Sunday, July 21, 2024

JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK

 *JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK*


Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf


Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik


Surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 diturunkan terhadap orang kafir yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Hanya saja pada ayat ini terdapat lafazh umum yaitu “man” siapa saja, maka berlaku umum, termasuk bagi kaum muslimin. Memang benar ada kaidah “Syar’u man qablana laisa syar’an lana”, syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Hanya saja Ketika terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa berlaku secara umum seperti pada tiga ayat ini maka berlaku pula bagi kaum muslimin. 


Hanya saja semata tidak menerapkan syariat Allah tidak otomatis menjadikan pelakunya menjadi kafir kecuali disertai I’tiqad (keyakinan). Misalnya meyakini bahwa syarat Islam tidak wajib diterapkan, meyakini bahwa ada aturan yang lebih baik dari syariat Islam. Keyakinan seperti ini dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran. Alasannya adalah sebagai berikut:


Pertama, ketiga ayat ini turun dalam satu peristiwa dan dalam satu konteks yang sama, yaitu tidak berhukum pada syariat Allah. Namun disifati dengan tiga sifat berbeda yaitu kafir, zalim dan fasik. Maka tak diragukan bahwa satu sifat dari tiga sifat ini memiliki kondisi yang berbeda dalam konteks yang sama. Jika meyakini (I’tiqad) bahwa hukum Allah tidak wajib diterapkan maka pelakunya (misalnya penguasa atau hakim) telah jatuh sebagai orang yang kafir. Jika tidak menerapkan hukum Allah namun memutuskan hukum sesuai dengan haknya misalnya pencuri di penjara maka ia telah fasiq. Jika tidak memutus dengan hukum Allah dan tidak memberikan putusan sesuai dengak haknya. Misalnya, bersengaja membebaskan pencuri atau koruptor maka ia telah zalim lagi fasiq. Fasik karena telah melakukan kemaksiatan dengan tidak menerapkan hukum Allah dan zhalim karena telah membebaskan pelaku kriminal. 

Hal ini sama seperti orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak otomatis divonis kafir, kecuali jika disertai keyakinan bahwa shalat tidak wajib. 


Kedua, konteks ayat ini turun terkait orang kafir, yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Mereka menolak hukum rajam dan condong pada hukum cambuk (jilid). Mereka anggap hukum rajam tidak layak dan menolaknya. Jadi konteks terjatuhnya pada kekafiran karena dua sebab: (1) menolak hukum Allah dan menganggapnya tidak layak diterapkan; (2) menerapkan hukum selain hukum Allah. Karena itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: “Karena itu penolakan terhadap hukum yang Allah turunkan menjadi syarat mendasar teranggapnya mereka sebagai kafir jika mereka menerapkan hukum selain hukum yang Allah turunkan”. Jika ada yang menyatakan bukankah ada kaidah yang menyatakan “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab”, sebuah pengertian diambil dari keumuman redaksi bukan dari khususnya sebab turunnya ayat. Jawabannya adalah keumuman redaksi tetap terbatas pada konteks turunnya ayat, tidak berlaku tanpa batasan. Kaidah seperti ini seperti yang dinyatakan oleh beliau dalam kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz tsalits. Beliau menyatakan:

قاعدة العبره بعموم اللفظ لا بخصوص السبب مقيدة في الموضوع الذي نزلت به, لا عموم ما تنطبق عليه

Kaidah “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab” terikat dengan konteks turunnya ayat, tidak umum atas apa yang diterapkan padanya.


Ketiga, hukum adalah fi’il (perbuatan) bukan I’tiqad (keyakinan). Jika ada perbuatan yang menyelisihi hukum Allah statusnya maksiat, bukan kafir kecuali jika ada dalil yang qath’i yang menyatakan bahwa pelanggaran atas hukum tertentu statusnya kafir. Berbakti pada orang tua hukumnya wajib, tidak mengandung perkara i’tiqad. Maka anak yang durhaka para orang tua dianggap maksiat, namun tidak otomatis kafir. Berbeda dengan perbuatan sujud pada Allah. Amal ini diperintahkan disertai dengan adanya I’tiqad bahwa hanya Allah yang layak disujudi (disembah). Jika ada seorang muslim yang sujud pada berhala atau beribadah dengan cara ibadah orang Kristen di gereja maka ia jatuh pada kekafiran. Karena makna dari “Laa ilaha illallah” adalah itsbat (penetapan) bahwa hanya Allah yang hak untuk disembah sekaligus nafyu (penafian) penyembahan pada selain Allah. 

Berhukum dengan  bukan dengan apa yang Allah turunkan adalah menyelisihi perintah Allah dalam perkara amal, bukan perkara I’tiqad. Hal ini karena dua alasan:

a. Syariat tidak menyatakan kafir jika menyelisihi hukum Allah, karena tidak termasuk amal yang dapat menjatuhkan pada kekafiran. Hal yang menguatkan hal ini adalah bahwa Mu’awiyyah telah mengambil ba’iat untuk anaknya Yazid dengan cara paksaan. hal ini termasuk menyelisihi hukum Allah. Hal ini dilihat dan didengar oleh sahabat. Kita tidak mengetahui ada satu orang pun sahabat yang menyatakannya kafir.


b. Berhukum dengan bukan hukum Allah tidak termasuk dalam cabang dari akidah sebagaiamana sujud pada berhala atau beribadah seperti cara orang Nasrani. Maka jika ada seorang hakim yang memutus penjara bagi seorang pencuri, tidak memutus hukum potong tangan. Hakim ini telah menjadi seorang ahli maksiat, bukan orang yang kafir. Berbeda halnya dengan jika dia menolak hukum potong tangan  dengan keyakinan bahwa hukum Islam keliru dan sebaliknya meyakini bahwa yang benar adalah hukum penjara, maka ia telah kafir. 


Kesimpulan seperti ini selaras dengan penafsiran para ahli tafsir, seperti Imam Thabari dan Imam Qurthubi. Imam Thabari dalam kitab tafsirnya menyatakan:

"حدثني المثنى قال : حدثنا عبد الله بن صالح قال : حدثني معاوية بن صالح عن علي بن ابي طلحة عن ابن عباس قوله"ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون"قال : من جحد ما انزل الله فقد كفر، ومن اقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق.... فان قال قائل فان الله تعالى ذكره قد عم بالخبر بذلك عن جميع من لم يحكم بما انزل الله فكيف جعلته خاصا قيل ان الله تعالى عم بالخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم بكتابه جاحدين فاخبر عنهم انهم بتركهم الحكم على سبيل ما تركوه كافرون وكذلك القول في كل من لم يحكم بما انزل الله جاحدا به هو بالله كافر كما قال ابن عباس لانه بجحوده حكم الله بعد علمه انه انزله في كتابه نظير جحوده نبوة نبيه بعد علمه انه نبي

Intinya adalah pada qaul Ibnu Abbas yang menyatakan: “Siapa yang ingkar dengan apa yang Allah telah turunkan maka ia telah kafir. Siapa yang masih membenarkan, namun tidak berhukum dengannya maka ia zalim lagi fasik”. Alasan Ibnu Abbas adalah siapa yang ingkar dengan hukum Allah setelah ia mengetahui bahwa Allah telah menetapkan dalam kitab-Nya, hal tersebut sama saja dengan mengingkari kenabian Nabi Muhammad, padahal ia mengetahui bahwa beliau adalah seorang Nabi.


Imam Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jaami’ li ahkam al-Quran menyatakan:

قوله تعالى"ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون"و"الظالمون"و"الفاسقون"نزلت كلها في الكفار، ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء وقد تقدم وعلى هذا المعظم، فاما المسلم فلا يكفر وان ارتكب كبيرة، وقيل فيه ومن لم يحكم بما انزل الله ردا للقران وجحدا لقول الرسول عليه الصلاة والسلام فهو كافر، قال ابن عباس ومجاهد . فالاية عامة على هذا، قال ابن مسعود والحسن هي عامة في كل من لم يحكم بما انزل الله من المسلمين واليهود والكفار اي معتقدا ذلك ومستحلا له. فاما من فعل ذلك وهو معتقد انه راكب محرم فهو من فساق المسلمين وامره الى الله ان شاء عذبه وان شاء غفر له

Intinya: seorang muslim, Yahudi atau orang kafir yang tidak berhukum dengan hukum Allah diiringi dengan keyakinan penolakannya maka ia kafir. Sedang kaum muslimin yang meyakini bahwa saat ia tidak menerapkan hukum Allah berarti ia melakukan keharaman maka dia dinyatakan sebagai muslim yang fasiq. Maka urusannya ada di tangan Allah. Allah ta’ala bisa menyiksanya atau mengampuninya, sesuai kehendaknya. Ini merupakan pendapat Ibn Mas’ud dan al Hasan.


Selesai ditulis pada hari Senin, 18 Dzulhijjah 1445 H/ 24 Juni 2024

Merujuk dari soal jawab al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta’ala pada 22 Rabi’ul Tsani 1381 H/2 Oktober 1961

Tuesday, July 16, 2024

Apakah Negara Islam Menindas Non Muslim ?

