Bahrain dan Abu Dujanah sebagai amil Rasul saw di Madinah. Ketika mengangkat para wali, beliau saw memilih mereka yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan disandangnya, selain hatinya telah dipenuhi dengan keimanan. Beliau juga bertanya kepada mereka tentang tata cara yang akan mereka jalani dalam mengatur pemerintahan. Diriwayatkan dari beliau saw pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal al-Khazraji saat mengutusnya ke Yaman, “Dengan apa engkau akan menjalankan pemerintahan?” Dia menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Jika engkau tidak menemukannya?” Dia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.” Selanjutnya beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman kepada utusan Rasulullah terhadap yang Allah dan Rasul-Nya cintai”. Diriwayatkan dari beliau saw pernah mengangkat ‘Abban bin Sa’id menjadi Wali di Bahrain, lalu beliau berpesan kepadanya, “Bersikap baiklah kepada ‘Abdul Qais dan muliakanlah orang-orangnya”.


Beliau saw selalu mengirim para wali dari kalangan orang yang terbaik dari mereka yang telah masuk Islam. Beliau memerintahkan mereka untuk membimbing orang-orang yang telah masuk Islam dan mengambil zakat dari mereka. Dalam banyak kesempatan beliau melimpahkan tugas kepada para wali untuk mengurus berbagai kewajiban berkenaan dengan har ta, memerintahkannya untuk selalu menggembirakan masyarakat dengan Islam, mengajarkan al-Quran kepada mereka, memahamkan mereka tentang agama dan berpesan kepada seorang wali supaya bersikap lemah lembut kepada masyarakat dalam kebenaran serta bersikap tegas dalam kezaliman. Juga agar wali tersebut mencegah mereka bila di tengah-tengah masyarakat muncul sikap bodoh yang mengarah kepada seruan-seruan kesukuan dan primordialisme, lalu mengubah seruan mereka hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Beliau juga memerintahkan wali untuk mengambil seperlima harta dan zakat yang diwajibkan kepada kaum Muslim. Orang Nasrani dan Yahudi yang masuk Islam dengan ikhlas dari dalam dirinya dan beragama Islam, maka dia adalah bagian dari kaum Mukmin. Hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum Mukmin. Siapa saja yang tetap dalam kenasranian atau keyahudiannya, maka sesungguhnya dia tidak akan diganggu. Di antara pesan yang disampaikan Rasul kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman adalah, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan Ahli Kitab. Jadikanlah seruan pertama yang akan engkau sampaikan kepada mereka adalah menyembah Allah SWT. Jika mereka telah mengenal Allah SWT, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang yang kaya dan diserahkan kepada orang-orang fakirnya. Jika mereka menaatinya, maka ambillah dari mereka. Dan jagalah kehormatan harta mereka. Takutlah pada doa orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara mereka dan Allah tidak ada penghalang”.


Kadang-kadang beliau saw mengirim petugas khusus untuk urusan harta. Setiap tahun beliau mengutus Abdullah bin Rawahah ke Yahudi Khaibar untuk menghitung hasil pertanian mereka. Mereka pernah mengadu kepada Rasul saw gara-gara Ibnu Rawahah begitu teliti dalam melakukan perhitungan, lalu berencana untuk menyuap Ibnu Rawahah. Kemudian mereka mengumpulkan sejumlah perhiasan yang digunakan istri-istri mereka seraya berkata, “Ini dipersembahkan untuk anda dan ringankanlah beban kami serta longgarkanlah dalam pembagian”. Abdullah berkata, “Hai orang-orang Yahudi! Sesungguhnya kalian adalah mahluk Allah SWT yang paling aku benci. Perhiasan-perhiasan yang kalian sodorkan kepadaku agar aku membuat keringanan kepada kalian sama sekali tidak membebaniku. Adapun risywah yang kalian ajukan kepadaku sesungguhnya itu adalah haram dan kami tidak akan memakannya!”. Mereka menanggapi, “Ya, dengan begitulah langit dan bumi tegak”.


