Saturday, December 14, 2019

JANJI ITU DIKHIANATI

JANJI ITU DIKHIANATI
.
.
Sekitar 550 orang berkumpul di dalam Gedung Merdeka, Bandung pada 10 November 1956. Dalam bangunan klasik dua tingkat berlantaikan marmer mengkilap khas kolonial _art deco,_ Presiden Soekarno melantik wakil rakyat hasil pemilu 1955 sebagai anggota Konstituante (lembaga yang membahas perubahan dasar negara dan undang-undang dasar). Pelantikan tersebut menandakan pula dimulainya sidang.
.
DIKHIANATI
.
Sidang Konstituante adalah sidang yang sangat dinanti para tokoh dan umat Islam, tak terkecuali Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953) Ki Bagoes Hadikoesoemo.
.
Sebelumnya, pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menandatangani rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara RI yang belakangan disebut sebagai Piagam Jakarta. Meski telah disahkan namun menyisakan perdebatan antara kelompok Islam di satu sisi dan kelompok sekuler dan Kristen di sisi lain terkait tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945.
.
Sedangkan anggota BPUPKI Soekarno berusaha menengahi dengan gaya kompromistis [baca: mencampurkan yang haq dan bathil]. Dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima panitia ini.”
.
Pada rapat 14 Juli, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dicoret. Jadi bunyinya hanya Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam.
.
Pendapatnya pun ditolak kelompok sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI untuk tetap menyepakati hasil 11 Juli.  Akhirnya BPUPK memutuskan tetap mencantumkan kalimat: dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Pembukaan UUD 1945.
.
Namun bukan orang sekuler kalau tidak licik. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, tanpa sidang, Soekarno dan Muhammad Hatta menghapus kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (tujuh kata).
.
Tujuh kata tersebut dihapus dengan dalih golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota Panitia Sembilan, yang terbujuk rayuan Soekarno pun melobi Ki Bagoes agar setuju tujuh kata tersebut diganti dengan Yang Maha Esa.
.
Almarhum Hussein Umar (terakhir sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapan Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu.
.
Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti enam bulan lagi MPR terbentuk, apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silakan perjuangkan di situ,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.
.
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti enam bulan lagi.
.
Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat belum juga terbentuk. Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman meninggal dalam penantian pada 1953.
.
MENAGIH JANJI
.
Dalam sidang Konstituante, Kasman mengingatkan kembali peristiwa penghapusan dan janji kepada Ki Bagoes itu. “Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikoesoemo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini,” ungkap Kasman.
.
Ia kemudian bertanya, “Saudara Ketua, secara kategoris saya ingin tanya, Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?”
.
Pada 10 Nopember 1957, giliran Pimpinan Persatuan Islam (Persis) KH Isa Anshari menyampaikan pandangannya. Ia juga mempertanyakan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dihapus. “Kalimat yang bunyinya dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, memberikan peluang dan ruang kemungkinan bagi umat Islam untuk menegakkan hukum dan syariat Islamiah dalam negara yang akan dibentuk…”
.
“…Kalimat-kalimat di atas itu berisi janji dan harapan, jaminan dan kepastian bagi segenap umat Islam, bahwa agamanya akan mendapat tempat yang wajar dalam susunan dan bidang hidup kemasyarakatan daan kenegaraan, walaupun rumusan itu belum lengkap menggambarkan ideologi Islam yang sesungguhnaya.”
.
“Akan tetapi, Saudara Ketua, rupanya jalan sejarah tidak bergerak di atas acuan piagam yang menarik-mengikat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia diumumkan tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kalimat
.
Dengan kewajiban menjakankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ditiadakan sama sekali.”
.
“Apa gerangan sebabnya, bagaimana sesungguhnya proses yang berlaku sampai terjadi yang demikian itu, hingga kini belum ada keterangan mengenai itu?”
.
“Saudara Ketua, kejadian yang mencolok mata sejarah itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Kejadian yang mencolok mata sejarah itu, dirasakan oleh umat Islam Indonesia sebagai permainan politik pat-gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan, karena jiwa toleransi mereka…”
.
“Pada saat negara kita berada dalam krisis, berada pada taraf dan tingkatan yang membahayakan, selalu pemimpin-pemimpin Islam mem-borg-kan (menggadaikan, red) umat Islam yang dipimpinnya untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia, walaupun dalam Republik Indonesia itu belum lagi berlaku ajaran dan hukum Islam,” tegasnya.
.
Dalam kesempatan sidang berikutnya, Buya Hamka mengingatkan bahwa semangat melawan penjajahan, keberanian yang timbul hingga mengobarkan semangat berani mati, syahid adalah akibat kecintaan pada Allah yang bersemayam di dalam dada, bukan Pancasila.
.
“Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai Proklamasi 17 Agustus, bukan Pancasila! Sungguh Saudara Ketua. Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum pernah dalam dada ini sekarang.”
.
“Saudara Ketua, bukanlah Pancasila, tetapi Allahu Akbar! Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini, kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat sekarang ini pun, pada hakekatnya adalah Allahu Akbar!”
.
Buya Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan mengkhianati Indonesia, malah sebaliknya, hanya meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa seperti Sultan Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Maulana Hasanuddin Banten, Pangeran Antasari dan lainnya. Menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di Konstituante, tetapi untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang. 
.
Dan pada sampai puncaknya dengan lantang dan blak-blakan Buya Hamka pun mengingatkan. “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka… ” tegasnya.
.
Tentu saja para hadirin dalam sidang Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan lelaki yang aktif di ormas Islam Muhammadiyah tersebut. “Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut,” ujar KH Irfan Hamka menceritakan ketegasan sang ayah seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.
.
DIKHIANATI LAGI
.

Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal tujuh kata tersebut. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.
.
Anehnya, meski _deadline_ masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959,  Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.[]
.
Joko Prasetyo
dari berbagai sumber
.
https://mediaumat.news/janji-itu-dikhianati/

Monday, December 9, 2019

Habib Hanif Alatas: Meninjau Ulang Fatwa "Selamat Natal" Habib Ali Aljufri

Habib Hanif Alatas: Meninjau Ulang Fatwa "Selamat Natal" Habib Ali Aljufri

Senin, 9 Desember 2019

Faktakini.net

MENINJAU ULANG FATWA “SELAMAT NATAL” HABIB ALI AL-JUFRI.

Oleh : al-Faqir Muhammad Hanif Alathas, Lc. ( ketua Umum Front Santri Indonesia )

 Hari-hari ini beredar luas video Fadhilatul Habib Ali al-Jufri – hafidzhohullah-  yang berisi fatwa beliau tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Fatwa beliau menjadi polemik serta menuai pro kontra ditengah Umat Islam Indonesia, khususnya kalangan penuntut Ilmu Agama. Awalnya alfaqir sungkan untuk ikut berkomentar dalam hal ini, karena Hb Ali adalah sosok Da'i yang tidak asing lagi kiprahnya dalam dunia dakwah.  Namun seiring derasnya pertanyaan yang masuk ke alfaqir terkait masalah tersebut, maka amanat ilmu mengharuskan alfaqir untuk menyampaikan apa yang harus disampaikan agar selamat dari ancaman Nabi saw bagi mereka yang menyembunyikan ilmu. Tentunya, tulisan ini hanyalah corat coret ilmiah, tanpa mengurangi rasa hormat, ta’dzhim dan mahabbah alfagir kepada beliau. Harap dibaca dengan seksama dan utuh, agar dapat difahami dengan baik.

1. Hb Ali al-Jufri memandang boleh mengucapkan selamat Natal, beliaupun akan mengucapkannya pada tanggal 25 desember mendatang, namun beliau menjelaskan bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat (Tahni’ah) atas hari raya orang kafir, hanya saja menurut beliau dalam mazhab Hanbali ada 3 pendapat dalam hal ini, yaitu; Harom, Makruh, Mubah. Sehingga ini menjadi khilaf yang mu’tabar dan selama khilaf mu’tabar tidak boleh di Inkari. Sejauh mana kebenaran dari penjelasan Habib Ali tersebut ?

Sudah Tepat apa yang disampaikan Hb Ali bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat hari raya bagi non Muslim, bahkan dalam Mazhab Syafi’i  muslim yang mengucapkan selamat hari raya kepada kafir dzimmi diberikan ta’ziir/sangsi [ lihat : Mughni al-Muhtaj 4/162, an-Najmu al-Wahhaj 9/244]. Semua ibaroh ulama tentang keharaman ucapan selamat natal dari berbagai refrensi otoritatif 4 mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dimuat secara akurat, gamblang dan sistematis oleh al-Allamah as-Syekh DR. Abdunnashiir Ahmad al-Malibari as-Syafi’I dalam kitabnya “Roddu al-Aughood ‘an Muwalaati al-Kuffar wa at-Tasyabbuh bihim wa Tahni’atihim bil A’yad”, terlalu Panjang jika harus saya kutip disini satu persatu.

Yang menjadi tanda tanya besar, apa benar yang Hb Ali jelaskan bahwa ada pendapat dalam mazhab hanbali yang bolehkan ucapan selamat natal ?
Beliau mengatakan bahwa pendapat tersebut  dikutip dari kitab al-Inshof karya al-Imam al-Mardaawi, berikut redaksi aslinya :   

[قوله (وفي تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم: روايتان) وأطلقهما في الهداية، والمذهب، ومسبوك الذهب، والمستوعب، والخلاصة، والكافي، والمغني، والشرح، والمحرر، والنظم، وشرح ابن منجا. إحداهما: يحرم. وهو المذهب. صححه في التصحيح. وجزم به في الوجيز، وقدمه في الفروع والرواية الثانية: لا يحرم. فيكره. وقدمه في الرعاية، والحاويين، في باب الجنائز. ولم يذكر رواية التحريم. وذكر في الرعايتين، والحاويين رواية بعدم الكراهة. فيباح وجزم به ابن عبدوس في تذكرته. وعنه: يجوز لمصلحة راجحة، كرجاء إسلامه. اختاره الشيخ تقي الدين. )الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف للمرداوي 4/ 234)]

Pada redaksi ini pengarang/muallif menjelaskan tentang hukum Tahni’ah ( beri ucapan selamat ) kepada orang kafir Dzimmi, begitu pula hukum bertakziah dan menjenguk mereka ketika mereka sakit, dalam hal ini ada tiga pendapat dalam mazhab Hanbali; Haram, Makruh dan Mubah. Pendapat ketiga (mubah) diunggulkan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah jika ada motiv sebuah kemaslahatan dan diharapkan bisa masuk Islam.

Namun timbul lagi pertanyaan, disitu hanya disebutkan “Tahni’ah” yang artinya ucapan selamat, tanpa embel-embel “ tahni’ah kuffar bil ‘iid” Selamat atas hari raya kuffar / natal dll. Lantas apa yang dimaksud dengan “ucapan selamat” dalam masalah diatas ?

Ternyata yang dimaksud “tahni’ah” dalam Ibaroh kitab “al-Inshof” diatas bukan Tahni’ah bi ‘idil Kuffar/ ucapan selamat atas hari raya orang kafir atau natal sebagai mana yang dijelaskan Hb Ali al-Jufri, namun lebih tepatnya memberikan ucapan selamat dalam perkara-perkara duniawi, seperti selamat atas kelahiran anaknya, selamat atas rumah barunya, selamat atas kesuksesan bisnisnya, dll. Hal ini bisa difahami dari keterangan ulama Hanabilah dalam kitab-kitab lainnya, sebab karakter kitab-kitab fiqih itu saling melengkapi satu sama lain. Keterangan tersebut dapat ditemukan secara implisit dalam kitab “al-Muharror” karya Majduddin Ibnu Taimiyyah al-Jadd dan secara eksplisit dalam kitab “Ahkam ahli dzimmah” karya Ibnu al-Qoyyim, yang mana keduanya merupakan ulama yang banyak dijadikan rujukan dalam mazhab Hanbali. Berikut redaksinya :

 [وفي جواز تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم روايتان ويدعى لهم إذا أجزناها بالبقاء وكثرة المال والولد ويقصد به كثرة الجزية  - إلى قوله - ويمنعون من إظهار المنكر وضرب الناقوس وإظهار أعيادهم (المحرر في الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل 2/ 185) ]

[ فصل، في تهنئتهم بزوجة أو ولد أو قدوم غائب أو عافية أو سلامة من مكروه ونحو ذلك، وقد اختلفت الرواية في ذلك عن أحمد فأباحها مرة ومنعها أخرى، والكلام فيها كالكلام في التعزية والعيادة ولا فرق بينهما، ولكن ليحذر الوقوع فيما يقع فيه الجهال من الألفاظ التي تدل على رضاه بدينه، كما يقول أحدهم: متعك الله بدينك أو نيحك فيه، أو يقول له: أعزك الله أو أكرمك إلا أن يقول: أكرمك الله بالإسلام وأعزك به ونحو ذلك، فهذا في التهنئة بالأمور المشتركة. وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم، فيقول: عيد مبارك عليك، أو تهنأ بهذا العيد، ونحوه، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات، وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب، بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. (أحكام أهل الذمة 1/ 441)]

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa apa yang disampaikan Habib Ali jufri tentang adanya pendapat dalam Mazhab Hanbali yang membolehkan ucapan selamat Natal adalah  keterangan yang TIDAK TEPAT, sebab yang disebutkan oleh al-Mardawi dalam kitabnya al-Inshof BUKAN masalah UCAPAN SELAMAT NATAL, akan tetapi hanya sekedar UCAPAN SELAMAT, Yang kemudian dijelaskan dalam kitab Mazhab Hanbali lainnya bahwa maksudnya adalah UCAPAN SELAMAT DALAM PERKARA DUNIAWI sebagaimana dijelaskan di atas, adapun ucapan selamat Natal secara spesifik dan eksplisit disebutkan KEHARAMANNYA dalam keterangan kitab mazhab Hanbali diatas. Justru jika ditelaah lebih dalam, Mazhab Hanbali dalam hal ini sangat keras, jangankan Muslim mengucapkan selamat Natal, menurut mereka, orang Nasranipun dilarang MENAMPAKKAN Syiar hari raya mereka, itu dalam Mazhab Hanbali.