 Apakah Negara Islam Menindas Non Muslim ?


Oleh: Moh. Rizky Nur Hidayat


Wacana penegakan negara Islam sering kali mendapat respon negatif, isu yang berkembang adalah negara Islam dipahami sebagai sistem yang menganut kerakyatan yang tunggal, yaitu penyeragam agama, pada akhirnya non Muslim akan menjadi warga kelas dua, disamping mendapat tekanan untuk berpindah agama. Akibatnya, Formulasi syariat Islam dianggap berkonfrontasi dengan keragaman dan kebinekaan. 


Beragam narasi kebencian adalah bentuk kesalahpahaman atas konsepsi daulah Islam.  Realitasnya dalam sejarah,  Negara Islam memiliki masyarakat yang hetregon dari beragam etnis dan agama, Islam memberikan jaminan istimewa kepada minoritas. Tidak terdapat tindakan menelantarkan dan mendiskriminasi, Eksistensi Non Muslim  tidak hanya digambarkan memiliki kebebasan dan kesejahteraan, namun juga ikut serta dalam institusi pemerintahan dan penelitian yang menjadi sumbangsih Kekhalifahan menuju zaman keemasan.


1. Populasi Majemuk Dalam Negara Islam


Interaksi antara muslim dan non muslim telah terjadi sejak awal berdiri Negara Islam. Konstitusi pertama Islam dalam Piagam Madinah mewakili bentuk masyarakat heterogen, terdapat komunitas Yahudi, Kristen, dan Pagan. Ibn Ishaq  mencatat kesepakatan ini dibuat dengan melibatkan 13 suku berbeda, diantaranya 1.) Islam dari Quraisy 2) Islam dari Yastrib 3) Yahudi dari Suku Aus 4)  Yahudi dari Suku Sa’idah 5) Yahudi dari Suku Harits  6) Yahudi dari Jusyam 7) Yahudi dari suku Tsalabah 8. Yahudi dari suku Jafnah 9)  suku Sutaybah 10) Yahudi dari suku Aus 11) Yahudi dari suku Auf 12) suku Nabit 13) Yahudi dari suku Najar. Secara keseluruhan konstitusi ini memuat tentang asas toleransi, kewenangan warga negara dan implementasi untuk mencapai tujuan konstitusi. Negara dituntut untuk menjaga dan melindungi seluruh keyakinan, harta benda, kehormatan, akal dan kehidupan. Setiap warga negara Dar Islam memiliki hak dan kewajiban setara dimata hukum, struktur beragam ini mendapat pengakuan dari Muhammad.  


Jalinan kerukunan beragama di Madinah sangat dominan, sikap toleransi pasif tumbuh dari kesadaran individual tanpa intervensi pihak manapun, dengan membiarkan aktivitas ibadah dapat diekspresikan oleh semua pihak. Bentuk implementasi pasif adalah Negara Islam melegalkan fasilitas Baitul Midras di Yatsrib yang berfungsi sebagai studi pelajar Yahudi dalam mempelajari tradisi Ibrani dan Torah disamping digunakan menjadi tempat ritual ibadah. Muhammad SAW juga memberikan kewenangan kepada komunitas Yahudi untuk mengimplementasikan hukum Musa dalam perkara Pidana seperti rajam dan qisash. Dalam berbagai bidang, Negara Islam mengembangkan ekonomi, sosial dan politik secara bersama-sama.


Setelah Nabi Muhammad wafat, kepemimpinan bergulir kepada Khalifah Islam yang memiliki otoritas dalam mengatur kewenangan politik dan menjaga agama. Kekhalifahan Arab secara mengejutkan hadir ditengah dua imperium raksasa besar, Majusi Persia dan Kristen Byzantium. Bangsa Arab dan kaum Badui pedalaman, tinggal dipadang gurun yang tidak diperhitungkan, menjelma menjadi pasukan besar yang menaklukan Afrika, Suriah dan Mesir. Selanjutnya, Kekhalifahan Ummayah meneruskan ekspansi militer ke wilayah Transoxiana, India, Maroko, dan Semanjung Iberia (Spanyol). Pada puncak keemasannya, Kekhalifahan Ummayah memiliki luas 11, 100,  000 km dengan populasi masyarakat sekitar 33 juta. Bani Ummayah mengatur masyarakat yang multikultural dan multietnis. Populasi tertinggi, adalah penganut agama Kristen. Tidak jatuh dari Kekhalifahan Ottoman, dengan populasi sekitar 35.350.000  pada tahun 1883. Demografi diatas mencakup kepadatan penduduk, etnis, dan agama. Terdapat beragam etnis yang hidup di negeri Khilafah, mencakup etnis Kurdi, Arab, Turki, Armenia, Yunani, Slavia, Albania, Rusia, Afrika dan lain-lain. Keberagaman ini di apresiasi oleh Lucy Mary Jane  Garnett “Tidak ada negara didunia yang memiliki populasi yang begitu heterogen seperti Turki (Ustmani)”Turkey of the Ottomans, Lucy Mary Garnett (G. P. Putnam’s Sons: 1915), 1


Hak Beragama Dan Jaminan Kelangsungan Hidup


Dalam literatur fiqih, dzimmi memiliki hak istimewa dalam struktur Negara Islam. Minoritas, diberikan kebebasan menjalankan agama tanpa intervensi dari pemerintah. Negara Islam tidak berhak melarang serta memaksa non muslim untuk berpindah keyakinan.  Umar ibn Khattab berhasil menaklukan kota-kota Persia dengan jalur militer dan membuat tatanan pemerintahan,  keadilan Islam dalam memperlakukan wilayah taklukan non muslim dengan bijak, dikenal luas dibelahan dunia. 


Catatan Yohanes dari Niku Crhonicle of John (690 M) Orang-orang Koptik menyambut pasukan Arab untuk menaklukan kota Alexandria, mereka menyerah dengan memberikan jizyah sebagai bentuk ketundukan dengan negoisasi pembebasan 150 tentara dan warga sipil.  Negara Islam tetap mengizinkan komunitas Yahudi tinggal di Alexandria dan tidak menghancurkan Gereja-Gereja Kristen.


April 637 M, Santo. Sophronius sebagai Patriakh Yerusalem mengundang Umar ibn Khattab untuk datang ke Yerusalem, St. Sofrnoius terkagum dengan kesederhanaan Umar yang datang mengenakan pakaian sederhana dan menggunakan satu keledai yang ditunggangi secara berganti dengan pelayannya, tidak terdapat tanda-tanda kemewahan pada raja Arab. St Sofronius memberikan Yerusalem dan kunci gereja makam Kudus dengan Sukarela kepada Umar bin Khattab tanpa terjadinya pertumpahan darah dan menjadikan kiblat komunitas Salib dan Yahudi berada dalam naungan Daulah Islam dengan membayar rutin jizyah. Latar belakang penyerahan Yerusalem bukan tanpa alasan, Simon Monte Montefiore menyebutkan bahwa “orang-orang Kristen Monosifit, yang mayoritas penduduk palestina, membenci orang-orang Byzantium dan tampaknya para pemeluk Islam awal itu senang memberikan kebebasan beribadah kepada sesama penganut monoteisme itu.”  Jerusalem The Biography, Simon Sebag Montefiore (Pustaka Alvabet: Jakarta, 2012), 222. 


Bentuk praktisi spiritual tidak dilarang, Komunitas Kristen dapat menjalankan perayaan Paskah dan Natal sesuai keyakinan yang dianutnya. Umat Islam tidak berhak melarang atau menganggu non muslim. Bentuk toleransi Kekhilafahan Islam menbuat Islam diterima diseluruh belahan dunia, kekuasaan Umat Muhammad membentang dari ujung timur dan barat.


Memahami Negara Islam sebagai bentuk negara yang penduduknya seratus persen Muslim tidak berdasar. Faktanya, Khilafah Islamiyyah tumbuh bersama dengan beragam etnis dan agama. Penuh dengan toleransi dan keragaman, Syariat yang diturunkan Allah merupakan syariat yang adil, tidak mungkin aturan Allah berlaku dzalim terhadap manusia. 


Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)."(QS: Al-Baqarah Ayat 256)

Jangan Salah ! Beda Antara Futuhat dan Penjajahan



Jangan Salah ! Beda Antara Futuhat dan Penjajahan


Dulu waktu saya mempresentasikan mapel sejarah, niat hati mau gaul keminggris make istilah “invansi” untuk kata ganti perluasan wilayah Islam, akhirnya sebagai murid ditegurlah oleh guru saya. Sejak saat itu saya sadar kalau Invansi dan futuhat memang berbeda.


Lalu apa bedanya invansi dengan futuhat ?

Jadi yang pertama-tama futuhat dengan invansi itu berbeda, baik dari segi filosofis, istilah maupun dampaknya. Buku-buku Islam senantiasa make istilah futuhat, yang kalau diterjemahkan artinya pembebasan atau pembukaan, sedangkan penjajahan maupun invansi lebih identik aksi militer terhadap suatu wilayah dengan kekerasan. Lalu emang futuhat tidak ada kekerasan ? 

Perlu dipahami, perang itu beririsan dengan futuhat namun tidak selalu futuhat itu beresensi dengan kekerasan. (Futuhat dilakukan dengan serangkaian aturan ketat, sesuai Syariat seperti dilarang merusak pohon, membunuh wanita, anak-anak dan pendeta, dll) Istilah Futuhat pertama kali digunakan dalam perjanjian Hudaibiyyah, yang itu nggak ada sama sekali kekerasan dan peristiwa paling fenomenal dalam sejarah Islam itu dinamakan Fathul Makkah, dimana 10.000 tentara kaum Muslimin memasuki Makkah dengan damai nyaris tanpa kekerasan, Nabi Muhammad bisa saja saat itu menghabisi semua orang Makkah yang waktu itu kondisinya lagi lemah, tapi Nabi kita nggak seperti Jenghis Khan kok. Padahal 10 tahun lalu Nabi diusir dari tanah kelahirannya dan pengikutnya disiksa. Kebaikan inilah yang membuat orang-orang Makkah tergerak hatinya dan menyerahkan jiwanya kepada Islam. Usai wafatnya Nabi Muhammad, alih-alih orang-orang Makkah murtad, justru mereka melanjutkan dan menyebarkannya keseluruh dunia.


Motif Futuhat tentu berbeda dengan motif Invansi, futuhat dilandasi jihad dan dakwah menyebarkan cahaya Islam keseluruh wilayah, sedangkan invansi lebih cenderung kapitalis, memperkaya pusat kekuasaan dengan menghisap sumber daya alam wilayah yang terjajah. Anda bisa melihat bagaimana ketika Khilafah membebaskan Andalusia, Spanyol. Lalu kemudian apakah harta-harta dan sumber daya orang spanyol dirampas diambil untuk dikirim ke pusat kota Khilafah yang saat itu di Baghdad ? Jelas tidak. Harta-harta masyarakat baik dari Jizyah (pajak non muslim) maupun zakat diolah dan diperdayakan untuk kepentingan negeri Andalusia sendiri. Sampai-sampai Andalusia menjadi peradaban gemilang dengan ilmu pengetahuannya. Beda dengan penjajahan, emas, cengkeh dan rempah-rempah Asia justru digunakan untuk memperindah Pusat Kota Inggris dan Belanda. Sedangkan negeri Asia dan Afrika yang saat itu dijajah justru mengalami kehancuran dan mewariskan kemiskinan pada wilayah yang dijajah. Ideologi kapitalis, penjajahan cenderung ekspolitatif, dan saya kira tidak ada yang mengingkari ini. Bisa dipastikan kok, negara-negara penjajah tentu lebih kaya dan makmur dibanding wilayah yang terjajah.


Negeri-negeri yang difutuhat oleh wilayah Islam, diberikan kekuasaan orang-orang lokal untuk memimpin wilayah secara bebas dengan standart hukum Allah. Berbeda dengan penjajahan yang membatasi kekuasaan raja-raja lokal. Lord Darmounth, misalnya, menteri kolonial Kerajaan Inggris, “Kami tidak akan pernah membiarkan wilayah-wilayah koloni tersebut merintangi sebuah aktivitas perdagangan yang bermanfaat bagi bangsa (Inggris).”


Tidak heran apabila St. Sofronius, Uskup Agung Kristen melepaskan diri dari Romawi dan justru memilih dipimpin oleh Khilafah, dia mengundang Umar bin Kattab dan menyerahkan kunci Palestina secara damai. Futuhat Spanyol juga bukan berupa peperangan antara Muslim dan Kristen, tapi antara Muslim dan rakyat Kristen Moor yang terdzalimi bahu membahu melawan tirani Raja Kristen. Umat Kristen di Spanyol justru mengundang orang Muslim untuk menaklukan wilayahnya karena pajak yang tinggi dan kedzaliman-kedzaliman penguasa. Sebelum Konstantinopel ditaklukan, Gereja Katolik berjanji akan melindungi konstantinopel dari serangan Islam dengan syarat kalau Umat Kristen Ortodox mau satu gereja dan dipaksa mengikuti ritual keagamaan Katolik, makanya muncul ungkapan dari pendeta mereka “lebih baik melihat surban turki daripada topi romawi.” Bebasnya Konstantinopel oleh Turki Ustmani. Justru disambut baik oleh umat Kristen Ortodox karena mereka bisa beribadah bebas kembali. Futuhat tidak hanya membebaskan belenggu mereka dari raja-raja dzalim yang berkuasa tetapi juga membebaskan jiwa mereka akan iman dan Islam.  Selengkapnya tentang non muslim dinegeri Islam

 https://www.facebook.com/share/wDAse8wjh1HtDreA/?mibextid=QwDbR1


Ulama Islam, al-Baladzuri (892 M) menulis kitab Futuhat Buldan, yang menuliskan betapa gemilangnya peradaban Islam selama 100 tahun berhasil menaklukan dari Asia hingga ke Eropa.

Monday, July 8, 2024

Makna politik hijrah Nabi SAW

 Makna politik hijrah Nabi SAW


Apa yang mendorong Rasulullah saw beserta para sahabatnya dakwah ke Madinah?


Setidaknya ada dua hal: Dakwah Islam dan pendirian Daulah Islamiyyah. Keduanya ada di Madinah. Mereka siap untuk menerima dakwah Rasululullah saw dan menjadikan wilayah mereka sebagai negara Islam dengan Rasulullah saw sebagai pemimpinnya. Itulah yang mendorong hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. 


Apakah kedua hal itu tidak dijumpai di Makkah?

Bisa dikatakan tidak ada. Sebagaimana kita ketahui, setelah bertahun-tahun Rasulullah saw mendakwahi mereka, mengajak mereka kepada Islam, dan meninggalkan aqidah beserta tatanan hidup mereka yang rusak, hanya sedikit di antara mereka yang menerima. Sebagian besar menolak. Bahkan mereka melakukan berbagai tindakan jahat untuk menghalangi dakwah. Terlebih setelah kematian paman beliau, Abu Thalib yang senantiasa melindungi dakwah. Sikap mereka semakin keras dan beringas.

Menghadapi kondisi masyarakat yang jumud dan membatu seperti itu, maka harus dicari lahan baru yang bisa menerima dakwah. Maka Rasulullah saw datang ke Thaif untuk menawarkan Islam kepada mereka. Namun mereka menolak beliau dengan sangat kasar dan tidak beradab. 

Beliau kemudian mendatangi kabilah-kabilah lainnya. Di antaranya adalah Bani Kindah, Bani Bani Amir bi Sha’sha’ah, Bani Kilab, dan Bani Hanifah. Mereka juga menolak seruan dakwah.  Bahkan ada yang menolak beliau dengan cara sangat kasar, seperti yang dilakukan oleh Bani Hanifah.


Dan itu ada di Madinah?


 Ya. Setelah mendapatkan penolakan di sana sini, akhirnya beliau bertemu dengan orang-orang Khazraj dari Madinah. Setelah terjadi dialog, mereka pun menyatakan masuk Islam. Mereka akan berjanji menyampaikan Islam kepada keluarga, tetangga, dan orang-orang Madinah. Ternyata mendapatkan sambutan yang luas. Tahun berikutnya ketika Musim Haji, mereka datang dengan rombongan lebih banyak. Terjadilan Bai’ah Aqabah pertama. Setelah mereka pulang, Rasulullah saw mengirim Mush’ab bin Umair untuk mengajarkan Islam di sana.  Tidak ada rumah kecuali membicarakan Islam dan Rasulullah saw. Tak hanya rakyat jelata, banyak tokoh dan pemimpin mereka juga masuk Islam. Penerimaan terhadap dakwah yang besar. Tidak ada penganiayaan terahadap kaum Muslimin. Hanya dalam setahun, dakwah Islam mengalami perkembangan yang amat pesat. Bahkan melebihi Makkah yang sudah didakwahi bertahun-tahun.

 Dengan demikian, Madinah jauh lebih layak dibandingkan Makkah untuk pengembangan dakwah Islam. Masyarakat Madinah lebih berpotensi sebagai tempat terpancarnya cahaya Islam daripada Makkah.

Hingga pada musim haji kedua, terjadilah Bai’ah Aqabah yang kedua. Para pemimpin dan tokoh Kabilah Khajraj dan Aus itu melakukan bai’ah terhadap Rasulullah saw. Di antara hal yang amat penting dalam baiat itu adalah kesediaan mereka untuk mendengar dan taat kepada beliau dalam keadaan apapun. Juga rela berperang untuk menjaga, melindungi, dan membela Nabi saw. Itu berarti telah terjadi penyerahan kepemimpinan dari mereka kepada Rasulullah saw. 

Setelah Rasulullah saw hijrah, maka tampuk kekuasaan langsung dipegang oleh beliau. Dengan begitu, Madinah menjadi Daulah Islamiyyah. Sebuah negara yang menerapkan Islam di kehidupan dan mengembannya ke seluruh dunia. Negara itu pula yang akan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi dakwah dan penerapan Islam.

Itulah yang mendorong hijrahnya Rasulullah ke Madinah: penerimaan terhadap dakwah dan kesiapan bagi pendirian Daulah Islamiyyah. Di sanalah cikal bakal Daulah Islamiyyah berdiri. Islam tegak dan dijalankan dengan sempurna. Dakwah pun berkembang cepat. Bahkan, Makkah yang sebelumnya menghalangi dakwah pun dapat dengan mudah dapat ditaklukkan. Penduduknya masuk Islam berbondong-bondong. Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, seluruh Jazirah Islam berada dalam kekuasaan Islam.


Jadi bukan karena Rasulullah saw takut dan menghindari intimidasi persekusi dari kaum kafir Quraisy?

 Bukan. 


Mengapa?  


Kalau itu yang menjadi sebabnya, niscaya beliau sudah lama meninggalkan kota Makkah. Nyatanya tidak. Bertahun-tahun beliau dan para sahabatnya mendapatkan ancaman, intimidasi, teror, pemboikotan, dan lain-lain. Namun semua itu tidak melemahkan beliau sedikit pun dalam berdakwah. Langkah beliau tidak surut. Beliau sama sekali tidak mempertimbangkan penderitaan dan mengkhawatirkan kematian. Sebaliknya, beliau sangat yakin dengan pertolongan Allah Swt.  

Namun juga harus diingat, melanjutkan dan mempertahankan dakwah kepada masyarakat yang sudah jumud dan membatu, tidak akan membuahkan hasil yang banyak. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah. Bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan.

 

Bukankah malam sebelum beliau hijrah, rumahnya dikepung oleh para pemuda dari berbagai kabilah untuk membunuh beliau? 

Peristiwa itu memang benar. Namun bukan itu yang menyebabkan beliau hijrah. Sebelumnya beliau sudah memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah terlebih dahulu. Sedangkan beliau menunggu perintah dari Allah Swt untuk hijrah. Ini bisa diketahui dari jawaban Rasulullah saw ketika Sayyidina Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk hijrah ke Madinah. Beliau bersabda, “Janganlah kau terburu-buru. Semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.”

Hingga suatu hari beliau diberi tahu oleh Jibril untuk segera hijrah malam itu setelah orang-orang Musyrik bersepakat untuk membunuh beliau. Keputusan mereka itu harus dibaca sebagai ketakutan mereka terhadap hijrahnya Nabi saw. Sebab, setelah banyak umat Islam yang hijrah ke Madinah, mereka amat khawatir jika itu akan mengokohkan dakwah Islam. Terlebih jika Rasulullah saw ikut hijrah dan membangun kekuatan di Madinah. Maka itu akan menjadi kecelakaan besar dan kehancuran bagi kafir Quraisy. 

Atas perhitungan itulah, maka kafir Quraisy memutuskan membunuh beliau agar tidak sempat menyusul kaum Muslim di Madinah.


Jadi, hijrahnya Rasulullah semata-mata hanya menjalankan perintah Allah dalam rangka berlangsungnya dakwah dan menegakkan Daulah Islam di Madinah ya Tadz?

 Ya, benar. 


Mendirikan negara itukan ada kondisi sunnatullah yang perlu dipersiapkan. Apa dilakukan Rasulullah saw sebelum hijrah?


 Pertama, mempersiapkan masyarakat Madinah untuk menerima Islam sepenuhnya. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Untuk itu, beliau mengutus Mush’ab ke Madinah. Tugasnya membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi pemahaman agama kepada mereka. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim

Dalam jangka setahun, Mush’ab mampu  membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan berhala kepada tauhid dan keimanan. Demikian juga perasaan mereka, sehingga membenci kekufuran beserta semua perilakunya. 

Kedua, mengokohkan dukungan dan loyalitas para tokoh dan pemimpin mereka. Ini juga dilakukan oleh Mush’ab. Beliau mampu mendakwahi Usai bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz, dan lain-lain. Mereka adalah para pemimpin di tengah kaumnya. Para pemimpin inilah yang kemudian menyerahkan kepemimpinannya kepada Rasulullah saw pada Bai’ah Aqabah yang kedua. 

Karena kesiapan dua hal tersebut, maka ketika Rasulullah saw sampai di Madinah, langsung diterima sebagai pemimpin mereka. Maka berdirilah sebuah daulah dengan Rasululullah saw sebagai kepala negaranya. 


Jadi Rasulullah SAW secara sunnatullah sudah mempersiapkan kondisi-kondisi politik untuk tegaknya Daulah Islam di Madinah ya Tadz?

 Ya, benar. 


Dalam konteks sekarang, pemahaman dan spirit apa yang harus kaum muslimin lakukan dengan adanya peristiwa hijrah ini?