Beliau saw selalu mengungkap keadaan para wali dan amil serta mendengarkan informasi tentang mereka. Beliau telah memberhentikan al-’Alla’ bin al-Hadhrami, amil beliau di Bahrain, karena utusan ‘Abdul Qais mengadukannya kepada beliau. Beliau saw senantiasa mengontrol para amil dan mengevaluasi pendapatan serta pengeluaran mereka. Beliau mengangkat seseorang untuk tugas penarikan zakat. Ketika kembali, petugas tersebut menghitung bawaannya dan berkata, “Ini bagian anda dan yang ini dihadiahkan untukku”. Nabi saw menanggapi, “Tidak patut seseorang yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan dengan sesuatu yang Allah kuasakan kepada kami, lalu dia berkata, ‘Ini bagian anda dan yang ini dihadiahkan untukku.’ Kenapa dia tidak diam saja di rumah bapak dan ibunya, lalu menunggu, apakah akan datang hadiah kepadanya atau tidak?!” Beliau melanjutkan, “Siapa saja yang kami tugasi untuk suatu pekerjaan dan kami telah memberikan upah kepadanya, maka apa yang dia ambil selain upah itu adalah ghulul”.


Penduduk Yaman pernah mengadu tentang Mu’adz yang suka memanjangkan shalat (ketika jadi imam), lalu beliau menegurnya dan bersabda, “Siapa saja yang memimpin manusia dalam shalat, maka ringankanlah!”. Beliau saw telah mengangkat para Qadhi yang bertugas menetapkan keputusan hukum di tengah-tengah masyarakat. Beliau mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Qadhi di Yaman, ‘Abdullah bin Naufal menjadi Qadhi di Madinah dan menugaskan Mu’adz bin Jabal serta Abu Musa al-Asy’ariy sebagai Qadhi di Yaman. Beliau bertanya kepada keduanya, “Dengan apa kalian berdua akan menetapkan hukum?” Keduanya menjawab, “Jika kami tidak menemukan hukum dalam al-Kitab dan as-Sunah, kami akan mengqiyaskan satu perkara dengan perkara lainnya. Mana yang lebih dekat pada kebenaran, itulah yang akan kami gunakan”. Nabi saw lalu membenarkan keduanya. Ini menunjukkan bahwa beliau memilih para Qadhi dan menetapkan tata cara bagi mereka dalam memutuskan suatu perkara. Beliau tidak cukup dengan mengangkat para Qadhi melainkan menetapkan juga mahkamah mazhalim.


Beliau saw mengatur langsung kemaslahatan masyarakat dan mengangkat para petugas pencatat untuk mengelola kemaslahatankemaslahatan tersebut. Mereka itu menempati posisi setingkat kepala biro. Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian bila ada perjanjian dan penulis perjanjian perdamaian bila ada perjanjian damai. Mu’aiqib bin Abi Fatimah adalah petugas pembubuh stempel beliau serta pencatat ghanimah. Hudzaifah bin al-Yaman bertugas mencatat hasil pertanian Hijaz. Zubair bin ‘Awwam bertugas mencatat harta zakat. Mughirah bin Syu’bah mencatat berbagai hutang dan muamalah. Syurahbil bin Hasanah bertugas membuat berbagai naskah perjanjian yang ditujukan kepada para raja. Beliau mengangkat seorang pencatat atau kepala untuk setiap urusan kemaslahatan yang ada, walau sebanyak apapun jumlahnya.


Beliau saw banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya. Beliau selalu bermusyawarah dengan para pemikir dan berpandangan luas, orang-orang yang berakal serta memiliki keutamaan, memiliki kekuatan dan keimanan serta yang telah teruji dalam penyebarluasan dakwah Islam. Mereka adalah 7 orang dari kaum Anshar dan 7 lagi dari Muhajirin. Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Sulaiman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal. Beliau juga kadang-kadang bermusyawarah dengan selain mereka, hanya saja merekalah yang lebih banyak dijadikan tempat mencari pendapat. Mereka itu berkedudukan sebagai sebuah majelis tempat melakukan aktivitas syuro.


Beliau saw telah menetapkan beberapa pungutan atas kaum Muslim dan selain mereka. Juga pungutan atas tanah, buah-buahan dan ternak. Pungutan tersebut antara lain berupa zakat, ‘usyur, fai-iy, kharaj, dan jizyah. Sedangkan harta anfal dan ghanimah dimasukkan ke Baitul Mal. Beliau mendistribusikan zakat kepada delapan golongan yang disebutkan dalam al-Quran dan tidak diberikan kepada selain golongan tersebut, serta tidak digunakan untuk mengatur urusan negara. Beliau membiayai pemenuhan kebutuhan masyarakat dari fai-iy, kharaj, jizyah dan ghanimah. Itu semua sangat memadai untuk mengatur pengelolaan negara serta penyiapan pasukan militer. Negara tidak pernah merasa memerlukan tambahan harta selain itu.


