Friday, September 17, 2021

Jadilah Pengacara Bagi Diri Sendiri dan Keluarga Anda

 *KENA KASUS HUKUM???*


Jadilah Pengacara Bagi Diri Sendiri dan Keluarga Anda.. ✍️✍️✍️


Adakah keluarga, teman, atau simpatisan Anda yang bermasalah hukum di Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dll? 


Jika Anda *TIDAK MAMPU* menyewa Jasa Pengacara, Anda pun bisa membela hak-hak mereka.. 


*Mari melek hukum... ✍️✍️🙏🇲🇨*


Kuncinya, Anda harus MEMAHAMI BETUL beberapa ilmu hukum ini, antara lain :


1) Mengerti Hukum Acara Pidana --> https://youtu.be/zcCtA7GgNY8


2) 37 Hak Terdakwa --> https://youtu.be/rK6iUv2cMas


3) 9 Hak Terpidana --> https://youtu.be/6QIYuezRnkc


4) Asas Hukum Acara Pidana --> https://youtu.be/ckqzPbbun68


5) Upaya-upaya Hukum --> https://youtu.be/AXCYD_2QlOw


6) Asas Praduga Tidak Bersalah --> https://youtu.be/tSBTmdozEog


7) Kewajiban Hakim Dalam Memeriksa dan Mengadili --> https://youtu.be/FLW9AjMvPpo


8) Tindak Pidana Ringan --> https://youtu.be/uLCW43WTcDk


9)Kode Etik dan Pedoman Hakim --> https://youtu.be/GnDoiJcWLOU


10) Penangkapan --> https://youtu.be/RHqnu1-hQss


11) Tertangkap Tangan--> https://youtu.be/TbiJV8hbAFA


12) Pengaduan Pidana --> https://youtu.be/QA8SsWiBu3g


13) 27 Hak Tersangka --> https://youtu.be/zSTmQUSr-Qo


14) Peran Advokat --> https://youtu.be/wZrdqMMTl5s


15) Praduga Tidak Bersalah --> https://youtu.be/tSBTmdozEog


16) Laporan Pidana --> https://youtu.be/T5ABctlTcdo


17) PENYELIDIK --> https://youtu.be/Ge_bp8D1_OQ


18) PENYIDIK --> https://youtu.be/TjlNbPMdjd8


19) JAKSA & PENUNTUT UMUM --> https://youtu.be/-V2SRg981_k


20) Pelanggaran Perkara Lalu Lintas --> https://youtu.be/4Jf7YGxH68o


Jangan lupa selalu belajar Hukum *GRATIS* dengan *LIKE dan SUBSCRIBE* channel Penegak Hukum/Pengacara : *Captain Indonesia Oktoberiandi, SH*


*🇲🇨SALAM INDONESIA JAYA!🇲🇨*

Wednesday, September 15, 2021

KENAPA HARUS KHILAFAH



1. Karena Khilafah ajaran Islam. Bukan tradisi Arab atau ajaran dari luar Islam 


فكان مما سألني عنه الخلافة هل لها أصل في الشرع ووردت بها الأحاديث أو هي أمر عرفي اصطلح عليه الناس؟ فقلت: سبحان الله ومثل هذا يجهل حتى يسئل عنه. الخلافة ركن عظيم من أركان الإسلام أكدها الشرع ووردت بها الأحاديث والأخبار.

"Dan di antara yang ditanyakan kepadaku adalah soal khilafah, apakah ia memiliki dasar di dalam syariat Islam dan dimuat di hadits-hadits Nabi, ataukah ia sekedar tradisi yang dibuat oleh orang-orang? 

Maka aku jawab: Subhanallah, hal begini saja tidak tahu sampai ditanyakan!? Khilafah adalah sebuah ajaran pokok yang agung di antara ajaran-ajaran pokok di dalam Islam, yang telah ditegaskan oleh syara' dan dimuat oleh banyak hadits dan khabar." As-Suyuthi Asy-Syafi'i, Al-Inâfah fî Ratbatil Khilâfah


2. Karena merupakan ajaran Islam yang hukumnya wajib. Bukan ajaran yang sunnah atau sekedar perkara mubah.


{ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻣﺎﻡ ﻳﻨﺼﺐ # وما على الإله شيء يجب }

"Mengangkat seorang Imam/Khalifah itu hukumnya wajib atas kaum muslim, dan Allah itu tidak dibebani suatu kewajiban apapun." Ibn Raslan Asy-Syafi'i, Shafwah Az-Zubad


3. Karena wajibnya wajib syar'ie, yang apabila ditinggalkan akan berdampak dosa di akhirat. Bukan sebatas wajib 'aqli yang hanya berdampak malu di dunia


ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﺼﺐ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﻭﺟﻮﺑﻪ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ﻻ ﺑﺎﻟﻌﻘﻞ

"Mereka (umat Islam) juga telah ber-konsensus (ijmak) bahwa kaum muslim itu wajib mengangkat seorang khalifah, dan kewajiban tersebut berdasarkan syara' bukan berdasarkan akal." An-Nawawi Asy-Syafi'i, Syarah Shahih Muslim


4. Karena wajib syar'ie nya bersifat kifa'ie (fardhu kifayah/kewajiban kolektif). Bila ditinggalkan dosanya ditanggung oleh seluruh umat Islam; bukan wajib 'ain yang apabila ditinggalkan dosanya hanya ditanggung oleh orang tertentu yang meninggalkannya saja.


اﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ

"Imamah/khilafah itu hukumnya Fardhu Kifayah" Asy-Syirazi Asy-Syafi'i, At-Tanbih fi al-Fiqh asy-Syafi'i


5. Karena merupakan kewajiban kifa'i yang disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq 'alayh). Bukan kewajiban yang diperselisihkan (mukhtalaf fiyhi) masyru'iyyahnya.


أجمعت الأمة قاطبة إلا من لا يعتد بخلافه على وجوب نصب الأمام على الإطلاق

Umat Islam seluruhnya telah bersepakat (ijma') -kecuali mereka yang tidak diperhitungkan pendapatnya- atas wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah secara mutlak." Al-Qal'i Asy-Syafi'i, Tahdzib Ar-Riyasah wa Tartib As-Siyasah 


6. Karena merupakan kewajiban yang disepakati yang dalilnya qath'ie. Yaitu ijmak sahabat yang sampai secara mutawatir. Bukan kewajiban yang dalilnya bersifat zhanni semata.


ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ اﻟﺪﻟﻴﻞ الحق اﻟﻘﺎﻃﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻗﻴﺎﻡ اﻹﻣﺎﻡ واتباعه ﺷﺮﻋﺎ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ اﻟﺼﺪﺭ اﻷﻭﻝ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﻨﺎﻉ ﺧﻠﻮ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻦ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﺇﻣﺎﻡ

"Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama'ah) berpendapat: dalil yang haq serta kebenarannya pasti (qath'i) tentang wajib syar'i nya mewujudkan serta menaati seorang imam/khalifah adalah riwayat mutawatir tentang terjadinya ijmak (konsensus) kaum muslim di periode awal pasca wafatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- untuk tidak membiarkan terjadi masa kekosongan dari seorang imam/khalifah." Al-Amidi Asy-Syafi'i, Ghayah Al-Maram fi 'Ilm Al-Kalam


7. Karena merupakan kewajiban yang mendesak dan prioritas. Sebab ia terkait dengan banyak kewajiban dan besarnya madharat akibat ketiadaannya.


ﻓﻜﺎﻥ ﻭﺟﻮﺏ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻣﻦ ﺿﺮﻭﺭﻳﺎﺕ اﻟﺸﺮﻉ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺳﺒﻴﻞ ﺇﻟﻰ ﺗﺮﻛﻪ

"...., maka kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah ini termasuk perkara syara' yang sangat penting (dharûriyât asy-syar') yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali." Al-Ghazali Asy-Syafi'i, Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad


ﺣﺘﻰ ﺟﻌﻠﻮﻩ ﺃﻫﻢ اﻟﻮاﺟﺒﺎﺕ ﻭﻗﺪﻣﻮﻩ ﻋﻠﻰ ﺩﻓﻨﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ.   

Sampai-sampai mereka (para sahabat) menganggapnya sebagai kewajiban yang paling prioritas, dan mendahulukannya daripada memakamkan Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam." Syamsuddin Ar-Ramli, Ghâyah Al-Bayân Syarh Zubad Ibn Raslân. Juga Abu Al-Fadhal As-Sinori, Ad-Durr Al-Farîd.


8. Karena termasuk kewajiban yang sedang tidak terlaksana. Bukan kewajiban kifa'ie yang sudah sedang terlaksana oleh sebagian muslim yang melaksanakannya.


الواجب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه

Wajib adalah Perkara yang apabila dilakukan mendatangkan pahala, dan apabila ditinggalkan mengakibatkan siksa.


9. Karena tidak terlaksana nya sudah sejak lama (mencapai 100 tahun lamanya dalam hitungan hijriyah). Bukan hanya ditinggalkan sesaat dan segera bertaubat


قال يحيى بن معاذ: من أعظم الاغترار عندي -ذكر منها- التمادي في الذنوب على رجاء العفو من غير ندامة، ...

Yahya bin Mu'adz: "Tertipu yang paling besar menurutku adalah -diantaranya- ketika seseorang terus berlarut-larut dalam dosa dengan mengharap ampunan sedangkan dia tidak menyesal/bertaubat." Al-Ghazali Asy-Syafi'i, Ihya' Ulum Ad-Din 


والتمادي على الفسق فسق

Berlarut-larut dalam kefasikan itu merupakan kefasikan itu sendiri (menambah kefasikan akibat meninggalkan kewajiban yang besar). Ibnu Hajar al Haitami, Az Zawajir 'an Iqtirafil Kaba`ir


10. Karena menerapkan sistem selain khilafah (berhukum dengan selain hukum Allah atau menjadikan selain syariat Islam sebagai standar membuat hukum), adalah haram.


ﺃﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ اﻟﻠﻪ ﺟﺎﺣﺪا ﺑﻪ , ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ , ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻜﻢ ﻣﻘﺮا ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻇﺎﻟﻢ ﻓﺎﺳﻖ , ﻭﻫﺬا ﻗﻮﻝ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ

"Bahwa barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sembari mengingkarinya maka dia kafir, sedangkan barangsiapa tidak berhukum dengannya sembari masih mengakuinya (mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah) maka dia fasik lagi zhalim. Ini tafsiran Ibnu Abbas." Al-Mawardi, An-Nukat wal 'Uyûn (Tafsir Al-Mawardi) 


{أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ} [المائدة : 50]

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al Ma'idah: 50)


Dosa semakin bertambah, karena disamping tidak menerapkan yang wajib juga menerapkan yang justru haram untuk diterapkan.


11. Dan karena khilafah sudah dijanjikan kedatangannya. Artinya perjuangan menegakkannya memiliki masa depan yang pasti, karena Nabi adalah pribadi yang ash-shadiqul wa'dil amin, dan Allah itu laa yukhliful mi'ad.


ثم تكون خلافة على منهاج النبوة

"Kemudian akan berlangsung kekhilafahan di atas metode kenabian". HR. Ahmad - shahih


Jadi kenapa harus khilafah? 

Yaitu karena Khilafah adalah ajaran Islam yang hukumnya wajib, yang wajibnya wajib syar'ie dan bersifat kifa'ie (fardhu kifayah), yang disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq 'alayh) dan dalilnya qath'ie, yang bersifat mendesak dan prioritas (min dharuriyatisy syar'ie/ahammul wâjibât), yang sudah dan sedang tidak terlaksana sejak lama (hingga 100 tahun lamanya)! Selain juga dijanjikan akan kemunculannya di akhir masa.

Semoga kita termasuk yang sedang dan terus berusaha memperjuangkannya.. aamiin. [Azizi Fathoni]


#KhilafahAjaranIslam

#100TahunTanpaKhilafah


Kembali:

https://m.facebook.com/groups/672946576632664/permalink/810013699592617/

Sunday, September 12, 2021

MAZHAB

 Awal ngaji di HT1 sempat diskusi sama teman Pondok, Katanya HT1 itu sesat karena tdk bermazhab.

__________________


MAZHAB


Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Mazhab


Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).


Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali  hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.


Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).


Lahirnya Mazhab


Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).


Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:


Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.


Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.


Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha


Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.


Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985:  46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).


Terbentuknya Mazhab


Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian  (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.


Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut:


Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:


Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58).


Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai  ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).


Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59).


Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389).


Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘  (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).


Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).


Tentang Bermazhab


Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).


Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232).


Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali  oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam?


An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani, 1994: 232).


Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).


Bermazhab Secara Benar


Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:


Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).


Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).


Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112).                            


Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373).


Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?


Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik –non parlemen kufur– yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.


Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).


Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali  hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”  Wallâhu a‘lam. [Pernah Dipublikasikan Jurnal Al-Wa’ie: 01/01/2005]


Daftar Pustaka


Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.


Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda.


Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).


Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera.


Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât


al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.


Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.


An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld.  I. Beirut: Darul Ummah


As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq.


Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr.


Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.


Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.


Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer &


Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif.


Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi.


Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh


Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.


Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.


Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-‘Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.

Saturday, September 11, 2021

PENGAKUAN TERBARU DARI ULAMA BESAR ATAS TIDAK DIRAGUKANNYA, ASY-SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI ADALAH SEORANG ULAMA BESAR AHLUSSUNNAH


PENGAKUAN TERBARU DARI ULAMA BESAR ATAS TIDAK DIRAGUKANNYA, ASY-SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI ADALAH SEORANG ULAMA BESAR AHLUSSUNNAH


Berikut ini adalah keterangan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah-, dalam status FB beliau tertanggal 19 Juli 2020.

Berikut ini adalah keterangan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah-, dalam status FB beliau tertanggal 19 Juli 2020. Beliau menuliskan:


سماحة العلامة المجتهد أبو إبراهيم تقي الدين النبهاني( ت 1398 هـ) رحمه الله تعالى :


Tentang Yang Mulia al-Allamah al-Mujtahid Abu Ibrahim Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398 H) -semoga Allah merahmati beliau-.


سألني اليوم أحد المحبين فقال : ما رأيكم عن الشيخ تقي الدين النبهاني واتباعه ؟


Hari ini aku ditanya oleh salah seorang Muhibbin (sebutan bagi para pecinta ulama): "Bagaimana pendapat anda tentang Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan para pengikutnya?"


فأجبته بقولي : سماحة الشيخ تقي الدين النبهاني عالم علامة مجتهد مجدد مصنف رضي الله عنه ورحمه وقد ترجمته في حاشية ترجمتي لجده لأمه الشيخ يوسف بن اسماعيل النبهاني بالجزء الثاني من "التشنيف" ( 2/ 662-669).


Maka aku menjawabnya dengan berkata: "Yang Mulia Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang ulama yang sangat tinggi ilmunya, seorang mujtahid, seorang mujaddid, sekaligus seorang penulis. Semoga Allah meridhai dan merahmati beliau. Sudah saya jelaskan biografi beliau di hasyiyah (catatan kaki) saat menjelaskan biografi kakek beliau dari jalur Ibu. Yaitu Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, tepatnya di juz dua dari kitab At-Tasynîf halaman 662-669."


ثم قال السائل : هل الشيخ تقي الدين النبهاني من أهل السنة شيخي الحبيب ؟


Lalu si Penanya berkata: "Wahai Guruku tercinta, apakah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani itu tergolong Ahlussunnah?"


فقلت : نعم هو من أجل وأفضل علماء أهل السنة وكان داعيا للتقريب على بصيرة.


Aku jawab: "Ya, beliau termasuk ulama besar Ahlussunnah yang terkemuka. Beliau juga termasuk juru dakwah yang mengajak kepada persatuan dengan berdasarkan ilmu."


وزدت هنا : كان رحمه لله تعالى عالما عاملا فردا في بابه، ذا استقلالية في الفكر لايقلد في الأصلين فضلا عن الفروع ،


Dan di sini aku tambahkan: "Beliau -semoga Allah merahmati- adalah seorang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, satu-satunya ahli di bidangnya, memiliki independensi dalam berfikir, tidak ber-taqlid dalam dua bidang ushul (ushuluddin dan ushulul fiqh), apalagi dalam perkara furu'.


وله مصنفات نافعة جدا منها كتابه الكبير " الشخصية الإسلامية " في ثلاثة مجلدات . و" نظام الإسلام " ، والنظام الإجتماعي في الإسلام " ، و" النظام الإقتصادي في الإسلام" ، و" التفكير" ، و" مفاهيم سياسية " وغير ذلك .


Beliau juga memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat. Diantaranya adalah kitab beliau yang tebal Asy-syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (Kepribadian Islam) yang terdiri dari tiga jilid, Nizhâmul Islam (Aturan Hidup Islam), an-Nizhâm al-Ijtimâ'i fil Islâm (Sistem Pergaulan Islam), an-Nizhâm al-Iqtishâdi fil Islâm (Sistem Ekonomi Islam), at-Tafkîr (Perihal Berfikir), Mafâhîm Siyâsiyyah (Konsepsi-konsepsi Politik), dan lain-lain.


وهو صاحب مشروع إسلامي واضح المعالم . وكان من أجل الدعاة للإسلام على نور وبصيرة ، وفي اتباعه علماء وطلبة علم ودعاة .


Beliau adalah seorang konseptor Islami yang memiliki pandangan jelas. Beliau termasuk pengemban dakwah yang mengajak kepada Islam berdasarkan cahaya dan ilmu. Diantara pengikut beliau ada para ulama, para pelajar, dan para pengemban dakwah.


وقال لي صديقي السَّيدُ يوسفُ الرِّفاعيُّ الكويتيُّ: "التقيتُ بالشيخ تقيِّ الدين النبهانيِّ، وكان له عقلٌ لو وُزِّع على المسلمين المعاصرين لكفاهم".


Sahabatku as-Sayyid Yusuf ar-Rifa'i al-Kuwaiti pernah berkata kepadaku: "Aku pernah bertemu dengan Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau memiliki kepandaian yang apabila dibagikan kepada seluruh kaum muslimin yang hidup saat ini, niscaya mencukupi (menjadikan mereka pandai -penj.)."


وقد ظلم في حياته وبعد وفاته . ولد في بلدة " إجزم " من قضاء حيفا الإسلامية المحتلة سنة 1328 ، وتوفي ببيروت سنة 1398، ودُفن بمقبرة الأوزاعيِّ رحمه الله تعالى.


Sungguh beliau telah terzalimi semasa hidupnya dan setelah wafatnya. Beliau terlahir di daerah Ijzim yang masuk wilayah Haifa yang dikuasai penjajah pada tahun 1328. Beliau wafat di Beirut pada tahun 1398, dan dimakamkan di pemakaman al-Auza'i, semoga Allah merahmati beliau.


Alih bahasa: Azizi Fathoni


Nb. Silahkan dishare, Syaikh Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah- sudah mengizinkan.


Malang. 20 Juli 2020.


اللهم اهدنا جميعا إلى صراطك المستقيم ودينك القيم دائما أبدا اللهم آمين يا رب 


اللهم اجعلنا من التوابين ومن المتطهرين ومن عبادك الصالحين ندعو لوالدينا دائما أبدا اللهم آمين يا رب 


ربنا اغفر لنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغارا دائما أبدا اللهم آمين يارب


ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما دائما أبدا اللهم آمين يارب


الله يكرمكم ويكرمنا جميعا دائما أبدا


ما شاء الله الله أكبر


لا حول و لا قوة إلا بالله العلي العظيم


الحمد لله على كل نعمة و في كل حال


بارك الله فيكم و في ميزان حسناتكم


 اللهم صَل وسلم وبارك على سيد خلقك خيره وأفضله وأشرفه في العالمين و في الدنيا والآخرة أشرف الأنبياء وإمام المرسلين نبينا وحبيبنا وشفيعنا وولينا ومولانا وسيدنا المصطفى المحتار الأخيار المجتبى محمد بن عبدالله رسولك الكريم وعبدك وعلى آله كما صليت وباركت على خليلنا وولينا ومولانا وسيدنا إبراهيم وعلى آله في العالمين إنك حميد مجيد 


Friday, September 3, 2021

Pemikiran cemerlang



"PEMIKIRAN CEMERLANG " 

(yuk NGAJI MENGKAJI)

Oleh : Asma' Jundullah [Pembelajar]


Taukah kamu apa itu pemikiran ?


Pemikiran dibagi menjadi tiga, yaitu:


1. Pemikiran dangkal (al fikru al sathhy) yaitu melihat sesuatu kemudian menilainya tanpa adanya pemahaman.


2. Pemikiran mendalam (al fikru al ‘amiq) yaitu melihat sesuatu kemudian memahaminya, setelah itu baru menilai.


3. Pemikiran cemerlang (al fikru al mustanir) yaitu melihat sesuatu, lalu memahaminya dan memahami segala hal yang terkait dengannya, kemudian baru menilai.


Contoh berikut ini dapat digunakan untuk menjelaskan tiga macam pemikiran di atas, yaitu ketika manusia melihat pohon kismis yang memiliki daun dan berbuah. Orang akan menemukan bahwa pohon tersebut memiliki buah, daun dan kayu. Ketika melihat daun yang menghiasi pohon itu, orang memberikan penilaian bahwa manfaat daun hanyalah untuk hiasan pohon. Pandangan ini adalah pengambilan kesimpulan tanpa berpikir terlebih dahulu tentang daun, dan ini akan mengantarkan pada pemberian penilaian yang tergesa-gesa. Ini adalah penilaian yang dangkal.


Adapun jika disodorkan daun kismis kepada pakar biologi, kemudian ia membawanya ke laboratorium dan melakukan penelitian (al ikhtibar), akan dilihat bahwa daun tadi mengandung stomata (ri’ah tanaffusiyyah) yang berfungsi mengambil karbon dari udara, dan mengandung klorofil (yakhdlur) yang berputar pada daun seperti berputarnya mesin mobil, serta mengandung pembuluh kecil (al ‘uruq) yang menghubungkan daun dengan ranting, agar bisa berkembang. Kemudian akibat dari proses yang berlangsung pada seluruh unsur di daun dan bekerja dengan tugasnya masing-masing, akan menyebabkan biji kismis bertambah manis dan berkembang. Melakukan penelitian yang rinci tentang daun akan mengantarkan pada penilaian yang mendalam tentang daun. Jadi, ini adalah penilaian yang mendalam.


Akan tetapi, jika orang yang mengkaji, setelah melakukan penelitian terhadap daun kismis, juga mengkaji seluruh hubungan yang terkait dengannya, sehingga tidak ada satu pun aspek interaksi yang ditinggalkan dalam penelitiannya —dia melakukan penelitian dan mengetahui semua— maka akan tampak baginya rahasia-rahasia ciptaan dalam daun, hukum-hukum dan aturan-aturan yang terdapat di dalam daun. Penilaian ini datang dari pemikiran yang cemerlang. Adapun jika orang hanya berhenti pada kekaguman terhadap keindahan daun yang menghiasi seluruh pohon tadi, maka orang tersebut masih terbatas pada pemikiran yang dangkal, dan sudah pasti orang ini tidak memiliki pemikiran yang cemerlang, karena pemikiran cemerlang harus didahului dengan pemikiran yang mendalam.


Pemikiran dangkal terjadi karena adanya transfer fakta ke otak tanpa usaha untuk mengindra apa yang berhubungan dengannya, dan tanpa mengaitkan pengindraan dengan ma’lumat yang berhubungan dengannya. Akibatnya, dihasilkan penilaian yang dangkal. Dan, pemikiran seperti ini biasanya terjadi pada orang-orang yang yang terbelakang dan pada orang-orang bodoh; tidak terdidik dan tidak terbina.


Penyelesaian atau paling tidak mengurangi pemikiran yang dangkal, dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu: Pertama, dengan menghilangkan kebiasaan berpikir dangkal yang dimilikinya, kemudian mengajari dan mendidik mereka dengan pemikiran yang lebih tinggi. Kedua, dengan memperbanyak latihan untuk mereka dan menghadapkan dengan realita sebenarnya. Ketiga, mengharuskan mereka hidup dalam kehidupan yang sebenarnya (live in). Dengan ini, akan meningkatkan pola berpikir mereka.


Jika orang yang memiliki pemikiran mendalam banyak di tengah-tengah umat, maka menggandeng tangannya untuk “bangkit” lebih mudah. Orang-orang ini, jika hidup di tengah-tengah umat, walau memiliki informasi yang terbatas, dan mengindra satu atau beberapa realita yang ada serta hidup di masa yang sama, mereka akan mampu memajukan umatnya. Mereka mampu mentransformasi umat dari satu keadaan ke keadaan yang lebih baik, mereka mampu menggambarkan kehidupan dengan gambaran yang faktual, karena mereka memiliki pemikiran yang benar dan pendapat yang shahih. Mereka memiliki al ihsas al fikri, yakni pemahaman yang dihasilkan dari pengindraan. Meskipun memiliki indra dan otak yang sama dengan orang biasa, karakteristik pengaitan yang terdapat pada otaknya lebih kuat, yang itu merupakan keunggulannya. Mereka mampu mengaitkan pengindraan dengan al ma’lumat al tsabiqah dengan benar. Artinya, pemikirannya adalah pemikiran unik yang berbeda dengan yang lain (al mutamayyiz). Memiliki al ihsas al fikri, yang menjadikan mantiqul ihsas-nya tinggi. Oleh karena itu, harus diupayakan pengentasan orang-orang yang berpikiran dangkal, sehingga di tengah-tengah umat terdapat para pemikir yang menjadi tiang sandaran bagi umat, dan, akan mengantarkan pada jalan kemajuan dan kemuliaan. Inilah pemikiran dangkal dan cara pengentasannya.


Pemikiran yang mendalam adalah mendalam pada pengindraan realita dan ma’lumat yang dikaitkan dengan pengindraan untuk memahami realita. Orang yang memiliki pemikiran yang mendalam, tidak akan cukup hanya dengan mengindra atau dengan memiliki al ma’lumat al tsabiqah saja, seperti orang yang berpikiran dangkal. Ia selalu mengulang-ulangpengindraan terhadap realita dan berusaha melakukan pengindraan seoptimal mungkin, dengan cara penelitian. Ia selalu mencari informasi yang valid dan bervariasi, dan mengulang pengaitan antara informasi dan realita sebanyak-banyaknya. Pemikiran mendalam tidak cukup hanya dengan mengindra sekali, lebih dari satu ma’lumat, pengaitan berulang-ulang. Jadi, berpikir mendalam adalah tahap kedua atau derajat yang lebih tinggi dari berpikir dangkal. Ini adalah pemikiran para intelektual (ulama’) dan orang-orang yang mendapat predikat pemikir.


Ringkasnya, berpikir mendalam adalah mendalam dalam pengindraan, ma’lumat dan pengaitannya.


Pemikiran cemerlang adalah pemikiran mendalam ditambah dengan berpikir terhadap segala sesuatu yang terkait dengannya agar dicapai kesimpulan yang benar. Berpikir mendalam dibangkitkan oleh ke dalam pemikiran. Sementara berpikir cemerlang adalah berpikir sampai pada sisi-sisi lain dari kedalaman pemikiran, dan berpikir terhadap segala sesuatu yang terkait dengannya agar dicapai tujuan yang dimaksud, yaitu diperoleh kesimpulan yang benar. Setiap pemikiran cemerlang adalah berpikir yang mendalam, dan tidak mungkin pemikiran cemerlang dihasilkan dari berpikir yang dangkal.


Setiap pemikiran mendalam tidaklah pemikiran yang cemerlang, karena tidak mengaitkan objek yang dikaji dengan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, dan dibatasi hanya pada kerangka berpikir mendalam saja, maka itu bukanlah pemikiran yang cemerlang. Contohnya, seorang mujtahid dalam menghukumi suatu kejadian atau masalah tertentu, dia akan menggunakan pemikiran yang mendalam, mengkaji Al Qur’an dan Al sunnah dengan mendalam, untuk menyelesaikan masalah (al musykilah). Selama pandangannya masih sebatas memahami masalah, lalu memberikan hukum atas masalah itu, berarti mujtahid tersebut hanya berada dalam kerangka pemikiran yang mendalam.


Contoh lain, seorang pakar atom (‘alim al dzarrah) dalam mengkaji pembelahan atom, atau pakar kimia dalam mengkaji pengklasifikasian atom dan molekul. Mereka membahas secara mendalam, dan dengan metode pemikiran mendalam tersebut ia mampu mencapai hasil yang diinginkannya. Jika pakar atom tersebut tidak berhenti hanya sebatas membelah atom, tetapi ia tergerak untuk mengetahui interaksi atom di alam, dan dalam penyusunan benda-benda, meneliti hasil dan konsekuensi-konsekuensi dari interaksi dan penyusunan tersebut. Maka pakar atom ini telah berpikir cemerlang, tidak hanya sekedar berpikir mendalam. Setiap pemikiran mendalam tidak selalu pemikiran cemerlang. Berpikir mendalam tidak serta-merta mampu membangkitkan manusia dan mengangkat level pemikirannya, akan tetapi yang mampu membangkitkan manusia adalah kecemerlangan berpikir. Kecemerlangan berpikir akan mewujudkan ketinggian pemikiran, yang dengannya akan mengantarkan kepada kebangkitan.


Meskipun terdapat kecemerlangan berpikir belum tentu mengantarkan pada hasil yang benar, seperti pada ilmu eksak, hukum, kedokteran dan lain-lain, akan tetapi kecemerlangan berpikir secara pasti akan meningkatkan level pemikiran, dan akan melahirkan para pemikir. Oleh karena itu, untuk membangkitkan umat tidak cukup hanya dengan keberadaan ilmuwan (ilmu eksak), ahli fiqh, ahli undang-undang, dokter dan insinyur, tetapi yang terpenting harus ada kecemerlangan berpikir. Artinya, terdapat pemikir yang cemerlang.


Oleh karena itu, secara pasti dapat dikatakan, bahwa jalan lurus yang harus ditempuh manusia adalah jalan pemikiran yang cemerlang, yang akan merealisasikan kebangkitan pemikiran yang shahih.


Itulah macam-macam pemikiran. Kita dapat menggunakan berbagai pemikiran yang ada untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmani. Akan tetapi, metode pemenuhannya berbeda-beda menurut aktifitas dan jenis berpikirnya. Jika kita memperhatikan perbedaan antara manusia dan hewan, kita akan mendapati bahwa manusia selalu dinamis (ibda’), semakin tingi (irtiqa’) dan maju (taqaddum) secara kontinyu, sedangkan hewan statis dengan keadaannya. Hewan juga mencari sarana-sarana untuk memenuhi naluri dan kebutuhannya seperti manusia, hanya saja, pencariannya sekedar untuk memenuhi naluri dan kebutuhannya, sedangkan cara mendapatkan dengan sarana apa —meskipun jenisnya berbeda— hewan tidak memperhatikannya, sebab telah terealisasi kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani maupun nalurinya.


Manusia selalu mencari hasil yang lebih tinggi dalam perjalanan hidupnya, sehingga mereka selalu berjuang untuknya, yang kesemuanya sangat bergantung pada pengalaman dan lingkungan masyarakatnya.


Manusia berbeda dengan hewan, dalam kemampuan mengaitkan realita dan informasi. Manusia memiliki kemampuan, sedangkan hewan tidak.


Tanpa adanya pengaitan antara al ma’lumat al tsabiqah dengan realita, tidak akan pernah ada kemajuan. Pemikiran yang cemerlang adalah dasar pijakan munculnya pertanyaan-pertanyaan: Dari mana saya? Kenapa saya ada? Dan, kemana saya akan kembali?


Pemikiran yang cemerlang akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan jawaban yang memuaskan akal, menentramkan hati dan menenangkan jiwa. Kita harus menggunakan aktivitas berpikir dengan metode aqliyah, bukan dengan metode ilmiah. Manusia tidak bisa dijadikan kelinci percobaan di laboratorium, karena manusia bukan materi yang bisa dicairkan atau dipecah. Kita harus dapat menyimpulkan ketiga pertanyaan di atas, yakni kita harus memahami hakikat, eksistensi dan peran kita di dunia. Hakikat utama dan terpenting adalah kita tertunjuki iman kepada Allah SWT. Akan tetapi, sebelum kita bertolak untuk menggapai petunjuk keimanan pada hakikat eksistensi Allah SWT dengan metode pemikiran yang cemerlang, kita harus melakukan petualangan pemikiran (jaulah fikriyah) pada alam semesta, manusia dan kehidupan dengan pemikiran yang mendalam agar kita mengetahui hakikat manusia, sehingga pijakan kita adalah pijakan yang selamat dan dibangun berdasar pemikiran yang cemerlang.


Petualangan Pemikiran


Keimanan kepada Al Khaliq, menggapai petunjuk cahaya keagungan-Nya dan kebesaran kekuasaan-Nya adalah masalah utama dan mutiara yang ada di hadapan manusia sejak terbuka hatinya. Setiap saat, kita mempunyai waktu untuk menyaksikan, meneliti, memperhatikan dan menyelidiki yang dapat mengantarkan kepada petunjuk hakikat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah menciptakan manusia dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, seperti air (al maa’), udara (al hawa’), tanah (al turaab), tumbuh-tumbuhan (al syajar), tanaman (al nabat), hewan, dan zat-zat padat (al jamad). Dialah yang menciptakan alam raya yang membentang luas ini.


Hingga saat ini, temuan ilmiah yang telah dihasilkan manusia banyak sekali, bahkan sampai tidak terhitung jumlahnya. Terkadang, hasil temuannya masih terbatas pada sesuatu untuk pijakan penemuan selanjutnya, atau sudah mampu membongkar rahasia keingintahuan manusia.


Akan tetapi, ilmu pengetahuan yang banyak tersebut belum bisa menetapkan darimana segala sesuatu itu berasal, baik yang hidup atau yang mati. Eksistensi segala sesuatu tersebut tegak di atas aturan yang sangat rinci, meyakinkan dan hukum yang sangat serasi dan indah. Sehingga kalaupun terdapat perubahan, justru menguatkan hukum-hukum dan aturan-aturan itu. Tidak mungkin ada yang mampu menyalahi perputaran perjalanan alami keberadaan benda, tetapi semuanya tunduk dan berjalan dengan pengendalian Zat Yang Maha Sadar dan Maha Merencanakan, dengan pengaturan yang meyakinkan. Dialah yang menciptakan, menegakkan dan menyempurnakan segala sesuatu.


Ilmuwan —ketika berhasil menyingkap hakikat hukum alam— pasti akan memproklamirkan keimanannya yang benar terhadap keagungan kekuasaan Sang Pencipta, Sang Penyempurna, dan Sang Pengatur alam. Bentuk apa pun yang dikehendaki akan disusun-Nya, keadaan apa pun yang diinginkan akan dibuat oleh-Nya.


Marilah berpetualang dengan merenung dan berpikir yang mendalam tentang kehidupan, manusia, dan alam semesta! Untuk mengetahui sekelumit temuan-temuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan temuan-temuannya tidak hanya mengungkap misteri dan rahasia alam saja, tetapi akan menunjukkan pada hukum-hukum penciptaan dan kekuatan dalam pengaturan. Tidak mungkin manusia —setinggi apa pun ilmu pengetahuannya— mampu membuat dan menetapkan yang sama seperti itu.


Jika telah terkuak sedikit saja misteri alam dari kajian-kajian ilmu meteorologi, biologi, fisika, kimia, astronomi, dan kedokteran, maka akan menampakkan keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan yang menunjukkan hakikat Sang Pencipta (Al Khaliq), keagungan Uluhiyah, dan kebesaran Rububiyah-Nya.


Adalah suatu ketetapan yang tak terbantahkan adanya keselarasan temuan-temuan ilmiah dengan keimanan. Keduanya saling mengokohkan dalam memahami berbagai hakikat.


Untuk membuktikannya marilah kita telusuri berbagai kitab-kitab ilmiah, yang darinya kita akan meneguk pandangan yang mendalam. Agar jalan yang kita tapaki untuk menuju keimanan terhadap Allah SWT tertunjuki melalui pemikiran yang cemerlang. Juga, agar tertancapnya titik terang yang kita ketahui, akan mengantarkan kepada tujuan yang dicita-citakan,dengan suatu anggapan bahwa tidak mungkin memuat kajian-kajian dan temuan-temuan secara total karena itu akan menelan berjuta-juta jilid buku, dan akan menghabiskan lahan untuk perpustakaan. Marilah kita berpetualang! yuk NGAJI DAN MENGKAJI


Wallahu alam bisshowab


Sumber : dari Kitab Thariiqul iiman

Tuesday, August 31, 2021

Adakah Hizbut Tahrir termasuk Asy’ariyyah dalam masalah akidah atau apakah Hizbut Tahrir mempunyai fahaman yang khusus dalam masalah akidah?

 𝐒𝐨𝐚𝐥-𝐉𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐀𝐦𝐢𝐫 𝐇𝐢𝐳𝐛𝐮𝐭 𝐓𝐚𝐡𝐫𝐢𝐫: 

𝐀𝐝𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐇𝐢𝐳𝐛𝐮𝐭 𝐓𝐚𝐡𝐫𝐢𝐫 𝐓𝐞𝐫𝐦𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐀𝐬𝐲’𝐚𝐫𝐢𝐲𝐲𝐚𝐡?


Kepada: Riyadh Abu Malik


𝗦𝗼𝗮𝗹𝗮𝗻:


Semoga Allah memberkati anda wahai Syeikh, dan semoga Allah memberikan kemenangan melalui tangan anda. Saya ada soalan sekiranya anda sudi menjawabnya: Adakah Hizbut Tahrir termasuk Asy’ariyyah dalam masalah akidah atau apakah Hizbut Tahrir mempunyai fahaman yang khusus dalam masalah akidah? Terima kasih.


𝗝𝗮𝘄𝗮𝗽𝗮𝗻:


Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu


Sebelum terus menjawab pertanyaan anda, sukalah saya menegaskan hal-hal berikut:


Pertama: Realiti Hizbut Tahrir


1- Hizbut Tahrir telah mentakrifkan dirinya sebagai berikut: [Hizbut Tahrir adalah parti politik yang mabda’ (ideologi)nya ialah Islam. Politik adalah kegiatannya, dan Islam adalah mabda’nya. Hizbut Tahrir melakukan aktiviti di tengah-tengah umat dan bersama dengan umat, agar umat menjadikan Islam sebagai agendanya dan untuk memimpin umat bagi mengembalikan Daulah Khilafah dan berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan. Hizbut Tahrir merupakan kutlah siyasi (kelompok politik), bukan kelompok spiritual, atau kelompok akademik, atau kelompok pendidikan, atau kelompok kebajikan. Fikrah Islam adalah roh bagi tubuh Hizbut Tahrir dan ia merupakan inti serta rahsia kehidupannya]. Jadi, berdasarkan takrifan ini, Hizbut Tahrir bukanlah madrasah fikriyyah (aliran pemikiran), bukan juga firqah kalaamiyah (kelompok teologi) dan bukan pula mazhab fiqhiyyah (aliran fiqh), tetapi Hizbut Tahrir adalah parti politik yang mentabanni isu-isu umat Islam dan mempertahankannya serta berjuang untuk menegakkan Islam dalam realiti kehidupan dan menjaganya setelah berdiri…Hizbut Tahrir mengimani akidah Islamiyyah dan menilai setiap orang yang mengimani akidah Islamiyyah sebagai saudaranya:


﴿ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ ﴾


“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” [Al-Hujurat (49): 10].


Oleh itu, Hizbut Tahrir berdiskusi dengan saudara-saudaranya dalam isu-isu khilafiah dengan cara yang baik…


2- Hizbut Tahrir mentabanni pemikiran, hukum-hukum dan pandangan-pandangan yang diperlukannya dalam rangka melakukan kegiatannya, yang terhimpun di dalam buku-buku dan penerbitan-penerbitannya…Tetapi, Hizbut Tahrir tidak membahas semua masalah dan semua idea, dan Hizbut Tahrir tidak melakukan tabanni dalam semua perkara, khususnya dalam perkara-perkara i’tiqad dan ibadah. Ini kerana, hal ini bukanlah suatu keperluan bagi Hizbut Tahrir dalam melakukan kegiatannya dalam sifatnya sebagai sebuah parti politik yang berjuang untuk membangkitkan umat dan menegakkan Daulah Khilafah, yang tegak di atas pemikiran dan perasaan umat…Sebagai contoh, Hizbut Tahrir telah mentabanni isu kemaksuman para Nabi dan Rasul, dan mentabanni isu ijtihad Nabi (saw), kerana hal ini memiliki pengaruh terhadap pemahaman tasyri’iy…tetapi Hizbut Tahrir tidak mentabanni dalam banyak masalah-masalah lainnya sebagaimana yang diharungi oleh para ulama Kalaam…


3- Hizbut Tahrir berpegang kepada kekuatan dalil, dan bukti kepada hal ini sangat ketara dalam perhatiannya yang terus menerus terhadap muraja’ah (pengulangkajian) tsaqafah-tsaqafah-nya dan apa-apa yang ditabanni-nya, dan semuanya bersandar kepada kekuatan dalil…Hizbut Tahrir melakukan pembetulan dan pengubahsuaian terhadap buku-bukunya (apabila terdapat kesilapan atau ketidaktepatan – pent.) dengan sewajarnya secara progresif. Hizbut Tahrir tidak berpegang kepada pandangan mana pun yang dalilnya terbukti lemah dan Hizbut Tahrir akan melemahkannya berbanding pandangan lainnya (yang dalilnya terbukti kuat). Malah, Hizbut Tahrir akan meninggalkan pandangan yang terbukti bagi Hizbut Tahrir akan kelemahan dalilnya dan akan mengambil pandangan yang terbukti baginya kuat (dalilnya). Hal ini amat jelas dengan melihat kepada sejumlah pembetulan dan pindaan terhadap kitab-kitabnya. Demikian juga dalam muraja’ah penuh kitab-kitabnya yang dilakukan dari semasa ke semasa…


Kedua: Sebahagian daripada kaum Muslimin menyebut aliran dan mazhab fikriyyah yang berbeza pendapat dalam pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan cabang akidah dan masalah-masalah kalaamiyah (teologis) dengan nama-nama tertentu seperti al-Asy’ariyyah yang dinisbahkan kepada Imam al-Asy’ariy (rahimahullah), al-Maturidiyyah yang dinisbahkan kepada Imam al-Maturidi (rahimahullah), as-Salafiyyah dan lain-lainnya…Mereka menyebut pandangan-pandangan Imam ini dengan lafaz “akidah” di mana mereka menyebutnya sebagai: al-Aqidah al-Asy’ariyyah, al-Aqidah al-Maturidiyyah, al-Aqidah as-Salafiyyah dan seumpamanya. Bahkan mereka menyebut perkataan-perkataan ulama tertentu dan kitab-kitab mereka sebagai akidah. Mereka menyebut: al-Aqidah ath-Thahawiyah apabila mengaitkannya dengan Imam ath-Thahawi (rahimahullah); mereka menyebut al-Aqidah al-Wasithiyyah apabila merujuk kepada surat yang ditulis oleh Imam Ibnu Taimiyah (rahimahullah) kepada penduduk Wasith…dsb.


Apa yang benar ialah, penyebutan lafaz “akidah” terhadap semua itu sesungguhnya laisa daqiiian (tidak tepat) dan tidak kena pada tempatnya, serta menimbulkan kekeliruan dan perpecahan dalam kalangan umat Islam. Ini kerana, kedudukan mazhab-mazhab terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan bersifat akidah atau keyakinan (aqadiyyah), itu bukan-lah akidah. Tetapi (yang dikatakan) akidah itu hanyalah al-Aqidah al-Islamiyah yang ditetapkan di dalam syarak dengan dalil-dalil qath’iy, dan tidak boleh ada perbezaan pendapat (ikhtilaf) di dalamnya…Atas dasar itu, tidak ada yang dinamakan sebagai al-Aqidah al-Asy’ariyyah atau al-Aqidah as-Salafiyyah atau al-Aqidah ath-Thahawiyah. Apa yang ada hanyalah al-Aqidah al-Islamiyah, sebuah akidah yang mempersatukan seluruh kaum Muslimin di mana sahaja, dengan perbezaan mazhab dan pandangan mereka. Terdapat perbezaan pandangan antara mazhab dan aliran-aliran pemikiran seperti al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah, as-Salafiyah dan lain-lainnya dalam pembahasan berkaitan perkara-perkara cabang, tetapi bukannya pada al-Aqidah al-Islamiyah. Setiap kelompok memiliki pandangannya sendiri yang tidak mengeluarkan mereka daripada akidah Islam.


Ketiga: Manhaj yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir dalam mentabanni fikrah, hukum-hukum dan pandangan-pandangan, adalah mengambil pandangan berdasarkan kepada quwwatu ad-daliil (kekuatan dalil) sama ada berupa dalil aqliy atau dalil naqliy, tanpa menoleh lagi kepada siapa yang mengatakannya. Oleh kerana itu, Hizbut Tahrir telah mentabanni dalam sebahagian masalah cabang akidah, beberapa perkara yang dikatakan oleh al-Asy’ariyah, dan mentabanni perkara-perkara lainnya yang dikatakan oleh selain al-Asy’ariyah…Dan dalam masalah-masalah syariat, Hizbut Tahrir mengambil pandangan daripada mazhab-mazhab fiqhiyah yang masyhur dan daripada yang lainnya tanpa terikat dengan mazhab tertentu…Atas dasar itu, tidak boleh dikatakan tentang Hizbut Tahrir bahawa ia adalah Syafi’iy atau Hanafi misalnya; dan juga tidak boleh dikatakan tentang Hizbut Tahrir bahawa ia adalah Asy’ariy atau Salafiy; tetapi Hizbut Tahrir adalah parti politik yang mabda’nya ialah Islam, dan Hizb mengambil pandangan-pandangan berdasarkan kekuatan dalil sesuai manhaj yang ditabanninya di dalam buku-bukunya tanpa memperhatikan lagi siapakah yang mengatakannya. Oleh itu, dalam pendapat-pendapat Hizb, terdapat sebahagian perkara yang dikatakan oleh al-Asy’ariyah, sebahagian yang dikatakan oleh as-Salafiyah, dan sebahagian yang dikatakan oleh aliran lainnya. Semua itu berdasarkan kekuatan dalil, bukan sebagai keterikatan dengan pandangan-pandangan salah satu aliran dan mengikutinya dalam manhaj, idea atau pandangannya. Hizb tidak mengiktiraf perbezaan yang terjadi (dalam masalah akidah – pent) di antara kaum Muslimin di masa lalu. Ini kerana Hizb menilai kaum Muslimin sebagai umat yang satu di sebalik perbezaan mazhab dan aliran mereka, dan Hizb menyeru mereka untuk memenuhi seruan Hizb dan berjuang bersama Hizb untuk tegaknya Islam, mengembang dakwah dan penyatuan umat Islam di bawah panji al-Khilafah al-Islamiyyah.


Saya berharap jawapan ini mencukupi.


Wallahu a’lam wa ahkam.


Saudaramu,


Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


17 Zulhijjah 1442 H


27 Julai 2021 M


 


http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/76834.html


https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2980373385541999

Monday, August 30, 2021

KHILAFAH VS DEMOKRASI

 KHILAFAH VS DEMOKRASI


Tulisan Tanggapan Untuk Chris Komari, Activist Democracy


Oleh : Ahmad Khozinudin

           Pejuang Khilafah


_"Bahkan, andai saja mitos kedaulatan rakyat itu wujud dalam realita, *tetap saja demokrasi bertentangan dengan Islam. Sebab, dalam Islam Kedaulatan ada ditangan Allah SWT, ada ditangan syariat Allah SWT"_


[Sastrawan Politik]


Pagi ini, di GWA Tokoh Nasional penulis mendapatkan artikel karya Bung Chris Komari, Activist Democracy. Di akhir artikelnya, Chris merasa putus asa dengan realitas kedaulatan rakyat yang nyatanya tak wujud dalam praktik pemerintahan.


Namun, ketika mitos kedaulatan rakyat ini tak pernah wujud buru-buru Chris membuat Postulat bahwa yang bermasalah adalah politisinya, partainya, intervensi oligarkinya, bukan sistem demokrasinya. Padahal, andai saja mitos kedaulatan rakyat itu wujud dalam realita, tetap saja demokrasi bertentangan dengan Islam. Sebab, dalam Islam Kedaulatan ada ditangan Allah SWT, ada ditangan syariat Allah SWT.


Kegagalan analisa dan basis dialektika Chris, adalah telah membuat hipotesa yang salah bahwa demokrasi dengan kedaulatan rakyat adalah sistem pemerintahan terbaik. Sehingga, ketika realitas pemerintahan dikuasai oligarki, Chris buru-buru mengkritik praktik pemerintahan dan politisi dan tetap berjibaku membela demokrasi.


Padahal, andai saja Chris mau berfikir mendalam, maka dia dan siapapun yang mendalami sistem demokrasi akan mendapatkan masalah besar sebagai berikut :


Pertama, problem intervensi kaum oligarki menguasai pemerintahan itu pintunya dari mitos kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat, maknanya rakyat sumber hukum, yang punya wewenang memerintah dan melarang, yang menghalalkan dan mengharamkan.


Melalui pintu kedaulatan rakyat inilah, kaum oligarki membajak kedaulatan rakyat dengan kekuatan kapital mereka, kemudian membuat aturan, hukum, perintah dan larangan, halal dan haram sesuai kepentingan oligarki. Rakyat yang telah dibeli kedaulatannya melalui Pemilu, dijadikan sandaran legitimasi kaum oligarki untuk memperbudak rakyat dengan dalih UU berdasarkan kedaulatan rakyat.


Sementara dalam sistem Islam yang diterapkan oleh institusi khilafah, kedaulatan ditangan Syara'. Kedaulatan Syara', maknanya Syara' dijadikan sumber hukum, yang punya wewenang memerintah dan melarang, yang menghalalkan dan mengharamkan hanyalah Allah SWT. 


Sehingga, Khalifah tidak bisa membuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan, seenak hati atau sesuai pesanan kaum oligarki. Dengan konsep kedaulatan Syara', kaum oligarki tidak bisa intervensi kekuasaan untuk memesan hukum dan peraturan yang menguntungkan mereka.


Kedua, ada kekeliruan fatal yang dilakukan oleh Chris ketika membandingkan sistem khilafah dengan demokrasi, dengan membandingkan TALIBAN dengan FINLAND, SWEDIA, DENMARK, SWITZERLAND, NEW ZEALAND, CANADA atau USA.


Perlu penulis tegaskan, bahwa Taliban yang berkuasa di Afghanistan bukan Khilafah. Mereka menamakan dirinya sebagai Imarah Islam Afghanistan.


Afghanistan yang dikuasai Taliban memang berpotensi menjadi Khilafah. Namun, sampai saat ini Taliban bukan Khilafah.


Jadi, bukanlah perbandingan yang Apple to Apple membandingkan TALIBAN dengan FINLAND, SWEDIA, DENMARK, SWITZERLAND, NEW ZEALAND, CANADA atau USA.


Kalau mau fair, semestinya FINLAND, SWEDIA, DENMARK, SWITZERLAND, NEW ZEALAND, CANADA atau USA diperbandingkan dengan Kekhilafahan Abu Bakar, Kekhilafahan kulafaur Rasyidin, atau minimal Khilafah Bani Umayyah, Khilafah Bani Abbasiyah, atau Khilafah Turki Utsmani.


Kalau perbandingannya demikian, jelas Amerika tidak ada seujung kuku pun keutamaannya dengan Kekhilafahan Islam yang pernah eksis dimasa lalu. Belum pernah ada kekuasaan yang memimpin peradaban dunia menjadi agung, seperti yang telah dilakukan oleh Khilafah.


Ketiga, Chris tak mampu membedakan antara norma Khilafah yang dibahas di banyak kitab fiqh Islam dengan realitas praktik kekhilafahan. Norma adalah konsep, sementara praktik adalah aplikasi.


Jika ada perbedaan, tentu semua dikembalikan kepada konsep sebab aplikasi bisa saja terjadi penyimpangan-penyimpangan dari norma atau konsepnya. Pembunuhan John F Kennedy tentu bertentangan dengan demokrasi yang diagungkan barat, tapi tak ada satupun yang mempersoalkan demokrasi karena fakta pembunuhan John F Kennedy.


Keempat, Khilafah telah lama runtuh (tahun 1924), tentu realitas pemerintahan Islam sudah banyak yang hilang dari benak kaum muslimin. kemudian, Chris menjadikan realitas politik kekinian untuk mengasumsikan realitas pemerintahan Islam baik sejak rekrutmen hingga pelaksanaan kekuasaan.


Karena hal inilah, kita semua wajib merujuk dalil bukan fakta apalagi fakta politik demokrasi untuk mengasumsikan sistem Khilafah. Untuk hal yang satu ini, penulis kira Chris harus bersabar dan banyak belajar kepada aktivis Khilafah, tentang apa dan bagaimana realitas sistem Khilafah.


Yang jelas, khilafah yang dijanjikan Rasulullah Saw dan diperjuangkan kaum muslimin saat ini adalah Khilafah ala minhajin nubuwah. Bukan Khilafah ala Turki, Khilafah ala Saudi, Khilafah ala Iran, apalagi Khilafah ala demokrasi. [].

Friday, August 27, 2021

PANCASILA DAN NKRI HARGA MATI

 *PANCASILA DAN NKRI HARGA MATI ?*


Oleh : Nasrudin Joha


Salah satu argumentasi para penolak syariat, penolak hukum Allah SWT, adalah tuduhan bahwa syariat Islam akan memecah belah, syariat akan merusak, syariat akan menghapus bangsa ini. Mereka, kemudian berdalih bahwa Pancasila dan NKRI harga mati.


Padahal, saat ini negara berbentuk NKRI, Pancasila sedang dan terus diterapkan, namun faktanya Timor Timur lepas, Sipadan dan Ligitan juga diambil Malaysia. Berarti, Pancasila dan NKRI juga tak menjamin negeri ini tidak terpecah belah, dikerat-kerat musuh.


Saat ini kondisi negeri juga rusak parah, zina merebak, korupsi makin menjadi, perpecahan ditengah masyarakat, ekonomi ambruk, hukum acak kadul. Padahal syariat Islam tidak diterapkan, Pancasila yang di banggakan. Berarti, bukan syariat Islam yang merusak bangsa ini.


Pancasila dan NKRI harga mati juga hanya slogan kosong. Jika yang dimaksud 'harga mati' itu sesuatu yang tidak bisa ditawar, tidak bisa dirubah, faktanya Pancasila dan NKRI bisa ditawar dan berubah. Pancasila bisa diperas menjadi Trisila bahkan hingga Ekasila, dengan substansi ajaran gotong royong. Sementara, negara kesatuan juga pernah berubah menjadi negara serikat saat negeri ini mengubah konstitusi menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).


Lalu dimana letak Pancasila dan NKRI harga mati ? Apakah maksudnya itu Islam tidak boleh mengatur negeri ini ? Hukum Allah SWT haram diterapkan di negeri ini ?


Apakah maksudnya korupsi tidak boleh diberantas ? Zina harga mati dan tak boleh diberantas ? Riba harga mati, tak boleh negara dikelola tanpa riba ? Penjajahan asing dan aseng melalui penguasaan SDA tidak boleh diusir ?


Umat Islam dan hanya umat Islam yang berjuang ingin memperbaiki negeri ini, dengan Islam. Umat Islam, ingin menyelamatkan negeri ini dengan Islam. Kenapa dihalangi ? Kenapa dituding anti Pancasila dan anti NKRI ?


Kalau sosialisme dan kapitalisme boleh mengatur negeri ini, kenapa Islam tidak boleh ? Bukankah, negeri ini mayoritas muslim ? 


Jika umat Islam yakin hanya hukum Allah SWT yang terbaik, berusaha menerapkan secara damai, kenapa dihalangi ? Komunisme yang pernah dipaksakan dengan kekerasan di negeri ini, nyatanya tidak dikekang sebagaimana Islam dipenjara syariatnya di negeri ini.


Bendera tauhid, ajaran Islam khilafah, dipersoalkan dengan dalih Pancasila harga mati, NKRI harga mati. Sementara, simbol palu arit, kemaksiatan, perzinahan, korupsi, penjajahan, tidak pernah dituding anti NKRI, tidak dituding anti Pancasila. 


Sudahlah, kami umat Islam paham ada apa dibalik slogan kosong Pancasila dan NKRI harga mati. Slogan ini, ingin menghalangi syariat Islam mengatur negeri ini. Slogan ini, dijadikan tameng agar sekulerisme, kapitalisme dan demokrasi tetap menjajah negeri ini.


Slogan ini sengaja dipasang barat penjajah, menggunakan anteknya untuk menghalangi kebangkitan Islam. Insyaallah, umat ini sadar dan paham, tidak akan mau diadu domba barat penjajah, baik Amerika maupun China. 


Era Kebangkitan Islam, insyaAllah akan dimulai dari negeri ini. [].

Sunday, August 22, 2021

Kenapa harus khilafah ?

 KENAPA HARUS KHILAFAH?

Ust.Aziz Fathoni.


1. Karena Khilafah itu ajaran Islam, bukan tradisi Arab atau ajaran dari luar Islam


فكان مما سألني عنه الخلافة هل لها أصل في الشرع ووردت بها الأحاديث أو هي أمر عرفي اصطلح عليه الناس؟ فقلت: سبحان الله ومثل هذا يجهل حتى يسئل عنه. الخلافة ركن عظيم من أركان الإسلام أكدها الشرع ووردت بها الأحاديث والأخبار.


"Dan di antara yang ditanyakan kepadaku adalah soal khilafah, apakah ia memiliki dasar di dalam syariat Islam dan dimuat di hadits-hadits Nabi, ataukah ia sekedar tradisi yang dibuat oleh orang-orang? 

Maka aku jawab: Subhanallah, hal begini saja tidak tahu sampai ditanyakan!? Khilafah adalah sebuah ajaran pokok yang agung di antara ajaran-ajaran pokok di dalam Islam, yang telah ditegaskan oleh syara' dan dimuat oleh banyak hadits dan khabar." 

As-Suyuthi Asy-Syafi'i, Al-Inâfah fî Ratbatil Khilâfah


2. Bahkan Ajaran Islam yang hukumnya wajib, bukan ajaran yang sunnah atau sekedar perkara mubah


{ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻣﺎﻡ ﻳﻨﺼﺐ # وما على الإله شيء يجب }


"Mengangkat seorang Imam/Khalifah itu hukumnya wajib atas kaum muslim, dan Allah itu tidak dibebani suatu kewajiban apapun." 

Ibn Raslan Asy-Syafi'i, Shafwah Az-Zubad


3. Bahkan wajibnya wajib syar'ie yang jika ditinggalkan akan berdampak dosa di akhirat, bukan sebatas wajib 'aqli yang hanya berdampak malu di dunia


ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﺼﺐ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﻭﺟﻮﺑﻪ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ﻻ ﺑﺎﻟﻌﻘﻞ


"Mereka (umat Islam) juga telah ber-konsensus (ijmak) bahwa kaum muslim itu wajib mengangkat seorang khalifah, dan kewajiban tersebut berdasarkan syara' bukan berdasarkan akal."

An-Nawawi Asy-Syafi'i, Syarah Shahih Muslim


4. Bahkan wajib syar'ie nya yang bersifat kifa'ie (fardhu kifayah). Bila ditinggalkan dosanya ditanggung oleh seluruh umat Islam; tidak sebatas wajib 'ain yang bila ditinggalkan dosanya hanya ditanggung oleh yang meninggalkan saja


اﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ


"Imamah/khilafah itu hukumnya Fardhu Kifayah"

Asy-Syirazi Asy-Syafi'i, At-Tanbih fi al-Fiqh asy-Syafi'i


5. Bahkan kewajiban kifa'i yang disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq 'alayh), bukan kewajiban yang diperselisihkan (mukhtalaf fiyhi)


أجمعت الأمة قاطبة إلا من لا يعتد بخلافه على وجوب نصب الأمام على الإطلاق


Umat Islam seluruhnya telah bersepakat (ijma') -kecuali mereka yang tidak diperhitungkan pendapatnya- atas wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah secara mutlak."

Al-Qal'i Asy-Syafi'i, Tahdzib Ar-Riyasah wa Tartib As-Siyasah 


6. Bahkan kewajiban yang disepakati yang dalilnya qath'ie. Yaitu berupa ijma' sahabat yang sampai secara mutawatir. Bukan kewajiban yang dasarnya sebatas dalil zhanni.


ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ اﻟﺪﻟﻴﻞ الحق اﻟﻘﺎﻃﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻗﻴﺎﻡ اﻹﻣﺎﻡ واتباعه ﺷﺮﻋﺎ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ اﻟﺼﺪﺭ اﻷﻭﻝ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﻨﺎﻉ ﺧﻠﻮ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻦ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﺇﻣﺎﻡ


"Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama'ah) berpendapat: dalil yang haq serta kebenarannya pasti (qath'i) tentang wajib syar'i nya mewujudkan serta menaati seorang imam/khalifah adalah riwayat mutawatir tentang terjadinya ijmak (konsensus) kaum muslim di periode awal pasca wafatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- untuk tidak membiarkan terjadi masa kekosongan dari seorang imam/khalifah." 

Al-Amidi Asy-Syafi'i, Ghayah Al-Maram fi 'Ilm Al-Kalam


7. Bahkan kewajiban yang mendesak dan prioritas, karena terkait banyak kewajiban dan besarnya madharat akibat ketiadaannya.


ﻓﻜﺎﻥ ﻭﺟﻮﺏ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻣﻦ ﺿﺮﻭﺭﻳﺎﺕ اﻟﺸﺮﻉ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺳﺒﻴﻞ ﺇﻟﻰ ﺗﺮﻛﻪ


"...., maka kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah ini termasuk perkara syara' yang sangat penting (dharûriyât asy-syar') yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali."

Al-Ghazali Asy-Syafi'i, Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad


ﺣﺘﻰ ﺟﻌﻠﻮﻩ ﺃﻫﻢ اﻟﻮاﺟﺒﺎﺕ ﻭﻗﺪﻣﻮﻩ ﻋﻠﻰ ﺩﻓﻨﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ.   


Sampai-sampai mereka (para sahabat) menganggapnya sebagai kewajiban yang paling prioritas, dan mendahulukannya daripada memakamkan Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam."

Syamsuddin Ar-Ramli, Ghâyah Al-Bayân Syarh Zubad Ibn Raslân. Juga Abu Al-Fadhal As-Sinori, Ad-Durr Al-Farîd. 


8. Bahkan kewajiban yang sedang tidak terlaksana, bukan kewajiban kifa'ie yang sudah sedang terlaksana


الواجب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه


Wajib adalah Perkara yang apabila dilakukan mendatangkan pahala, dan apabila ditinggalkan mengakibatkan siksa


9. Bahkan tidak terlaksana sejak lama (hingga 100 tahun lamanya), bukan hanya ditinggalkan sesaat dan segera bertaubat


قال يحيى بن معاذ: من أعظم الاغترار عندي -ذكر منها- التمادي في الذنوب على رجاء العفو من غير ندامة، 


Yahya bin Mu'adz: "Tertipu yang paling besar menurutku adalah -diantaranya- ketika seseorang terus berlarut-larut dalam dosa dengan mengharap ampunan sedangkan dia tidak menyesal/bertaubat."

Al-Ghazali Asy-Syafi'i, Ihya' Ulum Ad-Din


والتمادي على الفسق فسق


Berlarut-larut dalam kefasikan itu merupakan kefasikan itu sendiri (menambah kefasikan akibat meninggalkan kewajiban yang besar).

Ibnu Hajar al Haitami, Az Zawajir 'an Iqtirafil Kaba`ir


10. Apalagi khilafah sudah dijanjikan kedatangannya. Artinya perjuangan menegakkannya memiliki masa depan yang pasti, karena Nabi adalah pribadi yang ash-shadiqul wa'dil amin, dan Allah itu laa yukhliful mi'ad


ثم تكون خلافة على منهاج النبوة


"Kemudian akan berlangsung kekhilafahan di atas metode kenabian". 

HR. Ahmad - shahih


Jadi kenapa harus khilafah? 


Yaitu karena Khilafah adalah ajaran Islam yang hukumnya wajib, yang wajibnya wajib syar'ie dan bersifat kifa'ie (fardhu kifayah), yang disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq 'alayh) dan dalilnya qath'ie, yang bersifat mendesak (min dharuriyatisy syar'ie) dan prioritas (ahammul wâjibât), yang sudah dan sedang tidak terlaksana sejak lama (hingga 100 tahun lamanya)! Selain juga dijanjikan akan kemunculannya di akhir masa.


Semoga kita termasuk yang berusaha memperjuangkan dan mengalami keberlangsungannya.. aamiin


ust. Aziz Fathoni


#100TahunTanpaKhilafah

#ReturnTheKhilafah

Thursday, August 19, 2021

PESAN HTA kepada Mujahid taliban

 HIZBUT TAHRIR AFGHANISTAN MEMBERIKAN PESAN KEPADA MUJAHID TALIBAN DIKUTIP DARI MAKHTABAH PUSAT HIZBUT TAHRIR AFGHANISTAN.


Afghanistan Sedang Dalam Ujian Sejarah Antara Khilafah atau Sistem Manusia

Perkembangan yang cepat dan tak terduga sekali lagi telah menempatkan Afghanistan di jalur bagi berbagai faksi politik, pemimpin etnis dan orang-orang berpengaruh untuk memutuskan sistem masa depan Afghanistan.


Kantor Pers Hizbut Tahrir-Afghanistan mencatat untuk semua pemimpin politik, etnis berpengaruh, mantan Mujahidin, kelompok, orang kuat dan orang-orang kuat bahwa Afghanistan berada dalam kesempatan yang sangat bersejarah dan sedang berjuang dengan dua pilihan besar: pilihan pertama, mendirikan agama Tuhan dan mendirikan Khilafah dan pilihan kedua adalah pergi ke sistem manusia dan mengulangi pengalaman pahit masa lalu.


Saat ini, Amerika Serikat, Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan negara-negara kawasan sedang berkonsultasi dengan berbagai partai politik tentang desain sistem partisipatif yang memiliki akhiran Islam dan menganut hukum internasional, terbatas pada batas-batas negara yang merupakan campuran sekularisme dan Islam. Sistem Afganistan ke depan harus diterima oleh masyarakat internasional. Sebuah sistem di mana angka-angka telah berubah, tetapi hukum, fondasi sistem dan strukturnya tetap ada. Meraih salinan semacam itu selama beberapa dekade terakhir telah menjerumuskan Afghanistan ke ambang perang saudara, kehancuran, dan kekacauan politik.


Di sisi lain, keinginan mayoritas umat Islam Afghanistan adalah mendirikan negara Islam dan pemerintahan Islam. Sebuah kesempatan yang telah diperoleh setelah bertahun-tahun perjuangan intelektual, politik dan militer melawan penjajah dan tidak boleh dilewatkan dengan penyederhanaan dan tawar-menawar. Seperti beberapa kali kalah sebelumnya karena kesalahan partai politik dan orang-orang berpengaruh.


Hizbut Tahrir sekali lagi dengan tulus menyerukan kepada semua pemimpin politik, pengaruh suku dan kelompok untuk secara tegas menolak proposal AS, PBB dan regional untuk masa depan Afghanistan dan tidak membiarkan pengorbanan rakyat demi pemerintahan Islam untuk diperdagangkan lagi. Dan tidak mencapai hasil yang diinginkan. Sebaliknya, cobalah untuk memobilisasi energi Anda dalam rangka menegakkan agama Allah dan mendirikan khilafah, dan menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Faktanya, Afghanistan dan kawasan telah mengembangkan kapasitas intelektual, politik, ekonomi dan militer yang besar di hati mereka, dan jika agama Tuhan diterima dan diterima, insya Allah, perubahan besar akan muncul di sudut dunia ini di bawah kepemimpinan dari orang-orang yang menderita ini. Jika ada orang yang beriman pada tujuan ini dan bertahan dalam menghadapi kesulitannya dan kriteria tindakan mereka adalah hukum syariat. Tidak diragukan lagi, kesempatan untuk menjadi Ansarullah dan mendirikan agama adalah kesempatan besar bagi mereka yang ingin berjalan di jalan para Sahabat Nabi (saw) dan lebih memilih taman-taman surga daripada kesenangan duniawi yang fana. Sungguh kesempatan yang luar biasa bagi orang-orang bijak!


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَقَلْبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” [TQS. Al-Anfal : 24]


Dikutip dari : Press Release Hizbut Tahrir Afghanistan


15 Agustus 2021/ 7 Muharram 1443H


Judul asli : Afghanistan’s press release is in a historic test between establishing a caliphate and moving towards human systems, do not let the opportunity to establish a caliphate be wasted (Afganistan sedang dalam ujian sejarah antara mendirikan khilafah dan bergerak menuju sistem manusia, jangan sampai kesempatan mendirikan khilafah disia-siakan)


Sumber : http://hizb-afghanistan.org/topic/content.aspx?id=11007