Karenanya, secara otomatis gugurlah klaim beliau bahwa qoul dalam mazhab Hanbali ini adalah pendapat otoritatif / mu’tabar dari mutaqoddimin yang memperbolehkan ucapan selamat natal.

2. Adapun ungkapan HB Ali  terkait dalil yang dijadikan sandaran para ulama mutaqoddimin dalam mengharamkan ucapan selamat natal, maka menurut kacamata Ushul Fiqih tugas kita dan beliau sebagai muqollid hanya mengikuti apa yang para mujtahid  tuangkan dalam berbagai refrensi fiqih yang Mu’tabar selama masalah yang dipertanyakan  dimuat dalam kitab-kitab mereka.  Kita belum sampai kapasitas mufti terlebih mujtahid dengan berbagai tingkatannya yang bisa langsung melahirkan hukum dari dalil serta mengutak atik Qiyas.

Bahkan, saya teringat keterangan Syaikhuna al-Allamah al-Ushuli Muhammad al-Amin as-Syinqithi al-Maliki al-Hasani (yang juga merupakan guru dari Hb Ali al-jufri), beliau menjelaskan bahwa tatkala kita mengkaji dalil dari hukum yang kita ikuti dari seorang mujtahid, pada hakikatnya kita masih pada taraf mengira-ngira saja, adapun kumpulan dalil yang pada hakikatnya dijadikan dasar hukum oleh mujtahid yang kita ikuti, hanya beliau yang mengetahui, karena sudut pandang dalil yang Mujtahid tidak ungkapkan sering kali jauh lebih banyak ketimbang yang diungkapkan, bahkan terkadang mujtahid tidak ungkapkan dalil  yang ia gunakan sama sekali, meskipun ijtihadnya pasti berlandaskan dalil, karena tidak ada keharusan bagi Imam Mujtahid untuk menyampaikan dalil kepada para pengikutnya.     

3. Sebagai penutup, saya ingin sampaikan sebuah perumpaan, saya tidak berani menyebut ini sebagai dalil syar’I, hanya pendekatan logika agar mudah difahami. Jika ada seseorang minum khomer, tentu tak mungkin kita ucapkan selamat padanya atas khomer yang ia minum, karena sama saja memberikan selamat atas sebuah kemunkaran. Begitu pula, jika ada yang kumpul kebo, tak mungkin kita ucapkan padanya; selamat kumpul kebo, karena kita tau kumpul kebo itu adalah kemunkaran.

Dalam pandangan ummat kristiani, Natal adalah hari lahirnya Yesus sebagai Anak Tuhan, sedangkan menjadi harga mati bagi seorang muslim bahwa Allah tidak bisa dan tidak boleh disekutukan, lantas kenapa kita memberikan selamat atas hari yang diyakini sebagai penyekutuan Allah, padahal dalam kacamata kita itu adalah kemunkaran terbesar ? disitu ada “Syubhatul Iqror” SEOLAH ada pemberian restu atas keyakinan , meskipun kita tidak berniat dan meyakini demikian ! Yang membuat saya terus bertanya-tanya, mengapa Habib Ali al-Jufri menganggap “Syubhatul Iqror” itu hanya ada dizaman dulu, padahal dizaman sekarang, dengan derasnya penyebaran faham pluralisme yang meyakini semua agama itu sama, justru “ Syubhatul Iqror”  menjadi semakin kuat, apalagi di Indonesia sedang digiring bahwa menganggap agama diluar Islam sebagai “kafir’ adalah tindakan Intoleran dan merasa benar sendiri. Jika syubhatul Iqror itu dianggap sebagai Illat hukum, maka keberadaan Illat itu semakin kuat dan nyata di tengah derasnya penyebaran pluralisme, bukan malah hilang. 

4. Saya sangat setuju dengan Sayyidil Habib Ali al-jufri bahwa kita harus menjunjung tinggi toleransi dan sebagai mana saya setuju ajakan beliau utk berbuat al-Birr ( kebaikan) kepada non muslim yang tidak harbi. Namun toleransi dan al-Birr tidak harus dengan mengucapkan selamat natal. Di -Indonesia, dari dulu kita hidup damai penuh toleransi dengan kaum Nasrani tanpa mengucapkan selamat Natal, no problem. Toleransi dan al-birr diiwujudkan dengan tidak menggangu ibadah satu sama lain, saling bahu membahu membangun bangsa dan melakukan aksi kemanusian, saling memenuhi hak dan kewajiban, dll, tanpa harus melanggar apa yang telah digariskan oleh Aslafuna Solihin. Sekali lagi, tulisan ini saya buat tanpa mengurangi rasa cinta, hormat dan ta’dzhim saya kepada Habib Ali al-Jufri, semoga Allah berikan beliau umur yang Panjang serta sehat wal afiat dalam ketaatan kepada Allah swt. Wallahu a’lam.

Saturday, December 7, 2019

*DIALOG TOKOH-TOKOH ISLAM SEPUTAR UCAPAN SELAMAT NATAL*

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=130101111111995&id=130050337783739

*DIALOG TOKOH-TOKOH ISLAM SEPUTAR UCAPAN SELAMAT NATAL*

Prakata Editor

Bismillahirrahmanirrahim

Di negeri mayoritas muslim ini, terasa agak sulit menemukan tokoh-tokoh Islam nasional, yang murni memperjuangkan pelestarian ajaran Islam berlandaskan Alquran, Hadits, dan ajaran para Ulama Salaf, yang keilmuan dan amaliyahnya telah menjadi rujukan dunia Islam.

Kecenderungan tokoh-tokoh Islam di bumi persada ini justru lebih kuat ‘melirik’ pendapat-pendapat non muslim kalangan ‘Barat’ terutama di dalam memberikan stigma-stigma negatif terhadap perjuangan penerapan syariat.

Padahal penerapa syariat bagi warga muslim ini sudah mendapat perlindungan hukum positif negara, sebagaimana tertera pada pasal ‘kebebasan mengamalkan ajaran agamanya sesuai keyakinan masing-masing’.

Bisa dipastikan penerapan syariat akan terealisasi secara mutlak, jika para pelaksana Negara berlaku jujur dalam menerapkan propaganda sistem demokrasi, namun disertai dorongan kuat kepada masyarakat, agar setiap pemeluk agama mengamalkan keyakinan agamanya masing-masing di dalam segala bentuk kehidupan, termasuk di dalam kegiatan berpolitik, berhukum dan bernegara.

Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, pada dasarnya kurang mendapatkan keadilan di dalam menjalani hidup bernegara, terbukti banyaknya pengebirian terhadap hak-hak mereka. Hal ini terasa sangat berdampak negatif terhadap kehidupan umat Islam itu sendiri, sehingga aqidah mereka setiap saat semakin terkikis dan tergerus oleh budaya kafir, dan cenderung terpengaruh kepentingan warga minoritas.

Terbukti tokoh-tokoh Islampun kini lebih respek mendengungkan slogan-slogan kaum kuffar semisal ucapan selamat Natal dan tahun baru, selamat Nyepi (tahun baru Saka), selamat tahun baru Imlek, dibanding memperjuangkan penyelamatan aqidah umat Islam.

Di bawah ini adalah dialog via SMS, seputar ucapan selamat Natal, dan slogan-slogan berindikasi produk kaum kafir, yang dikirimkan oleh beberapa tokoh Islam kepada KH. Luthfi Bashori. Ada beberapa SMS yang telah diedit, disesuaikan dengan bahasa buku, namun tetap mengacu kepada kalimat dari pengirimnya, sehingga keasliannya bisa dipertanggungjawabkan.

Perlu diketahui, setiap SMS yang masuk ke HP KH. Luthfi Bashori, maka oleh beliau langsung diforward kepada tokoh-tokoh yang namanya tertera dalam buku ini, sehingga mereka dapat ikut secara aktif dalam dialog via SMS ini.

Harapan Tim Santri selaku editor, dalam menerbitkan tulisan ini adalah agar umat Islam lebih sadar, betapa pentingnya menjaga aqidah Islamiyah, dan agar umat memiliki keberanian menyampaikan kebenaran dimanapun berada, dalam situasi apapun, dan kepada siapapun, sebagaimana ajaran Qulil haqqa walau kaana murran (ucapkan yang benar, sekalipun terasa pahit).

Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.
Malang, Akhir Desember 2007.

(TIM SANTRI)

____________________________

 *SEPUTAR UCAPAN SELAMAT NATAL*

ABDULLAH : Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Metro TV menayangkan tanggal 23 Desember 2007 jam 19.00 WIB. Profesor Din Syamsuddin menyatakan umat Islam boleh menghadiri acara natal dan boleh mengucapkan selamat natal. Beliau akan menghadiri acara Natal Nasional. Keyakinan masalah pribadi dan Lakum dinukum wa liya din (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Demikian kata Ketua Umum PP. Muhammadiyah. Bagaimana dengan fatwa mantan ketua MUI al-Marhum Buya Hamka? Mudah-mudahan hanya ketua PP. Muhammadiyah sendirian yang ikut natal, sedangkan warga muslim, tidak. (Abdullah adalah warga masyarakat)

AHMAD DANAMIK: Ya Akhi, gimana nih? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, saya baru saja dengar di radio Elshinta, Ikhwan Sam, Sekretaris Umum MUI Pusat mengucapkan selamat merayakan natal. Ini jelas kontraproduktif dengan fatwa MUI tahun 1984. (Ahmad Danamik adalah warga masyarakat)

LUTHFI BASHORI : Menurut saya, yang haram selamanya haram, sekalipun dikemas dalam bentuk apapun, oleh siapapun, berapapun jumlah pelakunya. Memang Nabi SAW pernah mendo`akan orang Yahudi agar mendapat hidayah, kesehatan, dan kebagusan duniawi. Tapi tidak untuk keselamatan (semisal selamat pagi - selamat natal) karena selama-lamanya orang kafir itu tidak bakal selamat. Imam Nawawi telah menerangkan dengan detail masalah haramnya mengucapkan selamat Natal pada kaum kafir, dalam kitab beliau al-Adzkar dengan dalil hadits-hadits Nabi. Barangkali tidak banyak tokoh Islam yang membacanya termasuk juga Prof. Din Syamsuddin. Mereka perlu baca kitab-kitab Ulama Salaf agar lebih konsisten memegang Syari’ah yang benar, tidak terkontaminasi oleh paham-paham dari luar Islam semisal Liberalisme, Afwan wa syukran, Wassalam. (Tembusan kepada Pengurus MUI Pusat Bpk. Ikhwan Sam, KH. Ma’ruf Amin dan KH. Kholil Ridwan, Prof. Din Syamsuddin).

IKHWAN SAM : Dalam Fatwa MUI, yang dilarang adalah menghadiri atau mengikuti perayaan Natal bersama. Ucapan saya adalah “Kepada saudara-saudara pemeluk Kristen atau Katolik, saya ucapkan selamat merayakan Natal….” Mohon baca himpunan Fatwa MUI halaman 187-193. Just to say… sebagai basa-basi pergaulan dalam masyarakat yang majemuk, soal ini sudah saya tashih dulu kepada Prof. Ibrahim Husain dan KH. Hasan Basri. Terima kasih atas perhatiannya dan afwan. (Ikhwan Sam adalah sekretaris MUI Pusat)

LUTHFI BASHORI : Pak Ikhwan Sam, saya berharap antum membaca kitab al-Adzkar karangan Imam Nawawi, Ulama Salaf yang kerasikhan (kedalaman)nya fil ilmi sudah diakui dunia, beliau adalah pengarang kitab Riyadlus Shalihin, dll, dalam kitab al-Adzkar diterangkan ucapan selamat kepada kaum kafir dalam situasi apapun dan Negara manapun tetap dilarang oleh syari’at. Terbukti bukan malah dukungan masyarakat yang Bapak terima, melainkan penilaian negatif. Sejak kemarin setelah Prof. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP. Muhammadiyah dan MUI) memfatwakan bolehnya muslim mengucapkan selamat natal dan menghadiri seremonial natalan, dilanjutkan dengan apa yang Bapak lakukan, saya kebanjiran komplain dari umat Islam, karena umat Islam menganggap saya adalah bagian dari MUI. Jadi ucapan natal yang dilakukan oleh pengurus MUI justru berdampak negatif di mata umat Islam. Bagaimana kira-kira kelak di hadapan Allah, yang telah berfirman tentang persaksian umat Islam “Antum syuhada’ullahi fil ardl”, artinya “kalian (umat Islam) adalah saksi-saksi Allah di muka bumi”. Semoga kejadian ini dapat kita jadikan motifasi berintrospeksi diri. Semoga kita semua diampuni oleh Allah. “Wa man yabtaghi ghairal Islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil akhirati minal khasirin”. Barang siapa mengharap pujian, dukungan, bimbingan, dll dari selain syariat Islam maka tidak akan diterima amalan-amalan darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. “Ayabtaghuna ‘indahumul ‘izzata fainnal ‘izzata lillai jami’an”, “apakah mereka mengharapkan dari orang-orang kafir itu kehormatan, pujian atau dukungan? Sesungguhnya kemuliaan itu hanyalah milik Allah semata” afwan wassalam.

MASDAR F : Meskipun saya bisa berbeda dengan sampean, tapi saya salut dengan tegur sapa sampean kepada Pak Ikhwan … Sip lah?. (Masdar F. adalah ketua PBNU)

LUTHFI ģ : Insya` Allah selamanya saya dan banyak warga muslim, akan konsisten memegang Fatawa para Ulama Salaf qurun awail ar-rasikhuna fil ilmi al-‘amiluna bi’ilmihim (para Ulama Salaf di era awal-awal Islam yang ilmunya sangat dalam serta teguh mengamalkannya) yang tidak mempunyai ghorodl dunyawiyah (kepentingan dunia). Karena para Salaf ini adalah `sinar mentari dunia` di antara `lilin-lilin` yang tertiup derasnya angin dunia Kapitalis dan Era Globalisasi. Sabda Nabi : “Khairul Qurun qarni, tsummal ladzina yalunahum tsummal ladzina yalunahum”. (Sebaik-baik masa adalah eraku, kemudian era berikutnya kemudian era berikutnya) Terus, apa tokoh-tokoh Islam zaman `edan` ini akan meralat fatawa para Ulama qurun awail? Akibatnya yang terjadi “Dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidin nas”. (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah ‘tangan-tangan’ manusia). Kerusakan ekosistem di negeri ini juga akibat Fatawa tokoh-tokoh Islam yang berseberangan dengan ajaran Ulama Salaf, sehinga Allah murka dan mengirimkan berbagai bencana yang silih berganti. Para Ulama NU zaman dulu selalu menghormati dan mengamalkan fatawa Ulama Salaf dan tidak mengandalkan hasil pendapat mereka sendiri, berbeda dengan tokoh-tokoh NU zaman sekarang. Memang rasanya belum ada tokoh-tokoh Islam dewasa ini yang keilmuan dan amaliyahnya sepadan dengan generasi Imam Nawawi, bahkan nyaris mustahil ditemukan. Hadanallahu wa iyyakum. Was salam..

HASYIM MUZADI : Ana Muwafiq (Sepakat) ma’akum. Sinar, adakalanya muncul redup dan akan muncul lagi. (Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum PBNU)

LUTHFI BASHORI : Jazakumullah khairan, kita berkewajiban selalu mengingatkan umat Islam agar dapat memanfaatkan keberadaan ‘sinar mentari Fatawa Salaf’ di saat cuaca terang benderang, agar tokoh-tokoh Islam tidak lagi menyalakan `lilin`, hingga umat Islam menjadi semakin cerdas. Artinya tak ada gunanya menyalakan ‘lilin pendapat pribadi’ di siang bolong ‘bersinar Fatawa Salaf’. Wassalam.

ABDURRAHMAN ASSEGAF : Ustadz Luthfi, apa maksud Pak Hasyim dengan sinar kadang meredup? Katakan kepada beliau, bicara yang jelas-jelas saja, apa beliau berani mengatakan fatawa Salaf kadang-kadang meredup, hingga di saat tertentu tidak perlu diamalkan? (Abdurrahman Assegaf adalah Sekjen Dewan Imamah Nusantara)

HASYIM MUZADI : Maksudnya, `kebenaran` suatu ketika bisa meredup, tapi bisa terang kembali. Namun kebenaran tetap kebenaran. Apa beliau-beliau para Ulama di Dewan Imamah Nusantara perlu rawuh ke pondok saya, dan juga ikut mengajarkan Ihya’, Riyadlus Shalihin, Irsyadul ‘ibad, Ibnu Katsir, dsb?

LUTHFI BASHORI : Saya sudah menjembatani. Pak Hasyim tentu semakin bertambah usia akan semakin bijaksana, terutama saat berkumpul dan berhubungan dengan para Ulama, yang terus-menerus berupaya melestarikan ajaran para Ulama Salaf, di dalam mengajarkan aqidah dan amaliyah kepada umat Islam, yang mana aqidah umat Islam akhir-akhir ini semakin tergerus oleh perubahan zaman. Kita sadar Ghazwul Fikri (Perang pemikiran) sudah lama dikumandangkan kaum Kuffar. Sebenarnya para Ulama yang konsisten dengan ajaran Salaf merasa keberatan dan merasa kehilangan jika tokoh-tokoh Islam seperti Pak Hasyim, Pak Masdar, Pak Ikhwan Sam dan Pak Din Syamsuddin tiba-tiba ikut tergerus oleh perubahan zaman. Barangkali ada perbedaan cara saja saat menyampaikan kekhawatiran tersebut kepada pak Hasyim, namun tujuannya satu, ingin menyatukan tokoh-tokoh Islam dalam satu aqidah yang konsisten, agar dapat menjadi rujukan umat secara baik dan benar. Afwan wa syukran. Wassalam.

HASYIM MUZADI : Memang ada bedanya, di Pondok (Fiqhul ahkam) dan di masyarakat (Fiqhud da’wah). Kita sedang pakai apa?

LUTHFI BASHORI : Kita gunakan Fiqhul Ahkam wad Da’wah, kita tidak membeda-bedakan selagi tetap dalam syariat yang baik dan benar.

HASYIM MUZADI : Tujuan pasti sama, namun cara bisa bermacam-macam. Andaikan cara tidak beraneka, tentu Wali Songo tidak akan bisa merubah Hindu-Budha menjadi mayoritas Islam di Indonesia.

LUTHFI BASHORI : Betul Pak Hasyim, yang penting tidak keluar dari koridor syariat yang telah digariskan oleh al-Quran, Hadits Nabi dan Fatawa Ulama Salaf. Orang hadir dalam seremonial Natal apalagi misa gereja, jelas dilarang oleh al-Quran “Fala taq’udu ma’ahum hatta yakhudlu fi haditsin ghairih. Innakum idzan mitsluhum (fil kufri aw syirki), (maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka membicarakan masalah yang lain (selain ritual), kalau kalian (tetap duduk bersama mereka dalam kegiatan ritual/natal) maka kalian sama dengan mereka (dalam kekufuran dan kesyirikan). Karena itu, kalau ada tokoh yang berdakwah mengajak umat Islam hadir Natal atau hadir doa bersama kaum Kuffar, maka ini jelas-jelas menggunakan cara berdakwah dalam konsep yang keliru, karena bertentangan dengan syariat yang jelas. Ilustrasi lain Allah berfirman “Wala taqrabuz zina”, (Janganlah kalian mendekati perbuatan zina). Dekat-dekat perbuatan berkonotasi zina saja sudah dilarang oleh Allah. Tentunya seremonial Natal yang mendekati ritual syirik pasti juga haram. Saya tak habis pikir, saat orang NU berziarah kubur untuk mendoakan ampunan kepada Allah bagi mayit saja, sudah dihukumi syirik oleh teman-teman Muhammadiyah. Lah…sekarang Ketua Umum Muhammadiyah malah jelas-jelas mengajak umat Islam untuk menghadiri MAJELIS SYIRIK. Semoga kita semua diampuni oleh Allah. Afwan wa syukran. Wassalam.

ABDURRAHMAN ASSEGAF : Ma’lumat Dewan Imamah Nusantara : Ditinjau dari Fiqih manapun, memberikan ucapan SELAMAT NATAL, hadir natal bersama, hadir doa bersama muslim-non muslim dan amalan sejenisnya, tidak bisa dibenarkan. Kecuali menurut FIQIH LINTAS AGAMA produk kaum SEPILIS (Sekuler, Pluralis, Liberalis). Karena menurut mereka AGAMA APA SAJA adalah SAMA. (Sekjen Dewan Imamah Nusantara).

DIN SYAMSUDDIN : Assalamualaikum, Ustadz Luthfi Bashori yang terhormat, saya sudah baca SMS-SMS antum dan saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Memang masalah ini perlu kita diskusikan secara jernih terkait ada juga pandangan lain di kalangan Ulama. Pernah dibicarakan pada rapat DP MUI, terungkap bahwa fatwa era Buya Hamka lebih berhubungan dengan larangan ikut serta dalam ritual atau liturgi Natal. Karena gencarnya pertanyaan pers tentang Fatwa tersebut, maka saya jawab apa adanya. Hal ini saya kaitkan dengan watak Islam yang Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan ajaran Hablun minan nas (hubungan kemasyarakatan) serta kita hidup dalam kemajemukan, sehingga tak terelakkan kita perlu berbasa-basi sosial tanpa sedikitpun meluntur aqidah (saya sendiri tidak hadir dalam perayaan Natal Nasional sejak diundang mulai tahun 2000). Syukran. (Prof. Dien Syamsuddin adalah Ketua Umum PP. Muhammadiyah)

LUTHFI BASHORI : Pak Din, Afwan, Islam Rahmatan Lil Alamin berasal dari ayat “Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin”. “tidaklah Kami utus engkau wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. Menurut para Ulama Salaf, Rahmat Nabi SAW mencakup untuk kaum Muslimin dan untuk kaum Kuffar. Adapun arti rahmat untuk kaum Kuffar adalah ta`khirul ‘adzab (penundaan siksa), artinya datangnya Nabi Muhammad ke dunia ini tidak seperti Nabi-Nabi terdahulu, yang jika tidak sanggup menahan kesabaran atas keingkaran kaumnya, maka berdoa untuk kaumnya yang kafir, dan langsung dikabulkan serta dibumi-hanguskanlah kaum Kuffar oleh Allah. Tapi Nabi Muhammad SAW punya kelebihan yang lain, umat Beliau SAW yang kuffar tidak dimintakan untuk dibumihanguskan, tapi untuk kekafiran yang dilakukan oleh umat Beliau SAW, pembalasannya ditunda berupa siksa akhirat. Bahkan kebanyakan kaum kuffar dari umat Nabi Muhammad SAW dapat hidup di dunia dengan bermegah-megahan. Sekalipun demikian, Allah tetap melarang umat Islam bertawaddud (menampakkan cinta kasih) kepada kaum kuffar. “La yattakhidzil mu`mununal kafirina auliya`a min dunil mu`minin” artinya “Janganlah orang-orang Islam menjadikan orang-orang Kuffar sebagai auliya` (penolong atau teman setia atau kekasih atau mitra hidup, dsb) selain dari umat Islam”. Lanjutan ayat : “Barang siapa melakukan hal itu, maka Allah berlepas diri darinya”. Masih banyak ayat-ayat al-Quran yang senada dengan ini, termasuk sifat umat Islam adalah Asyidda`u ‘alal kuffar (keras dan tegas terhadap kaum kuffar). Hanya saja kaum SEPILIS seperti Gus Dur, berani merubah makna kuffar menjadi ‘selain kaum Yahudi dan Nasrani’ demi kepentingan pribadi dalam urusan jabatan dan keduniaan. Kaum SEPILIS mengartikan rahmatan lil ‘alamin menjadi ‘harus dapat menyatu dalam pergaulan dengan kaum kuffar, khususnya orang Nasrani. Padahal “Walan tardla ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millathum…”, (dan selamanya tidak akan ridla/tinggal diam, kaum Yahudi dan Nasrani sehingga kalian mengikuti ajaran agama/prilaku/pemikiran mereka). Jadi saya akan tetap melawan BID’AH DLALALAH dari orang-orang yang mengucapkan selamat Natal, hadir sere-monial natal, hadir doa bersama non muslim, karena amalan-amalan ini tidak pernah diajarkan oleh al-Quran, Hadits Nabi dan para Ulama Salaf. Jadi perilaku di atas benar-benar BID’AH DLALALAH yang bertentangan dengan syariat. Saya berharap Pak Din yang dulu tegas dan konsisten terhadap syariat, selamanya tetap konsisten tanpa harus menafsiri syariat hanya lantaran disesuaikan dengan kepentingan kemajemuk-an atau kemasyarakatan atau kemanusiaan. Karena Innal insana lafi khusrin (sesungguhnya manusia itu pada merugi) terlebih jika lantaran hanya mempertimbangkan kepentingan kaum kuffar. Saya pernah mengidolakan Pak Din untuk jadi Menteri Agama, sekalipun saya warga NU, dengan harapan agar Indonesia memiliki Menteri Agama yang konsisten terhadap syariat, misalnya jika ada undangan dari kaum kuffar, maka yang menghadiri adalah pejabat Depag dari kelompok kuffar yang disesuaikan. Betapa saya terkejut mendapati Pak Din sudah berubah haluan, pak Din semoga tidak kebablas menjadi Gus Dur versi Muhammadiyah. Afwan. (Saya adalah Alumni Pesantren Assayyid Muhammad bin Alwi al-Maliky, tahun 1983-1991, yaitu Ulama Kharismatik Makkah Almukarramah yang pernah dikunjungi oleh Pak Amien Rais dan Pak Syafi’I Ma’arif).

PROF. DIN SYAMSUDDIN : Syukran atas masukan antum dan akan saya teruskan kepada komisi fatwa MUI. Alhamdulillah saya tidak pernah berubah prinsip, hanya saya punya obsesi, umat Islam yang besar ini harus percaya diri untuk mengayomi seluruh elemen bangsa secara proporsional tanpa harus kehilangan aqidah. (Saya alumni Gontor, mantan ketua IPNU Sumbawa).

MASDAR F : Sampean baca keterangan saya di Jawa Pos kemarin halaman 2 bagian pinggir tentang Ahmadiyah dan NU.

LUTHFI BASHORI : Pak Masdar, sudah saya baca komentar Bapak di Jawa Pos, Rabu 26 Desember. Ada yang jadi catatan saya atas komentar-komentar Bapak:
1.NU tidak akan mendiskreditkan Ahmadiyah
2.Mereka tidak boleh serta merta menuduh pihak lain sesat
3.Yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk dan yang sesat hanyalah Allah.
Tanggapan saya atas pernyataan Bapak :
1.NU dalam kepemimpinan Bapak menjadi sangat lemah dan loyo, tidak punya jati diri
2.Para Ulama Salaf sudah mengajarkan bahwa standar sebuah aliran itu dikatakan sesat atau tidak, adalah kesesuaiannya dengan al-Quran dan as–Sunnah al-Mu’tabarah. Ahmadiyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul, dihukumi sesat karena bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah yang jelas-jelas mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Khatimun Nabiyyin (Penutup para Nabi), jadi yang tampak dari pernyataan Bapak adalah : Bapak tidak punya standar apapun.
3.Pada catatan saya yang ke-3, tampak sekali Bapak tidak meyakini secara mutlak atas kebenaran aqidah yang bapak anut. Lantas dengan aqidah yang mana bapak bisa memimpin umat agar dapat selamat dari siksa Allah, untuk mendapat keridlaan-Nya? Saat saya baca kolom bapak di Jawa Pos, tiba-tiba saya berandai, bagaimana sekira Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq dapat lahir kembali saat ini untuk memimpin umat Islam. Lantas beliau mengumpulkan pasukan perang untuk memberantas nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, seperti halnya saat berperang melawan nabi palsu Musailimah al-Kadzdzab. Saya berharap juga Beliau RA, dengan tegas meneriakkan ‘ALLAHU AKBAR’ dan meneriakkan “tidak akan aku biarkan nabi-nabi palsu berkeliaran di atas bumi….!” Sebagaimana saat Beliau RA sebagai khalifah Islam yang ke-1, dengan terang-terangan memimpin pasukan Islam untuk berperang melawan suatu kaum yang mengatasnamakan diri Islam tapi ingkar membayar zakat. Maka Sayyidina Abu Bakar pun saat itu meneriakkan “akan aku perangi orang-orang yang mengaku muslim tapi memisah-misahkan antara kewajiban melaksanakan shalat dan kewajiban membayar zakat….!” Biografi Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq ini banyak ditulis dalam sejarah Islam termasuk pada buku pelajaran di Tsanawiyah atau Aliyah Maarif NU. Saya bermohon kepada Allah semoga NU di masa mendatang mendapat-kan tokoh-tokoh pimpinan yang senantiasa meneladani kepribadian khalifah pertama dalam Islam, Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq yang selalu berjuang melestarikan dan memurnikan aqidah umat Islam, dan berjuang menjauhkan umat Islam dari kemurkaan Allah untuk mendapatkan keridlaan-Nya. Tentunya dengan ajaran aqidah yang jelas, mantap, dan sikap yang tegas! Afwan.

MASDAR F : NU memang indah sangat warna-warni, ada yang di ujung kanan, ada yang di tengah dan yang di ujung kiri, mukhtalifan alwanuha (bermacam-macam warnanya). Semoga tetap satu hati dan langkah di bawah panji La ilaha illa Allah Muhammadur rasulullah untuk kejayaan umat dan kerahmatan semesta. Jangan jauhi saya, saya pun tidak ingin jauh dari sampean. Wassalam.

LUTHFI BASHORI : Terima kasih, Hadana Allahu wa iyyakum ila shirathin mustaqim bi ‘aqidati ahlis sunnah wal jama’ah. Amanna billah wa ma ja`a ‘anillah ‘ala muradillah wa amanna bi syari’ah wa tabarakna min kulli dinin yukholifu dinal islam wa min kulli ‘aqidatin tukhalifu ‘aqidatas-salafi ahlis sunnati wal jama’ah. (Semoga Allah memberi hidayah kepada kita, dengan aqidah Ahlissunnah wal jama’ah. Kami beriman kepada Allah, dan segala apa yang datang dari Allah, sesuai yang dimaksudkan oleh Allah. Kami beriman kepada Syariat, dan kami berlepasdiri dari agama yang bertentangan dengan agama Islam, dan dari aqidah yang bertentangan dengan aqidah para Ulama Salaf Ahlussunnah wal jama’ah.

MUHYIDDIN ABDUSSHAMAD : Assalamu-alaikum Ustadz Luthfi. Konon ada dua data sensus yang tidak tarnsparan : 1) Tentang agama 2) Tentang jumlah wanita. Tentang agama bahwa semua agama grafiknya naik, kecuali Islam turun 2%. Tentang wanita, jumlahnya sudah jauh melampaui jumlah laki-laki. Jika benar Islam turun 2% berarti sudah ada empat juta umat Islam yang murtad. Kami harap sampean dapat menyampaikan ini kepada Ustadz Masdar F, KH. Hasyim Muzadi, MUI, dll. Saya sedih sekali. Ustadz Masdar sekarang mengembangkan Fiqh Tasamuh (toleran) di seluruh Indonesia, dana mungkin saja dari asing. Bagi saya, ‘tasamuh’ apakah ‘tidak’ sama halnya memberi peluang bagi non muslim. (KH. Muhyiddin Abdusshamad adalah Ketua Tanfidziyah NU Jember, Jawa Timur)

DIN SYAMSUDDIN : Tidak benar. Yang benar naik 0,6 % dari 1990 ke 2000 (1990: 87,6 % dan 2000: 88,2%). Sensus baru belum ada, nanti pada 2010. Syukran.

LUTHFI BASHORI : Pada pertengahan Desember 2007, saya di Samarinda bersama aktifis muslim setempat antara lain MUI, Depag, Arimatea, HMI, KAMMI, FPI, dll, berhasil menangkap penyusup Nasrani bernama Stefanus Armansyah, yang pura-pura baru jadi muallaf bersertifikat syahadatain pada bulan November 2007 di Bontang. Padahal sekitar tiga tahun sebelumnya, Stefanus Armansyah datang ke rumah saya dengan membawa sertifikat syahadatain dari Masjid Sabilillah, Malang. Adapun modus yang dilakukan yaitu menipu umat Islam agar mengeluarkan dana, yang dimanfaatkan untuk program kristenisasi. Hal ini sesuai dengan pengakuannya (CD-nya ada pada saya). Dari KALTIM saja selama tiga bulan sudah meraup lebih dari Rp 17 juta. Stefanus Armansyah adalah anggota Tim Missionaris berjumlah 15 orang yang dikirim khusus ke wilayah Kalimantan. Sekarang Stefanus Armansyah dalam proses hukum dan ditahan aparat di Samarinda. Karena itu, saya akan tetap menentang tokoh-tokoh Islam yang mengajarkan Fiqh Tasamuh khususnya kepada kaum Nasrani. Saya yakin, siapapun warga muslim yang mendengar pengakuan Stefanus pasti akan tergugah hatinya, betapa buruknya cara-cara tim Missionaris dalam menjerat dan memurtadkan umat Islam. Antara lain ada Tim khusus penghamil gadis-gadis Muslimah, untuk dinikahi ‘darurat’ secara Islam, jika sudah punya anak maka sang Missionaris akan kembali ke agama Kristen dengan mengajak keluarganya. Ada juga wanita-wanita Missionaris yang menyerahkan tubuhnya kepada lelaki muslim awam, jika hamil maka minta pertanggungjawaban untuk dinikahi secara Islam dengan proses yang sama atau nikah di gereja, dll. Tim-tim ini tersebar di Indonesia. Nah, haruskah kita bertasamuh menghadapi intrik-intrik kaum Nasrani? Wassalam.

HASYIM MUZADI : ‘Fiqh Tasamuh’ sama sekali bukan produk NU

LUTHFI BASHORI : Saya tahu itu Pak Hasyim, Fiqh Tasamuh serupa dengan Fiqh Lintas Agama-nya Cak Nur Kholis Majid. Fiqh Tasamuh dikembangkan oleh Pak Masdar lantaran beliau dekat dengan kelompok Ulil Abshar Abdalla, seperti pendapat liberal Pak Masdar tentang bolehnya wuquf di Arafah di luar tanggal 9 Dzul Hijjah. Jelas sekali pendapat Pak Masdar ini sudah keluar jauh dari ajaran NU-nya KH. Hasyim Asy’ari. Jazakumullah khairan atensi Pak hasyim. Wassalam.

HASYIM MUZADI : PBNU sedang merencanakan untuk memotong Tasyaddud (garis keras) sekaligus Tasahul (liberal)

LUTHFI BASHORI : Para Ulama Salaf dalam menghadapi aliran sesat maupun pengaruh non muslim sangatlah ideal untuk diterapkan oleh umat Islam. Contoh: Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab beliau as-Shawaiqul muhriqah, dengan secara jelas dan tegas mengatakan bahwa aliran Syi’ah Imamiyah termasuk murtad, karena mereka meyakini adanya tahriful quran (Perubahan di dalam al-Quran). Pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi berjuang melawan kaum Salibis di Andalusia karena Raja Ferdinand dan Ratu Isabella terus menerus menekan dan menyudutkan umat Islam serta mengumumkan perang Salib. Jika Ibnu Hajar al-haitami dan Shalahuddin al-Ayyubi hidup lagi di era sekarang dan menjadi warga NU, apa juga akan dipotong dari tubuh NU pimpinannya pak Hasyim? Afwan.

MUHYIDDIN ABDUSSHAMAD: Ass. Ust. Luthfi, tahun lalu kami (PCNU Jember) mengeluarkan 24 anak muslim dari sekolah Kristen di tengah-tengah kota Jember, dipindah ke sekolah muslim. Saat ini ada sekitar 80 orang. 60 diantaranya muslim ditampung asrama Kristen, mereka dikristenkan. Mohon doa, kami bermaksud mengeluarkan mereka dari cengkraman sending tersebut, tapi masih dalam proses.

LUTHFI BASHORI : Pak Kyai Muhyiddin, saya salut atas perjuangan teman-teman PCNU Jember, selama ini saya dan teman-teman aktifis muslim di berbagai tempat juga melakukan hal yang serupa di dalam melawan maraknya aliran sesat, nabi-nabi palsu, dan permutadan massal oleh missionaris Kristen. Pak Kyai, coba antum bahas dengan teman-teman pengurus NU di Jember apa langkah-langkah pengeluaran pelajar muslim dari sekolah Kristen tidak dinilai berlebihan yang berkonotasi tasyaddud. Saya khawatir perjuangan antum dan teman-teman pengurus NU Jember, terkena dampak ‘program pemotongan’ dari PBNU sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Hasyim Muzadi. Semoga hal tersebut tidak terjadi, dan semoga saya hanya salah persepsi saja terhadap rencana program PBNU tersebut. Kalau saya pribadi adalah warga NU-nya KH. Hasyim Asy’ari secara kultural, dan saya belum punya KARTANU, karena saya ini hanya NU cultural. Berpuluh ribu warga NU kultural yang bernasib serupa dengan saya. Tapi kalau antum dan teman-teman PCNU Jember... kan NU struktural, apa tidak rawan dipotong? Jazakumullah khairan katsira atas infonya.

HASYIM MUZADI: Ya… amin… bagus.

LUTHFI BASHORI: Mohon kejelasannya Pak, bagus untuk siapa? Untuk ‘program pemotongan’ bagi para aktifis NU struktural yang telah berjuang mengentas warga NU dari bahaya kristenisasi? Atau bagus bagi para aktifis NU kultural yang sering dinilai miring dengan menggunakan bahasa semisal tasyaddud atau aliran kanan (ashabul yamin) radikal, atau ekstrim, atau fundamentalis, dan lain sebagainya? Semoga keterangan Pak Hasyim tidak paradog. Afwan.

HASYIM MUZADI : Bagus untuk Islam. Mengeluarkan dari Kristen bukan tasyaddud tapi penyelamatan. Tasyaddud misalnya bakar membakar.

LUTHFI BASHORI : Jika bagus untuk Islam, berarti PBNU tidak akan memotong perjuangan aktifis muslim seperti yang telah dilakukan oleh pengurus NU Jember, dan warga NU kultural yang melawan aliran sesat dan program kristenisasi?

HASYIM MUZADI: Bukan haditsnya, tapi caranya. Mengapa Wali Songo tidak menghancurkan candi Borobudur, padahal kiri kanannya sudah diislamkan?

MASDAR F : Gus, apa ada yang di tengah, kalau tidak ada yang di pinggir? Apa ada yang moderat kalau tidak ada yang ekstrim? Menurut saya, NU yang mutawassith (netral) itu pada dirinya butuh sayap yang mutasahil (liberal) dan yang mutasyaddid (garis keras) di kanan kirinya yang terus berdialektika… tanpa keduanya justru yang mutawassith tidak mungkin eksis. Maka persoalan kita bukan persoalan bagaimana memotong si mutasahil atau mutasyaddid, tapi bagaimana mengelolanya sebagai energi penggerak bagi kesempurnaan si mutawassith sendiri… dunia ini selamanya akan ada tiga pola tadi. Itu kehendak atau sunnatullah SWT yang luar biasa hebat untuk menggerakkan kehidupan di bumi ini… tidak ada yang wujud atau terjadi di alam ini tanpa kehendak-Nya, tidak ada yang terjadi atas kehendak-Nya yang sia-sia.

LUTHFI BASHORI: Pak Masdar, ayat al-Quran sudah jelas menerangkan tempat ashabul yamin di surga dan ashabus syimal di neraka sedangkan kaum mu’tazilah meyakini adanya manzilatun bainal manzilataini (tempat di tengah-tengah) yang diingkari oleh para Ulama Ahlussunnah wal jama’ah. Nabi dan para shahabat berperang melawan orang-orang kafir dan nabi-nabi gadungan, Nabi juga berdiplomasi dengan tokoh-tokoh kafir untuk mendakwahi mereka, dan Nabi pernah mendoakan kesembuhan tetangganya yang Yahudi seraya mendakwahinya agar masuk Islam. Tapi Nabi tidak membagi-bagi ada muslim tasyaddud/ekstrim, ada yang mutawassith/netral, ada yang mutasahil/tasamuh/toleran. Beliau sangat bijaksana dan mengerjakan semua sifat-sifat itu dalam kehidupan Beliau SAW. Nabi juga telah menghancur-uluhkan dan membumihanguskan cawan-cawan serta guci-guci penyimpan arak milik warga Madinah, saat turun akhir ayat pengharaman arak secara permanen. Nabi juga merobohkan masjid Dhirar lantaran dipergunakan untuk dakwah lintas agama, dengan mengundang pendeta dari Yaman, Abu Amir dan digunakan intrik-intrik penghancuran Islam oleh kaum munafiqun. Apakah Nabi termasuk ekstrim? Itulah kebijaksanaan Nabi demi menjaga stabilitas Negara Islam yang beribukota di Madinah dan demi keselamatan aqidah umat Islam. Wassalam.

MASDAR F : Gus, ada pertanyaan sederhana : kalau sampean jadi presiden, berkuasa penuh seperti Soeharto, apa yang akan sampean lakukan terhadap orang-orang atau kelompok yang tidak seagama atau sepaham dengan sampean? Jawaban singkat dan jelas sangat saya sukai. Syukran.

LUTHFI BASHORI : Strategi saya adalah mengangkat pejabat Depag pada tataran sub-sub bidang dari perwakilan semua agama. Jika ada acara ritual agama yang ada, maka yang berhak mewakili kehadirannya adalah pejabat yang seagama, demikian dan seterusnya. Untuk aliran sesat, karena tidak legal, maka saya amankan untuk dididik dengan benar atas prakasa pemerintah. Tentunya setelah saya resmikan undang-undang negara berbasis syari’at Islam, karena umat Islam di negeri ini mayoritas. Seperti halnya di Malaysia dan Brunei, landasan undang-undang negaranya adalah Ahlussunnah wal jama’ah. Afwan.

MASDAR F : Jadi aksi perangi atau hancurkan atau serbu atau penjarakan tidak perlu dipakai?

LUTHFI BASHORI : Jika diperlukan perobohan, akan saya lakukan, seperti penghancuran dan perobohan kios-kios liar oleh Satpol PP yang jelas-jelas pembangunannya melanggar undang-undang yang berlaku.

MASDAR F : Gereja-gereja dan masjid Syi’ah atau Ahmadiyah dibiarkan atau dihancurkan?

LUTHFI BASHORI : Gereja ilegal bisa saya segel untuk dicanangkan pemanfaatan yang lebih berguna. Masjid aliran sesat Syi’ah, Ahma-diyah, dll saya bekukan untuk dimanfaatkan oleh umat Islam mayoritas ahlissunnah wal jama’ah. Jika ada perlawanan dari mereka, maka akan saya terapkan ‘kebijakan Sayyidina Abu Bakar saat menjadi khalifah’ dalam memerangi nabi palsu dan pengingkar zakat dengan sebijaksana mungkin, sesuai dengan hukum Islam yang berlaku.

ABDURRAHMAN ASSEGAF : Ya Ustadz Luthfi, kaum SEPILIS itu adalah orang-orang yang tidak bisa menerima keberagaman dalam bermadzhab Islam. Mereka menghendaki kita semua seragam menganut pluralisme agama, yaitu melebur semua agama menjadi satu. Mereka memahami Islam dengan kacamata orang-orang kafir. Sehingga selalu curiga terhadap penguasa yang memberlakukan Syari’at Islam. Mereka meranggapan bahwa penerapan syariat Islam hanyalah akan mendholimi orang-orang non muslim. Jadi kaum SEPILIS tidak mengenal Islam selain kulitnya saja. Pertanyaan-pertanyaan Pak Masdar mengindikasikan hal itu. Maka saya berharap Ustadz Luthfi tetap konsisten dalam pemahaman dan pengamalan syariat Islam sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.

MASDAR F : Lalu apa yang disebut Pak Hasyim golongan mutasahil atau mutasyaddid sampean apakan?

LUTHFI BASHORI : Wah… itu tanyakan ke Pak Hasyim, apa benar di dalam Islam ada golongan-golongan yang bersifat parsial itu?

MASDAR F : Mungkin maksudnya yang liberal sama yang fundamental, seperti yang selalu beliau pidatokan di mana-mana.

LUTHFI BASHORI : Saya tegakkan hukum berdasarkan syariat yang tertera dalam kitab fathul mu’in dan kitab hukum Fiqh Syafi’i lainnya. Karena luwes dan mayoritas muslim Indonesia bermadzhab Sunni Syafi’i sebagai warisan Wali Songo.

MASDAR F : Alhamdulillah, atsabakumullah, semoga Allah memberi pahala sampean.

LUTHFI BASHORI : Jazakumullah khairan atensinya. Bagi saya, umat Islam hanya dibagi dua golongan, ‘Konsisten’ dan ‘Inkonsisten’. Golongan konsisten adalah mereka yang tetap istiqamah menjalankan syariat Islam sesuai dengan ajaran Alquran, Hadits, dan ajaran Ulama Salaf. Sedang golongan inkonsisten adalah mereka yang telah keluar dari jalur-jalur tersebut. Hadaanallahu wa iyyaakum, wasaaqana ilaa ridla rabbil ‘aalmiin (semoga Allah memberi hidayah kita, dan membimbing kita demi menuju keridlaan-Nya. Walhamdulillahirabbil ‘alamiin.

CUPLIKAN CD PENGAKUAN STEVANUS ARMANSYAH

Penyusup Nasrani asal Sidoarjo yang tertangkap di Samarinda, dan mengaku sebagai anggota Laskar Kristus

1. Group Ali Markus, pendeta yang mengaku keturunan habaib, dan mengaku sebagai mantan ketua FPI Jatim adalah termasuk penyusup yang diutus dari GPIB Malang untuk merusak aqidah ummat Islam, dengan modus menikahi wanita-wanita muslimah, dan masuk di pesantren-pesantren, untuk menciptakan keresahan.

2. Dasar oprandi adalah ajaran Injil: "Kamu, jika ingin mengalahkan orang Yahudi, maka harus menjadi seperti orang Yahudi, dan jika ingin mengalahkan orang Islam, maka harus seperti orang Islam”. Kebohongan dan dusta yang dilakukan Markus adalah sah-sah saja menurut gereja, karena dianggap sebaga implementasi dari ajaran injil Roma pasal 3 ayat 7 : “Jika kebenaran adalah oleh dustaku emakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi sebagai orang berdosa?”.

3. Misi kristenisasi antara lain didasari ajaran gereja untuk mencari domba-dmba yang tersesat, dengan apapun cara dan srtaeginya sesuai motto gereja : Selamatkan jiwa umat, berapapun harganya.

4. Daerah operandi Group Ali Markus sebelum pura-pura masuk Islam adalah Paserepan Pasuruan, pada tahun 1987 dengan target utamanya adalah wilayah Malang.

5. Penyusup dari kalangang missionaris, yang paling banyak diterjunkan adalah wilayah Mataram, Kalimantan, Jawa Timur bagian Tapal Kuda, dan Surabaya. Antara lain menyusup lewat jalur perekonomian, perdagangan, pendidikan, dll.

6. Stevanus Armansyah, penyusup yang tertangkap di daerah Samarinda Kalimantan timur, dengan modus pura-pura memberikan bantuan kepada umat Islam yang miskin, dengan tujuan menarik simpati umat, namun desertai pengambilan dana sumbangan dari umat Islam pula. Tujuan utamanya untuk memecah belah suara umat Islam pada Pilkada di beberapa tempat di Kalimantan.

7. Dalam operasinya, Stevanus disertai beberapa teman yang beranggotakan 15 orang . Adapun tujuan utamanya untuk menyukseskan program YOSEP 2004 ( menjadikan dari kalangan Kristen sebagai pemimpin daerah.

8.Laskar kristus ini, selain masuk ke dalam dunia politik, juga masuk ke dalam dunia hukum, dan lainnya seperti menyusup di kalangan ABRI, dengan bukti membentuk densus 88, yang bertugas menangkap teroris yang pada hakikatnya hanyalah fitnah belaka atau mengada-ada.

9.Program KB, merupakan rencana gereja yang tujuannya untuk membuat umat Islam tidak yakin dengan kepercayaannya, dan mengurangi pertumbuhan umat Islam, sedangkan jemaat gereja sendiri dilarang ber-KB.

Tuesday, December 3, 2019

Mengikuti Cara Nabi itu Salahkah

Baiklah:
Mengikuti Cara Nabi itu Salahkah?

Katana Suteki

Mantan Ketua MK, Mahfud MD menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti.

Mengapa kok tidak boleh diikuti?  Berikut alasannya,

Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:

1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif,
2. Nabi Muhammad lembaga eksekutif,
3. Nabi Muhammad lembaga yudikatif,
4. Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Allah.

“Anda membuat negara seperti Nabi Muhammad melalui wahyu siapa? Nah enggak bisa, jangan,” kata Mahfud.

Menurut saya, kalau pertanyaannya WAHYU SIAPA, Jawabnya mestinya: Wahyu Alloh dalam Al Quran. Lalu apalagi dasarnya? Tentu Hadist Rasululloh dan juga Ijtihad Para Ulama. Bukankah begitu? Itukan sumber Hukum Islam?

Pertanyaan saya selanjutnya tetap fokus pada: Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah? Bukankah Rasululloh itu "uswatun hasanah", suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasululloh? Hanya sholatnyakah, zakatnyakah, hajinyakah, puasanyakah? Bukankah Rasululloh juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasululloh itu hanya sekelas KETUA RT?

Baiklah, menurut saya tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa, ya karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan,  bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history!

Baiklah, taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara  mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? Dan apakah negara yang menganut  demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar PSEUDO DEMOKRASI? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah MEMBUNUH SENDIRI DEMOKRASI yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila KEDIKTAKTORAN REZIM justru dipertontonkan (HOW DEMOCRACIES DIE).

Baiklah, seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dll, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasululloh dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga HOMOGEN? Masyarakatnya semua muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu,  benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Alloh atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam.

Baiklah, memang terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah oita menyaring, memilah dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih DEMOKRASI PANCASILA yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang SAMA DENGAN NEGARA LIBERAL bahkan lebih LIBERAL lagi. Lalu, DEMOKRASI PANCASILA itu yang macem mana? Atau gampangnya begini, dari 7 REZIM yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada saya rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis?

Baiklah, bila dari 7 rezim yang telah berkuasa namun tidak mampu memberikan warna DEMOKRASI PANCASILA, lalu apakah diharamkan apabila umat Islam menawarkan resep lain dalam untuk mengatasi segala permasalahan bangsa dan negara Indonesia dengan sistem hukum Islam. Atau setidak-tidaknya menawarkan agar hukum Indonesia itu dibentuk dengan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. Mengapa kita tidak mengambil strategi ini bahkan makin menjauhkan kehidupan bangsa dan negara dari hukum Alloh? Ataukah memang kini umat Islam masih meragukan bahwa hukum Alloh itu sumber hukum terbaik? Ya, saya kira ini persoalannya. Kita masih meragukan hukum Alloh sebagai hukum terbaik dan selalu benar karena difirmankan oleh Alloh Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya?

Baiklah, bila masih meragukan  hukum Alloh sebagai hukum terbaik, tampaknya kita perlu memupuk lagi iman dan takwa kita. Tampaknya pula kita belum pantas disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa itu. Kita masih mengambil dan menggunakan HUKUM Islam secara PRASMANAN. Bagian hukum yang enak kita kita pilih dan ambil, sedang bagian hukum yang dirasa tidak enak dan bahkan mengancam eksistensi kita, ramai-ramai kita singkirkan, kita halau bahkan kita musuhi. Jika demikian, masihkah kita berharap pada nikmatnya syurga Adn yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman. Mereka tidak pernah takut kepada selain Alloh dan mereka tidak pula bersedih hati. Hal itu pula cara Nabi menyikapi riuh rendah hidup di dunia yang fana ini.

Baiklah, Apakah mengikuti cara Nabi itu salah? Saya hanya mengabarkan bahwa kita hendaknya fair! Itu saja!

Tabik..!!!

Wednesday, November 27, 2019

CATATAN KRITIS BUAT KH CHOLIL NAFIS

CATATAN KRITIS BUAT KH CHOLIL NAFIS
.
Menarik sekali pernyataan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH Cholil Nafis yang mengatakan ceramah yang disampaikan dai sifatnya harus mendukung NKRI. Tak ada lagi narasi lain seperti ide mendirikan negara khilafah. Sebab kata dia, NKRI merupakan kesepakatan bersama yang sudah tak bisa ditawar, termasuk oleh MUI.
.
"Bukan berarti khilafah tidak islami, tidak. Tapi islami tidak hanya khilafah. NKRI pun bagian dari khilafah," kata KH Cholil Nafis, Senin (25/11/2019) saat menyampaikan materi di Standardisasi Dai MUI di Aula Buya Hamka MUI Pusat, Jakarta.
.
Pernyataan “Bukan berarti khilafah tidak islami, tidak” berarti bentuk pengakuan bahwa khilafah memang islami. Ya, khilafah memang islami karena khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang legal dalam Islam. Diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW serta merupakan kesepakatan bersama para shahabat ra yang sudah tidak bisa ditawar, termasuk oleh MUI.
.
Sedangkan pernyataan “Tapi islami tidak hanya khilafah” apakah bermaksud ingin mengatakan bahwa republik/demokrasi itu islami? No, no, no! Republik/demokrasi merupakan sistem kufur jebakan penjajah yang jelas-jelas tidak islami. Letak ketidakislamian republik/demokrasi yang paling fatal adalah manusia diberi kewenangan membuat hukum, padahal yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT. Berarti republik/demokrasi tidak islami.
.
Dalam sistem khilafah, khalifah (kepala negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam/khilafah) bertugas menerapkan perintah Allah SWT dan memastikan larangan Allah SWT ditinggalkan.
.
Jadi, untuk menerapkan perintah Allah, khalifah tidak perlu meminta persetujuan suara terbanyak anggota Majelis Ummat (wakil rakyat dalam sistem pemerintahan Khilafah). Karena fungsi Majelis Ummat bukan untuk membuat hukum tetapi untuk mengoreksi penguasa agar tetap sesuai dengan perintah Allah SWT. Adapun anggota Majelis Ummat yang non Muslim tugasnya adalah melaporkan kedzaliman para penguasa daerah kepada khalifah.
.
Sedangkan dalam sistem demokrasi, presiden/perdana menteri (kepala negara yang menerapkan sistem pemerintahan kufur buatan orang kafir) bertugas menerapkan aturan yang disepakati oleh parlemen/DPR. Perintah Allah SWT baru bisa diterapkan presiden/perdana menteri bila mayoritas anggota DPR/parlemen setuju.
.
Artinya apa? Dalam sistem demokrasi kedudukan Allah SWT berada di bawah telapak kaki para anggota parlemen/DPR. Innalillahi wa inna ilahi rajiuun…. Apakah kita lupa menyejajarkan kedudukan Allah SWT dengan makhluk atau dengan khayalan saja sudah disebut syirik, pelakunya disebut musyrik. Bagaimana pula kedaulatan Allah SWT bukan lagi disejajarkan tetapi ditaruh di bawah telapak kaki para anggota parlemen!? Naudzubillahi min dzalik!
.
Adapun pernyataan “NKRI pun bagian dari khilafah” adalah pernyataan yang ambigu. Apabila yang dimaksud NKRI itu adalah tanah air Indonesia, ya, dulu pernah menjadi bagian dari khilafah ketika khilafah masih berdiri. Penerimaan menjadi bagian dari khilafah itu seiring dengan berubahnya Kerajaan Hindu-Budha menjadi berbagai Kesultanan Islam di Nusantara.
.
Pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuono X mengomfirmasi hubungan Kesultanan Yogyakarta dengan Khilafah Utsmani.
.
“Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah, Sultan Demak pertama, sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau,’ ujarnya di hadapan sekitar 700 peserta kongres, Senin, 9 Februari 2015 di pelataran Kraton Kasultanan Yogya.
.
Menurut sejarawan Septian AW, para penguasa Muslim di Nusantara mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekkah, dalam bahasa sekarang Gubernur Mekkah. Syarif Mekkah mendapatkan mandat dari Khalifah yang berkedudukan di Istambul (Turki) untuk melakukan itu.
.
Catatan sejarah, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, mengungkap Penguasa Banten Abdul Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 juga mendapatkan gelar Sultan dari Syarif Mekkah selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
.
Itu semua menunjukkan bahwa benar Indonesia tempo doeloe memang bagian dari khilafah. Tetapi bila yang dimaksud dengan kalimat “NKRI pun bagian dari khilafah” dalam makna sistem pemerintahan republik/demokrasi, jelas bukan dong. Karena pada 1924, khilafah sudah tidak ada lagi. Sedangkan NKRI baru berdiri pada 1945.
.
Adapun pernyataan “ceramah yang disampaikan dai sifatnya harus mendukung NKRI.” Mendukung dalam hal apa nih? Kalau mendukung dalam hal menjaga kesatuan wilayah sehingga tidak boleh terpecah belah, memang wajib hukumnya, oleh karena itu tinggalkanlah demokrasi seraya menegakkan khilafah.
.
Karena demokrasi melalui instrumen yang disebut referendum membolehkan wilayah negeri Muslim terbesar sedunia ini dilepaskan, bila mayoritas penduduk setempat setuju lepas. Contoh: Timor Timur lepas lewat referendumnya demokrasi, bukan khilafah.
.
Sedangkan dalam khilafah, tidak ada referendum. Karena dalam sistem pemerintahan Islam tersebut, bughat (melepaskan diri dari khilafah atau kesatuan negeri kaum Muslimin) hukumnya haram. Maka, bila ada satu daerah ingin lepas, meskipun mayoritas penduduk daerah tersebut sepakat untuk lepas, tidak diizinkan lepas. Mereka diajak omong baik-baik agar tetap bergabung. Bagi yang mengangkat senjata untuk melepaskan diri maka akan diperangi sampai tidak bisa angkat senjata untuk melepaskan diri lagi. 
.
Adapun pernyataan “ceramah yang disampaikan dai sifatnya harus mendukung NKRI.” Mendukung dalam hal apa nih? Kalau mendukung dalam hal menjaga kekayaan alam yang berlimpah ini dari perampokan penjajah Amerika dll, memang wajib hukumnya. Oleh karena itu tinggalkanlah demokrasi seraya menegakkan khilafah.
.
Karena dalam demokrasi, melalui instrumen privatisasi, tambang yang hasilnya melimpah diserahkan kepada swasta bahkan asing. Contoh: Tambang emas di Papua diserahkan kepada Amerika.
.
Sedangkan dalam khilafah, tidak ada privatisasi. Karena dalam sistem pemerintahan Islam tersebut, privatisasi sumber daya alam yang melimpah tersebut hukumnya haram. Sumber daya alam yang hasilnya melimpah tersebut merupakan salah satu ciri dari milkiyah ammah (kepemilikan umum). Milkiyah ammah haram diserahkan/dikelola swasta apalagi asing, penjajah lagi kayak Amerika. Haram banget dah!
.
Khalifah wajib mengelolanya yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat salah satunya dalam bentuk kesehatan gratis dan pendidikan gratis.
.
Adapun pernyataan “ceramah yang disampaikan dai sifatnya harus mendukung NKRI.” Mendukung dalam hal apa nih? Mendukung republik/demokrasi? Serius kita akan tetap mendukung sistem pemerintahan jebakan penjajah untuk memecahbelah kita dan merampok sumber daya alam kita? Plis deeeh…
.
Jadi pernyataan “Tak ada lagi narasi lain seperti ide mendirikan negara khilafah” tentu menjadi tidak relevan bila kita menyadari bahwa menegakkan khilafah merupakan tajul furudh (mahkota kewajiban) dan republik/demokrasi merupakan sistem pemerintahan jebakan penjajah.
.
Dan kalau kaum Muslimin di Indonesia ini berjuang sungguh-sungguh menegakkan khilafah, insya Allah bukan hanya jadi bagian dari khilafah, tapi malah menjadi ibu kotanya khilafah. Wilayahnya bukan hanya dari Merauke sampai Sabang, tapi dari Merauke sampai Maroko. Karena satu khalifah, untuk seluruh kaum Muslimin sedunia.
.
Allahu Akbar!
.
Joko Prasetyo
@jokojurnalis
Jurnalis | Penulis | Editor

Friday, November 22, 2019

Sudah 2 orang yang mempertanyakan pancasila.?

Sudah 2 orang yang mempertanyakan pancasila.?

Eggy Sudjana
Dan
Sudjewo tedjo (pancasila gak ada yang ada cuma teks nya saja)

Sampai saat ini belum ada yang menjawab bahkan para begawan BPIP pun diam seribu bahasa

DASAR NEGARA INDONESIA BUKAN PANCASILA

Dimana tertulisnya didalam Undang Undangnya yang mengatakan Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila..
Cari diseluruh kitab Undang Undang Negara, kalo ada kalimat yang menyebutkan Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila. Tidak ada.

Ini Jawaban mengejutkan dari Dr. Eggy Sudjana, SH, M.Si

Banyak Yang Tak Tahu, Ternyata Dasar Negara Indonesia Bukan Pancasila Tapi Allah SWT

Sejarah

Banyak Yang Tak Tahu, Ternyata Dasar Negara Indonesia Bukan Pancasila Tapi Allah. Apa yang disampaikan oleh Dr Eggi Sudjana SH MSi dalam talkshow di TV swasta malam itu sangat mengejutkan banyak pihak. Beliau menyebutkan bahwa jika dicermati, ternyata justru negara Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dan sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah subhanahu wata'ala. Sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini sebenarnya adalah Islam.

Pernyataan itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al Qura'n dan Al Hadits, namun berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Mungkin Abdul Muqsith ingin menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan Quran dan Hadits.

Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu?

Abdul Muqsith cukup bingung diserang dengan pertanyaan seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Ketika itulah mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang adalah UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.

Jika dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Eggi Sujana itu. Mana teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak kaget juga mendengar jawaban Eggi.

Entahlah apa ada ahli hukum lain yang bisa menjawabnya. Yang jelas si Abdul Muasith itu hanya bisa diam saja, tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan oleh Eggi Sujana.

Dan rasanya kita memang tidak atau belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila.

Diskusi itu menjadi menarik, lantaran _kita baru saja tersadar bahwa dasar negara kita menurut UUD 45 ternyata bukan Pancasila sebagaimana yang sering kita hafal selama ini sejak SD._ Pasal 29 UUD 45 ayat 1 memang menyebutkan begini:

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Lalu siapakah Tuhan yang dimaksud dalam pasal tersebut, jawabannya menurut Eggi adalah Allah SWT. Karena di pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah SWT.

Dalam argumentasi mas Eggi, yang namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau berlawanan. Jika dalam batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu bukan sekedar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Namun tuhannnya umat Islam, yaitu Allah SWT.

Hal itu lantaran secara tegas Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah SWT. Dan hal itu tidak boleh ditafsirkan menjadi segala macam Tuhan, bukan asal Tuhan dan bukan tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus dipahami oleh rakyat Indonesia sebagai Allah SWT, bukan Yesus, bukan Bunda Maria, bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan dalam nama yang lain.

Terlepas apakah nanti ada ahli hukum tata negara yang bisa membantah pemikiran Eggi Sujana itu, yang pasti Abdul Muqsith tidak bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan negara Islam serta tidak berdasarkan Quran dan Sunah, secara jujur harus kita akui harus dikoreksi kembali.

Sebab jika kita lihat latar belakang semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal.
Bahkan awalnya, sila pertama dari Pancasila itu masih ada tambahan 7 kata, yaitu: dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.

Namun lewat tipu muslihat dan kebohongan para penguasa, dan tentunya melewati perdebatan yang sangat panjang, 7 kata itu harus dihapuskan. Sekedar memperhatikan kepentingan kalangan Kristen yang merasa keberatan dan main ancam mau memisahkan diri dari NKRI.

Padahal 7 kata itu sama sekali tidak mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang mayoritas muslim, namun betapa lucunya tingkah mereka, tatkala pihak mayoritas mau menetapkan hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok bisa-bisanya orang-orang di luar agama Islam pakai acara protes segala. Padahal apa urusannya mereka dengan 7 kata itu.

Jika dipikir lebih mendalam, betapa tidak etisnya kalangan Kristen saat awal kita mendirikan negara, di mana mereka sudah ikut campur urusan agama lain, yang mayoritas pula. Sampai mereka berani nekat mau memisahkan diri sambil berdusta bahwa Indonesia bagian timur akan segera memisahkan diri kalau 7 kata itu tidak dihapus.

Akhirnya dengan legowo para ulama dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi persatuan dan kesatuan. Tapi apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih bisa duduk rukun dan akur, kalangan Ekstrem Kristen yang didukung kalangan sekuler itu tidak pernah berhenti ingin menyingkirkan Islam dari negara ini.

Dan semangat penyingkiran Islam dari negara semakin menjadi-jadi dengan adanya penekanan asas tunggal di zaman Soeharto. Semua ormas apalagi orsospol wajib berasas Pancasila.

Sesuatu yang di dalam UUD 45 tidak pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu adalah Allah SWT sesuai dengan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 45.

Jadi sangat tepat jika kalangan sekuler harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini.

Namanya perjuangan, pasti mereka akan terus mencari dan mencari argumen-argumen yang sekiranya bisa dijadikan bahan untuk dijadikan alibi untuk menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka memang sangat alergi dengan Islam. Seolah-olah ajaran Islam itu harus diberantas, atau merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai.

Kita harus mengakui bahwa kalangan sekuler anti Islam itu di negeri ini sangat banyak. Dalam kepala mereka, mungkin lebih baik negara ini menjadi komunis dari pada jadi negara Islam.

Wallahu A'lam. (Ahmad Sarwat, Lc).

Saturday, November 16, 2019

KISAH SEORANG BUZZER KEKUASAAN DAN AIBNYA YANG TERBONGKAR

Oleh: Ustadz Yuana Ryan Tresna

Secara etimologi, buzzer adalah lonceng, bel, atau alarm yang digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan banyak orang di suatu tempat dengan tujuan untuk menyampaikan suatu pengumuman. Saat ini, penggunaan istilah “buzzer” sering dipakai dalam aktivitas media sosial. Dalam konteks media sosial, arti buzzer adalah orang yang mempromosikan, mengkampanyekan, atau mendengungkan sesuatu, baik itu produk atau isu tertentu melalui postingan di akun media sosialnya. (Lihat www[dot]maxmanroe[dot]com)

Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, media penyampaian informasi, penggiringan opini (framing) bahkan penyebaran berita bohong (hoax) adalah melalui syair. Para penyair handal dan terkenal adalah yang bisa mengendalikan opini. Kala itu, belum zamannya media sosial, dimana para pendengung adalah mereka yang followernya banyak. Diantara tujuan penyampaian opini adalah meyakinkan publik terhadap topik, produk dan tokoh yang dikampanyekan.

Penyair besar dan handal yang dimiliki orang Quraisy adalah al-Walid al-Mughirah. Ia adalah buzzer kekuasaan yang “bekerja” untuk menyenangkan kaumnya. Ia buzzer istana yang sangat mahir dalam kendalikan opini publik. Pada akhirnya ia mati, sementara kebencian sudah teramat dalam merasuk dalam jiwanya. Al-Walid dipilih karena kedudukan dan kecerdasannya. Sebagai tokoh, ia turun langsung. Bukan dengan  menyewa para buzzer kelas teri yang baru belajar sastra. Tugas kaumnya adalah menga-amplifier opini yang dibangun.

Hari ini, banyaknya informasi bohong atau hoax, salah satunya adalah akibat ulah para buzzer. Mereka membuat dan atau menyebarkan informasi bohong. Informasi bohong itu juga direproduksi sedemikian rupa.

Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pendengung yang tampil bukan hanya yang memiliki pengaruh semisal pengaruh di media sosial seperti sekarang ini. Tetapi benar-benar yang memiliki kualitas dalam karya sastra (penyair kawakan), kedudukan yang tinggi di kaumnya dan memiliki kecerdasan yang melebihi orang kebanyakan. Ia bukan pencari nasi bungkus atau sebagai buzzer bayaran, karena ia memiliki kekayaan yang berlimpah. Salah satunya adalah al-Walid bin al-Mughirah.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan terkait al-Walid dalam QS. al-Mudatsir: 11-16,

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang Aku sendiri telah menciptakannya. Dan Aku berikan baginya kekayaan yang melimpah. Dan anak-anak yang selalu bersamanya. Dan Aku berikan kepadanya kelapangan (hidup) yang seluas-luasnya. Kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahnya. Tidak bisa. Sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat Kami (Al Quran). Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan. Maka celakalah dia bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan. Lalu berwajah masam dan cemberut. Kemudian berpaling dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata: “(Al Quran) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Inilah hanyalah perkataan manusia. ”Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam (neraka) Saqar.”  (QS. Al-Mudatsir: 11-26).

Imam al-Suyuthi, al-Qurthubi, al-Thabari, Ibnu Katsir dan lain-lain sepakat bahwa yang dimaksud surat al Mudatsir 11-26 adalah al-Walid bin al-Mughirah. Al-Walid mendapatkan limpahan kebaikan, namun ia menentang al-Quran. Bukan hanya itu, ia membuat narasi bohong (hoax) bahwa al-Quran adalah sihir yang dipelajari. Berarti Muhammad bin Abdullah juga adalah tukang sihir. Narasi itu diopinikan kepada kaumnya, dengan tujuan untuk meyakinkan dan menyenangkan kaumnya.

Untuk mengetahui cara kerja al-Walid dalam menggiring opini, mari kita simak riwayat dalam al-Mustadrak al-Hakim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (dimana Imam al-Hakim menilai riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Imam al-Bukhari) sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas bahwa al-Walid bin al-Mughirah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membacakan al-Quran kepadanya. Sepertinya al-Quran itu melembutkan kekufuran al-Walid. Kabar ini sampai ke telinga Abu Jahal. Ia pun datang menemui al-Walid.

Abu Jahal mengatakan, “Wahai paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” “Untuk apa?” tanya al-Walid. “Untukmu. Karena engkau datang menemui Muhammad untuk menentang ajaran sebelumnya (ajaran nenek moyang).”

Al-Walid bin al-Mughirah menanggapi, “Orang-orang Quraisy tahu, kalau aku termasuk yang paling kaya di antara mereka.”

“Ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan kalau engkau mengingkari al-Quran atau engkau membencinya.”, kata Abu Jahal. Al-Walid mengatakan,

وماذا أقول؟ فوالله! ما فيكم رجل أعلم بالأشعار مني، ولا أعلم برجز ولا بقصيدة مني، ولا بأشعار الجن، والله! ما يشبه الذي يقول شيئا من هذا، ووالله! إن لقوله الذي يقول حلاوة، وإن عليه لطلاوة، وإنه لمثمر أعلاه مغدق أسفله، وإنه ليعلو وما يعلى، وإنه ليحطم ما تحته

“Apa menurutmu yang harus kukatakan pada mereka? Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah kalian orang yang lebih memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidahnya yang mengungguli diriku. Tapi apa yang diucapkan Muhammad itu tidak serupa dengan ini semua. Juga bukan sihir jin. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan (al-Quran) itu manis. Memiliki thalawatan (kenikmatan, baik, dan ucapan yang diterima jiwa). Bagian atasnya berbuah, sedang bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada dibawahnya.”

Luar biasa, seseorang yang keras hatinya dan penuh kebencian terhadap Islam dan apa yang Allah turunkan memiliki kesan yang luar biasa terhadap al-Quran.

Abu Jahal bersikukuh agar al-Walid mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang-orang Quraisy ridha. Ia berkata, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu yang buruk tentang al-Quran itu.”

“Jika demikian, tinggalkanlah aku biar aku berpikir dulu,” kata al-Walid.
Setelah berpikir, al-Walid mengatakan, “al-Quran ini adalah sihir yang dipelajari. Muhammad mempelajarinya dari orang lain.”

Kemudian Allah menurunkan firman-Nya surat al-Mudatstsir ayat 11. Dari ayat 11 dan beberapa ayat seterusnya bercerita tentang al-Walid bin al-Mughirah yang divonis akan mendapatkan adzab yang pedih di neraka.

Kisah tersebut, selain dalam al-Mustadrak, juga bisa dijumpai dalam Sunan Kubra Imam al-Baihaqi dan al-Bidayah wa al-Nihayah Imam Ibnu Katsir.

Sebelumnya, al-Walid berdialog dengan kaumnya tentang apa yang pas untuk julukan kepada Nabi Muhammad. Koleganya menjuluki Muhammad sebagai penyair, tukang sihir, dukun dan ada yang menjulukinya dengan orang gila. Namun akhirnya opini yang digunakan adalah tukang sihir. Itulah al-Walid, berusaha keras, berpikir, dan merenung menyiapkan narasi yang bisa memuaskan kaumnya dan menyenangkan tirani kekuasaan kala itu. Setelah itu ia sampaikan kepada kaumnya sebagai bentuk penggiringan opini.

Orang-orang Quraisy itu kebingungan dengan narasi yang dibuatnya sendiri. Karena mereka harus membangun kebohongan lanjutan di atas kebohongan sebelumnya. Mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya mereka katakan tentangnya. Semua perkataan mereka bathil. Allah Azza wa Jalla berfirman:

انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الْأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلَا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلًا

“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra`: 17:48).

Sebenarnya al-Walid ini orang cerdas. Berbeda dengan buzzer kekuasaan hari ini, tidak sedikit dari mereka yang bodoh bahkan dungu, sehingga narasinya acap kali menelanjangi kebodohannya dan menimbulkan masalah baru.

Akhirnya, aib al-Mughirah dibongkar. Ibn Abbas berkata, “tidak ada yang disifati dengan aib-aib seperti ini kecuali al-Walid bin al-Mugirah. Aib yang menjangkitinya sepanjang hayat.” (Tafsir al-Jalalain, vol. 1, hlm. 758). Semua sifat buruk al-Walid diabadikan dalam ayat berikut ini,  QS. al-Qalam: 10-15:

وَلا تُطِعْ كُلَّ حَلافٍ مَهِينٍ (١٠) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (١١) مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (١٢) عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ (١٣) أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ (١٤)إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ (١٥)

“Dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela yang kian kemari menyebar fitnah. Yang sangat mencegah dari berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa yang kaku lagi kasar. Selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (nasabnya tidak jelas), karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata,”(Ini adalah) dongengan orang-orang dahulu kala.” (QS. Al-Qalam: 10-15).

Mendengar ayat ini, al-Walid naik pitam. Dengan menghunus pedangnya, dia mendatangi ibunya, “Muhammad menyifatiku dengan sepuluh sifat. Hanya sembilan sifat yang saya temukan dalam diriku. Adapun yang satunya “zanim, زَنِيمٍ”, tidak aku ketahui artinya. Mohon jelaskan maknanya, atau pedang ini terpaksa menebas lehermu.” Ancamnya ingin tahu. “Bapakmu kaya raya, namun lemah syahwat (impoten). Takut hartanya tidak ada yang warisi, saya pun terpaksa minta digauli oleh seorang pengembala. Engkau anak si pengembala itu.” Jelasnya dengan jujur.

Dengan menelaah QS. Al-Qalam ayat 10-15 di atas, ada kesamaan model para buzzer durjana yang mengabdi kepada kekuasaan dari masa ke masa, yaitu 10 sifat sebagai berikut:
1. Suka bersumpah demi menutupi kebenaran.
2. Hina, karena tidak ada orang yang seperti itu kecuali ia sebagai pendusta, dan tidak ada yang seperti itu kecuali orang yang keadaannya hina.
3. Suka mencela, yakni banyak mencela manusia baik dengan menggunjing, menghina maupun dengan lainnya.
4. Penyulut fitnah, yakni mengadu domba.
5. Pencegah kebaikan.
6. Penganiaya yang melampaui batas, yakni terhadap manusia dengan menzhalimi harta, darah dan kehormatan mereka
7. Banyak dosa.
8. Berperilaku kasar, yakni kasar (caci maki), keras, berakhlak buruk dan tidak mau tunduk kepada kebenaran.
9. Nasabnya tidak jelas, yakni diragukan keturunannya, tidak ada asalnya yang menghasilkan kebaikan, bahkan akhlaknya adalah seburuk-buruk akhlak, tidak diharapkan kebaikannya, bahkan terkenal kejahatannya
10. Memiliki daya dukung finansial yang melimpah, baik karena kekayaannya maupun karena dibackup kekuasaan. Orang yang mempunyai banyak harta lebih mudah mendapat pengikut.

Semoga Allah menenggelamkan para buzzer kekuasaan yang menyesatkan kebenaran informasi dan memeca-belah persatuan dan kesatuan umat.

Hadanallahu wa iyyakum.

Bandung, 11 Oktober 2019

DIMANAKAH POSISI PANCASILA DIANTARA 3 IDEOLOGI DUNIA ?

DIMANAKAH POSISI PANCASILA DIANTARA 3 IDEOLOGI DUNIA ?
(Islam, Kapitalisme, Sosialis-Komunis)

Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi

Saat ini masih banyak yang begitu mudahnya menyematkan kata "ideologi" kepada berbagai ide yang dianggap kontroversial, dianggap berbahaya, dianggap baru, dianggap beda, dianggap sakral, dsbnya. Padahal tidaklah semudah itu menyebutkan sesuatu itu dikatakan ideologi. Belum lagi mungkin masih bingung membedakan mana ide dasar, mana ide turunan yang terpancar dari ide dasar tersebut.

Penyematan kata ideologi terhadap berbagai ide menggambarkan pihak yang melakukan penyematan itu sendiri belum mengetahui apa itu definisi dari ideologi itu sendiri, sehingga jika ada sesuatu yang dianggap sakral, berbahaya, kontroversial, berbeda, langsung disebut ideologi anu, ideologi anu, dsbnya.

Sebuah definisi itu menggambarkan keadaan/realitas yang haruslah bersifat Jami' (komprehensif) dan Mani' (protektif), dimana sebuah definisi itu haruslah menyeluruh menyangkut seluruh aspek yang dideskripsikan serta memproteksi/membatasi sifat-sifat di luar substansi yang dideskripsikan.

Mari kita lihat definisi ideologi yang benar itu seperti apa :

"Mabda (ideologi) adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud akidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari akidah tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya, memelihara akidah serta untuk mengemban mabda. Penjelasan tentang cara pelaksanaan, pemeliharaan akidah, dan penyebaran risalah dakwah inilah yang dinamakan thariqah. Sedangkan yang selian itu, yaitu akidah dan berbagai pemecahan masalah hidup tercakup dalam fikrah. Jadi mabda mencakup dua bagian, yaitu fikrah dan thariqah." [Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzamul Islam, Arab hal. 24 / terjemah hal. 47]

Definisi mabda diatas itu adalah definisi umum yang berlaku untuk 3 ideologi dunia, baik definisi untuk ideologi Islam, ideologi Kapitalisme dan ideologi Sosialisme-Komunisme. Syaikh Taqiyuddin begitu singkat mendefinisikan mabda (ideologi) adalah Aqidah Aqliyah yang melahirkan (memancarkan) peraturan. Hanya itu saja.

Mungkin bagi kebanyakan hanya menyangka definisi mabda tadi hanya sekedar itu saja, padahal ada penjelasan mendetail dari segelintir kata tersebut.

Mari kita petakan soal definisi mabda tadi agar bisa lebih mudah dipahami.

Mabda = Aqidah Aqliyah + Aturan (Nidzam)

Itu syarat sebuah mabda, yaitu dia haruslah berupa Aqidah Aqliyah yang memancarkan aturan (Nidzam). Jika tidak memenuhi syarat itu, maka sudah jelas dia bukan sebuah ideologi.

Lalu mari kita uraikan apa yang dimaksud dengan Aqidah Aqliyah dan Aturan (Nidzam).

Pertama :

Aqidah Aqliyah atau yang disebut sebagai aqidah yang rasional merupakan pembahasan yang menyangkut dengan Uqdatul Qubra (simpul besar), dimana Uqdatul Qubra ini meliputi 3 pertanyaan yang paling dasar yang kemudian jika 3 pertanyaan itu sudah terjawab dengan 3 jawaban, maka akan menjadi sebuah Qaidah Fikriyah (landasan berpikir).

Lalu apa saja 3 pertanyaan mendasar itu?
- Darimana kita berasal ?
- Untuk apa kita hidup ?
- Akan kemana kita setelah kehidupan dunia ?

Bagi ideologi Sosialis-Komunis menjawab :
a) Manusia, alam semesta dan kehidupan berasal dari materi (dialektika materialisme), mungkin bahasa mudahnya kita berasal dari zat-zat kimia yang merupakan benda mati yang kemudian berevolusi.
b) Ketika hidup pun tidak mengakui adanya pencipta, karena pada jawaban pertama pun sudah tertolak keberadaan pencipta (Atheisme), maka hidup pun bebas ditentukan berdasarkan aturan yang dibuat asumsi akal dan manusia dianggap sama seperti alam, yaitu sama-sama materi yang saling berinteraksi sehingga munculah perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan yang diatur oleh negara agar sama rata sama rasa (sistem terpusat).
c) Setelah kehidupan pun ideologi ini menyatakan semua akan kembali kepada materi lagi, akan menjadi zat-zat kimia kembali setelah terjadi proses penguraian oleh bakteri-bakteri tertentu.

Bagi ideologi Kapitalisme menjawab :

a) Kita berasal dari pencipta yang menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan. Pencipta bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir) serta wajibul wujud (wajib adanya).

b) Ketika hidup, pencipta hanya dijadikan sebagai formalitas saja dianggap ada eksistensinya, tetapi tidak mengatur kehidupan manusia, maka aturan kehidupan pun bebas dibuat oleh asumsi akal, sehingga munculah kebebasan-kebebasan dalam berprilaku yang dianggap rasional oleh akal dan harus dilindungi.

c) Setelah kehidupan pun ideologi ini mengakui adanya hari kebangkitan, mengakui kembali eksistensi pencipta yang akan memasukan mereka antara ke neraka atau surga, tetapi tanpa ada hisab.

Bagi ideologi Islam menjawab :

a) Manusia, alam semesta dan kehidupan berasal dari Allah sebagai Al-Khaliq (pencipta) yang bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir) serta wajibul wujud (wajib adanya).

b) Ketika hidup, seluruh aturan Allah pun mengatur segala aspek kehidupan dan manusia senantiasa terikat dengan hukum syara, selalu menyadari akan hubungannya dengan Allah (idrak silatu billah) mulai dari yang terkecil hingga hal besar. Tidak ada satu hal perbuatan dan benda pun yang luput dari hukum Allah yang menetapkan status hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, haram atas perbuatan dan halal-haram atas benda.

c) Setelah kehidupan manusia akan dibangkitkan kembali dan akan dihisab amalannya (pahala dan dosa) yang akan berakhir antara ke surga atau neraka.

Itulah 3 jawaban dari 3 ideologi atas 3 pertanyaan mendasar (Uqdatul Qubra), sehingga jawaban masing-masing dari 3 ideologi itu menjadi Qaidah Fikriyah (landasan/asas berpikir).

Kedua :

Aturan (Nidzam) adalah Fikrah (ide) dan Thariqah (metode) yang terpancar dari Aqidah Aqliyah yang sudah dijelaskan pada poin pertama tadi.

Fikrah sendiri adalah aqidah dan konsep pemecahan masalah hidup (Mu'alajah/problem solving).
Itu adalah syarat dari sebuah Fikrah, jika tidak ada aqidah atau konsep pemecahan masalah hidup, maka bukan sebagai Fikrah.

Lalu maksud aqidah pada fikrah ini apa? Bukannya tadi di atas sudah dibahas?

Maksud aqidah yang tercakup pada fikrah ini adalah Aqidah ar-Ruhiyyah yang membahas tentang rukun iman yang 6 sebagai keyakinan termasuk mengatur tentang keakhiratan seperti surga, neraka, pahala, dosa, juga seperti shalat, zakat, haji, puasa, jihad dan ibadah mahdah lainnya. Hal ini masuk dalam dimensi hubungan manusia dengan Allah ('alaqatil insani bi khaliqihi) dan hubungan manusia dengan dirinya ('alaqatil insani bi nafsihi).

Dan sebagai Aqidah as-Siyasiyyah juga atau bisa disebut Syariah, yang membahas tentang tentang pengaturan politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, sanksi hukum, dsbnya atas pemecahan masalah manusia. Hal ini masuk dalam dimensi hubungan manusia dengan sesamanya ('alaqatil insani bi ghairihi).

Aqidah ar-Ruhiyyah dan Aqidah as-Siyasiyyah diatas sekaligus sebagai konsep pemecahan malasah hidup manusia.

Thariqah sendiri adalah metode penerapan, mempertahankan/penjagaan dan penyebaran atas Fikrah atau dengan kata lain Thariqah ini adalah Negara, karena hanya dalam level negara seluruh fikrah akan diterapkan, dipertahankan/dijaga dan disebarkan secara sempurna dan menyeluruh.

Maka gabungan dari poin Pertama dan poin Kedua itu adalah Ideologi (Mabda) yang menjadi Qiyadah Fikriyah (kepemimpinan berpikir).

Dimana Posisi Pancasila?

Sekarang waktunya kami bertanya, dimanakah posisi Pancasila?
Coba kita lihat lagi pada rumus ini :

Mabda = Aqidah Aqliyah + Aturan (Nidzam)

Pada rumus itu, dimana posisi Pancasila?

Banyak yang berkata Pancasila itu adalah ideologi. Jika Pancasila adalah ideologi, coba terangkan bagaimana Aqidah Aqliyahnya Pancasila?
Bagaimana jawaban Pancasila atas Uqdatul Qubra?

Kemudian pada Aturan (Nidzam), bagaimana Fikrah dan Thariqah Pancasila?
Pada Fikrah, bagaimana konsep Aqidah ar-Ruhiyyah dan Aqidah as-Siyasiyyah Pancasila?
Lalu pada Thariqah, bagaimana menerapkan, mempertahankan/menjaga dan menyebarkan Pancasila baik dalam negeri maupun ke luar negeri?

Kami tantang untuk bisa menjawab itu jika Pancasila tetap disebut sebagai ideologi, karena syarat sebuah ideologi itu haruslah mempunyai Aqidah Aqliyah dan Aturan (Nidzam) dan tentunya harus berbeda satu sama lainnya dengan ideologi lain, harus mempunyai ciri khas tersendiri, tetapi jika tidak punya maka sudah jelas bukanlah ideologi.

Kembali lagi kami bertanya, dimanakah pada rumus itu, posisi Pancasila?

Ternyata Pancasila hanya ada pada posisi Fikrah. Fikrah dari ideologi apa? Ideologi Kapitalisme karena hanya mencantumkan sila ke-1 "ketuhanan yang maha esa" sebagai formalitas untuk sekedar mengakui eksistensi pencipta saja, tetapi bukan sebagai pengatur kehidupan termasuk dalam bernegara.

Bahkan lebih parah lagi, Pancasila tidak sampai kepada derajat/level Fikrah. Kenapa? Karena syarat Fikrah itu haruslah ada aqidah dan konsep pemecahan masalah hidup (Mu'alajah/problem solving), sementara Pancasila sendiri bukanlah aqidah dan tidak mempunyai konsep pemecahan masalah hidup.

Jadi posisi Pancasila ada di dalam gerbong ideologi Kapitalisme dan posisinya lebih rendah dari Fikrah.

Meski Pancasila ini salah satunya diinspirasi oleh hasil perenungan Soekarno, bahkan sempat muncul nama atas ide yang keluar dari Soekarno ini adalah Marhaenisme. Padahal Soekarno sendiri pun pernah condong terhadap ideologi Sosialis Komunis dengan membentuk paham Marhaenisme yang padahal itu bukan asli produk pemikirannya, tetapi merupakan gabungan nama dari 3 tokoh Komunis yaitu Karl Heinrich Marx (1818-1883), George Wilhelm Friedrich Hagel (1770-1831), dan Friedrich Engels (1820-1895) menjadi MarHaEn yang menginspirasi Soekarno.

Jadi sekarang kami bertanya, masih sudikah berkata bahwa mengamalkan Islam sama dengan mengamalkan Pancasila atau sebaliknya? Dan sama-sama mendapat pahala begitu kah? Sama-sama menjadi amal sholeh begitu kah?

Masih pantaskah berkata bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam atau sebaliknya? Masih terus menyelaraskan antara kedua hal itu? Masih terus mencari pembenaran? Masih terus bersikap defensif apologetik?

Pantaskah Islam sebagai Ideologi (Mabda) disamakan posisinya dengan Pancasila yang bahkan lebih rendah tidak mencapai derajat/level Fikrah?

Lihatlah keteguhan para Ulama masa 1945 dan para ulama masa Konstituante 1956-1959 dimana para Ulama saat itu dengan lantang menyebutkan bahwa Pancasila tidak sama dengan Islam dan memang bertentangan. Ulama seperti itu masih bisa kita lihat sekarang, salah satunya KH.Abu Bakar Ba'asyir yang patut menjadi teladan atas kita bahwa beliau tetap menempatkan yang Haq pada Haq dan yang Bathil tetap pada Bathil. Tidak ada sikap Defensif Apologetik sama sekali.

Ingatlah dengan ayat ini, dimana Allah pun tidak akan menerima atas orang yang selalu melakukan pencarian pembenaran atas perbuatannya yang dianggap benar, padahal itu salah.

"Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" [QS. Al-A'raf : 28]

Semoga bisa dijadikan renungan bersama agar kita benar-benar teguh dalam menyampaikan kebenaran.

Wallahu alam bishowab.
Nazril Firaz Al-Farizi