Thursday, September 13, 2012

KERAPUHAN SISTEM FINANSIAL KAPITALIS*

KERAPUHAN SISTEM FINANSIAL KAPITALIS*

Oleh : H. Dwi Condro Triono, SP., M.Ag**

1. PENDAHULUAN

Aktivitas ekonomi senantiasa berputar dalam dua kelompok pasar. Pasar yang pertama disebut pasar barang, yang terdiri dari pasar barang dan jasa. Pasar yang kedua disebut pasar faktor produksi, yang terdiri dari pasar lahan, pasar tenaga kerja dan pasar keuangan. Keberadaan pasar faktor produksi tentu saja adalah untuk mendukung keberadaan pasar barang.

Namun, dalam perkembangan sistem ekonomi kapitalisme, ada pasar salah satu dari pasar faktor produksi yang mengalami perkembangan teramat pesat. Pasar tersebut tidak lain adalah pasar keuangan atau yang biasa dikenal dengan financial market. Pesatnya perkembangan pasar ini bahkan sampai mengakibatkan pasar ini terlepas dari induknya, kemudian menjadi pasar yang berkembang sendiri. Keberadaan pasar ini kemudian dikenal dengan pasar non riil, sebagai lawan dari pasar riil atau pasar barang.

Keberadaan pasar keuangan ini berkembang dengan sangat luas dan sangat kompleks, sehingga menjadi sebuah pasar yang berjalan dengan sebuah mekanisme atau sistem yang teramat rumit. Sistem ini kemudian dikenal dengan sistem finansial/keuangan (financial system).

Untuk memahami keberadaan sistem ini memang tidak mudah. Namun, dapat kita mulai dengan pendekatan filosofi yang paling sederhana, yaitu dimulai dengan memahami hakikat dari pasar uang itu sendiri.

Setelah kita memahami secara sekilas tentang seluk beluk dari pasar uang tersebut, barulah kita akan membahas secara agak lebih mendalam, mengapa sistem keuangan dalam sistem ekonomi kapitalisme tersebut sangatlah rapuh dan senantiasa menjadi sumber krisis ekonomi.

2. PENGERTIAN PASAR UANG

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pasar uang, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pasar menurut teori ekonomi. Pasar menurut teori ekonomi pasar adalah segala hal yang mencakup berbagai pertemuan antara permintaan dan penawaran.

Dari definisi pasar tersebut, sekarang kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan pasar uang. Jika dalam pasar secara umum mencakup semua transaksi, maka di dalam pasar uang, yang ditransaksikan adalah hak untuk menggunakan uang (untuk dibelanjakan barang dan jasa) untuk jangka waktu tertentu (Boediono, 1992).

Dalam pasar tersebut akan terjadi transaksi pinjam-meminjam dana yang menimbulkan hubungan hutang-piutang. Sedangkan "barang" yang ditransaksikan tidak lain adalah secarik kertas berupa "surat hutang". Selanjutnya, orang yang meminjam uang disebut debitur, yaitu orang yang menjual surat utangnya kepada meminjamkan uang atau kreditur.

Selanjutnya, dalam transaksi tersebut tentu akan menghasilkan "harga". Apa yang dimaksud dari harga tersebut? "Harga" adalah harga penggunaan uang tersebut untuk jangka waktu tertentu. Harga tersebut dinyatakan dalam persen (%) per satuan waktu tertentu. Harga tersebut disebut dengan suku bunga (tingkat bunga). Bunga tersebut dapat dianggap sebagai "sewa" atas penggunaan uang tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Dari pengertian pasar uang tersebut, maka kita dapat memahami hakikat dari uang menurut pandangan ekonomi kapitalisme. Uang yang beredar di tengah-tengah kita, yang biasa dikenal dengan uang tunai sesungguhnya adalah uang yang ditukar dengan surat hutang.

Uang tunai tersebut sesungguhnya adalah pengertian dari uang dalam arti yang paling sempit, yaitu uang kartal atau currency (C). Sedangkan wujud uang yang lain, dalam pengertian yang lebih luas dikenal sebagai berikut:

M1 = C + DD (demand deposits/uang giral)

M2 = M1 + TD (time deposits) + SD (savings deposits)

M3 = M2 + QM (quasi money)

L = total liquidity, mencakup semua alat-alat yang ‘likuid’ yang ada di masyarakat.

Sedangkan bila ditinjau dari perannya menciptakan uang yang beredar di tengah masyarakat, maka dikenal ada tiga pelaku utama, yaitu:

1. Otorita Moneter, yaitu pihak yang mempunyai peran sebagai sumber awal dari terciptanya uang beredar yang merupakan sumber ‘penawaran’ (supply) uang kartal (C) untuk memenuhi ‘permintaan’ masyarakat dan sumber ‘penawaran’ yang dibutuhkan lembaga keuangan dalam bentuk cadangan bank (bank reserves (R).

2. Lembaga keuangan (bank dll), yaitu pihak yang menjadi sumber penawaran uang giral (DD), deposito berjangka (TD), simpanan tabungan (SD) dan aktiva keuangan lain yang ‘diminta’ masyarakat.

3. Masyarakat adalah konsumen terakhir dari uang tercipta yang digunakan untuk memperlancar kegiatan produksi, konsumsi dan pertukaran mereka.

III. KERAPUHAN SISTEM FINANSIAL KAPITALIS

Setelah kita memahami sekilas tentang pasar uang, tibalah saatnya bagi kita untuk melihat kerapuhan dari sistem pasar keuangan yang telah diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalisme tersebut. Ada banyak faktor yang menyebabkan sistem keuangan tersebut menjadi sangat rapuh, sehingga senantiasa memunculkan problem bagi sistem ekonomi secara keseluruhan. Problem ekonomi yang senantiasa identik dengan sistem keuangan biasa dikenal dengan istilah inflasi.

Paling tidak ada 5 faktor yang menyebabkan sistem keuangan ini sangat rapuh, sehingga selalu menimbulkan masalah dalam ekonomi, bahkan tidak jarang telah menjadi sumber utama terjadinya krisis-krisis besar ekonomi dunia. Kelima faktor tersebut yaitu:

1. Keberadaan Seignorage

Keuntungan yang diperoleh dari pencetakan mata uang dikenal dengan istilah seignorage (Hifzur-Rab, 2002; Karim, 2002). Keuntungan yang mudah didapat dari pencetakan mata uang inilah yang akan mendorong bagi pemerintah untuk mencetak mata uang tanpa kendali, sehingga bisa melampaui penerimaan anggaran pendapatan pemerintah. Kebijakan ini biasa dikenal dengan istilah anggaran defisit. Kebijakan anggaran defisit dari pemerintah biasanya akan ditutup dengan hutang atau dengan mencetak uang baru (Tambunan, 1996). Jika pencetakan uang baru ini terus dilakukan, hal ini tentu akan menyebabkan terjadinya inflasi yang berterusan.

2. Keberadaan Sistem Cadangan Sebagian (Fractional Reserve System)

Adanya ketentuan sistem cadangan sebagian (fractional reserve system), Bank Umum diberi kewenangan yang besar untuk melipatgandakan uang (Rothbard, 2007). Sistem cadangan sebagian memberikan kewenangan pada Bank Umum untuk menciptakan "uang baru" melalui hutang (kredit) melebihi uang riil yang disimpan. Jumlah "uang baru" yang dapat dilipatgandakan melalui hutang oleh bank akan mengikuti rumus umumnya, yaitu (Sukirno, 2000): PU = D (1/FR); dimana PU: Penggandaan Uang; D: Deposito; FR: Fractional Reserve.

Sebagai contoh, jika jumlah cadangan yang disyaratkan dimiliki setiap bank adalah 10%, dengan jumlah deposit Rp. 10 milyar, bank akan dapat menggandakan jumlah deposit menjadi Rp.100 milyar. Adanya kewenangan dari seluruh bank umum untuk melakukan proses penggandaan uang ini jelas akan mudah menimbulkan inflasi.

3. Keberadaan Suku Bunga

Penetapan suku bunga yang bersifat pasti (fix rate) dengan tanpa mempertimbangkan resiko bisnis, ternyata telah menimbulkan dampak buruk yang luar biasa bagi perekonomian. Krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008 silam dapat menjadi contoh nyata untuk melihat betapa buruknya penggunaan sistem bunga tetap ini. Krisis ekonomi dunia yang banyak dipicu oleh skandal subprime mortgage di AS, ternyata berawal dari "permainan" suku bunga ini.

4. Keberadaan Motif Spekulasi

Keberadaan suku bunga selain akan berdampak buruk kepada perekonomian, ternyata juga akan menyebabkan kegunaan uang semakin jauh dari hakikat yang sebenarnya. Mata uang akhirnya lebih banyak digunakan sebagai alat komoditi yang dapat diperjualbelikan, dari digunakan sebagai alat tukar untuk keperluan sektor ekonomi yang riil. Perubahan kegunaan mata uang tersebut telah memperbesar terjadinya praktik-praktik spekulasi dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya ekspansi permintaan mata uang (money demand) yang cepat untuk keperluan-keperluan yang tidak produktif (Siregar, 2001).

Hal inilah menyebabkan uang tumbuh dengan cepat pada aktivitas di sektor tersebut. Hanya sekitar 5 % saja dari peredaran uang tersebut yang benar-benar untuk keperluan sektor riil. Uang dan derevasinya dapat tumbuh 800 kali lebih besar dibanding untuk keperluan di sektor riil. Fenomena inilah yang dapat menyebabkan terjadinya bubble economy, yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menyebabkan terjadinya krisis ekonomi (Lestari, 2005).

5. Keberadaan Sistem Nilai Tukar (Kurs) Mata Uang

Penggunaan mata uang yang berbeda-beda pada setiap negara akan menimbulkan adanya sistem nilai tukar mata uang (exchange rate) atau lebih dikenal dengan istilah kurs mata uang (Pass, Lowes & Davies, 1994; Karim, 2002). Adanya perbedaan kurs mata uang inilah yang menyebabkan terjadinya volatilitas nilai tukar yang tinggi. Pengaruh kurs tersebut selanjutnya tentu akan berdampak pada kinerja perdagangan internasional. Sebab, setiap terjadi perubahan nilai mata uang, tentu akan mempengaruhi harga dan daya saing produk suatu negara di pasaran internasional (Dornbusch, Fischer & Startz, 1998; Mishkin, 2001).

IV. SISTEM FINANSIAL ISLAM

Di dalam sistem ekonomi Islam, disamping berisi tentang aturan-aturan ekonomi di sektor riil, tentu juga ada pengaturan dalam sistem keuangannya. Bangunan dasar dari sistem keuangan Islam adalah bahwa Islam mewajibkan bagi negara untuk mencetak mata uang yang terbuat dari emas dan perak. Namun demikian, disamping adanya kewajiban dalam pencetakan mata uang emas dan perak bagi negara tersebut, Islam juga memberikan ketentuan bagi negara untuk melakukan penjagaan terhadap mata uang tersebut agar penggunaannya senantiasa sesuai dengan aturan syara’, yaitu:

1. Hanya menggunakan mata uang sebagai alat tukar dan alat berjaga-jaga saja (tidak untuk aktivitas spekulasi).

2. Wajib memungut zakat maal ke atas harta kekayaan (termasuk di dalamnya adalah mata uang yang disimpan), yang sudah sampai nishob dan haulnya.

3. Larangan menimbun mata uang (kanzul maal), yaitu menyimpan uang tanpa ada hajat tertentu untuk pembelanjaannya.

4. Larangan mengambil riba nashiah (riba dalam utang-piutang).

5.Larangan mengambil riba fadhl (riba dalam tukar-menukar atau jual beli pada barang tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’, seperti: jual beli mata uang, saham dsb. secara tidak kontan dan tidak berada di tempat).

6. Larangan jual beli yang mengandung unsur judi (maysir), yaitu: jual beli mata uang, saham dsb. yang mengandung unsur spekulasi dan dilakukan secara tidak kontan dan tidak berada di tempat.

7.Larangan jual beli barang dan jasa yang haram (tabdzir).

8. Larangan menggunakan harta untuk berfoya-foya (tarif).

9. Larangan untuk kikir (taqtir) dalam membelanjakan hartanya.

V. PENUTUP

Demikianlah penjelasan sekilas tentang kerapuhan dari sistem finansial yang berasal dari sistem ekonomi kapitalisme, serta solusinya menurut sistem ekonomi Islam. Walaupun sangat singkat, semoga dapat memberi gambaran awal bagi ummat Islam dalam mengelola sistem keuangannya.

Tentu kajian ini tidak boleh berhenti sampai di sini. Semoga ummat Islam senantiasa terdorong untuk terus mengkaji dan menyosialisasikan sistem keuangan Islam tersebut, sehingga ummat dapat segera menjadi sadar dan mau segera kembali kepada sistem keuangan Islam khususnya, dan secara umum tentu juga akan berkenan untuk kembali pada pengaturan kehidupan Islam secara menyeluruh. Amin.

= = = = =
*Makalah disampaikan dalam Kajian Tsaqofah Islam, Jum'at, 29 Januari 2010, di STEI Hamfara Jl Gurami no 31 Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta, diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia Chapter Kampus Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.

**Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, Dosen STEI Hamfara Yogyakarta, dan Kandidat Doktor Ekonomi Universitas Kebangsaan Malaysia.

Citra

Citra

“Anda tidak mau disebut radikal. Tidak mau juga disebut fundamentalis. Lantas maunya disebut apa?” tanya wartawan Newsweek kepada saya dalam satu kesempatan wawancara.

++++

Sebutan ‘Islam radikal’ (radical Islam) dan ‘Islam fundamentalis’ (fundamentalist moslem), juga istilah ‘Islam garis keras’ (hard-liner moslem) atau ekstremis Islam memang harus ditolak. Pasalnya, itu semua adalah istilah pejoratif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pejoratif adalah unsur bahasa yang memberikan makna menghina dan merendahkan.

Bahasa membawa cerita. Demikianlah, tiap sebutan juga pasti mengandung citra dan cerita tertentu yang telah terbentuk atau dibentuk sebelumnya. Celakanya, semua sebutan tadi telah memiliki citra yang buruk. “Radikalis”, “Fundamentalis”, “Ekstremis”, “Garis Keras” adalah istilah-istilah dalam wacana (discourse) yang dikembangkan oleh Barat untuk menyebut kelompok atau individu Muslim yang menurut mereka eksklusif, doktriner, anti dialog dan memusuhi Barat serta cenderung pada kekerasan. Sekali Anda melakukan kekerasan, baik benar-benar Anda melakukan ataupun dibuat seolah-olah Anda melakukan, maka cap teroris akan melekat. Sekali dicap teroris, maka Anda akan menjadi pesakitan selamanya.

Lihatlah bagaimana Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) akhirnya dicap sebagai kelompok teroris. Sebagai organisasi, sesungguhnya JAT tidak pernah terbukti terlibat dalam kekerasan, bahkan secara tegas mereka ikut mengecam Bom Bali. Namun, karena Ustadz Abubakar Ba’asyir dituduh ikut terlibat dalam pelatihan di Janto, Aceh, maka cap teroris itu seolah absah dilekatkan padanya, meski kemudian di Pengadilan tuduhan itu tidak terbukti.

Itulah dahsyatnya hegemoni wacana. Dan melalui hegemoni itu, Noam Chomsky, profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), AS, menyebut media Amerika Serikat telah memproduksi consent (imaji lewat media untuk memberikan sekutunya semacam hak untuk melakukan sesuatu yang salah secara hukum tetapi berhak untuk tidak dituntut) ke dalam benak masyarakat. Imaji lewat media itu dilakukan melalui serangkaian istilah-istilah yang terus disemburkan ke ruang publik melalui media yang memang telah didominasi Barat. Jadilah publik, termasuk orang Islam sendiri, percaya bahwa janganlah menjadi orang Islam yang radikal, fundamentalis dan ekstremis; jangan pula masuk ke dalam kelompok garis keras (hard liner) karena itu semua adalah buruk.

Melalui hegemoni wacana, publik juga dipaksa percaya bahwa al-Qaida adalah benar-benar teroris karena, menurut Pemerintah AS, mereka telah melakukan kekerasan. Padahal andaipun benar mereka melakukan kekerasan, sesungguhnya AS dan sekutunya juga melakukan kekerasan, bahkan dengan skala dan intensitas yang jauh lebih dahsyat dimana-mana. Namun, mengapa AS dan sekutunya itu tidak pernah disebut teroris?

Pemberitaan media massa, sebagaimana sejarah, adalah realitas tangan kedua (second-hand reality). Yang kita baca di koran atau kita dengar dan lihat di televisi bukanlah realitas sesungguhnya, tetapi rumusan atas realitas di lapangan yang telah diolah oleh reporter, redaktur, termasuk para juru foto dan kamerawan sesuai dengan garis kebijakan atau ideologi pemberitaan yang mereka anut. Hasil olahan media itu bisa menampilkan citra yang sangat berbeda dengan fakta sesungguhnya. Maka dari itu, bila sekadar dari media, orang memang bisa salah menilai.

Dalam Konferensi Tokoh Umat (KTU) Yogyakarta pada 10 Juni lalu, ada seorang peserta yang menyebut HTI sebagai kelompok jalanan karena sering melakukan demo. Orang ini pasti telah terpengaruh oleh pemberitaan karena memang dari sekian banyak kegiatan HTI, yang di mata media massa bernilai berita, mungkin adalah aksi demo itu. Akibat pemberitaan media, tidak sedikit orang yang memang salah menilai HTI. Jadilah orang mengira kegiatan HTI hanya demo, atau bisanya cuma demo. Padahal kegiatan HTI bukan hanya demo.

Citra juga bisa terbentuk melalui foto-foto atau gambar yang menyertai pemberitaan. Ada anggota masyarakat yang takut dengan HTI karena menganggap HTI itu seram. Rupanya ia telah terpengaruh oleh foto atau gambar-gambar aksi demo HTI yang oleh fotografernya diambil dari wajah-wajah peserta aksi yang kebetulan tengah meneriakkan takbir dengan kepalan tangan ke atas, yang tentu saja kelihatan sangat garang.

Menjelang Konferensi Khilafah di Sydney tahun 2007 lalu saat saya menjadi salah satu pembicara, media massa di sana mempersoalkan mengapa Pemerintah Australia memberikan visa kepada saya. Untuk melengkapi pemberitaan, dan mungkin untuk memberikan kesan seram, dipasang foto close-up saya dengan raut muka yang memang tampak keras dengan judul besar Indonesia Radical Moslem Cleric. Saya sendiri tidak tahu mereka dapat foto itu dari mana. Namun, membaca berita itu, ditambah dengan foto dengan wajah yang tampak tidak bersahabat, pasti orang akan mendapatkan citra kurang bagus.

Namun, percayalah, itu adalah citra yang bersifat sementara. Semua bisa berubah atau diubah ketika terjadi kontak langsung. Melalui pertemuan dengan HTI, orang akan mendapati fakta yang sesungguhnya tentang HTI, idenya dan orang-orangnya, yang boleh jadi sangat berbeda dengan kesan atau citra yang ada di dalam benaknya selama ini. Di sinilah pentingnya kontak atau pertemuan-pertemuan langsung; bahwa semua citra buruk tentang HTI itu tidaklah benar.

++++

Jadi, Anda maunya disebut apa? Kepada wartawan Newsweek, saya katakan, “Sebut kami, the Truly Moslem atau Muslim yang sebenarnya.”

Ini istilah yang saya reka sendiri, meniru jargon pariwisata Malaysia yang dalam advetorialnya menyebut Malaysia sebagai the Truly Asia atau Asia yang sebenarnya. Saya sendiri tidak tahu apakah istilah itu tepat atau tidak. Insya Allah sih, tepat. Maksudnya, istilah itu menggambarkan bahwa kita, dan tentu umat Islam lain, adalah orang-orang yang meyakini Islam sepenuhnya dan memahami serta mengamalkan seluruh ketentuan Islam dengan sebaik-baiknya.

Mengapa tidak digunakan saja istilah Muslim kaffah? Betul. Semestinya kita tidak kesulitan untuk menyebut siapa diri kita. Namun, itulah yang terjadi. Di era globalisasi seperti sekarang ini, saat Barat mendominasi hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk mendominasi ruang opini publik, ternyata kita direpotkan dengan istilah-istilah, hingga kita kesulitan menyebut diri kita sendiri.

Jadi, benarkah HTI itu “kelompok jalanan”? Setengah bercanda, saya katakan kepada peserta KTU yang bertanya tadi, bahwa HTI itu bukanlah kelompok jalanan, tapi “kelompok ruangan” karena kegiatannya lebih banyak di dalam ruangan daripada di jalanan. Buktinya, ya KTU ini.

Setelah sekian lama wawancara, saya balik bertanya kepada wartawan Newsweek, TV ABC dan NBC yang berbarengan mewawancarai saya, “Apakah Anda percaya orang seperti saya ini adalah teroris?” Serentak mereka menjawab, “Oh, no, no…”

Lalu wartawan The Washington Post setelah wawancara dengan enteng nyeletuk, “You are too smart to be Moslem.”

Jadi benarlah, meeting makes changing. Pertemuan akan merubah semua. Karena itu, mari kita rajin bertemu atau kontak dengan orang lain. Tentu bukan sekadar kontak, tetapi kontak yang terarah (ittishalah maqsudah). Dengan kesungguhan dan penjelasan yang jelas dan tegas disertai keikhlasan yang berangkat dari semangat tauhid, pertemuan-pertemuan itu insya Allah akan mampu mengubah sikap orang dari yang semula antipati menjadi simpati; dari menentang menjadi pendukung. Yakin. []

Kenapa Harus Khilafah?

Kenapa Harus Khilafah?

