MENJAWAB SYUBHAT AQIDAH HIZBUT TAHRIR TIDAK SAMA DENGAN AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
KH. Syamsuddin Ramadhan
Sebagian penebar syubhat menyatakan bahwa ’aqidah Hizbut Tahrir tidak sama dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahkan condong kepada Mu’tazilah. Sebagian lagi berusaha mengesankan, bahkan menyatakan dengan sharih bahwa Hizbut Tahrir adalah kelompok sesat karena memiliki ’aqidah yang bertentangan dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan mengutip beberapa kitab mutabannat, seperti Kitab Nidzam al-Islaam, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah Juz 1, dan lain-lain, mereka ingin membuktikan bahwa apa yang mereka nyatakan itu memang benar merupakan bentuk kesesatan pemikiran Hizbut Tahrir.
Ada pula yang menyatakan bahwasanya Hizbut Tahrir menolak qadla` dan qadar. Sebagian lain menyatakan bahwasanya pandangan Hizbut Tahrir tentang perbuatan manusia tidak sama dengan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyyah) sehingga dengan prematur menyematkan kesesatan pada Hizbut Tahrir.
Sebagian lagi menyatakan bahwasanya seseorang baru absah disebut ahlus sunnah wal jama’ah jika dalam bidang ’aqidah mengikuti paham Asy’ariyah dan Maturidiyah, sedangkan dalam bidang fikih mengadopsi salah satu dari Imam empat madzhab, dan mengikuti tasawwuf mu’tabar.
Jawab:
Adapun pernyataan "aqidah Hizbut Tahrir berbeda dengan ’aqidah ahlus sunnah wal jama’ah", harus diperjelas terlebih dahulu apa hakekat yang dituju oleh pernyataan tersebut, agar ia bisa ditanggapi dengan tepat, dan tidak salah sasaran.
Kemungkinan pertama; jika yang dimaksud ”aqidah” di sini adalah pokok ’aqidah atau ushuluddin, maka statment di atas jelas-jelas keliru. Bahkan, bila yang dituju dari statement [’aqidah Hizbut Tahrir berbeda dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah] adalah perbedaan dalam perkara ushuluddin, maka pembuat statement di atas secara sadar atau tidak sadar telah melakukan ”pengkafiran” terhadap anggota-anggota Hizbut Tahrir, tanpa melakukan konfirmasi, tabayyun, dan diskusi terlebih dahulu. Perbuatan semacam ini jelas-jelas tercela, bahkan bisa-bisa kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri.
Sesungguhnya, seluruh kaum Mukmin –termasuk di dalamnya Hizbut Tahrir--- tidak pernah berselisih pendapat dalam perkara-perkara ’aqidah atau ushuluddin yang ditetapkan berdasarkan dalil ’aqliy dan dalil naqliy yang qath’iy, seperti keimanan terhadap eksistensi Allah, keesaaan Allah, sucinya Allah dari sifat-sifat kurang, Allah tidak memiliki sekutu, anak, isteri, dan lain sebagainya. Begitu pula keimanan terhadap al-Quran sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi saw, kemaksuman Nabi Mohammad saw, hari kiamat, malaikat-malaikat, dan keimanan terhadap qadla’ dan qadar, dan perkara-perkara qath’iy lainnya. Di dalam Kitab-kitab Mutabannat, Hizbut Tahrir telah merumuskan pokok-pokok keimanan yang wajib diyakini oleh seluruh kaum Muslim. ’Allamah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy rahimahullah menyatakan:
"العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيماناً. إذ لا يكون تصديقاً جازماً إلا إذا كان ناجماً عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقاً فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيماناً. وعليه فلابد أن يكون التصديق عن دليل حتى يكون جازماً أي حتى يكون إيماناً. ومن هنا كان لابد من وجود الدليل على كل ما يُطلب الإيمان به حتى يكون التصديق به إيماناً. فوجود الدليل شرط أساسي في وجود الإيمان بغض النظر عن كونه صحيحاً أو فاسداً..."
"'Aqidah Islaamiyyah adalah iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab SuciNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, serta qadla' dan qadar, baik buruknya dari Allah swt. Makna "al-iman" adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi' 'an daliil" (pembenaran yang bersifat pasti, berkesesuaian dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil)". Sebab, jika "tashdiiq" (pembenaran) tidak ditunjang oleh dalil, maka "tashdiiq" seperti ini tidak disebut dengan "iman". Pasalnya, sebuah pembenaran (tashdiiq) tidak akan menjadi pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiq al-jaazim), kecuali muncul dari dalil. Jika sebuah pembenaran tidak memiliki dalil (bukti), maka pembenaran tersebut tidak memiliki kepastian. Pembenaran yang tidak ditunjang oleh dalil hanya akan menjadi pembenaran terhadap suatu khabar dari khabar-khabar yang ada; dan tidak dianggap sebagai iman. Oleh karena itu, sebuah pembenaran (tashdiiq), baru dianggap pembenaran yang bersifat pasti atau iman, jika pembenaran tersebut ditunjang oleh dalil. Atas dasar itu, adanya sebuah dalil yang menunjang setiap perkara yang wajib diimani, sehingga sebuah "tashdiiq" disebut dengan "iman"; merupakan sebuah keharusan. Keberadaan dalil merupakan syarat asasi dalam keimanan, tanpa memandang apakah keimanan itu shahih atau fasid..." [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 29. Bandingkan dengan Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966, hal.56; Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dhann fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22]
Jika realitas ‘aqidah Hizbut Tahrir seperti di atas, lalu bagaimana bisa dinyatakan ‘aqidah Hizbut Tahrir –maksudnya perkara ushuluddin-- tidak sama dengan ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Kemungkinan kedua, jika yang dimaksud ”’aqidah” adalah perselisihan pendapat ulama ahlus sunnah dalam masalah-masalah ”’aqidah” yang terkandung dalam dalil-dalil dhanniy, maka adanya perbedaan pandangan dalam perkara-perkara ”keyakinan yang dhanniy” tersebut merupakan perkara yang lumrah dan wajar. Para ulama mu’tabar kadang-kadang berbeda pendapat dalam perkara-perkara keimanan yang dalilnya dhanniy. Semampang perbedaan pendapat tersebut bersumber dari perbedaan pendapat dalam memahami dalil-dalil dhanniy, tidak ada alasan bagi seorang Muslim menghukumi saudaranya yang berbeda pandangan dengan dirinya dengan predikat fasiq, dhalim, sesat, kafir, atau keluar dari gugusan ahlus sunnah wal jama’ah. Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah tasmiyah termasuk bagian surat al-Fatihah atau tidak; [Lihat, salah satunya di dalam Kitab al-Jaami’ li Ahkaam al-Quran karya Imam Qurthubiy al-Maliki, dan lain-lain], dan juga perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ”keyakinan” yang dalilnya dhanniy.
