Sunday, February 4, 2018

BENARKAH HIZBUT TAHRIR MUDAH MENGKAFIRKAN ORANG LAIN?

BENARKAH HIZBUT TAHRIR MUDAH MENGKAFIRKAN ORANG LAIN?


Berikut ini adalah kutipan dari salah satu subbab dalam kitab Hizbut Tahrir: Tsaqafatuhu wa Manhajuhu karya Muhammad Muhsin Radhi, yang mengupas tsaqafah dan metode Hizbut Tahrir dalam menegakkan negara khilafah. Di salah satu subbab itu terdapat subbab tentang at-takfir (pengkafiran). Untuk mengetahui lebih lanjut pemahaman Hizbut Tahrir tentang konsep takfir (pengkafiran), mari kita lihat penjelasan berikut ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya (Muhammad Muhsin Radhi) tidak menemukan di dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir dan publikasi-publikasinya bahasan tersendiri yang mengkaji topik pengkafiran (takfir). Akan tetapi saya menemukan sejumlah selebaran dan jawab su’al yang menyinggung persoalan ini dengan bentuk yang umum, belum terperinci. Hizbut Tahrir berpendapat tidak boleh mengkafirkan seseorang di antara kaum Muslim, selama ia bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah, disertai dengan keyakinan hatinya, dan selama ia tidak mengingkari sesuatu di antara persoalan agama yang telah diketahui secara pasti, serta tidak mengingkari hukum yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i. Dalam hal ini Hizbut Tahrir berdalil dengan sabda Rasulullah SAW.:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang mati, sedang ia yakin bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, maka ia masuk surga”[1]

Dan sabdanya:
مَنْ لَقِيتُ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ بَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ
“Siapapun yang aku temui sedang ia bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dengan disertai keyakinan hatinya, maka aku sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga”. [2]

Dan nash-nash yang sejenisnya.

Kemudian, Hizbut Tahrir menyatakan:
“Nash-nash ini jelas bahwa siapa pun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan Muhammad Rasulullah, dengan disertai keyakinan hatinya, maka ia termasuk di antara penghuni surga, bukan penghuni neraka. Siapa saja yang menjadi penghuni surga, maka tidak mungkin kecuali ia seorang Muslim, mustahil ia seorang Kafir. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak dikafirkan sebab dosa yang dilakukannya, selama ia tidak mengingkari sesuatu di antara persoalan agama yang telah diketahui secara pasti, serta tidak mengingkari sesuatu (hukum) yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i.[3]

Hizbut Tahrir mengutip pernyataan Imam Nawawi: “Ketahuilah bahwa mazhab ahlul haq (Ahlussunnah) adalah tidak mengkafirkan seseorang di antara ahlul qiblah (orang yang bertauhid) sebab ia melakukan dosa, serta tidak mengkafirkan orang yang menjadi budak nafsu dan pelaku bid’ah. Dan siapa pun yang mengingkari sesuatu di antara agama Islam yang diketahui dengan pasti, maka ia dihukumi murtad dan kafir. Begitu juga hukum bagi yang menghalalkan zina, khamr, pembunuhan, atau perkara-perkara haram yang lain, yang keharamannya diketahui dengan pasti”.[4]

Sebagimana yang disebutkan oleh Hizbut Tahrir di beberapa selebarannya bahwa seorang Muslim dikafirkan sebab salah satu dari empat perkara: al-i’tiqad (keyakinan), asy-syak (keraguan), al-qaul (perkataan) dan al-fi’l (perbuatan). Adapun keyakinan, maka itu jelas. Sebab orang yang meyakini, misalnya, al-Masih itu putra Allah, dikafirkan, meskipun ia melakukan semua amalan-amalan Islam. Begitu juga orang yang meragukan al-Qur’an sebagai firman Allah, misalnya, dikafirkan, meskipun ia melakukan semua amalan-amalan Islam.

Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa pernyataan yang tidak menunjukkan pengingkaran secara pasti atas sesuatu yang qath’i, namun masih ada kemungkinan lain, maka ia tidak dikafirkan.

Adapun jika pernyataan itu menunjukkan dengan pasti pengingkaran atas sesuatu yang oleh Islam diperintahkan untuk diyakininya, atau sesuatu itu merupakan perkara yang pasti dan ditetapkan melalui jalan yang menghasikan keyakinan, yakni ia merupakan sesuatu yang pasti, maka hal ini perlu dilihat dulu. Jika penyataan itu mengutip dari orang lain dengan sekedar mengutip tanpa menyakininya, maka ia tidak dikafirkan, yakni orang yang menyampaikan kekufuran bukan kafir. Hanya saja jika penyampaian itu termasuk pengajaran pemikiran-pemikiran kufur, maka harus diajarkan bersamanya bantahannya di atas metode al-Qur’an. Jika tidak, maka ia berdosa.

Adapun jika pernyataan yang menunjukkan pengingkaran atas sesuatu yang pasti itu keluar dari dirinya sendiri, maka ia dikafirkan, baik ia meyakini maupun tidak. Seperti orang yang mengatakan: Allah itu zalim. Atau mengatakan: al-Qur’an itu dari Muhammad bukan dari Allah. Sehingga dalam hal ini ia dikafirkan. Sebab pernyataan ini secara pasti menunjukkan atas pengingkaran kepada sesuatu yang sifatnya qath’i.

Sedangkan perbuatan, maka melakukan perbuatan-perbuatan kufur, tidak diragukan lagi adalah kufur. Apabila seorang Muslim menjalankan peribadatan agama Nashrani (Kristen), maka ia kufur. Ikut bersama mereka, ketika mereka sedang menjalankan peribadatannya adalah kufur. Bersujud kepada patung adalah kufur. Menggunakan syi’ar peribadatan yang di dalamnya orang Kristen melangsungkan peribadatannya adalah kufur. Mengajarkan peribadatan agama Kristen atau Yahudi adalah kufur. Membangun gereja adalah kufur. Menyumbang untuk pembangunan gereja adalah kufur. Dan seterunya. Tidak ada bedanya antara peribadatan agama Kristen dengan agama Budha, antara peribadatan agama Kristen dengan bersujud kepada patung, semuanya kufur, melakukannya juga kufur. Sebagaimana perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang kafir, yaitu Kristen, Yahudi, Majusi dan yang lainnya. Sebab mereka diperintahkan melakukannya sesuai agama mereka, dan sesuai tuntutan akidah mereka, yang karena akidah itulah mereka menjadi kufur. Maka semuanya merupakan perbuatan-perbuatan kufur. Apalagi perbuatan yang dinyatakan dengan tegas oleh syara’ bahwa yang melakukannya adalah kufur. Perbuatan-perbuatan ini juga merupakan perbuatan-perbuatan kufur. Dua jenis dari perbuatan-perbuatan ini adalah kufur secara pasti.

Adapun pelaku perbuatan-perbuatan ini perlu dilihat dahulu, sebagaimana perkataan. Apabila perbuatan itu tidak bisa ditakwil lagi, dalam arti perbuatan yang ia lakukan tidak meneriman takwil, sebab ia melakukan perbuatan yang orang-orang kafir diperintahkan untuk melakukannya, atau melakukan perbuatan yang oleh syara’ dinyatakan kufur, maka dalam hal ini jelas orang yang melakukan adalah kafir. Sedangkan, apabila perbuatan itu masih menerima takwil, dalam arti ia melakukannya mungkin bisa ditakwil, bahwa ia melakukan tidak seperti yang orang kafir diperintahkan, maka dalam hal ini ia tidak dikafirkan, sebab ia masih memenangkan aspek iman. Seperti orang yang membawa Taurat dan membacanya. Sebab, orang kafir diperintah membacanya karena motivasi ibadah dan keyakinan, dan dalam hal ini bisa saja ia membacanya untuk pengetahuan, atau untuk membantah isinya. Orang yang masuk kedalam gereja tidak dikafirkan. Sebab orang kafir diperintah masuk untuk peribadatan. Mungkin dalam hal ini terkadang ia memasukinya untuk melihat-lihat. Dan begitu juga seterusnya. Apabila di sana masih ada peluang takwil apapun, dan tidak untuk diniati, maka pelakunya tidak dikafirkan.[5]

