*JAWABAN SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI KETIKA DITANYA MENGENAI ORANG YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH. KAPAN DISEBUT KAFIR, ZALIM DAN FASIK*
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik
Surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 diturunkan terhadap orang kafir yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Hanya saja pada ayat ini terdapat lafazh umum yaitu “man” siapa saja, maka berlaku umum, termasuk bagi kaum muslimin. Memang benar ada kaidah “Syar’u man qablana laisa syar’an lana”, syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Hanya saja Ketika terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa berlaku secara umum seperti pada tiga ayat ini maka berlaku pula bagi kaum muslimin.
Hanya saja semata tidak menerapkan syariat Allah tidak otomatis menjadikan pelakunya menjadi kafir kecuali disertai I’tiqad (keyakinan). Misalnya meyakini bahwa syarat Islam tidak wajib diterapkan, meyakini bahwa ada aturan yang lebih baik dari syariat Islam. Keyakinan seperti ini dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, ketiga ayat ini turun dalam satu peristiwa dan dalam satu konteks yang sama, yaitu tidak berhukum pada syariat Allah. Namun disifati dengan tiga sifat berbeda yaitu kafir, zalim dan fasik. Maka tak diragukan bahwa satu sifat dari tiga sifat ini memiliki kondisi yang berbeda dalam konteks yang sama. Jika meyakini (I’tiqad) bahwa hukum Allah tidak wajib diterapkan maka pelakunya (misalnya penguasa atau hakim) telah jatuh sebagai orang yang kafir. Jika tidak menerapkan hukum Allah namun memutuskan hukum sesuai dengan haknya misalnya pencuri di penjara maka ia telah fasiq. Jika tidak memutus dengan hukum Allah dan tidak memberikan putusan sesuai dengak haknya. Misalnya, bersengaja membebaskan pencuri atau koruptor maka ia telah zalim lagi fasiq. Fasik karena telah melakukan kemaksiatan dengan tidak menerapkan hukum Allah dan zhalim karena telah membebaskan pelaku kriminal.
Hal ini sama seperti orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak otomatis divonis kafir, kecuali jika disertai keyakinan bahwa shalat tidak wajib.
Kedua, konteks ayat ini turun terkait orang kafir, yaitu orang Yahudi terkait penolakan mereka terhadap hukum rajam bagi penzina muhshon. Mereka menolak hukum rajam dan condong pada hukum cambuk (jilid). Mereka anggap hukum rajam tidak layak dan menolaknya. Jadi konteks terjatuhnya pada kekafiran karena dua sebab: (1) menolak hukum Allah dan menganggapnya tidak layak diterapkan; (2) menerapkan hukum selain hukum Allah. Karena itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: “Karena itu penolakan terhadap hukum yang Allah turunkan menjadi syarat mendasar teranggapnya mereka sebagai kafir jika mereka menerapkan hukum selain hukum yang Allah turunkan”. Jika ada yang menyatakan bukankah ada kaidah yang menyatakan “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab”, sebuah pengertian diambil dari keumuman redaksi bukan dari khususnya sebab turunnya ayat. Jawabannya adalah keumuman redaksi tetap terbatas pada konteks turunnya ayat, tidak berlaku tanpa batasan. Kaidah seperti ini seperti yang dinyatakan oleh beliau dalam kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz tsalits. Beliau menyatakan:
قاعدة العبره بعموم اللفظ لا بخصوص السبب مقيدة في الموضوع الذي نزلت به, لا عموم ما تنطبق عليه
Kaidah “al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzhi laa bi khusus as-sabab” terikat dengan konteks turunnya ayat, tidak umum atas apa yang diterapkan padanya.
Ketiga, hukum adalah fi’il (perbuatan) bukan I’tiqad (keyakinan). Jika ada perbuatan yang menyelisihi hukum Allah statusnya maksiat, bukan kafir kecuali jika ada dalil yang qath’i yang menyatakan bahwa pelanggaran atas hukum tertentu statusnya kafir. Berbakti pada orang tua hukumnya wajib, tidak mengandung perkara i’tiqad. Maka anak yang durhaka para orang tua dianggap maksiat, namun tidak otomatis kafir. Berbeda dengan perbuatan sujud pada Allah. Amal ini diperintahkan disertai dengan adanya I’tiqad bahwa hanya Allah yang layak disujudi (disembah). Jika ada seorang muslim yang sujud pada berhala atau beribadah dengan cara ibadah orang Kristen di gereja maka ia jatuh pada kekafiran. Karena makna dari “Laa ilaha illallah” adalah itsbat (penetapan) bahwa hanya Allah yang hak untuk disembah sekaligus nafyu (penafian) penyembahan pada selain Allah.
Berhukum dengan bukan dengan apa yang Allah turunkan adalah menyelisihi perintah Allah dalam perkara amal, bukan perkara I’tiqad. Hal ini karena dua alasan:
a. Syariat tidak menyatakan kafir jika menyelisihi hukum Allah, karena tidak termasuk amal yang dapat menjatuhkan pada kekafiran. Hal yang menguatkan hal ini adalah bahwa Mu’awiyyah telah mengambil ba’iat untuk anaknya Yazid dengan cara paksaan. hal ini termasuk menyelisihi hukum Allah. Hal ini dilihat dan didengar oleh sahabat. Kita tidak mengetahui ada satu orang pun sahabat yang menyatakannya kafir.
b. Berhukum dengan bukan hukum Allah tidak termasuk dalam cabang dari akidah sebagaiamana sujud pada berhala atau beribadah seperti cara orang Nasrani. Maka jika ada seorang hakim yang memutus penjara bagi seorang pencuri, tidak memutus hukum potong tangan. Hakim ini telah menjadi seorang ahli maksiat, bukan orang yang kafir. Berbeda halnya dengan jika dia menolak hukum potong tangan dengan keyakinan bahwa hukum Islam keliru dan sebaliknya meyakini bahwa yang benar adalah hukum penjara, maka ia telah kafir.
Kesimpulan seperti ini selaras dengan penafsiran para ahli tafsir, seperti Imam Thabari dan Imam Qurthubi. Imam Thabari dalam kitab tafsirnya menyatakan:
"حدثني المثنى قال : حدثنا عبد الله بن صالح قال : حدثني معاوية بن صالح عن علي بن ابي طلحة عن ابن عباس قوله"ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون"قال : من جحد ما انزل الله فقد كفر، ومن اقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق.... فان قال قائل فان الله تعالى ذكره قد عم بالخبر بذلك عن جميع من لم يحكم بما انزل الله فكيف جعلته خاصا قيل ان الله تعالى عم بالخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم بكتابه جاحدين فاخبر عنهم انهم بتركهم الحكم على سبيل ما تركوه كافرون وكذلك القول في كل من لم يحكم بما انزل الله جاحدا به هو بالله كافر كما قال ابن عباس لانه بجحوده حكم الله بعد علمه انه انزله في كتابه نظير جحوده نبوة نبيه بعد علمه انه نبي
Intinya adalah pada qaul Ibnu Abbas yang menyatakan: “Siapa yang ingkar dengan apa yang Allah telah turunkan maka ia telah kafir. Siapa yang masih membenarkan, namun tidak berhukum dengannya maka ia zalim lagi fasik”. Alasan Ibnu Abbas adalah siapa yang ingkar dengan hukum Allah setelah ia mengetahui bahwa Allah telah menetapkan dalam kitab-Nya, hal tersebut sama saja dengan mengingkari kenabian Nabi Muhammad, padahal ia mengetahui bahwa beliau adalah seorang Nabi.
Imam Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jaami’ li ahkam al-Quran menyatakan:
قوله تعالى"ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون"و"الظالمون"و"الفاسقون"نزلت كلها في الكفار، ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء وقد تقدم وعلى هذا المعظم، فاما المسلم فلا يكفر وان ارتكب كبيرة، وقيل فيه ومن لم يحكم بما انزل الله ردا للقران وجحدا لقول الرسول عليه الصلاة والسلام فهو كافر، قال ابن عباس ومجاهد . فالاية عامة على هذا، قال ابن مسعود والحسن هي عامة في كل من لم يحكم بما انزل الله من المسلمين واليهود والكفار اي معتقدا ذلك ومستحلا له. فاما من فعل ذلك وهو معتقد انه راكب محرم فهو من فساق المسلمين وامره الى الله ان شاء عذبه وان شاء غفر له
Intinya: seorang muslim, Yahudi atau orang kafir yang tidak berhukum dengan hukum Allah diiringi dengan keyakinan penolakannya maka ia kafir. Sedang kaum muslimin yang meyakini bahwa saat ia tidak menerapkan hukum Allah berarti ia melakukan keharaman maka dia dinyatakan sebagai muslim yang fasiq. Maka urusannya ada di tangan Allah. Allah ta’ala bisa menyiksanya atau mengampuninya, sesuai kehendaknya. Ini merupakan pendapat Ibn Mas’ud dan al Hasan.
Selesai ditulis pada hari Senin, 18 Dzulhijjah 1445 H/ 24 Juni 2024
Merujuk dari soal jawab al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta’ala pada 22 Rabi’ul Tsani 1381 H/2 Oktober 1961