1_153644789250e76bccDemikianlah Rasul saw telah menegakkan sendiri struktur Daulah Islam dan telah menyempurnakannya semasa hidupnya. Negara memiliki kepala negara, para mu’awwin, para wali, para qadhi, militer, kepala biro, dan majlis tempat beliau melakukan syuro. Struktur ini, baik bentuk maupun wewenangnya, merupakan thariqah yang wajib diikuti dan secara globalnya ditetapkan berdasarkan dalil mutawatir. Beliau saw menjalankan fungsi-fungsi kepala negara sejak tiba di Madinah hingga beliau saw wafat. Abu Bakar dan ‘Umar adalah dua orang mu’awwin beliau. Para sahabat telah sepakat, setelah beliau saw wafat, untuk mengangkat seorang kepala negara yang akan menjadi Khalifah bagi Rasul saw dalam aspek kepemimpinan negara saja, bukan aspek risalah maupun nubuwah. Karena hal tersebut telah ditutup oleh beliau saw. Demikianlah, Rasul saw telah membangun struktur negara secara sempurna selama hidupnya dan meninggalkan bentuk pemerintahan serta struktur negara yang keduanya dapat diketahui serta nampak jelas sekali.


Sumber:


Taqiyuddin An-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, cet. 7, Dar al-Ummah – Beirut 2002


Sirah Ibnu Hisyam

Monday, April 29, 2024

Inilah Kitab yang Dicari Imaduddin Utsman Kitab Abad 4 H

 Inilah Kitab yang Dicari Imaduddin Utsman Kitab Abad 4 H


Setelah tulisan untuk Meluruskan seorang kyai dari Banten yang mau mencoba menolak nasab habaib dari keturunan Sayid Alwi Ubaidillah, ternyata dia masih berusaha menentang dengan membuat tulisan baru yang intinya tidak berkenan jika Kitab nasab yang dihadirkan adalah kitab nasab yang ditulis jauh dari masa kehidupan Sayid Alwi Bin Ubaidillah.


Dia ngeyel minta Kitab nasab abad yang lebih awal atau yang dekat masa kehidupannya dengan Sayid Ubaidillah Bin Ahmad. 

Mungkin karena dia sudah terlanjur penasaran, 

maka kami sodorkan Kitab nasab yang ditulis oleh ulama yang wafat di tahun 478 Hijriyah. 

Sayid Ubaidillah Bin Ahmad sendiri menurut biografi dan manaqib beliau wafat pada tahun 383 Hijriyah pada usia 93 tahun.


Ulama yang menulis kitab nasab tersebut adalah Syekh Yahya bin Muhammad bin Al-Qasim bin Muhammad bin Tabataba Al-Alawi Abi Al-Muammar. 

Beliau terkenal dengan nama Ibnu Tabataba yang menurut biografi meninggal pada tahun 478 Hijriyah. Tanggal lahirnya tidak diketahui tapi jelas sangat kemungkinan bisa diperkirakan kalau umur beliau dimisalkan 60an tahun maka dekat sekali dengan tahun wafat Sayid Ubaidillah Bin Ahmad.


Kitab beliau bernama أبناء الإمام في المصر والشام الحسن والحسين رضي الله عنهما yaitu Anak-anak al Imam Ali Bin Abi Tholib di Mesir dan Syam dari Keturunan Hasan dan Husain Radhiyallahu Anhuma.


Dalam kitab beliau halaman 176 (lihat scan kitab) dalam judul


‎ذكر ولد السيد عيسى بن محمد بن علي العريضي


Diterangkan bahwa anak dan putra keturunan dari Sayid Ahmad Bin Isa Al Muhajir yang ada di Hadhramaut Yaman dan Negara Islam Yang Lain Banyak Sekali diantaranya anaknya ada yang bernama Sayid Abdullah Bin Ahmad. Sebagaimana sudah masyhur bahwa Sayid Abdullah menamai dirinya Ubaidillah karena sangat tawadlu kepada Allah (Sudah kami jelaskan dalam tulisan kami sebelumnya.


‎لكن عقب السيد عيسى بن محمد من ابنه أحمد بن عيسى الشهير بالمهاجر كان كثيرا جدا في حضرموت وبعض بلاد المسلمين له اربعة أولاد محمد بن أحمد *وعبد الله بن أحمد* وعلي بن أحمد وحسين بن أحمد.