Hizbut Tahrir sendiri, sejauh pengamatan al-faqir, tidak membahas perkara-perkara keimanan yang disangga oleh dalil-dalil dhanniy. Pasalnya, Hizbut Tahrir tidak memfokuskan diri pada debat dan diskusi dalam perkara-perkara khilafiyyah (mukhtalafu fiih), tetapi ia konsens berjuang di tengah-tengah umat untuk menegakkan kembali syariat Islam secara kaaffah dalam bingkai negara Khilafah Islamiyyah. Selain itu, perkara ’aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya. Memperdebatkan dalil-dalil dhanniy, lebih-lebih lagi yang berbicara mengenai persoalan keimanan, selain tidak produktif, jika akan memancing terjadinya perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir bukan tidak peduli atau bodoh dalam perkara-perkara semacam ini, namun, Hizbut Tahrir tidak mengangkat masalah ini di ranah diskusi semata-mata karena menghindari perpecahan dan friksi di tengah-tengah kaum Muslim –khususnya masyarakat awam; serta agar umat tetap fokus pada persoalan-persoalan yang lebih penting, yakni mendirikan Khilafah agar syariat Islam terterapkan secara sempurna.
Kemungkinan ketiga; jika yang dimaksud ahlus sunnah wal jama’ah adalah kelompok yang berjalan di atas sunnah dan hidup di bawah naungan seorang pemimpinan (Khalifah); atau jika yang dimaksud ahlus sunnah wal jama’ah adalah pemahaman dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan para shahabat, maka tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Hizbut Tahrir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gugusan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Begitu pula jika yang dimaksud ahlus sunnah wal jama’ah adalah pandangan dan metode berfikir yang digariskan fukaha, seperti Imam Malik, Imam Syafi’iy, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama-ulama mu’tabar lain dalam memahami ayat-ayat Shifat, maka kami nyatakan dengan tegas bahwasanya Hizbut Tahrir masuk dalam gugusan mereka, dan sejalan dengan pemikiran dan pandangan mereka tanpa pernah menyimpang sedikitpun. Bahkan pandangan ’aqidah dan metodologi berfikir Hizbut Tahrir dalam memahami ayat-ayat mutasyabbihat mengikuti pandangan dan metodologi berfikir para fukaha mu’tabar. Oleh karena itu, statement [’aqidah Hizbut Tahrir berbeda dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah] jelas-jelas tuduhan dusta dan salah –jika yang dimaksud ’aqidah seperti kemungkinan ketiga.
Kemungkinan keempat, jika yang dimaksud Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang menjadikan pemikiran Imam Asy’ari dan Imam Maturidiy sebagai anutan, serta anjuran untuk mengikuti pandangan keduanya agar sah disebut ahlus sunnah wal jama’ah, maka [dengan merujuk penjelasan ulama-ulama mu’tabar dan pendapat Hizbut Tahrir yang terdapat di dalam kitab-kitab mutabannat], al-faqir perlu menjelaskan beberapa point penting yang relevan dengan syubhat tersebut; yakni: (1) dalam konteks ushuliy, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim, bahwasanya acuan (dalil) untuk merumuskan pokok-pokok ‘aqidah bukanlah pendapat ulama, akan tetapi dalil ‘aqliy dan naqliy (al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas). Pendapat ulama bukanlah dalil dan tidak boleh dijadikan dalil. Begitu pula metode yang harus diadopsi untuk merumuskan prinsip atau perkara ‘aqidah, termasuk di antaranya metode memahami ayat-ayat yang berbicara tentang Asma` wa Shifat dan qadla’ qadar, haruslah metode yang diajarkan Nabi saw kepada para shahabat, yakni metode al-Quran yang didasarkan pada penginderaan (manhaj al-Quran ‘ala asaas al-hissi) bukan metode filsafat atau ilmu kalam yang diadopsi dari filosof-filosof Yunani. Begitu pula penisbahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, harus dikembalikan kepada sumber nisbah, yakni Nabi saw dan para shahabat, bukan selain mereka.
Memang benar, bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan melakukan ijtihad dan istinbath, diwajibkan untuk mengikuti seorang mujtahid atau ulama yang adil (taqlid). Pasalnya, tidak semua orang mampu memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Hanya saja, dalam persoalan-persoalan ’aqidah, para ulama sepakat bahwa “taqlid” dalam masalah 'aqidah adalah haram. Di dalam Kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah juz 1, Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menyatakan:
والتقليد في العقيدة لا يجوز لأن الله قد ذم المقلدين في العقيدة، قال تعالى { وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ } وقال تعالى { وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ } . أما التقليد في الأحكام الشرعية فجائز شرعاً لكل مسلم، قال تعالى { فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ } .
”Taqlid dalam ’aqidah tidak boleh (haram), sebab, Allah swt mencela orang-orang yang taqlid dalam ’aqidah. Allah swt berfirman: [Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"[TQS Al-Baqarah (2): 170] Allah swt berfirman: [Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”.[TQS Al-Maidah (5):104] Adapun taqlid dalam hukum-hukum syariat, maka hal itu boleh secara syar’iy bagi setiap Muslim. Allah swt berfirman:[Artinya: ” maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. [TQS An Nahl (16): 43]
Pendapat seperti ini juga merupakan pendapat ulama-ulama mu’tabar. Imam Qurafiy dalam Kitab Tanqiih al-Ushuul fi ’Ilm al-Ushuul menyatakan:
ولا يجوز التقليد في أصول الدين لمجتهد ولا للعوام عند الجمهور لقوله تعالى:{ ولا تقف ما ليس لك به علم } ولعظم الخطر في الخطأ في جانب الربوبية بخلاف الفروع فإنه ربما كفر في الأول ويثاب في الثاني جزما. انتهى
”Tidak boleh (haram) taqlid dalam masalah ushuul al-diin baik mujtahid maupun orang awam, berdasarkan Firman Allah swt: [Artinya: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.[TQS Al-Israa` (17):36]. Dan juga karena besarnya bahaya (jika terjatuh) dalam kesalahan pada sisi Rububiyyah (Ketuhanan); berbeda dengan furuu’. Sesungguhnya kadang-kadang kafir pada yang pertama (--jika salah dalam perkara ushuluddin), dan diberinya pahala bagi yang kedua (masalah furu’) merupakan kepastian (meskipun salah dalam perkara ijtihadiyah atau furu’.pentj)”.[Imam Qurafiy, Tanqiih al-Ushuul fi ’Ilm al-Ushuul, ]
Imam Baidlawiy saat menafsirkan surat Yunus ayat 68 menyatakan:
{أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ} توبيخ وتقريع على اختلافهم وجهلهم. وفيه دليل على أن كل قول لا دليل عليه فهو جهالة وأن العقائد لا بد لها من قاطع وأن التقليد فيها غير سائغ. انتهى.
“[Artinya:”Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? [TQS Yunus (10):86]; ini adalah celaan dan teguran atas perselisihan mereka dan ketidaktahuan mereka. Di dalamnya terkandung dalil yang menunjukkan bahwa setiap perkataan yang tidak ada dalil di atasnya, maka ia adalah kebodohan, dan juga menunjukkan bahwa perkara-perkara ‘aqidah harus bersumber dari yang pasti (dalil qath’iy), dan taqlid dalam perkara-perkara ‘aqidah tidak diperbolehkan. Selesai”. [Imam Baidlawiy, Tafsir Baidlawiy, Surat Yunus 68].