(REFLEKSI 83 TAHUN RUNTUHNYA KHILAFAH ISLAMIYAH )

3 Maret 1924, Khilafah dibubarkan Kamal Attartuk, agen Inggris keturunan Yahudi. Inilah puncak kemerosotan kaum muslim yang memang sudah lama menggerogoti tubuh umat. Atas nama Dewan Agung Nasional Turki (Al Jam’iyyatu al Wathaniyah al Kubro), Kamal merubah Turki menjadi Republik dengan asas sekulerisme. Tidak hanya itu, Kamal melakukan proses sekulerisasi dengan tangan besi. Khilafah dibubarkan, alasannya diktator, korup, dan bermacam tuduhan keji lainnya. Hukum syara’ pun diganti, dianggap kuno dan tidak manusiawi. Segala yang berbau Islam, dituduh berbau Arab, dan harus diganti. Mulai dari bahasa Arab, pakaian Arab, sampai adzan semua harus diubah. Islam dicampakkan. At Tatturk lupa, Islamlah yang membuat umat Islam, rakyat Turki, jaya dan gemilang.Sekarang, 3 Maret 2007. Penderitaan umat semakin bertambah. Negeri-negeri Islam terpecah belah menjadi puluhan negara yang dikontrol oleh penjajah Barat. Negara lemah, yang tidak bisa menolong saudaranya sendiri. Bayangkan, mereka tidak bisa menyelamatkan Pelestina, yang dijajah Israel. Rakyat Irak dibantai, Fallujah negeri dengan seribu menara masjid dinodai, tapi penguasa-penguasa negeri-negeri Islam yang sekuler itu sekedar jadi penonton. Darah kaum muslim, demikian gampang ditumpahkan oleh penjajah Amerika Serikat dan sekutunya dibantu agen-agen pengkhianat dari umat Islam sendiri. Mulai dari Palestina, Irak, Afghanistan, Bosnia, Chechnya, Uzbekistan, Sudan, Pattani Thailand, Moro Philipina, Poso, Ambon, Aceh. Padahal jumlah kaum muslim lebih dari 1,5 milyar. Kemiskinan, kebodohan, konflik, kemaksiatan pun identik dengan negeri-negeri Islam. Inilah buah sekulerisasi. Inilah buah diruntuhkannya Khilafah. Sekarang, tidak ada lagi alasan bagi kaum muslim untuk tidak kembali menegakkan Khilafah. Sebab, beribu argumentasi bisa kita kumpulkan, untuk menunjukkan kenapa kita butuh Khilafah Islam. Beberapa argumentasi penting itu antara lain : (1) Tuntutan Aqidah dan Syariah Islam. Ikrar seorang muslim yang bersyahadah : la ilaha illa Allah menuntut seorang muslim untuk mau diatur oleh aturan Allah SWT. Allah mengecam tidak beriman sampai seorang muslim mau diatur oleh aturan Islam. Persoalannya, bagaimana mungkin kita bisa menerapkan hukum Allah secara total kalau kita tidak punya negara Khilafah ? Aturan Islam yang lengkap pun tidak akan pernah terwujud tanpa Negara Khilafah. Demikian penting perkara ini sampai Rasulullah SAW menyebut mati jahiliyah yang dipundaknya tidak ada bai’at kepada Khalifah. (2) Mensejahterakan rakyat. Tanpa Khilafah umat diatur dengan sistem kapitalistik yang serakah. Sistem kapitalistik ini hanya mensejahterakan sebagian kecil orang. Sementara mayoritas umat hidup dalam kemiskinan. Jangan untuk pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang semakin mahal dan tidak terjangkau, untuk makanpun sulit. Meksipun negeri Islam, negeri yang kekayaan alamnya luar biasa. Bagaikan kata pepatah : Ayam mati di lumbung padi. Sementara kebijakan ekonomi khilafah adalah menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) tiap individu rakyat. Pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi yang merupakan kebutuhan vital rakyat pun diperoleh dengan biaya murah, bahkan bisa gratis. Sebab, kekayaan alam seperti emas, minyak, gas, hutan adalah milik umum yang hasilnya diberikan kepada rakyat.(3) Menjamin keamanan rakyat. Penguasa sekuler negeri-negeri Islam karena lebih menghamba kepada kepentingan penjajah, membiarkan rakyatnya dibunuh. Atas nama demokrasi, kebebasan, perang melawan terorisme, penguasa itu membunuh rakyatnya. Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Turki, bahkan menyediakan lahan bagi pesawat dan pangkalan militer negara penjajah untuk lebih gampang membunuh saudaranya di Irak dan Afghanistan. Tidak halnya dengan Khalifah yang agung, mereka akan menjaga nyawa rakyatnya. Rasulullah SAW marah besar saat ada seorang muslim yang terbunuh di Madinah oleh segerombolan Yahudi yang mengeroyoknya. Pasalnya, pria muslim tadi membela seorang muslimah yang dinodai kehormatannya oleh gerombolan Yahudi. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW untuk membela rakyatnya yang terbunuh ? Hukuman mati bagi pelaku pembunuhan dan mengusir Yahudi yang telah melanggar perjanjian. Jangankan nyawa manusia, Umar bin Khaththab sangat khawatir kalau di perjalanan ada unta yang terperosok karena jalan yang rusak. Khalifah juga akan bertindak tegas terhadap pelaku pembunuhan apalagi para perusuh yang membunuh banyak orang. Khalifah tentu saja tidak membiarkan ada rakyat yang dibunuh dan dibantai. (4) Menjaga pertahanan, keutuhan dan persatuan negeri-negeri Islam. Ketiadaan Khilafah, membuat kaum muslim bagaikan kehilangan penjaga rumah mereka. Akibatnya, orang-orang jahat dengan gampang masuk dan membuat kerusakan di negeri-negeri Islam. Ironisnya, orang-orang jahat ini diundang oleh penguasa muslim sendiri, atas nama demokrasi, rekontruksi, pembangunan, investasi dan lain-lain. Padahal penjajah tersebut punya tujuan yang satu mengeksploitasi negeri-negeri Islam. Negeri-negeri Islam yang tadinya satu dibawah naungan Khilafahpun dipecah-pecah, atas nama kemerdekaan dan penyelesaian konflik. Timor Timur lepas, Sudan diambang perpecahan, muncul konflik etnis di Irak, semuanya tidak lepas dari peran penjajah. Khalifah-lah yang akan kembali menyatukan umat Islam. Dan itu pernah terbukti bukan omong kosong. Khilafah Islam berhasil menyatukan umat manusia dari berbagai ras, suku, bangsa, warna kulit dan latar belakang agama yang sebelumnya berbeda. Semuanya dilebur dengan prinsip ukhuwah Islamiyyah. Tentu saja Khalifah tidak akan membiarkan ada penjajah yang ingin masuk ke negeri Islam. Lihat sikap tegas Rasulullah mempertahankan keutuhan negeranya. Melihat pengkhianatan kabilah Yahudi Khoibar yang menikam dari dalam saat membantu pasukan koalisi dalam perang Ahzab, Rasulullah tidak tinggal diam, s
egera setelah kembali dari Makkah, Rasulullah menyerang dan menghukum Yahudi Khoibar.
(5) Memuliakan dan menjaga kehormatan wanita. Kapitalisme telah merendahkan wanita dengan serendah-rendahnya. Mereka menganggap wanita tidak lebih dari barang ekonomi yang bisa diperjual belikan. Lihat saja bisnis pelacuran , hiburan, yang semuanya mengekspolitasi wanita. Para kapitalis yang rakus juga memperkerjakan wanita di pabrik-pabrik dengan upah yang sangat murah. Sangat berbeda dengan Islam, yang demikian memuliakan wanita. Pesan Rasulullah: sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap wanitanya. Benar-benar dilaksanakan oleh umat Islam. Islam menjaga kehormatan wanita dengan kewajiban menutup aurat dan mengatur pergaulan wanita. Siapa yang menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bukti dijatuhkan sanksi oleh Kholifah dengan tuduhan qadzaf. Wanitapun diposisikan Islam pada tempat yang sangat mulia di keluarga sebagai ummu wa rabbatul bait (pengatur rumah tangga), dengan demikan para ibu menjadi ujung tombak terciptanya generasi islam yang berkualitas dan bertakwa. (6) Melindungi orang-orang yang lemah dan warga non muslim. Kapitalisme telah mendiskriminasi manusia berdasarkan kekuatan modalnya. Anda bisa dapat makan layak, pelayanan kesehatan prima, pendidikan unggul, rumah yang asri dan nyaman, kalau anda punya modal besar, uang. Kalau tidak, anda layak untuk tidak hidup layak. Berbeda dengan Islam , yang akan menjamin orang-orang lemah dan miskin. Termasuk juga melindungi warga non muslim ahlul dzimmah. Rasulullah sampai mengingatkan dengan keras untuk tidak menganggu ahlul dzimmah. Orang-orang non muslim dibiarkan beribadah, makan, dan minum sesuai dengan ajaran agama mereka. Tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk Islam. Kebutuhan pokok mereka dijamin sebagai bagian dari hak mereka menjadi warga negara Daulah Islam. Tidak mengherankan begitu kagetnya pasukan tentera salib, saat melihat komunitas Nasrani di negeri Daulah Khilafah malah membantu pasukan Islam untuk memerangi pasukan salib. Mereka lupa, Islam telah mensejahterakan orang-orang non Islam. (7) Menyebarluaskan rahmat lil ‘alaminnya Islam. Penyebaran nilai-nilai Kapitalisme seperti sekulerisme, demokrasi, HAM, pluralisme, pasar bebas, telah menjadi bencana besar bagi umat manusia. Negara-negara penjajah hidup mewah , sementara mayoritas sisanya hidup miskin. Siapa yang bisa menyelamatkan ini semua. Tidak lain kecuali Islam. Nilai-nilai Islam yang bersumber dari Allah SWT akan memberikan rahmat bagi seluruh dunia, saat Syariat Islam ditegakkan. Inilah yang pernah terjadi. Bagaimana peradaban Islam telah memberikan sumbangan yang luar biasa bagi dunia baik dari segi nilai-nilai ideologis yang mengatur hidup manusia maupun kemajuan material seperti sains dan teknologi. Sejarawan jujur banyak mencatat kenyataan ini.