Artinya: Tetapi Keturunan Sayid Isa Bin Muhammad dari anaknya Ahmad Bin Isa yang terkenal dengan nama Al Muhajir banyak sekali di Hadramaut dan Sebagian Negara Muslimin yang lain. Beliau mempunyai 4 anak yaitu Muhammad Bin Ahmad, *Abdullah Bin Ahmad*, Ali Bin Ahmad, dan Husain Bin Ahmad.


Yang kami tulis tebal adalah beliau Sayid Ubaidillah Bin Ahmad yang mempunyai nama lahir Abdullah dan menamai dirinya Ubaidillah.


Sekiranya sudah jelas seperti matahari dalam masalah ini, 

maka kami meminta kepada imamuddin dan para pendukungnya untuk berhenti membahas polemik ini. 

Sebagai orang yang dianggap ulama marilah kita melakukan hal lain yang lebih manfaat untuk Islam dan Kaum Muslimin daripada sekedar meributkan nasab.

HUKUM MUSIK DAN MENYANYI DALAM FIQH ISLAM

 *HUKUM MUSIK DAN MENYANYI DALAM FIQH ISLAM* 


(Oleh : K.H. MUHAMMAD SHIDDIQ AL JAWI )


#Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang membolehkan. Mohon penjelasannya.


#Jawab:


1. Pendahuluan


Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.


Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).


Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.


Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.


Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).


Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.


Tinjauan Fiqih Islam

Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:


#Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).


#Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.


#Ketiga, hukum memainkan alat musik.


#Keempat, hukum mendengarkan musik.


Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.


Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.


3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)


Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu(Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas(hal. 97-101):


Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:

Berdasarkan firman Allah:

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)


Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.


Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).


Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].


Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].


Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].


Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].


Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”


Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).


Hadits dari Nafi’ ra, katanya:

Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].


Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:

Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:


“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].


Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].


Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:

“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].


Pandangan Penulis

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.


Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).


Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:


Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).


Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:


Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).


Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).


Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halaldidasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).


3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian


Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)

Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:


Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).


Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.


Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.


Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:


“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].


Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)

Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.


Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.


Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:


“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).


“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).


3.3. Hukum Memainkan Alat Musik


Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duffatau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:


“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).


Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyahdan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).


Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:


“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).


Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.


3.4. Hukum Mendengarkan Musik


Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.


Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.


Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).


Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.


Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:


Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).


Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:


Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).


Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):


Musisi/Penyanyi.

Instrumen (alat musik).

Sya’ir dalam bait lagu.

Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya:


1). Musisi/Penyanyi


a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik


Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:


a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.

Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.


3). Sya’ir


Berisi:


a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)

b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.

c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.

d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.

e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi:


a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf(mencela jilbab,dsb).

b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.

c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.

d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).

e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

4). Waktu Dan Tempat


a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.

b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).

c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).

d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat(campur baur).

Penutup

Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.


Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.


Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]


Wallahu a’lam bi ash-showab.


Daftar Bacaan


* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).


* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).


* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).


* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).


* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).


* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).


* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).


* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).


* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).


* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).


* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).


* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).


* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/


* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/


* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/


* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/


* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/


* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).


* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/


* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).


Oleh : K.H. M. Shiddiq al Jawi 


Rekaman audio ceramah :

https://www.dropbox.com/s/1earaga3pxcghij/KH.M.Shiddiq%20Al%20Jawi%20-%20Seniman%20Bertanya%20Islam%20Menjawab.mp3?dl=0

Friday, April 12, 2024

METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR

 METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/11/metode-dakwah-hizbut-tahrir.html?m=1


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim


Nubuwwah terbagi menjadi dua; dakwah nubuwwah di Mekkah dan daulah nubuwwah di Madinah dimana pemisah antara keduanya adalah bai'at aqobah. 


https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/10/baiat-aqobah-adalah-metode-syari-untuk.html?m=1


Dan karena untuk menegakkan khilafah belum bisa memenuhi syarat-syaratnya yang digali dari sunnah Nabi saw dan sunnah Alkhulafaa Arrosyidiin, maka kewajiban umat Islam adalah dakwah nubuwwah / dakwah ala minhajin nubuwwah. Yakni dakwah dengan mengikuti metode dakwah Nabi saw pada fase Makkah, tidak boleh menyimpang sehelai rambut pun. Bukan malah dengan memalsukan khilafah seperti halnya kelompok Abdul Qodir Hasan Baraja dengan khilmusnya.