 Pertama, penerapan syariah secara kaffah membutuhkan negara. Tak mungkin Islam diterapkan secara kaffah tanpa ada daulah. Untuk itu diperlukan adanya penerimaan dari masyarakatnya. Agar bisa diterima, maka dilakukan dakwah terus menerus hingga terjadi perubahan mendasar pada pemikiran dan perasaan mereka. Jika sebelumnya pemikirannya tidak Islami, harus dirombak menjadi Islami. Jika sebelumnya perasaannya menyukai kekufuran, harus diubah menjadi perasaan yang mencintai Islam dan membenci kekufuran.

 Kedua, ketika dakwah di sebuah masyarakat mengalami kejumudan, maka harus dilakukan perluasan dakwah kepada masyarakat lainnya yang lebih berpotensi untuk menerima dakwah dan lebih siap menjadi cikal bakal berdirinya Daulah Islamiyyah. Tidak boleh mematok dakwah hanya di masyarakat tertentu dan mau berpindah kepada masyarakat lainnya. 

 Ketiga, 


Dalam konteks amal, apa yang harus kita perjuangkan saat ini?


 Setelah hijrah, umat Islam memiliki negara. Islam adalah hukum yang diberlakukannya. Kekuasaannya dipegang oleh Rasulullah saw. Sejak itu, perubahan besar terjadi kondisi umat Islam. Jika sebelumnya mereka lemah dan tertindas, umat Islam menjadi umat yang kuat dan mulia. Keunggulan dan kehebatan Islam dapat disaksikan oleh setiap orng lantaran diterapkan dalam kehidupan nyata oleh negara. 

 Keadaan itu terus berlangsung, sekalipun umat ini ditinggal Rasulullah saw. Sebab, setelah beliau wafat, segera kekuasaan dilanjutkan oleh Sayyidina Abu Bakar ra dan para khalifah berikutnya. Itu berlangsung sekitar 13 abad hingga Khilafah Utsmaniyyah diruntuhkan oleh Musthafa Kemal dan negara-negara kafir penjajah. 

 Sejak saat itu, kaum Muslimin nasibnya seperti anak-anak yatim. Lihatlah Palestina, Suriah, Rohingya, Afghanistan, Irak, dan lain-lain. Semuanya menderita karena tidak ada institusi yang melindunginya. 

 Islam juga tidak bisa ditegakkan secara kaffah. Negara-negara yang menaungi mereka bukan saja tidak memberlakukan syariah, namun bahkan memusuhi dan memerangi siapa pun yang berjuang menegakkan. 

 Oleh karena itu, siapa pun yang menginginkan keadaan Islam dan umatnya sebagaimana pasca hijrahnya Rasulullah saw, maka harus mencotonh apa yang dikerjakan oleh beliau.


Bagaimana sikap kita dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam perjuangan saat ini Ust?


 Pertama, harus sabar dalam dakwah. Jika kita bicara tantangan dan hambatan, maka itu juga dialami oleh Rasulullah saw. Bahkan, semua rasul. Dalam menghadapi semua itu, Allah Swt memerintahkan mereka untuk bersabar. Ini disebutkan dalam banyak ayat. Juga mengokohkan sikap istiqamah. Tidak berpaling, bergeser, atau mundur dari dakwah apa pun yang terjadi.

 Sikap tersebut hanya bisa terjadi ketika memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat. Yakin bahwa tidak ada yang bisa menimpakan musibah kepadanya kecuali dengan izin Allah Swt. Yakin bahwa semua orang yang memusuhi agama-Nya pasti akan binasa dalam keadaan hina. Yakin bahwa pertolongan Allah Swt pasti akan tiba. Yakin bahwa amalnya akan mendapatkan pahala yang besar dan balasan surga. Dengan keyakinan tersebut, maka sebesar apa pun ancaman dan intimidasi terhadapnya tidak akan berpengaruh.

 Kedua, tetap terikat kuat dengan thariqah atau metode dakwah Rasulullah saw. Apa pu tantangan dan hambatannya, tidak membuat kita bergeser sedikit pun dari thariqahnya. Sebab, thariqah itulah yang disyariahkan sehingga wajib diikuti dan dicontoh. Thariqah itu pula yang terbukti nyata mengantarkan kepada keberhasilan. Berhasil menegakkan Daulah Islam. Maka siapa pun yang mendapatkan pahala dalam perjuangannya dan memperoleh keberhasilan sebagaimana Rasulullah saw, maka ikutilah thariqahnya.  

 Inilah setidaknya yang harus kita lakukan dalam mendakwahkan agama-Nya dan menghadapi tantangan dan hambatan dakwah.