Adapun orang yang mengatakan bahwa kufur adalah apa yang dikatakan kufur oleh syara’. Sementara itu tidak terdapat satu pun nash syara’ bahwa membangun gereja, melakukan peribadatan agama Nashrani, atau melakukan perbuatan di antara perbuatan-perbuatannya adalah kufur.

Pernyataan ini dibantah oleh Hizbut Tahrir bahwa syara’ benar-benar telah menyatakan sesungguhnya akidah Nashrani itu kufur. Kekufuran itu datang dari segala sesuatu yang ada di dalamnya: pemikirannya, hukum-hukumnya, dan perbuatan-perbuatan yang diperintahkannya. Sehingga pemikirannya kufur, hukumnya kufur, dan perbuatannya juga kufur. Syara’ benar-benar telah menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang diperintahkan oleh akidah kufur adalah kufur juga. Sebab arti kufur itu adalah melakukan kekufuran. Sehingga melakukan peribadatan agama Nashrani atau melakukan perbuatan di antara perbuatan-perbuatan agama Nashrani adalah kufur secara pasti.[6]

Dalam Jawab Su’al seputar persoalan, apabila kaidah hukum yang tidak diketahu (dikhususkan) contohnya diterapkan atas orang yang melakukan perbuatan di antara perbuatan-perbuatan kufur, seperti membantu perlengkapan gereja, sedang ia tidak mengerti hukum dalam hal ini. Hizbut Tahrir menjawab: “Sesungguhnya kaidah yang tidak diketahui (dikhususkan) contohnya, maka kaidah umum mencakup orang yang melakukan perbuatan di antara perbuatan-perbuatan kufur, seperti membangun gereja. Hanya saja ia tidak mengerti hukum di antara hukum-hukum yang tidak diketahui contohnya itu”.[7]

Di antara perkara-perkara penting yang dikaji oleh Hizbut Tahrir terkait dengan masalah pengkafiran adalah bahasan tentang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Lalu, Hizbut Tahrir menyebutkan firman Allah SWT.:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.[8]

Dan firman-Nya:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.[9]

Dan firman-Nya:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.[10]

Melalui ayat-ayat ini, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa barangsiapa yang berhukum kepada selain yang diturunkan Allah SWT., maka ia tidak lepas dari dua perkara: mungkin ia berhukum kepada selain yang diturunkan Allah SWT., dan ia meyakini bahwa Islam sudah tidak layak lagi untuk diterapkan, maka orang yang demikian ini kafir, keluar dari agama Islam; atau mungkin juga ia berhukum kepada selain yang diturunkan Allah SWT., namun ia masih meyakini bahwa Islam layak dan pantas untuk diterapkan, maka orang yang demikian ini hanya berkaisat, tidak kafir.

Adapun cara menentukannya, maka perhatikan, sesungguhnya sikap dan perbuatan para penguasa menunjukkan hal itu. Barangsiapa yang sikap dan perbuatannya menunjukkan pada tidak adanya keyakinan bahwa Islam layak dan pantas untuk diterapkan --meski ia menampakkan selain itu-- maka atasnya diterapkan firman Allah SWT.: “Mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Sebab, mereka tidak beriman kepada kelayakan Islam untuk pemerintahan dan peradilan. Mereka dikafirkan sebab sikap dan perbuatannya ini, yakni mereka tidak beriman dengan Islam. Mereka, tidak diragukan lagi adalah kafir. Sebab, mereka bebas (tidak terbebani) ketika menerapkannya. Adapun apabila para penguasa itu masih beriman kepada kelayakan Islam, namun hubungannya dengan orang-orang kafir membuat mereka menerima hukum selain hukum Allah, mungkin karena takut, atau mungkin karena mereka yakin bahwa mereka tidak mampu menerapkan Islam, maka mereka tidak kafir, selama iman mereka masih ada. Sebab mereka tidak merasa bebas (terbebani) ketika menerapkannya. Akan tetapi dengan perbuatannya itu mereka zalim dan fasik. Karena mereka melakukan keharaman.