Lalu bagaimana menegakkan khilafah pertama kali? Klik di sini :


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/09/bagaimana-menegakkan-khilafah-pertama.html?m=1


*****


Bismillaah...


Metode Dakwah Hizbut Tahrir 


Telah disebutkan di kitab at-Ta’rîf (Ta'rif Hizb at-Tahrir, hal. 28-39) sebagai berikut:


"Metode Hizbut Tahrir (طريقة حزب التحرير)


• Metode perjalanan dalam mengemban dakwah merupakan hukum syara’, diambil dari metode perjalanan Rasul saw dalam mengemban dakwah, sebab itu adalah wajib diikuti. Hal itu karena firman Allah SWT:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (TQS al-Ahzab [33]: 21).


Dan firman Allah SWT:

﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali Imran [3]: 31).


Dan firman Allah SWT:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Dan banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan wajibnya mengikuti Rasul saw dan meneladani Beliau serta mengambil dari beliau.


• Keberadaan kaum Muslim hari ini mereka hidup di Dar al-Kufur, karena mereka diperintah dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka negeri (dâr) mereka menyerupai Mekah ketika Rasul saw diutus. Oleh karena itu periode Mekah dalam mengemban dakwah wajib menjadi obyek peneladanan.


• Dan dari menelaah sirah Rasul saw di Mekah hingga tegak daulah di Madinah menjadi jelas bahwa beliau berjalan dalam tahapan-tahapan yang ajarannya jelas sekali. Beliau melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang menonjol di tahapan-tahapan itu. Maka dari hal itu, Hizb (Hizbut Tahrir) mengambil metodenya dalam menjalani dakwah, tahapan-tahapannya, dan aktivitas-aktivitas yang wajib dilakukan di tahapan-tahapan ini sebagai peneladanan terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Rasul saw di tahapan-tahapan perjalanan dakwah beliau.


Berdasarkan hal itu, Hizb menentukan metode perjalanannya dengan tiga tahapan:


Pertama; tahapan pembinaan (مرحلة التثقيف) untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang mengimani ide (fikrah) Hizb dan metode (tharîqah)nya untuk membentuk kelompok kepartaian.


Kedua; tahapan berinteraksi dengan umat ( مرحلة التفاعل مع الأمة ), untuk mengemban Islam kepada umat sehingga umat mengambilnya menjadi agenda umat, supaya umat beraktifitas mewujudkannya di tengah realitas kehidupan.


Ketiga; tahapan penerimaan kekuasaan ( مرحلة استلام الحكم ) dan penerapan Islam secara umum dan menyeluruh dan mengembannya sebagai risalah ke seluruh dunia.


• Adapun tahapan pertama, maka Hizb telah memulainya di al-Quds pada tahun 1372 H-1953 M melalui tangan sang pendiri, al-‘alim al-jalil dan pemikir besar, politisi ulung, dan qadhi di Mahkamah Banding di al-Quds al-ustadz Taqiyuddin an-Nabhani ‘alayhi rahmatullâh. Hizb dalam tahapan itu melakukan kontak dengan individu-individu umat, menyodorkan kepada mereka secara individual, ide dan metode Hizb. Siapa yang menjawab seruan Hizb maka Hizb mengaturnya untuk kajian intensif (dirâsah murakkazah) di dalam halqah-halqah Hizb, sampai Hizb meleburnya dengan ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang diadopsi oleh Hizb. Dan dia pun menjadi pribadi yang islami yang berinteraksi dengan Islam, memiliki pola pikir islami (‘aqliyah islâmiyah) dan pola jiwa islami (nafsiyah islâmiyah) dan bertolak untuk mengemban dakwah kepada masyarakat. Jika seseorang telah sampai ke tingkat ini, dia mewajibkan dirinya sendiri untuk bergabung dengan Hizb dan Hizb pun menggabungkannya ke para anggotanya. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw di tahapan pertama dakwah yang berlangsung selama tiga tahun, mulai dari beliau menyeru manusia secara individu-individu, dan menyodorkan kepada mereka apa yang Allah utus beliau dengannya. Siapa yang beriman, beliau kelompokkan bersama beliau di atas asas agama ini secara rahasia. Beliau konsern untuk mengajarkan Islam padanya dan membacakan apa dari al-Quran yang telah dan sedang diturunkan, sampai beliau melebur mereka dengan Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia, mengajar mereka secara rahasia di tempat-tempat yang tidak tampak. Mereka melakukan ibadah mereka secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebutan Islam menyebar di Mekah dan masyarakat pun membicarakannya dan mereka masuk ke dalam Islam secara berbanyakan …