Point-point diatas akan semakin panjang kalau argumentasi kenapa harus Khilafah dilanjutkan. Saatnyalah umat Islam bangkit untuk kembali menegakkan Khilafah Islam. Dengan Khilafah Islam, kemajuan material yang dijanjikan oleh kapitalis bisa diraih. Tapi tidak hanya sekedar kemajuan materi, dengan Khilafah Islam kehidupan kaum muslim diridhoi oleh Allah SWT. Sebab mereka hidup dengan dasar ketaqwaan kepada Allah SWT. Tidak hanya untuk muslim saja tapi juga bagi orang-orang muslim, sebab Syariah Islam akan memberikan kebaikan bagi setiap manusia. Ya Allah jadikanlah kami, umat Islam segera dapat membai’at seorang Khalifah, sehingga bendera La ilaha illa Allah bisa berkibar di penjuru dunia, dan syariahMu bisa kami laksanakan. Amin.

Thursday, February 16, 2012

NEOLIBERALISME

NEOLIBERALISME

Oleh : Revrisond Baswir

Tiba-tiba saja mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.

Sesuai dengan namanya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.

Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.

Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: "Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan."

Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.

Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme. Wallahua’lambishawab. (Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)-

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=198648&actmenu=45 (Kedaulatan Rakyat, 17 Mei 2009)

Anti Kapitalisme Mendunia

Anti Kapitalisme Mendunia

Kapitalisme menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang cukup dalam. Kaum muda menuntut perubahan sistem.

Tak ada yang menduga Occupy Wall Street (OWS) bisa sebesar sekarang. Awalnya gerakan ini hanya berlangsung di Zuccotti Park di distrik keuangan Wall Street, New York City, Amerika Serikat. Di situlah bursa saham terbesar di dunia berada.

Semboyan utama mereka adalah ”We are 99 %”. Slogan ini sebagai bentuk protes atas kekayaan dan pendapatan yang terkonsentrasi hanya kepada 1 persen dari populasi Amerika. Aksi itu diluncurkan untuk menentang keserakahan korporasi dan menuntut kehidupan yang lebih adil bagi 99 persen rakyat Amerika.

Aksi ini digerakkan oleh adalah anak-anak muda yang mulai muak dengan situasi yang terjadi di Amerika. Negara adidaya itu mengalami krisis keuangan yang parah. Dalam situasi seperti itu, pemerintah AS justru memberikan bantuan keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar. Sementara rakyatnya sendiri dibiarkan terlunta-lunta karena kemiskinan dan pengangguran yang meningkat serta jaminan kesehatan yang mulai dihapuskan. Padahal merekalah yang selama ini selalu ditarik pajak.

Protes pertama kali berlangsung pada 17 September 2011. Aksi mereka membuat pemerintah New York meradang. Beberapa aktivis gerakan ini ditangkap oleh aparat keamanan. Alasannya, protes mereka mengganggu ketertiban umum. Namun bukannya tambah surut, justru muncul solidaritas yang kian luas.

Aksi serupa menyebar ke seantero kota-kota di Amerika. Slogannya pun kian bervariasi dengan tema yang sejenis. Ada ’Occupy Chicago’, ’Occupy Los Angeles', 'Occupy Seattle', dan lainnya.

Rupanya gerakan ini pun menginspirasi kaum muda di seluruh dunia. Dalam waktu sebulan sejak aksi pertama berlangsung, aksi serupa berlangsung di 951 kota di 82 negara mulai dari Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika.

Suara mereka pun sama: melawan bankir dan politisi. Mereka dituduh merusak ekonomi dan menimbulkan kesulitan melalui keserakahan dan pemerintahan yang buruk.

Kebanyakan demonstrasi berskala kecil. Nyaris media yang dikuasai para kapitalis tak banyak menyiarkannya. Demonstrasi terbesar terjadi di Roma, yang diikuti sedikitnya 100 ribu orang.

"Pada tingkat global, kita tahu utang publik tidak diciptakan oleh kita, tetapi oleh pemerintah maling, bank korup, dan spekulator yang tidak peduli tentang kita," kata Nicla Crippa, 49, demonstran di Roma. "Mereka menyebabkan krisis internasional dan masih pula mengambil keuntungan dari itu."

Sebelumnya, ribuan mahasiswa menyerbu kantor Goldman Sachs di Milan, Italia. Dalam aksi ini ada demonstran yang melemparkan telur di markas UniCredit, bank terbesar Italia.

Di Selandia Baru, beberapa ratus orang berbaris di jalan utama di Auckland, kota terbesar Selandia Baru, bergabung dengan sebuah reli di mana 3.000 orang bernyanyi dan memukul drum, mencela keserakahan korporasi.

Di Sydney, sekitar 2.000 orang, termasuk perwakilan dari kelompok Aborigin, komunis, dan serikat buruh, protes di luar pusat bank sentral Reserve Bank of Australia.

Di Tokyo, massa anti kapitalisme bergabung dengan demonstran anti-nuklir. Di Manila, ibukota Filipina, beberapa lusin berbaris ke kedubes AS melambaikan spanduk bertuliskan: "Ganyang imperialisme AS" dan "Filipina tidak untuk dijual."

Lebih dari 100 orang berkumpul di bursa Taipei, meneriakkan "Kita 99 persen Taiwan," dan mengatakan pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan perusahaan, sementara rakyat jelata hampir tidak bisa menutupi melonjaknya biaya perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Di Jerman, ribuan orang berdemo di kota-kota besar negara Hitler tersebut. Mereka memprotes dominasi bank. Di Berlin, sekitar 2 ribu orang menuntut perubahan sistem alternatif demokrasi ketimbang kapitalisme. Mereka berarak menuju gedung Bundestag (parlemen Jerman) di pusat kota Berlin.

Di London, Inggris, sekitar 70 tenda peserta aksi mengembang di kaki tangga Katedral St Paul. Sekitar 2.000-3.000 orang ambil bagian dalam protes ini. Aksi serupa juga digelar di Bristol, Birmingham, Glasgow dan Edinburgh. Selain membawa poster bertuliskan "Kita 99%", mereka juga membawa poster bertuliskan kalimat yang artinya: "Bankir ditalangi, kita yang dihabisi".

Perubahan

Ada satu kesamaan perasaan dari aksi anti kapitalisme di seluruh dunia itu. Mereka marah terhadap tatanan kehidupan yang ada. Mereka menyadari bahwa sistem kapitalisme menyebabkan ketidakadilan bagi perekonomian global. Spirit kapitalisme telah melahirkan ketimpangan sosial yang menganga antara kalangan kaya dan miskin, bahkan di negara tempat lahir dan tumbuh ideologi ekonomi itu sendiri.

Mereka pun mulai sadar bahwa pemerintahan yang ada tidak lain adalah kepanjangan tangan dari para kapitalis—pemilik modal. Ada kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk memeras keringat rakyat—melalui pajak—dan mengeksploitasi kekayaan alam demi kepentingan mereka sendiri. Sementara rakyat, tak mendapatkan bagian yang layak sebagai pemilik kekayaan alam tersebut. Rakyat tertindas, sedangkan penguasa dan pengusaha culas.

Makanya, gema ajakan untuk mengadakan revolusi sudah mulai muncul di Amerika. Salah satu slogan mereka: ”The Revolution Begins at Home” (Revolusi mulai dari rumah—Amerika). Mereka sudah muak dengan kapitalisme. []Mujiyanto
Adidaya yang Tak Berdaya



Boleh jadi banyak orang terpesona dengan Amerika dan Barat pada umumnya. Inilah hasil propaganda kapitalisme global dengan penguasaan medianya. Mereka berhasil mengemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah kapitalisme itu adalah ideologi paripurna bagi umat manusia. Bahasa orang sekarang: ideologi yang sudah final.



Namun, tak banyak orang tahu bahwa Amerika dengan kapitalismenya gagal membangun kesejahteraan bersama, termasuk keadilan dan keamanan. Kini, negara ini adalah negara pengutang terbesar di dunia yakni sebesar 14,3 trilyun dolar Amerika.



Di dalam negeri, kemiskinan menghantui. Sebanyak 2,6 juta orang Amerika Serikat (AS) jatuh miskin per 2010, menjadikan total orang miskin negara tersebut 46,2 juta orang. Angka itu tak hanya suram, namun juga mencetak rekor tertingginya.

Berdasarkan Biro Sensus AS, angka kemiskinan itu merupakan yang tertinggi dalam 52 tahun lembaga tersebut melakukan pendataan ini. Bahkan, pemasukan rumah tangga kelas menengah turun ke level yang sama seperti 1996. Setelah disesuaikan, ternyata angka itu yang terendah sejak Great Depression.

Temuan biro ini lebih buruk ketimbang prediksi para ekonom, seakan membuka mata lebih lebar mengenai tekanan apa yang sebenarnya dirasakan penduduk Amerika. Bukan hanya masyarakat miskin, kelas menengah pun kini sudah tercekik.

Jumlah orang Amerika yang hidup di bawah garis kemiskinan per 2010 mencapai 15,1 persen dan merupakan level tertinggi sejak 1993. Garis kemiskinan untuk 2010 bagi keluarga Amerika dengan empat orang anggota adalah pendapatan US$ 22.314 atau ke bawah, per tahun.

Ekonom merasa, tahun ini tak lebih baik. Dana stimulus telah habis, pemerintah pusat dan daerah mengurangi jumlah staf serta anggaran untuk program-program sosial. Langkah tersebut harus ditempuh untuk menghindari makin banyak orang masuk ke jurang kemiskinan.

Analisa Brookings Institution memperkirakan, pada kecepatan saat ini, resesi akan menyebabkan 10 juta orang lagi menjadi miskin pada pertengahan dekade ini. Pengangguran merupakan masalah terbesar yang menyebabkan orang menjadi miskin.

“Tahun lalu, 48 juta penduduk usia 18-64 tak bekerja, bahkan untuk sepekan dalam setahun. Jumlah itu naik dari 45 juta pada 2009. Begitu anda tak bekerja, bakal sulit mendapat pekerjaan lagi,” kata Trudi Renwick, pekerja Biro Sensus.

Resesi juga memaksa penduduk usia produktif (25-34 tahun) terpaksa tinggal dengan keluarga dan kawan-kawannya untuk menghemat. Di kelompok ini, hampir setengahnya hidup di bawah garis kemiskinan.



Seiring dengan itu, krisis sosial dan kriminalitas muncul bak air bah. Tak bisa dicegah. mujiyanto


http://mediaumat.com/media-utama/3464-69-anti-kapitalisme-mendunia.html

Indonesia Juga Kapitalis

Indonesia Juga Kapitalis

Friday, 03 February 2012 15:12


Pemerintah tak mau dikatakan neolib, tapi fakta menunjukkan Indonesia menerapkan kapitalisme

Kapitalisme telah menjadi haluan negara-negara di seluruh dunia. Kapitalisme ini digerakkan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui tangan-tangan mereka yang duduk di pemerintahan. Mereka adalah para politikus yang telah disetir atau bekerja sama dengan kepentingan korporasi/perusahaan. Inilah yang disebut sebagai korporatokrasi.

Isitilah korporatokrasi digunakan oleh John Perkins, penulis buku Confession of Economic Hit Man (2005), untuk menggambarkan imperium global, yaitu korporasi, lembaga keuangan internasional, dan penyelenggara pemerintahan yang bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat mengikuti kehendak mereka.

Ia menyebut, bagaimana kebijakan pemerintah itu sebenarnya merupakan pengejawantahan dari kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan besar. Itu tidak hanya terjadi di Amerika, tapi juga di seluruh dunia. Bahkan, menurutnya, yang ada di balik lembaga-lembaga internasional adalah perusahaan-perusahaan besar/multinasional.

Banyak orang Amerika tahu bahwa Amerika Serikat bukan demokrasi tetapi sebuah "korporatokrasi," di mana mereka diperintah oleh kemitraan korporasi raksasa, elite sangat kaya dan perusahaan-kolaborator pejabat pemerintah. Sayangnya, mereka berhasil dininabobokkan oleh media massa, yang notabene milik perusahaan multinasional.

Pola yang sama berlaku di Indonesia. Sistem demokrasi telah menjadikan ketergantungan para politikus kepada para pengusaha. Soalnya demokrasi membutuhkan biaya yang besar. Tidak mungkin mereka sanggup meraih tampuk kekuasaan tanpa ada dukungan dana yang cukup. Yang bisa menutup itu hanyalah pengusaha. Terjadilah kongkalikong. Politikus bisa meraih kursi, pengusaha bisa menitipkan kebijakan untuk keuntungan bisnis mereka.

Sayangnya, pemerintah Indonesia tak pernah mengakui bahwa Indonesia adalah negara kapitalis. Bahkan pemerintah pun menolak jika dikatakan neoliberal—istilah yang sepadan dengan kapitalis. Namun, berbagai kebijakan negara yang muncul justru menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kapitalis, bukan sebaliknya.

Pro Asing dan Pengusaha

Kebijakan kapitalisme yang paling menonjol bisa dilihat di bidang ekonomi. Hampir semua regulasi dan kebijakan ekonomi dilandasi oleh ideologi kapitalisme ini. Negara menjalankan program liberalisasi pasar dan swastanisasi cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Dampaknya lahirlah berbagai undang-undang yang tak berpihak kepada rakyat tapi kepada swasta, baik lokal maupun asing. Melalui undang-undang yang disahkan oleh DPR ini, negara melepaskan tanggung jawabnya mengelola kekayaan alam milik rakyat.

UU Penanaman Modal memungkinkan kekuatan asing melakukan investasi di segala bidang, nyaris tanpa hambatan sehingga tambang emas di Freeport dikuasai oleh perusahaan Amerika, Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile, Chevron mengangkangi tambang minyak dan gas.

UU Migas mengebiri peran Pertamina sebagai BUMN yang notabene milik rakyat dalam pengelolaan migas. Pertamina yang dulu menguasai sebagian besar tambang migas akhirnya hanya menjadi pemain kecil di dalam negeri. Mayoritas tambang migas dikuasai oleh asing. Bahkan, asing diberi kebebasan untuk berbisnis hingga ke hilir.

Ada juga UU Sumber Daya Air yang menjadikan air sebagai komoditas komersial. Juga UU Ketenagalistrikan yang ingin memecah perusahaan plat merah itu menjadi usaha-usaha kecil yang nantinya layak dijual kepada swasta. Dan banyak undang-undang sejenis lainnya.

Nah, yang menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme ini adalah keberadaan sektor non riil dan perdagangan uang. Kalau di Amerika ada Wall Street di Indonesia ada Bursa Efek Jakarta. Di tempat itulah terjadi perdagangan saham setiap harinya. Di sanalah berkumpul para kapitalis yang mempermainkan saham untuk menguasai berbagai jenis usaha—termasuk milik negara yang telah diprivatisasi.

Tak aneh bila kemudian Indosat jatuh ke pihak asing. Demikian pula Krakatau Steel. Dan beberapa saat mendatang, BUMN yang sehat sudah direncanakan akan diprivatisasi—dijual kepada swasta.

Di bidang keuangan, perbankan ribawi dianakemaskan. Dana masyarakat disedot sedemikian rupa. Tapi begitu dana terkumpul, dana itu mandek. Walhasil, banyak bank yang kemudian menyalurkan dana masyarakat itu kepada perusahaan milik si pemilik bank. Bukan kepada rakyat kecil. Anehnya, begitu bank mengalami kerugian, justru negara yang membantunya.

Kurang ajarnya, uang yang digunakan untuk menalangi kerugian itu adalah uang rakyat. Masih ingat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Lebih dari 600 trilyun rupiah uang rakyat lenyap. Atau yang terakhir kasus Bank Century, Rp 6,7 trilyun lebih uang rakyat digasak.

Sementara itu, negara tak mau lagi susah-susah mengurus rakyat. Lahirlah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU badan Penyelenggara Jaminan Sosisal (BPJS) yang menjadikan pelayanan kesehatan menjadi komoditas ekonomi yang diperjualbelikan. Negara memalak rakyat dan melepaskan diri dari tanggung jawab menjamin layanan kesehatan.

Hal yang sama terjadi di bidang pendidikan. Pelan tapi pasti, negara mulai tak mau lagi membiayai pendidikan. UU Pendidikan Nasional lahir untuk melepaskan tanggung jawab ini. Awalnya perguruan tinggi negeri ’diswastakan’ kemudian disusul lembaga pendidikan di bawahnya (sekolah).

Wajar kalau rakyat yang mayoritas tak kunjung sejahtera. Menurut Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa PT Bursa Efek Indonesia Urip Budi Prasetyo, jumlah nasabah kaya di Indonesia ada 30 ribu orang. Mereka menyimpan dan menginvestasikan uangnya di berbagai bidang, mulai saham, deposito, sampai properti. Sumber lain menyebut, nasabah premium perbankan—berpenghasilan US$ 50 ribu (setengah milyar rupiah) per tahun—mencapai 1,1 juta orang. Lha yang 240 juta penduduk Indonesia? Mujiyanto
Impor, Impor, dan Impor

Masih ingat kasus PT Dirgantara Indonesia? Perusahaan plat merah itu awalnya dirancang untuk menghasilkan pesawat yang mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri yang begitu besar dan ekspor. Alih-alih didukung, geliat perusahaan yang mulai diperhitungkan oleh negara lain ini malah dimatikan. Pemerintah lebih suka beli pesawat dari negara lain seperti Cina. Diduga swasta asing ada di balik kebijakan pemerintah tersebut.

Otak bisnis para pengemban amanah rakyat ini menjadikan mereka tak mau susah-susah. Inginnya semua instan dan menghasilkan fulus bagi diri dan kelompoknya. Bukan aneh jika kemudian Indonesia kini dikenal sebagai negara importir.

Berbagai paradoks muncul. Negara agraris tapi mengimpor beras setiap tahunnya. Negara penghasil migas tapi harus beli migas dari Singapura yang sebenarnya tak punya ladang migas sama sekali. Negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia tapi impor garam. Itupun dilakukan pada saat panen raya garam. Hal yang sama terjadi pada komoditas kentang.

Beberapa komoditas lain sudah siap didatangkan oleh para pengusaha. Sebut saja gula, kedelai, daging, dan jagung. Yang sudah membanjiri pasar dalam negeri sebelumnya adalah komoditas hortikultura terutama buah-buahan dari luar negeri. Siapa yang tidak kenal Durian Monthong, Jeruk Mandarin, Apel Washington, Anggur asal AS dan Pear dari China.

Tak ketinggalan komoditas perikanan. Data Kementerian Pertanian hingga Mei 2011, permohonan izin impor ikan sebanyak 2,6 juta ton. Setidaknya 23 perusahaan telah mengantongi izin impor ikan. Di antaranya 15 perusahaan untuk keperluan industri pengolahan dan delapan perusahaan untuk memenuhi pasar domestik. Aneh kan? Negeri dengan laut yang begitu luas tapi impor ikan.

Membanjirnya produk pangan impor tersebut tidak lepas dari keputusan pemerintah membuka pasar secara bebas melalui perjanjian perdagangan. Setidaknya ada lima kesepakatan multilateral perdagangan bebas dan satu kesepakatan bilateral perdagangan bebas yang tengah dijalani pemerintah Indonesia. Di luar itu, terdapat sembilan kesepakatan bilateral sedang dalam proses perundingan.[] MJ


http://mediaumat.com/media-utama/3465-69-indonesia-juga-kapitalis.html

Kapitalisme, Sistem Cacat yang Sekarat

Kapitalisme, Sistem Cacat yang Sekarat

Friday, 03 February 2012 15:20

Islam menjadi satu-satunya alternatif terhadap sistem ekonomi kapitalisme saat ini.

Bukan hanya kali ini kapitalisme mengalami guncangan. Berkali-kali sistem ekonomi ini terseok-seok. Dengan tambal sulam, yang berarti melepaskan diri dari prinsip dasar, kapitalisme terselamatkan untuk sementara. Namun akankah krisis kali ini akan bisa diatasi?

Banyak pakar ekonomi berpendapat, krisis kapitalisme saat ini melebihi krisis yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan great depression, Oktober 1929, yang juga dimulai di Wall Street.

Krisis ini bukan disebabkan faktor luar tapi faktor dalam yakni kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme, Sistem Cacat yang Sekarat

Bukan hanya kali ini kapitalisme mengalami guncangan. Berkali-kali sistem ekonomi ini terseok-seok. Dengan tambal sulam, yang berarti melepaskan diri dari prinsip dasar, kapitalisme terselamatkan untuk sementara. Namun akankah krisis kali ini akan bisa diatasi?

Banyak pakar ekonomi berpendapat, krisis kapitalisme saat ini melebihi krisis yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan great depression, Oktober 1929, yang juga dimulai di Wall Street.

Krisis ini bukan disebabkan faktor luar tapi faktor dalam yakni kapitalisme itu sendiri. Dr Mohammad Malkawi, penulis buku berjudul: The Fall of Capitalism and Rise of Islam, menjelaskan, adanya cacat serius dalam sistem kapitalisme dan ketidakmampuannya untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dunia di bawah kapitalisme.

Sistem ini sangat rapuh. Bahkan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M Ismail Yusanto menyebut sistem ekonomi kapitalis ini bersifat self-destructive (menghancurkan diri sendiri).

Paling tidak ada tiga pilar utama sistem ekonomi kapitalis ini. Yakni (1) riba yang diwujudkan dalam perbankan (baik bank komersial yang memberikan kredit, maupun bank investasi/lembaga sekuritas yang membeli surat utang (umumnya melalui pasar modal); (2) judi yang mewujud dalam bursa saham dan pasar uang; (3) sistem uang kertas yang standarnya dolar.

Sistem ribawi ini menyebabkan uang yang beredar di sektor riil (produksi) jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sektor non riil. Ini karena perbankan harus bisa memutar uang yang ada demi memberikan bunga kepada nasabahnya. Tentu uang itu tidak diputar di sektor riil seperti pemberian kredit tapi di sektor lain seperti pasar uang dan surat utang. Makanya, begitu gejolak terjadi dampaknya akan sangat dahsyat karena tidak bertumpu pada ekonomi riil. Inilah yang disebut bubble economy (ekonomi balon).

Sistem ribawi ini juga menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja. Orang miskin tidak dapat menikmati dana banyak yang ada di perbankan karena tidak punya agunan. Orang kaya akan mudah mendapatkan kucuran dana. Nah, dana yang mereka peroleh dapat dijadikan mesin uang lagi dengan diinvestasikan di sektor non riil misalnya dengan mencari bunga lagi yang lebih besar. Jika terjadi sesuatu, uang itu bisa habis tanpa sisa karena memang tidak ada yang riilnya.

Sistem ini meniscayakan uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar semata tapi sudah berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan misalnya dalam bursa valuta asing dan dalam bursa saham. Dari uang bisa ditarik keuntungan (interest) alias bunga/riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan. Bursa-bursa itu penuh spekulasi alias judi.

Ketika bursa saham gonjang-ganjing maka para pemilik saham pun rugi dan jatuh ‘miskin’. Padahal, mereka adalah pemilik perusahaan. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengalami kredit macet. Gagal bayar perusahaan mengakibatkan likuiditas bank menurun. Kinerja bank yang sebelumnya jeblok menjadi semakin hancur. Sedangkan nilai perusahaan/kekayaan menurun sehingga perusahaan dijual murah atau mem-PHK karyawannya.

Turunnya harga saham menyebabkan turunnya ekspor dan berkurangnya arus modal masuk, yang menyebabkan kurs uang melemah. Ini karena mata uangnya kertas dan standarnya adalah dolar. Siapa yang bisa menghentikan pencetakan uang ini? Ketika dolar terguncang, sudah pasti semua mata uang dunia ikut terguncang

Islam sebagai Solusi

Malkawi yang tinggal di Amerika ini menegaskan, keruntuhan kapitalisme pasti akan terjadi. Sebagai gantinya adalah sistem Islam. Menurutnya, Islam memiliki ide-ide dan pemikiran yang dirumuskan dengan baik dan sistem yang terstruktur. Selain itu, Islam memiliki catatan sejarah penerapan lebih dari 1300 tahun yang menunjukkan bahwa Islam mampu menghasilkan sistem produktif yang dapat mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah manusia yang paling dasar seperti makanan, keamanan, kesehatan, pendidikan dan stabilitas. ”Masalah satu-satunya pada hari ini hanyalah bahwa Islam tidak diterapkan dalam kerangka negara dan masyarakat,” katanya.

Dalam Islam, uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar saja. Mata uang dibuat dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham di mana 1 dinar emas syar’i beratnya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar’i beratnya 2,975 gram perak). Mata uang ini akan stabil, bebas guncangan.

Sedangkan ekonomi digerakkan hanya oleh sektor riil saja. Tidak akan ada sektor non riil—dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya.

Dalam sistem seperti ini, uang yang beredar pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa — bukan dengan sesama uang seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat sehingga lapangan pekerjaan terbuka, pengangguran bisa ditekan, kesejahteraan masyarakat meningkat. Semua pertumbuhan itu berlangsung secara mantap (steady growth), tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps.

Persoalannya tinggal menunggu negara yang menerapkannya. Tentu negaranya bukan negara kapitalis atau sosialis, tapi negara Islam. Itulah Daulah Khilafah Islamiyah. [] Mujiyanto
Ekonomi Judi

Prof Maurice Allais, peraih Nobel ekonomi 1997 dalam tulisannya The Monetary Conditions of an Economy of Market” menyebut bursa saham dunia saat ini sebagai big casino (kasino besar) dengan meja judi yang disebar ke seluruh antero dunia mulai dari New York, London, Tokyo, Hongkong, Frankfurt, hingga Paris.

Dalam penelitiannya yang melibatkan 21 negara besar, Allais menunjukkan bahwa uang yang beredar di masyarakat (sebagai private goods) jauh lebih banyak daripada yang berputar di sektor riil (sebagai public goods). Menurutnya, uang yang beredar di sektor non riil tiap hari mencapai lebih dari 440 milyar US dolar, sedang di sektor riil hanya sekitar 30 milyar US dolar atau kurang dari 10 persennya.

Kondisi ini membuat fungsi uang sebagai lokomotif penggerak kegiatan ekonomi tidak lagi efektif karena telah berubah fungsi menjadi komoditas. Bila beredarnya uang diharap akan menyebarkan kemakmuran dan mengurangi pengangguran, maka harapan itu kini tidak lagi dapat diwujudkan. Fakta sudah bicara![] MJ


http://mediaumat.com/media-utama/3466-69-kapitalisme-sistem-cacat-yang-sekarat.html