Sebagaimana Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah itu kufur, zalim dan fasik tidak terbatas untuk para penguasa saja, namun untuk manusia dalam menjalani hubungan yang sifatnya individual, atau pada semua hubungannya. Sesungguhnya, siapa saja yang meyakini bahwa Islam tidak layak untuk solusi problem ini dan itu, dan yang layak itu selain Islam, maka ia kafir. Adapun jika ia meyakini kelayakan Islam, namun ia takut kepada penguasa dan tekanan undang-undang, maka ia zalim dan fasik.[11]

Hizbut Tahrir juga menjelaskan: “Dari sini, keyakinan untuk memisahkan agama dari kehidupan, atau memisahkannya dari negara adalah kekufuran yang nyata”.[12]

Sebab, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mayoritas penguasa kaum Muslim tidak hanya bermaksiat, atau berbuat fasik saja, namun mereka melakukan kekufuran secara nyata, yang mengeluarkannya dari agama Islam. Sesungguhnya mulut-mulut dan pena-pena yang dijadikan alat pembenaran oleh mereka para penguasa, dan pembenaran bagi sistem kufur yang diterapkannya adalah mulut-mulut dan pena-pena yang pemiliknya orang-orang munafik, kufur, mereka kufur yang sebenarnya, yang akan mengeluarkannya dari agama Islam. Sesungguhnya mereka yang setuju dengan sepenuh hati terhadap para penguasa dan dengan sistem kufur yang mereka terapkan adalah kafir, kufur yang sebenarnya, yang akan mengeluarkannya dari agama Islam.[13]

Di dalam Jawab Su’al tentang menghina agama: “Menghina agama adalah kufur jika penghinaan terhadap agama dilakukan dengan sengaja, dan memang diniati untuk menghina agama. Adapun apabila penghinaan terhadap agama itu kebiasaannya ketika marah, atau pada saat bertengkar dengan orang lain, maka ia dianggap bermaksiat, bukan kufur. Dan apa yang terjadi pada manusia sekarang, yang akhir-akhir ini mereka banyak mencela agama, bahwa mayoritas mereka tidak bermaksud mencela dan melecehkan agama, maka dengan cacian dan penghinaan ini mereka hanya bermaksiat dan berdosa saja. Mereka bukan orang-orang kafir yang murtad. Sedang orang yang bermaksiat dan melakukan dosa besar tidak menyebabkan perceraian dengan istrinya, sehingga hubungan suami istri tetap berlangsung antara keduanya”.[14]

Dan kami mengakhiri masalah pengkafiran (takfir) menurut Hizbut Tahrir dengan mengutip apa yang diyatakannya mengenai hukum murtad.

Hizbut Tahrir berkata: “Hukum murtad bagi seorang Muslim adalah jika seorang Muslim murtad dari agamanya, maka ia diminta untuk bertaubat. Jika ia tidak bertaubat, maka ia dibunuh, dengan catatan apabila ada negara yang menerapkan hudud. Sedang di Dar (Negara) Kufur, tentu di sana tidak ada negara yang menerapkan hudud, maka kaum Muslim di sana memperlakukannya seperti perlakuan terhada orang-orang Musyrik, sehingga jika ia perempuan tidak boleh dinikahi oleh laki-laki Muslim, dan jika ia laki-laki tidak boleh dinikahkan dengan wanita Muslim, serta kaum Muslim tidak boleh memakan sembelihannya. Adapun jika ia bukan Muslim, yakni kafir, maka apabila ia kafir kitabi dan ia murtad lalu masuk agama lain, maka di Dar (Negara) Islam, ia tidak dibunuh. Bahkan ia berhak meninggalkan agamanya dan lalu memeluk agama lain. Ia tidak termasuk ke dalam sabda Rasulullah SAW.:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka ia harus dibunuh”.[15]

Sebab orang-orang kafir adalah satu agama. Hanya saja, jika ia seorang kafir kitabi yang keluar dan masuk ke dalam agama lain yang bukan kitabi, maka sembelihannya tidak boleh dimakan, dan jika perempuan tidak boleh dinikahi, artinya ia diperlakukan seperti perlakuan terhadap pemeluk agama yang murtad. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara yang ada di Negara Islam dengan yang ada di Negara Kafir. Atas dasar itu, seorang Muslim apabila menjadi penganut Ba’ats, Sosialis, atau Druze, maka ia sungguh telah murtad dari Islam. Selanjutnya, ia diperlakukan seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad. Adapun bukan Muslim apabila ia menjadi penganut Baath, maka ia tidak murtad dari agamanya, sebab penganut Baath menyatakan pemisahan agama dari negara, sehingga ia tidak murtad dari agamanya. Sedang apabila ia menjadi penganut Sosialis atau Druze, maka ia murtad dari agamanya. Dan selanjutnya ia diperlakukan seperti perlakuan terhadap orang-orang Musyrik. Sehingga jika ia perempuan, maka ia tidak boleh dinikahi, dan sembelihannya tidak boleh dimakan”.[16]

Berdasarkan metodologi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Hizbut Tahrir mengkaji sejumlah permasalahan-permasalahan yang terkait dengan akidah. Seperti: qadha’ dan qodar,[17] kemaksuman Rasul,[18] wahyu,[19] petunjuk dan kesesatan,[20] tawakkal,[21] sifat-sifat Allah SWT.,[22] rezeki,[23] kematian,[24] dan lainnya. Beberapa permasalahan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ulama. Namun beberapa yang dikritisi oleh Hizbut Tahrir, dan menempatkannya sebagai topik yang memang diperdebatkan, serta menjelaskan pendapat-pendapat ulama terkait dengan hal itu. Kemudian Hizbut Tahrir mengelurkan pendapat yang berbeda dengan yang lain, di antara pendapat-pendapat yang telah ada sebelumnya.

Pendek kata, saya (Muhammad Muhsin Radhi) berpendapat bahwa Hizbut Tahrir tidak menyimpang dalam hal metode dan dasar-dasar umum bagi akidah dari apa yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama. Meskipun di beberapa kesimpulan yang terperinci untuk beberapa persoalan akidah Hizbut Tahrir terkadang sampai pada sesuatu yang belum pernah dicapai oleh ulama sebelumnya. Seperti yang saya dapati bahwa Hizbut Tahrir memasukkan pada pemikiran Islam dalam masalah-masalah akidah beberapa perkara penting yang pantas untuk diperhatikan, utamanya dalam mendefinisikan akidah menurut pengertian umum, serta syarat kesesuaian dengan fitrah dan diterima akal dalam menetapkan sah tidaknya sebuah akidah.