• Setelah Hizb mampu membentuk kelompok kepartaian ini, dan masyarakat merasakannya dan mengetahuinya dan ide-idenya serta apa yang diserukannya, Hizb beralih ke:


Tahapan kedua: yaitu tahapan berinteraksi dengan umat untuk mengemban Islam kepada umat, menciptakan kesadaran umum dan opini umum di tengah umat terhadap ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang diadopsi oleh Hizb, sampai umat mengambilnya menjadi ide umat dan berjuang untuk mewujudkannya di tengah realitas kehidupan dan umat berjalan bersama Hizb dalam perjuangan untuk menegakkan Daulah al-Khilafah dan mengangkat seorang khalifah untuk melanjutkan kehidupan islami dan mengemban dakwah islamiyah ke seluruh dunia. Di dalam tahapan ini, Hizb beralih ke menyeru publik dengan seruan secara komunal (jama’iyah). Hizb dalam tahapan ini melakukan aktifitas-aktifitas berikut:


1- Pembinaan intensif ( الثقافة المركزة ) di halqah-halqah untuk individu-individu guna mengembangkan tubuh Hizb, memperbanyak kadernya dan mewujudkan pribadi-pribadi islami yang mampu mengemban dakwah dan mengarungi medan pergolakan intelektual dan perjuangan politik.


2- Pembinaan secara komunal ( الثقافة الجماعية ) untuk masyarakat umum dengan ide-ide islam dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb, di dalam kajian-kajian masjid, berbagai forum, dan seminar dan tempat-tempat pertemuan umum, dan dengan media, buku dan leaflet, untuk mewujudkan kesadaran publik di tengah umat dan berinteraksi dengan umat.


3- Pergolakan intelektual ( الصراع الفكري ) untuk keyakinan-keyakinan kufur, sistem dan ide-idenya, dan untuk keyakinan-keyakinan rusak, ide-ide yang salah dan konsepsi-konsepsi keliru, dengan menjelaskan penyimpangan, kesalahan dan pertentangannya dengan Islam, untuk membersihkan umat dari semua itu dan dari dampak-dampaknya.


4- Perjuangan politis ( الكفاح السياسي ) … ... ... (Penjelasannya agak panjang)


• Dan ketika masyarakat jumud di depan Hizb akibat umat kehilangan kepercayaannya kepada para pemimpin mereka yang sebelumnya menjadi tumpuan harapan mereka, dan akibat situasi sulit yang wilayah itu ditempatkan di dalamnya untuk meloloskan rencana-rencana konspiratif, dan akibat penguasaan dan paksaan yang dilakukan oleh para penguasa melawan bangsa-bangsa mereka, serta akibat kerasnya siksaan yang dijatuhkan oleh para penguasa terhadap Hizb dan syababnya, ketika umat jumud akibat semua itu Hizb melakukan thalab an-nushrah (meminta pertolongan) dari orang-orang yang mampu atasnya …


Berbarengan dengan pelaksanaan thalab an-nushrah ini, Hizb terus melakukan semua aktifitas yang telah dilakukan, berupa pembinaan intensif (ats-tsaqâfah al-murakkazah) di dalam halqah-halqah; pembinaan secara komunal (ats-tsaqâfah al-jamâ’iyah), pemusatan terhadap umat untuk membuat umat mengemban Islam dan mewujudkan opini umum di tengah umat; melawan negara-negara kafir imperialis dan membongkar rencana-rencananya dan menelanjangi makar-makarnya; melawan para penguasa; dan mengadopsi kemaslahatan-kemaslahatan umat serta mengurusi urusan-urusan umat.


• Hizb terus dalam semua itu mengharap dari Allah agar merealisasi untuk Hizb dan untuk Umat Islam keberuntungan, kesuksesan dan kemenangan, maka berikutnya:


Tahapan ketiga: yang mana tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah dan ketika itu orang-orang mukmin bergembira karena pertolongan Allah". 


Cukup terjemah kutipan dari kitab at-Ta’rîf.

https://drive.google.com/file/d/1GA_qxFQsEzGwql5zH_j7-VJkTbL1IpKF/view?usp=drivesdk


#khilafahajaranislam

#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhilafah