Saturday, August 30, 2025

Perbedaan Masiroh dan Demonstrasi

 Perbedaan Masiroh dan Demonstrasi (Muzhaharah)


Aktivitas masirah sering digelar oleh beberapa komponen umat Islam dalam menjalankan fungsi mengoreksi penguasa. Sebagian pihak menyamakan masirah ini dengan demonstrasi, dimana demonstrasi ini merupakan salah satu cara Yahudi menurut mereka. Sebenarnya, seperti apakah perbedaan masiroh itu dengen demonstrasi. Berikut ini penjelasan singkatnya.


Soal:


1. Mohon dijelaskan perbedaan antara aktivitas demonstrasi dengan masiroh, karena sangat gamblang terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kedua aktivitas. Mohon pencerahannya.


2. Pada suatu artikel saya membaca kritikan terhadap aktivitas masiroh yang melibatkan wanita. Sebenarnya bagaimana mendudukan masalah ini, atau apa batasan-batasan bagi kaum akhwat dalam hal ini.


Jawab:


Pada dasarnya, uslub (cara) untuk mendakwahkan gagasan-gagasan Islam, atau menyampaikan kritik (koreksi) bisa dilakukan dengan cara apapun, selama uslub tersebut tidak bertentangan dengan syariat, dan masih dalam wilayah mubah. Menyampaikan gagasan, kritik, maupun ide-ide Islam boleh juga dilakukan dengan cara bersama-sama, berdua, bertiga, maupun seorang diri. Di masa shahabat, ada diantara mereka yang menyampaikan gagasan Islam dengan cara melakukan konvoi secara bersama-sama dan membentuk dua buah shaf (barisan), ada pula yang menyampaikan dakwah Islam dengan cara sendiri-sendiri. Dalam sirah Ibnu Hisyam disebutkan, bahwa sekelompok shahabat berkeliling Ka’bah menyampaikan seruan Islam. Mereka berbaris, dan membentuk dua buah shaf, kemudian berjalan bersama-sama mengelilingi Ka’bah sambil menyerukan kalimat Tauhid. Rasulullah SAW mendiamkan aktivitas sekelompok shahabat ini. Ini menunjukkan ada taqrir (persetujuan) dari Rasulullah SAW.


Aksi masiroh berbeda dengan demonstrasi biasa. Sekelompok umat Islam menjalankan fungsi menasehati penguasa. Namun demikian, karena al-Qur,an dan Sunnah telah turun secara sempurna, maka kaum muslim yang melakukan masirah mesti memperhatikan hukum-hukum lain yang berhubungan erat dengan penggunaan aktivitas umum (jalan raya yang digunakan masirah), dan adab-adab ketika berada di jalan raya. Dengan kata lain, masirah harus tetap memperhatikan syarat-syarat di bawah ini:


1. Harus menyuarakan gagasan Islam, dan kemashlahatan kaum muslim. Tidak boleh menyerukan gagasan-gagasan bathil dan bertentangan dengan aqidah Islam.


2. Tidak merusak kepemilikan umum, menimbulkan kemacetan, atau mengganggu para pengguna jalan yang lain. Tidak boleh duduk-duduk, atau memblokade jalan raya sehingga terjadi kemacetan total. Sebab, ini bertentangan fungsi dari jalan raya yang digunakan untuk berjalan.


3. Harus tetap memperhatikan adab-adab ketika berada di jalan raya.


Lantas apa beda antar masirah dengan demonstrasi? Bedanya, hanya berhubungan dengan syarat-syarat di atas. Dengan kata lain, demonstrasi adalah aktivitas menyampaikan gagasan atau kritik yang tidak memperhatikan syarat-syarat di atas.


Adapun keikutsertaan wanita dalam masirah, maka harus dikembalikan kepada hukum asal dari masirah. Pada dasarnya, wanita juga diperbolehkan menyampaikan gagasan maupun kritik secara bersama-sama atau rombongan. Namun, kaum wanita mesti memperhatikan hukum-hukum lain yang berhubungan dengan dirinya. Misalnya, mereka tidak boleh dicampuradukkan dengan pria (ikhthilath), harus menutup aurat , dan tidak boleh menggunakan pakaian-pakaian yang memungkinkan dirinya terjatuh dalam tabarruj. Untuk itu, di dalam masirah yang melibatkan pria dan wanita, maka keduanya mesti dipisahkan, dan harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan Islam yang berhubungan dengan interaksi wanita dengan pria. Jika syarat-syarat ini dipenuhi, maka keterlibatan wanita dalam masirah adalah sesuatu yang diperbolehkan (mubah).


[Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]

Thursday, August 28, 2025

𝑴𝑬𝑴𝑩𝑨𝑪𝑨 𝑲𝑨𝑻𝑨-𝑲𝑨𝑻𝑨 𝑺𝒀𝑨𝑰𝑲𝑯 𝑻𝑨𝑸𝑰𝒀𝑼𝑫𝑫𝑰𝑵 𝑨𝑵-𝑵𝑨𝑩𝑯𝑨𝑵𝑰

 𝑴𝑬𝑴𝑩𝑨𝑪𝑨 𝑲𝑨𝑻𝑨-𝑲𝑨𝑻𝑨 𝑺𝒀𝑨𝑰𝑲𝑯 𝑻𝑨𝑸𝑰𝒀𝑼𝑫𝑫𝑰𝑵 𝑨𝑵-𝑵𝑨𝑩𝑯𝑨𝑵𝑰 


Ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani رحمه الله تعالى berkata: “𝑼𝒎𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒕𝒊𝒅𝒖𝒓𝒏𝒚𝒂, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓 𝒉𝒂𝒓𝒈𝒂 𝒌𝒆𝒍𝒂𝒍𝒂𝒊𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒌𝒘𝒂𝒉 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒋𝒖𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎, 𝒚𝒂𝒌𝒏𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓-𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓 𝒅𝒊𝒂𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒉𝒂𝒏𝒄𝒖𝒓𝒌𝒂𝒏.” — beliau tidak sedang melontarkan harapan kosong. Beliau sedang membaca sunnatullah dalam perubahan, mendiagnosis realitas umat dengan pandangan tajam, dan melukiskan garis masa depannya.


1. Umat akan menemukan jati dirinya


Hari ini umat Islam hidup dalam krisis identitas, di bawah sistem & hukum asing, dan kurikulum pendidikan yang menjauhkan mereka dari akar sejarahnya. Namun, aqidah Islam tetap tersembunyi dalam hati jutaan manusia, menunggu untuk dibangkitkan. Ketika an-Nabhani berkata *“Umat akan menemukan jati dirinya”*, itu adalah sebuah kepastian: umat ini tidak akan mati. Ia membawa benih kebangkitannya sendiri, betapapun panjangnya masa keterasingan.


2. Dan akan terbangun dari tidurnya


“Tidur” di sini bukanlah kematian, melainkan lelap yang berat. Umat tidak mati meski dijajah, dipecah-belah, dan ditindas secara politik. Tidur itu hanya sementara, dan kebangkitannya pasti. Kebangkitan ini bukan sekadar emosi atau ledakan sesaat, tetapi kesadaran intelektual bahwa Islam adalah satu-satunya gagasan yang mampu menyelamatkan manusia, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.


3. Harga dari kelalaian


Syaikh an-Nabhani mengingatkan satu sunnatullah lain: kelalaian dalam membawa dakwah, tunduk pada rezim zalim, dan meninggalkan perjuangan menegakkan Negara Islam, tidak akan berlalu tanpa konsekuensi. Harganya sangat mahal: pembantaian, pengusiran, kemiskinan, hegemoni penjajah, dan hilangnya kehormatan umat. Seakan beliau berkata: jika kalian tidak membayar harga perubahan dengan kerja dan kesadaran, kalian akan membayarnya dengan kehinaan dan keterpurukan.


4. Melanjutkan kembali kehidupan Islam


Kunci yang beliau sampaikan amat penting. Umat tidak akan bangkit dengan letupan kemarahan atau reformasi tambal sulam, melainkan dengan kembali sepenuhnya pada kehidupan Islam. Artinya, menjadikan Islam sebagai rujukan total dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial. Identitas dan kebangkitan tanpa adanya negara yang menerapkan Islam hanyalah kesadaran yang belum sempurna.


5. Diaduk dan dihancurkan


Ungkapan ini sungguh mengejutkan: “benar-benar diaduk dan dihancurkan.” Ini bukanlah hiperbola, melainkan peringatan nyata. Umat akan menanggung harga yang sangat berat sebelum menyadari bahwa tidak ada jalan keselamatan kecuali dengan tegaknya Negara Islam. Dan inilah yang kita saksikan hari ini: darah yang tertumpah di Gaza, Syam, Sudan, Myanmar, dan Somalia; perpecahan di mana-mana. Seakan semua penderitaan ini hanyalah fase pengadukan dan penghancuran yang mendahului sebuah kelahiran besar.


Kesimpulan


Kata-kata Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani رحمه الله menyingkap bahwa masa depan bukanlah kabur seperti yang dikira sebagian orang; ia justru memiliki jalur yang jelas:


▪️Tidur sementara,

▪️Lalu kebangkitan yang pasti, meski harus membayar harga mahal jika kita lalai,

▪️Dan akhirnya kebangkitan sejati dengan melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam naungan negara yang berhukum dengan Islam.


Ini bukan ajakan untuk meratap, melainkan seruan untuk bersiap: mengemban dakwah sebelum kita dipaksa membayar harga yang amat berat.


ابو عبيده بكر

Tuesday, August 12, 2025

Memaknai Hadis Kembalinya Khilafah

 Memaknai Hadis Kembalinya Khilafah


Penulis: Ustaz Yuana Ryan Tresna


Muslimah News, SYARAH HADIS — Hadis yang mengabarkan berita gembira tentang kembalinya Khilafah sangatlah banyak. Tidak benar bahwa hadis bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya Khilafah hanya didasarkan pada hadis riwayat Imam Ahmad.


Masih banyak hadis lain yang secara makna sejalan dengan hadis tersebut. Misalnya hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan “menumpahkan” harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadis tentang akan datangnya Khilafah di Baitulmaqdis (HR Abu Dawud, Ahmad, ath-Thabarani, al-Baihaqi); juga hadis tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melingkupi dari timur hingga barat (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud).


Hadis-hadis ini didukung banyak hadis lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan Kota Roma, dan seterusnya. Makna hadis kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan sekitar 25 sahabat, 39 tabiin, dan sekitar 62 tabi’at-tabi’in.


Berikut ini adalah hadis dari Hudzaifah ra. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,


 تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ “


“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Kemudian Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi, dan Al-Bazzar)


Hadis ini maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujah. Al-Hafizh al-‘Iraqi berkomentar, “Hadis ini sahih, Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dalam Musnad-nya.” (Al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176)


Periode terakhir pada hadis di atas adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti metode (minhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadis ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan Khilafah.


Dalil kewajiban menegakkan Khilafah adalah Al-Qur’an, di antaranya terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah. Dalil Khilafah juga didasarkan pada hadis-hadis yang mewajibkan adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).


Menjawab Keraguan

Sebagian pihak mengatakan bahwa hadis tentang akan datangnya Khilafah, dari segi kritik sanad dan matan, telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.


Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadis yang dijadikan landasan utama oleh pejuang Khilafah, dalam perspektif kritik sanad, bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (tepercaya). Alasannya, Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari Imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”; juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu mereka menyimpulkan bahwa hadis tentang kekuasaan Khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.


Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karena itu peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.


Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan.


Namun, tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakkan ke-dha’if-an hadis yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Ungkapan “fihi nazhar” bergantung pada qarinah-qarinah (indikasi-indikasi)-nya. Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji.


Sayangnya, sebagian pihak tergesa-gesa memutlakkan ke-dha’if-an hadis yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinah-nya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.


Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, ia masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadis lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll; berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.


Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar. Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”.


Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam At-Tarikh al-Kabir (Al-Bukhari, 2/2606), Adh-Dhu’afa’ al-Kabir (Al-Uqaili, 2/66), dan Al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), Imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”. Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi” (Lihat: Al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; Ats-Tsiqat, 4/138; Al-Kamil, 2/405; At-Taqrib, 1/151).


Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadis cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan ad-Darimi juga meriwayatkannya. Meski demikian, Imam al-Bukhari menilai sahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal at-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, Imam al-Bukhari berhujah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).


Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Musthalahat al-Jarh wa at-Ta’dil wa Tathawwuruha at-Tarikhiy fi at-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qawl al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621–644. Catatan lainnya, minhaj yang dipegang oleh para ahli hadis dan fukaha adalah bahwa penilaian dha’if dan sahih suatu hadis tidak selalu disepakati semua ahli hadis dan tidak bersifat mutlak.


Bagi fukaha, penilaian sahih menurut sebagian ahli hadis sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil. Sebagaimana telah disinggung, Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam Shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadis tentang bacaan pada salat Id dan Jumat dari An-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah Kitab Shahih-nya.


Karena itu bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib mengomentari Habib bib Salim dengan “la ba’sa bihi”. Adapun tuduhan kepada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.


Dengan demikian, tidak benar bahwa hadis bisyarah nabawiyyah akan datangnya Khilafah itu dha’if hanya karena sorotan kepada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari Imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.


Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadis daif. Hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad tentang akan kembalinya Khilafah adalah sahih atau minimal hasan. Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib al-Arna’uth (Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, 4/18.430) dan dinilai sahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi (Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab, 2/17).


Sikap yang Benar

Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji Khilafah adalah:


Pertama, wajib meyakini sepenuhnya janji akan berkuasanya kembali umat Islam (Lihat: QS an-Nur [24]: 55). Sebab Allah Swt. pasti menunaikan janji-janji-Nya (Lihat, antara lain: QS [18]: 108 dan [73]: 18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan. Siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah Swt., keimanannya telah rusak.


Kedua, harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah saw., sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadis sahihnya.


Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.


Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlusunah waljamaah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan Khilafah Islamiah.


Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk Khilafah Islamiah adalah kewajiban (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 6/291).


Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting (Al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, 1/25).


Ketiga Allah Swt. telah menjanjikan kekhalifahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 5/241).


Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (Khilafah Islamiah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. yang paling agung (Ibnu Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 161). Dalam menegakkan Khilafah Islamiah sebagai kewajiban syariat, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya.


Seorang mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apa pun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan Khilafah Islamiah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.


Dalam konteks menegakkan Khilafah Islamiah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, Khilafah Islamiah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.


Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakan Khilafah Islamiah. Padahal sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah Swt. termasuk perbuatan dosa. Nabi saw. bersabda,


 وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ : رَجُلٌ نَازَعَ الله عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ الله


“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya pada hari kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-’izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR Ahmad, ath-Thabarani, dan al-Bazzar)


Di antara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariat dan Khilafah dengan alasan menunggu datangnya Imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat karena menegakkan Khilafah Islamiah adalah kewajiban syariat.


Seorang muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, Khilafah Islamiah adalah thariqah syar’iyyah untuk menerapkan Islam secara sempurna.


Hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya Imam Mahdi sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan Khilafah Islamiah atas kaum muslim. Hadis-hadis tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu datangnya Imam Mahdi dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan Khilafah Islamiah.


Penutup

Tegaknya Khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Karena itu perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi.


Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan; mereka terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Sebagaimana kata Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H),


 كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا \\وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ 


“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan/sementara air di atas punggungnya tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, III/104). [MNews/Rgl]