Jika taqlid dalam perkara ‘aqidah diharamkan, lantas bagaimana bisa dinyatakan kaum Muslim harus taqlid dengan pendapat ulama tertentu dalam persoalan-persoalan ‘aqidah?
Memang benar, perkara-perkara sulit, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat, tidak semua orang sanggup memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks seperti ini, kaum Muslim awam tidak dibebani oleh syariat untuk mengkaji dan mendalaminya. Imam Al-Raziy menyatakan:
القيد الرابع : ليس من شرط الإيمان التصديق بجميع صفات الله عزّ وجلّ؛ لأن الرسول عليه السلام كان يحكم بإيمان من لم يخطر بباله كونه تعالى عالماً لذاته أو بالعلم ، ولو كان هذا القيد وأمثاله شرطاً معتبراً في تحقيق الإيمان لما جاز أن يحكم الرسول بإيمانه قبل أن يجربه في أنه هل يعرف ذلك أم لا . فهذا هو بيان القول في تحقيق الإيمان ، فإن قال قائل : ها هنا صورتان : الصورة الأولى : من عرف الله تعالى بالدليل والبرهان ولما تم العرفان مات ولم يجد من الزمان والوقت ما يتلفظ فيه بكلمة الشهادة . فههنا إن حكمتم أنه مؤمن فقد حكمتم بأن الإقرار اللساني غير معتبر في تحقيق الإيمان ، وهو خرق للإجماع ، وإن حكمتم بأنه غير مؤمن فهو باطل؛ لقوله عليه السلام : « يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان » وهذا قلب طافح بالإيمان ، فكيف لا يكون مؤمناً؟ الصورة الثانية : من عرف الله تعالى بالدليل ووجد من الوقت ما أمكنه أن يتلفظ بكلمة الشهادة ولكنه لم يتلفظ بها فإن قلتم إنه مؤمن فهو خرق للإجماع ، وإن قلتم ليس بمؤمن فهو باطل؛ لقوله عليه السلام : « يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من الإيمان » ولا ينتقي الإيمان من القلب بالسكوت عن النطق . والجواب : أن الغزالي منع من هذا الإجماع في الصورتين ، وحكم بكونهما مؤمنين ، وأن الامتناع عن النطق يجري مجرى المعاصي التي يؤتى بها مع الإيمان .
Batasan keempat; tashdiq terhadap semua sifat Allah swt tidak termasuk persyaratan iman. Sebab, Rasulullah saw tetap mengakui keimanan orang yang tidak mengetahui apakah Allah Mengetahui karena DzatNya sendiri atau karena IlmuNya. Seandainya tashdiq terhadap semua sifat Allah termasuk syarat pentahqiqan iman, lalu mengapa Rasulullah saw mengakui keimanan orang tersebut, padahal beliau saw belum mengujinya apakah ia telah mengetahui semua sifat Allah atau belum? Ini adalah penjelasan mengenai pentahqiqan iman. Jika ada orang bertanya terhadap dua buah kasus; pertama; ada orang yang telah mengetahui Allah sw dengan dalil dan bukti. Setelah pengetahuan itu sempurna, orang tersebut meninggal, namun ia tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan kalimat syahadat. Dalam kasus ini, jika orang tersebut anda hukumi Mukmin, maka anda pun mengakui bahwa pengakuan lisan (iqraar al-lisaan) bukanlah faktor penentu keimanan. Dan pendapat ini menyalahi konsensus (ijma'). Namun, jika anda menghukumi dirinya bukan Mukmin, maka inipun bathil; berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun seberat dzarrah." Qalbu di dalam hadits ini telah berisi iman. Lantas, bagaimana mungkin ia tidak termasuk orang Mukmin? Kedua, ada orang yang mengetahui Allah swt berdasarkan dalil, dan ia masih memiliki kesempatan untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun ia tidak mengucapkannya. Jika anda menyatakan bahwa ia Mukmin, maka ini telah menyalahi konsensus. Jika anda katakan ia bukan Mukmin, maka perkataan itu bathil, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun seberat dzarrah". Padahal, iman itu tidak akan hilang dari hati, meskipun tidak diucapkan. Jawabnya: sesungguhnya Imam al-Ghazaliy menolak ijma' dalam dua kasus ini. Dan ia menghukumi orang yang berada dalam dua keadaan itu sebagai orang Mukmin; sedangkan keengganan untuk mengucapkannya (melafadzkan syahadat) terkategori perbuatan maksiyat setelah hadirnya iman".
Hanya sebagian kecil ulama yang membolehkan taqlid dalam masalah 'aqidah, yaitu, 'Ubaidullah bin al-Hasan al-'Anbariy, kelompok Hasyawiyah, dan Ta'limiyyah. Sebagian yang lain malah berpendapat wajibnya bertaqlid dalam masalah 'aqidah. Menurut mereka al-nadhr (pengamatan) dan ijtihad dalam masalah 'aqidah adalah haram.
Dituturkan bahwasanya Imam al-Raziy dalam kitab al-Mahshuul dari mayoritas fuqaha menyatakan taqlid dalam masalah 'aqidah adalah boleh, tetapi Ibnu Hajib tidak menuturkan pendapat ini kecuali dari al-'Anbariy saja.
Adapun jumhur 'ulama berpendapat bahwa taqlid dalam masalah aqidah adalah haram. Abu Ishaq dalam Syarah al-Tartiib menuturkan tentang kesepakatan para ahli ilmu dari berbagai golongan mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah. Abu al-Husain bin al-Qaththaan menyatakan, "Kami tidak melihat adanya ikhtilaf dalam hal haramnya taqlid dalam masalah tauhid." Ibnu al-Sam'aniy menuturkan, bahwa seluruh ahli ilmu kalam dan sekelompok fuqaha telah sepakat mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah. Menurut Imam al-Haramain, dalam al-Syaamil, tak seorangpun yang berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah kecuali kelompok Hanabilah. Sedangkan menurut Imam al-Isyfirainiy, yang berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah hanyalah ahli dzahir.
Menurut Imam Syaifuddin al-Amidiy al-Hanbaliy tsumma al-Syafi’iy rahimahullah ta’ala, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Syafi'iy, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Hanbal.
Adapun alasan-alasan yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut:
Alasan pertama, pengamatan dan penelitian adalah wajib, sedangkan taqlid meniadakan kewajiban untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Atas dasar itu, taqlid merupakan perbuatan haram, karena telah meninggalkan kewajiban untuk mengamati dan meneliti. Dalil wajibnya melakukan pengamatan dan penelitian adalah firman Allah swt,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan."[TQS Al-Baqarah (2):164]
Rasulullah saw bersabda, "Celakalah bagi siapa saja yang membaca ayat ini, namun tidak pernah memikirkan isinya". Hadits ini merupakan ancaman bagi siapa yang meninggalkan pengamatan dan pengkajian. Oleh karena itu, pengamatan dan pengkajian merupakan kewajiban.
Alasan kedua; menurut Imam al-Amidiy, para ulama salaf berkonsensus mengenai wajibnya makrifat kepada Allah swt, baik dalam hal yang boleh bagi Allah dan apa yang tidak boleh bagi Allah swt. Barangkali ada yang mengatakan, bahwa makrifat kepada Allah juga bisa ditempuh dengan taqlid. Pendapat ini tertolak karena alasan-alasan berikut ini; (1) orang yang memberikan fatwa dalam masalah 'aqidah tidaklah maksum, dan tidak boleh dianggap maksum. Karena ia tidak maksum, maka berita yang disampaikannya tidak wajib untuk diimani. Jika berita yang disampaikannya tidak wajib diimani, berarti berita yang disampaikannya tidak berfaedah kepada ilmu (keyakinan). (2) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan), tentunya bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu huduts (baru atau diciptakan) akan memperoleh keyakinan sama seperti orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu qadam (awal atau pertama kali). Padahal hal semacam ini adalah sesuatu yang mustahil; sebab dua keyakinan semacam ini tidak mungkin dikompromikan. (3) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan), padahal keyakinan dalam masalah seperti itu kadang-kadang bersifat dlaruriy atau nadzariy: tentunya keyakinan (ilmu) tersebut tidak boleh bersifat dlaruriy. Jika tidak bersifat dlaruriy, tentunya akan terjadi perbedaan di kalangan manusia. Padahal dalam masalah 'aqidah tidak boleh ada perbedaan.
Alasan ketiga, al-Quran mencela taqlid dalam masalah 'aqidah, namun tidak dalam masalah syariat. Adapun nash yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut;
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ (.) وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (.) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ءَابَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati pada bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan mengikuti jejak mereka. Dan demikianlah bahwa Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun di suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati pada bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata, : Apakah (kamu akan mengikutinya juga), sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kami dapati yang dianut oleh bapak-bapak kalian?" Ayat ini mencela orang-orang yang bertaqlid dalam masalah keyakinan; dan masih banyak ayat-ayat lain yang mencela taqlid dalam masalah 'aqidah.
Selain itu, berpikir menyangkut masalah aqidah adalah mudah, sebab, dalil-dalil yang berkenaan dengan aqidah sangat jelas (tidak perlu ijtihad). Imam Ahmad menyatakan, "Tanda yang menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang adalah taqlid kepada orang lain dalam masalah aqidah".
Menurut Abu Manshur, para 'ulama berbeda pendapat mengenai orang yang beraqidah dengan jalan taqlid, atau tidak memahami dalil-dalilnya. Mayoritas 'ulama berpendapat, mereka tetap Mukmin yang akan mendapatkan syafa'at, namun berpredikat fasiq, dikarenakan meninggalkan istidlal (proses berdalil). Pendapat semacam ini dipegang oleh mayoritas ulama hadits. Imam al-Asy'ariy dan mayoritas Mu'tazilah menyatakan; seseorang tidak akan mendapat predikat Mukmin hingga ia meninggalkan taqlid.
Namun, Imam Syaukani membantah pendapat itu dengan menyatakan, bahwa mereka tetap Mukmin dan tidak boleh digelari dengan gelar fasiq. Sebab, syariat tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.
Lantas, apakah bisa diterima secara syar’iy tindakan mengajak atau mendorong kaum Muslim untuk taqlid dalam perkara ‘aqidah; sementara itu mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama’ah justru melarangnya?
Statement yang menyatakan bahwa “seseorang baru sah disebut ahlus sunnah wal jama’ah” setelah ia mengikuti (taqlid) pandangan Imam Asy’ari dan Imam Maturidiy dalam persoalan ’aqidah, sesungguhnya merupakan statement yang ”tidak sepenuhnya benar”, dan harus dirinci dan didudukkan secara proporsional agar tidak menyalahi kaedah-kaedah mapan yang telah digariskan ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Alasannya: (1) jalan penetapan ’aqidah (itsbat ’aqidah) itu mudah dan setiap orang pasti sanggup menempuhnya secara mandiri, khususnya itsbat tentang eksistensi Allah swt, kenabian Nabi Mohammad saw, dan keberadaan al-Quran sebagai Kalamullah. Tiga perkara ini merupakan pokok ’aqidah Islamiyyah yang mendasari semua perkara ’aqidah, yang mana para ulama mu’tabar melarang taqlid di dalamnya. Atas dasar itu, keimanan seorang Mukmin terhadap tiga perkara ini tidak boleh karena taqlid (mengikuti pendapat ulama), tetapi karena berfikir mandiri. Kemandirian berfikir dalam perkara ’aqidah meniscayakan adanya kemudahan bagi seluruh kaum Muslim, baik yang pandai maupun awam. Seandainya seseorang baru absah disebut ahlus sunnah wal jama’ah setelah mengikuti pandangan Imam Asy’ari dan Maturidiy, tentu ini akan sangat menyulitkan kaum Muslim, khususnya kaum awam. Hal ini tentu menyalahi kaedah-kaedah dasar yang telah digariskan sejak masa Nabi saw dan para shahabat. (2) Adapun dalam konteks memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah yang berbicara mengenai ’aqidah; dalam hal ini ada dua ranah. Jika nash-nash tersebut qath’iy dilalah, maknanya bisa dipahami dengan mudah tanpa membutuhkan curahan tenaga dan kesulitan yang besar. Sebab, makna yang terkandung di dalam nash-nash tersebut amat jelas, tidak multi tafsir, dan juga tidak membutuhkan penalaran yang njlimet; dan tidak ada ijtihad dalam nash-nash qath’iy dilalah. Contohnya adalah nash-nash yang bertutur tentang keesaaan Allah, keberadaan hari kiamat, surga dan neraka, malaikat, jin, setan, dan sebagainya. Adapun jika makna yang terkandung di dalam nash-nash tersebut musykil (sulit) dan membutuhkan kemampuan (kafaah) yang lebih, maka orang awam tidak dibebani untuk mengetahuinya terlalu rinci dan mendalam. Ia bisa taqlid, atau mengikuti penjelasan ulama mu’tabar mengenai makna yang terkandung dalam nash tersebut. Bahkan, ia tidak diperkenankan menafsirkan sendiri nash-nash dhanniy tersebut. Sebab, ia tidak memiliki kemampuan dan kelayakan yang memadai. Hanya saja, pemaknaan terhadap nash-nash dhanniy tersebut ---khususnya ayat-ayat Shifat--, harus tunduk di bawah ketentuan penafsiran yang lurus, yakni dipahami dengan cara taslimiy (tunduk patuh), dengan tidak mempertanyakan kaifiyyah dan mahiyyahnya.
Point kedua, metode filsafat yang digunakan ulama ahlu kalam untuk membahas ayat-ayat Asma` wa Shifat bukanlah metode yang selamat. Sejauh pengamatan dan pengkajian al-faqir, Hizbut Tahrir berpandangan bahwasanya metode memahami al-Quran dan Sunnah –termasuk di dalamnya nash-nash yang bertutur tentang Asma` wa Shifat, harus didasarkan pada metode syar’iy yang ditempuh para shahabat dan para fukaha (manhaj al-fuqahaa), seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy, dan Imam Ahmad bin Hanbal, bukan ta`wil atau tafsir versi mutakallimiin yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Berikut ini akan kami ketengahkan pandangan Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’iy, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal, tentang ayat-ayat Asma` wa Shifat, serta metode (manhaj) berfikir mereka dalam memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang kami sarikan dari sebuah adikarya luhung dari al-’Alim al-’Allamah Syaikh ’Izzuddin’Hisyam bin Abdul Karim al-Badraniy, Asmaa`u al-Allah wa Shifatuhu (Manaahij al-Adillah fi Bahts Asmaa`i al-Allah wa Shifaatihi).
Imam Abu Hanifah rahimahullah
Imam Abu Hanifah ra menolak pandangan kaum al-Musyabbihah (kelompok yang mendiskripsikan Shifat Allah sebagaimana shifat yang dimiliki makhlukNya) dan al-Mu’aththilah (kelompok yang menafikan Shifat-shifat Allah) tentang Asmaa`u al-Allah dan ShifatNya. Di dalam Kitab Tahdziib al-Tahdziib dituturkan:
أتانا من المشرق رأيان خبيثان جهم معطل ومقاتل مشبه
”Telah mendatangi kami dari timur, dua pemikiran menjijikkan, Jahm yang Mu’aththil dan Muqatil yang Musyabbih”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, Tahdziib al-Tahdziib, Juz 32/283. Maktabah Syamilah. Lihat juga Imam Khathib al-Baghdadiy, Tarikh al-Baghdad, Juz 13/164].
Dari pernyataan Imam Abu Hanifah di atas, tampak jelas bahwa perdebatan tentang Asma` dan ShifatNya dalam bentuk seperti apa yang dilakukan oleh kelompok musyabbih atau mu’aththil, tidak pernah dikenal sebelumnya. Perdebatan dua kelompok tersebut mengenai ayat-ayat Shifat merupakan perkara baru, dan bertentangan dengan ”urf umum” kaum Muslim sebelumnya. Perkataan beliau [telah mendatangi kami dari timur] menunjukkan bahwasanya pendapat kelompok musyabbih dan mu’aththil serta metodologi mereka dalam menafsirkan al-Quran, khususnya ayat-ayat Shifat adalah perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
Imam Abu Hanifah juga berkata:
أَفْرَطَ جَهْمُ فِي النَّفْيِ حَتَّى قَالَ: إنَّ اللهَ لَيْسَ بِشَئٍ، وَأَفْرَطَ مُقَاتِلُ فِي الإثْبَاتِ حَتَّى جَعَلَ للهَ تَعَالَى مِثْلَ خَلْقِهِ
”Jahm berlebih-lebihan dalam penafian, sampai-sampai ia berkata, ”Sesungguhnya Allah tidak memiliki apa-apa”. Sedangkan Muqatil berlebih-lebihan dalam penetapan (istbat), sampai-sampai ia menjadikan Allah seperti makhlukNya”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Baariy].
Pernyataan Imam Abu Hanifah ”[berlebih-lebihan/afrath]” menunjukkan bahwa kelompok musyabbih dan mu’aththil tidak bisa berinteraksi dengan nash-nash al-Quran secara proporsional sesuai dengan topiknya. Pernyataan Imam Abu Hanifah juga menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan metodologi dua kelompok itu dalam memahami nash-nash al-Quran, serta tidak menyetujui tata cara istidlal keduanya terhadap ayat-ayat Shifat. Menurut beliau, dua kelompok tersebut telah terjatuh pada ifrath wa tafrith (berlebih-lebihan hingga melampaui batas).
Imam Malik rahimahullah
Adalah Imam Malik rahimahullah, Imam Daar al-Hijrah, beliau bersikap sangat keras kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang tatacara istiwaa` Allah swt di ’Arsy. Beliau mendapati dari penanya sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Seolah-olah beliau disambar petir karena kebodohan dan kelancangan si penanya. Tidak hanya itu saja, beliau rahimahullah menganggap penanya tatacara istiwaa` sebagai ahli bid’ah, dan memerintahkan agar orang itu keluar dari majelisnya.
Dituturkan dari ’Ali bin al-Rabi’ al-Tamimiy al-Muqriy, bahwasanya ia berkata, ”Telah meriwayatkan kepada kami ’Abdullah bin Abi Dawud: Telah meriwayatkan kepada kami, Salamah bin Syabib: Telah meriwayatkan kepada kami, Mahdiy bin Ja`far dari Ja’far bin ’Abdullah, bahwasanya ia berkata:
جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
”Seorang laki-laki mendatangi Malik bin Anas, seraya bertanya, ”Ya Aba ’Abdillah, Yang Maha Rahman bersemayam di atas ’Arsy, lalu bagaimana cara Dia bersemayam? Perawi berkata, ”Tidaklah aku menyaksikan Imam Malik mendapati sesuatu sebagaimana ia mendapati dari pernyataannya, dan beliau ra mengucurkan keringat. Perawi berkata, ”Orang-orang pun tertunduk dan menantikan apa yang akan datang dari beliau. Perawi berkata lagi, ”Lalu, datanglah ketenangan dari Imam Malik, seraya beliau berkata, ”Tatacaranya tidak diketahui, dan istiwaa`Nya tidaklah majhul (tidak diketahui), dan iman kepadanya adalah kewajiban, dan bertanya tentang tatacara istiwa`Nya adalah bid’ah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan menjadi sesat”. Beliau memerintahkan agar orang itu keluar dari majelisnya”.
Berdasarkan fragmen cerita di atas dapat disimpulkan bahwasanya pemahaman keliru terhadap nash-nash syariat yang membuat Imam Malik mencucurkan keringat adalah adanya ikhtilath al-lisaan (tumpangsuh lisan) pada mufrad al-lughah dan adanya kekeliruan dalam memahami khithab dan dilalah-nya. Orang yang bertanya tentang tatacara istiwaa` Allah swt, sesungguhnya telah mendatangkan uslub, pemikiran, dan pemahaman yang belum pernah dikenal oleh orang Arab. Inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Hanifah dalam perkataan beliau yang masyhur:
أتانا من المشرق رأيان خبيثان جهم معطل ومقاتل مشبه
”Telah mendatangi kami dari timur, dua pemikiran menjijikkan, Jahm yang Mu’aththil dan Muqatil yang Musyabbih”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, Tahdziib al-Tahdziib, Juz 32/283. Maktabah Syamilah. Lihat juga Imam Khathib al-Baghdadiy, Tarikh al-Baghdad, Juz 13/164; ].
Orang yang bertanya tentang tatacara istiwaa`, terlintas dalam pikirannya bahwa makna yang dimaksud oleh kata istiwaa` adalah makna bahasa yang dimiliki lafadz itu. Dengan kata lain, ia memahami bahwa makna istiwaa` adalah makna dhahir yang bisa dicerap oleh indera; yang salah satu maknanya adalah bertempatnya jisim di atas jisim yang lain, dan menetap di atasnya. Makna seperti ini dimungkinkan menurut bahasa Arab, dan juga dimungkinkan bila dipahami berdasarkan dalalah (penunjukkan) yang ditunjukkan oleh lafadz tersebut dalam posisi berdiri sendiri (mufrad) dan terpisah dari kalimat yang lengkap. Kata istiwaa` juga mungkin dipahami seperti itu, jika kita mengeluarkan kata tersebut dari pemahaman syariah pada dalalah yang ditunjukkan dalam pemikiran dan keyakinan pada topik ini. Orang yang bertanya tentang tata cara istiwaa` memahami makna istiwaa` dengan makna-makna seperti itu. Hanya saja, pemahaman tersebut tidak bisa membantu dirinya untuk memahami keraguan seputar tatacara bersemayam dan berdiam di ’Arsy yang terkandung dalam dalalah lafadz tapi tidak terkandung dalam pemahaman akal, hingga akhirnya ia mengajukan pertanyaan.
Imam Malik tidak membiarkan pertanyaan itu tanpa ada jawaban. Bahkan, beliau menjawab pertanyaan itu diiringi kemarahan, karena hal itu akan mempengaruhi masyarakat awam. Imam al-Lalika`iy di dalam Syarah al-Sunnah, dengan sanad sampai kepada Imam Malik ra, bahwasanya beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban:
الاسْتِوَاءُ مَذْكُورٌ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالإيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
”Istiwaa` itu madzkuur (disebutkan), tatacaranya tidak bisa dipahami dengan akal, iman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentang istiwa` adalah bid’ah”.
Makna [al-istiwaa` madzkuur] adalah istiwaa` itu ditetapkan bagi kita dengan jalan sam’iy wa naqliy, yakni ia diketahui telah disebutkan, namun tidak diketahui dalam pikiran. Oleh karena itu, orang yang berakal tidak akan bertanya tatacara istiwaa’, bentuk, dan maknanya. Sebab, hal itu merupakan perkara yang tidak diketahui akal, karena ketidaktahuan kita dan begitu sedikitnya pengetahuan kita. Selain itu, terdapat nash yang menjelaskan tentang kelemahan kita dalam membahas perkara-perkara tersebut (Dzat Allah). Allah swt berfirman:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (103)
”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. TQS Al-An’aam (6):103]
Keimanan terhadap Istiwaa` adalah wajib dengan cara taslim (berserah diri sepenuhnya). Sebab, istiwaa` diinformasikan oleh nash qath’iy, sedangkan menanyakan tatacaranya adalah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya pembahasan dan pengkajian tentang Asma` dan Shifat Allah swt di masa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bukanlah topik yang mendapatkan perhatian khusus, bahkan cenderung tidak dipedulikan. Alasannya, pembahasan kedua topik tersebut merupakan perdebatan filsafat yang tidak pernah dikenal bahkan bertentangan dengan tradisi berfikir lurus kaum Muslim. Pembahasan mengenai Asma` dan Shifat Allah merupakan pembahasan tentang Dzat Allah swt. Sedangkan mendiskusikan atau membahas Dzat Allah swt, hukumnya terlarang. Kaum Muslim wajib membatasi diri sebatas apa yang disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah.
Imam Syafi’iy rahimahullah
Sesungguhnya di masa beliau rahimahullah, penakwilan serampangan terhadap al-Quran --khususnya terkait dengan ayat-ayat Shifat-- telah mencapai taraf ghuluw dan jur’ah (berlebih-lebihan dan gegabah). Penakwilan al-Quran tidak lagi memperhatikan “urf umum” kaum Muslim sebelumnya. Adapun sikap Imam Syafi’iy, tampak jelas dalam perkataan beliau:
آمَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ
“Aku beriman kepada apa yang datang dari Allah swt di atas makna yang maksud oleh Allah swt, dan beriman kepada apa yang datang dari Rasulullah saw, di atas makna yang dikehendaki Rasulullah saw”.
Beliau rahimahullah menegaskan bahwa beliau beriman kepada apa yang datang dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw dengan keimanan taslim, yakni keimanan yang berasal dari sikap berserah diri sepenuhnya, bukan keimanan yang berasal dari ijtihad dan perdebatan antara wajibnya itsbat (penetapan) atau nafiy (penafian); dan juga keimanan yang tidak berasal dari perselisihan antara pengakuan dan pengingkaran; dan juga bukan keimanan yang berasal dari diskusi kebahasaan, apakah maknanya harus dibawa ke arah pengertian hakikiy atau ke arah pengertian majaziy. Iman yang dimaksud Imam Syafi’iy bukanlah iman seperti ini, yakni keimanan yang menjadikan topik –ayat-ayat Shifat— sebagai bahan ijtihad dan perdebatan. Iman yang dimaksud adalah keimanan terhadap semua apa yang datang dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw dengan keimanan taslim sebatas apa yang disebutkan dan dijelaskan dalam Quran dan Sunnah Nabi saw.
Keimanan yang dijelaskan Imam Syafi’iy rahimahullah bukanlah keimanan yang tidak ada kesadaran maupun pemahaman di dalamnya; dan juga bukan seperti keimanan yang dimiliki Arab Baduwi yang diterima dan diucapkan dengan lisannya namun keimanan itu belum masuk di dalam hati mereka; tetapi keimanan yang dimaksud adalah keimanan yang tegak di atas asas berfikir dan manhaj (metodologi) yang lurus, yakni keimanan yang terbebas dari kekeliruan dan ghulath, serta mafhum keimanan dan keyakinan berfikirnya tegak di atas asas naqliy semata.
Oleh karena itu, menurut kami, pemahaman ‘aqidah Imam Syafi’iy telah membangun suatu pemikiran Islam khas yang didasarkan pada metode wahyu. Pemahaman beliau terhadap nash-nash al-Quran -- ayat-ayat Shifat--, tersarikan dalam pernyataan beliau:
للهِ أَسْمَاءٌ وَصِفَاتٌ لاَ يَسَعُ أَحَداً رَدَّهَا، وَمَنْ خَالَفَ بَعْدَ ثُبُوتِ الْحُجَّةِ -أي بالنقلِ- عَلَيْهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَأَمَّا قَبْلَ قِيَامِ الْحُجَّةِ فَإنَّهُ يُعْذَرُ بِالْجَهْلِ، لأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لاَ يُدْرَكُ بِالْعَقْلِ وَلاَ الرُّؤْيَةِ وَالْفِكْرِ، فَنُثْبِتُ لَهُ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَنَنْفِي عَنْهُ التَّشْبِيْهَ كَمَا نَفَى عَنْ نَفْسِهِ، فَقَالَ:(لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ()().
“Allah swt memiliki Nama-nama dan Shifat-shifat yang tidak ada keluasaan bagi seseorang menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihi setelah tegaknya hujjah –yakni naqli—atas dirinya, maka ia kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, maka ada alasan (untuk tidak mengkafirkannya) karena adanya ketidaktahuan. Sebab, pengetahuan terhadap hal itu (Nama-nama dan Shifat-shifat Allah) tidak mungkin dipahami dengan akal, penglihatan, dan berfikir. Oleh karena itu, kami menetapkan bagiNya Shifat-shifat ini, dan menafikan dariNya penyerupaan (tasybih), sebagaimana Dia telah menafikan (penyerupaan) dari DiriNya. Dia berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”.[TQS Asy Syura (42):11]”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Baariy, Juz 20/494. Maktabah Syamilah].
Inilah asas berfikir yang dianggap mu’tamad oleh Imam Syafi’iy ra, sebagaimana yang dituturkan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy asy Syafi’iy dari Yunus bin ‘Abd al-A’la, dengan sanad yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abiy Hatim dalam Manaqib al-Syafi’iy.
Asas berfikir Imam Syafi’iy rahimahullah didasarkan pada sebuah prinsip bahwa nash-nash syariat dalam al-Quran dan Sunnah harus dipahami dengan lisan orang Arab (lisaan al-‘Arab), yang mencakup lughat al-khithab wa ma’huud al-mukhaatab hingga diketahui maksud dari Asy Syaari` dalam khithab tersebut. Oleh karena itu, Imam Asy Syafi’iy menolak prinsip-prinsip logika mantik dan ajaran-ajaran berfikir Aristoteles. Beliau rahimahullah berkata:
مَا جَهِلَ النَّاسُ وَلاَ اخْتَلَفُواْ إلاَّ لِتَرْكِهِمْ لِسَانَ الْعَرَبِ وَمَيْلِهِمْ إلَى لِسَانِ أَرِسْطَاطَالِيسَ، وَلَمْ يَنْزِلِ الْقُرْآنُ وَلاَ أَتَتِ السُّنَّةُ إلاَّ عَلَى مُصْطَلَحِ الْعَرَبِ وَمَذَاهِبِهِمْ فِي الْمُحَاوَرَةِ وَالتَّخَاطُبِ وَالاحْتِجَاجِ وَالاسْتِدْلاَلِ لاَ عَلَى مُصْطَلَحِ الْيُونَانِ، وَلِكُلِّ قَوْمٍ لُغَةٌ وَمُصْطَلَحٌ
“Tidaklah manusia menjadi bodoh dan tidaklah mereka berselisih pendapat, kecuali karena mereka meninggalkan lisaan al-‘Arab dan kecenderungan mereka terhadap lisannya Aristoteles (logika Aristoteles). Tidaklah al-Quran turun, dan tidak pula sunnah datang kecuali di atas peristilahan orang Arab serta prinsip-prinsip mereka dalam muhawarah, takhaathub, ihtijaaj, istidlaal, bukan di atas peristilahan orang Yunani. Setiap kaum memiliki bahasa dan peristilahan sendiri-sendiri”. [Imam Jalaluddin As Suyuthiy, Shaun al-Kalaam ‘an Fan al-Mantiq wa al-Kalam, hal.45]
Imam Syafi’iy tidak hanya mencukupkan diri membantah orang-orang yang terpengaruh ilmu kalam dan ahlul kitab, tapi, beliau juga merumuskan asas-asas atau prinsip-prinsip pengkajian, penelitian, istidlal, dan istinbath terhadap al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Beliau berkata:
وَكَانَ مِمَّا عَرَّفَ اللهُ نَبِيَّهُ مِنْ إنْعَامِهِ أَنْ قَالَ: (وَإِنَّهُ لَذِكْرُُ لَكَ وَلِقَوْمِكَ(() فَخَصَّ قَوْمَهُ بِالذِّكْرِ مَعَهُ بِكِتَابِهِ. وَقَالَ: (وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ(() وَقَالَ (لِتُنْذِرَ أُمَّ القُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا(() وأمُّ الْقُرَى مَكَّةُ، وَهِيَ بَلَدُهُ وَبَلَدُ قَوْمِهِ، فَجَعَلَهُمْ فِي كِتَابِهِ خَاصَّةً، وَأَدْخَلَهُمْ مَعَ الْمُنْذَرِينَ عَامَّةً، وَقَضَى أَنْ يُنْذَرُواْ بِلِسَانِهِمُ الْعَرَبِيّ، لِسَانَ قَوْمِهِ مِنْهُمْ خَاصَّةً
“Di antara apa-apa yang Allah swt sampaikan kepada Nabinya dari nikmat-nikmatNya, Allah swt berfirman;[Artinya: “Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu”.[TQS Az Zukhruf (43):44]. Allah swt juga menyebut kaumnya bersama beliau saw secara khusus di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;[Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.[TQS Asy Syu’araa` (26):214], dan Dia juga berfirman:[Artinya: “..supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Quraa (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya”.[TQS Asy Syura (42):7]. Ummul Quraa adalah negeri beliau saw dan negeri kaumnya. Dan Allah swt menyebut mereka secara khusus di dalam KitabNya, dan memasukkan mereka (penduduk Mekah) bersama dengan orang-orang yang diberi peringatan secara umum. Dan Allah swt menetapkan seluruh kaumnya diberi peringatan dengan lisan mereka yang ‘Arabiy, lisan kaumnya (lisan al-‘Arab) dari mereka secara khusus”.
Beliau rahimahullah berkata:
فَعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ لِسَانَ الْعَرَبِ مَا بَلَغَهُ جَهْدهُ حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَيَتْلُوَ بِهِ كِتَابَ اللهِ، وَيَنْطِقَ بِالذِّكْرِ فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْهِ مِنَ التَّكْبِيْرِ، وَأُمِرَ بِهِ مِنَ التَّسْبِيْحِ وَالتَّشَهُّدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ) ويقول رحمه الله: (وَمَا ازْدَادَ مِنَ الْعِلْمِ بِاللِّسَانِ، الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ لِسَانَ مَنْ خَتَمَ بِهِ نُبُوَّتَهُ، وَأَنْزَلَ بِهِ آخِرَ كُتُبِهِ، كَانَ خَيْراً لَهُ، كَمَا عَلَيْهِ يَتَعَلَّمُ الصَّلاَةَ وَالذِّكْرَ فِيْهَا، وَيَأْتِيَ الْبَيْتَ وَمَا أُمِرَ بِإتْيَانِهِ، وَيَتَوَجَّهَ لِمَا وُجِّهَ لَهُ. وَيَكُونُ تَبَعاً فِيْمَا اْفُتِرضَ عَلَيْهِ وَنُدِبَ إلَيْهِ لاَ مَتْبُوعاً
“Wajib atas setiap Muslim mempelajari lisan al-‘Arab dengan mencurahkan segenap tenaganya hingga ia bersaksi “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah swt, dan bahwa Mohammad adalah hambaNya dan RasulNya, dan membaca Kitabullah dengannya (lisan Arab), dan mengucapkan dzikir pada semua apa yang difardlukan di dalamnya dari takbir, dan apa yang diperintahkan dengannya dari tasbih, tasyahhud, dan lain-lain). Dan beliau berkata, “Dan seseorang yang menambah pengetahuannya tentang lisan (bahasa) yang Allah swt telah menjadikannya sebagai lisan orang yang menutup kenabian dan yang Allah telah menurunkan akhir Kitab-kitabNya dengan lisan itu, maka hal itu baik bagi dirinya. Sebagaimana wajib atas dirinya mempelajari sholat dan dzikir-dzikir di dalam sholat, mendatangi Baitullah dan semua yang diperintahkan untuk didatangi, dan bertawajjuh pada apa yang ditawajjuhkan kepadanya. Maka, ia menjadi orang yang mengikuti apa yang difardlukan atasnya dan apa yang disunnahkan bagi dirinya, bukan menjadi orang yang diikuti”. [Imam Mohammad bin Idris asy-Syafi’iy, al-Risalah, hal. 44. Maktabah Syamilah]
’Alim al-’Allamah Syaikh ’Izzuddin Hisyam bin Abdul Karim al-Badraniy, Asmaa`u al-Allah wa Shifatuhu (Manaahij al-Adillah fi Bahts Asmaa`i al-Allah wa Shifaatihi), setelah memaparkan penjelasan Imam Syafi’iy di atas, beliau mengatakan:
وكأنه رحمه الله يرسم الخط المستقيم لهدي النبوة والاتباع، وأن يشغل المسلم نفسه بالاستقامة، ولا يشغل نفسه بما لم يوجه إليه الشرع ويريده منه الشارع.
“Seakan-akan beliau rahimahullah (Imam Syafi’iy) merumuskan pedoman yang lurus kepada petunjuk Nubuwwah dan ittibaa`, dan agar seorang Muslim menyibukkan dirinya dengan istiqamah, serta tidak menyibukkan dirinya dengan apa-apa yang syariat tidak mengarahkan kepadanya dan Asy Syaari` tidak menghendakinya”.
Selanjutnya Imam Syafi’iy berkata:
وَإنَّمَا بَدَأَتُ بِمَا وَصَفْتُ مِنْ أَنَّ الْقُرْآنَ نَزَلَ بِلِسَانِ الْعَرَبِ دُونَ غَيْرِهِ، لأَنَّهُ لاَ يُعْلَمُ مِنْ إيْضَاحِ جُمَلِ عِلْمِ الْكِتَابِ أَحَدٌ جَهِلَ سِعَةَ لِسَانِ الْعَرَبِ، وَكَثْرَةَ وُجُوهِهِ، وَجِمَاعَ مَعَانِيهِ وَتَفَرُّقِهَا، وَمَنْ عَلِمَهُ انْتَفَتْ عَنْهُ الشُّبَهُ الَّتِي دَخَلَتْ عَلَى مَنْ جَهِلَ لِسَانَهَا) ويقول رحمه الله: (فَكَانَ تَنْبِيْهُ الْعَامَّةِ عَلَى أَنَّ الْقُرْآنَ نَزَلَ بِلِسَانِ الْعَرَبِ خَاصَّةً: نَصِيْحَةً لِلْمُسْلِمِيْنَ. وَالنَّصِيحَةُ لَهُمْ فَرْضٌ لاَ يَنْبَغِي تَرْكُهُ، وَإدْرَاكُ نَافِلَةِ خَيْرٍ، لاَ يَدَعُهَا إلاَّ مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ، وَتَرَكَ مَوْضِعَ حَظِّهِ. وَكَانَ يَجْمَعُ مَعَ النَّصِيحَةِ لَهُمْ قِيَاماً بِإيْضَاحِ حَقٍّ. وَكَانَ الْقِيَامُ بِالْحَقِّ وَنَصِيحَةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ طَاعَةِ اللهِ. وَطَاعَةُ اللهِ جَامِعَةٌ لِلْخَيْرِ)()
“Saya mulai dengan menjelaskan bahwasanya al-Quran turun dengan lisan orang Arab bukan yang lain. Sebab, sesungguhnya tidak akan mengetahui penjelasan global pengetahuan al-Quran, seseorang yang tidak mengetahui keluasan lisan Arab, tidak mengetahui banyaknya arah lisan Arab, serta tidak mengetahui kesatuan dan keterpisahan makna-maknanya. Barangsiapa mengetahui lisan Arab, maka hilanglah dari dirinya syubhat (kesamaran) yang masuk pada diri orang yang tidak mengetahui lisan Arab”. Beliau berkata, “Peringatan bagi masyarakat umum bahwa al-Quran turun dengan lisan Arab secara khusus, merupakan nasehat bagi kaum Muslim. Memberi nasehat kepada mereka adalah fardlu dan tidak boleh ditinggalkan. Memahami tambahan-tambahan kebaikan, tidak akan ditolak kecuali oleh orang yang membodohi dirinya dan meninggalkan tempat bagiannya. Memberi nasehat kepada masyarakat umum mesti berbarengan dengan aktivitas menjelaskan kebenaran. Menegakkan kebenaran dan memberi nasehat kepada kaum Muslim termasuk bagian taat kepada Allah. Taat kepada Allah swt mengumpulkan kepada kebaikan”.
Imam Syafi’iy juga menjelaskan bahwasanya membebani apa yang seseorang tidak mengetahuinya, atau ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya adalah perkara yang tidak terpuji, dan kesalahannya dianggap tidak bisa diterima. Beliau rahimahullah berkata:
وَمَنْ تَكَلَّفَ مَا جَهِلَ وَمَا لَمْ تُثْبِتْهُ مَعْرِفَتُهُ:كَانَتْ مُوَافَقَتُهُ لِلصَّوَابِ- إنْ وَافَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْرِفُهُ- غَيْرُ مَحْمُودَةٍ، وَاللهُ أَعْلَمُ، وَكَانَ بِخَطَئِهِ غَيْرَ مَعْذُورٍ، إذَا مَا نَطَقَ فِيْمَا لاَ يُحِيطُ عِلْمهُ بِالْفَرْقِ بَيْنَ الْخَطَأ وَالصَّوَابِ فِيْهِ
“Barangsiapa membebani (memaksakan diri untuk merumuskan) apa yang ia tidak ketahui dan pengetahuannya tidak bisa menjangkaunya: maka jika ia sesuai dengan kebenaran padahal sebenarnya ia tidak tahu, maka hal ini bukanlah perkara yang terpuji. Allah swt Yang lebih Mengetahui; dan jika ia salah, maka kesalahannya tidak bisa diterima alasannya, jika apa yang ia katakan itu dalam perkara yang pengetahuannya tidak bisa menjangkau perbedaan antara yang salah dan yang benar pada perkara itu”. [Bersambung]
--------------
Dibawah ini adalah bebrapa karya ulama Hizb dalam bidang aqidah, baik yang membahas perkara 'Ushul maupun perkara furu'.
Monggo
wa.me/6283823579341