CATATAN KAKI:

[1] Diriwayatkan oleh Muslim. Lihat: Shahih Muslim, vol. I, hlm. 55.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim. Lihat: Shahih Muslim, vol. I, hlm. 59.
[3] Lihat: Jawab su’al, 1 Dzul Hijjah 1410 H./22 Juni 1990 M..
[4] Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim, vol. I, hlm. 150.
[5] Lihat: Memorandum dengan judul: al-Qiyam bi Amali Kufrin Kufrun Shurahun, dikeluarkan Hizbut Tahrir, 8 Rajab 1380 H./26 Desember 1960 M.. Memorandun ini dikeluarkan tidak lama setelah Perdana Menteri Libanon yang Muslim, Shaib Salam, Ketua Parlemen yang Muslim, Shabri Hamadah, para Menteri yang mereka itu Muslim, beberapa anggota Parlemen yang mereka juga Muslim melakukan salatnya Kaum Nashrani dalam Bakrki di Libanon. Memorandum dengan judul: Zu’ama’ al-Muslimin Yu’duna al-Jizyah li al-Hukkam an-Nashara Shalatan fi al-Kana’is wa Irtidadan an al-Islam, dikeluarkan Hizbut Tahrir, 18 Rajab 1281 H./16 Desember 1961 M.; dan Jawab Su’al, 25 Maret 1969 M.
[6] Lihat: Memorandum dengan judul: al-Qiyam bi Amali Kufrin Kufrun Shurahun, dikeluarkan Hizbut Tahrir, 8 Rajab 1380 H./26 Desember 1960 M.. Memorandun ini dikeluarkan tidak lama setelah Perdana Menteri Lebanon yang Muslim, Shaib Salam, Ketua Parlemen yang Muslim, Shabri Hamadah, para Menteri yang mereka itu Muslim, beberapa anggota Parlemen yang mereka juga Muslim melakukan shalatnya Kaum Nashrani dalam Bakrki di Lebanon.
[7] Lihat: Jawab Su’al, 25 Maret 1969 M..
[8] QS. Al-Maidah [5] : 44.
[9] QS. Al-Maidah [5] : 45.
[10] QS. Al-Maidah [5] : 47.
[11] Lihat: Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 240; pamplet dengan judul: Hukm al-Islam fi at-Taqayyud bi Ahkam al-Islam, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, 16 Dzul Qa’dah 1395 H./11 September 1975 M.; nasyrah “Syahru Ramadhana Alladzi Unzila fihi al-Qur’ana Hudan li Annasi wa Bayyinatin min al-Huda wa al-Furqan”, Hizbut Tahrir/wilayah Yordania, 29 Sya’ban 1403 H./10 Juni 1963 M.; dan Jawab Su’al, 1395 H./1975 M.. Di sini perlu ditegaskan bahwa masalah menghukumi penguasa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan kufur, fasik dan zalim, bukan masalah melawan penguasa ketika penguasa menampakkan kekufuran secara nyata.
[12] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 27.
[13] Lihat: Nasyrah “Syahru Ramadhana Alladzi Unzila fihi al-Qur’ana Hudan li Annasi wa Bayyinatin min al-Huda wa al-Furqan”, Hizbut Tahrir/wilayah Yordania, 29 Sya’ban 1403 H./10 Juni 1963 M..
[14] Lihat: Jawab Su’al, 15 Pebruari 1977 M..
[15] Diriwayatkan oleh Bukhari. Lihat: Shahih Bukhari, vol. VI, hlm. 2537.
[16] Lihat: Jawab Su’al, 2 Juni 1970 M..
[17] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 66-97; Nizham al-Islam, hlm. 14-21; Izalah al-Atrubah an al-Judzur, hlm. 11-31; Mafahim Hizb at-Tahrir, hlm. 24-26; al-Fikr al-Islami, hlm. 49-51; dan Nida’ Har, hlm. 6-7.
[18] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 134-136; dan al-Fikr al-Islami, hlm. 77-79.
[19] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 137-141.
[20] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 98-104; dan Izalah al-Atrybah an al-Judzur, hlm. 42-44.
[21] Lihat: Izalah al-Atrubah an al-Judzur, hlm. 40-41.
[22] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 116-124.
[23] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 112-124; dan Izalah al-Atrybah an al-Judzur, hlm. 32-37.
[24] Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 104-111; Izalah al-Atrubah an al-Judzur, hlm. 38-39; dan al-Fikr al-Islami, hlm. 20-22.

No comments: